Anda di halaman 1dari 33

PENDAHULUAN

Landasan pengelolaan keuangan negara adalah Pasal 23C Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga: hal-hal lain mengenai keuangan negara ditetapkan melalui undang-undang. Berangkat dari landasan konstitual itulah berbagai upaya dilakukan untuk dapat menghadirkan Undang-undang Keuangan Negara. Hingga tahun 2003 yang lalu, sebelum UU No.17/2003 diundangkan, aturan yang berlaku untuk pengelolaan Keuangan Negara masih menggunakan peraturan peninggalan pemerintahan kolonial Belanda seperti Indische Comptabiliteitswet yang lebih dikenal dengan nama ICW stbl. 1925 No.488 yang ditetapkan pertama kali pada tahun 1864 dan mulai berlaku tahun 1867. Selain ICW ada juga Indische Bedrijvenwet (IBW) stbl. 1927 No. 419 jo. Stbl. 1936 No. 445 dan Reglement voor het Administratief Beheer (RAB) stbl. 1933 No.381. Sementara itu untuk pelaksanaan pemeriksaan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara digunakan Insctructie en verdere bapelingen voor Algemeene Rekenkamer (IAR) stbl. 1933 No.320. Paket UU Keuangan Negara tersebut (yang terdiri dari dua UU yang sudah diundangkan, yaitu UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan negara, serta satu RUU, yaitu RUU Pemeriksaan pengelolaan Keuangan Negara yang masih dibahas di DPR) merumuskan empat prinsip dasar pengelolaan keuangan negara, yaitu: 1. Akuntabilitas berdasarkan hasil atau kinerja; 2. Keterbukaan dalam setiap transaksi pemerintah; 3. Pemberdayaan manajer professional; dan 4. Adanya lembaga pemeriksa eksternal yang kuat, professional dan mandiri serta dihindarinya duplikasi dalam pelaksanaan pemeriksaan.

Perubahan mendasar yang diatur oleh Undang-undang No.17 tahun 2003 yaitu: a. Tentang pengertian dan ruang lingkup dari keuangan negara; b. Azas-azas umum pengelolaan keuangan negara; c. Kedudukan presiden sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara; d. Pendelegasian kekuasaan presiden kepada menteri Keuangan dan Menteri/Pimpinan Lembaga; e. Susunan APBN dan APBD; f. Ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN dan APBD; g. Pengaturan Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan bank sentral, pemerintah daerah dan pemerintah/lembaga asing; h. Pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah dengan perusahaan daerah dan perusahaan swasta; i. Badan pengelola dana masyarakat; dan

j. Penetapan bentuk dan batas waktu penyampaian laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD. k. Penggunaan Medium Term Expenditure Framework (MTEF) sebagai pengganti Propenas dan Repeta.

Sedangkan perubahan mendasar dalam pengelolaan perbendaharaan negara yang tercantum dalam UU No.1 tahun 2004 yaitu: 1. Penerapan anggaran berbasis kinerja; 2. Pemberlakuan pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja negara berbasis akrual; 3. Munculnya jabatan fungsional Perbendaharaan Negara; 4. Pemberian jasa giro atau bunga atas dana pemerintah yang disimpan pada bank sentral; 5. Sertifikan Bank Indonesia yang selama ini menjadi instrumen moneter akan digantikan oleh Surat Utang Negara; dll.

Kekuasaan atas Keuangan Negara Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. (Pasal 6 UU No. 17/2003) Pada dasarnya Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Sebagian kekuasaan itu diserahkan kepada Menteri Keuangan yang kemudian berperan sebagai pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan negara dalam kekayaan negara yang dipisahkan. Sebagian kekuasaan lainnya diberikan kepada menteri/pimpinan lembaga sebagai pengguna anggaran/pengguna barang lembaga/kementrian yang dipimpinnya. Jika Presiden memiliki fungsi sebagai Chief Executive Officer (CEO) maka Menteri Keuangan berperan dan berfungsi sebagai Chief Financial Officer (CFO) sedangkan menteri/pimpinan lembaga berperan sebagai Chief Operating Officers (COOs). Hubungan tersebut tergambar seperti pada gambar 1 dibawah ini.
Gambar 1 Delegasi wewenang kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara

PRESIDEN sebagai CEO MENTERI TEKNIS sebagai COO MENTERI KEUANGAN sebagai CFO

Pemisahan fungsi seperti di atas dimaksudkan untuk membuat kejelasan dan kepastian dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab. Sebelumnya fungsi-fungsi tersebut belum terbagi secara tegas sehingga seringkali terjadi tumpang tindih antar lembaga. Pemisahan ini juga dilakukan untuk

menegaskan terlaksananya mekanisme checks and balances. Selain itu, dengan fokusnya fungsi masing-masing kementrian atau lembaga diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme di dalam penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah. Menteri Keuangan dengan penegasan fungsi sebagai CFO akan memiliki fungsi-fungsi antara lain: 1. Pengelolaan kebijakan fiskal; 2. Penganggaran; 3. Administrasi Perpajakan; 4. Administrasi Kepabeanan; 5. Perbendaharaan (Treasury); dan 6. Pengawasan Keuangan. Seperti halnya pemerintah pusat, pengelolaan keuangan daerah juga menggunakan pendekatan pembagian fungsi yang tidak berbeda. Gubernur/Bupati/Walikota akan memiliki fungsi sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan Keuangan Daerah atau CEO, dinas-dinas sebagai COO, dan pengelola Keuangan Daerah sebagai CFO.

Pelaksanaan APBN Setelah APBN ditetapkan, Menteri Keuangan memberitahukan kepada semua menteri/pimpinan lembaga agar menyampaikan dokumen pelaksanaan anggaran untuk masing-masing

kementerian/lembaga. Selanjutnya menteri/pimpinan lembaga menyusun dokumen pelaksanaan anggaran untuk kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya berdasarkan alokasi anggaran yang ditetapkan oleh Presiden. Di dalam dokumen pelaksanaan anggaran, diuraikan sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program dan rincian kegiatan, anggaran yang disediakan untuk mencapai sasaran tersebut, dan rencana penarikan dana tiap-tiap satuan kerja, serta pendapatan yang diperkirakan. Pada dokumen pelaksanaan anggaran tersebut juga dilampirkan rencana kerja dan anggaran badan layanan umum dalam lingkungan kementerian negara yang bersangkutan. Setelah dokumen pelaksanaan anggaran tersebut disahkan oleh Menteri Keuangan, dokumen tersebut kemudian disampaikan kepada menteri/pimpinan lembaga, kuasa bendahara umum negara, dan BPK. (Pasal 14 ayat (1) (5) UU No. 17/2003) Berdasarkan dokumen pelaksanaan anggaran, kementerian/lembaga sebagai pengguna

anggaran/kuasa pengguna anggaran melaksanakan kegiatan sebagaimana tersebut dalam dokumen pelaksanaan anggaran. Untuk keperluan kegiatan tersebut, pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran berwenang mengadakan ikatan/perjanjian dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan. (Pasal 17 ayat (1) (2) UU No. 1/2004) Selanjutnya, pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran berhak untuk menguji, membebankan pada mata anggaran yang telah disediakan, dan memerintahkan pembayaran tagihan-tagihan atas beban APBN. (Pasal 18 ayat (1) UU No. 1/2004) Pembayaran atas tagihan yang menjadi beban APBN dilakukan oleh Bendahara Umum Negara/Kuasa Bendahara Umum Negara. (Pasal 19 ayat (1) UU No. 1/2004).

Pemerintah menyusun laporan realisasi semester pertama APBN dan prognosis untuk enam bulan berikutnya, yang disampaikan kepada DPR selambat-lambatnya pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk dibahas bersama antara DPR dan pemerintah. (Pasal 27 ayat (1) (2) UU No. 17/2003) Penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama DPR dengan Pemerintah Pusat dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi: a. perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN; b. perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal; c. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja; d. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan. (Pasal 27 ayat (3) UU No. 17/2003)

Dalam keadaan darurat pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran. Pemerintah mengajukan rancangan undang-undang tentang Perubahan APBN tahun anggaran yang bersangkutan berdasarkan perubahan tersebut untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir. (Pasal 27 ayat (4) (5) UU No. 17/2003)

Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada persidangan tanggal 6 September 2011 menuntut terdakwa EIS dan ES dengan dakwaan primer dan sekunder karena diyakini tidak melakukan penelitian yang mendalam terhadap SPM Nomor 00155/440372/XI/2008 dan memprosesnya menjadi SP2D. Karenanya, JPU mendakwa keduanya tidak mematuhi Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor PER-66/PB/2005 dan melanggar Keputusan Dirjen Perbendaharaan Nomor KEP-297/PB/2007. (Sumber

:http://www.perbendaharaan.go.id/new/index.php?pilih=news&aksi=lihat&id=2698)

Menarik sekali menyimak pleidoi (nota pembelaan) yang dibacakan langsung oleh EIS. Terdakwa mengungkapkan rasa heran dan bingung mengapa Direktur PT. CSC (Penerima dana) dan SUP (selaku pejabat penerbit SPM) tidak diseret juga ke pengadilan TIPIKOR karena jelas-jelas yang bersangkutan sendiri yang menandatangani 60 lembar blangko SPM kosong sesaat sebelum yang bersangkutan berangkat menunaikan ibadah haji? (Sumber : http://www.keuanganpublik.com/)

Selain itu, EIS juga menyatakan keheranan terhadap kredibilitas dan kompetensi dari Saksi Ahli yang diajukan oleh JPU yakni Dr. Dian Puji Simatupang yang ternyata belakangan diketahui bukan pakarHukum Keuangan Negara tetapi Hukum Administrasi Negara dari curriculum vitae-nya (CV/Riwayat Hidup). Terdakwa mensinyalir saksi ahli yang diajukan JPU tersebut, tidak memiliki latar pendidikan yang mamadai di bidang hukum Keuangan Negara dan tidak memahami masalahmasalah perbendaharaan negara, kecuali sekadar membaca pasal demi pasal dan menafsirkan menurut pendapatnya sendiri.

Sesuai ketentuan dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan kemudian diatur lebih lanjut dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, kewenangan Menteri

Teknis dalam pengelolaan keuangan di masing-masing Kementeriannya lebih dominan dibandingkan Menteri Keuangan.

