Anda di halaman 1dari 164

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai Negara hukum ( rechtsstaat ) bermakna bahwa di

dalam Negara Kesatuan RI, hukum merupakan urat nadi seluruh aspek kehidupan. Elemen-elemen esensial negara hukum ( rechtsstaat ) yang

menjadi ciri tegaknya supremasi hukum antara lain harus ada jaminan bahwa pemerintah dalam menjalankan kekuasaannya selalu dan senantiasa berlandaskan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Hukum sebagai suatu sistem dapat berperan baik dan benar di tengah masyarakat jika instrument

pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Penegakan hukum pada dasarnya melibatkan seluruh warga Negara Indonesia, dimana dalam pelaksanaannya dilakukan oleh penegak hukum. Dalam rangka penegakan hukum ini masing-masing sub sistem dalam sistem peradilan pidana mempunyai peranan yang berbedabeda sesuai dengan bidangnya serta sesuai dengan ketentuan Perundangundangan yang berlaku, akan tetapi secara bersama-sama mempunyai kesamaan dalam tujuan pokoknya yaitu pemasyarakatan kembali para narapidana. Salah satu di antara kewenangan penegakan hukum adalah lembaga Kejaksaan yang merupakan sub sistem dari sistem ketatanegaraan 1

Indonesia sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Dalam kedudukannya sebagai salah satu sub sistem hukum, Kejaksaan berada dalam satu kesatuan yang teratur dan terintegrasi, saling mempengaruhi dan saling mengisi dengan sub sistem lainnya untuk mencapai tujuan dari sistem hukum tersebut. Dari aspek kelembagaan, sub sistem hukum yang lain dalam penegakan hukum di Indonesia adalah hakim, polisi,

advokat/penasihat hukum/pengacara, lembaga permasyarakatan, bahkan tersangka, terdakwa, serta terpidana. Kejaksaan Republik Indonesia memiliki kedudukan sentral sehubungan dengan penegakan hukum di Indonesia dan sebagai salah satu badan penegak hukum. Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, menegaskan bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Kajian tentang kedudukan sentral Kejaksaan RI adalah sama dengan kajian terhadap kedudukan dan fungsi Kejaksaan RI dalam penegakan hukum di Indonesia. Sudah tentu penekanannya adalah pada eksistensi dan eksisnya institusi ini baik dalam tataran teoritis yang mengacu pada konsepsi negara hukum maupun dalam asas normatif praktis yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
1

Marwan Efendi, Kejaksaan R.I. (Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005. h al. 108.

Keberadaan institusi Kejaksaan sebagai penegak hukum telah dikenal di Indonesia jauh sebelum masa penjajahan. Meskipun mengalami pergantian nama dan pemerintahan, fungsi dan tugas Kejaksaan tetap sama, yaitu melakukan penuntutan terhadap perkara-perkara kriminal dan bertindak sebagai penggugat atau tergugat dalam perkara perdata. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, menurut Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945, ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Ketentuan mengenai badan-badan

lain tersebut dipertegas dalam Pasal 41 Undang-undang RI. Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah

diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman meliputi Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan badan-badan lain yang diatur dalam undang-undang. Selanjutnya, dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU No. 16 Tahun 2004), diatur bahwa : 1) Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undangundang ini disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. 2) Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka.

3) Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) adalah satu dan tidak terpisahkan. Dari ketentuan Pasal 2 UU No. 16 Tahun 2004 di atas, dapat diidentifikasikan beberapa hal, yaitu : 1. Kejaksaan sebagai suatu lembaga pemerintahan; 2. Kejaksaan melakukan kekuasaan (kewenangan) di bidang penuntutan dan kewenangan lain berdasarkan undang-undang; 3. Kekuasaan (kewenangan) itu dilakukan secara merdeka; 4. Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan. Pada bagian Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang ini dijelaskan bahwa Kejaksaan adalah satu-satunya lembaga pemerintahan pelaksana kekuasaan negara yang mempunyai tugas dan wewenang dibidang penuntutan dalam penegakan hukum dan keadilan di lingkungan peradilan umum. Kemudian Penjelasan Pasal 2 Ayat (2) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan adalah landasan pelaksanaan tugas dan wewenangnya di bidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan, sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku, dan tata kerja Kejaksaan. Karena itu, kegiatan penuntutan di pengadilan oleh Kejaksaan tidak akan berhenti hanya karena Jaksa yang semula bertugas berhalangan. Dalam hal demikian, tugas penuntutan oleh Kejaksaan akan tetap dilakukan sekalipun oleh Jaksa Penuntut Umum yang lain sebagai Jaksa Penuntut Umum pengganti.

Dalam Penjelasan Pasal 1 Ayat (2) dinyatakan bahwa istilah menjunjung tinggi adalah termasuk pengertian memberi perlindungan. Sementara itu, dalam Penjelasan Pasal 3 Ayat (1) dinyatakan bahwa dalam menjalankan tugasnya, pejabat Kejaksaan harus mengindahkan hubungan hirarki di lingkungan pekerjaannya. Mencermati pengaturan tersebut dapat dijelaskan bahwa Kejaksaan sebagai suatu lembaga pemerintahan yang melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan, bila dilihat dari sudut kedudukan, mengandung makna bahwa Kejaksaaan merupakan suatu lembaga yang berada di bawah eksekutif. Apabila dilihat dari sisi kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penuntutan berarti Kejaksaan menjalankan kekuasaan yudikatif. Disinilah terjadinya ambivalensi kedudukan Kejaksaan RI dalam penegakan hukum di Indonesia. Selanjutnya, sehubungan dengan makna kekuasaan Kejaksaan dalam melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka, Marwan Efendy yang mengutip penjelasan Pasal 2 Ayat (2) Undangundang RI. Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. menjelaskan bahwa : Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi Jaksa seperti yang digariskan dalam Guidelines on the Role of Prosecutors dan International Association of Prosecutors .2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan merupakan bentuk pembaharuan Kejaksaan di Indonesia agar kedudukan
2

Ibid ., hal. 108 .

dan peranannya sebagai lembaga pemerintahan lebih mantap dan dapat mengemban kekuasaan negara di bidang penuntutan, yang bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun. Dalam pengertian lain, Kejaksaan, dalam melaksanakan tugasnya, hendaknya merdeka dan terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan lainnya dalam upaya mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan

kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Bila kedudukan Kejaksaan sebagai suatu lembaga pemerintahan dikaitkan dengan kewenangan Kejaksaan melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka, di sini terdapat kontradiksi dalam pengaturannya ( Dual Obligation ). Marwan Efendy, mengatakan bahwa adalah suatu hal yang mustahil apabila Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan lainnya, karena kedudukan Kejaksaan berada di bawah kekuasaan eksekutif. Argumentasi ini, diperkuat lagi dengan kedudukan Jaksa Agung RI., sebagai pemimpin dan penanggung jawab tertinggi Kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang Kejaksaan, dan juga pimpinan dan penanggung jawab tertinggi dalam bidang penuntutan, adalah sebagai Pejabat Negara yang diangkat dan
3

diberhentikan oleh serta bertanggung jawab kepada Presiden.

Ibid ., hal. 109 .

Pengaturan mengenai tugas dan wewenang Kejaksaan R.I. secara normatif dapat dilihat dalam Pasal 30 dalam Undang-Undang RI. Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. yaitu : (1) Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : a. Melakukan penututan ; b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ; c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. (2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaaan dengan kekuasaan khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. (3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut meyelenggarakan kegiatan : a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat b. Pengamanan kebijaksanaan penegakkan hukum; c. Pengamanan peredaran barang cetakan; d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara. e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f.Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) Huruf a dijelaskan bahwa dalam melakukan penuntutan, jaksa dapat melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan adalah tindakan Jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan

dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna

dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan, apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan. Lebih lanjut mengen ai hal ini Pasal 1 ayat (1) UU Kejaksaan yang dimaksud dengan Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga memberikan pengertian Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Oleh karena kedudukannya tersebut maka dalam melakukan penuntutan, Jaksa wajib mengambil langkah-langkah sebagai berikut 1. menerima dan memeriksa berkas perkara ; 2. mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan segera mengembalikan berkas pada penyidik dengan memberikan petunjuk-petunjuk untuk kesempurnaan ;
4

Keputusan Menteri Kehakiman RI, Nomor : M.01.PW.07.03 Tahun 1982, tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana , Bumi Aksara, Jakarta, 1990, h al.297.

3. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan, atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik ; 4. membuat surat dakwaan ; 5. melimpahkan perkara ke pengadilan ; 6. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan persidangan dengan disertai panggilan kepada terdakwa maupun saksisaksi ; 7. melakukan penuntutan ; 8. menutup perkara demi kepentingan hukum ; 9. melakukan tindakan lain dalam ruang lingkup dan tanggung-jawab sebagai penuntut umum ; 10. melaksanakan penetapan hakim. Dengan demikian jelaslah bahwa uraian tugas dan wewenang Kejaksaan ada yang bersifat represif dan ada yang bersifat preventif dan/atau edukatif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan dimaksud dengan fungsi turut menyelenggarakan adalah mencakup kegiatan-kegiatan membantu, turut serta, dan bekerja sama dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum. Dalam bidang melakukan ketertiban dan ketentraman umum tersebut, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang turut menyelenggarakan kegiatan peningkatan kesadaran hukum masyarakat, pengamanan kebijakan penegakan hukum, pengawasan peredaran barang cetakan, pengawasan

10

aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara, pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Dalam hal tersebut

Kejaksaan senantiasa memperhatikan koordinasi dengan instansi terkait. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini, telah menjadi pengetahuan publik bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan semakin hari semakin menipis. Hal ini tercermin dengan fenomena di mana masyarakat mulai mengambil jalan pintas untuk main hakim sendiri dan enggan untuk mengadukan atau melaporkan terjadinya suatu tindak pidana kepada aparat penegak hukum. Fenomena ini sangat dipengaruhi oleh pandangan sebagian masyarakat bahwa proses penyelesaian hukum melalui lembaga peradilan penuh dengan permainan, seringkali menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara ( Dominus Litis ),

mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Di samping sebagai penyandang Dominus Litis ,

Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar ). 5 Pasal 1 butir 7 KUHAP memberikan batasan Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan
Annonimous, Optimalisasi Peran Kejaksaan Dalam Penegakan Supremasi Hukum http://wijatobone.blogdetik.com/tag/ Diakses Februari 2011 .
5

11

negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Menurut Wirjono Prodjodikoro yang dikutip Andi Hamzah mengatakan bahwa : Menuntut seorang terdakwa di muka hakim pidana adalah menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas perkara kepada hakim dengan permohonan supaya hakim memeriksa dan memutus perkara pidana itu terhadap terdakwa. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa penuntutan adalah perbuatan penuntut umum menyerahkan perkara pidana kepada hakim untuk diperiksa dan diputus. 6 Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali berkas perkara hasil penyidikan yang sudah lengkap atau sudah dilengkapi oleh penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dapat dilimpahkan ke pengadilan menurut Pasal 139 KUHAP.
7

Apabila penuntut umum telah mengambil

langkah untuk melakukan penuntutan, maka dengan tindakan itu ia menyatakan pendapatnya secara positif, meskipun bersifat sementara, bahwa terdapat cukup alasan untuk mendakwa bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana dan seharusnya dijatuhi hukuman pidana.
8

Penuntut umum (dalam hal ini kejaksaan atau kepala kejaksaan negeri) setelah menerima berkas atau hasil penyidikan dari penyidik, segera menunjuk salah seorang jaksa (calon penuntut umum) untuk mempelajari dan menelitinya yang kemudian atas hasil penelitiannya jaksa
6

Andi Hamzah,

Hukum Acara Pidana Indonesia

. Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, .

hal. 157 . Gatot Supramono, Surat Dakwaan dan Putusan Hakim yang Batal Demi Hukum Djambatan, Jakarta, 1998. h al. 87. 8 Soedirjo, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana . Akademika Pressindo., Jakarta, 1985, h al. 4.
7

12

tersebut mengajukan saran kepada Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) antara lain: (1) Mengembalikan berkas perkara kepada penyidik karena ternyata belum lengkap disertai petunjuk-petunjuk yang akan dilakukan oleh penyidik. Hal ini oleh Pasal 14 KUHAP disebut prapenuntutan ; (2) Melakukan penggabungan atau pemisahan berkas ; (3) Hasil penyidikan telah lengkap tetapi tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya disarankan agar penuntutan dihentikan. Jika saran disetujui, maka diterbitkan surat ketetapan. Atas surat ketetapan dapat diajukan praperadilan ; (4) Hasil penyidikan telah lengkap dan dapat diajukan ke pengadilan negeri. Dalam hal ini Kajari menerbitkan surat penunjukkan penuntut umum. Penunjukkan penuntut umum ini biasanya serentak dengan penunjukkan penuntut umum pengganti yang maksudnya jika penuntut umum berhalangan, maka penuntut umum pengganti yang bertugas (Pasal 198 KUHAP). Dalam hal ini, penuntut umum membuat surat dakwaan dan setelah surat dakwaan rampung kemudian dibuatkan surat pelimpahan perkara yang diajukan kepada pengadilan negeri. Walaupun perkara telah dilimpahkan ke pengadilan negeri, masih memungkinkan bagi penuntut umum untuk mengubah surat dakwaan, hal ini diatur dalam Pasal 144 KUHAP.
9

Dalam kaitannya dengan tugas yang diemban oleh Jaksa sebagai Penuntut Umum, maka eksistensi surat (requisitoir) merupakan bagian

yang penting dalam proses hukum acara pidana. Surat tuntutan (requisitoir) dibuat secara tertulis dan dibacakan di persidangan dalam Pasal 182 ayat (1) huruf c KUHAP. Surat mencantumkan tuntutan jaksa penuntut umum

sebagaimana dimaksud tuntutan


9

(requisitoir)

Leden Marpaung. Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Pertama Penyelidikan dan Penyidikan . Sinar Grafika, Jakarta, 1992, h al. 19-20.

13

terhadap terdakwa, baik berupa penghukuman atau pembebasan dan disusun berdasarkan pemeriksaan saksi dan saksi ahli, alat bukti, dan keterangan terdakwa. Berbeda dengan surat dakwaan yang disampaikan di awal persidangan, belum ada ancaman pidananya, dan disusun berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan penyidikan polisi/Penyidikan Penyidik PNS. Berlainan dengan Surat Tuntutan, maka Fungsi surat dakwaan adalah sebagai dasar pemeriksaan di sidang Pengadilan, sebagai dasar pembuatan surat tuntutan (requisitoir) , sebagai dasar pembuatan

pembelaan terdakwa dan atau pembelanya, sebagai dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusan, dan sebagai dasar pemeriksaan peradilan

selanjutnya. Pemeriksaan didasarkan kepada surat dakwaan dan menurut Nederburg, pemeriksaan tidak batal jika batas-batas itu dilampaui tetapi putusan hakim hanya boleh mengenai peristiwa-peristiwa yang terletak dalam batas itu.
10

Selain itu, dalam hal percepatan pelayanan dan penyelesai perkara pidana dalam penyusunan rencana tuntutan perkara pidana Lembaga Kejaksaan juga berpedoman pada ketentuan

an

Surat Edaran Jaksa

Agung R.I Nomor: SE-001/J.A/4/1995 tentang Pedoman Tuntutan Pidana dan Surat Edaran Jaksa Agung R.I Nomor : SE -003/A/JA/02/2009

tentang Penge ndalian Rencana Tuntutan Pidana Perkara Penting Tindak Pidana Umum Jo Surat Edaran Jaksa Agung R.I Nomor : SE -

010/A/JA/12/2010 tentang Penge

ndalian Rencana Tuntutan Pidana Perkara

Penting Tindak Pidana Umum. Kedua Surat edaran tersebut pada intinya
10

E Sasrodanukusumo,

Tuntutan Pidana . Jakarta: Siliwangi, Jakarta, 1998, h

al. 236.

14

adalah sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan pelayanan bagi pencari keadilan untuk mempercepat proses penyelesaian perkara pidana. Kemudian untuk menindaklanjuti Surat Jaksa Agung R.I Nomor : SE010/A/JA/12/2010 tanggal 23 Desember 2010 tersebut, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum mengeluarkan petunjuk kepada seluruh Kepala Kejaksaan Tinggi di seluruh Indonesia dan Kajati meneruskan kepada Kajari dan Kacabjari di daerah hukumnya, sebagaimana Petunjuk JAM PIDUM tersebut dengan surat Nomor : R-78/E/Ep.2/01/2011, tanggal 27 Januari 2011 tentang Tolok Ukur tuntutan pidana perkarar narkotika, dengan tujuan untuk menghindari terjadinya disparitas tuntutan, khususnya dalam perkara narkotika. Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis tertarik untuk membahas kewenangan pembuatan rencana tuntutan oleh Kejaksaan RI terhadap suatu perkara pidana sebagai suatu karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul Rencana Tuntutan Dalam Penyelesaian Perkara Pidana B. Identifikasi Masalah Dalam penulisan penelitian tesis ini pemasalahan yang akan diteliti dan dibahas adalah: 1. Apakah pelaksanaan sistem penuntutan dalam penyelesaian perkara pidana telah berjalan sebagaimana mestinya ? 2. Apa kah faktor penyebab terjadinya hambatan dalam penyusunan rencana tuntutan dalam penyelesaian perkara pidana ? .

15

3. Apa kah upaya yang dilakukan dalam mengatasi hambatan rencana tuntutan dalam penyelesaian perkara pidana ? C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian Berdasarkan dari rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan menjelaskan pelaksanaan sistem penuntutan dalam penyelesaian perkara pidana telah berjalan sebagaimana mestinya. 2. Untuk mengetahui dan menjelaskan faktor penyebab terjadinya dalam penyelesaian

hambatan dalam penyusunan rencana tuntutan perkara pidana.

3. Untuk mengetahui dan menjelaskan upaya yang dilakukan dalam mengatasi hambatan rencana tuntutan pidana . Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dan memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu : 1. Secara Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan hukum secara akademis khususnya guna menambah khazanah bacaan bagi perpustakaan hukum mengenai sistematika peradilan pidana khususnya tentang penyusunan rencana tuntutan dalam penyelesaian perkara pidana pada Pengadilan Negeri oleh lembaga Kejaksaan RI. dalam penyelesaian perkara

16

2. Secara Praktis Secara praktis penelitian ini ditujukan untuk memberi pemahaman pada praktisi hukum, termasuk pula dalam hal ini para pihak dan instansi terkait sistematika peradilan pidana khususnya tentang penyusunan rencana tuntutan dalam penyelesaian perkara pidana pada Pengadilan Negeri oleh lembaga Kejaksaan RI merupakan masukan bagi peningkatan kinerja . Di samping instansi/institusi dapat

Kejaksaan RI.

D. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran hasil-hasil penelitian yang ada di lingkungan Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Syiah Kuala, penelitian mengenai Perkara Pidana , Rencana Tuntutan Dalam Penyelesaian

ini belum pernah dilakukan dalam topik dan

permasalahan-permasalahan yang sama. Dengan demikian penelitian ini merupakan penelitian yang baru dan asli sesuai dengan asas-asas

keilmuan, yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka untuk kritikan-kritikan yang sifatnya membangun sehubungan dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini.

17

E. Kerangka Pikir Kerangka pikir yang dimaksud dalam penulisan ini adalah pemikiran teoritis yang digunakan dalam menganalisis permasalahan dalam penlitian ini. Kerangka pemikiran menurut Didi Atmadilaga yaitu merupakan hal yang esensial pada kegiatan penelitian yang memberikan landasan argumentasi dan dukungan dasar teoritis (konsepsional) dalam rangka pendekatan pemecahan masalah yang dihadapi atau yang menjadi objek penelitian. Apabila dikaitkan dengan identifikasi masalah yang diteliti dalam penelitian tesis ini, maka penelitian ini menggunakan teori kewenangan dan teori kepastian hukum yang dikaitkan dengan Azas peradilan. Dalam ilmu hukum sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang. Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah and the ruled .11 Kekuasaan yang berkaitan dengan hukum oleh Weber disebut sebagai wewenang rasional atau legal, yakni wewenang yang berdasarkan suatu sistem hukum ini dipahami sebagai suatu kaidah(the rule Max

Miriam Budiardjo, 1999, hal 35-36 .

11

Dasar-Dasar Ilmu Politik

, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

18

kaidah yang telah diakui serta dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan yang diperkuat oleh Negara.
12

Dalam hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan. Kekuasaan memiliki makna yang sama dengan wewenang karena kekuasaan yang dimiliki oleh Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif adalah kekuasaan formal. Kekuasaan merupakan unsur esensial dari suatu Negara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di samping unsur-unsur lainnya, yaitu: a) hukum; b) kewenangan (wewenang); c) keadilan; d) kejujuran; e) kebijakbestarian; dan f) kebajikan. Jadi kewenangan yang dimaksud
14

13

adalah hal ini adalah kewenangan

untuk mewujudkan tujuan hukum yang pada hakikatnya adalah sesuatu yang abstrak, tetapi dalam manifestasinya dapat berwujud konkrit. Suatu ketentuan hukum baru dapat di nilai baik jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan.
15

Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah: mewujudkan keadilan ( rechtsgerechtigheid ), kemanfaatan ( rechtsutiliteit ) dan kepastian hukum ( rechtszekerheid ). 16 Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith (1723-1790), Guru Besar dalam bidang filosofi moral dan sebagai
A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 1990, h al. 52. 13 Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang , Makalah, Universitas Airlangga, Surabaya, tanpa tahun, h al. 1. 14 Rusadi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan , Makalah, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1998, h al. 37-38. 15 Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem , Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, h al. 79. 16 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Gunung Agung, Jakarta, 2002, h al. 85.
12

19

ahli teori hukum dari Glasgow University pada tahun 1750, melahirkan ajaran mengenai keadilan (

17

telah

justice) . Smith mengatakan bahwa: the end of

tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari kerugian ( justice is to secure from injury ). 18

Pengertian kewenangan sebagaimana tersebut di atas, menjelaskan bahwa kewenangan (authority) memiliki pengertian yang berbeda dengan

wewenang (competence) . Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang berasal dari undang-undang, sedangkan wewenang adalah suatu spesifikasi dari kewenangan, artinya barang siapa (subyek hukum) yang diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka ia berwenang untuk melakukan sesuatu yang tersebut dalam kewenangan itu. Apabila ditelaah secara umum fungsi hukum acara pidana adalah untuk membatasi kekuasaan negara dalam bertindak serta melaksanakan hukum pidana materiil. Ketentuan-ketentuan dalam Hukum Acara Pidana dimaksudkan untuk melindungi para tersangka dan terdakwa dari tindakan yang sewenang-wenang aparat penegak hukum dan pengadilan.
19

Pada sisi

lain, hukum juga memberikan kewenangan tertentu kepada negara melalui aparat penegak hukumnya untuk melakukan tindakan yang dapat mengurangi hak asasi warganya. Hukum acara pidana juga merupakan sumber kewenangan bagi aparat penegak hukum dan hakim serta pihak
Bismar Nasution, Mengkaji Ulang sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi , Pidato pada Pengukuhan sebagai Guru Besar, USU Medan, 17 April 2004, hlm. 4-5. Sebagaimana dikutip dari Neil Mac Cormick, Adam Smith On Law , Valvaraiso University Law Review, Vol. 15, 1981, h al. 244. 18 Ibid , sebagaimana dikutip dari R. L. Meek, D.D. Raphael dan P.G. Stein, e.d, Lecture of Jurisprudence, Indianapolis, Liberty Fund , 1982, h al. 9. 19 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum , Universitas Indonesia, Jakarta, 1995, h al. 25.
17

20

lain yang terlibat (penasehat hukum). Permasalah yang muncul adalah penggunaan kewenangan yang tidak benar atau terlalu jauh oleh aparat penegak hukum. Kewenangan tersebut antara lain dikenal dengan tindakan Upaya Paksa dari penegak hukum, yang dalam hal ini melanggar HAM tersangka/terdakwa, dilakukan dengan kekerasan ( penyiksaan ( torture ). 20 violence ) dan

Penyalahgunaan kewenangan dalam sistem

peradilan pidana yang berdampak pada terampasnya hak-hak asasi warga negara merupakan bentuk kegagalan negara dalam mewujudkan negara hukum. Pelaksanaan kewenangan ini pada dasarnya memberikan keadilan dan kepastian hukum. Dalam hal ini mengatakan bahwa : bertujuan untuk O.C Kaligis ,

Hak Asasi Manusia (HAM) dan perlindungannya yang dijalankan melalui suatu mekanisme hukum merupakan refleksi dari konsep negara hukum. Setiap negara huk um memiliki kewajiban untuk menj amin dan menghormati HAM, melindungi serta menega kkannya. Mekanisme negara hukum telah mengakui bahwa sejak lahir manusia 21 membawa hak-hak yang melekat dalam dirinya sebagai manusia. Sistem peradilan pidana ini dijalankan dengan berlandaskan asas asas hukum ya itu aturan dasar dan prinsip-prinsip hukum yang abstrak dan pada umumnya melatarbelakangi peraturan konkr et dan pelaksanaan

hukum. Dalam bahasa Inggris, kata asas diformatkan sebagai principle , Ada tiga pengertian kata asas:1) hukum dasar, 2) dasar

Mien Rukmini, Perlindungan HAM melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaam Kedudukan dalam Hukum , Alumni, Bandung, 2003, h al. 6. 21 O.C. Kaligis. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, Alumni, Bandung, 2006, h al.12 .

20

21

sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat, dan 3) dasar citacita. Peraturan konkret (seperti undang-undang) tidak boleh bertentangan dengan asas hukum, demikian pula dalam putusan hakim, pelaksanaan hukum, dan sistem hukum.
22

Salah satu asas hukum pidana Indonesia adalah asas

yang berlaku dalam sistem peradilan the right due process of law , yaitu bahwa

setiap penegakan dan penerapan hukum pidana harus sesuai dengan persyaratan konstitusional serta harus menaati hukum oleh karena itu prinsip due process of law tidak membolehkan pelanggaran terhadap suatu bagian ketentuan hukum dengan dalih guna menegakkan bagian hukum yang lain. Artinya menekankan harus ada keseimbangan dalam penegakan hukum, yaitu antara penegakan hukum dan perlindungan hak-hak asasi seorang yang diduga pelaku tindak pidana (tersangka). Pelanggaran-pelanggaran hak asasi tersangka oleh aparat penegak hukum selanjutnya akan menimbulkan dalam menegakan keadilan) miscarriage of justice (kegagalan

. Dimana penegak hukum yang mempunyai

kuasa dan wewenang untuk mengupayakan tercapainya keadilan, ternyata menggunakan kuasa dan wewenang yang ada padanya justru untuk memberikan ketidak adilan.
23

Bagi integritas moral proses pidana

(moral

integrity of the criminal proses) keadilan (miscarriage of justice)

sendiri, kegagalan dalam menegakan ini akan berakibat fatal, yaitu dapat

merusak kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum.


22 23

Marwan Mas. Pengantar Ilmu Hukum . Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, h Ibid , hal.12 .

al. 95.

22

Selain itu, dalam proses peradilan pidana juga asas justitie , yaitu merupakan

contante

asas peradilan cepat, sederhana dan biaya

ringan . Asas tersebut yang dianut dalam KUHAP sebenarnya merupakan penjabaran Undang-Undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan Hakim), merupakan bagian hak-hak asasi manusia. Begitu pula peradilan bebas, jujur dan tidak memihak yang ditonjolkan dalam Undang-Undang tersebut.
24

Apabila ditelaah dalam ketentuan KUHAP Indonesia beberapa asas peradilan yang pokok, yaitu : 1. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka

diketahui ada

hukum dengan tidak

mengadakan pembedaan perlakuan (asas persamaan di muka hukum). 2. Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya

dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang ( berwenang ). 3. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap (asas praduga tak bersalah presumption of innocent ). = asas perintah tertulis dari yang

24

Andi Hamzah.. Hukum Acara Pidana Indonesia

. Sinar Grafika, Jakarta, 2006, ha

l.11.

