Anda di halaman 1dari 11

INOVASI PEMBELAJARAN SASTRA PANTUN DI SD Latar Belakang Perubahan kurikulum diharapkan membawa perubahan pada pola pembelajaran disekolah-sekolah.

Tujuan tersebut tampaknya mengalami sedikit hambatan dalam implementasinya. Hal itu disebabkan oleh, salah satu faktor, guru belum memahami dasar perubahan kurikulum tersebut. Perubahan kurikulum tahun 1994 menjadi 2004 yang terkenal dengan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) yang diharapkan mengembangkan kompetensi peserta didik (kognitif, afektif dan psikomotor) belum berjalan dengan baik. Ini terbukti dari kebingungan guru dalam menafsirkan ketiga ranah tersebut dan mengimplementasikan dalam proses pembelajaran. Akibat kebingungan tersebut KBK sering diplesetkan menjadi Kurikulum Berbasis Kebingungan. Belum tuntas permasalahan tahun 2006 telah diberlakukan K-1. (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) Harus diakui secara jujur daerah Indonesia yang terbentang luas dari Sabang sampai Merauke dengan beribu pulaunya, tidaklah mempunyai kualitas pendidikan yang sama. Dengan perbedaan-perbedaan tersebut, sangatlah tepat diberlakukan kurikulum yang lebih memberikan keleluasaan pada masing-masing sekolah di daerah untuk mengembangkan potensi yang ada pada masing-masing sekolah pada tingkat satuan pendidikan. Dengan kurikulum tersebut diharapkan segala potensi yang ada pada tingkat satuan pendidikan bisa digali dengan baik, dan tentu hasil penggalian tersebut akan berbeda dari sekolah yang satu dengan sekolah yang lain. Proses pembelajaran lebih dipercayakan pelaksanaannya pada masing-masing sekolah Kepercayaan tersebut memberikan peluang bagi para guru untuk melakukan inovasi dalam proses pembelajaran. Begitu pula dalam pembelajaran sastra anak di SD kelas rendah, guru di kelas rendah dapat melakukan inovasi pembelajaran sehingga pembelajaran lebih menarik bagi siswa. Tidak bisa dipungkiri bahwa minat siswa belajar sastra cukup rendah. Siswa menganggap tidak ada signifikansi yang didapat dari belajar sastra. Dalam proses pembelajaran. siswa menunjukkan sikap acuh tak acuh terhadap proses pembelajaran sastra. Itu mungkin diakibatkan karena cara guru menyampaikan materi, materi yang diajarkan kurang menarik, suasanan pembelajaran kurang nyaman, dan berbagai persoalan lainnya yang berhubungan dengan inovasi

pembelajaran sastra anak.

Sikap negatif seperti itu harus segera diatasi dengan

mengadakan inovasi pembelajaran di sekolah-sekolah. Salah satu inovasi pembelajaran tersebut dengan mengembangkan pendekatan kontekstual atau CTL (Contextual Teaching and Learning). Rumusan Masalah Pendekatan kontekstual mengarahkan proses pembelajaran terpusat pada siswa (student centered), guru berfungsi sebagai fasilitator yang mengarahkan siswa menemukan sesuatu yang bermakna dalam proses pembelajaran. Berkaitan dengan kebermaknaan dalam proses pembelajaran dalam makalah ini permasalahan akan difokuskan pada: Bagaimanakah aplikasi pendakatan CTL dalam proses pembelajaran sastra anak (pantun)? Pembahasan Konsep CTL Contextual teaching and learning. Pendekatan ini, memandang bahwa belajaran merupakan suatu proses yang membantu peserta didik untuk menemukan makna pada setiap materi pembelajaran yang dipelajari di sekolah dengan menghubungkan materi pelajaran tersebut dengan kehidupan dirinya sebagai personal, konteks sosial dan budaya. (Jhonson, 2007:19) . Inovasi Inovatif (innovative) yang berarti new ideas or techniques, merupakan kata sifat dari kata kerja innovate (innovation) yang berarti pembaharuan, juga berasal dari kata kerja innovate yang berarti make change atau introduce new thing (ideas or techniques) in oerder to Make regress. ( Komariah, 2004:21) Pembelajaran, merupakan terjemahan dari learning yang artinya belajar, atau pembelajaran. Jadi, pembelajaran inovatif adalah pembelajaran yang dikemas oleh pebelajar atas dorongan gagasan barunya yang merupakan produk dari learning how to learn untuk melakukan langkah-langkah belajar, sehingga memperoleh kemajuan hasil belajar. Pembelajaran inovatif juga mengandung arti pembelajaran yang