Menteri Teknis sebagai Pengguna Anggaran (PA), dan semua satker jajarannya sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), memiliki kewenangan sebagai Otorisator (melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan adanya pengeluaran dan/atau penerimaan negara) dan sekaligus sebagai Ordonatur(melakukan pengujian atas tindakan yang dilakukan oleh Otorisator dan memerintahkan pembayaran kepada comptabel) bagi anggarannya masing-masing. Sedangkan Menteri Keuangan, beserta jajarannya, hanya memiliki kewenangan Comptabel (Bendahara Umum Negara).

Merujuk pendapat hukum Drs. Siswo Sujanto, DEA (Ketua Tim Kecil Penyusunan Paket UU Bidang Keuangan Negara), yang turut dihadirkan sebagai saksi ahli dalam kasus ini menjelaskan bahwa pembagian kewenangan tersebut (Otorisator, Ordonator, dan Comptabel) didasarkan pada prinsip lets the manager manage. Beliau mengemukakan dalam persidangan bahwa prinsip tersebut, hakekatnya menyatakan anggaran yang diajukan/diminta oleh Kementerian Teknis, diberikan oleh DPR kepada Menteri Teknis untuk membiayai kegiatan yang diusulkan, diputuskan penggunaannya dan dilaksanakan sendiri oleh Menteri Teknis yang bersangkutan, dan konsekuensinya harus dipertanggungjawabkan pula oleh Menteri Teknis.

Merujuk keterangan Saksi Ahli yang diajukan terdakwa yakni Prof. Dr. Muhsan, S.H. (Mantan Hakim Agung, Professor Hukum Administrasi Negara, Pendamping Ahli Tim Penyusunan paket UU Bidang Keuangan Negara), berpendapat Menteri Teknis merupakan lastgevers (pemberi mandate/ perintah) yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan Menteri Keuangan yang merupakan lasthebbers (penerima mandate/ perintah).

Selanjutnya, Prof. Muhsan mengemukakan pendapat hukumnya, Oleh sebab itu, semua perintah Menteri Teknis beserta jajarannya dalam hal pengeluaran Negara yang diwujudkan dalam bentuk surat perintah membayar (SPM), sepanjang sesuai persyaratan administratif yang ditentukan, harus dilaksanakan pencairan dananya. Hal ini, harus dilakukan karena semua tanggungjawab terhadap keputusan yang dilakukan merupakan tanggungjawab Kementerian Teknis/ satker yang bersangkutan. Kalaupun pihak Kementerian keuangan (dhi. KPPN) harus melakukan pengujian hanyalah pengujian administrative dan bersifat pengulangan (rechek). Bukan bersifat pengujian materiil (substantif).

Terlepas dari pertimbangan majelis

hakim dalam memutus perkara itu, dari lubuk hati terdalam,

penulismenyatakan turut prihatin dan bersimpati atas musibah yang menimpa Korps Lapangan Banteng. Perlu kiranya majelis hakim lebih membuka mata hatinya untuk mendengar suara hati,

karena vonis yang diputuskan kemarin akan berimplikasi besar terhadap perekonomian negara, khususnya penyerapan APBN di tahun anggaran 2012.

Perlu disadari, para pegawai KPPN (khususnya petugas seksi pencairan dana) sebagai ujung tombak dalam pencairan dana APBN mesti akan bertindak ekstra hati-hati dalam meneliti SPM yang diajukan Satker-Satker yang berada di wilayah kantor bayarnya. Dikhawatirkan, saking hati-hatinya, petugas tidak akan menolerir kesalahan dalam dokumen SPM sekalipun itu kesalahan kecil (misalnya kesalahan ketik/redaksional) sehingga tingkat pengembalian SPM (SPM tidak dapat diproses menjadi SP2D) akan meningkat pesat.

Tentu saja, proses penerbitan SP2D menjadi berbelit-belit dan butuh waktu lama hingga betul-betul diyakini SPM yang diajukan tepat jumlah, tepat penerima pembayarannya dan tepat pula peruntukannya.Siapa juga yang mau menerima resiko, divonis bersalah (hukuman penjara dan denda ratusan juta rupiah) atas tindakan yang belum tentu dilakukannya? Siapa pula yang rela mendapat stigma (dicap) sebagai seorang koruptor atas dosa/kesalahan yang belum tentu diperbuatnya?

Khusus kepada pucuk pimpinan yang berkantor di kawasan Lapangan Banteng, penulis meminta dengan sangat agar diberikan rasa aman dan kepastian hukum kepada para pegawai dengan terusmenyempurnakan sistem dan prosedur kerja (SOP) dan perlindungan hukum sehingga musibah yang menimpa rekan kami tidak terulang kembali. Bukan kami tak butuh gedung yang megah, taman yang indah, dan peralatan kerja yang lengkap, tapi yang lebih kami butuhkan adalah rasa

kebersamaan, RASA AMAN, rasa kekeluargaan dan solidaritas korps yang sepertinya mulai luntur di tengah tantangan tugas ke depan yang semakin berat.

Demikian, postingan pertama di tahun 2012 ini, sekadar untuk mencurahkan isi hati sekaligus solidaritas untuk senior dan junior yang nasibnya kini ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula.

SEBUAH LEGITIMASI TERHADAP PERAMPOKAN UANG NEGARA

Yang Mulia Ketua dan para Anggota Majelis Hakim, Yang terhormat Sdr. Jaksa Penuntut Umum, Yang terhormat Sdr. Panitera dan para Hadirin,

Assalamualaikum Wr Wb, Selamat Siang dan Salam Sejahtera bagi kita semua,

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat kesehatan kepada kita semua sehingga memungkinkan kita semua untuk menghadiri sidang yang terhormat pada siang hari ini. Puji syukur kepada Allah SWT, dan terima kasih yang sebesar-besarnya, khususnya, kepada Yang Mulia Ketua dan para Anggota Majelis yang telah memperkenankan saya untuk memberikan penjelasan kepada forum yang terhormat ini tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam kasus ini, dan apa peran saya sebagai seorang pejabat di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN), Kementerian Keuangan dalam melaksanakan pencairan dana anggaran atas perintah pejabat SNVT Pengadaan Bahan/Peralatan Jalan dan Jembatan Kementerian Pekerjaan Umum melalui penerbitan Surat Perintah Membayar (SPM), dengan harapan agar nantinya Yang Mulia Majelis Hakim dapat memberikan keputusan yang seadil-adilnya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menghukum yang bersalah, dan membebaskan mereka yang tidak bersalah dan terdzolimi.

Yang Mulia Ketua dan para Anggota Majelis Hakim,

Dalam mesin birokrasi pemerintahan, pelaksanaan kegiatan dapat diibaratkan sebagai sebuah ban berjalan yang berputar mengikuti pola dan system baku yang telah dirancang dan ditetapkan sebelumnya. Pergerakan atau perjalanan mesin tersebut diatur sesuai dengan System Operating Procedure (SOP) yang telah ditetapkan.

Seorang pegawai negeri, dalam sistem ban berjalan tersebut, dapat diibaratkan sebagai roda, baik besar maupun kecil, atau bahkan sekedar sebagai mur atau baut, tergantung jabatan atau posisinya. Para pegawai tersebutlah yang memungkinkan mesin ban berjalan bergerak sesuai iramanya dalam melaksanakan tugas pemerintahan dalam melayani rakyat untuk mencapai tujuan negara.

Jadi, saya sebagai petugas di KPPN adalah sebuah roda kecil yang harus bergerak mengikuti putaran ban berjalan yang dikendalikan oleh sebuah SOP. Harus melaksanakan tugas sepanjang sesuai dengan SOP. Tanpa mampu bergerak sesuai kemauan diri sendiri.

Yang Mulia Ketua dan para Anggota Majelis Hakim,

Di masa lalu, sebelum lahirnya Undang-undang bidang Keuangan Negara pada tahun 2003, sistem Pengelolaan Keuangan Negara, khususnya, dalam bidang pengeluaran Negara, dapat dikatakan sangat buruk. Hampir semua keputusan, mulai penyusunan anggaran hingga pelaksanaan pengeluaran di setiap Kementerian/ lembaga dikendalikan atau diputuskan oleh Menteri Keuangan. Di tangan Menteri Keuangan lah (beserta Satuan kerja bawahannya) terkonsentrasi hampir semua kekuasaan keuangan Negara.

Dalam pelaksanaan pengeluaran anggaran Negara, setiap Kementerian/ lembaga yang diwakili oleh Satuan Kerja masing-masing hanya memiliki kewenangan mengajukan permintaan pembayaran, karena hanya memiliki kewenangan sebagai otorisator. Sedangkan keputusan pembayaran yang diwujudkan dengan penerbitan Surat Perintah Membayar (SPM) -kewenangan ordonnanseringdilakukan oleh Kementerian Keuangan, di. Kantor Perbendaharaan Negara.

Sebagaimana dinyatakan dalam Regelen voor het Administratief Beheer 1933 (RAB) yang menjadi acuan pengelolaan Keuangan Negara di masa lalu di samping Indische Comptabiliteits Wet (ICW) tanggungjawab pengeluaran Negara terletak pada penerbit SPM. Artinya, bahwa barangsiapa yang menandatangani SPM harus yakin terhadap adanya tagihan kepada Negara. Yaitu, harus yakin kepada siapa uang tersebut harus dibayarkan. Harus yakin, berapa besarnya. Dan harus yakin terkait dengan tahun anggaran saat dilaksanakan pembayaran.

Terkonsentrasinya kewenangan pengelolaan keuangan Negara di tangan Menteri Keuangan, yaitu kewenangan ordonnansering dan comptable (Bendahara Umum Negara) , disamping menyalahi konsep dasar manajemen yang baik, juga berakibat di satu sisi, Kementerian/ lembaga beserta satker jajarannya tidak pernah merasa bertanggungjawab terhadap pengelolaan keuangan di satker masingmasing. Di sisi lain, beratnya tanggungjawab di Kementerian Keuangan (dhi. Kantor Perbendaharaan Negara (KPN) sebagai pelaksana) mengakibatkan pelaksanaan pembayaran dan pencairan dananya memakan waktu relative lama (hingga dua hari kerja). Itu pun bila semua persyaratan pembayaran terpenuhi, termasuk bukti-bukti pengeluaran yang dilampirkan. Itu semua karena Kantor Perbendaharaan Negara (KPN) bertanggungjawab terhadap semua pengujian yang dipersyaratkan yang meliputi pengujian wetmatigheid, rechtmatigheid, dan juga pengujian doelmatigheid. Dalam pengujian rechtmatigheid, Kantor Perbendaharaan Negara (KPN) harus meneliti semua bukti pengeluaran, termasuk kontrak-kontrak yang menjadi lampiran permohonan surat permintaan pembayaran (SPP) semua satker Kementerian/ lembaga.