23

4. Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi (asas pemberian ganti rugi dan rehabilitasi atas salah tangkap, salah tahan, dan salah tuntut). 5. Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsek wen dalam seluruh tingkat peradilan (asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, bebas, jujur dan tidak memihak). 6. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya (asas memperoleh bantuan hukum seluas-luasnya). 7. Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum (asas wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum dakwaan). 8. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa (asas hadirnya terdakwa).

24

9. Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam undang-undang, misalnya pemeriksaan terhadap kejahatan kesusilaan pengadilan anak-anak, yang menurut sifatnya perlu dilakukan dalam sid ang tertutup, keputusannya harus

dilakukan secara terbuka. (asas pemeriksaan dimuka umum). 10. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang pengawasan pelaksanaan putusan). Undang-Undang Dasar 1945 menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut, maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum ( equality before the bersangkutan (asas

law). Oleh karena itu, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (penjelasan atas Undang-Undang RI No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI). Negara hukum tidak dapat di wujudkan apabila kekuasaan negara

masih bersifat absolut atau tidak terbatas, karena pada paham negara hukum terdapat keyakinan bahwa kekuasaan negara harus di jalankan atas dasar hukum yang baik dan adil.
25

Jadi pada negara hukum dapat dipahami,

bahwa hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah tidak berdasarkan kekuasaan belaka, melainkan berdasarkan suatu norma
Franz Magnis Suseno, Etika Politik (Pinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaran Modern ), PT Gramedia, Jakarta, 2003, h al. 295.
25

25

obyektif yang mengikat pihak yang memerintah. Adapun yang dimaksud dengan norma obyektif adalah hukum yang tidak hanya berlaku secara formal tetapi juga dipertahankan ketika berhadapan dengan idea hukum. 26 Sebagai negara hukum, suatu negara harus memiliki ciri negara hukum. Salah satu ciri negara hukum adanya pemisahan kekuasaan negara (separation of powers ). Sebagaimana diketahui bahwa kekuasaan cenderung untuk disalahgunakan, oleh karenanya perlu adanya suatu intitusi hukum yang membatasinya dan mengontrolnya. Institusi hukum tersebut yakni konstitusi.
27

Menurut Arsitoteles yang dikutip Azhary, mengatakan bahwa : Suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Ia mengatakan: aturan yang konstitusional dalam negara berkaitan erat, juga dengan pertanyaan kembali apakah lebih baik diatur oleh manusia atau hukum terbaik, selama suatu pemerintahan menurut hukum, oleh sebab itu supremasi hukum diterima oleh Aristoteles sebagai tanda negara yang baik dan bukan semata-mata sebagai keperluan yang tidak layak. Pendapat tersebut juga dibenarkan oleh Bangir Manan karena konstitusi secara ensensi mengandung makna pembatasan kekuasaan pemerintah dan perlindungan hak-hak rakyat dari tindakan sewenangwenang pemerintah.
29

28

Ibid. Azhary, Negara Hukum Indonesia (Analitis Yuridis Normatif Tentang UnsurUnsurnya), UI-Press, Jakarta, 1995, h al. 20 . 28 Ibid ., h al. 20 . 29 Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan , PSH FH UII, Yogyakarta,1999, h al. 13 .
27

26

26

Hakikat pengertian konstitusi tersebut jika dikaitkan dengan pengertian pemerintah dalam arti luas (l egislative, excecutive dan

yudikative ) adalah sebagai sarana pemisahan dan pembagian kekuasaan. Artinya konstitusi mengatur pemisahan kekuasaan dan pembagian kekuasaan antara cabang-cabang kekuasaan pemerintah. Sebagaimana diketahui, pemisahan dan pembagian kekuasaan bertujuan untuk mencegah pemusatan kekuasaan dalam satu tangan. Pemisahan dan pembagian ini ditujukan untuk menciptakan suatu keseimbangan kekuasaan yang menjamin agar fungsi-fungsi itu dijalankan secara optimal, dan sekaligus mencegah kekuasaan esekutif mengambil ahli fungsi-fungsi kekuasaan lain.
30

Selain itu, menurut M. Elizabeth

Magill pemisahan kekuasaan dalam ketentuan konstitusi dapat dipahami sebagai suatu cara untuk mengontrol kekuasaan negara dengan memisahkannya kedalam tiga kekuasaan yang berbeda, dan memberikan jaminan terhadap pemisahan tersebut.
31

Demikian juga halnya untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini kaedah positif terimplikasi kepada : bahwa dalam negara

manapun semuanya mengakui adanya suatu asas persamaan dalam hukum di depan hukum atau rule of law meliputi : 1. Supremacy of law
30 31

equality before the law,

seperti asas hukum

yang dipakai dalam Negara

anglo saxon bahwa rule of law

(supremasi hukum)
Op. Cit ., hal.301 .

Franz Magnis Suseno, Ibid .

27

2. Equality before the law

(persamaan kedudukan dalam hukum) (Pengakuan Hak Asasi Manusia) .32

3.Constitrution based on human right

Secara teoritis, Presiden atau pemerintah memiliki dua kedudukan yaitu sebagai salah satu organ negara dan sebagai administrasi negara. Sebagai organ negara, pemerintah bertindak untuk dan atas nama negara. Sedangkan sebagai administrasi negara, pemerintah dapat bertindak baik dalam lapangan pengaturan ( regelen ) maupun dalam lapangan pelayanan

(besturen ). Penyelenggaraan pemerintah yang dimaksudkan dalam tesis ini adalah penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah sebagai administrasi negara. Bukan sebagai organ negara.
33

Di dalam negara hukum, setiap aspek tindakan pemerintah baik dalam lapangan pengaturan maupun dalam lapangan pelayanan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau berdasarkan legalitas. Artinya pemerintah tidak dapat melakukan tindakan pemerintahan tanpa dasar kewenangan, ketentuan bahwa setiap tindakan pemerintah ini harus didasarkan pada asas legalitas, tidak sepenuhnya dapat diterapkan ketika suatu negara menganut konsepsi Dalam konsepsi walfare state. welfare state. Seperti halnya Indonesia. Tugas utama pemerintah adalah
34

memberikan pelayanan terhadap masyarakat.

Pemikiran tentang teori kekuasaan negara sebagaimana dijelaskan di atas, baik dalam konsep pemisahan kekuasaan maupun pembagian kekuasaan tidak memberikan penjelasan dimana kedudukan Kejaksaan RI.
32 33

Miriam Budiarjo ,Op.Cit, hal.25 . Ibid . 34 Prajudi, Hukum Administrasi Negara

, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, h

al.27.

28

(lembaga pelaksana kekuasaan penuntutan). Jaksa memahami bahwa sebagai kuasa hukum ( legal representative ) dari Kepolisian RI. dan

untuk menjelaskan pendapat-pendapat pihak kepolisian dihadapan pengadilan atau Jaksa dapat pula mengambil peran sebagai konsultan hukum ( Domestik legar adviser ) yang memberikan nasehat hukum kepada polisi bagaimana melaksanakan prosedur-prosedur hukum. Di lain sisi, Jaksa menganggap dirinya sebagai pihak yang utama dalam mewakili pengadilan dalam melaksanakan kewajibannya untuk menerapkan peraturan-peraturan hukum. Oleh karena itu, dalam konsepsi walfare state , tindakan pemerintah

tidak selalu harus berdasarkan asas legalitas. Dalam hal-hal tertentu pemerintah dapat melakukan tindakan secara bebas yang didasarkan pada Freies Ermessen, yakni kewenangan untuk turut campur dalam kegiatan

sosial guna melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan kepentingan umum. 35 Apabila dikaitkan dengan objek penulisan dalam hal ini mengenai penyusunan rencana penuntutan dalam penyelesai an suatu tindak pidana

merupakan bagian dari upaya penegakan hukum yang melibatkan para aparat penegak hukum. Peranan penegak hukum dalam arti fungsi dan maknanya merupakan bagian dari konsep struktur hukum. Ada 4 (empat) fungsi sistem hukum menurut Friedman, yaitu: 1. Fungsi kontrol sosial ( social control ). Menurut Donald Black bahwa semua hukum adalah berfungsi sebagai kontrol sosial dari pemerintah.
35

Ibid .

29

2. Berfungsi sebagai cara penyelesaian sengketa ( dispute stlement ) dan konflik ( conflict ). Penyelesaian sengketa ini biasanya untuk penyelesaian yang sifatnya berbentuk pertentangan lokal berskala kecil ( micro ). Sebaliknya pertentangan-pertentangan yang bersifat makro dinamakan konflik. 3. Fungsi retribusi atau fungsi rekayasa sosial ( retribution function and social engineering function ). Fungsi ini mengarahkan pada penggunaan hukum untuk mengadakan perubahan sosial yang berencana yang ditentukan oleh pemerintah. 4. Fungsi pemeliharaan sosial ( social maintenance function ). Fungsi ini berguna untuk menegakkan struktur hukum agar tetap berjalan sesuai dengan aturan mainnya ( rule of the game ). 36 Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa fungsi penegakan hukum adalah untuk mengaktualisasikan aturan-aturan hukum agar sesuai dengan yang dicita-citakan oleh hukum itu sendiri, yakni mewujudkan sikap atau tingkah laku manusia sesuai dengan bingkai (frame-work ) yang ditetapkan oleh suatu Undang-undang atau hukum. Dalam upaya penegakan hukum ini diperlukan adanya suatu Sistem Peradilan Pidana (SPP) pada hakikatnya identik dengan Sistem Penegakan Hukum Pidana (SPHP). Sistem Penegakan Hukum Pidana pada dasarnya merupakan sistem kekuasaan/kewenangan menegakkan hukum. Kekuasaan/kewenangan menegakan hukum ini dapat diidentikkan pula dengan istilah Kekuasaan kehakiman.
38 37

Bertolak dari pemikiran tersebut, maka kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana terdiri dari: a. Kekuasaan Penyidikan (Badan Penyidikan)
Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum Radjagrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 69-70 . 37 Ibid . 38 Barda Nawawi Arif, Peranan Jaksa Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu http://fitrohlaw.blogspot.com/html , Diakses Maret 2011.
36

, ,

30

b. Kekuasa n Penuntutan (Badan Penuntutan) c. Kekuasan Me ngadili (Badan Pengadilan), dan d. Kekuasaan Pelaksana pidana (Badan Eksekusi) .39

Keempat kekuasaan tersebut adalah merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral atau sering dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana Terpadu ( system ). Mahmud integrated criminal justice criminal

Mulyadi mengatakan bahwa dalam teori

justice system mempunyai tiga titik perhatian, yaitu hukum pidana secara mater il ( criminal law ), hukum pidana formil ( procedure ), hukum pelaksanaan pidana ( the law of criminal ).

the enforcement of criminal law

Semua ini ditujukan sebagai usaha untuk memberikan perlakuan yang adil kepada semua orang yang dituduh telah melakukan kejahatan. Sistem peradilan pidana (criminal justice system)
40

merupakan suatu

sistem yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan yang bertujuan untuk melindungi dan menjaga ketertiban masyarakat, mengendalikan kejahatan, melakukan penangkapan dan penahanan terhadap pelaku kejahatan, memberikan batasan bersalah atau tidaknya seseorang, memidana pelaku yang bersalah dan melalui kompenen sistem secara keseluruhan dapat memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak terdakwa. Sistem peradilan pidana ( criminal justice system ) di Indonesia

dapat dilihat dari berbagai mekanisme dan sistem sebagaimana diatur


Ibid . Mahmud Mulyadi, Sistem Peradilan Pidana , Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum USU, Medan, 2004, h al . 41 .
40
39

31

dalam Undang -Undang RI. Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana. Kelembagaan yang termasuk dalam sistem tersebut adalah: Pertama, Penyelidik dan penyidik (Kepolisian RI), sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang R .I Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian R selaku Pengemban Fungsi Kepolisian, dibantu oleh Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. Kedua , Penuntut adalah Kejaksaan sebagaimana tertuang dalam UndangUndang R .I Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R .I, diberikan .I,

wewenang tambahan melakukan penyidikan atas tindak pidana khusus seperti tindak pidana korupsi. Ketiga, Pengadilan yang menurut Undang-

Undang tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Hakim, menjadi lembaga yudikatif, terpisah dari lembaga eksekutif, dibantu oleh Panitera dan Staf, yang berstatus Pegawai Negeri Sipil. Keempat, Penahanan (Lembaga

Pemasyarakatan), mengelola Lembaga Pemasyarakatan dalam rangka pemidanaan dan pengelola Rumah Tahanan (Rutan) dan Rumah Penitipan Barang Sitaan (Rupbasan). Keempat institusi ini merupakan jalinan yang harus bekerja dalam sistem guna mewujudkan tujuan pembangunan bidang hukum acara pidana agar mayarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya serta tercapai dan ditingkatkannya pembinaan setiap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing. Kemudian, guna mantapnya hukum, keadilan dan perlindungan yang merupakan pengayoman terhadap keluhuran harkat dan martabat manusia, ketertiban dan kepastian hukum,

32

maka keempat institusi tersebut harus seiring sejalan dalam proses penegakan hukum. Namun dalam pelaksanaan tak jarang ditemui berbagai Criminal

penyimpangan terhadap sistem yang selama ini diatur Undang. Justice System

adalah masalah Pelayanan Publik oleh Pemerintah dan privacy

dituntut kesadaran untuk penghormatan terhadap hak-hak asasi dan

warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk memperluas cakupan penanganan Criminal

justice System seyogyanya, sementara belum ada pengganti acuannya maka dipergunakan terlebih dahulu KUHP yang ada. Akan tetapi dalam pengaturan sesuatu obyek dapat saja telah ada sistem hukum yang menatanya, namun situasi di lapangan terutama pada lapisan masyarakat selalu berada pada jalinan hubungan-hubungan yang dapat diprediksi dan tidak sistematis, masyarakat dengan keinginan dan kebutuhannya terus-menerus bergerak secara dinamis. Hal demikian terjadi karena dalam masyarakat banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, misalnya kekuatan-kekuatan (kekuasaan) dan saling tarik-menarik dan berbenturan di dalamnya dan menimbulkan ketidakteraturan, dengan kata lain hukum dan masyarakat bukan sebagai sesuatu yang sistematis, tetapi penuh dengan ketidak ketidakteraturan hukum ( oleh Charles Sampford.
41

teraturan, inilah yang disebut dengan teori Theories of legal disorder ) yang dikembangkan

41

HR. Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Rafika Aditama, Bandung , 2005, h al. 105-108.

33

Namun seharusnya peranan hukum dapat menjamin adanya suatu keteraturan terutama dalam kondisi masyarakat yang sedang membangun, karena keteraturan tersebut merupakan salah satu tujuan dari masyarakat yang sedang membangun, maka hukum menjadi suatu alat yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan.
42

Bagian landasan konsepsional ini, akan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang akan digunakan oleh penulis. Konsep dasar yang akan digunakan dalam tesis ini antara lain: 1. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara

pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputuskan oleh hakim disidang pengadilan ; 2. Rencana Tuntutan adalah Persiapan Jaksa Penuntut Umum untuk membuat tuntutan atas perkara pidana yang sedang disidangkan di Pengadilan Negeri ; 3. Perkara Pidana adalah perkara yang terjadi akibat adanya pelanggaran atau tindakan yang melanggar ketentuan hukum pidana ;

4. Penyelesaian Perkara Pidana adalah prosedur penyelesaian suatu perkara pidana mulai dari penanganan perkara pidana dari pihak kepolisian, kejaksaan, pengadilan sampai pada pembinaan narapidana oleh pihak lembaga pemasyarakatan ;

Mochtar Kusumaatmaja , Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional , Bina Cipta, Bandung 1986, h al. 3.

42

34

5. Pengadilan Negeri Banda Aceh adalah lembaga yang berwenang menjalankan proses peradilan dalam wilayah dan daerah hukum Kota Banda Aceh ; 6. Kejaksaan R.I adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan ; 7. Kejaksaan Negeri Banda Aceh adalah lembaga yang melaksanakan kekuasaan negara khususnya dalam bidang penuntutan dengan daerah hukumnya Kota Banda Aceh F. Metode Penelitian 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif , dimana fakta-fakta keadaan .

prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan

subjek/objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya, yang bertujuan untuk mengangkat fakta-fakta, keadaan, variable, dan fenomena-fenomena yang terjadi ketika penelitian berlangsung dan menyajikan apa adanya baik berupa aspekaspek serta upaya hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan penyusunan rencana tuntutan oleh jaksa dalam penyelesaian perkara pidana di Pengadilan Negeri. Dari segi
43

Pendekatan ,

penelitian

ini

mempergunakan

pendekatan yuridis normatif


43

untuk mengkaji peraturan-peraturan dan

Lexy J. Moleong, Tipe Penelitian Deskriptif Kualitatif, Buku Metodologi Penelitian, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, 1998, h al. 3 dan 6.

35

dokumen-dokumen yang berhubungan dengan yang diberikan

tugas atau kewenangan

penyusunan rencana tuntutan oleh jaksa dalam

penyelesaian perkara pidana di Pengadilan Negeri. Penelitian kualitatif juga dimaknai sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati.
44

Menurut Lexy J. Moleong penelitian kualitatif

bercirikan latar alamiah, manusia sebagai alat(instrument), metode kualitatif, analisis data secara induktif, teori dari dasar, deskriptif, lebih mementingkan proses dari pada hasil, adanya batas yang ditentukan oleh fokus, adanya kriteria khusus untuk keabsahan data, desain bersifat sementara, hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama. 2. Objek Dan Lokasi Penelitian Objek penelitian adalah pelaksanaan penyusunan rencana tuntutan oleh pihak Kejaksaan dalam penyelesaian perkara pidana Kejaksaan Negeri yang berkedudukan di ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota kekuasaan negara khususnya di bidang penuntutan merupakan di
45

. Adapun Kejaksaan

Negeri yang dijadikan objek penelitian adalah Kejaksaan Negeri Banda Aceh yang wilayah kerjanya di Kota Banda Aceh. Lokasi penelitian adalah di Kota Banda Aceh, yaitu pada Kejaksaan Negeri Banda Aceh yang wilayah kerjanya di Kota Banda Aceh. Kejaksaan Negeri Banda Aceh dan Pengadilan Negeri Banda
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, 2006, h al. 4. 45 Ibid, hal.11-13.
44

PT. Remaja Rosda Karya, Bandung,

36

Aceh dipilih dengan alasan dalam penyusunan rencana tuntutan perkara pidana masih ditemukan adanya hambatan sehingga menghambat proses penuntutan perkara pidana di Pengadilan Negeri Banda Aceh. 3. Sumber Data Bahwa karena penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif, maka sumber data dalam utama adalah sumber tertulis dalam bentuk sebagai berikut: a. Bahan hukum primer , yaitu merupakan bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah maupun pengertian baru tentang fakta yang diketahui mengenai suatu gagasan (ide), seperti : peraturan perundang-undangan yang terkait langsung dengan objek penelitian. b. Bahan hukum sekunder , yaitu merupakan bahan pustaka yang

meliputi buku-buku hasil karya para sarjana, hasil penelitian dan penemuan ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. c. Bahan hukum tersier , yaitu bahan hukum yang berfungsi

memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berupa bahan pustaka seperti kamus hukum dan kamus lainnya yang menyangkut penelitian ini. 4. Teknik dan Alat Pengumpulan Data Teknik yang digunakan untuk memperoleh data dalam

penelitian ini adalah dokumentasi atau riset kepustakaan (telaah pustaka). Dalam kaitannya dengan teknik ini, maka fokus riset

37

dilakukan terhadap tiga jenis sumber data yaitu bahan hukum primair, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier. Di samping melakukan pengumpulan bahan hukum, juga dikumpulkan data primer yang dilakukan dengan wawancara. Wawancara dilakukan terhadap para pihak yang berkaitan dengan penyusunan rencana tuntutan oleh jaksa (penuntut umum) dalam

penyelesaian perkara pidana di Pengadilan Negeri sebagai narasumber yang terdiri dari Informan. Penentuan informan ini dilakukan terhadap para pihak yang menangani perkara pidana di Pengadilan Negeri Banda Aceh, dimana penelitian ini didasarkan pada tujuan tertentu karena keterbatasan waktu, tenaga dan biaya.

Informan
a. Kepala Kejaksaan Negeri Banda Aceh. b. Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Banda Aceh terdiri 3

orang.
c. Penyidik pada Seksi Tindak Pidana Umum

pada Keja ksaan Negeri

Banda Aceh terdiri 2 orang.


d. Hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh terdiri 2 orang. e. Jaksa pada Pemeriksa Pengawasan Keja

ksaan Tinggi Aceh terdiri 1

orang.

38

f. Terdakwa yang terlibat dalam tindak pidana yang terdiri 2 orang. g. Staf LBH Banda Aceh 1 orang. h. Tokoh Masyarakat.

Karena informan tersebut merupakan para pihak yang menangani perkara dan yang berpekara serta pemerhati hukum yang berlaku, maka wawancara dilakukan secara semistruktur. Dalam hal ini peneliti memberi pertanyaan baik berupa pada saat pemeriksaan saksi ketika penuntut umum yakin dengan 2 (dua) alat bukti yang mendukungnya maupun pada tahap tuntutan pidana, penuntut umum saksi-

sering kali memohon kepada majelis hakim untuk menunda persidangan dengan alasan tuntutan belum selesai, padahal dalam penyelesaian perkara pidana peradilan kita menganut azas cepat, singkat dan biaya ringan sehingga para terdakwa memperoleh kepastian hukum bagi dirinya. 6. Analisis Data Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaedah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum tersebut. Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan perundang-undangan dianalisis berdasarkan metode kua litatif, yaitu dengan melakukan:
4646

46

Soerjono Soekanto,

Pengantar Penelitian Hukum,

Grafindo, Jakarta, 2006,

hal. 225 .

39

a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut ;

b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau berkaitan. Kategori-kategori dalam penelitian ini adalah terhadap penyusunan rencana penuntutan ;

c. Menemukan hubungan di antara pelbagai kategori atau peraturan kemudian diolah ; d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan di antara pelbagai kategori atau peraturan perundang-undangan, kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan atas permasalahan .47

Keseluruhan data diorganisasikan dan diurutkan ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hasil seperti yang disarankan oleh data yang dianalisa secara kualitatif.
48

G. Sistematika Penulisan Guna mempermudah dalam pemahaman terhadap permasalahan yang dibahas dalam tesis ini, maka pembahasan dan penulisannya dibagi dalam 4 bab, yaitu :

Ibid. , hal. 226 . Lexy J. Moleong, Bandung, 2002, h al.103 .


4848

4747

Metodologi Penelitian Kualitatif

Remaja Rosdakarya,

40

Bab I merupakan Bab menguraikan Latar Belakang

Pendahuluan yang di dalamnya Dan

Masalah, Identifikasi Masalah, Tujuan

Kegunaan Penelitian, Keaslian Penelitian, Kerangka Pikir, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. Bab II adalah bab yang berisi Landasan Teoritis yang berjudul Kewenangan Kejaksaan R.I Dalam Kaitannya Dengan Sistem Peradilan Pidana . Di dalam bab ini diuraikan tentang Dalam Sistem Peradilan Pidana Kewenangan Kejaksaan R.I (SPP) dan

, Sistem Peradilan Pidana

Tahapan Pemeriksaan Perkara Pidana

Di Indonesia, Azas Contante Justitie

Merupakan Azas Peradilan Cepat, Sederhana, Dan Biaya Ringan, Pada Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia .

BAB III adalah hasil penelitian mengenai Gambaran Umum Lembaga Kejaksaan Republik Indonesia. Di dalam bab ini dibahas tentang Sejarah Perkembangan Lembaga Kejaksaan Di Indonesia, Peranan Kejaksaan R.I di Indonesia , Tugas Dan Wewenang Kejaksaan Lembaga Penuntut an Dalam Proses Peradilan Pidana Lembaga Kejaksaan R.I . Bab IV adalah bab hasil penelitian yang merupakan jawaban dari pokok permasalahan yang diteliti, yang berjudul Rencana Tuntutan dalam Penyelesaian Perkara Pidana Pada Pengadilan Negeri. Di dalam bab hasil penelitian ini dibahas tentang Pelaksanaan Sistem Penuntutan Penyelesaian Perkara Pidana, Hambatan yang Dihadapi Dalam Dalam R.I sebagai

serta Pengawasan

Penyusunan Rencana Tuntutan Dalam Penyelesaian Perkara Pidana dan

41

Upaya yang Dilakukan Dalam Mengatasi Hambatan Rencana Tuntutan Dalam Penyelesaian Perkara Pidana. Bab V adalah Bab Penutup yang menguraikan tentang Kesimpulan dari hasil penelitian yang kemudian juga disertai dengan beberapa Saran.

BAB II LANDASAN TEORITIS KEWENANGAN KEJAKSAAN R.I DALAM KAITANNYA DENGAN SISTEM PERADILAN PIDANA

A. Kewenangan Kejaksaan R.I Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana, dan pelaku dapat dikatakan subyek tindak pidana. Terjadinya tindak pidana adalah karena adanya perilaku atau

perbuatan manusia yang melanggar ketertiban umum terhadap aturan hukum dan perbuatan itu akan menimbulkan ketidaktenteraman dalam masyarakat. Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu stafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tetapi

42

tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan tindak pidana tersebut. Karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu.
49

Moeljatno membedakan antara dua istilah mengenai tindak pidana dan perbuatan jahat, yang dalam hal ini dapat dipidananya perbuatan lain halnya dengan dapat dipidananya orangnya.
50

Pandangan seperti ini disebut opposite dari pandangan

dengan pandangan dualistis yang merupakan monistis, yang melihat

keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu

kesemua merupakan sifat dari perbuatan. Di samping hal-hal di atas, unsurunsur tindak pidana pun di bagi menjadi 2 (dua) golongan. Ada unsur

tindak pidana yang dualistis dan ada yang monistis. Perbuatan pidana ini menurut sifat dan wujudnya adalah bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum. Dalam hal ini juga termasuk dengan tidak melaksanakan ketentuan yang diatur dalam suatu perundang-undangan, seperti halnya tindak pidana makar yang membahayakan kehidupan bernegara dan masyarakat. Tegasnya mereka merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata tertib dalam pergaulan masyarakat yang baik dan adil.
51

49

Adami Chazawi, Hukum Pidana . Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.

hal. 1.

44
50

51

Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana . Rineka Cipta, Jakarta, 1993, h al. 3. Djoko Prakoso, Pembangunan Hukum Pidana Indonesia , Liberty, Yogyakarta, 1998,

hal. 20 .

43

Menurut Simon sebagaimana dikutip oleh Djoko Prakoso : Hukum pidana adalah perintah dan larangan yang diadakan oleh negara dengan suatu nestapa (pidana). Sedangkan hukum pidana menurut Van Hamel adalah semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum, yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar larangan-larangan tersebut. 52 Di dalam hukum pidana terdapat asas legalitas, yaitu apa yang sering disebut dengan azas nullum delictum nulla poena sine praevia lege

poenalle (tidak ada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan undang-undang yang sudah ada sebelumnya). Lebih lanjut Moeljatno berpendapat bahwa untuk perkataan Strafbaarfeit , peristilahan yang paling tepat adalah perbuatan pidana. Pemakaian istilah perbuatan dirasakan sepadan oleh karena dari sana dapat diambil suatu penafsiran, yakni adalah kelakuan dan akibat yang dilarang oleh suatu hukum. Alasan lain adalah bahwa dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjukkan kepada dua keadaan konkrit. Pertama , adanya kejadian yang tertentu, dan
53

Kedua

adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.