dikemas oleh guru atau instruktur lainnya yang merupakan wujud gagasan yang dipandang baru agar mampu memfasilitasi pebelajar untuk memperoleh kemajuan dalam proses dan hasil belajar (Santyasa, 2009: 6) Aplikasi Pendekatan CTL dalam Proses Pembelajaran Satra Anak? Pembelajaran kontekstual adalah konsepsi pembelajaran yang membantu guru menghubungkan mata pelajaran dengan situasi nyata dan pembelajaran yang memotivasi siswa agar menghubungkan pengetahuan dan terapannya dengan kehidupan sehari-hari sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Johnson, 2007). Dengan konsep tersebut, kebermaknaan dalam proses pembelajaran selalu dikedepankan. CTL adalah sebuah pendekatan pembelajaran yang didasarkan pada filosofi bahwa siswa didik mampu menyerap pelajaran apabila mereka menangkap makna dalam materi tersebut sehingga proses pembelajaran lebih berarti bagi siswa. Untuk mencapai tujuan tersebut pembelajaran kontekstual seharusnya dibangun berdasarkan lima strategi pembelajaran yang disebut REACT strategy yang meliputi : Relating (mengaitkan), Pembelajaran dirancang dalam konteks pengalaman hidup. Dengan strategi ini, perhatian difokuskan pada pengalaman sehari-harinya yang mereka lihat dilingkungannya, selanjutnya menghubungkan pengalaman tersebut dengan informasi baru yang sedang mereka pelajari di sekolah Experiencing (mengalami), dalam pembelajaran kontekstual bagaimana peserta didik diberi pengalaman dalam melakukan ekplorasi, pengalaman menemukan sendiri. Menerapkan. Siswa menerapkan suatu konsep ketika ia melakukan kegiatan pemecahan masalah. Guru dapat memotivasi siswa dengan memberikam latihan yang realistik dan relevan. Kerjasama. Siswa yang bekerja secara individu sering tidak membantu kemajuan yang signifikan. Sebaliknya, siswa yang bekerja secara kelompok sering dapat mengatasi masalah yang komplek dengan sedikit bantuan. Pengalaman kerjasama tidak hanya membantu siswa mempelajari bahan ajar, tetapi konsisten dengan dunia nyata. Mentransfer. Peserta didik melakukan transfer, mengkonstruksi pengetahuan yang ada pada dirinya dan memecahkan permasalahan berdasarkan pengalam yang

pernah dialami siswa. Depdiknas (46) mengembangkan tujuh strategi dalam CTL yaitu inkuiri (inquiry), pertanyaan (questioning), konstruktivistik (constructivism), pemodelan (modeling), masyarakat belajar (learning community), penilaian autentik (authentic assessment), dan refleksi (reflection). Ketujuh startegi tersebut diharapkan diaplikasikan dalam proses pembelajaran. Penemuan, proses pembelajaran dengan menerapkan strategi ini siswa diarahkan untuk menerima pengetahuan dan keterampilan hanya dari mengingat fakta saja tetapi menerima pengetahuan dan keterampilan tersebut dari pengalaman menemukan sendiri. Dalam proses pembelajaran sastra misalnya pokok bahasan (pantun), siswa diberikan kebebasan untuk membuat pantun berdasarkan fakta yang mereka alami dalam kehidupan sosialnya. Selama ini guru terlalu memasung kreativitas siswa dan cenderung mengajarkan pantun berdasarkan apa yang telah diketahui masyarakat. Seolah-olah pantun tersebut hanya dibuat oleh orang tertentu, siswa hanya tinggal menghafalkan. Akibat pembelajaran seperti itu, kreativitas siswa tidak berkembang. Melalui pembelajaran pantun siswa dilatih terampil berbicara, menyimak dan mengasah kemampuan kognitifnya karena membuat pantun memerlukan kelogisan antara sampiran dan isi. Guru dalam pembelajaran ini bisa membagi kelas menjadi beberapa kelompok. Tiap-tiap kelompok membuat pantun kemudian dibacakan dan kelompok yang lain menjawab pantun tersebut. Jika strategi ini diterapkan, siswa akan lebih bergairah karena terdorong untuk membuat pantun yang baru. Pembuatan pantun harus tetap memperhatikan kelogisan antara sampiran dan isi. Contoh pantun : 1. pantun 2. b 3. a 4. b Begitu pula dalam pembelajaran metafora dengan menggunakan pantun, pada saat ini gadis cantik, bagi kalangan siswa laki-laki yang sudah remaja, tidak lagi digambarkan dengan pantun. Untuk menggambarkan gadis yang suka marah dan galak kalangan siswa tidak lagi menggambarkan seperti puisi tetapi digambarkan dengan puisi Begitu pula apabila ada gadis