Dengan kenyataan seperti itu, pelaksanaan pengeluaran Negara (dhi. penerbitan SPM sebagai wujud pembayaran kepada pihak lain) justru dipandang sebagai penghambat kegiatan semua Kementerian/ lembaga. Hal ini berakibat terhadap daya serap anggaran Negara (APBN) dari masa ke masa yang relative sangat rendah. APBN tidak dapat diharapkan memacu dan mendukung perkembangan perekonomian Nasional.

Menyadari hal ini, lahirlah pemikiran untuk melakukan reformasi pengelolaan keuangan Negara. Hal ini ditandai dengan lahirnya UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang kemudian disusul dengan UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan juga UU no. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara.

Hal yang paling mendasar dalam reformasi pengelolaan keuangan Negara yang kemudian dituangkan dalam Undang-undang tersebut diatas, antara lain adalah pembagian kewenangan dalam pengelolaan keuangan Negara.

Dalam UU no. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang kemudian diatur lebih lanjut dalam UU no. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, kewenangan Menteri Teknis dalam pengelolaan keuangan di masing-masing Kementeriannya lebih dominan dibandingkan Menteri Keuangan. Efektif dimulai sejak tahun 2005, Menteri Teknis sebagai Pengguna Anggaran (PA), dan semua satker jajarannya sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), memiliki kewenangan sebagai otorisator dan sekaligus sebagai ordonnator bagi anggarannya masing-masing. Sedangkan Menteri Keuangan, beserta jajarannya, sebagai Bendahara Umum Negara, hanya memiliki kewenangan comptabel.

Dalam konstelasi pembagian kewenangan tersebut di atas, Prof. Dr. Muhsan, SH, Mantan Hakim Agung Bidang Tata Usaha Negara, Professor Hukum Administrasi Negara, yang pada saat penyusunan UU Bid Keuangan Negara bertindak sebagai Pendamping Ahli Tim Penyusun, yang dalam persidangan kasus ini dihadirkan sebagai Ahli, berpendapat bahwa Menteri Teknis merupakan lastgevers (pemberi mandate/ perintah) yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan Menteri Keuangan yang merupakan lasthebbers (penerima mandate/ perintah). Oleh sebab itu, semua perintah Menteri Teknis beserta jajarannya dalam hal pengeluaran Negara yang diwujudkan dalam bentuk surat perintah membayar (SPM), sepanjang sesuai persyaratan administrative yang ditentukan, harus dilaksanakan pencairan dananya. Hal ini, harus dilakukan karena semua tanggungjawab terhadap keputusan yang dilakukan merupakan tanggungjawab Kementerian Teknis/ satker yang bersangkutan. Kalaupun pihak Kementerian keuangan (dhi.KPPN) harus melakukan pengujian hanyalah pengujian administrative dan bersifat pengulangan (rechek). Bukan bersifat pengujian materiil (substantive).

Drs. Siswo Sujanto, DEA, sebagai Ketua Tim Kecil Penyusunan Paket UU Bidang Keuangan Negara tersebut, yang dihadirkan sebagai ahli dalam kasus ini menjelaskan bahwa pembagian kewenangan tersebut di atas didasarkan pula pada prinsip lets the manager manage. Sebagaimana dikemukakan dalam persidangan bahwa prinsip tersebut pada hakekatnya menyatakan bahwa anggaran tersebut diajukan/ diminta oleh Kementerian Teknis, diberikan oleh DPR kepada Menteri Teknis untuk membiayai kegiatan yang diusulkan, diputuskan penggunaannya dan dilaksanakan sendiri oleh Menteri Teknis yang bersangkutan, dan konsekuensinya harus dipertanggungjawabkan oleh Menteri Teknis. Singkatnya, mulai dari perencanaan hingga pertanggungjawaban, anggaran setiap Kementerian/ lembaga/ satker harus dikelola sendiri oleh masing-masing.

Yang Mulia Ketua dan para Anggota Majelis Hakim,

Inilah salah satu makna perubahan yang dimuat dalam reformasi pengelolaan keuangan Negara. Yang memperoleh dana anggaran, yang menggunakan dana tersebut atas dasar keputusan yang dibuatnya harus bertanggungjawab terhadap semua keputusannya. Dan Menteri Keuangan, selaku Bendahara Umum Negara, hanya melakukan pengecekan apakah penggunaan dana tersebut sesuai dengan alokasi yang disediakan sebagaimana tertuang dalam UU APBN dan DIPA.

Menindaklanjuti gagasan yang tertuang dalam undang-undang tersebut, Direktorat Jenderal Perbendaharaan menyusun system pembayaran baru yang diimplementasikan pada kantor-kantor daerahnya yang kemudian dikenal dengan nama KPPN Percontohan.

Inti perubahan tersebut adalah bahwa karena KPPN tidak lagi merupakan ordonnator, KPPN tidak lagi melakukan pengujian substantive dalam arti yang sebenarnya melainkan hanya melakukan pengujian substantif yang bersifat recheck terhadap keputusan pengeluaran Negara. Tegasnya, KPPN tidak lagi melakukan pengujian rechtmatigheid yang menjadi dasar diterbitkannya SPM, dan juga tidak melakukan pengujian doelmatigheid. Secara kasar dapat dikatakan bahwa setiap SPM yang diterbitkan Kementerian/ lembaga dan satkernya wajib dicairkan dananya oleh KPPN karena keputusan pembayaran tersebut menjadi tanggungjawab Kementerian/ lembaga dan satker yang bersangkutan.

Untuk menghindarkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan (antara lain, pemalsuan SPM), setiap Kementerian/ lembaga disamping memiliki program SPM dengan password khusus, SPM tersebut memiliki unsure/ elemen sebanyak 13 elemen dasar yang hanya diketahui oleh satker yang bersangkutan yang nantinya akan dicocokkan dengan data base di KPPN. Hal tersebut sebagaimana disampaikan oleh Sdr. Bagus Konstituante sebagai ahli IT sekaligus saksi fakta yang dihadirkan

dalam persidangan kasus ini. Oleh karena itu, setiap penerbitan SPM (hard copy) harus disertai dengan Arsip Data Komputer (ADK-soft copy).

Drs. Siswo Sujanto, DEA sebagai perancang system tersebut yang ketika itu menjabat sebagai Sekretaris Ditjen Perbendaharaan, yang dihadirkan sebagai ahli dalam kasus ini menyatakan bahwa dengan adanya konfirmasi elektronik/ computer terhadap semua elemen dasar yang merupakan kunci penerbitan SPM, maka akan melahirkan power of payment. Artinya, bahwa SPM tersebut benar-benar berasal dari Satker penerbit SPM, dan sebagai konsekuensinya, KPPN wajib mencairkan dananya dengan menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). Inilah inti dari verifikasi elektronik.

Namun demikian, untuk memastikan bahwa SPM tersebut syah SPM dimaksud harus ditandatangani oleh pejabat yang berwenang, yaitu Pejabat Penandatangan SPM. Inilah pengujian manual yang harus dilaksanakan oleh staf di KPPN (FO).

Dengan system pembayaran model baru tersebut, norma waktu pembayaran yang dahulu mencapai minimal 8 jam hingga 2 x 24 jam, dapat dilaksanakan hanya dalam tempo 45 menit.

Kecepatan tersebut dapat terjadi karena KPPN tidak lagi menguji dasar-dasar pembayaran (yaitu : kontrak dan bukti lainnya) yang menjadi tanggungjawab Satker. Untuk menunjukkan tanggungjawab pengeluaran Negara di satker tersebut, maka setiap SPM harus dilampiri Resume kontrak dan Surat Pernyataan Tanggungjawab Belanja (SPTB). Resume kontrak akan digunakan oleh KPPN untuk mencocokkan penerima pembayaran, besaran pembayaran, dan tahun anggaran SPM yang disampaikan. Sedangkan SPTB pada hakekatnya berisi pernyataan Satker bahwa pengeluaran telah dilaksanakan sesuai ketentuan, dan seluruh bukti ada di Satker ybs.

Yang Mulia Ketua dan para Anggota Majelis Hakim,

Dengan mengutip norma di atas, yaitu : bahwa barangsiapa yang menandatangani SPM harus yakin terhadap adanya tagihan kepada Negara; yaitu, harus yakin kepada siapa uang tersebut harus dibayarkan; harus yakin, berapa besarnya; dan harus yakin terkait dengan tahun anggaran saat dilaksanakan pembayaran jelas bahwa tanggungjawab penerbitan SPM dan segala konsekuensinya berada di tangan satker, dan lebih khusus lagi, di tangan penandatangan SPM.

Dengan demikian, bila kemudian beban tanggungjawab penerbitan SPM dialihkan dari Satker kepada Kementerian Keuangan (dhi. KPPN) dengan menggunakan dalil-dalil yang tidak benar karena berasal dari penafsiran ahli yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum yang tidak berkompeten, sama artinya dengan MELAKUKAN LEGITIMASI TERHADAP PERAMPOKAN UANG NEGARA YANG

DILAKUKAN OLEH PIHAK-PIHAK LAIN DENGAN BEKERJASAMA DENGAN SATUAN KERJA KEMENTERIAN/ LEMBAGA.

Yang Mulia Ketua dan para Anggota Majelis Hakim,

Kejadian ini, bila benar-benar terjadi akan memiliki akibat yang luar biasa dan di luar yang diperkirakan. Saat ini, ketika kasus ini sedang bergulir sudah terjadi beberapa kali percobaan serupa yang dilakukan di beberapa KPPN oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Dengan tuntutan yang diusulkan Jaksa Penuntut Umum yang dapat dianggap sebagai legitimasi, akan marak kasuskasus serupa.

