Anda di halaman 1dari 11

TUGAS MATA KULIAH PENGKAJIAN PUISI INDONESIA ANALISIS HAL-HAL MENARIK DALAM PUISI SENJA DI PELABUHAN KECIL CHAIRIL

ANWAR

INGEU WIDYATARI HERIANA 180110110055 SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS PADJADJARAN 2012

Senja di Pelabuhan Kecil


buat: Sri Ajati Ini kali tidak ada yang mencari cinta di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang menyinggung muram, desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak dan kini tanah dan air tidur hilang ombak. Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan menyisir semenanjung, masih pengap harap sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap (Chairil Anwar, 1946)

Tugas mata kuliah Pengkajian Puisi Indonesia kali ini menganalisis salah satu puisi karangan pujangga angkatan 45, Chairil Anwar. Setelah saya membaca puisi karya Chairil Anwar yang berjudul Senja di Pelabuhan Kecil, saya menemukan beberapa hal menarik yang bisa dijabarkan dan didiskusikan. Berikut penjabarannya. 1. Penyair dan Kenyataan Sejarah Siapa tak mengenal pujangga pelopor angkatan 45 yang satu ini?

Chairil Anwar lahir di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922 sebagai anak semata wayang dari seorang Ibu bernama Saleha, berasal dari Situjuh, Limapuluh Kota, Sumatra Barat dan seorang ayah bernama Toeloes, mantan bupati Kabupaten Indragiri Riau, asal Taeh Baruah, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Chairil Anwar masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Chairil masuk sekolah

Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu masa penjajahan Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama Hindia-Belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi tak satupun puisi awalnya yang ditemukan. Sejak kecil Chairil Anwar sangat dekat dengan neneknya, sampai-sampai saat neneknya meninggal, ia menulis puisi mengenai kematian neneknya berjudul Nisan. Berikut penggalan puisinya.

...
Bukan kematian benar yang menusuk kalbu Keridlaanmu menerima segala tiba Tak kutahu setinggi itu atas debu Dan duka maha tuan bertahta

Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Ibu dan ayahnya bercerai, ayahnya menikah lagi. Selepas perceraian itu, saat habis SMA, pada usia sembilan belas tahun dia ikut sang Ibu ke Jakarta, di sinilah Chairil Anwar berkenalan dengan dunia sastra. Semasa hidupnya, Chairil Anwar membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis tersebut sangat memengaruhi tulisan Chairil Anwar dan secara tidak langsung juga memengaruhi puisi tatanan kesusasteraan di Indonesia. Sjamsul Ridwan, teman dekat Chairil, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut Beliau, salah satu sifat Chairil pada masa kanakkanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam. Adat Sumatra yang keras memengaruhi sifat Chairil yang seperti itu. Bahkan, Jassin, sebagai pun punya kenangan tentang ini. Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis. Hal tersebut terermin pada gaya bahasa karya-karyanya yang selalu bergejolak, berhasrat, dan bermakna hikmat, namun jantan. Chairil mulai terkenal dalam dunia sastra setelah tulisannya dimuat di Majalah Nisan tahun 1942, saat itu dia berusia dua puluh tahun. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis bertema kematian. Seperti Nisan, Nocturno, Yang Terampas dan Yang Putus dan lainlain. Percintaan, antara lain Karawang-Bekasi, penerimaan, Hampa, Sajak Putih, Senja di Pelabuhan Kecil, Cintaku Jauh di Pulau, dan lain-lain. Ada juga tema perjuangan, seperti Maju, Diponegoro, Aku, Persetujuan dengan Bung Karno dan sebagainya. Tentang keagamaan ada Doa. Selain menulis puisi, ia menerjemahkan karya asing ke bahasa Indonesia. Ia juga pernah menjadi redaktur ruang budaya Siasat Gelanggang dan Gema Suasana, mendirikan Gelanggang Seniman Merdeka tanuh 1946. Kemauan yang keras dan Kecintaan Chairil terhadap sastra dibuktikan dengan menjadi aktivis dalam bidang yang ia kuasai dan minati.