yang suka bicara dan suaranya melengking tidak lagi digambarkan dengan tetapi digambarkan seperti .. Pertanyaan Pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki seseorang bermula dari sebuah pertanyaan. Siswa akan tertarik bertanya apabila permasalah yang dihadapi merupakan permasalahan yang ada di masyarakat yang mereka dengar, lihat, dan alami. Dalam pembelajaran membaca misalnya, guru dapat memilih pantun dari Koran/Majalah dan tidak selalu berpatokan pada pantun yang ada di LKS yang terkadang-kadang sangat jauh dari kehidupan sosial siswa. Topik pantun yang dipilih adalah topik yang sedang hangat di masyarakat misalnya tentang tawuran pelajar, kebut-kebutan di jalan. Dengan topik semacam itu, siswa terdorong untuk membaca karena topik tersebut tidak asing bagi diri siswa. Dengan bacaan tersebut guru dapat mengarahkan siswa untuk mencari penyebab permasalahan tersebut dan mencari jalan keluar permasalahan dengan mengutarakan pertanyaan "Mengapa tawuran, pelajar bisa terjadi?" "Mengapa kebut-kebutan di jalan tetap dilakukan walaupun polisi telah menindak pelakunya? " "Bagaimana cara mengatasi permasalahan tersebut?" Pertanyaan yang diberikan oleh guru hendakknya pertanyaan yang merangsang siswa untuk melatih daya kognisi nalarnya. Guru dapat memfokuskan pertanyaannya dengan kata "mengapa dan bagaimana". Dengan pertanyaan tersebut siswa akan terstimuli untuk mencari jawaban apakah dengan berdiskusi atau dengan bertanya dengan orang yang kompeten contoh dalam pembelajaran pantun, guru terkadang baru sampai pada tahap pemodelan saja. Guru memberikan contoh pantun setelah itu siswa diberi kesempatan untuk membuat pantun tersebut. Dari kegiatan tersebut, ada hal yang lebih bermanfaat yaitu siswa diberi kesempatan untuk memaknai setiap pantun tersebut dengan memberikan pertanyaan kepada siswa. Perhatikan pantun berikut ini.

.... Guru dapat mengupas tuntas makna /pesan yang ada pada pantun tersebut dengan bertanya "mengapa 1. .., 2. .., 3. .., 4. ?. Dengan pertanyaan tersebut siswa berusaha untuk mencari jawaban dan pada akhirnya siswa mengetahui tradisi masyarakat pada zaman dahulu dalam memberikan nasehat kepada sesamanya. Kemungkinan tradisi tersebut tidak dipertahankan pada saat ini. Konstruktivistik Teori konstruktivisme merupakan teori pembelajaran yang meyakini bahwa pembelajar dapat belajar dengan secara aktif membangun sendiri pengetahuan, sikap, dan keterampilannya melalui aktivitas-aktivitas praktik. Praktik pembelajaran konstruktivistik membantu pembelajar untuk menginternalkan, membentuk kembali, atau menstransformasi informasi baru. Tranformasi terjadi melalui kreasi pemahaman baru yang merupakan hasil dari munculnya struktur kognitif baru. Pemahaman yang mendalam terjadi ketika hadirnya informasi baru yang mendorong munculnya struktur kognitif baru yang memungkinkan pembelajar memiliki kemampuan metakognisi (Santyasa,) Konstruktivisme adalah bangunan teori yang melandasi pendekatan belajar aktif (active learning approach). Menurut konstruktivisme, belajar bukanlah transmisi pengetahuan dari guru kepada siswa. Belajar adalah mengalami. Belajar yang bermakna adalah mengalami apa yang dipelajari. Siswalah yang membangun makna melalui mengalami. Melalui aktivitas mengalami, anak, siswa melakukan proses asimilasi dengan kerangka (skemata) pengetahuan yang telah dimiliki dalam dunia fisik, sosial, dan budayanya dan melakukan proses akomodasi terhadap skemata tatkala ia terpapar atau mengalami sesuatu yang baru atau lain. Semuanya ini terjadi dalam proses mencari equilibrium (keseimbangan) dan untuk mencapai equilibrium, siapa pun yang belajar melakukan proses asimilasi dan akomodasi secara terusmenerus. (http://sbelen.wordpress.com) Dalam belajar menulis pantun, siswa guru tidak lagi berceramah tentang

