Anda di halaman 1dari 6

SWA > Tampilan Cetak

Agar Solid Menyongsong 2010


Kamis, 24 Agustus 2006

Oleh : Firdanianty

Jumlah karyawan yang banyak ditengarai menjadikan Unilever sebuah organisasi yang tambun. Benarkah ini menyebabkan birokrasi yang panjang? Lantas, bagaimana formulanya menjadikan SDM tetap inovatif? Apa yang akan dialami Unilever Indonesia setelah 2010? Pertanyaan ini sering dilontarkan Direktur SDM PT Unilever Indonesia Tbk. Josef Bataona kepada karyawannya. Bahkan, pertanyaan itu kerap memancing diskusi hangat di antara sesama karyawan raksasa toiletries ini. Apakah ini merupakan bukti mereka sangat peduli masa depan perusahaan? Mungkin, ya. Yang pasti, dijelaskan Josef, saat ini pihaknya sedang menggodok banyak hal terkait dengan upaya mewujudkan rencana bisnis setelah 2010. Di tahun itu, diyakini peta persaingan sudah semakin kompleks dan membutuhkan kesiapan yang tinggi. Salah satu yang menjadi prioritas adalah karyawan. Kami sedang menyiapkan dan mematangkan kembali kompetensi SDM di seluruh lini agar lebih tanggap terhadap perubahan pasar, Josef menuturkan. Bagi Unilever, tahun 2010 sudah di depan mata. Karena itu, mereka tak mau hanya berpangku tangan. Sekarang, menurut Josef, perusahaan tengah mengatur rencana menghadapi persaingan setelah 2010. Salah satu upaya yang diyakini dapat mewujudkan cita-cita adalah merekrut bibit-bibit SDM yang potensial melalui program management trainee (MT) yang sejatinya sudah berlangsung sejak 1970. Pelamar yang direkrut adalah S-1 lulusan segar (fresh graduate) dari berbagai universitas baik lokal maupun luar negeri dan disiplin ilmu dengan kualitas sangat memuaskan atau IPK > 3. Mengapa memilih lulusan segar? Bukankah lebih mudah merekrut profesional berpengalaman? Josef menjelaskan, mengambil SDM yang sudah jadi sifatnya jangka pendek. Pasalnya, cara itu dinilai rentan menciptakan tingginya turnover karyawan. Unilever berpikir jangka panjang, yakni berharap memiliki pemimpin masa depan yang dididik sejak awal. Maka, program MT adalah bagian dari visi dan misi jangka panjang ini. Orientasi program MT berlangsung setahun. Dalam program ini, para MT harus mengenal perusahaan secara menyeluruh. Seusai orientasi, mereka diangkat sebagai asisten manajer sesuai dengan minat yang tercantum pada formulir lamarannya, seperti pemasaran, keuangan, dan SDM. Orientasi setahun ini hanya untuk perkenalan. Saat menjadi asisten manajer, barulah mereka belajar yang sesungguhnya. Kami menyebutnya learning period, papar Josef. Para MT menjalani pekerjaan sebagai asisten manajer selama dua tahun. Seorang asisten manajer yang ditempatkan di bagian pemasaran, misalnya, harus bisa belajar banyak
http://www.swa.co.id/cetak.php?cid=1&id=4799&url=htt...majalah%2Fsajian%2Fdetails.php%3Fcid%3D1%26id%3D4799 (1 of 6)2/9/2007 8:27:22 PM