Chairil ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Hal tersebut berkaitan erat dengan puisi yang akan dibahas. Senja Di Pelabuhan Kecil mewakili perasaan Chairil pada nama wanita yang tercantum di puisi Chairil. Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya. Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta cerai. Saat anak buah pernikahan mereka, Evawani Chairil Anwar berumur 7 bulan, Chairil seorang duda. 28 April 1949, pukul 15.15 WIB Chairil Anwar meninggal dunia karena TBC kronis dan sipilis. Diakibatkan gaya hidup Beliau yang sangat buruk. Bisa kita lihat pada salah satu fotonya yang sangat populer sedang menghisap sebatang rokok, itu mencerminkan pola hidupnya yang diselingi dengan mengonsumsi narkoba untuk mendapatkan inspirasi dalam melahirkan karya. Umur yang tidak sampai 27 tahun berkalang tanah di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Hari meninggalnya selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar. Ini membuktikan bahwa Ia "Si Binatang Jalang" yang dikagumi masyarakat penikmat sastra. Dengan puisi-puisinya, ia membuktikan bahwa bahasa Indonesia sanggup menjadi bahasa sastra yang demikian efektif dan modern. Cara menyampaikan pikiran atau perasaannya menimbulkan ciri gaya bahasa tersendiri terhadap karya-karya Chairil Anwar. Sehingga perasaan yang ingin disampaikan penulis menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam pikiran pembaca. Dalam beberapa puisinya yaitu Nisan, Nocturno (fragment), dan Yang Terampas dan Yang Putus, terlihat sekali bahwa maut selalu bersarang pikirannya. bahkan seakan ia meramalkan sendiri bahwa hidupnya akan singkat. Hingga akhirnya ia meninggal dalam usia muda di Jakarta, 28 April 1949 pada umur 26 tahun karena penyakit TBC. Dan seperti memenuhi pesan profetik dalam salah satu bait puisinya yang berjudul Yang Terampas dan Yang Putus ... di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru angin

2.

Telaah A. Struktur Fisik Diksi (diction)

Meskipun Chairil Anwar lahir di Medan, Sumatera Utara, pada tanggal 26 Juli dan tahun 1922, tetapi di zaman berikutnya yang sangat lama dari masa kelahirannya Beliau bisa menjadi pujangga pelopor angkatan 45 hanya dengan kata-kata. Chairil Anwar berhasil mendobrak kaidah ejaan Van Ophusyen tahun 1907 yang berlaku sejak sebelum kemerdekaan tahun 1945, yang kemudian lahirlah ejaan Suwardi atau ejaan Republik tahun 1947. Ia sangat cerdas menyampaikan isi hati dan pikirannya untuk para pembaca dengan pilihan kata-kaa yang ia susun dengan begitu indah, bergelora, berhasrat, dan bermakna hikmat. Ia dapat merubah kekangan berbahasa dengan menjadikan bahasa yang membuka kemungkinan-kemungkinan sebagai alat pernyataan yang sempurna. Kata-kata dalam sajak ini dipilih dengan sangat cermat sehingga terlihat kaitan antara makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata yang dapat mengungkapkan banyak hal. Pada bait pertama dan ketiga setelah saya membaca dapat dipahami bahwa terjadi kesunyian di hati pengarang tidak ada cinta yang mengisi. Ini kali tidak ada yang mencari cinta di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut ... Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan menyisir semenanjung, masih pengap harap sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap Kata-kata yang saya cetak tebal menandakan bahwa sengaja pengarang pilih sebagai analogi keadaan hati pengarang yang sedang kesepian agar mudah ditangkap oleh para pembaca. Bait kedua menandakan keadaan hati pengarang yang sangat kacau, sedih, galau, suram, dan murung yang dirasakana. Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang menyinggung muram, ... Kata-kata yang dipilih sebagai simbol kegundahan hati pengarang.

