Anda di halaman 1dari 49

MENJELANG hari H, Nania masih sukar mengungkapkan alasan kenapa dia mahu menikah dengan lelaki itu.

Setelah melihat ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sedar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya. Kenapa? tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan. Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi. Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu. Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yang barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata! Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap. Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka. Kamu pasti bercanda!. Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda. Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania! Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya. Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik! Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan. Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh? Nania terkesima Kenapa? Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik. Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara

baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus! Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur. Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau! Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata kenapa yang barusan Nania lontarkan. Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak. Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat.Parah. Tapi kenapa? Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa. Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya. Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania! Cukup! Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini? Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak luar biasa. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Disampingnya Nania bahagia. Mereka akhirnya menikah. *** Setahun pernikahan. Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka. Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia. Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania. Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan. Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!.Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali inidilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.

Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen. Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!.Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan? Rafli juga pintar!.Tidak sepintarmu, Nania. Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan. Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu. Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma. Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu. Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak. Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang. Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik. Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah. Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia! Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting. Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak! Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama. Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik. Cantik ya? dan kaya!.Tak imbang! Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak.Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis. *** Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya. Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!.Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil. Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali. Baru pembukaan satu..Belum ada perubahan, Bu. Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi. Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah,didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset. Masih pembukaan dua, Pak! Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah.Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya. Bang?.Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan. Dokter? .Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar. Mungkin?.Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?. Bagaimana jika terlambat? Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal. Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun.

Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkahlangkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri. Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir. Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat. Pendarahan hebat..Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis. Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka. Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker. Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania. *** Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang. Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli. Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan. Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra. Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya. Nania, bangun, Cinta? Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik, Nania, bangun, Cinta? Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli. Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan. Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama. Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya. Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh. Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi. Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta. Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh? Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli. Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut.

Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun. Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat. Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetanggatetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik. Baik banget suaminya! Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua! Nania beruntung! Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya. Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam! Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama. Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa? Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi? Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan. Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya. Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.

Seluruh rasa antusias itu seakan luruh. Semangatku untuk mendengar cerita Laras, hilang begitu saja. Kebahagiaan yang tadi sempat mengisi relung hatiku, tercabut secara paksa. Di sebuah kamar kost-an, aku duduk di atas tempat tidur. Tangan kananku memegang sebatang cokelat. Di tangan kiriku, aku memainkan sebuah permainan, di handphone kesayanganku. Tari, perasaan dari tadi pagi lo makan cokelat terus. Apa enggak takut gemuk? tanya Wery, sambil berbaring di tempat tidur yang terletak di samping kanan tempat tidurku. Iya, gue heran deh sama Lestari. Padahal kalau makan cokelat enggak tanggung-tanggung. Sekali makan bisa habis dua batang. Tapi kenapa badan lo enggak gemuk sih? Hanny yang dari tadi sibuk berSMS-an dengan Deni, pacarnya, ikut melibatkan diri dalam obrolan kami. Jangan-jangan lo muntahin lagi, ya? timpa Wery, sebelum sempat aku menjawab pertanyaan dari mereka. Wah, jangan-jangan iya, nih. Lo bulemia ya? Bulemia? Yang benar tuh, bulimia. Bukan bulemia. Makanya kalau punya kamus kedokteran itu dibukabuka. Jangan disimpan aja, ledek Wery, sambil tertawa terbahak-bahak. Kami pun kemudian tertawa. Begitulah suasana di kost-an bila malam tiba. Selalu ramai dengan canda tawa. Kata-kata yang Hanny dan Wery lontarkan, terkadang memang dalam. Tapi memang begitulah mereka. Ceplas-ceplos. Untuk menanggapi mereka yang seperti itu, aku harus menganggap bahwa kata-kata yang mereka lontarkan itu tidak serius. Mereka hanya bercanda. Kalau aku mengganggap serius kata-kata mereka. Dijamin, aku enggak akan betah tinggal di kost-an. Eh, tapi benar enggak sih, kalau lo bulimia? Henny masih penasaran. Ya, enggak lah. Ngapain juga gue harus muntahin makanan yang sudah gue makan. Kalau gue ngelakuin itu, bisa-bisa, dinding perut, usus, ginjal, gigi, semuanya rusak. Dan yang lebih parah, gue bisa meninggal karena kekurangan gizi. Mending gue meninggal karena dicium Fikri, dari pada gue meninggal karena kekurangan gizi, aku yang sejak tadi bergeming, akhirnya menanggapi kata-kata mereka. Cieee... yang tadi pagi baru jadian. Omongannya enggak nahan. Tok... tok... tok.... Tiba-tiba pintu rumah di ketuk dari luar. Wery, yang bertugas piket hari ini, bangkit untuk membukakan pintu. Tari, gue mau curhat! Laras, saudara kembarku, sudah berdiri di depan pintu kamar, padahal baru lima belas detik Wery membuka pintu. Laras kemudian langsung berlari ke arahku.