Bila keputusan penyelesaian kasus ini adalah dengan mempersalahkan KPPN, maka legitimasi tersebut akan mengorbankan orang-orang yang tidak bersalah. Dan tentunya, Kementerian Keuangan, khususnya semua pegawai di KPPN tidak akan sanggup lagi bekerja sesuai konsep baru dengan pembagian tugas sebagaimana dituangkan dalam undang-undang. Semua pegawai KPPN, khususnya FO dan seksi-seksi tertentu akan mengundurkan diri daripada ketimpa musibah dalam bentuk menanggung dosa yang tidak pernah mereka lakukan.

Kalaupun dipaksakan, semua pegawai akan bertindak dengan cara yang luar biasa, antara lain meneliti sedetil-detilnya apa saja yang disodorkan untuk dikerjakan, walaupun data yang diteliti tidak memiliki keterkaitan dengan keputusan yang harus diambil. Semua kesalahan, sekecil apapun, seperti kesalahan ketik dalam surat lampiran, akan mengakibatkan SPM dikembalikan. Dan ini semua dilakukan hanya untuk tindakan berhati-hati agar tidak sampai masuk ke penjara.

Semua pegawai di KPPN akan bertindak ibaratnya seorang polisi lalu lintas yang menilang seorang pengemudi hanya gara-gara dalam kotak P3K-nya tidak terdapat verband yang merupakan kelengkapan. Padahal, semua surat maupun kelengkapan lainnya ternyata ada. Dan ini merupakan tindakan yang dipandang kurang rasional.

Semua itu tentu dapat dibayangkan, betapa pembayaran SPM akan menjadi berlarut-larut. Penyerapan APBN yang kini menjadi keprihatinan Pemerintah (baca: Presiden) akan menjadi sesuatu yang lebih jelek lagi. Dan, lebih jauh lagi implikasi terhadap layanan public dan perekonomian nasional menjadi luar biasa buruknya. Dan ini tentunya sangat mungkin terjadi, padahal hanya didasarkan pada keputusan pihak-pihak yang tidak benar-benar memahami logika dalam tata kelola keuangan Negara (peraturan yang ada).

Yang Mulia Ketua dan para Anggota Majelis Hakim,

Berbagai ketentuan dalam pengelolaan keuangan Negara seharusnya ditafsirkan secara proporsional dan sesuai dengan filosofi, kaidah, maupun norma disiplin keuangan Negara.

Jaksa Penuntut Umum menghadirkan seorang Ahli Hukum Administrasi Negara, Dr. Dian Puji Simatupang, yang dinyatakan sebagai ahli hukum administrasi dan mengajar tentang hukum perbendahaaraan Negara di suatu perguruan tinggi negeri terkenal di Indonesia yang ternyata, setelah kami baca CV-nya tidak memiliki latar belakang pendidikan yang memadai di bidang Hukum Keuangan Negara . Latar belakang pendidikan hukum administrasi dan hukum perbendharaan, apalagi hukum keuangan Negara adalah sesuatu yang sangat berbeda. Oleh karena itu, pernyataanpernyataannya selama persidangan menunjukkan bahwa yang bersangkutan sebenarnya banyak tidak memahami masalah-masalah perbendaharaan Negara, kecuali sekedar membaca pasal dan menafsirkan menurut pendapatnya sendiri. Itu sebabnya, pendapatnya tidak sesuai dengan pemikiranpemikiran disiplin hukum keuangan Negara. Hal ini tentunya sangat membahayakan, bukan saja dari sudut system dan keilmuan, tetapi terlebih lagi terhadap nasib seseorang.

Pernah terjadi dalam kasus lain terkait dengan keputusan di bidang pengelolaan keuangan Negara yang ditafsirkan oleh Ahli yang tidak ahli yang kemudian mengakibatkan kericuhan dalam system. Ini benar-benar terjadi ketika seorang jaksa di Papua dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain. Yang bersangkutan keberatan, padahal permintaan Surat Keputusan Penghentian Pembayaran (SKPP) telah diterbitkan oleh kantor Kejaksaan yang bersangkutan dan disyahkan oleh KPPN, sehingga KPPN menghentikan pembayaran dengan mengalihkan pembayaran ke tempat sesuai SK. Pengadilan memutuskan bahwa KPPN bersalah karena telah menerbitkan SKPP, sehingga yang bersangkutan tidak lagi menerima gaji di tempat yang lama. Keputusan Majelis Hakim tentunya mendengarkan berbagai ahli sebelum memutuskan perkara.

Seandainya Kementerian Keuangan patuh terhadap keputusan tersebut, maka semua hakim maupun jaksa yang dipindahkan keluar Papua, mengacu keputusan pengadilan tersebut yang diberlakukan sebagai jurisprudensi, tidak akan menerima SKPP. Dan akibatnya mereka tidak akan pernah menerima gaji di tempat yang baru.

Untung saja, dengan susah payah, para Pejabat di Ditjen Perbendaharaan mengajukan banding dan berusaha meyakinkan majelis hakim banding. Dan Alhamdulillah dikabulkan. Bila tidak, apa yang akan terjadi ? Inilah contoh nyata bila masalah keuangan Negara diputuskan berdasarkan tafsiran pihak-pihak yang tidak berkompeten.

Yang Mulia Ketua dan para Anggota Majelis Hakim,

Dari pendapat Ahli yang dihadirkan oleh pihak kami, yaitu Prof. DR. Muhsan, SH, dan Drs. Siswo Sujanto, DEA yang keduanya merupakan figure yang menyusun Undang Undang Bidang Keuangan Negara yang hingga kini digunakan di Indonesia, bahkan Drs. Siswo Sujanto, DEA sejak tahun 2006 hingga saat ini selalu membantu penyelesaian berbagai kasus korupsi baik yang ditangani oleh KPK, Kejaksaan Agung, maupun Polda sebagai Ahli Hukum Keuangan Negara, dapat disimpulkan bahwa tanggungjawab pengeluaran Negara melalui penerbitan SPM adalah di tangan Kementerian/ lembaga/ satker penerbit SPM, lebih khusus lagi tanggungjawab tersebut melekat secara ex-officio pada Pejabat Penandatangan SPM.

Yang mengherankan saya adalah, mengapa justru pihak Kementerian/ lembaga/ satker penerbit SPM, lebih khusus lagi Pejabat Penandatangan SPM yang menurut ketentuan perundang-undangan merupakan pihak yang paling bertanggungjawab dan tentunya bersalah, tidak dituntut untuk dijatuhi hukuman.

Kesalahan tersebut terakumulasi dengan perbuatan Sdr. Supriyanto, S.Sos, Pejabat Penandatangan SPM SNVT Pengadaan Bahan/Peralatan Jalan dan Jembatan Kementerian Pekerjaan Umum, yang menandatangani kertas kosong menjelang cuti naik haji dengan harapan sewaktu-waktu diperlukan dapat diisi dan diterbitkan sebagai SPM resmi agar tidak menghambat pembiayaan kegiatan SNVT yang bersangkutan. Perbuatan ini merupakan perbuatan yang tidak layak dilakukan oleh seorang pengelola keuangan Negara, sehingga pejabat yang bersangkutan harus mendapatkan hukuman karena melakukan pelanggaran norma/ kaidah yang berlaku dalam pengelolaan keuangan negara sebagaimana dikemukakan di atas yaitu,. bahwa barangsiapa yang menandatangani SPM harus yakin terhadap adanya tagihan kepada Negara; yaitu, harus yakin kepada siapa uang tersebut harus dibayarkan; harus yakin, berapa besarnya; dan harus yakin terkait dengan tahun anggaran saat dilaksanakan pembayaran. Padahal, sebagaimana disampaikan dalam persidangan yang bersangkutan telah menandatangani kertas kosong untuk dijadikan SPM sebanyak 60 lembar dan meletakkannya di dalam map di bawah keyboard computer operator SPM yang berisi program Aplikasi SPM. Perbuatan ini justru memfasilitasi pihak-pihak tertentu untuk merampok uang Negara dengan sekedar mengisi kertas tersebut dengan angka-angka dan mencetaknya menjadi SPM.

SPM, pada hakikatnya, tidak berbeda dengan cek dalam system perbankan. Namun demikian, tidak pernah terjadi bila terdapat penyalahgunaan cek tersebut oleh pemilik cek (penandatangan cek), bank ataupun pejabat/staf di bank tersebut dinyatakan bersalah. Oleh karena itu, merupakan suatu hal yang sangat aneh bila SPM yang diterbitkan dan ditandatangani oleh pejabat di satuan kerja, dalam hal ini SNVT Pengadaan Bahan/Peralatan Jalan dan Jembatan Kementerian Pekerjaan Umum, yang mungkin

saja disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu, kesalahannya ditimpakan kepada KPPN ataupun pejabat/pegawai KPPN.

Tambahan lagi, dari sudut organisasi pengelolaan Keuangan Negara, menurut Drs. Siswo Sujanto, DEA, yang dihadirkan sebagai Ahli Hukum Keuangan Negara, praktek pembayaran/ penerbitan SPM yang dilaksanakan di SNVT tersebut adalah salah. Menurut Ahli, dengan organisasi semacam SNVT, SPM tersebut seharusnya ditandatangani oleh Kepala SNVT. Artinya kepala SNVT harus merangkap sebagai Pejabat Penandatangan SPM. Hal ini untuk menjamin terjadinya mekanisme saling uji (check and balance) dalam pelaksanaan pengeluaran Negara sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang No. 1 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Menurut Ahli, kesalahan tersebut merupakan kesalahan yang fatal, karena secara substantive penerbitan SPM tersebut tidak pernah dilakukan pengujian dalam arti sebenarnya.

Keheranan saya bertambah-tambah, karena ternyata penyidik dari Ditreskrimsus Polda Metro Jaya yang melakukan penyidikan kasus ini, dalam persidangan ternyata sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang Undang-undang Perbendaharaan maupun Undang Undang Keuangan Negara.