Citraan (Imagery) Ini kali tidak ada yang mencari cinta di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut ... Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang menyinggung muram, ... Tidak bergerak dan kini tanah dan air tidur hilang ombak. Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan menyisir semenanjung, ...

Penggalan bait pertama tersebut tergolong citra lihatan, karena menggugah indra penglihatan atau visual pembaca. ... menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut ... ... sedu penghabisan bisa terdekap ... Penggalan puisi di atas tergolong ke dalam citra rabaan, karena melibatkan indra peraba atau nonvisual pembaca. Bahasa kias (Figurative)

... pada cerita tiang serta temali. Pada penggalan puisi ini pengarang menggunakan majas personifikasi. Tiang serta temali yang punya atau bisa bercerita diibaratkan seperti manusia yang bisa berbicara. Juga kelepak sayap elang yang bisa menyinggung muram, hanya manusia yang bisa melakukan penyinggugan terhadap lawannya. Hari yang bisa lari, berenang dan malakukan pertemuan, beraktivitas seperti manusia. Tanah dan air adalah benda mati, namun dituliskan tidur oleh pengarang seperti kegiatan sehari-hari manusia. ... Ada juga kelepak elang menyinggung muram, desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan. ... ... Tidak bergerak dan kini tanah dan air tidur hilang ombak. Tipografi

Pengarang membuat puisi sebanyak tiga bait. Ia Menyusun puisi setiap bait terdiri dari empat baris. Tiap bait disusun sejajar.

B. Struktur Batin Tema (Sense)

Menurut pehaman saya, dalam puisinya, Pengarang bercerita tentang keadaan tokoh yang sedang patah hati. Hatinya yang sedang kosong tidak di isi kisah cinta. Tokoh baru saja berpisah dengan kekasihnya, ia dalam kesendirian. Cerita cinta yang serba-serbi berliku disimbolkan dengan tiang dan temali. Tiang sebagai pondasi cinta mereka dan tali sebagai alur cerita cinta mereka. Sekarang tidak digunakan lagi karena kapal-kapal tidak berlaut. Aklhirnya si tokoh menjalani harinya seerti biasa seperti alam yang begitu saja terjadi. Ia mencoba maju dari masa lalunya mencari hal baru yang bisa ditemui dalam hidupnya. Jalan hidup baru bisa ditelusurinya dan entah apa yang bisa ia dapat dari pencariannya itu walaupun sedu masih mendekap di hatinya. Harapan besar ada dalam hatinya tetapi sesak. Judul puisi ini sendiri Senja di Pelabuhan Kecil yang dapat saya simpulkan bahwa senja, yaitu suatu kedaan yang menuju pada kegelapan saat orang-orang masuk rumah, tidak ada hiruk pikuk lagi, dan menjadi sepi. Pelabuhan kecil disimbolkan sebagai hati si tokoh. Jadi, Senja di Pelabuhan Kecil menggambarkan hati si tokoh yang seiring berjalannya waktu semakin menunjukkan kesuraman, kegelapan, kesepian, kesenyapan dan kemurungan. Kehidupannya yang menjadi hambar tanpa seorang kekasih yang menemaninya. Akibat kekasihnya yang tidak bersamanya lagi untuk menjalin hubungan percintaan. Perasaan (feeling)