cara menulis pantun tetapi siswa langsung diberikan latihan menulis. Dan pengalaman tersebut siswa akan tahu tentang apa dan bagaimana menulis pantun (Depdiknas, 104:47). Dalam pembelajaran menulis pantun siswa dilatih mengekpresikan ide-idenya dengan menggunakan bahasa Indonesia. Pada awalnya siswa tentu mengalami kesulitan dalam mengungkap ide-idennya dengan menggunakan bahasa Indonesia. Kesulitan tersebut akan teratasi dengan memberikan siswa latihan dalam menulis pntun. Siswa diarahkan untuk banyak berlatih sehingga siswa mempunyai pengalaman dalam menulis pantun. Dalam menulis pantun bukan kuantitas yang diutamakan. Siswa dilatih menulis pantun dengan kesesuaian antara sampiran dengan isi pantun demikian seterusnya. Pengalaman yang ada pada diri siswa dibangun sedikit demi sedikit. Menulis pantun merupakan aktivitas yang sulit bagi siswa, karena menulis pantun memerlukan banyak latihan sehingga ide-ide yang akan dituangkan dalam bentuk tulisan pantun dapat disusun secara sistematis. Latihan menulis pantun dapat diawali dengan kegiatan observasi guru bahasa Indonesia di SD misalnya dapat mengajak siswa melakukan observasi lapangan atau berkeliling di sekitar halaman sekolah. Siswa ditugasi untuk mengamati tumbuh-tumbuhan yang ada disekitar sekolah atau mengamati aktivitas yang ada dalam kolam. Setelah observasi selesai dilakukan siswa diarahkan untuk menulis pantun tentang hasil observasi yang dilakukan. Kegiatan ini akan lebih bermakna karena siswa langsung menulis pantun tentang apa yang mereka alami. Pemodelan Pemodelan adalah pemberian model dalam pembelajaran sehingga siswa mendapat gambaran yang jelas mengenai apa yang didiskusikan dalam pembelajaran Pemodelan akan membantu siswa dalam mengkonkretkan konsep yang abstrak. Dalam pembelajaran membaca pantun berbahasa Indonesia, guru dapat menunjang seorang siswa yang mempunyai keterampilan membaca pantun sebagai model dalam membaca. Begitu pula dalam pembelajaran menulis, siswa diberikan model-model tulisan pantun. Dan model tersebut siswa akan mengembangkan konsepnya sehingga siswa diharapkan dapat keluar dari model tersebut. Permodelan bagi siswa bukanlah peniruan. Pada dasarnya

pemodelan itu penting untuk memberikan gambaran bagi siswa mengenai apa yang sedang dipelajari. Ada kesalahan pemahaman terhadap konsep pemodelan tersebut. Guru selama ini memberikan model dapat meniru seperti apa yang ada dalam model. Dalam pembelajaran pantun, seandainya guru tidak bisa atau kurang mahir berpantun dapat memberikan model dengan memutarkan kaset tentang berpantun. Kaset tersebut diputar dan siswa menyimak. Setelah itu siswa mempraktekkan. Dalam mempraktekkan guru memberikan sedikit ruang untuk berkreasi bagi siswa sehingga dalam berpantun bait-bait pantun tersebut tidak meniru model yang telah disimak. Masyarakat Belajar. Pada prinsipnya pembelajaran merupakan proses sosialisasi karena di dalam siswa dapat berinteraksi dengan guru dan siswa yang lain. Bekerja sama dengan orang lain dapat memberikan pengalaman bagi siswa. Siswa dapat mengembangkan pengalamannya setelah berdiskusi dengan temannya. Dalam pembelajaran di kelas guru diharapkan dapat mendisain pembelajaran mengarah pada belajar berkelompok. Kelas yang heterogen dapat diatasi dengan mengembangkan dibentuk pembelajaran berkelompok. siswa Belajar yang berkelompok dapat dengan mempertimbangkan