Yang Mulia Ketua dan para Anggota Majelis Hakim,

Jaksa Penuntut Umum tidak mampu membuktikan dakwaan primernya, yang berarti tidak mampu membuktikan adanya perbuatan melawan hukum dalam kasus ini, karena saya memang tidak pernah melakukan perbuatan yang melawan hukum. Semua tindakan saya, saya lakukan atas dasar SOP yang ditetapkan oleh instansi saya (Direktorat Jenderal Perbendaharaan). Dan instansi saya, Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan tidak pernah menyatakan bahwa saya telah melanggar SOP. Artinya, apa yang telah saya lakukan telah sesuai dengan yang seharusnya saya lakukan sebagai pejabat pelaksana perbendaharaan di KPPN. Oleh karena itu, hingga saat ini saya tidak pernah dihukum. Bahkan saya telah dipromosikan dalam jabatan eselon III sebagai Kepala Kantor KPPN di Tahuna. Ini adalah suatu bentuk apresiasi/ pengakuan dari instansi tempat saya bekerja. Dan promosi ini tidak mungkin terjadi di Kementerian Keuangan, khususnya, yang pada saat ini sedang gencar-gencarnya melakukan reformasi birokrasi dan pencegahan korupsi. KPPN sendiri akhir-akhir ini diakui oleh KPK sebagai instansi penyedia layanan terbaik di Indonesia.

Yang Mulia Ketua dan para Anggota Majelis Hakim,

Ketika saya mendengarkan dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut saya hukuman 2 tahun dengan denda Rp. 500.000.000,- subsidaire 4 bulan saya terheran-heran. Instansi saya (KPPN) tidak memiliki kewenangan sebagaimana dituduhkan. Dengan demikian, saya tentunya

juga tidak memiliki kewenangan seperti itu pula, yaitu mencairkan dana dengan cara menerbitkan SP2D untuk SPM yang tidak layak bayar. Saya merasakan tuduhan tersebut sangat aneh dan salah arah (error in persona).

Sehubungan dengan itu, saya mohon agar Yang Mulia dapat mempertimbangkan dengan arief dan bijaksana terhadap apa yang telah saya sampaikan di atas, dan mohon dapat memberikan keputusan yang seadil-adilnya atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.

Demikian saya sampaikan pembelaan ini. Semoga kiranya Allah SWT melindungi kita semua. Amin Ya Rabbal alamin.

Wassalammualaikum wr wb.

Agus Imam Subegjo.

NILAI NILAI KEMENTRIAN KEUANGAN

1. INTEGRITAS

( Berpikir, berkata, berperilaku dan bertindak dengan baik dan benar serta memegang teguh kode etik dan prinsip-prinsip moral )

BERSIKAP JUJUR, TULUS DAN DAPAT DIPERCAYA MENJAGA MARTABAT DAN TIDAK MELAKUKAN HAL-HAL TERCELA 2, PROFESIONALISME

( Bekerja tuntas dan akurat atas dasar kompetensi terbaik dengan penuh tanggung jawab dan komitmen)

MEMPUNYAI KEAHLIAN DAN PENGETAHUAN YANG LUAS BEKERJA DENGAN HATI

3. SINERGI

( Membangun dan memastikan hubungan kerjasama internal yang produktif serta kemitraan yang harmonis dengan para pemangku kepentingan untuk menghasilkan karya yang bermanfaat dan berkualitas )

MEMILIKI SANGKA BAIK, SALING PERCAYA DAN MENGHORMATI MENEMUKAN DAN MELAKSANAKAN SOLUSI TERBAIK

4.PELAYANAN

( Memberikan Layanan yang memenuhi kepuasan pemangku kepentingan yang dilakukan dengan sepenuh hati, transparan, cepat , akurat dan aman )

MELAYANI DENGAN BERORIENTASI PADA KEPUASAN PEMANGKU KEPENTINGAN BERSIFAT PROAKTIF DAN CEPAT TANGGAP 5. KESEMPURNAAN

( senentiasa melakukan upaya perbaikan di segala bidang untuk menjadi dan meberikan yang terbaik )

MELAKUKAN PERBAIKAN TERUS MENERUS MENGEMBANGKAN INOVASI DAN KREATIVITAS

Kayaknya jangan cuman KIPS saja yg diutamakan....usahakan agar ada SPM dengan Form Resmi sebagaimana Form SP2D dan Daftar Penguji, yang harus di "Stempel Timbul" oleh satker ybs. SPM yg dimaksud nomornya harus sudah terdaftar sebagaimana Nomor SP2D KPPN. Meski semua celah kejahatan akan ada, setidaknya semakin ketat tindakan preventif kita, akan mengurangi kemungkinan terburuk.

Terus terang, ada rasa sanksi atas penegakan hukum yang masih jauh dari rasa keadilan di negeri ini. Dan kemarin sore (9 Januari 2011), kembali terdengar kabar tidak sedap karena dua orang pegawai negeri sipil (PNS) lingkup kementerian keuangan divonis bersalah oleh majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR). Terpidana AIS selaku penandatangan SP2D divonis bersalah 1,5 tahun dan denda Rp100 juta atau subsidaire 3 bulan kurungan, sedangkan ES selaku petugas FO divonis 1 tahun dan denda Rp100 juta atau subsidaire 3 bulan kurungan.

Kasus ini bermula dari penerbitan Surat Perintah Membayar (SPM) yang diduga asli tapi palsu (ASPAL) bernomor 00155/440372/XI/2008 tanggal 19 November 2008 yang ditandatangani SUP selaku pejabat penandatangan SPM pada Satker (SNVT) lingkup Ditjen Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum senilai Rp9,95 miliar atas nama PT. CSC yang belakangan diketahui fiktif. (Sumber : http://bisniskeuangan.kompas.com/rea...Pun.Dipalsukan).

Sesuai prosedur kerja, SPM tadi ditindaklanjuti dengan penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) bernomor 928710J tertanggal 21 November 2008 sebesar Rp8.824.221.000,00 (setelah dipotong pajak) oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) dalam hal ini ditandatangani oleh AIS selaku Kepala Seksi Perbendaharaan KPPN Jakarta II. (Sumber :

http://www.mediaindonesia.com/read/2...aharaan-Negara

Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada persidangan tanggal 6 September 2011 menuntut terdakwa AIS dan ES dengan dakwaan primer dan sekunder karena diyakini tidak melakukan penelitian yang mendalam terhadap SPM Nomor 00155/440372/XI/2008 dan memprosesnya menjadi SP2D. Karenanya, JPU mendakwa keduanya tidak mematuhi Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor PER-66/PB/2005 dan melanggar Keputusan Dirjen Perbendaharaan Nomor KEP-297/PB/2007. (Sumber :

http://www.perbendaharaan.go.id/new/...=lihat&id=2698)

Dalam dakwaan primernya, JPU mendakwa AIS dan ES sebagai orang yang melakukan atau turut serta melakukan perbuatan secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. (Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).

Sedangkan dakwaan sekunder, keduanya didakwa sebagai orang yang melakukan atau turut serta melakukan perbuatan yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan wewenang, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. ((Pasal 3 ayat 1

UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).

Menarik sekali menyimak pleidoi (nota pembelaan) yang dibacakan langsung oleh AIS. Terdakwa mengungkapkan rasa heran dan bingung mengapa Direktur PT. CSC (Penerima dana) dan SUP (selaku pejabat penerbit SPM) tidak diseret juga ke pengadilan TIPIKOR karena jelas-jelas yang bersangkutan sendiri yang menandatangani 60 lembar blangko SPM kosong sesaat sebelum yang bersangkutan berangkat menunaikan ibadah haji? (Sumber : http://www.keuanganpublik.com/)

Doa kami menyertai (sumber : NN)

Selain itu, AIS juga menyatakan keheranan terhadap kredibilitas dan kompetensi dari Saksi Ahli yang diajukan oleh JPU yakni Dr. Dian Puji Simatupang yang ternyata belakangan diketahui bukan pakar Hukum Keuangan Negara tetapi Hukum Administrasi Negara dari curriculum vitae-nya (CV/Riwayat Hidup). Terdakwa mensinyalir saksi ahli yang diajukan JPU tersebut, tidak memiliki latar pendidikan yang memadai di bidang hukum Keuangan Negara dan tidak memahami masalah-masalah perbendaharaan negara, kecuali sekadar membaca pasal demi pasal dan menafsirkan menurut pendapatnya sendiri.

Sesuai ketentuan dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan kemudian diatur lebih lanjut dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, kewenangan Menteri Teknis dalam pengelolaan keuangan di masing-masing Kementeriannya lebih dominan dibandingkan Menteri Keuangan.

Menteri Teknis sebagai Pengguna Anggaran (PA), dan semua satker jajarannya sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), memiliki kewenangan sebagai Otorisator (melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan adanya pengeluaran dan/atau penerimaan negara) dan sekaligus sebagai Ordonatur (melakukan pengujian atas tindakan yang dilakukan oleh Otorisator dan memerintahkan pembayaran kepada comptabel) bagi anggarannya masing-masing. Sedangkan Menteri Keuangan, beserta jajarannya, hanya memiliki kewenangan Comptabel (Bendahara Umum Negara).

Merujuk pendapat hukum Drs. Siswo Sujanto, DEA (Ketua Tim Kecil Penyusunan Paket UU Bidang Keuangan Negara), yang turut dihadirkan sebagai saksi ahli dalam kasus ini menjelaskan bahwa pembagian kewenangan tersebut (Otorisator, Ordonator, dan Comptabel) didasarkan pada prinsip lets the manager manage. Beliau mengemukakan dalam persidangan bahwa prinsip tersebut, hakekatnya menyatakan anggaran yang diajukan/diminta oleh Kementerian Teknis, diberikan oleh DPR kepada

Menteri Teknis untuk membiayai kegiatan yang diusulkan, diputuskan penggunaannya dan dilaksanakan sendiri oleh Menteri Teknis yang bersangkutan, dan konsekuensinya harus dipertanggungjawabkan pula oleh Menteri Teknis.

Merujuk keterangan Saksi Ahli yang diajukan terdakwa yakni Prof. Dr. Muhsan, S.H. (Mantan Hakim Agung, Professor Hukum Administrasi Negara, Pendamping Ahli Tim Penyusunan paket UU Bidang Keuangan Negara), berpendapat Menteri Teknis merupakan lastgevers (pemberi mandate/ perintah) yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan Menteri Keuangan yang merupakan lasthebbers (penerima mandate/ perintah).