Lo ke sini sama siapa? Sudah malam begini, tanyaku, heran. Sendiri. Gue sengaja ke sini, mau curhat sama elo. Lagian, besok gue enggak ada jadwal kuliah. Jadi gue bisa nginep di sini. Eh... enggak bisa, enggak bisa. Bertiga aja sudah sempit. Apalagi ditambah satu gajah. Hanny protes. Teman lo keterlaluan banget, sih. Masa gue dibilang gajah. Lagian, kamar ini kan masih luas banget! Laras marah. Hanny memang begitu. Udah, enggak usah di masukin ke hati. Cuekin aja. Kita pindah ke kamar sebelah aja, yuk. Aku dan Laras kemudian bergeras meninggalkan kamar yang ditempati Hanny dan Wary. Kami menuju kamar yang lain, yang terletak tidak jauh dari kamar mereka. Di rumah yang kami kontrak ini, hanya mempunyai dua kamar. Satu kamar untuk tidur. Satu kamar lagi untuk lemari pakaian dan rak buku. Kami sengaja mengaturnya seperti itu. Karena yang tinggal di rumah ini bukan hanya dua orang. Melainkan tiga orang. Selain itu, agar kebersamaan dan kekeluargaan di antara kami lebih terasa. Sesampainya di kamar, laras langsung merebahkan diri ke karpet, yang berada tepat di tengah-tengah deretan lemari. Aku yang memang sudah lelah, ikut berbaring di sampingnya. Tari, lo tahu enggak. Tadi pagi gue ketemu cowok, cakep banget. Rambutnya ikal, matanya cokelat, hidungnya mancung, senyumnya manis, terus di pipi kanannya ada tahi lalat. Pokoknya sempurna banget, deh. Gue suka sama dia. Ketemu di mana? Namanya siapa? tanyaku, antusias. Perasaan lelah itu hilang seketika, tergantikan olah semangat yang baru. Karena baru kali ini Laras menceritakan tentang perasaannya pada seorang pria. Baru kali ini dia jatuh cinta. Padahal usianya sudah hampir sembilan belas tahun. Gue ketemu dia waktu di toko buku. Namanya Fikri. Siapa?! tanyaku, tak percaya. Fikri. Fikri Adi Dinata. Kalau enggak salah, dia juga kuliah di kampus lo, di jurusan Kesehatan Masyarakat. Lo kenal?! Ih... salamin ya. Seluruh rasa antusias itu seakan luruh. Semangatku untuk mendengar cerita Laras, hilang begitu saja. Kebahagiaan yang tadi sempat mengisi relung hatiku, tercabut secara paksa. Meskipun begitu, aku tidak ingin mengecewakan Laras. Aku tetap mendengarkan cerita tentang pertemuannya dengan Fikri. Tak tega rasanya membuatnya kecewa. Ia begitu bersemangat, begitu bahagia. Aku benar-benar bingung sekarang. Aku harus bagaimana?! Laras ternyata mencintai Fikri, pacarku sendiri. Ini bukan salahnya, karena dia tidak pernah mengetahui bahwa aku dan Fikri, sebenarnya pacaran. Ini adalah kesalahanku sepenuhnya, karena aku tidak pernah memberi tahu Laras. Tapi aku tidak tega menghancurkan perasaannya. Cinta pertamanya! ***