Tegasnya menurut Moeljatno, untuk dapat dikatakan adanya suatu perbuatan pidana, maka yang paling penting harus berunsurkan adanya kelakuan dan akibat, adanya kejadian tertentu yang menyertai perbuatan dan adanya si pembuat. Dengan berpedoman pada pendapat Simons dan Van Hamel, Moeljatno akhirnya menegaskan :
Ibid ., hal. 24. Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana 2002, h al. 54.
53

52

, Cetakan Ketujuh, PT Rineka Cipta, Jakarta,

44

1. bahwa feit dalam strafbaarfeit berarti handeling , kelakuan atau tingkah laku ; 2. bahwa pengertian strafbaarfeit itu dihubungkan dengan kesalahan orang yang mengadakan kelakuan tadi.
54

Kata feit diartikan tidak hanya perbuatan atau kelakuan saja tetapi termasuk juga didalamnya adalah akibat. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifat perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman dengan pidana kalau dilanggar. Perbuatan pidana dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana.
55

Pendapat di atas terdapat kelemahan pemakaian istilah perbuatan pidana sebagai padanan kata strafbaarfeit yang diketengahkan. Pemakaian istilah ini, dinilai kurang tepat karena telah menghilangkan salah satu unsur dari strafbaarfeit itu sendiri, yakni adanya pertangungjawaban pidana dari si pembuat atau pelaku. Dengan pemisahan ini maka terlepaslah salah satu elem en dari strafbaarfeit dan bila demikian halnya, padanan kata ini dikesampingkan. Pendapat lain sejalan dengan pengertian istilah strafbaarfeit ini

adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Lamintang yang menyamakan artinya dengan peristiwa pidana sebagai berikut : Secara harafiah perkataan strafbaarfeit itu dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui

54
55

Ibid., hal. 56. Ibid., hal. 56-57.

45

bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai 56 pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan. Dengan pemakaian kata peristiwa pidana, maka hal itu tegas menunjukkan adanya unsur kelakuan dan atau tindakan, berbuat atau lalai berbuat. 57 Tidak hanya perbuatan yang dapat terlihat secara langsung, tetapi juga perbuatan yang tidak secara langsung (seperti : menyuruh, menggerakkan dan membantu) adalah juga dapat dimasukkan sebagai suatu kelakuan. Peristiwa pidana juga mencakup unsur pertanggungjawaban pidana, seperti yang dikemukakan oleh Utrecht, yaitu : apakah seseorang mendapat hukuman bergantung pada dua unsur, yaitu harus ada suatu kelakuan yang bertentangan dengan hukum (unsur obyektif) dan seorang pembuat ( dader ) yang bertanggung jawab atas kelakuan yang bertentangan dengan hukum itu (unsur subjektif).
58

Kejahatan yang semakin meningkat dan sering terjadi dalam masyarakat merupakan hal yang sangat diperhatikan, sehingga

mengundang pemerintah (negara) sebagai pelayan, pelindung masyarakat untuk menanggulangi meluasnya dan bertambahnya kejahatan yang melanggar nilai-nilai maupun norma-norma yang hidup dan berlaku di dalam suatu masyarakat sehingga kejahatan tersebut oleh negara dijadikan sebagai perbuatan pidana untuk tindak pidana.
P. A. F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia , PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, h al. 181. 57 Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum , Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, h al. 338. 58 E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia , Cetakan ke 11, Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1989, h al. 390.
56

46

Hukum

pidana

merupakan

sarana

yang

penting

dalam

penanggulangan kejahatan atau mungkin sebagai obat dalam memberantas kejahatan yang meresahkan dan merugikan masyarakat pada umu mnya dan

korban pada khususnya. Penanggulangan kejahatan tersebut dapat dilakukan secara preventif (pencegahan) dan refresif (penindakan). Bentuk penanggulangan tersebut dengan diterapkannya sanksi terhadap pelaku tindak pidana, sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya. Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang

utama/terbaik dan suatu etika merupakan pengancaman yang utama dari kebebasan manusia.
59

Menurut Moeljatno tindak pidana adalah : Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan dengan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
60

Bahwa yang dilarang itu adalah perbuatan manusia,

yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya. Sedangkan ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya. Antara larangan yang ditujukan pada perbuatan, dengan ancaman pidana ada hubungan yang erat, dan oleh karena itu perbuatan yang berupa kejadian yang ditimbulkan orang yang melanggar larangan, dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula. Untuk
Syafrinadi, Pertanggung Jawaban Pidana Dalam Tindak Pembunuhan, Islam. Vol. VI No. 4. Desember 2006, h al. 1. 60 Moelyatno, Op.Cit ., hal 71.
59

Hukum

47

menyatakan adanya hubungan yang erat itulah, maka lebih tepat digunakan istilah perbuatan pidana. Merupakan pengertian merujuk pada dua keadaan yaitu pertama adanya kejadian tertentu (perbuatan) dan kedua adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu. Lembaga Kejaksaan salah satu unsur sistem peradilan pidana mempunyai tugas dan fungsi di bidang penuntutan. Pengertian penuntutan adalah suatu

tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang, yang dalam hal ini dan cara yang diatur dalam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa oleh Hakim di Pengadilan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka (7) KUHAP dan Pasal 3 UU No. 16 Tahun 2004. Selanjutnya dalam Pasal 2 angka (1) UU No 16 Tahun 2004, disebutkan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam undang-undang ini yang disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Untuk kesempurnaan tugas penuntutan, Jaksa perlu mengetahui sejelas-jelasnya semua pekerjaan yang dilakukan dalam penyidikan perkara pidana dari permulaan sampai akhir, yang seluruhnya dilakukan atas dasar hukum.

48

Tugas dan wewenang Kejaksaan RI, secara normatif, khususnya dalam hal penanganan perkara pidana, dapat dilihat di beberapa pasal dalam ketentuan UU No. 16 Tahun 2004, antara lain ditegaskan dalam Pasal 30 ayat (1) yaitu : a. Melakukan penuntutan; b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Dalam ketentuan di atas, ada hal yang baru diatur dalam UU No. 16 Tahun 2004, yaitu mengenai tugas dan wewenang Kejaksaan dalam melakukan Penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Adapun tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang dimaksud adalah sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 30 ayat 1 huruf d bahwa kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

49

jo Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Demikian pula halnya pada Kejaksaan Negeri Banda Aceh, di mana Jaksa yang ditunjuk sebagai penuntut umum menjalakan tugas layaknya lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang khususnya KUHAP dan KUHAP dan Pasal 3 UU No. 16 Tahun 2004 dan berbagai ketentuan lain yang berkaitan dengan penyidikan dan penuntutan.
61

Demikian pula halnya dalam hal kewenangan kh

usus di bidang

tindak pidana khusus seperti tindak pidana korupsi Jaksa disamping sebagai penuntut dalam sistem peradilan pidana juga dapat berperan sebagai penyidik. D alam tindak pidana khusus dalam hal ini korupsi Jaksa berperan sebagai penyidik dan penuntut umum. Sebagai penyidik maka diperlukan suatu keahlian dan keterampilan yang khusus untuk mencari dan mengumpulkan bukti sehingga dapat diketemukan tersangkanya. Pada dasarnya penyelidikan dan penyidikan setiap tindak pidana merupakan awal dalam penanganan setiap tindak pidana terutama tindak pidana korupsi. 62 Keterangan tersebut di atas menjelaskan bahwa menjelaskan bahwa Tugas dan Wewenangan Kejaksaan termasuk dalam hal ini

Kejaksaan Negeri Banda Aceh tidak hanya sebagai sebagai Lembaga


61 62

Mukhzan, Kasi Pidum Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Wawancara Tanggal 2 Mei 2011 Nilawati, Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Wawancara Tanggal 3 Mei 2011

50

Penuntut dalam Proses Peradilan Pidana tetapi juga dapat berperan dalam penyidik terhadap tindak pidana tertentu. Akan tetapi dalam penulisan ini pembahasan hanya dibatasi pada peran kejaksaan sebagai lembaga penuntut. Dalam menjalankan Kewenangan Kejaksaan juga melalui berbagai

proses mulai dari menerima perkara hasil penyidikan penyidik sampai pada pada pelaksanaan putusan pengadilan. Dalam penyusunan suatu tuntutan jaksa berwenang mengajukan prapenuntutan. Prapenuntutan merupakan

wewenang yang diberikan undang-undang kepada Jaksa Penuntut Umum. Apabila Jaksa Penuntut telah menerima dan memeriksa hasil penyidikan dari Penyidik( Kepolisian /PPNS) berikut bukti-buktinya, dan kemudian berpendapat hasil penyidikan belum lengkap dan sempurna, maka atas dasar itu, Jaksa Penuntut Umum segera mengembalikan berkas dengan disertai petunjuk-petunjuk seperlunya. Misalnya, tambahan dan merinci tindakan tersangka dan mencari bukti lainnya yang akan memperkuat dugaan pelanggaran tersebut dan sebagainya. Dalam kaitan ini, penyidik segera melaksanakan permintaan penuntut umum. Sebaliknya, Jaksa Penuntut Umum berpendapat bahwa

pemeriksaan pendahuluan sudah lengkap, maka Jaksa Penuntut Umum segera membuat surat dakwaan dan melimpahkannya ke Pengadilan. Kemudian Jaksa Penuntut Umum harus memperhatikan dua hal yaitu kepentingan umum dan kepentingan tersangka. Bagi tersangka, Jaksa Penuntut Umum memberikan kesempatan untuk persiapan pembelaan

51

dirinya. Bagi kepentingan umum adalah untuk menghindari sejauh mungkin jalan menghentikan penuntutan demi kepentingan umum.
63

Dalam hal penuntut umum berpendapat ada alasan untuk tidak menuntut, maka harus menetapkan untuk menghentikan penuntutan. Ada dua macam keputusan tidak menuntut yang dibenarkan KUHAP. penghentian penuntutan karena alasan teknis. Kedua, Pertama, Penghentian

penuntutan karena alasan kebijakan. Wewenang tidak menuntut karena alasan teknis ada tiga keadaan yang dapat menyebabkan penuntut umum membuat ketetapan tidak menuntut karena alasan teknis atau ketetapan penghentian penuntutan, yaitu apabila tidak cukup bukti, peristiwanya bukan tindak pidana korupsi dan Kalau perkaranya ditutup demi hukum. Kewenangan untuk menghentikan penuntutan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 140 ayat (2) KUHAP bahwa dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan. Wewenang tidak menuntut karena alasan kebijakan (diskresi) penuntutan yang dijalankan bersumber dari asas yang dikenal sebagai asas oportunitas atas kebijakan penuntutan. Dalam asas oportunitas
64

Jaksa boleh memutuskan tidak akan menuntut perkara pidana apabila penuntutan itu tidak dapat dilakukan atau tidak patut dilakukan atau tidak
63 64

Mukhzan, Kasi Pidum Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Wawancara Tanggal 2 Mei 2011 Nilawati, Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Wawancara Tanggal 3 Mei 2011

52

dikehendaki, atau apabila penuntutan itu akan lebih merugikan kepentingan umum atau pemerintah daripada apabila penuntutan dilakukan. Dalam UU No. 16 Tahun 2004 Pasal 35 huruf c Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.

Kepentingan umum yang dimaksud adalah

kepentingan bangsa dan

Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan opportunitas yang hanya dapat

dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negera yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Guna mengimplementasikan tugas dan kewenangan Kejaksaan, sesuai dengan dengan perencanaan stategis Kejaksaan maka telah disusun Visi Kejaksaan, yaitu mewujudkan Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang melaksanakan tugasnya secara independen dengan

menjunjung tinggi HAM dalam negara hukum berdasarkan Pancasila. Dalam rangka mewujudkan visi tersebut, ditetapkan misi Kejaksaan yaitu :

a. Menyatukan tata pikir, tata laku dan tata kerja dalam penegakan hukum; b. Optimalisasi pemberantasan KKN dan penuntasan pelanggaran HAM; c. Menyesuaikan sistem dan tata laksana pelayanan dan penegakan hukum dengan mengingat norma keagamaan, kesusilaan, kesopanan dengan memperhatikan rasa keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat.

53

Dalam penentuan arah kebijakan yang baik guna mewujudkan visi dan misi penegakan hukum tersebut, maka diperlukan langkah-langkah strategis yang bersinergi dengan pelaksanaan tugas pokok dan wewenang dari kejaksaan itu sendiri, termasuk dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Langkah-langkah strategis tersebut tertuang dalam berbagai peraturan dan kebijakan yang telah ditetapkan, yang pada akhirnya diharapkan dapat membantu memperlancar upaya kejaksaan dalam menegakkan supremasi hukum seperti yang diharapkan oleh masyarakat selama ini.

B. Sistem Peradilan Pidana Pidana Di Indonesia

(SPP) Dan Tahapan Pemeriksaan Perkara

1. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Perkembangan penegakan hukum di Indonesia saat ini masih menjadi sorotan seluruh lapisan masyarakat, baik di dalam maupun luar negeri. Kondisi hukum di Indonesia kembali mengalami kegamangan khususnya dalam penegakan hukum. Berbagai cara telah dilakukan, misalnya dengan mengandalkan institusi penegakan hukum yang sudah ada, bahkan pembentukan berbagai komisi hukum dan penempatan berbagai individu yang professional dan berkualitas serta bebas dari kepentingan, namun upaya-upaya ini belum mampu men hukum di Indonesia. Dari sekian banyak bidang hukum, maka dapat dikatakan bahwa bidang hukum pidana (termasuk sistem dan proses peradilan pidananya) ingkatkan citra

54

menempati urutan pertama yang tidak hanya mendapat sorotan, tetapi juga mendapat celaan yang luar biasa lainnya. Proses peradilan pidana yang berawal dari tahap penyelidikan oleh kepolisian, akan berpucak pada penjatuhan pidana dan dieksekusinya pelaku ke lembaga pemasyarakatan. Penjatuhan pidana kepada pelaku oleh pengadilan merupakan upaya yang sah terhadap pelaku kejahatan. Pidana sial yang dapat mencerminkan nilai dan dibandingkan dengan bidang hukum

sendiri merupakan suatu pranata so

struktur masyarakat, sehingga merupakan kesepakatan yang dibuat sebagai reaksi terhadap pelangg aran hati nurani bersama. Oleh karena itulah hukum pidana yang merupakan sarana kontrol so sial dan sebagai produk

politik, sepantasnya merupakan sublimasi dari semua nilai masyarakat yang dirangkum dan dirumuskan oleh para legislator dan diterapkan oleh aparat dalam Sistem Peradilan Pidana.
65

Sistem peradilan pidana (SPP) merupakan Criminal Justice System

konsep pendekatan

yaitu sebuah pendekatan sistem dalam mekanisme

penyelenggaraan peradilan pidana yang diawali oleh ketidakpuasan terhadap proses peradilan pidana di Amerika Serikat. Romli Atmasasmita sebagaimana dikutip Mujahid mengatakan bahwa bekerjanya SPP meniti beratkan pada administrasi peradilan.
66

Mahmud Mulyadi, Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemidanaan Dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia . Karya Ilmiah, FH. USU, Medan, 2006, h al. 2. 66 Mujahid, Menciptakan Mekanisme Pengawasan yang Efektif dalam SPP, Tesis Program Pasca Sarjana UI. 2004, h al. 36 .

65

55

Konsep Sistem peradilan pidana

ini yang merupakan b eberapa

bentuk mekanisme kontrol dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) sekarang, antara lain : a) internal; b) eksternal; c) horizontal (dari lembaga lain atau dari masyarakat); dan d) vertikal. kemudian diadopsi dan

dikembangkan di Indonesia sesuai kondisi yang ada mulai mendapat perhatian pada dasawarsa terakhir ini.
67

Indriyanto Seno Adji mengatakan

bahwa Sistem Peradilan Pidana di Indonesia ini sebenarnya merupakan terjemahan sekaligus penjelmaan dari Criminal Justice System , suatu Law enforcement

sistem yang dikembangkan oleh praktisi hukum ( officers) di Amerika Serikat.


68

Dikatakan oleh Norvel Morris sebagaimana dikutip Mardjono Reksodiputro, bahwa Sistem Peradilan Pidana adalah suatu

operasionalisasi atau suatu sistem yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan, salah satu usaha masyarakat untuk mengendalikan terjadinya kejahatan negara berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima. Sistem ini dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat diselesaikan dengan diajukannya pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan diputus bersalah serta mendapat pidana.
67 69

Harkristuti Harkrisnowo, Sistem Peradilan Terpadu dan Peran Akademis , Makalah pada forum dengan pendapat publik: pembaharuan Kejaksaan, Kejaksaan Agung, Jakarta 2425 Juni 2003 68 Indriyanto Seno Adji, Arah dan Sistem Peradilan (Pidana) terpadu Indonesia (suatu tinjauan pengawasan aplikatif dan praktek) , dengan topic mencari format pengawasan dalam system peradilan terpadu, Jakarta: Komisi Hukum Nasional, tanggal 18 April 2001, hal. 5. 69 Mardjono Reksodiptro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan karangan buku ke dua, Lembaga Kriminologi UI, Jakarta, h al. 140 .

56

Menurut Loebby Loqman tujuan dari SPP adalah : Terciptanya keadilan dalam memperjelas suatu perkara, disamping untuk menjaga agar hak asasi manusia terlaksana meskipun terjadi upaya paksa yang tentunya akan terjadi pelanggaran hak asasi manusia tersebut. Tujuan lain dari SPP adalah menjaga agar seorang yang tidak bersalah dilakukan pemidanaan, sebagai tujuan dari Hukum Acara Pidana lainnya, yaitu mencari kebenaran materiil dimana dengan demikian akan tercipta suatu keadilan dalam masyarakat. 70 Dalam perkembangannya, Sistem Peradilan Pidana itu mengalami perluasan arti dan tujuannya sebagaimana digambarkan oleh Mardjono Reksodiputro sebagai berikut : Diatas memang tugas utama dari sistem ini, tetapi tidak merupakan keseluruhan tugas sistem. Masih merupakan bagian tugas sistem adalah mencegah terjadinya korban kejahatan maupun mencegah bahwa mereka yang sedang ataupun telah selesai menjalani pidana tidak mengulangi lagi perbuatan mereka melanggar hukum itu. Dengan demikian cakupan tugas sistem ini memang luas : (a) mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, (b) menyelesaikan kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, serta (c) berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi perbuatannya. 71 Menurut Soedjono Dirdjosisworo, penyelenggaraan peradilan pidana dapat dipahami sebagai mekanisme bekerjanya aparat penegak hukum pidana mulai dari proses penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang di Pengadilan serta pelaksanaan keputusan pengadilan.
72

Muladi

berpendapat bahwa penyelenggaraan peradilan pidana tidak hanya


Loebby Loqman, Eksistensi Kejaksaan RI dalam Sistem Peradilan Pidana Makalah, Jakarta, 13 November 2001 . 71 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Makalah, Jakarta, 13 November 2001 . 72 Indriyanto Seno Adji, Op.Cit, hal. 5.
70

57

menyangkut

mekanisme

bekerjanya

aparat

hukum

pidana,

penyelenggaraan peradilan pidana mencakup pengelolaan yang berkaitan dengan organisasi, administrasi dan pengaturan finansial badan-badan hukum. 73 Di Indonesia, tahapan dalam peradilan pidana dijalankan oleh subsistem yaitu terhadap penyidikan oleh Kepolisian, penuntutan oleh Kejaksaan, pemeriksaan sidang Pengadilan oleh Pengadilan,

pemasyarakatan oleh Lembaga Pemasyarakatan. Keempat komponen ini bekerjasama membentuk apa yang dikenal dengan nama suatu Criminal Justice .74 Indriyanto Seno Adji mengatakan bahwa : Mardjono Reksodiputro-lah yang memperkenalkan dan memperluas konsep Sistem Peradilan Pidana begitu pula dengan konsep Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) sebagai terjemahan dari Integrated of Criminal Justice System . Mardjono Reksodiputro menghendaki adanya pelaksanaan sistem peradilan pidana yang terpadu diantara keempat komponen yang ada. Cara kerja keempat komponen itu diibaratkan sebagai bejana berhubungan. Satu dari keempat komponen mengalami gangguan akan mempengaruhi cara kerja komponen lainnya. Misalnya, pemeriksaan tersangka yang dilakukan dengan penyiksaan, senyatanya akan mengakibatkan kelemahan pada dakwaan Jaksa di hadapan Pengadilan. Sudah barang tentu pengadilan dapat menilai Berita Acara Penyidikan yang diperoleh berdasarkan penyiksaan itu. Akibat lebih jauh, lembaga pemasyarakatan, sebagai bagian dari sistem ini, tidak dapat berhasil membina pelakunya untuk menjadi bagian masyarakat seutuhnya, karena tersangka/terdakwa telah dibebaskan oleh pengadilan mengingat cacatnya penyidikan yang dilakukan oleh sub-sistem kepolisian. 75
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Arah Reformasi Hukum di Indonesia , The Habibie Center, Jakarta, 2002, h al. 52 . 74 Mardjono Reksodiptro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Op. Cit, hal. 85 . 75 Indriyanto Seno Adji, Arah , Op.Cit, hal. 7.
73

Integrated

58

Sebagai suatu sistem, maka cara kerja Sistem Peradilan Pidana ini didukung oleh keempat komponen diatas (Polisi, Jaksa, Hakim dan Lembaga Pemasyarakatan). Ada sementara pihak berpendapat bahwa pembatasan komponen Sistem Peradilan Pidana, tanpa memasukkan advokat didalamnya, mengingat keberadaan profesi advokat hanya merupakan bagian dari cara kerja sub-sistem peradilan saja. Indriyanto Seno Adji mengatakan bahwa hal demikian perlu diperbaiki. Advokat, sebagai bagian dari profesi hukum mempunyai tugas yang sama dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Advokat telah mendapat pengakuan sebagai salah satu sub-sistem SPP melalui Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan bantuan hukum sejak proses penyidikan, penuntutan sampai dengan proses peradilan. Lebih lanjut Mardjono Reksodiputro mengemukakan bahwa : Sering kita melupakan bahwa lembaga-lembaga yang melaksanakan penyelenggaraan peradilan pidana harus saling berhubungan dalam suatu sistem. Oleh karena itulah sering dipergunakan istilah Sistem Peradilan Pidana, yang terdiri atas sub-sub sistem : Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Dalam sistem peradilan inilah, maka profesi pengacara (Advokat), profesi jaksa dan 76 profesi hakim melakukan masing-masing tugas mereka. Setiap sistem mempunyai tujuan tertentu yang harus dihayati baik oleh sub sistem itu sendiri maupun sub sistem lainnya. Meskipun setiap sub-sistem akan mempunyai pula tujuannya sendiri, yang merupakan landasan dan pedoman kerja bagi mereka yang bekerja dalam sub-sistem yang bersangkutan, tetapi masing-masing tujuan sub-sistem tidak boleh
76

Mardjono Reksodiputro,

Hak Asasi Manusia , Op.Cit,

hal.79-80.

59

bertentangan dengan tujuan utama, yaitu dari sistem itu sendiri (dalam hal ini : Sistem Peradilan Pidana).
77

Kesalahan pada sub-sistem yang satu akan

mengakibatkan kegagalan pada sub-sistem yang lainnya sehingga tujuan dari sistem itu sendiri yaitu tujuan SPP tidak akan terwujud. Menurut Romli Atmasasmita sebagaimana dikutip Mujahid, lima cirri pendekatan sistem peradilan pidana : 1. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana; 2. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana; 3. Efektivitas dari sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara; 4. Penggunaan hukum sebagai instrument untuk memantapkan 78 administration of justice. Muladi berpendapat, penggunaan istilah sistem dalam SPP, semua subsistem harus mengarah pada 6 hal, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Berorientasi pada tujuan yang sama; Menjauhkan sifat fragmentaris; Berinteraksi dengan sistem yang lebih besar; Adanya keterkaitan dan ketergantungan antar sub-sistem; Operasionalisasi bagian-bagiannya menciptakan nilai tertentu; 79 Adanya mekanisme kontrol dalam rangka pengendalian. Dengan melihat pendapat diatas dapat dilihat terdapat jenis pendekatan internal dan eksternal dalam pelaksanaan SPP. Pendekatan internal mencakup bagaimana SPP bekerja untuk mencapai tujuan dimana salah satu sub-sistem dari SPP adalah Kejaksaan, sedangkan pendekatan eksternal menempatkan SPP dalam sistem yang lebih besar dimana
Ibid . Mujadid, Menciptakan , Op.Cit , hal.38. 79 Muladi, Peran Administrasi Peradilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Newsletter Komisi Hukum Nasional, Edisi Mei 2002.
78
77

the

60

terdapat interaksi antara SPP dengan sistem sosial lainnya. Dalam hal ini Kejaksaan sebagai Sub-sistem SPP merupakan bagian dari interaksi tersebut. Dari pendekatan tersebut, dibutuhkan sebuah mekanisme pengawasan untuk menilai bagaimana SPP bekerja untuk mencapai tujuannya. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa 3 hal mendasar yang harus diperhatikan dalam pembaharuan SPP di Indonesia, yaitu keterpaduan dalam SPP, adanya interaksi SPP dan adanya mekanisme kontrol. Pendekatan sistem dalam SPP menyangkut masalah perencanaan, organisasi dan kebijakan. Dengan sendirinya seluruh komponen-komponen yang ada yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga

Pemasyarakatan dan advokat mempunyai perencanaan, pengorganisasian dan pengambilan kebijakan dimungkinkan berbeda. Akan tetapi, perbedaan antar sub-sistem harus dalam kerangka pandangan dan tujuan. Oleh karena itu dalam SPP memungkinkan adanya konsep Unity in diversity .

Maksudnya, dalam peradilan pidana setiap subsistem SPP menjalankan fungsi masing-masing dengan membedakan praktis yang berbeda pula tetapi tetap dalam kerangka besar SPP. Menurut Muladi, tidak hanya dalam konteks hukum acara semata. SPP juga mencakup kesamaan pandang dalam hukum materiel dan hukum pelaksanaan pidana. Lebih jauh Muladi berpendapat : Konotasi bahwa SPP tidak hanya bersentuhan dengan hukum formal semata, apa yang dinamakan sistem abstrak tercermin dari hukum materiil yang menggambarkan secara jelas aliran hukum pidana yang

61

dianut suatu bangsa, yang selanjutnya diterjemahkan dalam hukum 80 formil dan hukum pelaksanaan pidana. Hubungan antara sub-sistem dalam SPP bersifat interdependen, yakni pendekatan sistem terhadap peradilan terhadap peradilan pidana membuka ruang adanya konsultasi dan kooperasi antar sub-sistem.
81

Lebih

jauh Harkristuti Harkrisnowo menggambarkan, pendekatan sistem yang digunakan untuk mengkaji peradilan pidana mempunyai implikasi : 1. Semua sub-sistem akan saling tergantung, karena produk suatu sub-sistem merupakan masukan bagi sub-sistem yang lain; 2. Pendekatan sistem mendorong adanya inter-agency consultation and corporation, yang pada gilirannya akan meningkatkan upaya penyusunan strategik dari keseluruhan sub-sistem; 3. Kebijakan yang diputuskan dan dijalankan oleh satu sub-sistem 82 akan berpengaruh pada sub-sistem lain. Menjadi keharusan, sub-sistem dalam sebuah sistem berorientasi pada tujuan yang sama. Untuk mencapainya, dibutuhkan sebuah mekanisme yang terarah. Ketidakpaduan antar sub-sistem administrasi peradilan pidana akan menyebabkan terhambatnya proses peradilan. Fragmentasi sub-sistem akan mengurangi efektivitas sistem bahkan
83

menyebabkan keseluruhan sistem disfungsional.

Untuk mewujudkan SPP terpadu dan menghindari adanya fragmentasi maka perlu adanya sinkronisasi dalam SPP baik substansi, struktur maupun budaya hukum.
84

Sinkronisasi substansial mencakup

Muladi, Akses Pengadilan dan Bantuan Hukum, Makalah Workshop Akses Publik ke Pengadilan,. Jakarta 10 Juli 200 81 Harkristuti Harkrisnowo, Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan Peran Akademis, Loc.Cit . 82 Ibid . 83 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Op.Cit , hal. 1. 84 Ibid .