mempunyai kemampuan baik diharapkan mampu membantu siswa yang mempunyai kemampuan kurang. Siswa yang mempunyai kemampuan baik akan mengarahkan temannya dalam satu kelompok aktif berdiskusi sehingga setiap kelompok aktif berbicara. Guru hanya berfungsi sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran. Dalam pembelajaran sastra, materi pembelajaran pantun dirasakan sulit oleh oleh siswa. Selama ini teknik yang dikembangkan guru dalam pembelajaran pantun dengan menugaskan siswa membaca pantun secara bergiliran. Cara tersebut tidak efektif karena siswa tidak diberikan kesempatan untuk berdiskusi dengan temannya. Dengan membentuk kelompok, guru dapat berkonsentrasi pada kegiatan kelompok dan suasana kooperatif dapat dibangun. Penilaian Autentik Perkembangan belajar siswa tentunya perlu diketahui. Dalam

kontekstual penilaian diketahui melalui data yang diperoleh siswa dari aktivitas siswa keseharian (penilaian proses) tidak mengandalkan penilaian akhir (penilaian hasil). Penilaian autentik pada prinsipnya merupakan penilaian yang bersifat reliabel dan akuntabilitas. Dengan prinsip ini, siswa tidak merasa dirugikan karena selama ini kontroversi penilaian sering terjadi. Siswa yang dalam keseharian tidak banyak aktivitas, tidak aktif ternyata hasilnya lebih bagus dibandingkan dengan siswa yang dalam keseharian begitu aktif, dan sering menyumbangkan pendapat dalam berdiskusi. Penilaian autentik dapat diperoleh dari projek, PR, diskusi, presentasi, karya tulis, menulis, membaca, dramatisasi. Penilaian autentik benar-benar menggambarkan kemampuan siswa karena penilaian tersebut dilakukan dari awal sampai akhir proses belajar pembelajaran. Dalam proses penilian, guru sering mengabaikan autentik. Dalam pembelajaran sastra secara kasat mata dapat dilihat bahwa indikator siswa yang mempunyai kemampuan bersastra adalah siswa yang menguasai keempat keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca dan menulis). Dalam penilaian, guru sering mengabaikan indikator ini. Guru dalam melakukan penilaian lebih menekankan pada penilaian hasil yang soal-soalnya lebih banyak pilihan ganda dan lebih terfokus pada hafalan dan penguasaan kosa kata. Guru terkadang hanya melakukan penilaian terhadap hasil kerja siswa dalam LKS (Lembar Kerja Siswa). Siswa dituntut mampu menjawab setiap soal yang ada dalam LKS. Pada tingkat Sekolah Dasar, siswa diajarkan untuk menghafal kosa kata yang lepas konteks. Misalnya bentuk soal yang ada dalam LKS adalah : .. disebut apa?) ? disebut apa?)? Model evaluasi seperti itu tentu tidak bermakna bagi siswa, karena model evaluasi seperti itu hanya mengukur tingkat kognitif siswa pada tataran rendah yaitu mengingat. Yang terpenting adalah apakah siswa dapat menggunakan kata tersebut sesuai dengan konteks pemakaiannya. Simpulan Berbagai pendekatan telah ditawarkan dalam pembelajaran bahasa (termasuk sastra), seperti pendekatan komunikatif, integratif, pragmatik termasuk pendekatan kontekstual. Perubahan tersebut diharapkan akan berdampak pada -

kemajuan pada peserta didik. Dalam pembelajaran sastra, perubahan tersebut dapat dilihat dan apakah siswa sudah mempunyai keterampilan dalam bersastra? Apabila jawaban atas pertanyaan tersebut belum memuaskan, itu berarti ada yang belum tersentuh dalam proses pembelajaran di sekolah. Hal tersebut perlu sehingga perubahan paradigma pendidikan akan berdampak pada kualitas pembelajaran bahasa (sastra) di sekolah.

Daftar Pustaka Depdiknas, 2004. Materi Pelatihan Terintegrasi Bahasa Indonesia. Johnson, B. Elaine. 2007. Contextual Teaching and Learning. (Ibnu Setiawan, Penterj).Bandung: Mizan Media Utama. Komariah, Aan, Cepi Triana. Visionary Leadership: Menuju Sekolah Ejektif. 2006. Jakarta: Bumi Aksara Santyasa, Iwayan. Sukadi. 2009. "Model-Model Pembelajaran Inovatif." (makalah dalam rangka pembekalan asesor sertifikasi guru rayon 21 tahun 2009). Undiksha. Singaraja. Yasa, Doantara. 2008. Pendekatan Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning. Available from http://sbelen.wordpress.com (cited 2010, Februari 5).

Anda mungkin juga menyukai