Fikri, hari ini kamu masih ada jam kuliah enggak? Enggak ada. Memang ada apa? Aku ingin ke pantai. Kamu mau menemaniku? Untuk kamu, apa sih yang enggak? Ya sudah. Berangkat, yuk. Oke. RX King milik Fikri melaju dengan kencang. Membelah jalanan Kota Baja yang penuh debu. Semilir angin pantai menerpa wajah tirusku, yang terduduk bagai di hamparan lautan es kim. Rambut ikal bergelombang menari mengikuti arah angin berhembus. Lenganku memeluk lutut. Pandanganku lurus ke garis horizontal. Fikri duduk di samping kiriku. Kedua kakinya diluruskan. Tangannya meremas butir-butir pasir yang ada di samping kanan dan kirinya. Selama beberapa saat kami terdiam. Hanya suara debur ombak yang terdengar. Tari, sebenarnya apa yang ingin kamu katakan? tanya Fikri, tiba-tiba. Ia seakan merasakan ada sesuatu yang kusembunyikan. Aku bangkit, kemudian berseru, Fikri, aku ingin bermain dengan ombak. Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Fikri kemudian menggenggam dengan lembut tanganku. Aku menatapnya. Mataku dan matanya saling beradu. Ada kepedihan di hatiku. Aku melepaskan genggaman Fikri. Dengan gontai aku melangkah, mendekati riak ombak yang menjilati hamparan es krim itu. Fikri menyejajarkan langkahnya dengan langkahku. Aku hentikan langkahku, saat ombak yang menerjang kakiku semakin kuat. Fikri masih berada di sampingku. Sayang, kamu kenapa? Pasti ada sesuatu hal yang ingin kamu katakan padaku. Fikri, kita adu lari, yuk. Sampai tembok pembatas itu ya, untuk kedua kalinya aku mengalihkan pembicaraan. Oke. Tapi kalau kamu kalah, kamu harus mengatakan yang sejujurnya. Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan. Setelah aku merasa letih, aku kemudian berhenti dan berbalik. Ternyata aku sudah jauh meninggalkan Fikri, yang memang tidak ikut berlari. Masih dengan nafas tersengal-sengal, aku kembali berlari ke arah Fikri. Aku merasakan beban di hatiku kini sedikit berkurang.

Kamu curang, seruku, masih dengan tersengal-sengal. Kamu larinya semangat banget, sih. Jadi aku enggak bisa menyusul deh, jawab Fikri, sekenanya. Aku kemudian terdiam. Pandanganku kembali tertuju ke garis horizontal. Namun kini, sebuah senyuman mengembang dari bibir tipisku. Perasaanku lebih tenang. Sayang, sebenarnya ada apa sih?. Aku hanya ingin menghabiskan waktu denganmu. Hanya bersamamu, hari ini, jawabku. Pandanganku masih tertuju ke garis horizontal. Fikri kemudian tersenyum, sambil berkata, Aku pikir kamu mau cerita sesuatu. Karena kamu selalu mengajak aku ke pantai, kalau mau cerita sesuatu. Masa, sih? Bukannya iya? Kami pun bercanda dan tertawa. Menghabiskan hari ini bersama. Berdua, di tepi pantai. Kami bercanda dan tertawa, hingga senja berada di ufuk barat. *** Kala senja berada di ufuk Barat, tepat berada di tengah garis horizontal, aku mengatakan, Fikri, aku sudah memutuskan bahwa aku enggak bisa melanjutkan hubungan kita. Aku enggak bisa pacaran sama kamu. Ada seseorang yang lebih pantas untukmu. Maksud kamu apa?! Aku kemudian menarik nafas, dalam dan panjang. Menghembuskannya perlahan. Aku berusaha untuk tersenyum, meskipun hatiku terluka. Sama seperti yang Fikri rasakan saat ini. Aku sudah terlalu sering menyakitimu. Aku tidak berhak mendapatkan cintamu. Kamu berhak mendapatkan wanita lain yang lebih baik dariku. Dia adalah Laras. Laras?! Saudara kembarmu? Lestari, cinta itu bukan bola, yang bisa kamu oper sesuka hatimu. Sekalipun, kepada saudara kembarmu! Fikri marah besar. Hatiku semakin terluka. Aku menyadari, bahwa cinta memang bukanlah sebuah bola. Tapi demi kebahagiaan Laras, aku berharap, cintamu padaku seperti halnya sebuah bola. Sehingga cinta itu bisa dioper kepada Laras. Dan membuatnya bahagia.