80

62

sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan SPP yang mengenai tugas dan wewenang aparat penegak hukum dan hakim. Sinkronisasi struktural dalam melaksanakan tugas dan wewenang mencakup keselarasan dalam mekanisme penyelenggaraan peradilan pidana dalam kerangka hubungan antar sub-sistem. Selain Kepolisian, penyidikan dilakukan juga oleh Kejaksaan dan penyidik PNS lainnya, oleh karena itu perlu adanya sinkronisasi, sehingga tidak tumpang tindih pelaksanaan tugas antara aparat penegak hukum. Sinkronisasi kultural mengandung usaha untuk selalu serempak dalam menghayati pandanganpandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya Sistem Peradilan Pidana.
86 85

Perlunya sinkronisasi dalam ketiga aspek tersebut karena perlunya kesamaan pandang dan gerak seluruh sub-sistem SPP dalam mencapai tujuan SPP. Masalah utama yang muncul dalam pelaksanaan SPP sekarang, menurut Harkristuti belum seluruh ketentuan berorientasi pada sistem demi menunjang kinerja semua lembaga dalam proses peradilan pidana.
87

Untuk mewujudkan sebuah SPP terpadu, terdapat sejumlah contributing factors contributing factors yang perlu diperhatikan. Harkristuti menjelaskan antara lain : xxix

Barda Nawawi Arief, Sistem Peradilan Pidana Terpadu dalam kaitannya dengan Pembaharuan Kejaksaan, Makalah pada Forum dengar Publik: Pembaharuan Kejaksaan, diselenggarakan oleh KHN, Kejaksaan Agung dan Partnership for Governance Reform Indonesia, Jakarta, 24-25 Juni 2003. 86 Muladi, Op.Cit, hal. 1. 87 Harkristuti Harkrisnowo, Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan Peran Akademis, Loc. Cit.

85

ini

63

1. Penerapan hukum dan kebijakan mengenai SPP sangat bergantung pada kerjasama antar lembaga; 2. Persepsi tiap lembaga mengenai peran mereka dalam proses peradilan pidana akan sangat mempengaruhi keputusan-keputusan kunci dan penerapan ketentuan formal; 3. Kerjasama antar lembaga dapat ditingkatkan atau mungkin sebaliknya dihambat oleh sikap dan hubungan antar lembagalembaga yang berbeda dengan para pihak yang terlibat; 4. Setiap perubahan dan reformasi mengenai kebijakan dan perundang-undangan, oleh karenanya harus memperhitungkan pula kesiapan dan kualitas Sumber daya serta budaya hukum masyarakat; 5. Dibutuhkan kepekaan yang lebih tinggi dari lembaga terkait untuk 88 memiliki dan mencapai tujuan bersama. Dalam menjalankan fungsinya, SPP selalu terkait oleh beberapa asas umum dan pokok standar minimum penyelenggaraan peradilan pidana. Standar minimum tersebut juga menjadi acuan minimum terhadap pengawasan dalam SPP, standar minimum yang dimaksud adalah persamaan di muka hukum, Due Process of law ( proses hukum yang

wajar), sederhana dan cepat, efektif dan efisien dan akuntabilitas. Dari keenam asas tersebut, mekanisme kontrol merupakan salah satu bentuk implementasi asas akuntabilitas. Dalam asas akuntabilitas, terkandung mekanisme kontrol efektif, rasional, proporsional serta obyektif. Menurut Muladi, dalam SPP, semua sub-sistem harus ada mekanisme kontrol dalam rangka pengendalian, yang mana pelaksanaan pengawasan tersebut tidak terlepas dan selalu menjadi bagian integral pelaksanaan fungsi SPP itu sendiri. Dengan kata lain pengawasan

88

Ibid.

64

bertujuan untuk mengawal pelaksanaan SPP dengan berorientasi untuk mencapai tujuan SPP.
89

Untuk mendukung dan mewujudkan sebuah Sistem Peradilan Pidana Terpadu, terdapat banyak model dan konsep pengawasan. Harkristuti Harkrisnowo berkenaan dengan model pengawasan

menawarkan beberapa bentuk mekanisme kontrol, antara lain : 1. Internal (oleh lembaga yang bersangkutan sendiri, baik per group maupun atasan); 2. Eksternal (oleh pihak luar lembaga). Dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1989 disebutkan terdapat beberapa macam pengawasan antara lain :
90

a. Pengawasan melekat adalah serangkaian kegiatan yang bersifat sebagai pengendalian yang terus-menerus dilakukan oleh atasan langsung terhadap bawahannya, secara preventif atau represif agar pelaksanaan tugas bawahan tersebut berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan rencana kegiatan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Pengawasan fungsional adalah pengawasan yang dilakukan oleh pengawasan secara fungsional baik intern pemerintah maupun ekstern pemerintah, yang dilaksanakan terhadap pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan agar sesuai dengan rencana peraturan perundang-undangan; dan aparat

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Loc. Cit . Lampiran Instruksi Presiden tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Melekat, Inpres Nomor 1 Tahun 1989 tanggal 20 Maret 1989.
90

89

65

c. Pengawasan masyarakat, adalah pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat yang disampaikan secara lesan atau tertulis kepada aparatur pemerintah yang berkepentingan berupa sumbangan pikiran, saran gagasan atau keluhan atau pengaduan yang bersifat membangun yang disampaikan baik secara langsung maupun tidak langsung; d. Pengawasan legislatif adalah pengawasan yang dilakukan oleh

warga

lembaga

perwakilan rakyat terhadap kebijaksanaan dan pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Sebagai sebuah sistem SPP menyangkut masalah perencaanaan, organisasi dan kebijakan. Masing-masing komponen mempunyai model dan mekanisme perencanaan, pengorganisasian dan pengambilan kebijakan sendiri sesuai dengan fungsi kewenangannya dalam SPP, perbedaan tersebut juga terjadi dalam sebuah kebijakan dan pengorganisasian sistem pengawasan. Walaupun berbeda, akan tetapi hal tersebut haruslah tetap dalam kerangka pandangan dan tujuan SPP secara keseluruhan.
2. Tahapan Pemeriksaan Perkara Pidana di Ind

onesia

Tahap-tahap pemeriksaan perkara pidana dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai pengganti HIR/RIB, mengenal 4 (empat) tahapan pemeriksaan perkara pidana,
91

yaitu tahap penyidikan yang dilakukan oleh

kepolisian; tahap penuntutan oleh Penuntut Umum; tahap pemeriksaan di sidang pengadilan; dan tahap pelaksanaan putusan pengadilan.
91

Nyoman Serikat Putra Jaya, Sistem Peradilan Pidana ( Criminal Justice system ), Bahan Kuliah, Program Megister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2006. hal. 26.

66

Dalam konteks inilah yang menjadi pembahasan tentang mekanisme peradilan pidana sebagai suatu proses, atau disebut justice process. Criminal justice process dimulai dari criminal proses

penangkapan, penggeledahan, penahanan, penuntutan dan pemeriksaan di muka sidang pengadilan; serta diakhiri dengan pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan, pidana penjara. Pemeriksaan perkara pidana berawal dari terjadinya tindak pidana (delict ) atau perbuatan pidana atau peristiwa pidana yaitu berupa kejahatan atau pelanggaran. Peristiwa atau perbuatan tersebut diterima oleh aparat penyelidik dalam hal ini adalah Polisi Republik Indonesia melalui laporan dari masyarakat, pengaduan dari pihak yang berkepentingan atau diketahui oleh aparat sendiri dalam hal tertangkap tangan (h eterdaad ). 93
92

kalau yang dijatuhkan pidana kurungan atau

Uraian tersebut di atas, menunjukkan bahwa tahap-tahap pemeriksaan perkara dari proses yang dinamakan penyelidikan, di mana dalam penyelidikan adalah untuk menentukan apakah suatu peristiwa atau perbuatan (feit) merupakan peristiwa/perbuatan pidana atau bukan. Jika dalam penyelidikan telah diketahui atau terdapat dugaan kuat bahwa kasus, peristiwa atau perbuatan tersebut merupakan tindak pidana dapat dilanjutkan pada proses selanjutnya yaitu penyidikan. (delict) maka

Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggaran Hukum dalam Konteks Penegakan Hukum di Indonesia, Alumni, 1982, h al. 70. 93 Al. Wisnubroto, Praktek Peradilan Pidana Proses Persidangan Perkara Pidana , Penerbit PT. Galaxy Puspa Mega, Jakarta, 2002, h al. 1.

92

67

Penyidikan adalah upaya pengusutan, mencari, dan mengumpulkan bukti-bukti untuk membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Pada dasarnya Polisi adalah penyidik tunggal, namun dalam kasus-kasus tertentu dapat dilibatkan penyidik Pegawai Negeri Sipil, misalnya kasus-kasus yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perbankan, bea cukai, keimigrasian dan lain sebagainya, bahkan dalam hukum acara pidana yang terdapat dalam Undang-undang Tindak Pidana Khusus, misalnya kasus Tindak Pidana Ekonomi, Korupsi atau Subversi, kewenangan penyidikan ada pada Jaksa. Uraian di atas, muncul beberapa pengertian dalam rangka penyidikan seperti yang dikemukakan oleh Nyoman Serikat Putra Jaya sebagai berikut: 94 1. Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negara sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan. 2. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menentukan tersangkanya. 3. Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia

yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam Undang-undang ini.

94

Nyoman Serikat Putra Jaya,

Op.Cit , hal. 27.

68

4. Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan. 5. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari menemukan sesuatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini. 6. Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya dan

berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Penyidikan (vooronderzoek) merupakan pemeriksaan pendahuluan/awal

yang seyogyanya dititikberatkan pada upaya pencarian

atau pengumpulan bukti faktual penangkapan dan penggeledahan, bahkan jika perlu dapat diikuti dengan tindakan penahanan terhadap tersangka dan penyitaan terhadap barang atau bahan yang diduga erat kaitannya dengan tindak pidana yang terjadi.
95

Berbeda dengan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi yang diperiksa dalam tingkat penyidikan ini tidak perlu disumpah, kecuali jika dengan tegas saksi tersebut menyatakan tidak dapat hadir dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, maka saksi perlu disumpah agar keterangan yang diberikan ditingkat penyidikan memiliki kekuatan yang sama seperti jika diajukan di persidangan. Hasil pemeriksaan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan dijadikan satu berkas dengan surat-surat lainnya. Jika, dalam
Al. Wisnubroto, Praktek Peradilan Pidana (Proses Persidangan Perkara Pidana), PT. Galaxy Puspa Mega, Jakarta, 2002, h al.2.
95

69

pemeriksaan awal tidak terdapat cukup bukti adanya tindak pidana, maka penyidik dapat menghentikan penyidikan dengan mengeluarkan Surat Penetapan Penghentian Penyidikan (SP3). Namun, jika dipandang bukti telah cukup maka penyidik dapat segera melimpahkan berkas perkara ke kejaksaan untuk proses penuntutan. Jika perkara telah diterima oleh jaksa penuntut umum, namun Jaksa Penuntut Umum memandang bahwa berkas perkara masih kurang sempurna atau kurang lengkap atau alat bukti masih kurang, maka penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai dengan catatan atau petunjuk tentang hal yang harus dilakukan oleh penyidik agar berkas atau bukti tersebut dilengkapi. Proses ini disebut dengan istilah prapenuntutan dan diatur dalam Pasal 138 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Penuntut Umum apabila berpendapat bahwa berkas yang dilimpahkan oleh penyidik tersebut lengkap atau sempurna, maka Penuntut Umum segera melakukan proses penuntutan. Dalam proses ini Jaksa Penuntut Umum melakukan klarifikasi kasus dengan mempelajari dan mengupas bahan-bahan yang telah diperoleh dari hasil penyidikan sehingga kronologis peristiwa hukumnya tampak dengan jelas. Hasil kongkrit dari proses penuntutan ini adalah Surat Dakwaan dimana tampak di dalamnya terdapat uraian secara lengkap dan jelas mengenai unsur-unsur perbuatan terdakwa, waktu dan tempat terjadinya tindak pidana (Locus dan Tempus Delicti), dan cara-cara terdakwa melakukan

70

tindak pidana. Jelaslah bahwa dalam proses penuntutan ini jaksa Penuntut Umum telah mentransformasi peristiwa dan fatual dari penyidik menjadi peristiwa atau bukti yuridis. Di samping itu, dalam proses penuntutan, Penuntut Umum juga menetapkan bahan-bahan bukti dari penyidik dan mempersiapkan dengan cermat segala sesuatu yang diperlukan untuk meyakinkan hakim dan membuktikan dakwaannya dalam persidangan terhadap tindak pidana penyertaan voeging yang diatur pada Pasal 141 KUHAP atau akan dipecah menjadi beberapa perkara Undang-undang Hukum Acara Pidana. Melihat kualitas perkaranya, Penuntut Umum dapat menentukan apakah perkara tersebut akan diajukan ke pengadilan dengan cara singkat (Sumir ) atau dengan cara Biasa. Jika perkara tersebut akan diajukan dengan cara singkat, maka Penuntut Umum pada hari yang ditentukan oleh pengadilan akan langsung menghadapkan terdakwa-terdakwa beserta bukti-bukti ke sidang Pengadilan. Namun jika perkara tersebut akan diajukan dengan cara biasa, maka Penuntut Umum segera melimpahkan perkara ke pengadilan negeri disertai dengan surat dakwaan dan surat pelimpahan perkara yang isinya permintaan agar perkara tersebut segera diadili diatur pada Pasal 143 ayat (1) Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana. Dengan diajukannya perkara, terdakwa, dan bukti-bukti ke pengadilan oleh penuntut umum berarti proses pemeriksaan perkara splitsing pada Pasal 142 Kitab

71

terdakwa telah sampai pada tahap peradilan. Tahap ini merupakan tahap yang menentukan nasib terdakwa karena dalam tahap ini semua argumentasi para pihak, masing-masing diadu secara terbuka dan masingmasing dikuatkan dengan bukti-bukti yang ada. Adapun yang diberi wewenang untuk melakukan penuntutan terhadap perkara pidana adalah penuntut umum. 1. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. 2. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 3. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakar penetapan hakim. Pasal 143 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana menentukan bahwa : (1) Penuntut Umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengar surat dakwaan. (2) Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi: a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka. -

72

b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. (3) Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum. (4) Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri. Sebelum melangkah bahasan mengenai peradilan, sekilas akan dikemukakan mengenai proses Praperadilan yaitu wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutuskan tentang sah tidaknnya suatupenangkapan dan/atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; dan permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan diatur pada Pasal 1 butir 10 KUHAP. Prosedur dan tata cara pengajuan permohonan dan pemeriksaan

perkara praperadilan selengkap-lengkapnya dapat dipelajari pada Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP. Dari ketentuan tersebut, tampak bahwa tata cara praperadilan mirip dengan peradilan perdata. Nyoman Serikat Putra Jaya mengemukakan bahwa

tahappemeriksaan di sidang pengadilan ada tiga jenis yaitu : Pemeriksaan di Pengadilan Negeri, Pemeriksaan Tingkat Banding dan

Pemeriksaan Kasasi, yang akan penulis uraikan dibawah ini.

73

Pemeriksaan di Pengadilan Negeri dikenal ada tiga acara pemeriksaan ialah (1) Acara Pemeriksaan Biasa, (2) Acara Pemeriksaan Singkat dan (3) Acara Pemeriksaan Cepat. 1. Acara Pemeriksaan Biasa - berdasarkan surat dakwaan hakim ajelis dan perkaranya sulit pembuktiannya. 2. Acara Pemeriksaan Singkat - kejahatan atau pelanggaran yang pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana. 3. Acara Pemeriksaan Cepat terdiri dari Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan, perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyakbanyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan pemidanaan ringan. Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan tidak diperlukan berita acara pemeriksaan, dengan catatan berkas segera diserahkan kepada pengadilan, berisi hari, tanggal, jam dan tempat terdakwa harus menghadap pengadilan yang dibuat oleh penyidik. 96 Selanjutnya dikatakan bahwa pemeriksaan tingkat bandingterdakwa atau penuntut umum berhak minta banding terhadap putusan pengadilan-kecuali putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat, tenggang waktu banding tujuh hari - memori banding tidak mutlak. Dalam pemeriksaan kasasi, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali putusan bebas. Putusan yang dimintakan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung ialah keputusan perkara pidana pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari pada Mahkamah Agung, dengan tenggang waktu mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi adalah 14 hari setelah putusan yang dimintakan kasasi diberitahukan kepada terdakwa dengan catatan harus ada memori kasasi.
96

Nyoman Serikat Putra Jaya,

Op.Cit , hal. 29-31.

74

Nyoman Serikat Putra Jaya dalam bukunya juga mengungkapkan bahwa dalam KUHAP juga mengenal lembaga "upaya hukum luar biasa" yang terdiri dari Kasasi Demi Kepentingan Hukum dan Peninjauan Kembali. Upaya hukum luar biasa ini dapat dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 1. Kasasi demi kepentingan hukum hanya dapat diajukan satu kali oleh Jaksa Agung - putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan. 2. Peninjauan Kembali terhadap putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap diatur dalam Pasal 263 KUHAP dan Pasal 76 KUHP idana . 3. Pasal 263 K UHAP menentukan bahwa : (1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan pemnintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. (2) Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar: a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu siding masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umun tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.

75

b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu temyata telah bertentangan satu dengan yang lain. c. apabila putusan itu jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. (3)Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. 4. Pasal 76 Kitab Undang-undang Hukum Pidana menentukan: Kecuali dalam hal putusan hakim mungkin diulang ("herziening") orang tidak

boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap. Dalam arti hakim Indonesia, termasuk juga hakim pengadilan Swapraja dan Adat, di tempat-tempat yang mempunyai pengadilan-pengadilan tersebut. Pasal 263 ayat (2) huruf b dan c dan ayat (3) KUHAP serta Pasal 76 KUHP, menurut ia dapat diketahui bahwa hal-hal yang diuraikan dalam pasal-pasal tersebut yang menjadi dasar hukum atau landasan hukum bagi Jaksa untuk mengajukan permintaan "Peninjauan Kembali" terhadap

76

putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang berupa putusan bebas atau putusan lepas dari tuntutan hukum. Asas yang berlaku, pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh Majelis Hakim yang jumlahnya ganjil yang pada umumnya 3 orang terdiri dari seorang Hakim Ketua dan dua orang Hakim Anggota, namun jika kondisinya tidak memungkinkan atau terhadap perkara-perkara tertentu sangat dimungkinkan suatu perkara diperiksa oleh hakim tunggal atas izin Ketua Mahkamah Agung mengenai majelis hakim ini dimaksudkan untuk menghindari adanya subjektivitas. Dalam peradilan di Pengadilan Negeri, apa yang diajukan oleh jaksa Penuntut Umum berupa dakwaan, tuntutan, dan semua bukti yang diajukan, diperiksa oleh hakim/majelis hakim dan dijadikan dasar pertimbangan dalam menjatuhkan putusan. Terhadap putusan tersebut semua pihak baik terpidana maupun jaksa penuntut umum diberi kesempatan untuk menyatakan sikap; menerima, pikir-pikir atau akan mengajukan upaya hukum atau akan mengajukan grasi. Jika putusan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde ), maka putusan tersebut dapat segera dilaksanakan (dieksekusi). Pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan dalam perkara

pidana adalah jaksa. Jika amar putusannya menyatakan bahwa terdakwa bebas atau lepas sedangkan status terdakwa dalam tahanan, maka terdakwa harus segera dikeluarkan dari tahanan dan dipulihkan hak-haknya kembali seperti sebelum diadili. Jika amar putusannya menyatakan bahwa terdakwa

77

dipidana berupa penjara atau kurungan, maka jaksa segera menyerahkan terdakwa ke Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) untuk menjalani hukuman dan pembinaan. Pelaksanaan putusan hakim harus dibedakan dengan pelaksanaan pidana. Pelaksanaan putusan pengadilan adalah Jaksa sedangkan pelaksanaan pidana, tergantung dari jenis pidananya. 1. Pidana mati menurut Pasal 11 Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah algojo pada tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri. Namun berdasarkan Penpres Nomor 2 Tahun 1964 pidana mati dilaksanakan oleh regu tembak dari kesatuan Polisi Republik Indonesia, di suatu tempat yang termasuk

wilayahhukum pengadilan yang menjatuhkan pidana mati. 2. Pidana penjara dan kurungan dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan

sesuai dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 3. Pidana denda yang melaksanakan adalah Jaksa. Perlindungan hukum bagi saksi dalam proses peradilan pidana terlepas dengan tahapan-tahapan proses peradilan pidana itu sendiri, mulai dari penyidikan hingga adanya putusan hakim yang berkekuatan tetap serta sampai pada pelaksanaan keputusan pengadilan. Pendekatan sistem dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) juga tidak

berimplikasi adanya sebuah koordinasi dan kerjasama antar sub-sistem. Di

78

lain pihak, untuk mendorong profesionalisme, dalam SPP juga dibutuhkan mekanisme kontrol secara tegas yang diatur dalam perundang-undangan. Dengan demikian dibutuhkan mekanisme kontrol yang terpadu dalam sistem peradilan pidana dengan melibatkan masyarakat pada umumnya. Sistem Peradilan Pidana merupakan rangkaian suatu mekanisme yang terdiri dari sub-sistem dalam peradilan pidana. Kejaksaan merupakan salah satu sub sistem dalam peradilan pidana. Kejaksaan merupakan salah satu subsistem dalam SPP selain Kepolisian, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Sub-sistem tersebut merupakan bagian saling terkait, meskipun tiap sub-sistem tersebut mempunyai mekanisme kerja sesuai dengan fungsinya masing-masing. Tidak dapat dihindari adalah sub-sistem lembaga bantuan hukum tidak dapat dipungkiri bahwa ia adalah bagian dari SPP. Keseluruhan mekanisme tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan sehingga proses peradilan pidana berjalan sesuai dengan tujuan Hukum Acara Pidana dan juga termasuk tujuan dari SPP. Sebagaimana diketahui bahwa sub-sistem dalam SPP dimulai dengan lembaga penyelidik oleh penyelidik, yang dilanjutkan dengan penyidikan oleh pegawai penyidik, penuntutan oleh Kejaksaan, pemeriksaan di depan Pengadilan serta pembinaan narapidana oleh Lembaga Pemasyarakatan. Peranan lembaga Kejaksaan sebagai salah satu sub-sistem SPP dan sebagai lembaga penegak hukum posisinya sangat menentukan berhasil
97

97

Loebby Loqman, Loc. Cit

79

tidaknya SPP.

Adapun tugas dan wewenang lembaga Kejaksaan adalah

sebagaimana disebut dalam Pasal 30 Undang-undang No. 16 Tahun 2004. Di samping tugas pokok di atas, Kejaksaan juga dapat meminta kepada Hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit, tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena yang

bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan, atau diri sendiri dan Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undangundang. Serta Kejaksaaan dapat memberikan pertimbangan hukum kepada instansi pemerintah lainnya. Tugas dan kewenangan Kejaksaan dalam lingkup peradilan dipertegas dalam KUHAP, dimana posisi Kejaksaan sebagai lembaga penuntutan dalam SPP. Dalam KUHAP disebutkan Penuntut umum mempunyai kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 31, 32 dan Pasal 33 UU No. 16 Tahun 2004. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tugas dan wewenang Kejaksaan adalah sebagai penuntut umum, penyidik tindak pidana tertentu dan mewakili negara/ pemerintah dalam perkara perdata dan tata usaha negara serta memberikan pertimbangan hukum kepada instansi pemerintah mewakili kepentingan umum. 1. Wewenang Penyidikan Oleh Kejaksaan Ide dasar yang terkandung di dalam KUHAP adalah penyidik utama adalah kepolisian. Tetapi dalam Pasal 284 KUHAP secara khusus

80

memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk menyidik perkara tindak pidana khusus untuk sementara dimaksudkan untuk mempersiapkan sumber daya manusia serta sarana prasarana di dalam Kepolisian agar pada waktunya dirinya sudah memadai sebagai penyidik.
98

Ada dua macam perkara pidana umumnya yang harus mengikuti ketentuan dalam KUHAP untuk sementara, pasal 284 ayat (2) menyebutkan bahwa : "Dalam jangka waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terdapat semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undangundang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi. Sementara dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan, yang dimaksud dengan ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu ialah ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada, antara lain : 1. Undang-undang tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi (Undang-Undang Nomor 7 Drt. Tahun 1995); 2. Undang-undang tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001), dengan catatan bahwa semua ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu akan ditinjau kembali, diubah atau dicabut dalam waktu sesingkat-singkatnya.

98

Loebby loqman, Loc.Cit.

81

Selanjutnya mengenai kewenangan penyidikan oleh Kejaksaan dipertegas dalam UU No. 16 Tahun 2004 dapat dijumpai pada pasal 30 ayat (1) huruf d bahwa di Bidang Pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Dengan demikian nampak jelas bahwa dalam perkara tindak pidana khusus Kejaksaan mempunyai wewenang untuk menyidik. Sementara itu, Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan dapat dijumpai pada Pasal 30 ayat (1) huruf e yaitu memberi kewenangan pada Kejaksaan untuk melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. 2. Wewenang Penuntutan Oleh Kejaksaan Pengertian penuntutan adalah suatu tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang, yang dalam hal ini dan cara yang diatur dalam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa oleh Hakim di Pengadilan. Selanjutnya dalam Pasal 2 angkat (1) UU No. 16 Tahun 2004, disebutkan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam undang-undang ini yang disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.

82

Untuk kesempurnaan tugas penuntutan, Jaksa perlu mengetahui sejelas-jelasnya semua pekerjaan yang dilakukan dalam penyidikan perkara pidana dari permulaan sampai akhir, yang seluruhnya dilakukan atas dasar hukum. 99 Oleh karena itu, prapenuntutan merupakan wewenang yang diberikan undang-undang kepada Jaksa Penuntut Umum. Apabila Jaksa Penuntut telah enerima dan memeriksa hasil penyidikan dari Kepolisian berikut buktibuktinya, dan kemudian berpendapat hasil penyidikan belum lengkap dan sempurna, maka atas dasar itu, Jaksa Penuntut Umum segera mengembalikan berkas dengan disertai petunjuk-petunjuk seperlunya. Misalnya, tambahan dan merinci tindakan tersangka dan mencari bukti lainnya yang akan memperkuat dugaan pelanggaran tersebut dan sebagainya. Dalam kaitan ini, penyidik segera melaksanakan permintaan penuntut umum. Sebaliknya, Jaksa Penuntut Umum berpendapat bahwa
100

pemeriksaan pendahuluan sudah lengkap, maka Jaksa Penuntut Umum segera membuat surat dakwaan dan melimpahkannya ke Pengadilan. Jaksa Penuntut Umum harus memperhatikan dua hal yaitu kepentingan umum dan kepentingan tersangka. Bagi tersangka, Jaksa Penuntut Umum memberikan kesempatan untuk persiapan pembelaan dirinya. Bagi

kepentingan umum adalah untuk menghindari sejauh mungkin jalan menghentikan penuntutan demi kepentingan umum.

Martiman Prodjohamidjojo, Teori dan Praktek Membuat Surat Dakwaan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hal.26.
100

99

Ibid.

83

Dalam hal penuntut umum berpendapat ada alasan untuk tidak menuntut ia harus menetapkan untuk menghentikan penuntutan. Ada dua macam keputusan tidak menuntut yang dibenarkan KUHAP. penghentian penuntutan karena alasan teknis. penuntutan karena alasan kebijakan.
101

Pertama, Penghentian

Kedua,

Wewenang tidak menuntut karena alasan teknis ada tiga keadaan yang dapat menyebabkan penuntut umum membuat ketetapan tidak menuntut karena alasan teknis atau ketetapan penghentian penuntutan, yaitu : 1) Kalau tidak cukup bukti; 2) Kalau peristiwanya bukan tindak pidana korupsi; 3) Kalau perkaranya ditutup demi hukum. Wewenang tidak menuntut karena alasan kebijakan (diskresi) penuntutan yang dijalankan di Jepang dan negeri belanda bersumber dari asas yang dikenal sebagai Dalam asas oportunitas asas oportunitas atas kebijakan penuntutan.

Jaksa boleh memutuskan tidak akan menuntut

perkara pidana apabila penuntutan itu tidak dapat dilakukan atau tidak patut dilakukan atau tidak dikehendaki, atau apabila penuntutan itu akan lebih merugikan kepentingan umum atau pemerintah daripada apabila penuntutan dilakukan.
102

Dalam Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 35 huruf c Jaksa Agung mempunyai tugas dan
101 102

R.M. Surachman & Andi Hamzah, Jaksa di Berbagai Negara, Op.Cit, hal.37. R.M. Surachman & Andi Hamzah, Jaksa di Berbagai Negara, Op.Cit, hal.14.

84

wewenang

mengesampingkan

perkara

demi

kepentingan

umum.

Kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan opportunitas yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.