SWA > Tampilan Cetak

tentang pemasaran. Ia mesti terjun ke pasar-pasar tradisional hingga ke pelosok daerah untuk mengetahui dan memahami kebutuhan konsumen. Di lain pihak, perusahaan memonitor perkembangannya sambil mengevaluasi apakah seorang asisten manajer ini layak dipromosikan sebagai manajer atau tidak. Ada atau tidak ada kebutuhan, setiap tahun Unilever tetap merekrut MT yang jumlahnya 20-30 orang. Ini mengakibatkan organisasi menjadi tambun. Jumlah karyawan saat ini tergolong banyak, 3 ribu orang. Dilihat dari luar, perusahaan terkesan melamban, terutama dalam menghadapi para pesaingnya. Apakah ini disebabkan jumlah karyawannya yang terlampau banyak? Belum lagi, sebagian besar karyawan adalah orang-orang senior dengan pengalaman kerja selama puluhan tahun. Kondisi ini bisa jadi menimbulkan masalah tersendiri bagi manajemen. Sebab, biasanya karyawan senior suka seenaknya sendiri alias sulit diatur. Dengan tegas Josef menampik pendapat tersebut. Menurutnya, selama ini karyawan bisa diajak bekerja sama. Mereka (karyawan) mau berbuat sesuatu untuk perusahaan tanpa rasa terpaksa. Rasa memiliki inilah yang membuat karyawan senantiasa berpikir apa yang bisa dilakukannya untuk perusahaan, tuturnya. Dalam urusan pengembangan karyawan, selain mendidik MT, Unilever juga menekankan pelatihan dasar (basic training) bagi karyawan di level manajerial. Di program ini, diberikan pelatihan seperti keterampilan berpresentasi (presentation skill), bagaimana mengelola orang, dan pengetahuan lainnya yang sangat dibutuhkan bagi perkembangan karier seseorang. Di luar itu, untuk memfasilitasi program belajar-mengajar serta dalam rangka mengembangkan SDM, Unilever juga memiliki learning department. Kata learning sengaja dipilih untuk mengesankan proses belajar-mengajar tidak harus selalu berada dalam ruang kelas yang formal. Di samping itu, karyawan diharapkan belajar terus-menerus dari pengalamannya sehari-hari. Bentuk pengajaran yang diberikan adalah berbagi pengetahuan (sharing knowledge). Dalam berbagi pengetahuan, seluruh karyawan ditantang membagi pengetahuannya. Untuk melatih budaya berbagi pengetahuan, pihak manajemen membuat Learning Award bagi karyawannya. Dengan kata lain, aktivitas ini justru menambah poin bagi karyawan yang melakukannya. Jika poin sudah terpenuhi, yang bersangkutan akan mendapatkan award, mulai dari hadiah vocer belanja di supermarket atau berlibur bersama keluarga ke Bali. Maksud dari aktivitas ini agar karyawan Unilever tidak merasa pintar sendiri, Josef menerangkan. Sekarang, semua manajer Unilever harus bisa memberikan sebagian dari waktu kerjanya untuk terjun ke lapangan menemui konsumen. Dengan demikian, bertemu konsumen bukan hanya tugas divisi pemasaran dan penjualan. Semua karyawan harus bisa melakukannya. Bahkan, divisi teknologi informasi pun harus bisa, kata Josef. Kegiatan ini juga dimaksudkan untuk memenuhi angka kredit tertentu. Satu poin kredit berarti telah mengikuti satu hari aktivitas, di mana seseorang bertemu konsumen secara langsung. Untuk mendapat angka kredit, seorang karyawan harus bisa bersikap layaknya sales promotion, yakni meyakinkan konsumen agar mau membeli produk Unilever. Caranya, misalnya, dengan bertanya kepada konsumen mengapa mereka membeli produk itu. Di sini, ia harus bisa menggali apa yang ada di benak dan hati konsumen. Bahkan, harus bisa menyakinkan konsumen agar mau membeli produk, meskipun telah memilih barang yang sama dari perusahaan sejenis. Setelah itu, karyawan yang baru turun ke lapangan harus

http://www.swa.co.id/cetak.php?cid=1&id=4799&url=htt...majalah%2Fsajian%2Fdetails.php%3Fcid%3D1%26id%3D4799 (2 of 6)2/9/2007 8:27:22 PM