Cinta Adikku Mbak kenalin, ini Mutia Mutia ini Mbak Rieka Aku mendongak dari kertas kerjaku mendapati Ben adikku dan seorang gadis di sampingnya. Ia mengulurkan tangannya kepadaku. Hai,aku Rieka, mudah mudahan Ben cerita yang baik baik saja tentang aku..selorohku sambil mataku menyisir gadis itu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ben cerita tentang Mbak baik semua kok Mbak.. gadis itu menuai senyum. Ben mengajak Mutia ke ruang keluarga meninggalkan kamar kerjaku setelah sedikit berbasa basi aku meneriakkan Surti menghidangkan minuman. Melihat mereka keluar aku tersandar di kursi kerjaku. Tulisan yang sejak sejam lalu berusaha kurampungkan terabaikan. Kuperhatikan punggung mereka berdekatan di depan TV di ruang keluarga. Kulit Ben yang putih bersih begitu kontras dengan Mutia, gadis itu. Menurut ku seperti iklan Benetton. Aku berpikir apakah Ben sedang mabuk atau kena trauma di suatu tempat, sehingga belakangan ini ceritanya padaku melulu soal Mutia yang ditemuinya di kampus. Dalam bayanganku selama ini, gadis bernama Mutia itu..pastinya cantik, berkulit putih bersih, berambut lurus berkilau seperti iklan shampoo. Minimal tidak kurang cantik dengan mantan mantan Ben yang dulu ; Shirley yang wajahnya kerap muncul di cover majalah ,Mitha pramugari sebuah Maskapai nomor satu di Indonesia, Clara dan Susan, dua nama terakhir itu teman sekampusnya. Aku pernah sampai pusing menerima puluhan sms dari gadis gadis itu ,meratapi hubungannya dengan Ben yang kandas satu persatu. Ben adikku memang berbeda. Wajahnya mewarisi wajah Papa. Hidungnya bangir, kulitnya bersih dengan garis laki laki yang membuatnya terlihat begitu jantan. Dia seperti pangeran pangeran tampan di komik komik jepang. Tubuhnya begitu atletis padahal ia tidak begitu rajin meluangkan waktunya untuk kebugaran. Berjalan dengan Ben di pertokoan terkadang membuatku risih juga, karena pastinya beberapa pasang mata akan menoleh kesekian kalinya pada Ben, bahkan para pencari bakat yang gemar duduk duduk di Mall untuk mencari bintang bintang baru kerap menyambangi kami. Ben Cuma tertawa dan bilang tidak. Kini Ben kembali memperkenalkan seorang gadis yang dicintainya padaku. Apa yang kubayangkan tentang seorang Mutia buyar sudah. Yang dibawa Ben ke hadapanku bukan seorang gadis cantik berparas bak manekin di toko baju, tapi seorang gadis biasa. Sangat sangat biasa. Tidak semampai, rambutnya tidak terurai lurus berkilau tapi ikal dan tambah aneh dengan diikat bergelung, dan berkulit hitam. Mbak, kita mau pesan Pizza, Mbak mau apa? tiba tiba Ben sudah di hadapanku lagi, berdiri dengan tubuhnya yang menjulang atletis. Adikku yang ganteng ini.

MbakMbak nggak kenapa kenapa kan? Aku berdehem mengusir halusinasiku barusan. Walaupun itu nyata bukan ilusi belaka. Ben, ituMutia yang itu ..kan? Alis mata Ben bertaut, kelihatan sekali ia bingung. Ia melirik ke arah ruang TV dimana Mutianya masih duduk manis di situ. Yaiyayang belakangan ini aku cerita ke Mbakpacarku.kenapa sih..? Oohya nggak apa apakataku sambil memusatkan pandangan ke laptop. Mbak pesenin salad saja,Ben Ben berlalu lagi dari hadapanku. Aku menatap punggungnya gamang. ooOOoo Memangnya waktu itu kenapa putus dengan Ben? Aku menekan tombol send pada ponselku. Dan gambar amplop terbang muncul di layar. Baru saja aku membalas sms dari Susan, pacar terakhir Ben sebelum Mutia. Susan masih uring uringan dan belakangan sering berbasa basi menelponku atau kirim sms sekedar ingin tau perkembangan mantan pacarnya, adikku. Aku selalu meladeni teman teman Ben dengan sabar, karena menurutku sebagai kakak aku harus bisa masuk ke ke hidupan adikku, aku harus bisa menjadi teman bagi Ben, menjadi kakak dan bahkan menjadi ibu. Karena kami Cuma tinggal berdua semenjak Papa dan mama meninggal tiga tahun lalu. Ponsel ku mengeluarkan bunyi Bip Bip dua kali. Ben naksir anak fakultas lain,semenjak kenal itu cewek sifatnya berubah drastic padaku,Mbak. Namanya Mutia. Sudah dikenalin,Mbak? Hee?? Ben bisa berpaling dari Susan yang wajahnya lebih cantik dari model iklan sabun di TV ..karena Mutia? Aku meletakkan ponselku di sisi laptop. Menerawang ke luar jendela kantorku yang berada di lantai dua puluh. Ada apa dengan adikku. Kenapa seleranya jadi drop begitu. Kalau dia akan bilang karena cinta aku akan berpaling muka menyembunyikan senyum sinisku. Aku tak percaya cinta bisa membuat buta mata. Belum lagi, Ben harus berhadapan dengan keluarga besar kami. Aku tak mau membayangkan apa yang ada dalam kepala mereka jika suatu saat Ben ternyata serius dan memperkenalkan Mutia.