C. Asas Contante Justitie Merupakan Asas Peradilan Cepat, Sederhana Dan Biaya Ringan Pada Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia . Apabila ditelaah secara umum fungsi hukum acara pidana adalah untuk membatasi kekuasaan negara dalam bertindak serta melaksanakan hukum pidana materiil. Ketentuan-ketentuan dalam Hukum Acara Pidana dimaksudkan untuk melindungi para tersangka dan terdakwa dari tindakan yang sewenang-wenang aparat penegak hukum dan pengadilan.
103

Pada sisi

lain, hukum juga memberikan kewenangan tertentu kepada negara melalui aparat penegak hukumnya untuk melakukan tindakan yang dapat mengurangi hak asasi warganya. Hukum acara pidana juga merupakan sumber kewenangan bagi aparat penegak hukum dan hakim serta pihak lain yang terlibat (penasehat hukum). Permasalah yang muncul adalah penggunaan kewenangan yang tidak benar atau terlalu jauh oleh aparat penegak hukum. Kewenangan tersebut antara lain dikenal dengan tindakan Upaya Paksa dari penegak hukum, yang dalam hal ini melanggar HAM tersangka/terdakwa, dilakukan dengan kekerasan (
103

violence ) dan

Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum , Universitas Indonesia, Jakarta, 1995, h al.25.

85

penyiksaan ( torture ). 104 Penyalahgunaan kewenangan dalam sistem peradilan pidana yang berdampak pada terampasnya hak-hak asasi warga negara merupakan bentuk kegagalan negara dalam mewujudkan negara hukum. Pelaksanaan kewenangan ini pada dasarnya bertujuan untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum. Dalam hal ini mengatakan bahwa : O.C Kaligis ,

Hak Asasi Manusia (HAM) dan perlindungannya yang dijalankan melalui suatu mekanisme hukum merupakan refleksi dari konsep negara hukum. Setiap negara hukum memiliki kewajiban untuk menajmin dan menghormati HAM, melindungi serta menegakannya. Mekanisme negara hukum telah mengakui bahwa sejak lahir manusia membawa hak-hak yang melekat dalam dirinya sebagai manusia. Sistem peradilan pidana ini dijalankan dengan berlandaskan asas asas hukum yautu aturan dasar dan prinsip-prinsip hukum yang abstrak dan pada umumnya melatarbelakangi peraturan konkret dan pelaksanaan hukum. Dalam bahasa Inggris, kata asas diformatkan sebagai principle , Ada tiga pengertian kata asas:1) hukum dasar, 2) dasar sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat, dan 3) dasar citacita. Peraturan konkret (seperti undang-undang) tidak boleh bertentangan dengan asas hukum, demikian pula dalam putusan hakim, pelaksanaan hukum, dan sistem hukum.
106

105

Mien Rukmini, Perlindungan HAM melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaam Kedudukan dalam Hukum , Alumni, Bandung, 2003, h al.6. 105 O.C. Kaligis. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, Alumni, Bandung, 2006, h al.12. 106 Marwan Mas. Pengantar Ilmu Hukum . Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, h al. 95.

104

86

Salah satu asas hukum pidana Indonesia adalah asas

yang berlaku dalam sistem peradilan the right due process of law , yaitu bahwa

setiap penegakan dan penerapan hukum pidana harus sesuai dengan persyaratan konstitusional serta harus menaati hukum oleh karena itu prinsip due process of law tidak membolehkan pelanggaran terhadap suatu bagian ketentuan hukum dengan dalih guna menegakkan bagian hukum yang lain. Artinya menekankan harus ada keseimbangan dalam penegakan hukum, yaitu antara penegakan hukum dan perlindungan hak-hak asasi seorang yang diduga pelaku tindak pidana (tersangka). Pelanggaran-pelanggaran hak asasi tersangka oleh aparat penegak hukum selanjutnya akan menimbulkan dalam menegakan keadilan) miscarriage of justice (kegagalan

. Dimana penegak hukum yang mempunyai

kuasa dan wewenang untuk mengupayakan tercapainya keadilan, ternyata menggunakan kuasa dan wewenang yang ada padanya justru untuk memberikan ketidak adilan.
107

Bagi integritas moral proses pidana

(moral

integrity of the criminal proses) keadilan (miscarriage of justice)

sendiri, kegagalan dalam menegakan ini akan berakibat fatal, yaitu dapat

merusak kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum. Selain itu, dalam proses peradilan pidana juga asas justitie , yaitu merupakan contante

asas peradilan cepat, sederhana dan biaya

ringan . Asas tersebut yang dianut dalam KUHAP sebenarnya merupakan penjabaran Undang-Undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahanan yang lama
107

Ibid , hal. 12 .

87

sebelum ada keputusan Hakim), merupakan bagian hak-hak asasi manusia. Begitu pula peradilan bebas, jujur dan tidak memihak yang ditonjolkan dalam Undang-Undang tersebut.
108

Apabila ditelaah dalam ketentuan KUHAP Indonesia diketahui ada beberapa asas peradilan yang pokok, yaitu : 11. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan

tidak mengadakan pembedaan perlakuan (asas persamaan di muka hukum). 12. Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya

dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang ( berwenang ). 13. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau asas perintah tertulis dari yang

dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap (asas praduga tak bersalah = presumption of innocent ). 14. Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili

tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya
108

Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia

. Sinar Grafika, Jakarta, 2006, ha.11

88

menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi (asas pemberian ganti rugi dan rehabilitasi atas salah tangkap, salah tahan, dan salah tuntut). 15. Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya

ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan (asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, bebas, jujur dan tidak memihak). 16. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan

memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya (asas memperoleh bantuan hukum seluas-luasnya). 17. Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan

atau penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum (asas wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum dakwaan). 18. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa

(asas hadirnya terdakwa). 19. Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali

dalam hal yang diatur dalam undang-undang, misalnya pemeriksaan terhadap kejahatan kesusilaan pengadilan anak-anak, yang menurut sifatnya perlu dilakukan dalam sid ang tertutup, keputusannya harus

dilakukan secara terbuka. (asas pemeriksaan dimuka umum).

89

20. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang pengawasan pelaksanaan putusan). Undang-Undang Dasar 1945 menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut, maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum ( equality before the bersangkutan (asas

law). Oleh karena itu, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (penjelasan atas Undang-Undang RI No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI). Negara hukum tidak dapat diwujudkan apabila kekuasaan negara masih bersifat absolut atau tidak terbatas, karena pada paham negara hukum terdapat keyakinan bahwa kekuasaan negara harus di jalankan atas dasar hukum yang baik dan adil.
109

Jadi pada negara hukum dapat

dipahami, bahwa hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah tidak berdasarkan kekuasaan belaka, melainkan berdasarkan suatu norma obyektif yang mengikat pihak yang memerintah. Adapun yang dimaksud dengan norma obyektif adalah hukum yang tidak hanya berlaku secara formal tetapi juga dipertahankan ketika berhadapan dengan idea hukum. 110

Franz Magnis Suseno, Etika Politik (Pinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaran Modern ), PT Gramedia, Jakarta, 2003, hlm. 295. 110 Ibid.

109

90

Sebagai negara hukum, suatu negara harus memiliki ciri negara hukum. Salah satu ciri negara hukum adanya pemisahan kekuasaan negara (separation of powers ). Sebagaimana diketahui bahwa kekuasaan cenderung untuk disalahgunakan, oleh karenanya perlu adanya suatu intitusi hukum yang membatasinya dan mengontrolnya. Institusi hukum tersebut yakni konstitusi.
111

Menurut Arsitoteles yang dikutip Azhary, mengatakan bahwa : Suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Ia mengatakan: aturan yang konstitusional dalam negara berkaitan erat, juga dengan pertanyaan kembali apakah lebih baik diatur oleh manusia atau hukum terbaik, selama suatu pemerintahan menurut hukum, oleh sebab itu supremasi hukum diterima oleh Aristoteles sebagai tanda negara yang baik dan bukan semata-mata sebagai keperluan yang tidak layak. Pendapat tersebut juga dibenarkan oleh Bangir Manan karena konstitusi secara ensensi mengandung makna pembatasan kekuasaan pemerintah dan perlindungan hak-hak rakyat dari tindakan sewenangwenang pemerintah.
113

112

Hakikat pengertian konstitusi tersebut jika dikaitkan dengan pengertian pemerintah dalam arti luas (l egislative, excecutive dan

yudikative ) adalah sebagai sarana pemisahan dan pembagian kekuasaan. Artinya konstitusi mengatur pemisahan kekuasaan dan pembagian kekuasaan antara cabang-cabang kekuasaan pemerintah. Sebagaimana

Azhary, Negara Hukum Indonesia (Analitis Yuridis Normatif Tentang UnsurUnsurnya), UI-Press, Jakarta, 1995, h al. 20 . 112 Ibid ., h al. 20 . 113 Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan , PSH FH UII, Yogyakarta,1999, h al.13.

111

91

diketahui, pemisahan dan pembagian kekuasaan bertujuan untuk mencegah pemusatan kekuasaan dalam satu tangan. Pemisahan dan pembagian ini ditujukan untuk menciptakan suatu keseimbangan kekuasaan yang menjamin agar fungsi-fungsi itu dijalankan secara optimal, dan sekaligus mencegah kekuasaan esekutif mengambil ahli fungsi-fungsi kekuasaan lain.
114

Selain itu, menurut M. Elizabeth

Magill pemisahan kekuasaan dalam ketentuan konstitusi dapat dipahami sebagai suatu cara untuk mengontrol kekuasaan negara dengan memisahkannya kedalam tiga kekuasaan yang berbeda, dan memberikan jaminan terhadap pemisahan tersebut.
115

Demikian juga halnya untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini kaedah positif terimplikasi kepada bahwa dalam negara manapun semuanya mengakui adanya suatu asas persamaan dalam hukum di depan hukum atau rule of law meliputi : 1. Supremacy of law (supremasi hukum) (persamaan kedudukan dalam hukum) (Pengakuan Hak Asasi Manusia) .116 equality before the law, seperti asas hukum

yang dipakai dalam Negara

anglo saxon bahwa rule of law

2. Equality before the law

3.Constitrution based on human right

Secara teoritis, Presiden atau pemerintah memiliki dua kedudukan yaitu sebagai salah satu organ negara dan sebagai administrasi negara. Sebagai organ negara, pemerintah bertindak untuk dan atas nama negara.
114 115

Franz Magnis Suseno, Op. Cit ., hal.301 . Ibid . 116 Miriam Budiarjo ,Op.Cit, hal.25.

92

Sedangkan sebagai administrasi negara, pemerintah dapat bertindak baik dalam lapangan pengaturan ( regelen ) maupun dalam lapangan pelayanan

(besturen ). Penyelenggaraan pemerintah yang dimaksudkan dalam tesis ini adalah penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah sebagai administrasi negara. Bukan sebagai organ negara.
117

Di dalam negara hukum, setiap aspek tindakan pemerintah baik dalam lapangan pengaturan maupun dalam lapangan pelayanan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau berdasarkan legalitas. Artinya pemerintah tidak dapat melakukan tindakan pemerintahan tanpa dasar kewenangan, ketentuan bahwa setiap tindakan pemerintah ini harus didasarkan pada asas legalitas, tidak sepenuhnya dapat diterapkan ketika suatu negara menganut konsepsi Dalam konsepsi walfare state. welfare state. Seperti halnya Indonesia. Tugas utama pemerintah adalah
118

memberikan pelayanan terhadap masyarakat.

Pemikiran tentang teori kekuasaan negara sebagaimana dijelaskan di atas, baik dalam konsep pemisahan kekuasaan maupun pembagian kekuasaan tidak memberikan penjelasan dimana kedudukan Kejaksaan RI. (lembaga pelaksana kekuasaan penuntutan). Jaksa memahami bahwa sebagai kuasa hukum ( legal representative ) dari Kepolisian RI. dan

untuk menjelaskan pendapat-pendapat pihak kepolisian dihadapan pengadilan atau Jaksa dapat pula mengambil peran sebagai konsultan hukum ( Domestik legar adviser ) yang memberikan nasehat hukum
117 118

Ibid . Prajudi, Hukum Administrasi Negara

, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, h

al.27.

93

kepada polisi bagaimana melaksanakan prosedur-prosedur hukum. Di lain sisi, Jaksa menganggap dirinya sebagai pihak yang utama dalam mewakili pengadilan dalam melaksanakan kewajibannya untuk menerapkan peraturan-peraturan hukum. Oleh karena itu, dalam konsepsi walfare state , tindakan pemerintah

tidak selalu harus berdasarkan asas legalitas. Dalam hal-hal tertentu pemerintah dapat melakukan tindakan secara bebas yang didasarkan pada Freies Ermessen, yakni kewenangan untuk turut campur dalam kegiatan

sosial guna melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan kepentingan umum. 119 Apabila dikaitkan dengan objek penulisan dalam hal ini mengenai penyusunan rencana penuntutan dalam penyelesai an suatu tindak pidana

merupakan bagian dari upaya penegakan hukum yang melibatkan para aparat penegak hukum. Peranan penegak hukum dalam arti fungsi dan maknanya merupakan bagian dari konsep struktur hukum. Ada 4 (empat) fungsi sistem hukum menurut Friedman, yaitu: 1. Fungsi kontrol sosial ( social control ). Menurut Donald Black bahwa semua hukum adalah berfungsi sebagai kontrol sosial dari pemerintah. 2. Berfungsi sebagai cara penyelesaian sengketa ( dispute stlement ) dan konflik ( conflict ). Penyelesaian sengketa ini biasanya untuk penyelesaian yang sifatnya berbentuk pertentangan lokal berskala kecil ( micro ). Sebaliknya pertentangan-pertentangan yang bersifat makro dinamakan konflik. 3. Fungsi retribusi atau fungsi rekayasa sosial ( retribution function and social engineering function ). Fungsi ini mengarahkan pada penggunaan hukum untuk mengadakan perubahan sosial yang berencana yang ditentukan oleh pemerintah.
119

Ibid .

94

4. Fungsi pemeliharaan sosial ( social maintenance function ). Fungsi ini berguna untuk menegakkan struktur hukum agar tetap berjalan sesuai dengan aturan mainnya ( rule of the game ). 120 Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa fungsi penegakan hukum adalah untuk mengaktualisasikan aturan-aturan hukum agar sesuai dengan yang dicita-citakan oleh hukum itu sendiri, yakni mewujudkan sikap atau tingkah laku manusia sesuai dengan bingkai (frame-work ) yang ditetapkan oleh suatu Undang-undang atau hukum.
121

Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum Radjagrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 69-70 . 121 Ibid .

120

95

BAB III GAMBARAN UMUM LEMBAGA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

A. Sejarah Perkembangan Lembaga Kejaksaan Di Indonesia Istilah Kejaksaan sebenarnya sudah ada sejak lama di Indonesia. Pada zaman kerajaan Hindu-Jawa di Jawa Timur, yaitu pada masa Kerajaan Majapahit, istilah dhyaksa , adhyaksa , dan dharmadhyaksa sudah

mengacu pada posisi dan jabatan tertentu di kerajaan. Istilah-istilah ini berasal dari bahasa kuno, yakni dari kata-kata yang sama dalam Bahasa Sansekerta .122 Seorang peneliti Belanda, W.F. Stutterheim mengatakan bahwa dhyaksa adalah pejabat negara di zaman Kerajaan Majapahit, tepatnya di saat Prabu Hayam Wuruk tengah berkuasa (1350-1389 M). Dhyaksa

adalah hakim yang diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam sidang pengadilan. Para dhyaksa ini dipimpin oleh seorang yakni hakim tertinggi yang memimpin dan mengawasi para adhyaksa , dhyaksa .123

Kejaksaan Agung Republik Indonesia, http://www.kejaksaan.go.id/ Diakses April 2011. 123 Ibid.

122

Sejarah Kejaksaan Sebelum Reformasi,

96

Kesimpulan ini didukung peneliti lainnya yakni H.H. Juynboll, yang mengatakan bahwa adhyaksa adalah pengawas ( opzichter ) atau

hakim tertinggi ( oppenrrechter ). Krom dan Van Vollenhoven, juga seorang peneliti Belanda, bahkan menyebut bahwa patih terkenal dari Majapahit yakni Gajah Mada, juga adalah seorang adhyaksa .

Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada relevansinya dengan jaksa dan Kejaksaan antara lain adalah Openbaar Ministerie . 101 Lembaga ini yang men gharuskan pegawai-pegawainya berperan sebagai Magistraat dan Officier van Justitie Negeri), Jurisdictie Geschillen di dalam sidang Landraad (Pengadilan Hooggerechtshof

(Pengadilan Justisi) dan

(Mahkamah Agung) dibawah perintah langsung dari Residen/Asisten Residen.


124

Hanya saja, pada prakteknya, fungsi tersebut lebih cenderung sebagai perpanjangan tangan Belanda belaka. Dengan kata lain, jaksa dan Kejaksaan pada masa penjajahan belanda mengemban misi terselubung yakni antara lain: a. Mempertahankan segala peraturan Negara b. Melakukan penuntutan segala tindak pidana c. Melaksanakan putusan pengadilan pidana yang berwenang. Fungsi sebagai alat penguasa itu akan sangat kentara, khususnya dalam menerapkan delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai 125 artikelen yang terdapat dalam Wetboek van Strafrecht (WvS). Lembaga Kejaksaan pada dasarnya merupakan suatu institusi. Pada umumnya di dalam sebuah institusi terdapat (a) Norma, budaya dan etika,
Kejaksaan Agung Republik http://www.kejaksaan.go.id/html., diakses Maret 2011. 125 Ibid.
124

Indonesia,

Tentang

Kejaksaan,

97

yang merupakan suatu ketentuan yang tak tertulis tetapi dipraktekkan, (b) Rules, yaitu peraturan-peraturan formal yang tertulis; dan (c)
126

Structure, yaitu organisasi.

Peranan Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut secara resmi difungsikan pertama kali oleh Undang-Undang pemerintah zaman pendudukan tentara Jepang No. 1/1942, yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei No.3/1942, No.2/1944 dan No.49/1944. Eksistensi kejaksaan itu berada pada semua jenjang pengadilan, yakni sejak (pengadilan agung), Koootooo Hooin Saikoo Hoooin Tihooo

(pengadilan tinggi) dan

Hooin (pengadilan negeri). Pada masa Jepang, secara resmi digariskan bahwa Kejaksaan memiliki kekuasaan untuk: 1. Mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran 2. Menuntut Perkara 3. Menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal. 4. Mengurus pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut hukum.
127

Begitu Indonesia merdeka, fungsi seperti itu tetap dipertahankan dalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditegaskan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang diperjelas oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 1945. Isinya mengamanatkan bahwa sebelum Negara R.I. membentuk badan-badan dan peraturan negaranya sendiri sesuai

Kejaksaan Agung Republik Indonesia Pusat Pendidikan dan Pelatihan, PokokPokok Rumusan Hasil Sarasehan Terbatas Plattform Upaya Optimalisasi Pengabdian Institusi Kejaksaan, Kejaksaan Agung RI, Jakarta, 1999, h al. 2. 127 Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Op.Cit. , http://www.kejaksaan.go.id/html ., diakses Maret 2011.

126

98

dengan ketentuan Undang-Undang Dasar, maka segala badan dan peraturan yang ada masih langsung berlaku. Secara yuridis formal, Kejaksaan R.I. telah ada sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, yakni tanggal 17 Agustus 1945. Dua hari setelahnya, yakni tanggal 19 Agustus 1945, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) diputuskan kedudukan Kejaksaan dalam struktur Negara Republik Indonesia, yakni dalam lingkungan Departemen Kehakiman. Kejaksaan RI terus mengalami berbagai perkembangan dan dinamika secara terus menerus sesuai dengan kurun waktu dan perubahan sistem pemerintahan. Sejak awal eksistensinya, hingga kini Kejaksaan Republik Indonesia telah mengalami 22 periode kepemimpinan Jaksa Agung. Seiring dengan perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, kedudukan pimpinan, organisasi, serta tata cara kerja Kejaksaan RI, juga juga mengalami berbagai perubahan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat, serta bentuk negara dan sistem pemerintahan. Menyangkut Undang-Undang tentang Kejaksaan, perubahan mendasar pertama berawal tanggal 30 Juni 1961, saat pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 1961 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kejaksaan RI. Undang-Undang ini menegaskan Kejaksaan sebagai alat negara penegak hukum yang bertugas sebagai penuntut umum (pasal 1), penyelenggaraan tugas departemen Kejaksaan dilakukan Menteri/Jaksa Agung (Pasal 5) dan susunan organisasi yang

99

diatur oleh Keputusan Presiden. Terkait kedudukan, tugas dan wewenang Kejaksaan dalam rangka sebagai alat revolusi dan penempatan kejaksaan dalam struktur organisasi departemen, disahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1961 tentang Pembentukan Kejaksaan Tinggi. Pada masa Orde Baru ada perkembangan baru yang menyangkut Kejaksaan RI sesuai dengan perubahan dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Perkembangan itu juga mencakup perubahan mendasar pada susunan organisasi serta tata cara institusi Kejaksaan yang didasarkan pada adanya Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1991 tertanggal 20 November 1991. Masa Reformasi hadir ditengah gencarnya berbagai sorotan terhadap pemerintah Indonesia serta lembaga penegak hukum yang ada, khususnya dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi. Karena itulah, memasuki masa reformasi Undang-undang tentang Kejaksaan juga mengalami perubahan, yakni dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan. Kehadiran undang-undang ini disambut gembira banyak pihak lantaran dianggap sebagai peneguhan eksistensi Kejaksaan yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, maupun pihak lainnya. Keberadaan kejaksaan di Indonesia, sepenuhnya didasarkan pada paradigma atau visi tentang jati diri dan lingkungannya sebagai aparatur

100

negara yang menempati posisi sentral, upaya dan proses penegakan hukum dalam rangka mewujudkan fungsi hukum dan supremasi hukum dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat). Recht secara objektif berarti undang-undang, peraturan
128

hukum, hukum secara subjektif berarti hak, kuasa.

Oleh karena itu, basis

pengabdian institusi kejaksaan dan profesi jaksa adalah sebagai penyelenggara dan pengendali penuntutan atau selaku batas jurisdiksi negara.
129

dominus litis dalam

Dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2004 ditegaskan bahwa Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara ( Dominus

Litis ), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai penyandang Dominus

Litis , Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana ( executive ambtenaar ). Karena itulah, Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini dipandang lebih kuat dalam menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintah yang

melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.


J.C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin, J.T. Prasetyo, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, h al. 142. 129 Kejaksaan Agung Republik Indonesia Pusat Pendidikan dan Pelatihan, Op.Cit., hal. 2.
128

101

Mengacu pada UU tersebut, maka

pelaksanaan kekuasaan negara

yang diemban oleh Kejaksaan, harus dilaksanakan secara merdeka. Penjelasan ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004, bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka. Artinya, dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lain yang bertujuan melindungi profesi jaksa dalam melaksanakan tugas

profesionalnya. Akuntabilitas kejaksaan RI untuk kejaksaan RI adalah perwujudan kewajiban atau

mempertanggungjawabkan

keberhasilan

kegagalan dalam melaksanakan misi organisasi dalam upaya mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan secara periodik. Perlu diketahui bahwa pengertian akuntabilitas ini berbeda dengan pengertian akuntabilitas yang dimaksud dalam Pasal 3 angka (7) UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Dalam undang-undang ini, akuntabilitas tidak dilakukan secara periodik tetapi hanya pada saat penyelenggara negara tersebut berakhir jabatannya. B. Peranan Kejaksaan R epublik Indonesia Di Indonesia Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtsstaat ), bukan negara

kekuasaan belaka ( machtsstaat ). Franz Magnis Suseno, mengatakan kekuasaan negara antara lain adalah kejaksaan harus dijalankan atas dasar

102

hukum yang baik dan adil. Hukum menjadi landasan segenap tindakan negara dan hukum itu sendiri harus benar dan adil.
130

Hukum merupakan

suatu sistem yang dapat berperan dengan baik dan tidak pasif dimana hukum mampu dipakai di tengah masyarakat, jika instrumen

pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum. L.M. Friedman, bahwa hukum tersusun dari sub sistem hukum yang berupa substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. 131 Unsur sistem hukum ini sangat menentukan apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak. Substansi hukum menyangkut segala aspek-aspek pengaturan hukum atau peraturan perundang-undangan, struktur hukum lebih menekankan kepada kinerja aparatur hukum serta sarana dan prasarana hukum itu sendiri, sementara budaya hukum menyangkut perilaku masyarakatnya. R. Subekti, yang dikutip Ridwan Syahrani menjelaskan bahwa sistem hukum adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan.
132

Sementara itu, Sudikno Mertokusumo yang juga

dikutip Ridwan Syahrani mengatakan bahwa sistem hukum adalah suatu

130 Frans Magnis Suseno., Etika Politik Prinsip-Prinsip Dasar Kenegaraan Modern , (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 295. 131 Marwan Efendi, Op.Cit ., hlm.1. 132 H. Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum , Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, h al. 169.

103

kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut.
133

Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, lebih jauh mengatakan bahwa pada hakekatnya sistem hukum merupakan suatu kesatuan sistem besar yang tersusun atas sub-sub sistem yang kecil, yaitu sub sistem pendidikan, pembentukan hukum, penerapan hukum, dan lain-lain, yang hakekatnya merupakan sistem tersendiri pula.
134

Penegakan hukum pada dasarnya melibatkan seluruh warga Negara Indonesia, dimana dalam pelaksanaannya dilakukan oleh penegak hukum. Penegakan hukum tersebut dilakukan oleh aparat yang berwenang. Aparat negara yang berwenang dalam pemeriksaan perkara pidana adalah aparat Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Polisi, Jaksa dan Hakim merupakan tiga unsur penegak hukum yang masing-masing mempunyai tugas, wewenang dan kewajiban yang sesuai dengan Peraturan PerundangUndangan yang berlaku. Dalam menjalankan tugasnya unsur aparat penegak hukum tersebutmerupakan sub sistem dari sistem peradilan pidana. Dalam rangka penegakan hukum ini, masing-masing sub sistem tersebut mempunyai peranan yang berbeda-beda sesuai dengan bidangnya serta sesuai dengan ketentuan Perundang-Undangan, akan tetapi secara bersama-sama mempunyai kesamaan dalam tujuan pokoknya yaitu menanggulangi kejahatan dan pemasyarakatan kembali para nara pidana. Bekerjanya
Ibid . Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Bandung, 2003, h al. 151.
134 133

Hukum Sebagai Suatu Sistem

, Mandar Maju,

104

masing-masing sub sistem tersebut harus sesuai dengan ketentuan Perundang-Undangan yang mengaturnya. Salah satu sub sistem penegak hukum dari peradilan pidana adalah Lembaga Kejaksaan. Hukum dan penegakan hukum merupakan sebagian faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan. Oleh karena itu, keberadaan Lembaga Kejaksaan salah satu unsur sistem peradilan pidana mempunyai kedudukan yang penting dan peranannya yang strategis di dalam suatu negara hukum karena Lembaga Kejaksaan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan, sehingga keberadaannya dalam kehidupan masyarakat harus mampu mengemban tugas penegakan hukum.
135

Pada Pasal 1 angka 1 UU No. 16/2004 ditentukan bahwa Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penyelidik, penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain berdasarkan UU No. 16 Tahun 2004. Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun. Dengan demikian, peranan kejaksaan di Indonesia adalah dalam penuntutan yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Kejaksaan sebagai
135

Marwan Effendy, Op.Cit . hal. 2

105

salah satu lembaga penegak hukum juga dituntut lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum,

penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi. Dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya, Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan

pemerintahan di hukum dan

bidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian

mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan dan wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan

kesusilaan serta

keadilan yang hidup dalam masyarakat. Peranan lembaga Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum posisinya sangat menentukan berhasil tidaknya Kejaksaan.