SWA > Tampilan Cetak

bisa mempresentasikan seluruh pengamatan dan wawancaranya dengan konsumen dalam bentuk laporan. Cara lain membangkitkan gairah kerja karyawan adalah memberi kesempatan karyawan mengajukan proposal yang berisi berbagai ide baru. Ide ini harus bisa dipresentasikan di depan dewan direksi. Bila ide dinilai positif, yang bersangkutan akan mendapat enterprise award. Dan, kartu nama yang dipakai sehari-hari pun akan berubah warnanya menjadi silver. Jika menang tiga kali, akan berubah menjadi gold, dan akan dikirim ke Amerika Serikat. Tak hanya itu. Setiap mendapat award, karyawan akan mengantongi hadiah berupa uang senilai satu bulan gaji. Program Enterprize Award (EA) yang diluncurkan sejak 2000 ini bertujuan menggali semangat jiwa perusahaan kecil (soul of small company) ke dalam tubuh Unilever Indonesia. Perusahaan kecil ini pada akhirnya akan menumbuhkan komitmen dan sense of belonging yang tinggi. Selain itu, komunikasi di kalangan SDM-nya juga terasa lebih lancar. Paling tidak, karyawan memiliki spirit membangun perusahaan tempatnya bekerja. Spirit yang tumbuh karena menganggap perusahaan tempatnya bekerja sebagai perusahaan sendiri. Semakin besar perusahaan, makin banyak pula memiliki orang yang punya pemikiran dan inovasi yang brilian. Namun, buat apa jika ide yang disampaikan masih dalam tatanan wacana, tanpa implementasi? Jangan salah. Program EA di Unilever tidak semata sampai pada generating ideas. Program ini didesain hingga pelaksanaannya. Dengan kata lain, program ini mengharuskan tim yang punya ide mengimplementasikannya sampai berhasil. Tim EA yang maksimum beranggota lima orang lebih dulu mengajukan proposal proyek kepada Enterprise Board (EB). Melalui Manajer Pengembangan Organisasi organisasi di bawah Divisi Pengembangan SDM (HRD) tim ini dapat mempresentasikan proyek mereka di depan EB. Setelah dirasa berhasil, mereka bisa mengajukan diri untuk mengikuti seleksi EA. Selanjutnya, mereka mempresentasikan hasil uji coba inovasinya disertai dengan buktibukti/data di depan EB, yang beranggotakan direksi dan para manajer senior. EB-lah yang memutuskan, apakah tim kerja itu layak mendapat EA atau tidak. Kriteria utama yang diberikan kepada partisipan adalah: gagasan yang dipresentasikan memberi dampak signifikan bagi perusahaan, khususnya di bidang keuangan. Artinya, proyek ini diharapkan bisa berdampak pada penghematan biaya atau akan meningkatkan pendapatan perusahaan. Elemen lain yang juga dinilai, yaitu inovasi atau ide yang diusulkan tim nantinya masuk kategori biasa-biasa saja atau benar-benar berbeda dan belum pernah dilakukan sebelumnya oleh siapa pun. Jadi, yang dinilai adalah orisinalitas ide atau inovasinya. Selain itu, faktor keberlangsungan implementasi ide tersebut. Jangan sampai, hasil inovasi ini hanya bersifat jangka pendek. Faktor adaptabilitasnya pun dinilai. Hasil inovasi tersebut dapat diterapkan di wilayah lain atau tidak? Misalnya, tim penjualan Unilever di Padang yang melakukan uji coba inovasi penjualan di wilayahnya, tapi tidak bisa diterapkan di wilayah lain, maka inovasinya dapat dikatakan tidak adaptability dan tidak sustainability, papar Josef. Hal lain yang juga masuk dalam penilaian: proyek ini memiliki semangat jiwa perusahaan kecil ataukah tidak. Dalam hal ini, yang dinilai adalah kerja sama tim dan rasa memiliki terhadap perusahaan. Terakhir, proyek inovasi ini memiliki degree of learning atau tidak. Menurut Josef, program EA hanya ada di Unilever Indonesia. Kendati demikian, program ini
http://www.swa.co.id/cetak.php?cid=1&id=4799&url=htt...majalah%2Fsajian%2Fdetails.php%3Fcid%3D1%26id%3D4799 (3 of 6)2/9/2007 8:27:22 PM