Selanjutnya, Prof. Muhsan mengemukakan pendapat hukumnya, Oleh sebab itu, semua perintah Menteri Teknis beserta jajarannya dalam hal pengeluaran Negara yang diwujudkan dalam bentuk surat perintah membayar (SPM), sepanjang sesuai persyaratan administratif yang ditentukan, harus dilaksanakan pencairan dananya. Hal ini, harus dilakukan karena semua tanggungjawab terhadap keputusan yang dilakukan merupakan tanggungjawab Kementerian Teknis/ satker yang bersangkutan. Kalaupun pihak Kementerian keuangan (dhi. KPPN) harus melakukan pengujian hanyalah pengujian administrative dan bersifat pengulangan (rechek). Bukan bersifat pengujian materiil (substantif).

Terlepas dari pertimbangan majelis hakim dalam memutus perkara itu, dari lubuk hati terdalam, penulis menyatakan turut prihatin dan bersimpati atas musibah yang menimpa Korps Lapangan Banteng. Perlu kiranya majelis hakim lebih membuka mata hatinya untuk mendengar suara hati, karena vonis yang diputuskan kemarin akan berimplikasi besar terhadap perekonomian negara, khususnya penyerapan APBN di tahun anggaran 2012.

Perlu disadari, para pegawai KPPN (khususnya petugas seksi pencairan dana) sebagai ujung tombak dalam pencairan dana APBN mesti akan bertindak ekstra hati-hati dalam meneliti SPM yang diajukan Satker-Satker yang berada di wilayah kantor bayarnya. Dikhawatirkan, saking hati-hatinya, petugas tidak akan menolerir kesalahan dalam dokumen SPM sekalipun itu kesalahan kecil (misalnya kesalahan ketik/redaksional) sehingga tingkat pengembalian SPM (SPM tidak dapat diproses menjadi SP2D) akan meningkat pesat.

Tentu saja, proses penerbitan SP2D menjadi berbelit-belit dan butuh waktu lama hingga betul-betul diyakini SPM yang diajukan tepat jumlah, tepat penerima pembayarannya dan tepat pula peruntukannya. Siapa juga yang mau menerima resiko, divonis bersalah (hukuman penjara dan denda ratusan juta rupiah) atas tindakan yang belum tentu dilakukannya? Siapa pula yang rela mendapat stigma (dicap) sebagai seorang koruptor atas dosa/kesalahan yang belum tentu diperbuatnya?

Khusus kepada pucuk pimpinan yang berkantor di kawasan Lapangan Banteng, penulis meminta dengan sangat agar diberikan rasa aman dan kepastian hukum kepada para pegawai dengan terus menyempurnakan sistem dan prosedur kerja (SOP) dan perlindungan hukum sehingga musibah yang menimpa rekan kami tidak terulang kembali. Bukan kami tak butuh gedung yang megah, taman yang indah, dan peralatan kerja yang lengkap, tapi yang lebih kami butuhkan adalah rasa kebersamaan, RASA AMAN, rasa kekeluargaan dan solidaritas korps yang sepertinya mulai luntur di tengah tantangan tugas ke depan yang semakin berat.

Demikian, postingan pertama di tahun 2012 ini, sekadar untuk mencurahkan isi hati sekaligus solidaritas untuk senior dan junior yang nasibnya kini ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Terima kasih.

Untuk dapat menemukan perbedaan fundamental antara Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001, perlu dilakukan penafsiran dari sudut sejarah perundang-undangan (historische wet interpretatie) pembentukan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sejak diberlakukannya UU Prp Nomor 24 tahun 1960 sampai d engan perubahan terakhir dengan UU Nomor 20 tahun 2001. UU Pemberantasan Korupsi (sejak Perpu No 24 tahun 1960 yang dicabut dengan UU Nomor 3 tahun 1971 dan dicabut dengan UU Nomor 31 tahun 1999 terakhir diubah dengan UU No 20 tahun 2001)memiliki sasaran utama(adresaat) adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana ditentukan dalam UU Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Berwibawa jo UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.

Pada mulanya UU pemberantasan korupsi di seluruh negara memiliki sasaran yang sama yaitu hanya ditujukan terhadap pejabat pemerintah. Sasaran tsb sangat masuk akal karena korupsi hanya dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki wewenang atau sedang menjalankan jabatan pemerintah. Pergantian Perpu No 24 tahun 1960 dengan UU Nomor 3 tahun 1971, antara lain, disebabkan masih ada cara-cara melakukan korupsi yang tidak dapat dijangkau oleh UU No.24 tahun 1960 sebagaimana disampaikan dalam keterangan pemerintah dihadapan DPR GR pada tanggal 28 Agustus tahun 1971 oleh Menteri Kehakiman, Oemar Senoadjai sebagai berikut:

Ternyata sekarang, walaupun diberikan sifat khusus pada Undang-Undang No.24 Prp.Tahun 1960, peraturan ini kurang memadai perkembangan masyarakat yang menemukan cara-cara lain dalam melakukan perbuatan korupsi, yang tidak tercakup oleh Undang-undang tersebut.Kadang-kadang terdapatlah hal-hal yang sangat jelas tercela dalam melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri dengan merugikan keuangan negara yang menurut UU No 24 Prp. Tahun 1960 tidak diliput olehnya.

Keterangan Pemerintah tersebut di atas mengenai perlunya dimasukkan unsur melawan hukum (yang kemudian dimasukkan dalam Pasal 2) sebagai bagian inti tindak pidana (delik) sebagai pegganti istilah, kejahatan dan atau pelangggaran tercantum dalam UU No. 24 Prp tahun 1960. Perubahan mendasar berikutnya adalah mengenai subjek hukum tindak pidana korupsi. Pergantian atau perubahan UU Pemberantasan Korupsi sejak tahun 1960 sampai dengan UU Nomor 20 tahun 2001 selalu memuat ketentuan yang menetapkan seorang pegawai negeri atau mereka yang menduduki jabatan publik tertentu sebagai subjek hukum tindak pidana korupsi. Penegasan seorang pegawai negeri sebagai subjek hukum tindak pidana korupsi tercantum dalam Pasal 2 UU Nomor 3 tahun 1971; selanjutnya pengertian istilah pegawai negeri drinci di dalam UU Nomor 31 tahun 1999, yaitu dengan dirinci menjadi 5(lima) kriteria (Pasal 1 angka 2). Selain perubahan mendasar tsb, dengan UU Nomor 31 tahun 1999, telah ditetapkan juga, Korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana korupsi disamping orang perorangan. Sejak diberlakukanya UU Nomor 31 tahun 1999, subjek hukum tindak pidana korupsi, bukan hanya termasuk pegawai negeri, melainkan juga termasuk, korporasi dan orang perorangan (lihat Pasal 1 angka 3). Penjelasan di atas logis adanya karena itu pembentuk UU Nomor 31 tahun 1999 telah memasukkan dan membedakan 3(tiga) subjek hukum dalam UU Nomor 31 Tahun 1999, yaitu: pegawai negeri dalam arti luas; orang perorangan dan korporasi. Pengertian istilah pegawai negeri dicantumkan dalam lihat Pasal 1 angka 2; dan setiap orang atau korporasi dicantumkan dalam lihat Pasal 1 angka 3. Dengan perubahan-perubahan yang tercantum dalam UU Nomor 31 tahun 1999 maka subjek hukum tindak pidana korupsi telah lengkap dan sempurna di dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi sampai saat ini. Untuk mengetahui mengapa terdapat perbedaan subjek hukum yang merupakan adressat UU Nomor 31 tahun 1999 maka perlu dikemukakan terlebih dulu apa yang telah diterangkan di dalam Penjelasan Umum UU Nomor 3 tahun 1971,alinea ketiga, antara lain menerangkan, pengertian pegawai negeri dalam Undang-undang ini sebagai subjek tindak pidana korupsi, meliputi bukan saja pengertian pegawai negeri menurut perumusan yang dimaksud dalam Pasal 2, karena berdasarkan pengalaman selama ini, orang-orang bukan pegawai negeri menurut pengertian hukum administrasi , dengan menerima tugas tertentu dari suatu badan negara dapat melakukan perbuatan-perbuatan tercela. Penjelasan Umum di atas, diperkuat dengan Penjelasan Pasal 1 UU Nomor 3 tahun 1971 yang menerangkan sebagai berikut: Tindak Pidana Korupsi pada umumnya memuat aktivitas yang merupakan manifestasi dari perbuatan korupsi dalam arti yang luas mempergunakan kekuasaan atau pengaruh yang melekat pada seseorang pegawai negeri atau kedudukan istimewa dipunyai seseorang dalam jabatan umummaupun orang menyuap sehingga perlu dikualfisiir sebagai tindak pidana korupsi. Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa, ketentuan Pasal 3 ditujukan untuk mereka yang tergolong pegawai negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 Sedangkan ketentuan Pasal 2 UU Nomor

31 tahun 1999 diperuntukkan bagi mereka yang tergolong bukan pegawai negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3. Andi Hamzah menegaskan addresat Pasal 3 sebagai berikut:

dengan kata-kata menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.. yang menunjukkan bahwa subjek delik pada Pasal 3 harus memenuhi kualitas sebagai pejabat atau mempunyai kedudukan.