C. Tugas dan Wewenang Kejaksaan Dalam Proses Peradilan Pidana

Sebagai Lembaga Penuntut

an

Lembaga Kejaksaan salah satu unsur sistem peradilan pidana mempunyai tugas dan fungsi di bidang penuntutan . Pengertian penuntutan

adalah suatu tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang, yang dalam hal ini dan cara yang diatur dalam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa oleh Hakim di Pengadilan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka (7) KUHAP dan Pasal 3 UU No. 16 Tahun 2004. Selanjutnya dalam Pasal 2 angka (1) UU No 16 Tahun 2004, disebutkan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam undang-undang ini yang disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintah

106

yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Untuk kesempurnaan tugas penuntutan, Jaksa perlu mengetahui sejelas-jelasnya semua pekerjaan yang dilakukan dalam penyidikan perkara pidana dari permulaan sampai akhir, yang seluruhnya dilakukan atas dasar hukum. Tugas dan wewenang Kejaksaan RI, secara normatif, khususnya dalam hal penanganan perkara pidana, dapat dilihat di beberapa pasal dalam ketentuan UU No. 16 Tahun 2004, antara lain ditegaskan dalam Pasal 30 ayat (1) yaitu : a. Melakukan penuntutan; Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Dalam ketentuan di atas, ada hal yang baru diatur dalam UU No. 16 Tahun 2004, yaitu mengenai tugas dan wewenang Kejaksaan dalam melakukan Penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Adapun tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang dimaksud adalah sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 30 ayat 1 huruf d bahwa kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan

b. c.

d. e.

107

sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Demikian pula halnya pada Kejaksaan Negeri Banda Aceh, di mana Jaksa yang ditunju k sebagai penuntut umum menjalakan tugas

layaknya lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang khususnya KUHAP dan KUHAP dan Pasal 3 UU No. 16 Tahun 2004 dan berbagai ketentuan lain yang berkaitan dengan penyidikan dan penuntutan.
136

Demikian pula halnya dalam hal kewenangan khsuus di bidang tindak pidana khusus seperti tindak pidana korupsi Jaksa disamping sebagai penuntut dalam sistem peradilan pidana juga dapat berperan sebagai penyidik. D alam tindak pidana khusus dalam hal ini korupsi Jaksa berperan sebagai penyidik dan penuntut umum. Sebagai penyidik maka diperlukan suatu keahlian dan keterampilan yang khusus untuk mencari dan mengumpulkan bukti sehingga dapat diketemukan tersangkanya. Pada dasarnya penyelidikan dan penyidikan setiap tindak pidana merupakan

136

Mukhzan, Kasi Pidum Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Wawancara Tanggal 3 Mei 2011

108

awal dalam penanganan setiap tindak pidana terutama tindak pidana korupsi. 137 Keterangan tersebut di atas menjelaskan bahwa menjelaskan bahwa Tugas dan Wewenangan Kejaksaan termasuk dalam hal ini

Kejaksaan Negeri Banda Aceh tidak hanya sebagai sebagai Lembaga Penuntut dalam Proses Peradilan Pidana tetapi juga dapat berperan dalam penyidik terhadap tindak pidana tertentun. Akan tetapi dalam penulisan ini pembahasan hanya dibatasi pada peran kejaksaan sebagai lembaga penuntut. Dalam menjalankan Kejaksaan Negeri Banda Aceh juga melalui berbagai proses mulai dari menerima perkara hasil penyidikan penyidik sampai pada pada pelaksanaan putusan pengadilan. Dalam penyusunan suatu tuntutan jaksa berwenang mengajukan prapenuntutan. Prapenuntutan

merupakan wewenang yang diberikan undang-undang kepada Jaksa Penuntut Umum. Apabila Jaksa Penuntut telah menerima dan memeriksa hasil penyidikan dari Kepolisian berikut bukti-buktinya, dan kemudian berpendapat hasil penyidikan belum lengkap dan sempurna, maka atas dasar itu, Jaksa Penuntut Umum segera mengembalikan berkas dengan disertai petunjuk-petunjuk seperlunya. Misalnya, tambahan dan merinci tindakan tersangka dan mencari bukti lainnya yang akan memperkuat dugaan pelanggaran tersebut dan sebagainya. Dalam kaitan ini, penyidik segera melaksanakan permintaan penuntut umum.

137

Nilawati, Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Wawancara Tanggal 4 Mei 2011

109

Sebaliknya,

Jaksa

Penuntut

Umum

berpendapat

bahwa

pemeriksaan pendahuluan sudah lengkap, maka Jaksa Penuntut Umum segera membuat surat dakwaan dan melimpahkannya ke Pengadilan. Kemudian Jaksa Penuntut Umum harus memperhatikan dua hal yaitu kepentingan umum dan kepentingan tersangka. Bagi tersangka, Jaksa Penuntut Umum memberikan kesempatan untuk persiapan pembelaan dirinya. Bagi kepentingan umum adalah untuk menghindari sejauh mungkin jalan menghentikan penuntutan demi kepentingan umum.
138

Dalam hal penuntut umum berpendapat ada alasan untuk tidak menuntut, maka harus menetapkan untuk menghentikan penuntutan. Ada dua macam keputusan tidak menuntut yang dibenarkan KUHAP. penghentian penuntutan karena alasan teknis. Kedua, Pertama, Penghentian

penuntutan karena alasan kebijakan. Wewenang tidak menuntut karena alasan teknis ada tiga keadaan yang dapat menyebabkan penuntut umum membuat ketetapan tidak menuntut karena alasan teknis atau ketetapan penghentian penuntutan, yaitu apabila tidak cukup bukti, peristiwanya bukan tindak pidana korupsi dan Kalau perkaranya ditutup demi hukum. Kewenangan untuk menghentikan penuntutan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 140 ayat (2) KUHAP bahwa dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau
139

138 139

Mukhzan, Kasi Pidum Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Wawancara Tanggal 3 Mei 2011 Nilawati, Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Wawancara Tanggal 4 Mei 2011

110

perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan. Wewenang tidak menuntut karena alasan kebijakan (diskresi) penuntutan yang dijalankan bersumber dari asas yang dikenal sebagai asas oportunitas atas kebijakan penuntutan. Dalam asas oportunitas

Jaksa boleh memutuskan tidak akan menuntut perkara pidana apabila penuntutan itu tidak dapat dilakukan atau tidak patut dilakukan atau tidak dikehendaki, atau apabila penuntutan itu akan lebih merugikan kepentingan umum atau pemerintah daripada apabila penuntutan dilakukan. Dalam UU No. 16 Tahun 2004 Pasal 35 huruf c Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.

Kepentingan umum yang dimaksud adalah

kepentingan bangsa dan

Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan opportunitas yang hanya dapat

dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negera yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Guna mengimplementasikan tugas dan kewenangan Kejaksaan, sesuai dengan dengan perencanaan stategis Kejaksaan maka telah disusun Visi Kejaksaan, yaitu mewujudkan Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang melaksanakan tugasnya secara independen dengan

menjunjung tinggi HAM dalam negara hukum berdasarkan Pancasila. Dalam rangka mewujudkan visi tersebut, ditetapkan misi Kejaksaan yaitu :

111

d. Menyatukan tata pikir, tata laku dan tata kerja dalam penegakan hukum; e. Optimalisasi pemberantasan KKN dan penuntasan pelanggaran HAM; f. Menyesuaikan sistem dan tata laksana pelayanan dan penegakan hukum dengan mengingat norma keagamaan, kesusilaan, kesopanan dengan memperhatikan rasa keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat. Dalam penentuan arah kebijakan yang baik guna mewujudkan visi dan misi penegakan hukum tersebut, maka diperlukan langkah-langkah strategis yang bersinergi dengan pelaksanaan tugas pokok dan wewenang dari kejaksaan itu sendiri, termasuk dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Langkah-langkah strategis tersebut tertuang dalam berbagai peraturan dan kebijakan yang telah ditetapkan, yang pada akhirnya diharapkan dapat membantu memperlancar upaya kejaksaan dalam menegakkan supremasi hukum seperti yang diharapkan oleh masyarakat selama ini. D. Pengawasan Lembaga Kejaksaan R.I

Sepert i dijelaskan sebelumnya bahwa peranan lembaga Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum posisinya sangat menentukan berhasil tidaknya Kejaksaan. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat kita ringkas bahwa tugas dan wewenang Kejaksaan meliputi: a. Penuntut Umum b. Penyidikan tindak pidana tertentu;

112

c. Mewakili negara/pemerintah dalam perkara Perdata dan Tata Usaha Negara; d. Memberi pertimbangan hukum kepada Instansi Pemerintah; e. Mewakili kepentingan umum. Tugas dan wewenang Kejaksaan tersebut sangat luas menjangkau area hukum pidana, perdata maupun tata usaha negara. Dengan demikian dapat digambarkan bahwa betapa besar tugas dan wewenang yang dimiliki oleh lembaga Kejaksaan. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya lembaga Kejaksaan juga menerima kritik tajam mengenai budaya kerja, manajemen lembaga, akuntabilitas publik dan yang tak kalah pentingnya adalah masalah pengawasan. Pengawasan lembaga Kejaksaan sebagai subsistem S peradilan Pidana (SPP) sangat penting artinya sebagai rangkaian pengawasan secara menyeluruh terhadap sub-sub kerangka yang lebih luas dalam hubungannya untuk sistem yang lain dalam mencapai tujuan istem

SPP dan penegakan hukum. Mardjono Reksodiputro lebih lanjut mengatakan : Keterkaitan antar sub-sistem satu dengan yang lainnya adalah seperti bejana berhubungan setiap masalah dalam salah satu subsistem (mis: Kejaksaan) akan menimbulkan dampak pada subsistem awal dan demikian selanjutnya terus menerus. Pada akhirnya tidak jelas mana yang merupakan sebab (awal) dan yang mana akibat (reaksi). 140 Ini tidak terlepas dengan adanya mekanisme kontrol terhadap subsub sistem dalam SPP termasuk lembaga Kejaksaan. Berkaitan dengan hal
140

Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dan Sistem Peradilan Pidana, Op. Cit , hal. 89

113

tersebut pertanggungjawaban Kejaksaan dapat dilihat dari dua sisi, pertama pertanggungjawaban institusi dan kedua, pertanggungjawaban

personal. Sedangkan pengawasan terkait dengan pedoman organisasi, kebijakan, prosedur dan peraturan. Adanya ( discretion ) kebijakan

kewenangan dan penggunaan wewenang dari aspek positif, justru merupakan saran acuan bagi aparatur Kejaksaan di dalam menjalankan tugas dan wewenangnya secara bertanggungjawab.
141

Jaksa selaku penegak hukum dalam menggunakan kewenangannya di dalam bertindak dalam hal bersentuhan dengan kepentingan publik seperti pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penyitaan,

penangkapan serta penahanan dengan cara-cara yang diatur oleh undangundang tidak menutup kemungkinan dapat melanggar hak asasi manusia. Berkenaan dengan hal tersebut Adnan Buyung Nasution, mengatakan bahwa : Kejaksaan Agung harus menegakkan prinsip-prinsip atau nilai-nilai negara hukum. Yaitu kebenaran dan keadilan serta hak-hak asasi manusia, pikiran ini bersifat normatif, karena substansi hukum itu berisi norma-norma yang harusnya menjadi dasar dan acuan dalam sikap maupun tindakan Kejaksaan yang menjalankan tugas dan fungsinya. Dengan kata lain perkataan nilai-nilai kebenaran, keadilan dan hak-hak asasi manusia itulah roh daripada hukum. Nilai hak asasi manusia menjadi bagian dari roh hukum karena hak asasi manusia merupakan intisari dari pengertian negara hukum maupun demokrasi. 142

141

Marwan Effendy, Akuntabilitas Kejaksaan dan Komisi Pengawas, Makalah, Jakarta 28 Oktober

2004. Adnan buyung Nasution, Posisi Kejaksaan : Kemandirian Kelembagaan dalam Mewujudkan Supremasi Hukum, Pokok-pokok pikiran sebagai pengantar diskusi pada seminar sehari tentangPosisi Kejaksaan dalam Sistem ketatanegaraan RI:Dalam rangka HBA, Jakarta tanggal 20 Juli 2000.
142

114

Pertanggung

jawaban

Kejaksaan

secara

institusi

terhadap

penuntutan yang dilakukan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani langsung kepada Presiden dan DPR sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 37 UU No 16 Tahun 2004. Ini merupakan konsekuensi logis dari posisinya di dalam sistem ketatanegaraan sebagai lembaga pemerintah. Berkenaan mengatakan bahwa : Pengawasan merupakan salah satu pilar dalam manajemen yang baik, lemahnya pengawasan akan membawa dampak yang negatif pada seluruh produktivitas lembaga apapun. Sebagai pemegang kekuasaan untuk melalukan proses peradilan, kewenangan yang tanpa batas akan membahayakan publik. Oleh karenanya diperlukan mekanisme kontrol untuk mencegah atau paling tidak mereduksi adanya penyimpangan hukum dan penyalahgunaan kewenangan demi terjaminnya hak asasi manusia. Mekanisme kontrol yang diciptakan 143 haruslah rasional, proporsional dan obyektif. Selanjutnya Harkristuti Harkrisnowo mengatakan bahwa untuk dapat menjamin kinerja yang baik, dalam penyelenggaraan proses peradilan pidana oleh Kejaksaan mekanisme kontrol dapat dilakukan sebagai berikut : 1. Mekanisme kontrol internal, yang dapat dirumuskan dalam perundangundangan internal lembaga, yang mendorong agar : a. Sesama aparat menjaga kinerja kolega mereka; dan b. Agar atasan meningkatkan kualitas produk aparat yang dipimpinnya, dengan memberikan penghargaan pada personel yang berprestasi, dan menjatuhkan sanksi dalam berbagai tingkatan, bagi mereka yang buruk performancenya ;
Harkristuti Harkrisnowo, Membangun Strategi kinerja Kejaksaan bagi peningkatan Produktivitas, Profesionalisme, dan Akuntabilitas Publik: Suatu usulan pemikiran, makalah disampaikan dalam rangka seminar mewujudkan supremasi hukum, Puslitbang Kejagung, Jakarta, 22 Agustus 2001.
143

dengan

hal

tersebut

Harkristuti

Harkrisnowo

115

2. Mekanisme kontrol eksternal, yang dapat dilakukan oleh lembaga penegak hukum antara lain maupun oleh publik : a. Kontrol oleh lembaga lain dalam Sistem Peradilan Pidana. Kontrol ini harus secara tegas dirumuskan dalam perundangundangannya sekaligus dengan sanksi yang diancamkan apabila personel atau lembaga tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan due process of Law; b. Kontrol oleh publik. Untuk menegaskan bahwa partisipasi publik merupakan faktor pendorong profesionalisme Kejaksaan, maka perlu dirancang adanya mekanisme kontrol yang memberikan akses pada publik manakala kinerja lembaga ini mengabaikan ketentuan yang ada. Selain melalui pra peradilan, adanya lembaga yang melakukan pemantauan terhadap setiap lembaga akan sangat membantu. Melihat pentingnya lembaga semacam ini, maka perumusannya perlu dimasukkan dalam peraturan perundang-undangan organik, untuk menjamin bahwa keberadaannya diperhatikan oleh Kejaksaan. 144 Mekanisme kontrol terhadap lembaga Kejaksaan secara internal yaitu Jaksa Agung Muda Pengawasan, Majelis kehormatan Jaksa, Kode etik dan Eksaminasi perkara, secara eksternal: Komisi Kejaksaan dan Masyarakat. Disisi yang lain, kontrol terhadap Kejaksaan secara horizontal dilakukan oleh sub-sub sistem lain dalam SPP dan secara vertikal oleh atasan dengan bentuk pengawasan melekat dan pengawasan fungsional. Selain itu, pengawasan masyarakat adalah pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat yang disampaikan secara l isan atau tertulis kepada

aparatur pemerintah yang berkepentingan berupa sumbangan pikiran, gagasan atau keluhan/pengaduan yang bersifat membangun yang disampaikan secara langsung maupun melalui lisan. Saat ini untuk tingkat kejaksaan tinggi juga dibentuk Satuan Tugas (Satgas) yang berwenang pula
144

Ibid.

116

mengawasi

tindak tanduk
145

jaksa

dalam menjalankan

tugas

dan

wewenangnya.

Lembaga Kejaksaan sebagai bagian dari aparatur pemerintah adalah organisasi kerja yang bertugas melayani kepentingan umum dan masyarakat. Oleh karena itu lembaga Kejaksaan sebagai bagian dari pemerintahan selalu mendapat perhatian dan sorotan dari berbagai pihak di lingkungan masyarakat, baik yang langsung maupun tidak langsung dilayani oleh lembaga Kejaksaan. Ini tidak lepas dari peran Kejaksaan sebagai lembaga penuntutan dan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang.

Amanto, Anggota Satuan Tugas Kejaksaan Tinggi Kejaksaan Tinggi Aceh, Wawancara Tanggal 5 Mei 2011

145

117

BAB IV RENCANA TUNTUTAN DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA PADA PENGADILAN NEGERI A. Pelaksanaan Sistem Penuntutan Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Penuntutan sebagaimana disebutkan dalam KUHAP adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputuskan oleh hakim di sidang pengadilan. Di dalam proses penuntutan tersebut yang berperan adalah lembaga kejaksaan se perti halnya Kejaksaan Negeri Daerah

Banda Aceh yang memiliki wewenang menuntut perkara pidana di Hukum Kota Banda Aceh.

Lembaga penegak hukum Kejaksaan Negeri Banda Aceh seperti Kejaksaan di seluruh Indonesia dituntut untuk lebih berperan dalam

menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum dan penegakan HAM. Selain itu, kejaksaan juga harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan antara lain turut menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan pencasila serta berkewajiban untuk turut menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah dan negara serta melindungi kepentingan masyarakat.

124

118

Berdasarkan hasil penelitian pada Kejaksaan Negeri Banda Aceh yang beralamat di Jalan Cut Meutia Kota Banda Aceh, diketahui bahwa seperti halnya pada Kejaksaan Negeri lainnya dalam pelaksanaan tugasnya

dilakukan pembagian pola organisasi didasarkan atas kedudukan, beban kerja dan atau kekhususan suatu daerah. Untuk pada Gambar Diagram berikut. GAMBAR STRUKTUR KEJAKSAAN NEGERI BANDA ACEH KAJARI Soufnir Cibro, S.H. lebih jelasnya dapat dilihat

Kasubbag Pembinaan Rahmadi, S.H.

Kasi Pidum Mukhzan, S.H.,M.H.


10 0 8 0 6 0 4 0

Kasi Pidsus Nilawati, S.H.,M.H.

Es at Ws et o Kasi Intel N rth Abdul Kahar, S.H. 2 dQ r n t 3 dQ r r t 4 hQ r t t

Kasi Datun 2 0 Nurhalma,S.H.


0 10 0 1 tQ r s t

Sumber : Kejaksaan Negeri Banda Aceh, 2011 8 0


6 0 Es at Berdasarkan Struktur Organisasi di atas, dapat pula dijelaskan 4 0 Ws et

tugas dari Kepala Kejaksaan dan Kepala Seksi dalam Kejaksaan Negeri 2 0 Banda Aceh dapat dijelakan 1s Qtr uraikan 3rdQtr 4tberikut: pada 2ndQtr sebagai hQtr t 1. Kepala Kejaksaan
0

N rh ot

119

Kepala Kejaksaan mempunyai tugas antara lain: a. Memimpin dan mengendalikan Kejaksaan Negeri dalam

melaksanakan tugas, wewenang dan fungsi Kejaksaan Negeri yang bersangkutan agar berdaya gunadan berhasil guna. b. Melakukan penyelidikan, penyidikan, prapenuntutan, pemeriksaan tambahan, penuntutan eksekusi dan tindakan hukum lain berdasarkan peraturan perundangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung. c. Melakukan pencegahan dan pelarangan terhadap orang yang terlibat dalam suatu perkara pidana untuk masuk ke dalam atau keluar, meninggalkan wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia, peredaran barang cetakan yang dapat mengganggu ketertiban umum, penyalahgunaan dan atau penodaan agama serta pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan ketertiban masyarakat dan Negara berdasarkan peraturan perundangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung. d. Melakukan tindakan hukum di bidang Perdata dan Tata Usaha

Negara, mewakili pemerintah dan negara di dalam dan di luar pengadilan sebagai usaha menyelamatkan kekayaan Negara baik di dalam dan di luar negeri bedasarkan peraturan perundangundangandan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.

120

e. Membina dan melakukan kerjasama dengan instansi pemerintah dan organisasi lain di daerah hukumnya untuk memecahkan permasalahan yang timbul terutama yang menjadi tanggung jawabnya. f. Memberikan perijinan sesuai dengan bidang tugasnya dan

melaksanakan tugas-tugas lain berdasarkan peraturan perundangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan Jaksa Agung. g. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi serta melaksanakan tugas-tugas lain sesuai petunjuk Kepala Kejaksaan Tinggi. 2. Kepala Sub Bagian Pembinaan ,

Kasubsi Pembinaan bertugas melakukan pembinaan atas manajemen dan melaksanakan pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan ketatausahaan kepegawaian, kesejahteraan pegawai,

keuangan, perlengkapan organisasi dan tata laksana, pengelolaan atas tanah milik Negara yang menjadi tanggung jawabnya serta memberikan

dukungan pelayanan teknis dan administrasi bagi seluruh satuan kerja di lingkungan Kejaksaan Negeri dalam rangka memperlancar pelaksanaan tugas. Sub bagian pembinaan terdiri dari: a. Urusan Keuangan, mempunyai tugas melakukan urusan keuangan. b. Urusan Kepegawaian yang mempunyai tugas melakukan urusan kepegawaian, integritas kepribadian dan kesejahteraan pegawai.

121

c. Urusan

perlengkapan,

mempunyai

tugas

melakukan

urusan

perlengkapan dan urusan kerumahtanggaan. d. Urusan Tata Usaha, mempunyai tugas melakukan urusan

ketatausahaan. e. Urusan Perpustakaan, mempunyai tugas melakukan urusan

perpustakaan. Urusan dipimpin oleh seorang Kepala Urusan yang bertanggung langsung kepada Kepala Sub Bagian. 3. Kepala Seksi Intelijen Kepala Seksi Intelijen bertugas melakukan kegiatan intelijen jawab

yustisian di bidang ideologi, politik, ekonomi, keuangan, sosial budaya dan pertahanan keamanan untuk mendukung kebijaksanaan penegakkan hukum dan keadilan baik preventif maupun represif melaksanakan dan atau turut serta menyelenggarakan ketertiban dan ketentraman umum serta pengamanan pembangunan nasional dan hasil-hasilnya di daerah hukum Kejaksaan Negeri Banda Aceh. Sub Seksi Intelijen terdiri dari : a. Sub seksi politik, mempunyai tugas melakukan kegiatan Yustisial Intelijen

penyelidikan, pengamanan dan penggalangan untuk

menanggulangi hambatan, tantangan, ancaman dan gangguan serta mendukung operasi yustisi mengenai masalah ideologi dan politik, media massa, barang cetakan, orang asing, dan cegah tangkal sumber daya manusia, pertahanan keamanan dan penanggulangan

122

tindak pidana subversi, tindak pidana perbatasan dan pelanggaran wilayah perairan. b. Sub seksi ekonomi dan keuangan, mempunyai tugas melakukan kegiatan Intelijen Yustisial penyelidikan, pengamanan, dan

penggalangan untuk menangani hambatan, tantangan, ancaman dan gangguan serta mendukung operasi yustisi mengenai masalah investasi, produksi, distribusi, keuangan, perbankan, sumber daya alam dan pertanahan, penanggulangan tindak pidana ekonomi, korupsi serta pelanggaran zone eksklusif. c. Sub Seksi Produksi dan Sarana Intelijen, mempunyai tugas melakukan kegiatan di bidang produksi berupa laporan berkala, insidentil perkiraan pembinaan aparat intelijen terhadap

kemampuan dan integritas aparat intelijen di lingkungan Kejaksaan Negeri dan menyelenggarakan administrasi intelijen. Sub Seksi dipimpin oleh seorang Kepala Sub Seksi yang bertanggung jawab kepada Kepala Seksi. 4. Kepala Seksi Pidana Umum Kepala Seksi Tindak Pidana Umum bertugas melakukan dan atau mengendalikan kegiatan prapenuntutan, pemeriksaan tambahan,

penuntutan,pelaksanaan penetapan hakim dan putusan pengadilan, pengawasan terhadap pelaksaan keputusan lepas bersyarat dan tindakan hukum lainnya dalam perkara tindak pidana umum di daerah hukum Kejaksaan Negeri Banda Aceh.

123

Seksi Tindak Pidana Umum terdiri dari: a. Sub Seksi Prapenuntutan, mempunyai tugas melakukan urusan pemberian bimbingan, pengendalian dan petunjuk mengenai

penerimaan pemberitahuan penyidikan, penghentian penyidikan, hasil penyidikan, serta penerimaan tanggung jawab atas tersangka dan -

barang bukti/sitaan, mengadministrasikannya serta mendokumentasi kannya. b. Sub Seksi Penuntutan, mempunyai tugas melakukan urusan penuntutan, melakukan upaya hukum, eksekusi dan eksaminasi terhadap perkara tindak pidana umum serta pengadministrasian dan pendokumentasian. 5. Kepala Seksi Pidana Khusus Kepala Seksi Pidana Khusus bertugas melakukan dan atau

mengendalikan kegiatan penyelidikan, penyidikan, prapenuntutan, pemeriksaan tambahan, penuntutan, melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan, pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat dan tindakan hukum lain dalam perkara tindak pidana khusus di daerah hukum Kejaksaan Negeri Banda Aceh. Seksi Tindak Pidana Khusus terdiri dari: a. Sub Seksi Penyidikan, mempunyai tugas melakukan segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan penyidikan tindak pidana khusus serta menyiapkan bahan, membuat telaahan, dan memberikan bimbingan teknis terhadap kegiatan penyidikan tindak pidana khusus.