SWA > Tampilan Cetak

sudah di-sharing ke Unilever Worldwide. Kami berbagi pengalaman tentang manfaat program ini bagi perusahaan, ujarnya. Kendati SDM di Unilever selalu ditantang berpikir kreatif dan inovatif, bukan berarti organisasinya dapat berjalan tanpa birokrasi. Kelemahan Unilever yang tercium hingga ke luar adalah birokrasinya yang panjang. Kesan ini dilontarkan pula oleh Managing Partner Red Piramid, Steve Sudjatmiko. Menurutnya, kebijakan yang dijalankan Unilever di mana pun harus mengacu pada kantor pusat (Unilever Global). Ini berarti, terjadi sentralisasi pada organisasi Unilever, ungkapnya. Kebijakan sentralisasi ini membuat keunggulan yang dimiliki setiap kantor/pabrik Unilever di suatu negara akan melengkapi Unilever di negara lain. Sesama Unilever bisa saling belajar tentang berbagai keunggulan yang dimilikinya. Mereka bisa saling berbagi pengetahuan dan keterampilan, kata Steve. Selain itu, ia melihat, Unilever sedang berada dalam keadaan (momentum) untuk memperbaiki diri. Penerapan Knowledge Management System dalam arti yang sesungguhnya disadari sebagai kunci, jika sebuah organisasi ingin berhasil meski orang-orang potensial yang selama ini berkontribusi besar pada perusahaan sudah tidak berada di dalam perusahaan itu lagi, ia menguraikan. Di samping itu, Steve menilai, mayoritas produk Unilever memiliki entry barrier yang rendah. Hal ini lantaran perusahaan asal Belanda itu sangat terikat dengan perusahaan induknya. Sehingga, dalam berinovasi produk, Unilever Indonesia sangat berhati-hati karena terikat dengan code of conduct (SOP) dan etika kerja serta kinerja yang diterapkan oleh perusahaan induknya. Akhirnya, dalam pengambilan keputusan, Unilever Indonesia tidak bisa begitu saja memutuskan sesuatu. Ini berbeda dari perusahaan consumer goods lokal yang bisa lebih cepat mengambil keputusan dalam mengantisipasi perubahan pasar. Kendati begitu, ini bukan berarti Unilever Indonesia tidak cepat tanggap terhadap perubahan pasar. Unilever justru merupakan perusahaan yang cepat mengantisipasi perubahan pasar. Namun, kendalanya ada pada proses pengambilan keputusan yang berjenjang. Artinya, harus sepengetahuan kantor pusat, Steve memaparkan. Untuk itu, mind set SDM Unilever harus dibangun untuk terbiasa dengan pola pikir jangka panjang. Bila perlu hingga 5-10 tahun ke depan, sambil mempelajari apa yang sedang terjadi saat ini. Selama dua tahun ini, Steve melihat, Unilever Indonesia sedang berkonsolidasi. Proses konsolidasi ini jadi memperlambat gerak dalam pengambilan keputusan. Namun, konsolidasi yang terjadi lebih membahas hal-hal apa yang akan terjadi pada Unilever Indonesia di tahun-tahun mendatang. Unilever sedang dalam tahap ingin memenangi kompetisi di masa depan, tukasnya. Untuk memenangi kompetisi itu, Unilever harus benar-benar menyadari, apakah sudah memiliki produk yang benar-benar baru, khususnya dalam hal teknologinya? Merek yang dipakai oleh produk baru itu boleh saja sama, tetapi menurut Steve, konten dan teknologi serta manfaat yang dirasakan konsumen benarbenar baru. Dan, produk-produk baru seperti ini akan sulit ditandingi, khususnya dari sisi manfaat dan kualitasnya, kendati kompetitor membuat hal yang sama. Mengenai birokrasi di Unilever, Josef membenarkan, hal itu lebih disebabkan proses pengambilan keputusan yang berjenjang. Seorang manajer, misalnya, tidak bisa mengambil keputusan begitu saja tanpa sepengetahuan atasannya. Birokrasi ini timbul lantaran karyawan bekerja sesuai dengan panduan rencana kerja masing-masing divisi dan korporat yang disepakati setiap tahun. Salah satunya, mengacu pada Board Balance

http://www.swa.co.id/cetak.php?cid=1&id=4799&url=htt...majalah%2Fsajian%2Fdetails.php%3Fcid%3D1%26id%3D4799 (4 of 6)2/9/2007 8:27:22 PM