PERTANYAAN: APAKAH SEORANG PEGAWAI NEGERI ATAU MANTAN PEGAWAI NEGERI, dalam Tempus Delicti yang bersamaan,DAPAT DI DAKWA MELAKUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI BERDASARKAN DUA DAKWAAN SEKALIGUS, YAITU DAKWAAN PRIMER MELANGGAR PASAL 2 DAN DAKWAAN SUBSIDER MELANGGAR PASAL 3 ? Bertolak dari adresat ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 tersebut ditujukan terhadap seseorang yang memiliki perberbedaan status hukum ketika tindak pidana korupsi itu dilakukan; maka ketentuan Pasal 2 dirumuskan berbeda dari ketentuan Pasal 3. Perbedaan lain dari Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999, adalah sebagai berikut: Pasal 2 UU Nomor 31 tahun 1999 memuat 3 (tiga) unsur yaitu: 1. 2. 3. Melawan hukum Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

Ancaman pidana Rumusan ketentuan Pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 memuat 3(tiga) unsur yaitu: 1. 2. 3. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; Menyalahgunakan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

Persamaan kedua pasal tsb di atas adalah, terletak pada dicantumkannya unsur, dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Perbedaan rumusan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 dimulai dengan pertanyaan,mengapa rumusan ketentuan dalam Pasal 2 dicantumkan kalimat memperkaya sedangkan di dalam Pasal 3 dicantumkan kalimat, menguntungkan? . Terhadap pertanyaan tsb secara logika umum seorang Ancaman pidana Rumusan ketentuan Pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 memuat 3(tiga) unsur yaitu: 1. 2. 3. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; Menyalahgunakan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

Persamaan kedua pasal tsb di atas adalah, terletak pada dicantumkannya unsur, dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Perbedaan rumusan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 dimulai dengan pertanyaan,mengapa rumusan ketentuan dalam Pasal 2 dicantumkan kalimat memperkaya sedangkan di dalam Pasal 3 dicantumkan kalimat, menguntungkan? . Terhadap pertanyaan tsb secara logika umum seorang pejabat publik/PNS bertujuan untuk mengabdi kepada bangsa dan negara tanpa pamrih, dan tidak ada diniatkan untuk memperkaya diri sendiri. Tujuan memperkaya lazimnya merupakan usaha dari pihak perorangan swasta, dan selalu berharap akan lebih kaya lagi. Sedangkan bagi seorang pejabat publik/PNS yang terjadi dalam praktik adalah menggunakan kewenangan atau kesempatan dengan tujuan untuk menguntungkan atau undue avantage (Konvensi PBB Anti Korupsi 2003). Pertanyaan berikut sering diajukan terhadap kedua pasal tsb di atas, adalah mengapa ancaman pidana minimum di dalam Pasal 2 lebih berat (minimum 4 tahun) dari ancaman pidana dalam Pasal 3 (minimum 1 tahun)?. Penjelasannya adalah, bahwa dari sejarah perundang-undangan pembentukan UU Pemberantasan Korupsi tercatat keterangan Pemerintah RI diwakili Menteri Kehakiman ketika itu, Oemar Seno Ajdi, yang menegaskan antara lain, UU prp No 24 tahun 1960, tidak dapat menjangkau aktivitas-aktivitas yang melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela . UU tsb hanya dapat menjangkau mereka yang disebut sebagai pegawai negeri. Atas dasar keterangan dan alasan tersebut, Rancangan UU Nomor 3 tahun 1971 memperluas pengertian istilah pegawai negeri. Namun perluasan pengertian istilah tersbut tidak cukup untuk menjangkau perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain di luar pengawai negeri. Di dalam kondisi sosial ekonomi pegawai negeri pada umumnya yang sangat terbatas,maka mereka (swasta) yang telah melakukan perbuatan tercela dan melibatkan pegawai negeri sehingga dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, dipandang sebagai perbuatan yang sangat tercela. Sedangkan posisi pegawai negeri yang memiliki keterbatasan tersebut merupakan posisi yang terpojok dengan iming-iming untuk menyalahgunakan kewenangan. Atas dasar pertimbangan tersebut, pembentuk UU menganggap sangat layak terhadap aktivitas-akivitas perbuatan yang dilakukan oleh bukan PNS merupakan perbuatan yang sangat tercela dibandingkan dengan perbuatan yang dilakukan oleh PNS sehingga ancaman pidana minimum yang lebih rendah ada pada Pasal 3 dibandingkan dengan Pasal 2. Rumusan Pasal 2 mensyaratkan adanya pembuktian unsur melawan hukum sebagai sarana untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, sehingga negara dirugikan. Pengertian unsur, melawan hukum di dalam Pasal 2 harus dijelaskan dengan merujuk kepada beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung RI (MARI) sejak tahun 1966 (kasus Machroes Effendi ) dan tahun 1977(kasus Ir.Otjo) dengan penerapan unsur melawan hukum materiel dengan fungsi yang negatif, sebagai alasan penghapus tindak pidana di luar undang-undang; tahun 1983 (kasus Raden Sonson Natalegawa), dengan penerapan unsur melawan hukum dengan fungsi positif, yang menegaskan perbuatan terdakwa bertentangan dengan asas-asas kepatutan dan kesusilaan yang berkembang dalam masyarakat. Kutipan Putusan MARI dalam Kasus Raden Sonson Natalegawa(1983):

Menimbang, bahwa menurut kepatutan dalam masyarakat khususnya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi, apabila seorang pegawai negeri menerima fasilitas yang berlebihan serta keuntungan lainnya dari seorang lain dengan maksud agar pegawai negeri itu menggunakan kekuasaannya atau wewenangnya yang melekat pada jabatannya secara menyimpang , hal itu sudah merupakan perbuatan melawan hukum , karena menurut kepatutan perbuatan itu menusuk perasaan hati masyarakat banyak.

Kutipan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta dalam kasus Machroes Effendi(1966):

Bahwa mengingat akan apa yang diuraikan di atas itu( faktor kepentingan umum, serta faktor-faktor tidak ada keuntungan yang masuk dalam kantong saku Terdakwa dan akhirnya faktor tidak dideritanya kerugian oleh Negaramerupakan faktor-faktor yang mempunyai nilai lebih dari cukup guna menghapuskan sifat bertentangan dengan hukum pada perbuatan-perbuatan Terdakwa, yang terbukti secara formil masuk dalam rumusan tindak pidana yang dituduhkan kepada Terdakwa.

Putusan MARI dalam kasus Machroes Effendi (1966)telah menguatkan dan sekaligus memperbaiki putusan Pengadilan Tinggi dengan menyatakan Bahwa menurut Mahkamah Agung, bukanlah Pengadilan Tinggi dalam putusannya menganggap 3 faktor tersebut sebagai unsur-unsur, melainkan ke 3 faktor tadi dianggap menghapuskan sifat melawan hukum dari tindakan Terdakwa.Selanjutnya Putusan MARI menyatakan:

Bahwa Mahkamah Agung pada azasnya membenarkan pendapat dari Pengadilan Tinggi tersebut, bahwa suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifat nya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan sesuatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan azas-azas keadilan atau azas-azas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum .

Putusan MARI dalam kasus Ir Sonson Natalegawa(1983) dengan penerapan unsur melawan hukum dengan fungsi positip, secara tidak langsung telah dibatalkan penerapannya dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi RI (MK RI) tahun 2006 dalam perkara Uji Materiel, terhadap UU Nomor 31 tahun 1999 diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001, sepanjang mengenai penjelasan Pasal 2: MK RI menyatakan bahwa, penjelasan unsur melawan hukum materiel dalam Pasal 2 bertentangan dengan asas kepastian hukum dan asas legalitas sehingga harus dinyatakan tidak mengikat. Putusan MK RI telah mempersempit pengertian istilah melawan hukum materiel dan kembali kepada penerapan ajaran melawan hukum materiel dengan fungsi yang negatif. Fokus pembelaan dan juga dakwaan atas dasar ketentuan Pasal 2 terletak dari terbukti atau tidak terbukti adanya unsur melawan hukum. Jika terbukti serta merta unsur-unsur lain, memperkaya diri

sendiri atau orang lain atau korporasi dan juga unsur kerugian negara, menjadi terbukti. Begitupula jika terbukti sebaliknya. Rumusan ketentuan Pasal 3 dengan unsur-unsur delik (tindak pidana)tersebut, telah mewajibkan penuntut umum untuk membuktikan adanya unsur sengaja dengan maksud atau opzet als oogmerk, tidak termasuk kesengajaan sebagai kepastian terjadi dan kesengajaan sebagai kemungkinan sekali terjadi. Fokus dari penuntut umum/pembela, adalah pada pembuktian ada/tidak adanya unsur sengaja sebagai maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada pada-nya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

1. Relevansi antara pengembalian uang hasil korupsi terhadap sanksi pidana yang dijatuhkan (terhadap pelaku) dijelaskan dalam pasal 4 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( UU 31/1999 ) serta penjelasannya. Dalam pasal 4 UU 31/1999 dinyatakan antara lain bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud pasal 2 dan pasal 3 UU tersebut.

Kemudian, di dalam penjelasan pasal 4 UU 31/1999 dijelaskan sebagai berikut:

Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan pasal 3 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut.

Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan.

Kemudian, merujuk pada pasal 2 UU 31/1999 serta penjelasannya, antara lain diketahui bahwa unsur dapat merugikan negara dalam tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Dengan demikian, suatu perbuatan yang berpotensi merugikan keuangan negara sudah dapat dikategorikan sebagai korupsi.

Terkait hal yang sama, pakar Hukum Acara Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakkir juga berpendapat bahwa pengembalian uang atau kerugian negara oleh terdakwa dapat menjadi alasan bagi hakim untuk mengurangi pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa yang bersangkutan. Pengembalian tersebut, menurut Mudzakkir, berarti ada itikad baik untuk memperbaiki kesalahan. Mudzakkir menegaskan bahwa pengembalian uang tidak mengurangi sifat melawan hukum. Demikian pendapat yang dimuat dalam artikel hukumonline berjudul Pengurangan Hukuman Syaukani Sesuai Doktrin .

Dalam artikel tersebut juga ditulis:

Dalam praktek, lanjut Mudzakkir, pengembalian hasil tindak pidana sering dikaitkan dengan waktunya. Bila pengembalian dilakukan sebelum penyidikan dimulai, seringkali diartikan menghapus tindak pidana yang dilakukan seseorang. Namun, bila dilakukan setelah penyidikan dimulai, pengembalian itu tidak menghapus tindak pidana. Kalau menurut saya, dikembalikan sebelum atau sesudah penyidikan itu tetap melawan hukum. Misalnya saya mencuri, lalu mengembalikan barang curian sebelum orang lain tahu. Itu kan tetap tindak pidana, jelasnya.

Pendapat yang sama juga disampaikan oleh peneliti Lembaga Kajian untuk Advokasi dan Independensi Peradilan (LeIP) Arsil. Arsil kepada Klinik Hukum (12/01) mengatakan, pengembalian uang hasil korupsi secara sukarela oleh terdakwa biasanya menjadi alasan bagi hakim untuk mengurangi hukuman.

Jadi, memang terdapat relevansi antara pengembalian hasil korupsi dengan sanksi pidana yang dijatuhkan kepada si pelaku. Di satu sisi, pengembalian uang hasil korupsi dapat menjadi alasan bagi hakim untuk mengurangi pidana bagi si pelaku, tapi tidak menghapuskan pidananya. Demikian menurut peraturan perundang-undangan dan praktek atau kebiasaan yang berlaku.

2.

Lihat jawaban no. 1.

Demikian jawaban kami, semoga dapat dipahami.