124

b. Sub Seksi Penuntutan, mempunyai tugas melakukan urusan penuntutan, melakukan upaya hukum eksekusi dan eksaminasi terhadap perkara tindak pidana khusus serta pengadministrasian dan pendokumentasian. 6. Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara berugas

melakukan dan atau mengendalikan kegiatan penegakan, bantuan, pertimbangan dan pelayanan hukum serta tindakan hukum lain kepada Negara, pemerintah dan masyarakat di bidang perdata dan tata usaha Negara. 146 Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam penyelenggaraan tugas dan fungsinya Kejaksaan Negeri Banda Aceh terbagi atas beberapa seksi yang melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing termasuk dalam hal tugas dan fungsi di bidang penuntutan dalam penyelesaian suatu Perkara Pidana. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kasi Tindak Pidana Umum

Kejaksaan Negeri Banda Aceh diketahui bahwa dalam penyelesaian suatu tindak pidana ditempuh beberapa tahapan penyelesaian. Pada saat mendapat laporan adanya suatu tindak pidana dari masyarakat, pihak Kepolisian sebagai penyelidik mengadakan kegiatan penyelidikan berupa pencarian saksi-saksi dan pengumpulan barang bukti. Kemudian setelah jelas menemukan siapa pelaku sebagai calon tersangka dan barang

146

Rachmadi, Kasubbag Pembinaan Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Wawancara 6 Juni 2011

125

buktimenunjukkan bahwa adanya tindak pidana yang dilakukan, maka tindakanberikutnya dilakukanlah penyidikan. Dalam tahap penyidikan, Polisi Penyidik melakukan upaya paksa berupa pemanggilan saksi dan terdakwa, dan bila dianggap perlu Penyidik membuat surat perintah penangkapan, penahanan, dan penyitaan barangbarang bukti dimana semua hasil pemeriksaan itu akan tertuang dalam Berita Acara sesuai dengan Pasal 75 KUHAP. Hasil akhir dari semua pemeriksaan itu dikumpulkan dalam satu berkas yaitu berkas perkara. Langkah selanjutnya berkas perkara tersebut dikirim ke Kejaksaan yang biasa disebut dengan tahap pra penuntutan. Sebagai tindakan lanjutan, Kepala Kejaksaan Negeri dengan menerima saran dari Kepala Seksi Tindak Pidana Umum menunjuk Jaksa Peneliti (disebut dengan formulir P-16) berdasarkan Surat Pemberitahuan Dimulai Penyidikan (SPDP) dan berkas perkara yang diberikan oleh Polisi Penyidik.
147

Akhirnya Jaksa Peneliti yang telah ditunjuk itulah yang akan melakukan penelitian berkas perkara. Hasil dari penelitian berkas perkara tersebut dapat menunjukan apakah berkas perkara tersebut sudah lengkap atau belum. Apabila berkas perkara dinyatakan telah lengkap (disebut dengan formulir P-21), Polisi Penyelidik melakukan pelimpahan perkara dengan mengirimkan berkas perkara beserta tersangka dan barang bukti ke Kejaksaan. Baru kemudian ditunjuklah Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan penuntutan oleh Kepala Kejaksaan Negeri dengan saran dari Kepala Seksi Tindak Pidana Umum. Dalam hal ini, penentuan penunjukan
147

Moch. Isharyadi, Kasat Reskrim Polresta BandaAceh, Wawancara 7 Juni 2011

126

Jaksa Peneliti tidaklah selalu menjadi Jaksa Penuntut Umum, tergantung dari kebijakan Kepala Kejaksaan Negeri.
148

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa prosedur pelimpahan perkara ke Jaksa Penuntut Umum tidaklah ditentukan oleh Jaksa Penuntut Umum itu sendiri, namun melalui penunjukan oleh Kepala Kejaksaan Negeri dengan saran dari Kepala Seksi Tindak Pidana Umum. Hal ini sesuai dengan penjelasan dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-undang No. 16 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan dalam pelaksaan tugas dan wewenangnya di bidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku, dan tata Kejaksaan. Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa dilakukan jaksa penuntut umum langkah-langkah yang

esuai dengan ketentuan Pasal 14 KUHAP

yang menyebutkan tentang wewenang Penuntut Umum, sebagaimana dijelaskan oleh diperoleh informasi bahwa: 1. Apabila penyidikan oleh Penyidik belum selesai dalam waktu 20 hari, dan bila dilakukannya penahanan terhadap tersangka maka Penyidik meminta perpanjangan penahanan ke Kejaksaan selama 40 hari (disebut dengan formulir T-4). 2. Setelah Penyidik selesai membuat Berkas Perkara dan dilimpahkan ke Kejaksaan, Jaksa melakukan penelitian Berkas Perkara penyidikan dari

148

Mukhzan, Kasi Pidana Umum kejaksaan Negeri Banda Aceh, Wawancara 13 Juni 2011

127

Penyidik atau Penyidik Pembantu dan mengambil sikap apakah Berkas Perkara tersebut telah lengkap atau belum lengkap. 3. Apabila Berkas Perkara tersebut belum lengkap, maka Jaksa memberitahukan kepada Penyidik bahwa hasil penyidikan belum lengkap (disebut dengan formulir P-18). Dan Jaksa mengembalikan berkas perkara yang disertai dengan petunjuk paling lama 14 hari kepada Penyidik (disebut dengan formulir P-19). 4. Apabila ternyata hasil penyidikan atau Berkas Perkara telah lengkap, maka dikeluarkan Surat Pemberitahuan Hasil Penyidikan Sudah Lengkap (disebut formulir P-21). 5. Penyidik menyerahkan tersangka dan barang buktinya ke Kejaksaan. Bila perlu dilakukannya penahanan kepada tersangka maka kemudian Kejaksaan melakukan penahanan atau penahanan lanjutan (disebut dengan formulir BA-10) dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik (disebut dengan formulir T-7). 6. Membuat Surat Dakwaan (disebut dengan formulir P-29), yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi : a. Nama lengkap, tempat lahir, umur, atau tanga lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka; b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai Tindak Pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat Tindak Pidana itu dilakukan. 7. Melimpahkan perkara ke Pengadilan (disebut dengan formulir P-31).

128

8. Setelah menerima penetapan dari Hakim mengenai waktu sidang, maka 3 (tiga) hari sebelum sidang Jaksa membuat dan menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai dengan surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan (disebut dengan formulir P-37). 9. Setelah sidang dibuka dan dilaksanakan oleh Hakim di Pengadilan, Hakim memerintahkan Jaksa untuk membacakan dakwaannya. Kemudian Hakim menanyakan pada terdakwa apakah sudah mengerti isi dakwaan Jaksa. Apabila terdakwa menyatakan mengerti, diadakanlah pemeriksaan saksi-saksi disertai barang bukti dan bukti lainnya, misalnya bukti surat visum at repertum dalam kasus perkosaan

dan penganiayaan. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan terhadap terdakwa. Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di Persidangan dan pemeriksaan dinyatakan selesai, barulah
149

Jaksa

melakukan

penuntutan(disebut dengan formulir P-42).

Jadi sebelum seorang Jaksa melakukan Penuntutan, terdapat beberapa tahapan dalam memproses kasus kekerasan fisik di lingkungan rumah tangga yang masuk ke Kejaksaan Negeri Banda Aceh seperti yang sudah dijelaskan di atas. Penuntutan dilakukan dalam hal-hal untuk memperoleh putusan hakim agar terhadap seseorang dijatuhi pidana

Mukhzan dan Maimunah, Kasi Pidana Umum dan Kasubsi Penuntutan Pidum kejaksaan Negeri Banda Aceh, Wawancara 13 Juni 2011

149

129

(tuntutan pidana) inisiatifnya adalah pada perseorangan, yaitu pada pihak yang dirugikan. Lama kelamaan sistem ini menunjukan kekurangan-kekurangan yang me ncolok. Penuntutan secara terbuka ( accusatory murni), dengan

sendirinya telah menyebabkan penuntutan kesalahan seseorang menjadi lebih sulit, sebab yang bersangkutan segera akan mengetahui dalam keseluruhannya, semua hal yang memberatkan dirinya, sehingga demikian ia akan memperoleh kesempatan untuk menghilangkan sebanyak mungkin bukti-bukti atas kesalahannya.
150

Sistem penuntutan saat ini masih mengalami perdebatan khususnya masalah independensinya. Keberadaan sistem penuntutan dalam

menjalankan perannya di suatu negara agar dapat berjalan dengan baik, harus disesuaikan dengan budaya dan sejarah dari masing-masing Negara. Oleh karena itu, keberadaan sistem penuntutan dalam kekuasaan negara, masih menjadi dilema apakah penuntutan sebagai badan publik memenuhi tugas eksekutif atau kekuasaan kehakiman. Keberadaan sistem penuntutan dalam kekuasaan Negara termasuk di Indonesa merupakan kewenangan yang dimiliki lembaga Kejaksaan sebagai bagian dari lembaga pemerintahan. Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan ditegaskan kekuasaan negara tersebut dilaksanakan secara merdeka. Oleh karena itu, Kejaksaan dalam
Mukhzan dan Maimunah, Kasi Pidana Umum dan Kasubsi Penuntutan Pidum Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Wawancara 13 Juni 2011
150

130

melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya. Selanjutnya ditentukan Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Dengan demikian Jaksa Agung selaku pimpinan Kejaksaan dapat sepenuhnya merumuskan dan mengendalikan arah dan kebijakan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan. Dalam kaitannya dengan tugas yang diemban oleh Jaksa Penuntut Umum sebagaimana dijelaskan sebelumnya, maka eksistensi surat tuntutan (requisitoir) merupakan bagian yang penting dalam proses hukum acara pidana. Surat tuntutan (requisitoir) dibuat secara tertulis dan dibacakan di

persidangan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 182 ayat (1) huruf c KUHAP. Surat tuntutan (requisitoir) mencantumkan tuntutan jaksa

penuntut umum terhadap terdakwa, baik berupa penghukuman atau pembebasan dan disusun berdasarkan pemeriksaan saksi dan saksi ahli, alat bukti, dan keterangan terdakwa. Berbeda dengan surat dakwaan yang disampaikan di awal persidangan, belum ada ancaman pidananya, dan disusun berdasarkan berita acara penyidik/ polisi. fungsi surat dakwaan adalah

Berlainan dengan surat tuntutan, maka

sebagai dasar pemeriksaan di sidang Pengadilan, sebagai dasar pembuatan surat tuntutan (requisitoir) , sebagai dasar pembuatan pembelaan terdakwa dan atau pembelanya, sebagai dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusan, dan sebagai dasar pemeriksaan peradilan selanjutnya.

131

Pemeriksaan didasarkan kepada surat dakwaan dan pemeriksaan tidak batal jika batas-batas itu dilampaui tetapi putusan hakim hanya boleh mengenai peristiwa-peristiwa yang terletak dalam batas itu. Tuntutan Penuntut Umum menjadi dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusan. Putusan hakim tanpa adanya tuntutan penuntut umum berakibat putusan batal demi hukum. Oleh karena itu, perlu diawali dengan suatu rencana tuntutan. Rencana Tuntutan (rentut) bukanlah sebuah istilah yang baru dalam proses peradilan pidana. Rentut telah mulai dikenal dan diberlakukan serta diterapkan oleh Kejaksaan sejak tahun 1985, yaitu berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) Nomor 09/1985. istilah resmi dari Rentut, berdasarkan Surat Edaran tersebut adalah Pedoman Tuntutan Pidana. Dasar pemikiran adanya Rentut adalah dalam rangka pengendalian perkara agar tidak terjadi disparitas tuntutan yang terlalu mencolok pada perkara-perkara yang jenis tindak pidanya sama. Rentut hanya berlaku untuk jenis-jenis tindak pidana yang ditetapkan oleh Kejaksaan Agung yang dari waktu ke waktu dapat berubah seiring dengan perkembangan zaman. Untuk tindak pidana umum, kriteria perkara penting yang harus melalui Rentut diatur dalam Instruksi Jaksa Agung Nomor INS004/J.A/3/1994, antara lain adalah dengan melibatkan tokoh masyarakat atau tokoh publik lainnya, menggunakan modus atau arena yang canggih, menimbulkan banyak korban, berkaitan dengan keamanan negara, perkara yang diduga penanganannya telah terjadi penyimpangan oleh aparat

132

penegak hukum, serta perkara lain yang mendapat perhatian khusus pimpinan. Sementara untuk tindak pidana khusus diatur dalam Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-001/J.A/4/1995 Tentang Pedoman Tuntutan Pidana. Dalam SEJA keluaran tahun 1995 ini ditetapkan tiga faktor dalam menentukan apakah suatu perkara tindak pidana khusus itu harus melalui Rentut atau tidak yakni didasarkan pada kriteria: jenis perbuatan, keadaan diri pelaku dan dampak dari perbuatan tersebut.
151

Rentut, sebagaimana telah disinggung di atas, adalah singkatan dari rencana tuntutan jaksa. Sebelum membacakan tuntutan di pengadilan, Jaksa Penuntut Umum biasanya melaporkan dulu rencana atas tuntutan itu kepada atasannya. Untuk perkara tertentu yang mendapat perhatian masyarakat, rentut harus dilaporkan kepada Kejaksaan Agung. Sulitnya adalah menentukan mana perkara yang menarik perhatian masyarakat, karena ketiadaan tolok ukur yang jelas dan objektif. Menurut Soufnir Cibro yang mengutip pendapat Jaksa Agung, Basrief Arief, berkenaan dengan alur Rentut, dalam prakteknya, rentut diawali dengan pemaparan pendapat dari Jaksa Penuntut Umum (JPU), selaku pihak yang terjun langsung ke lapangan sidang pengadilan sehingga mengetahui dinamika persidangan. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa secara berjenjang, Rentut mengalir terus hingga ke Jaksa Agung setelah melalui Seksi Bidang Teknis, untuk menentukan apakah itu tindak

151

Nilawati, Kasi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Wawancara 14 Juni 2011

133

pidana umum atau khusus, ini ditentukan pada tingkat Kejaksaan Negeri atau Kejaksaan Tinggi.
152

Dalam kaitannya dengan apa yang diuraikan di atas, menurut penulis rentut berjenjang membuka peluang adanya intervensi atasan

terhadap suatu perkara yang ditangani jaksa penuntut umum. Padahal seharusnya jaksa penuntut harus independen. Adanya kebijakan rentut seperti itu, maka secara otomatis akan menambah panjang proses birokrasi yang harus dilalui oleh seorang JPU dalam menangani suatu perkara pidana. Konsekuensinya adalah akan berimplikasi pada terganggunya proses peradilan yang cepat, murah dan sederhana termasuk di dalamnya akan mengganggu proses persidangan di pengadilan. Pasal 182 KUHAP memang tidak menyinggung adanya

kewajiban penyampaian rentut kepada atasan JPU, hanya disebutkan, Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana . Pasal 182 KUHAP ini, maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya prosedur Rentut merupakan kebijakan internal kejaksaan. Namun demikian, menurut Sofnir Cibro yang masalah rentut ini

murni merupakan kebijakan internal lembaga Kejaksaan. Kebijakan Rencana tututan menjadi praktek dalam proses penuntutan karena berbagai alasan, antara lain: 1. Dalam banyak kasus, pertimbangan hukum oleh Jaksa dinilai kurang matang dan kurang comprehensive ; 2. Adanya centencing policy yang ditetapkan oleh Jaksa Agung;
152

Soufnir Cibro, Kepala Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Wawancara 6 Juni 2011

134

3. Adanya asas dalam penuntutan, bahwa Jaksa dalam melakukan kekuasaan Negara di bidang penuntutan adalah satu dan tidak terpisahkan (lihat Pasal 2 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004) 4. Mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh Jaksa Penuntut Umum. 153 Akan tetapi, apabila dikaitkan dengan kedudukan jaksa yang independen maka keberadaa atau adanya penyusunan rencana tuntutan ini dapat membawa akibat, antara lain: 1. Dalam menjalankan tugasnya sebagai jaksa penuntutan umum, jaksa menjadi tidak lagi merdeka ( dependent ) dalam menjalankan tugas dan

fungsinya, karena tuntutan itulah yang merupakan puncak dari tugas Jaksa di persidangan sebelum hakim menjatuhkan vonis, yang justru penentuan tuntutannya bukan lagi di tangannya tetapi sudah diintervensi oleh pihak lain (atasan) yang mendapat dasar pembenaran secara legal, melalui Surat Edaran Jaksa Agung; 2. Jaksa penuntutan umum dalam menjalankan tugasnya menjadi kurang bertanggung jawab, karena kewenangan tuntutan pidananya bukan lagi dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum yang menentukan; 3. Tidak memberi kesempatan kepada Jaksa penuntut umum untuk berkembang atau menghambat profesionalisme Jaksa. Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa kebijakan rencana tuntutan yang harus mendapat persetujuan
153

Kepala Kejaksaan Negeri

Soufnir Cibro, Kepala Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Wawancara 6 Juni 2011

135

(Kajari), Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati), atau untuk perkara-perkara tertentu bahkan sampai Jaksa Agung. Hal ini tentunya dapat menyebabkan terjadinya tawar-menawar yang berimplikasi uang. Oleh karena itu, menurut penulis tuntutan tidak perlu mendapat persetujuan atasan karena merupakan wewenang penuh Jaksa Penuntut Umum yang menangani perkara tersebut. Dengan kata lain, Jaksa Penuntut Umu mlah yang paling

mengerti dan mengetahui dengan situasi dan kondisi yang sebenarnya selama proses persidangan. B. Hambatan Yang Dihadapi Dalam Penyusunan Rencana Tuntutan Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Pelaksanaan sistem peradilan pidana ini (Criminal Justice System)

dalam sistem peradilan perkara pidana terpadu, yang unsur-unsurnya terdiri dari persamaan persepsi tentang keadilan dan pola penyelenggaraan peradilan perkara pidana secara keseluruhan dan pelaksaan peradilan terdiri dari beberapa komponen seperti penyidik, penuntutan, pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, dan semua lembaga ini berusaha untuk mengintegrasikan semua komponen tersebut agar peradilan berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan. Seperti halnya dalam proses penyidikan s elama proses penuntutan,

pihak kejaksaan juga mengalami berbagai hambatan. Banyak faktor yang mempengaruhi proses penyusunan penuntutan ini dihadapi pihak Kejaksaan penyelesaian perkara pidana . Adapun hambatan yang

dalam penyusunan rencana tuntutan dalam antara lain : ancaman pidana

1. Hambatan karena keraguan menentukan

136

Dalam suatu proses peradilan pidana peranan jaksa penuntut umum dimulai sejak adanya adanya penyidikan yang menguraikan perbuatan pelaku tindak pidana. Pihak kejaksaan harus mencari ancaman pidana yang sesuai guna menjerat pelaku agar dapat dijerat dengan hukuman yang sebanding dengan perbuatannya. Banyak hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan rencana tuntutan dan surat tuntutan atas perbuatan atau tindak pidana yang dilakukan terdakwa, seperti di mana perbuatan terdakwa merupakan perbuatan berlanjut, maka jaksa merasa ada keraguan untuk memilih pasal mana yang sesuai dengan perbuatan terdakwa. Oleh karena itu, jaksa penuntut umum dapat saja memilih menggunakan bentuk dakwaan alternatif agar terdakwa tidak bisa lepas dari jeratan pidana. Kondisi ini disebabkan karena sering kali jaksa kesulitan dalam

mengorek keterangan dari terdakwa, karena terdakwa berusaha berkilah dari apa yang dituduhkan padanya. Dengan kata lain ada juga terdakwa yang bersikap menghambat persidangan karena terdakwa terlalu berbelitbelit dalam mengungkapkan kejadian yang sebenarnya. Terdakwa seakan ingin berkilah dari perbuatan yang dilakukannya, dan hal ini jelas menghambat proses penyusunan rentut dan penuntutan yang dilakukan oleh jaksa.154 2. Kurangnya atau tidak lengkapnya keterangan saksi

Mukhzan dan Maimunah, Kasi Pidana Umum dan Kasubsi Penuntutan Pidum kejaksaan Negeri Banda Aceh, Wawancara 13 Juni 2011

154

137

Hambatan lainnya yang sering menjadi kendala dalam penyusunan rencana penuntutan dan surat penuntutan adalah karena pada saat penyidikan kelengkapan berkas perkara yang diajukan oleh penyidik sering tidak lengkap sehingga harus dilakukan pengembalian berkas termasuk dalam hal ini mengenai saksi dan kelengkapan keterangan saksi. Hal ini disebabkan karena penuntutan yang nantinya akan dilakukan sangat dipengaruhi oleh adanya saksi dan kterangan saksi. 155 Menurut hukum satu saksi tidak cukup, satu saksi bukan saksi ( unus testis nullus testis ) dan pada Pasal

183 KUHAP menentukan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga minimal alat bukti yang

diperlukan adalah dua alat bukti.

Dengan demikian,

faktor kurangnya saksi dan tidak lengkapnya keterangan saksi sangat berpengaruh pada pengajuan rencana tuntutan oleh Jaksa. 3. Hambatan karena jaksa lamban mempersiapkan tuntutan.

155

Mukhzan, Kasi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Wawancara 13 Juni 2011

138

Dalam hal ini biasnya menurut Maimunah bahwa sering terjadi Jaksa penuntut umum yang ditunjuk menangani perkara belum mempersiapkan tuntutan formulir (P-42) ketika proses penyelesaian

perkara telah sampai pada tahap penuntutan. Hal ini dapat saja diakibatkan oleh karena banyaknya perkara yang harus ditangani atau kurangnya kemampuan jaksa yang menangani perkara tersebut dalam merumuskan tuntutan sehingga mengakibatkan terlambatnya proses penyelesaian perkara.
156

Jadi dalam hal ini kemampuan dan profesionalisme jaksa pada tugas dan wewenangnya memegang peranan penting dalam proses penyusunan rencana tuntutan dan penuntutan suatu perkara pidana. 4. Hambatan akibat adanya Hierakhi persetujuan tuntutan

Setelah dakwaan dibuktikan, jaksa harus menyusun tuntutan pidananya. Berdasarkan prinsip bahwa Kejaksaan adalah satu dan tidak dapat dipisahkan, maka sesuai hierarki susunan kejaksaan, jaksa penuntut umum harus meminta pertimbangan kepada atasannya dalam menyusun tuntutan. Untuk itu, sebelum menyusun tututan pidana, jaksa penuntut umum harus menyusun rencana tuntutan terlebih dahulu. Rencana tuntutan tersebut harus dimintakan pertimbangan terlebih dulu kepada pimpinan, yaitu Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari). Untuk kasus yang dianggap penting dan menjadi sorotan masyarakat harus melalui pertimbangan dari Kepala Kejaksan Tinggi (Kajati)
Maimunah, Kasubsi Penuntutan Pidum kejaksaan Negeri Banda Aceh, Wawancara 13 Juni 2011
156

139

terlebih dahulu. Hal ini biasanya terjadi terhadap beberapa kriteria kasus yang penting karena mendapat sorotan dari berbagai sudut, yaitu masyarakat dan media massa.
157

Pendapat ini juga dibenarkan oleh Nilawati bahwa dengan adanya pengaturan rentut ini pihak jaksa pada umumnya memang mengalami hambatan , di mana ketika Jaksa Penuntut Umum yang menangani suatu perkara pidana telah memiliki 2 alat bukti yang sah pada saat pemeriksaan saksi-saksi dan telah siap mengajukan rentut kepada pimpinan atau atasannya namun terkadang tidak berada di tempat atau bahkan rentut yang diajukan terlambat mendapat persetujuan karena panjangnya administrasi yang harus dijalani. Seperti yang sering dihadapinya pada saat menangani perkara tindak pidana korupsi. 158 Kondisi ini tentunya menyulitkan pihak Jaksa untuk mewujudkan prinsip peradilan pidana secara cepat, murah, sederhana dan biaya ringan mengingat adanya kebijakan internal Kejaksaan berupa memohon restu atau kewajiban mengajukan rencana tuntutan kepada atasan seperti diuraikan di atas. Kondisi ini menggambarkan bahwa lembaga Kejaksaan yang seharusnya independen juga menganut sistem komando seperti institusi kemiliteran. 5. Kurangnya koordinasi antara penegak hukum

157 158

Abdul Kahar, Kasi Intelijen Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Wawancara 16 Juni 2011 Nilawati, Kasi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Wawancara 14 Juni 2011

140

Hubungan antara tahap penyidikan dan tahap prapenuntutan sangat erat, bahkan dapat dikatakan bahwa keberhasilan menyusun surat dakwaan, rencana tuntutan dan penuntutan sangat tergantung pada prapenuntutan. Tahap prapenuntutan adalah tahap penuntut umum memberikan petunjuk kepada penyidik untuk melengkapi berkas perkara setelah jaksa menerima Surat Pembertahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Kemudian juga pada saat menerima penyerahan berkas perkara pada tahap pertama, pada saat jaksa mempertimbangkan perpanjangan penahanan atas permohonan penyidik serta pada saat jaksa melakukan pemeriksaan tambahan, akan melengkapi berkas perkara apabila berkas perkara yang diterima dari penyidik setelah diteliti oleh jaksa ternyata belum lengkap dan penyidik sudah tak sanggup lagi melengkapi itulah prapenuntutan, artinya tahap sebelum tahap penuntutan. Namun hal tersebut, walaupun selama ini berjalan baik tetapi tetap saja menjadi bagian dari hambatan dalam akibat seringnya dilakukan pengembalian berkas perkara yang diajukan ke kejaksaan dengan alasan pihak penyidik belum melengkapi hasil penyidikan. Padahal antara a ntara penyidik dan penuntut umum harus ada nuansa koordinatif., karena surat dakwaan dibuat berdasarkan berkas perkara, maka dituntut adanya kelengkapan berkas perkara. Dengan demikian, ketidak profesionalan penyidik dalam melakukan penyidikan, kurang profesionalnya Jaksa Penuntut Umum dalam tahapan prapenuntutan, faktor kemanusiaan dalam diri Jaksa

141

Penuntut Umum itu sendiri dan kehendak masyarakat yang awam terhadap hukum akan menghambat atau menjadi kendala dalam

penyusunan surat dakwaan. Ketidak profesionalan penyidik dapat dikatakan akan

menghambat dalam penyusunan surat dakwaan rencana tuntutan dan penuntutan karena dapat dicontohkan apabila dalam pengumpulan keterangan terhadap para saksi maupun tersangka di bawah tekanan, dapat dimungkinkan bahwa tersangka atau para saksi dapat mencabut keterangan dalam Berita Acara Pemeriksaan, dan hal ini akan menjadi kekurangan dalam dakwaan atau tuntutan. Namun dalam prakteknya, seorang Jaksa Penuntut Umum tidak akan mengalami hambatan atau kendala dalam penyusunan surat dakwaan apabila Formulir P-21 telah dikeluarkan, dimana Formulir P-21 ini berisi tentang pemberitahuan bahwa hasil penyidikan sudah lengkap dan permintaan tersangka dan barang bukti kepada kejaksaan negeri guna menentukan apakah perkara tersebut sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan.
159

Hal ini diperkuat dengan keterangan yang diperoleh dari informan penyidik bahwa penyidik terkadang juga mengalami kesulitan sehingga dalam melengkapai berkas perkara ditingkat penyidikan. Seorang penyidik baik seorang penyidik ataupun penyidik pembantu harus memperhatikan asas praduga tak bersalah, sehingga dalam pengumpulan keterangan baik terhadap tersangka maupun saksi harus
159

Mukhzan, Kasi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Wawancara 13 Juni 2011

142

bersikap senyum, sapa, santun (S3), bersikap baik dan tidak boleh dengan ancaman, tekanan, paksaan maupun kekerasan. Mengingat arti penting Berkas Perkara adalah untuk menguraikan atau memperjelas apakah tindak pidana tersebut betul-betul terjadi dan sebagai syarat untuk seseorang dapat diajukan ke pengadilan melalui Jaksa Penuntut Umum, maka Berkas Perkara haruslah dengan memenuhi dua syarat, baik kelengkapan formil dan materiil. Kelengkapan Berkas Perkara inilah yang akan dijadikan dasar Jaksa Penuntut Umum untuk menyusun surat dakwaan, sehingga apabila Berkas Perkara belum lengkap, maka penyidik berkewajiban untuk memenuhi petunjuk Jaksa Penuntut Umum melalui formulir P-18 dan P-19 tentang kekurangan Berkas Perkara disertai petunjuk-petunjuk guna melengkapi Berkas Perkara. Selain kelengkapan Berkas Perkara, baik kelengkapan formil maupun materiil, hal yang juga diperlukan untuk mendukung surat dakwaan, rencana penuntutan dan penntutan adalah kelengkapan barang bukti.
160

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa dalam parketek ditemukan berbagai hambatan yang dihadapi oleh pihak kejaksaan dalam

penyusunan rencana tuntutan perkara pidana dalam penyelesaian perkara pidana adalah h ambatan karena keraguan menentukan ancaman pidana, kurangnya atau tidak lengkapnya keterangan saksi, hambatan karena jaksa lamban mempersiapkan tuntutan dan hambatan akibat adanya hierakhi persetujuan tuntutan serta kurangnya koordinasi antara penegak hukum .

khususnya yang menyangkut penyidikan dan penuntutan


160

Syarifuddin, Staf Reskrim Polresta Banda Aceh, Wawancara 7 Juni 20011

143

Selain itu, hambatan yang diuraikan tersebut hambatan dari ketersediaan dana juga dapat mempengaruhi keterlambatan pengajuan rencana tuntutan dan surat tuntutan, khususnya dalam hal pembiayaan yang harus dikeluarkan untuk membiayai pemanggilan saksi atau saksi ahli. Tidak adanya dana untuk pemanggilan saksi, sehingga para jaksa mengalami kesulitan. Dalam upaya pemanggilan saksi diperlukan dana untuk biaya transportasi saksi, ratarata saksi minta biaya transportasi, untuk memenuhi biaya tersebut tidak ada dananya khususnya apabila diperlukan untuk mendatangkan saksi ahli.
161

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa dengan adanya berbagai hambatan di atas khususnya dengan adanya beberapa prosedur yang harus dilalui oleh seorang jaksa penuntut umum yang bertugas menangani suatu perkara pidana khususnya dalam

mengajukan tuntutan pidana terhadap seorang terdakwa, dan jaksa tidak dapat sepenuhnya bekerja secara mandiri dalam mengajukan tuntutan mengingat prinsip kejaksaan yang harus memperhatikan pimpinan.