Kesedihan dan kekosongan hati tokoh memang tidak diwujudkan dengan kata sedih dan kosong secara langsung dalam puisi. Namun, dapat disimbolkan dengan kali tidak ada yang mengisi, gudang, rumah tua, kapal-kapal tiada berlaut, dan senja. Patinya terwujud dalam citra lihatan kita biasanya latar puisi seperti itu sesuatu yang semakin rapuh, lapuk, buruk, dan tidak ada lagi kegiatan bahkan hiruk pikuk. Keadaan alam semakin gelap menunjukkan kemajuan. Semakin suram saja lama kelamaan kehidupan tokoh seperti latar suasana gerimis, senja dan makin kelam. Dirasa selalu bagaimana hatinya yang lama-kelamaan kering lalu tertidur dari merasakan indah percintaan. Tokoh merasa harus maju menemukan kehidupan yang baru walaupun kesedihan masih mendera. Harapan untuk memiliki masih sangat pekat dalam tekadnya. Ia ingin melupakan masa lalu, meninggalkan segala yang menguntit dari kehidupan cintanya. Harapan bangkit ada, tetapi sesak masih dirasakan mengenai masa lalu.

Nada atau suasana (Tone)

Dengan karyanya Senja di Pelabuhan Kecil pengarang tidak menyudutkan mantan kekasih si tokoh yang sudah tidak bersamanya lagi menjalin hubungan percintaan. Ia lebih jujur kepada para pembaca tentang isi hati si tokoh dan harapan tokoh untuk mendapatkan hati kekasihnya kembali atau kehidupan yang baru. Pengarang tidak memihak pada salah satu tokoh saja, entah itu kekasih si tokoh atau pun si tokoh itu sendiri. Pengarang menulis mengalir begitu saja menggambarkan isi hati si tokoh. Tidak menjadikan tokoh tergila-gila terhadap kembalinya kekasih si tokoh, pengarang menuliskan apa adanya kehidupan berjalan. Pengarang bersifat pemaaf walaupun kesedihan dan kesuraman begitu mendekap pada hati si tokoh. Amanat atau tujuan (Intention)

Segala sesuatu memiliki jalannya masing-masing. Kita harus berusaha mencari, menelusuri, menuggu dengan sabar untuk bisa berdekap langsung dengan yang ingin kita dapatkan. Walaupun kelam sebelumnya, pasti ada jalan dan hikmah selanjutnya. Seperti kata peribahasa, berakit-rakit kita ke hulu berenang-renang ke tepian, yang artinya bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Tidak mudah melupakan masa lalu sebagai pembelajaran dari pengalaman memang baik, tetapi janganlah berlarut-larut menyesali dan apa yang memang bukan jalan yang dipilihkan untuk kita. Melupakan sesuatu tidak mungkin, yang harus kita lakukan adalah Ikhlas. Karena jika seseorang menyakitimu,

meninggalkanmu, dan membuangmu pasti yang terbaik akan datang untukmu dari-Nya. Belum tentu yang selalu kita inginkan itu baik untuk kita dan sesuatu yang tidak kita inginkan buruk untuk kita, bisa jadi justru itu yang baik untuk kita.

KESIMPULAN Chairil Anwar dalam Puisinya Senja di Pelabuhan Kecil ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa si tokoh sedang mengalami kesepian di hatinya karena berpisah dengan kekasihnya. Si tokoh ingin melupakan masa lalunya dengan mencoba menelusuri jalan kehidupan agar menemukan jodoh atau rezeki baru. Semua itu dikemas Chairil menggunakan kata-kata bermajas personifikasi dengan citra lihatan dan citra rabaan yang dominan dalam menyampaikannya, sehingga timbul kehindahan dalam puisinya. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh Chairil yamg berwatak keras bawaan dari lingkungan ia lahir dan ia dibesarkan, adat Sumatra yang keras, ingin mendobrak kaidah bahasa ejaan Van Ophusyen (1907) menjadi era Pujangga baru (tahun 40-an) menggunakan kaidah bahasa ejaan Suwardi atau ejaan Republik (1947) setelah kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945.

DAFTAR PUSTAKA http://www.ipuisi.com/biografi-chairil-anwar-1922-1949 http://id.wikipedia.org/wiki/Chairil_Anwar http://id.wikisource.org/wiki/Senja_Di_Pelabuhan_Kecil http://arniyanti.blogspot.com/2011/01/analisis-puisi-chairil-anwar.html

Anda mungkin juga menyukai