SWA > Tampilan Cetak

Business Plan (BBBP), yang selama ini dijadikan alat untuk mengukur pencapaian kerja karyawan. Hasil dari BBBP selanjutnya diterjemahkan secara lebih detail di tingkat divisi, agar dapat menjadi acuan bagi para manajer dan staf. Berbagai peluang dan kesempatan yang diperoleh selama bekerja di Unilever pada gilirannya menumbuhkan rasa nyaman karyawan. Terlebih, Josef menambahkan, gaji yang diterima karyawan termasuk tunjangan lain-lain di atas angka pasar. Kendati tidak menyebutkan angkanya, ia berani mengatakan gaji karyawannya sekelas perusahaan multinasional lain. Nah, berbagai kelebihan ini ditengarai membuat karyawan betah berlama-lama. Josef pun mengakui, Di Unilever banyak karyawan yang sudah bekerja selama puluhan tahun. Besar kemungkinan, kondisi inilah yang membuka peluang terjadinya penumpukan pada karyawan di level senior. Akan tetapi, Josef menjamin tidak ada sikap senioritas di perusahaannya. Pasalnya, pihaknya senantiasa memberi kesempatan setiap karyawan berkembang sesuai dengan minat dan bakatnya. Perkembangan karier pun tidak semata-mata vertikal. Bisa saja lintas sektoral dan horisontal, tukasnya. Namun, jika karyawan lebih memilih stay pada bidang yang benarbenar diminatinya, kami pun memberi kesempatan dan menghargai pilihannya, ungkap Josef. Adanya pengembangan bakat karyawan dan pengembangan karier secara horisontal bukan vertikal membuat karyawan yang tadinya senior bisa menjadi staf pada waktu yang berbeda. Dan, demi meredam sikap senioritas, diterapkanlah berbagai tool manajemen seperti Balance Scorecard, Knowledge Management System, dan Competency Based sehingga kinerja dan prestasi karyawan dapat dinilai secara objektif. Sementara itu, dilihat dari struktur organisasinya, Steve melihat, Unilever memiliki struktur matriks yang mengombinasikan departemen fungsional seperti SDM, keuangan dan supply chain dengan departemen lini produk seperti personal care, makanan dan es krim (lihat: Gambar Struktur Organisasi Unilever). Untuk perusahaan sebesar Unilever, ia berpendapat, struktur seperti ini sudah wajar dan merupakan jalan keluar yang terbaik. Hanya saja, ada beberapa tantangan yang mesti dihadapi perusahaan dengan struktur seperti ini, yaitu: pertama, sulitnya koordinasi kegiatan antardepartemen yang mempunyai agenda dan jadwal sendiri-sendiri. Kedua, komunikasi pada karyawan yang bisa menerima pesan yang berbeda-beda. Dan ketiga, resolusi konflik antara inisiatif dari dukungan departemen (SDM, keuangan, dan lain-lain) dengan departemen lini produk yang biasanya sangat berorientasi komersial Dari sisi bisnis, Steve menilai, struktur direktorat sudah lengkap. Kecil adanya kemungkinan lubang yang tidak termasuk dalam direktorat ini, katanya. Struktur, selain berguna mempercepat gerakan organisasi, bisa digunakan untuk membantu mendeteksi kekurangan atau kesempatan. Untuk kasus Unilever Indonesia, adanya kategori es krim dan makanan mau tidak mau akan menghalangi para penjual untuk mendeteksi ancaman dari minuman yang bisa mengenyangkan. Terlepas dari itu, Steve menggarisbawahi, organisasi harus cukup fleksibel untuk sewaktu-waktu berubah demi menghadapi pesaing. Tidak boleh menjadi harga mati, ia menandaskan. Di tempat lain, pengamat manajemen strategis Indra Susanto berkomentar, Unilever Indonesia telah memiliki organisasi yang berorientasi pada pelanggan (customer-centric organization). Misalnya, struktur penjualan dan key account disusun sesuai dengan segmen pelanggan, serta struktur logistik dan keuangan dipisahkan mengikuti channel distribusi (modern trade and general trade). Akan tetapi, struktur organisasi yang

http://www.swa.co.id/cetak.php?cid=1&id=4799&url=htt...majalah%2Fsajian%2Fdetails.php%3Fcid%3D1%26id%3D4799 (5 of 6)2/9/2007 8:27:22 PM

SWA > Tampilan Cetak

berorientasi pelanggan saja, dinilai Indra, belum cukup dan belum tentu efektif. Perusahaan harus mampu memadukan dan mengoptimalkan semua elemen organisasi untuk mencapai tujuan perusahaan dan memenangi persaingan, ujarnya. Pada hakikatnya, ada dua dimensi utama yang harus dioptimalkan dan diseimbangkan Unilever Indonesia, yakni: adaptability dan alignment. Adaptability adalah kemampuan beradaptasi, melakukan respons efektif terhadap dinamika pasar, termasuk kebutuhan pelanggan dan kegiatan/strategi pesaing. Sementara alignment adalah kemampuan menyelaraskan dan mengoptimalkan semua elemen dan potensi organisasi untuk mencapai tujuan perusahaan. Adaptabilitas yang tinggi tanpa diimbangi alignment yang kuat cenderung membawa organisasi ke arah kekacauan (chaos). Sebaliknya, alignment yang kuat tanpa diimbangi adaptabilitas yang tinggi akan membawa organisasi ke arah birokratis dan otoriter. Tantangan Unilever Indonesia adalah menyeimbangkan kedua dimensi tersebut agar lebih kompetitif, kata Indra. Berdasarkan pengalamannya, perusahaan consumer goods cenderung memiliki kesenjangan di tiga driver, yaitu: Customer Relationship Management (CRM); Innovation Engine; dan Learning Organization; yang ketiganya sangat diperlukan supaya unggul dalam persaingan. Oleh karena itu, Indra menyarankan Unilever Indonesia meninjau kembali efektivitas ketiga driver yang diterapkannya selama ini. Bila ketiga hal itu sudah berjalan dengan baik, pertanyaan Josef mengenai masa depan Unilever setelah 2010 dapat dijawab dengan nada optimistis. Namun bila masih terdapat kekurangan di sana-sini, sekaranglah waktunya membenahi diri.
URL : http://www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.php?cid=1&id=4799

Print

| Tutup Window

http://www.swa.co.id/cetak.php?cid=1&id=4799&url=htt...majalah%2Fsajian%2Fdetails.php%3Fcid%3D1%26id%3D4799 (6 of 6)2/9/2007 8:27:22 PM

Anda mungkin juga menyukai