Dasar hukum:

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Amrie Hakim

PEMBAGIAN KEWENANGAN DI ANTARA PARA PEJABAT DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA (RUBRIK) BANGUNAN PEMBAGIAN KEWENANGAN Dalam bagian terdahulu telah disampaikan bahwa, kendati kajian Ilmu Keuangan Negara memiliki kompleksitas yang tinggi, karena merupakan la science de carrefour sebagaimana dikemukakan dalam berbagai kepustakaan Perancis, bila diamati secara mendasar kajian utama tentang Ilmu Keuangan Negara dapat dibedakan dalam dua sisi. Pertama, sisi politis yang mengkaji hubungan hukum antara dua lembaga politik dalam penetapan Undang-undang APBN, yaitu antara Lembaga Legislatif dan lembaga Eksekutif; dan kedua, sisi administratif yang mengkaji hubungan hukum antara berbagai instansi di dalam lembaga Eksekutif dalam pelaksanaan Undang-undang APBN.

Bila pembagian kewenangan antara dua lembaga tinggi negara tersebut dengan mudah dapat dilihat dalam undang-undang dasar, karena sisi politis Ilmu Keuangan Negara merupakan sisi yang menyentuh ranah hukum dasar (Hukum Tata Negara), pertanyaan yang timbul adalah dari mana asal berbagai kewenangan yang timbul dan dimiliki oleh para pejabat pengelola anggaran maupun pejabat pengelola perbendaharaan dalam melaksanakan undang-undang APBN tersebut.

Dari uraian di atas, dapat ditarik suatu simpulan bahwa lingkup pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara pada prinsipnya adalah berada dalam ranah kajian bidang hukum administratif. Tepatnya, dalam ranah Hukum Administrasi Negara.

Hal ini dengan jelas dapat dilihat dalam konteks pemikiran yang dituang -kan dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar . Sedangkan,

kekuasaan pemerintahan dimaksud adalah kekuasaan ekseku- tif yang antara lain berupa kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat umum, yaitu berupa kekuasaan menyelenggarakan administrasi negara.

Atas dasar alur pikir tersebut kemudian dapat dirumuskan bahwa Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Pemikiran inilah yang kemudian dituangkan dalam rumusan pasal 6 ayat (1) Undangundang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, yang kemudian menyatakan bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan negara berada di tangan Presiden .

Selanjutnya, dalam operasionalisasi kewenangan dimaksud, Presiden men-delegasikan sebagian kewenangan pengelolaan keuangan negara tersebut kepada para Menteri sebagai pembantunya sesuai dengan peran masing-masing dalam pengelolaan keuangan negara. Peran tersebut adalah sebagai Chief Financial Officer (CFO), di satu sisi, dan sebagai Chief Operation Officer (COO), di sisi lainnya.

Peran sebagai CFO secara eksklusif hanya didelegasikan kepada Menteri Keuangan. Hal ini sesuai dengan tugasnya sebagai pembantu Presiden di bidang keuangan, yaitu sebagai pengelola keuangan negara atau lebih tepatnya sebagai Bendahara Umum Negara dan sebagai wakil pemerintah sebagai pemegang saham berbagai perusahaan milik negara. Sementara itu, peran sebagai COO didelegasikan kepada semua menteri sebagai kepala kementrian, termasuk kepada menteri keuangan. Sebagai COO, pada hakekatnya, setiap menteri adalah penanggungjawab terhadap keberhasilan program yang telah disusun dan ditetapkan dalam kementrian masing-masing.

Dengan mengacu pada pemikiran di atas, Undang-undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 6 ayat (2.a dan b) menyatakan bahwa kewenangan tersebut pada ayat (1) dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku BUN, di satu pihak, dan kepada Menteri Teknis selaku Pengguna Anggaran (PA), di lain pihak.

PRINSIP YANG DIANUT DALAM PEMBAGIAN KEWENANGAN

Bila diamati, pembagian kewenangan sebagaimana tersebut di atas ternyata didasarkan pada kaidah umum yang dapat diketemukan dalam teori kebijakan publik. Adapun tujuan pembagian kewenangan dimaksud terutama adalah menghindarkan terpusatnya kewenangan di satu tangan agar dapat menjamin terciptanya mekanisme check and balance (saling uji) di antara para pihak, yaitu para pejabat pengelola keuangan negara.

Lebih lanjut, bila diperhatikan, pembagian kewenangan ini merupakan sistem yang mampu mendorong agar berbagai keputusan yang diambil oleh para pejabat pengelola keuangan, yaitu para Menteri selaku Pengguna Anggaran, selalu didasarkan pada kaidah-kaidah pengelolaan keuangan negara yang telah ditetapkan sebagai acuan, karena keputusan yang telah diambil akan diuji oleh pihak lain, yaitu Menteri Keuangan , selaku Bendahara Umum Negara.

Dari gagasan pemisahan kewenangan sebagaimana diuraikan di atas, dapat kiranya diperhatikan bahwa agar tetap terjamin terselenggaranya mekanisme saling uji antara para pihak, pembagian kewenangan dalam pengelolaan keuangan negara harus didasarkan pada prinsip kesetaraan di antara para pengelolanya. Artinya, baik pemegang peran Bendahara Umum Negara (BUN) maupun peran Pengguna Anggaran (PA) harus memiliki kedudukan yang setara, yang dalam hal ini adalah para menteri.

IMPLEMENTASI

Konstruksi bangunan pembagian kewenangan sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara pasal 6 ayat (1) dan ayat (2a dan b) sebagaimana dikemukakan di atas selanjutnya diacu dalam Undang-undang No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.

Prinsip pembagian kewenangan dalam pengelolaan keuangan negara dengan titik puncak pemegang kewenangan adalah Presiden dengan melibatkan dua kelompok menteri, yaitu menteri keuangan, di satu pihak, dan menteri teknis, di pihak lain, selanjutnya diterapkan dalam lingkup kementrian lembaga dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Dengan tetap mengacu pada Undang-undang No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara pasal 6 ayat (1) dan ayat (2a dan b), dalam lingkup yang lebih kecil, para menteri kemudian mendelegasikan sebagian kewenangan pengelolaan keuangan negara di masing-masing kementrian/ lembaga kepada para pembantunya sebagai pimpinan satuan kerja (Satker).

Perlu diingat bahwa dalam pelaksanaan APBN, dalam kementrian masing-masing, para menteri memiliki kewenangan layaknya Presiden dalam pengelolaan keuangan negara. Dengan demikian, dalam kementriannya seorang menteri selaku Pengguna Anggaran, memiliki peran BUN dan juga peran Menteri Teknis. Dua peran inilah yang selanjutnya dikuasakan kepada setiap Kepala Satker sebagai pembantunya. Oleh karena itu, setiap Kepala Satker, sebagai penerima kuasa dari menteri

selaku Penggunan Anggaran, --yang untuk selanjutnya disebut sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) --harus mendelegasikan kewenangan di bidang pengelolaan keuangan negara yang diperolehnya dari menteri kepada masing-masing pejabat di bawahnya sesuai kaidah yang dianut dalam undang-undang bidang keuangan negara.

Oleh sebab itu, sejalan dengan pola di atas, di dalam setiap satker akan terdapat pemegang peran layaknya BUN yang diperankan oleh Pejabat Penanda tangan SPM (PPSPM) yang akan melakukan tugas-tugas pengujian (verifikasi), dan juga peran Menteri Teknis, --yang melakukan pengambilan keputusan--, yang diperankan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

Dengan pola pembagian kewenangan sebagaimana tersebut di atas, KPA sebagai Kepala Satker, pada hakekatnya hanya memiliki tanggungjawab dan kewenangan yang bersifat manajerial, yaitu agar berbagai program ataupun kegiatan yang berada dalam tanggungjawabnya dan harus dilaksanakan oleh Satkernya dapat dilaksanakan sesuai rencana yang telah ditetapkan. Hal ini terkait dengan peran strukturalnya (formalnya) sebagai kepala satuan kerja yang secara hierarchies membawahi pejabat struktural lainnya yang tingkatannya lebih rendah.

Sementara itu, PPK adalah pejabat yang bertanggungjawab terhadap terjadinya pengeluaran negara, karena berbagai keputusan yang diambilnya akan dapat mengakibatkan terjadinya pengeluaran negara. Dalam konsep pengelolaan keuangan negara versi lama (sebelum diberlakukannya undangundang bidang keuangan negara), kewenangan PPK dapat disetarakan dengan kewenangan otorisasi, kendati lingkupnya lebih sempit yaitu pada umumnya terkait dengan tindakan dalam rangka pengadaan barang dan jasa.

Untuk menjaga obyektifitas yang memadai dalam pengambilan keputusan, PPK dibantu oleh pejabat pengadaan, panitia pengadaan barang dan jasa yang dibentuk sesuai kebutuhan, dan juga oleh pejabat penerima barang/ jasa. Untuk menjaga terselenggaranya tata kelola yang baik (good governance) dalam pengelolaan keuangan negara, keputusan PPK tersebut kemudian diuji secara substantif oleh PPSPM.

Pengujian yang dilakukan oleh PPSPM pada prinsipnya lebih bersifat administratif yang meliputi pengujian wetmatigheid, rechtmatigheid, dan doelmatigheid. Memang pengujian dimaksud akan meliputi hal-hal terkait dengan substansi yang menyebabkan terjadinya pengeluaran negara, akan tetapi pejabat PPSPM tidak pernah memiliki kewajiban untuk melakukan pengecekan apakah kontrak yang asli tersebut tidak dipalsukan, atau apakah berita acara penyerahan barang yang dijadikan dasar penagihan kepada negara tersebut memang didasarkan pada bukti penyerahan barang sesuai dengan perikatan yang telah dilakukan oleh PPSPM. Ujung dari seluruh pengujian yang dilakukan oleh PPSPM tersebut adalah terbitnya Surat Perintah Membayar (SPM). Hal ini dilakukan

bilamana PPSPM meyakini bahwa pembayaran tersebut memang dapat dilakukan. Keyakinan ini perlu dimiliki oleh PPSPM, karena benteng terakhir terjadinya pengeluaran negara di tingkat kementrian/ lembaga adalah PPSPM. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan dalam kepustakaan lama tentang pengelolaan keuangan negara, peran ini, yang dulu dikenal sebagai pemegang kewenangan ordonnansering, merupakan peran yang sangat strategis.

Anda mungkin juga menyukai