C. Upaya Yang Dilakukan Dalam Mengatasi Hambatan Rencana Tuntutan Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Dalam rangka mengatasi berbagai hambatan sebagaimana

dikemukakan di atas,
161

maka dipandang perlu adanya upaya untuk

Mukhzan, Kasi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Wawancara 13 Juni 2011

144

mengatasinya guna mewujudkan system penegakan hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku khususnya dalam mewujudkan penyelesaian perkara secara cepat, mudah dan sederhana. Kejaksaan sebagai salah satu penentu keberhasilan penegakan hukum di Indonesia. Namun demikian kejaksaan belum dapat berperan secara optimal khususnya dalam menghadapi dominasi penegakan hukum positif, karena birokrasi kejaksaan sendiri masih konvensional yang ditandai dengan karakternya yang birokratis, sentralistik, menganut pertanggungjawaban hierarkhis dan berlaku sistem komando termasuk dalam hal penyusunan rencana tuntutan suatu perkara pidana. Oleh karena itu diperlukan adanya upaya pembenahan guna mewujudkan penegakan hukum yang memenuhi prinsip peradilan pidana yang cepat mudah dan sederhana. Adapun upaya yang dilakukan dalam mengatasi hambatan rencana tuntutan perkara pidana dalam penyelesaian perkara pidana, dapat dijelaslan sebagai berikut : 1. Percepatan upaya penyusunan rencana tuntutan Dalam hal ini perlu diupayakan agar pihak jaksa penuntut umum segera melakukan upaya percepatan untuk mengajukan rencana penuntutan segera mungkin setelah melakukan koordinasi dengan penyidik. Dalam hal ini setelah berkas perkara Kepala Seksi Tindak

Pidana Umum/khusus menunjuk jaksa peneliti dan segera melakukan penelitian berkas perkara. Apabila perkara dinyatakan telah lengkap berkas

polisi penyelidik

145

melakukan pelimpahan perkara dengan mengirimkan berkas perkara beserta tersangka dan barang bukti ke Kejaksaan. Penunjukan jaksa peneliti dan jaksa penuntut umum biasanya dilakukan secara bersamaan, di mana Jaksa peneliti dapat langsung menjadi jaksa penuntut

umum sehingga proses penyusunan rencana penuntutan dan pelaksanaan penuntutan proses sidang pengadilan tidak mengalami hambatan administrasi.
162

Dengan demikian, percepatan proses pen

anganan

perkara di tingkat kejaksaan merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan guna mengatasi hambatan yang terjadi yaitu dengan memangkas waktu yang diperlukan dengan mempersingkat system administrasi 2. Peningkatan profesionalisme aparatur kejaksaan Upaya lain untuk mengatasi hambatan dalam penyusunan rencana penuntutan dan surat penuntutan adalah melalui peningkatan

prosfesionalisme aparatur kejaksaan. Dalam hal ini aparatur kejaksaan diupayakan untuk dapat meningkatkan kemampuannya dalam

penanganan perkara guna menghindari menumpuknya perkara di kejaksaan.

162

Rachmadi, Kasubbag Pembinaan Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Wawancara 6 Juni 2011

146

Upaya ini dapat dilakukan melalui pelaksanaan pembinaan dan pendidikan teknis yaitu dengan melalui upaya meningkatkan

profesionalisme Jaksa Penuntut Umum dengan adanya pelatihan penyusunan surat dakwaan, rencana pentutan dan bagi para Jaksa dan calon Jaksa serta peningkatan kemampuan jaksa dalam tahapan

prapenuntutan dan meningkatkan koordinasi dengan penyidik untuk membantu penyidik melengkapi Berkas Perkara dengan memberi petunjuk-petunjuk kelengkapan Berkas Perkara. Selain itu, juga memperhatikan prinsip kehati-hatian dan kecermatan Jaksa Penuntut Umum dalam
163

memformulasikan

bentuk

surat

dakwaan

dan

penuntutan.

3. Peningkatan koordinasi dengan atasan dan penegak hukum lainnya Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa hubungan antara tahap penyidikan dan penuntutan sangat erat dan menjadi dasar dalam penyusunan dakwaan, rencana penuntutan dan surat penuntutan oleh Jaksa. Oleh karena itu, perlu diupayakan adanya koordinasi yang

harmonis antara apara penyidik di Kepolisian dan Penuntut di Kejaksaan, di mana antara penyidik dan penuntut umum harus ada nuansa koordinatif, karena surat dakwaan dibuat berdasarkan berkas perkara, maka dituntut adanya kelengkapan berkas perkara. Keakraban dan kerjasama antara jaksa dan penyidik perlu terus dipupuk, dalam tugas saling mengingatkan sehingga proses pembuatan Berita Acara sebelum tersangka disidangkan, benar-benar telah lengkap sempurna
163

Mukhzan, Kasi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Wawancara 13 Juni 2011

147

seolah-olah tanggung jawab penyidikan dan tanggung jawab penuntutan menyatu untukkeberhasilan proses penyidangan. Dengan saling koordinasi akan meringankan beban yang diemban oleh penyidik dan penuntut umum, sehingga tercapai maksud baik pembuat undangundang, yakni keterpaduan dalam menangani kasus kriminil, atau dengan istilah Integrated Criminal Justice System .164

4. Menghindari adanya birokrasi yang panjang dalam penuntutan Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa adanya ketentuan untuk memperoleh persetujuan atasan dalam penyusunan rencana tuntutan suatu perkara pidana menyebabkan terjadinya berbagai kemungkinan penyelewengan. Pelaksanaan sistem penuntutan dalam penyelesaian suatu perkara pidana yang selam ini dilakukan secara berjenjang perlu dilakukan perubahan dengan memangkas birokrasi yang ada. Hal ini guna menghindari peluang adanya intervensi atasan terhadap suatu perkara pidana dan mewududkan keberadaan jaksa penuntut yang independen dan prinsip beracara cepat murah dan sederhana termasuk dalam hal ini terhadap perkara tindak pidana khusus. 165

5. Peningkatan ketersediaan dana bagi

penyelesaian perkara pidana

Dalam hal upaya untuk mengatasi hambatan yang menyangkut ketersediaan dana ini memang sudang menjadi persoalan klasik yang
164 165

Rachmadi, Kasubbag Pembinaan Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Wawancara 6 Juni 2011 Nilawati, Kasi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Wawancara 14 Juni 2011

148

masih belum dapat menemukan solusi yang tepat. Hal ini mengingat anggaran yang disediakan untuk

penyelesaian perkara pidana masih kurang memadai. Padahal melihat banyaknya perkara tindak pidana di Kota Banda Aceh sedangkan dana yang tersedia untuk menutupi biaya pemanggilan saksi dan saksi ahli para jaksa masih kesulitan.
166

Oleh karena itu, sampai saat ini

pihak kejaksaan hanya berupaya untuk mengajukan permohonan penambahan anggan dari Kejaksaan Agung khususnya dalam penganggaran yang nantinya

diperlukan untuk dana tak terdugaa dalam penyelesaian suatu tindak pidana. Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa dalam rangka mengatasi berbagai hambatan dalam penyusunan rencana tuntutan dalam

penyelesaian perkara pidana dilakukan berbagai tindakan yang antara melakukan upaya percepatan penyusunan rencana tuntutan, peningkatan profesionalisme aparatur kejaksaan dan peningkatan koordinasi dengan atasan dan penegak hukum lainnya, menghindari adanya birokrasi yang panjang dalam penuntutan dan peningkatan ketersediaan dana bagi penyelesaian perkara pidana. Kejaksaan sebagai salah satu penentu keberhasilan penegakan hukum di Indonesia. Namun demikian kejaksaan belum dapat berperan

166

Mukhzan, Kasi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Wawancara 13 Juni 2011

149

secara optimal khususnya dalam menghadapi dominasi penegakan hukum yang positivistik, karena birokrasi kejaksaan sendiri masih konvensional yang ditandai dengan karakternya yang birokratis, sentralistik, menganut pertanggungjawaban Konvensionalitas hierarkhis dan berlaku menjadi sistem media komando. bersembunyi

birokrasi

selain

penyimpangan juga menjadikan jaksa tidak memiliki ruang untuk menuangkan kreativitas inovasi dalam menembus keterbatasan hukum positif serta menjadikan jaksatidak independen. Oleh karena itu diperlukan adanya upaya pembenahan guna mewujud penegakan hukum hanya seperti ritual dari aparat penagak hukum sehingga hanya berorientasi pada terwujudnya prosedur yang ditetapkan saja. Perlu diupayakan adanya pembaharuan birokrasi kejaksaan dengan menggunakan pendekatan hukum yang sesuai dengan, dilakukan dengan spirit pembebasan terhadap: pertama, tipe, cara berpikir, asas dan teori yang selama ini dipakai birokrasi kejaksaan; dan kedua, pembebasan terhadap kultur penegakan hukum (administration of justice) yang selama

ini berkuasa dan dirasa menghambat penanganan perkara. Untuk menjamin keberlangsungannya, maka mau tidak mau kejaksaan harus direkonstruksi terhadap tiga komponen secara sekaligus yaitu kelembagaan,kultur dan substansi hukum. BAB V PENUTUP

150

Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis terhadap permasalahan yang dikaji sebagaimana dipaparkan pada bab sebelumnya, maka berikut dikemukakan beberapa kesimpulan yang disertai dengan beberapa saran sebagai berikut: A. Kesimpulan 1. Kebijakan rencana tuntutan harus mendapat persetujuan Kejaksaan Negeri (Kajari), Kepala

Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati), atau RI . Adanya

untuk perkara-perkara tertentu bahkan sampai Jaksa Agung

rentut berjenjang membuka peluang adanya intervensi atasan terhadap suatu perkara yang ditangani jaksa penuntut umum, padahal seharusnya jaksa penuntut harus independen yang berujung pada terhambatnya pelaksanaan asas contante justitie dan biaya ringan) . 2. Hambatan yang dihadapi dalam penyusunan rencana tuntutan dalam (asas peradilan cepat, sederhana

penyelesaian perkara pidana antara lain keraguan menentukan ancaman pidana, kurangnya atau tidak lengkapnya keterangan saksi, jaksa lamban

mempersiapkan tuntutan sehingga mengakibatkan penuntutan yang dilakukan relatif lebih lama dan hambatan akibat adanya hierarkhi persetujuan tuntutan, dimana adanya keharusan untuk mengajukan rencana tuntutan kepada atasan, serta kurangnya koordinasi antara penegak hukum lain antara lain penyidik Pegawai Negeri Sipil, khususnya dengan pihak penyidik kepolisian. Dengan adanya beberapa prosedur yang harus dilalui oleh seorang jaksa suatu perkara pidana

penuntut umum yang bertugas 158 menangani

151

khususnya dalam mengajukan tuntutan pidana terhadap seorang terdakwa, dan jaksa tidak dapat sepenuhnya bekerja secara mandiri dalam mengajukan tuntutan mengingat prinsip kejaksaan yang harus memperhatikan / melalui pimpinan. 3. Upaya yang dilakukan dalam mengatasi hambatan rencana tuntutan perkara pidana dalam penyelesaian perkara pidana dengan melakukan

upaya penyusunan rencana tuntutan, peningkatan profesionalisme aparatur kejaksaan dan peningkatan koordinasi dengan atasan dan penegak hukum lainnya, dalam penuntutan dan perkara pidana. B. Saran 1. Disarankan Kepada Jaksa Penuntut Umum selaku wakil dari menghindari adanya birokrasi yang panjang

peningkatan ketersediaan dana bagi penyelesaian

Pemerintah agar dalam menjalankan tugasnya dapat bertindak secara profesional, yang berarti mempunyai kematangan baik dalam teori hukum maupun prakteknya guna mewujudkan asas (asas peradilan cepat, sederhana dan biaya contante justitie ringan) telah

diiplementasikan didalam beberapa pasal pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 2. Kepada pihak pimpinan di kejaksaan disarankan dapat mengupayakan untuk menghindari perpanjangan birokrasi dalam penanganan perkara pidana guna mewujud penegakan hukum tidak hanya menjadi ritual dari

152

pekerja-pekerja hukum sehingga hanya berorientasi pada terwujudnya procedural justice yang cenderung memarginalkan substantial justice .

3. Perlu dilakukan upaya untuk rekonstruksi birokrasi kejaksaan dengan menggunakan pendekatan hukum guna membebaskan aparatur

kejaksaan dari birokrasi yang selama ini berkuasa dan dirasa menghambat penanganan perkara termasuk dengan melakukan

perubahan terhadap ketentuan penyusunan rencana penuntutan melalui suatu substansi hukum.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Teks Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Gunung Agung, Jakarta, Tahun 2002. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Jakarta, 2002. . Ghalia Indonesia,

153

Azhary, Negara Hukum Indonesia (Analitis Yuridis Normatif Tentang Unsur-Unsurnya), UI-Press, Jakarta, 1995. Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan , PSH FH UII, Yogyakarta,1999. Bismar Nasution, Mengkaji Ulang sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi , Pidato pada Pengukuhan sebagai Guru Besar, USU Medan, 17 April 2004, hal. 4-5. Sebagaimana dikutip dari Neil Mac Cormick, Adam Smith On Law, Valvaraiso University Law Review, Vol. 15, 1981. Franz Magnis Suseno, Etika Politik (Pinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaran Modern ), PT Gramedia, Jakarta, 2003. Franz Magnis Suseno, Etika Politik (Pinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaran Modern ), PT Gramedia, Jakarta, 2003 Friedmann, W., 1996. Teori dan Filsafat Umum , Raja Grafindo, Jakarta, Tahun

Gatot Supramono, Surat Dakwaan dan Putusan Hakim yang Batal Demi Hukum . Djambatan, Jakarta, 1998. Gunawan Setiardja, A., Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Kanisius, Yogyakarta , 1990. Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana (Untuk Mahasiswa dan Praktisi), Mandar Madju, Medan, 2003. Herman Warsito, Pengantar Metodologi Penelitian, Buku Panduan Mahasiswa, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997. Ian Saphiro, Asas Moral dalam Politik, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia yang bekerjasama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakarta dan Freedom Institute , 2006. Kaligis, O.C.. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, Alumni, Bandung, 2006. Lawrence M.Friedman, Capitalism and Freedom , Chicago and London: The University of Chicago Press, 1982. Leden Marpaung. Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Pertama Penyelidikan dan Penyidikan . Sinar Grafika, Jakarta, 1992. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, 2002. Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putra, Rosdakarya, Bandung, 1993. Remaja Rosdakarya, , Remaja

Hukum Sebagai Suatu Sistem

154

----------, dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004. Made Wirartha, I., Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis , Andi Yogyakarta, 2006 . Manuel G. Velasquez, Business Ethics : Conceppts and Cares (Fifth Edition), Pearson Education, Inc, New Jersey 2002. Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1995. Marwan Efendi, Kejaksaan R.I. (Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum , Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005 . Mien Rukmini, Perlindungan HAM melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaam Kedudukan dalam Hukum, Alumni, Bandung, 2003. Miriam Budiarjo ,Dasar-dasar ilmu politik, Gramedia, Jakarta, 1999.

Mochtar Kusumaatmaja , Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional , Bina Cipta, Bandung 1986. Otje Salman, HR. dan Anton F. Susanto, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, 2005 . Prajudi, Hukum Administrasi Negara Teori Hukum, Mengingat, Rafika Aditama, Bandung ,

, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981. Teori Hukum, Mengingat, Rafika Aditama, Bandung ,

Salman, HR. Otje dan Anton F. Susanto, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, 2005. Sasrodanukusumo, E.,

Tuntutan Pidana . Siliwangi, Jakarta, 1998.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum , PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan ke V, Bandung, Tahun 2000. Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum , Radjagrafindo Persada, Jakarta, 2004. Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Administrasi Negara , Alumni, Bandung, 1992. Soedirjo. Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana Jakarta, 1985. Sikap Tindak

. AkademikaPressindo.,

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

155

-----------, Pengantar Penelitian Hukum, Grafindo, Jakarta, 2006. Solly Lubis, M., 1994. Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, , Mandar Maju, Asas-

Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional Bandung, 1990. Wuisman, J.J.J. M., dalam M. Hisyam, Asas, FE UI, Jakarta 1996.

Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial,

B. Perundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945 ;

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) . Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 36, Lembaran Negara Nomor 3258) . Surat Edaran Jaksa Agung R.I. Nomor: SE-001/J.A/4/1995 tentang Pedoman Tuntutan Pidana . Surat Edaran Jaksa Agung No. SE 003/A/JA/02/2009 tentang Pengedalian Rencana Tuntutan Pidana Perkara Penting Tindak Pidana Umum . Surat Edaran Jaksa Agung No. SE 010/A/JA/12/2010 tentang Pengedalian Rencana Tuntutan Pidana Perkara Penting Tindak Pidana Umum.

C. Internet dan Makalah Annonimous, Optimalisasi Peran Kejaksaan Dalam Penegakan Supremasi Hukum , http://wijatobone.blogdetik.com/tag/ Diakses Februari 2011 . Barda Nawawi Arif, Peranan Jaksa Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu, http://fitrohlaw.blogspot.com/html, Diakses Maret 2011.

156

Mahmud Mulyadi, Sistem Peradilan Pidana, Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum USU, Medan, 2004. Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga, Surabaya, tanpa tahun. Rusadi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, Makalah, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1998.

LEMBARAN PENGESAHAN

Judul Tesis

: RENCANA TUNTUTAN PERKARA PIDANA : ABDUL HADY

DALAM PENYELESAIAN

Nama Mahasiswa

157

NIM Program Studi

: 0909200030001 : Magister Ilmu Hukum

Menyetujui : Komisi Pembimbing,

(Dr. Mohd.Din, S.H.,M.H.) Ketua

(Saifuddin Bantasyam, S.H., M.A.) Anggota

Mengetahui : Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum,

Prof. Dr. Husni, S.H., M.Hum.


NIP. 19620810 199002 1 002

RENCANA TUNTUTAN DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA


Abdul Hady *) Mohd. Din **) Saifuddin Bantasyam ABSTRAK
* ** ***

***

Mahasiswa Ketua Komisi Pembimbing Anggota Komisi Pembimbing

158

Dengan adanya beberapa prosedur yang harus dilalui oleh seorang jaksa penuntut umum yang bertugas menangani suatu perkara pidana , khususnya dalam mengajukan tuntutan pidana terhadap seorang terdakwa, dan jaksa tidak dapat sepenuhnya bekerja secara mandiri dalam mengajukan tuntutan mengingat prinsip kejaksaan yang harus memperhatikan / melalui pimpinan. Kewenangan melakukan penuntutan adalah Jaksa Penuntut Umum sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Didalam Pasal 182 KUHAP tidak menyinggung adanya kewajiban penyampaian rentut kepada atasan namun dalam praktek dilakukan prosedur Rentut yang merupakan kebijakan internal kejaksaan. Selain itu, dalam hal percepatan pelayanan dan penyelesai perkara pidana dalam penyusunan rencana tuntutan perkara pidana pada Lembaga Kejaksaan juga berpedo man pada ketentuan Surat Edaran Jaksa Agung R.I. Nomor: SE-001/J.A/4/1995 tentang Pedoman Tuntutan Pidana dan Surat Edaran Jaksa Agung No. SE 003/A/JA/02/2009 tentang Penge ndalian Rencana Tuntutan Pidana Perkara Penting Tindak Pidana Umum Jo Surat Edaran Jaksa Agung No. SE 010/A/JA/12/2010 tentang Penge ndalian Rencana Tuntutan Pidana Perkara Penting Tindak Pidana Umum. Kedua Surat Edaran tersebut pada intinya adalah sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan pelayanan bagi pencari keadilan untuk mempercepat proses penyelesaian perkara pidana. Tujuan penulisan tesis ini adalah pelaksanaan sistem penuntutan dalam penyelesaian perkara pidana, faktor penyebab terjadinya hambatan dalam penyusunan rencana tuntutan dalam penyelesaian perkara pidana dan upaya yang dilakukan dalam mengatasi hambatan rencana tuntutan dalam penyelesaian perkara pidana. Untuk memperoleh data dalam penelitian ini digunakan Metode Pendekatan penelitian dilakukan dengan mempergunakan pendekatan yuridis normatif untuk mengkaji peraturan-peraturan dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan tugas atau kewenangan yang diberikan penyusunan rencana tuntutan oleh jaksa dalam penyelesaian perkara pidana di Pengadilan Negeri. Penelitian kualitatif juga dimaknai sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang dan prilaku yang dapat diamati. Dalam prakteknya Rentut dilakukan secara berjenjang secara heirarkhi hingga ke Jaksa Agung R.I setelah melalui Seksi Bidang Teknis. Untuk menentukan tindak pidana umum atau khusus, ini ditentukan pada tingkat Kejaksaan Negeri atau Kejaksaan Tinggi. Kebijakan rencana tuntutan harus mendapat persetujuan kepala Kejaksaan Negeri (Kajari), kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati), atau untuk perkaraperkara tertentu bahkan sampai Jaksa Agung. Adanya rentut berjenjang telah adanya intervensi atasan terhadap suatu perkara yang ditangani jaksa penuntut umum, padahal seharusnya jaksa penuntut harusi independen yang berujung pada terhambatnya pelaksanaan asas contante justitie (asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan). Hambatan yang dihadapi dalam penyusunan rencana tuntutan dalam penyelesaian perkara pidana antara lain keraguan menentukan ancaman pidana,

159

kurangnya atau tidak lengkapnya keterangan saksi, jaksa lamban mempersiapkan tuntutan sehingga mengakibatkan penuntutan yang dilakukan relatif lebih lama dan hambatan akibat adanya hierarkhi persetujuan tuntutan, dimana adanya keharusan untuk mengajukan rencana tuntutan kepada atasan, serta kurangnya koordinasi antara penegak hukum lain antara lain penyidik Pegawai Negeri Sipil, khususnya dengan pihak penyidik kepolisian. Upaya yang dilakukan dalam mengatasi hambatan rencana tuntutan dalam penyelesaian perkara pidana adalah dengan melakukan percepatan penyusunan rencana tuntutan, peningkatan profesionalisme aparatur kejaksaan dan peningkatan koordinasi dengan atasan dan penegak hukum lainnya, menghindari adanya birokrasi yang panjang dalam penuntutan dan peningkatan ketersediaan dana bagi penyelesaian perkara pidana. Disarankan Kepada Jaksa Penuntut Umum selaku wakil dari Pemerintah agar dalam menjalankan tugasnya dapat bertindak secara profesional, yang berarti mempunyai kematangan baik dalam teori hukum maupun prakteknya guna mewujudkan asas contante justitie (asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan) telah diiplementasikan didalam beberapa pasal pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Kepada pihak pimpinan di kejaksaan disarankan dapat mengupayakan untuk menghindari perpanjangan birokrasi dalam penanganan perkara pidana guna mewujud penegakan hukum tidak hanya menjadi ritual dari pekerja-pekerja hukum sehingga hanya berorientasi pada terwujudnya procedural justice yang cenderung memarginalkan substantial justice. Perlu dilakukan upaya untuk rekonstruksi birokrasi kejaksaan dengan menggunakan pendekatan hukum guna membebaskan aparatur kejaksaan dari birokrasi yang selama ini berkuasa dan dirasa menghambat penanganan perkara termasuk dengan melakukan perubahan terhadap ketentuan penyusunan rencana penuntutan melalui suatu substansi hukum.

Kata Kunci : Rencana Tuntutan dan Perkara Pidana ii

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan segala p

uji dan syukur kepada Allah SWT, tesis yang berjudul

karena dengan kuasa dan kehendak-Nya, penulisan

Rencana Tuntutan Dalam Penyelesaian Perkara Pidana diselesaikan , telah dengan baik. Selawat dan salam disa njungkan kepada junjungan alam Nabi

160

Muhammad SAW yang telah membawa manusia ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Penulisan tesis ini dimaksudkan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Hukum (M.H.) pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Penyusunan tesis ini tidak mungkin berhasil diselesaikan tanpa kesempatan, bantuan, bimbingan, arahan, serta dorongan semangat dari berbagai pihak. Untuk itu, disampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya. Selanjutnya ucapan terima kasih juga disampaikan kepada: 1. Bapak Dr. Mohd. Din , S.H., M. H., dan Bapak Saifuddin Bantasyam, S.H., M.A, selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing yang telah

memberikan petunjuk, bimbingan dan nasihat yang berguna dalam penulisan tesis ini. 2. Bapak Prof. Dr. Husni, S.H., M.Hum. selaku Magister Ilmu Hukum beserta akademisi pada Ketua Program Studi Dosen dan

Dosen Wali dan seluruh

Program Pascasarjana Program Studi Magister Ilmu

Hukum Universitas Syiah Kuala yang telah mendidik dan memberikan v ilmu dengan tulus dan ikhlas. 3. Bapak Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal , selaku Direktur Program Pascasarjana

Universitas Syiah Kuala, yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan pada Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala.

161

4. Bapak Prof. Dr. Darni M. Daud, MA., selaku Rektor Universitas Syiah Kuala yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi sampai dengan memperoleh gelar Magister Hukum (M.H.). 5. Kepala Kejaksaan Negeri Banda Aceh beserta staf staf Polresta Banda Aceh beserta dan Kasat Reskrim dan

informan yang telah memberikan data,

informasi dan bantuan yang berharga dalam penulisan ini. 6. Secara khusus dihaturkan sembah sujud kepada Ibrahim dan Ibunda Sitti Sara Ayahanda (Alm.) Abdullah

yang telah mengasuh, mendidik dan dan t eristimewa kepada isteri

membimbing dengan sabar disertai doanya

tercinta Nuriyati, S.Pdi., dan anak-anakku, serta Adik-adikku Rosmala Dewi, S.Pd., Agus Ramadhany, SE. dan Rosmawati, SH., yang telah

memberikan dukungan dan doa agar tetap semangat dalam menyelesaikan program studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas

Syiah Kuala Banda Aceh . 7. Semua rekan se-angkatan tahun 200 9 Program Pascasarjana yang telah

banyak memberi dorongan dan semangat dalam menyelesaikan tesis ini. vi Penyusunan tesis ini telah diupayakan semaksimal mungkin, namun pada kenyataannya masih ditemukan banyak kekurangan yang disebabkan keterbatasan pengetahuan. Oleh karena itu, diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan tesis ini.

162

Akhirnya kepada Allah SWT dimohonkan taufiq dan hidayah-Nya semoga tesis ini dapat memberi manfaat dan berguna bagi semua pihak, terutama bagi diri sendiri, Amin Ya Rabbal Alamin .

Darussalam, Penulis,

Juli 2011

Abdul Hady

vii

DAFTAR ISI
ABSTRAK ABSTRACT DAFTAR ISI Halaman ................................................................................. i ..................................................................................... ...................................................................... . iii v viii

KATA PENGANTAR

163

BAB

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ....................................................... B. Identifikasi Masalah ... C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian ......................................... D. Keaslian Penelitian ............................................................... E. Kerangka Pikir .............................. F. Metode Penelitian ................................................................. G. Sistematika Penulisan . 15 16 17 18 36 42 1

BAB II.

LANDASAN TEORITIS KEWENANGAN KEJAKSAAN R.I DALAM KAITANNYA DENGAN SISTEM PERADILAN PIDANA A. Kewenangan Kejaksaan Republik Indonesia Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia .................................... B. Sistem Peradilan Pidana (SPP) D an Tahapan Pemeriksaan Perkara Pidana Di Indonesia ..... C. Azas Contante Justitie Merupakan Azas Peradilan Cepat, Sederhana, Dan Biaya Ringan, Pada Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia . 46 56

89

BAB III. GAMBARAN UMUM LEMBAGA KEJAKSAAN A. Sejarah Perkembangan Lembaga 101 B. Peranan Kejaksaan R.I Di Kejaksaan

R.I Di Indonesia 108

Indonesia ...

C. Tugas Dan Wewenang Kejaksaan R.I Sebagai Lembaga Penuntutan Dalam Proses Peradilan Pidana .. 112 D. Pengawasan Lembaga Kejaksaan R.I ... 118

BAB IV. RENCANA TUNTUTAN DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI PENGADILAN NEGERI viii A. Pelaksanaan Sistem Penuntutan Dalam Penyelesaian Perkara Pidana 124 B. Hambatan yang Dihadapi Dalam Penyusunan Rencana Tuntutan Dalam Penyelesaian Perkara Pidana ... 143

164

C. Upaya Yang Dilakukan Dalam Mengatasi Hambatan Rencana Tuntutan Dalam Penyelesaian Perkara Pidana 152 BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................... B. Saran .............................................................................. DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 158 159 161

ix

Anda mungkin juga menyukai