Sepertinya aku harus bicara dengan Ben. Mungkin Ben bisa memberikan alasan yang bisa membuatku mengerti tentang pilihannya. Ben,temenin Mbak ngopi yuksapaku lewat ponsel. Kami bertemu setengah jam kemudian di coffee shops lantai dasar kantorku. Ben, Mbak mau Tanya.kamu tuh beneran sama Mutia..? aku mengaduk cappuccino ku tanpa memandang wajah adikku. Bener Mbak.nggak ada yang salah kan sama dia..? Memang nggak ada yang salah sih Ben,..Cuma kok yang ini beda sekali sama pacar pacar kamu dulu. Bedanya..? Aku meneguk minumanku. Apa yang ada dalam pikiran Ben saat ini. Dia bertanya bedanya padaku..?? Hmyaa secara..secarapenampilan begitu Fisik? Yaa begitulah, tumben banget kamu pilih yang tipe ini.sampai bisa bikin kamu mutusin Susan? Ben terkekeh pelan. Wajah tampannya terlihat memerah sedikit. Tepatnya merona merah. Rasanya dulu waktu pun ia pacaran dengan si model Shirley dia tidak pernah merona rona merah seperti ini, persis ABG yang baru merasakan jatuh cinta. Susan nggak ada apa apanya dengan Mutia Mbak.dan yang minta putus itu Susanbukan aku Aku hampir tersedak waktu Ben bilang Susan nggak ada apa apanya dibanding Mutia,sembari kuingat ingat apakah sebetulnya Ben mengatakan sebaliknya cuma aku salah dengar? Harusnya Mutia yang nggak ada apa apanya dibanding Suzan? Dalam hal apa Susan nggak ada apa apanya dibanding Mutia? Ben memandangku, rona merahnya sudah hilang. Kali ini yang menatapku adalah mata serius nya. Aku nggak bisa mendefinisikannya Mbaksemuanya dari hati sih.Pokoknya Mutia the best buat aku..susah ya dijelasin,Mbak..

Dan sore itu berlalu tidak seperti yang kuharapkan. Tetap saja aku tidak mendapatkan jawaban yang logis. Kalau atas nama cinta aku tidak bisa menerima dalam pikiran sehatku. Semenjak sore itu, Ben makin sering membawa Mutia ke rumah, dan semakin dalam ketidakpercayaanku akan apa yang di lihat Ben dari Mutia. Gadis itu pendiam pula, dengannya lebih banyak aku yang bertanya dan bicara. Dan dia hanya menjawab apa yang kutanyakan selebihnya hanya senyumnya mengembang. Gadis itu pencinta alam, dia sudah mendaki Everest bersama tim pendaki kampusnya. Terlihat sih di tangan tangannya yang berurat. Dan kalau sedang digenggam oleh tangan Ben aku lebih baik tidak melihatnya. Terlalu kontras. Kadang terpikir untuk memberikan ide perawatan kulit buat Mutia pada Ben, misalnya ikut therapy memutihkan kulit, menghaluskan dan sebagainya. Tapi selalu urung kulontarkan. Mutia terlihat sangat mencintai Ben. Pasti lah. Ben ganteng dan walaupun kami yatim piatu kami masih bisa hidup serba berkecukupan dengan peninggalan orang tua kami. Kami tak kurang suatu apapun. Gadis itu terkadang datang sendiri, dan tidak selalu pada saat Ben ada di rumah. Misalnya sehabis mengajar anak anak jalanan di rumah singgah dia suka mampir ke rumah. Seperti hari ini ketika aku sudah dua hari tidak bisa masuk kantor karena vertigo ku kumat. Maklum, bekerja kadang tak kenal waktu dan tidak cukup memanjakan tubuh dengan istrirahat. Mutia datang dengan menenteng satu kotak donut. Pandanganku masih berputar putar ketika gadis itu menghampiriku di kamar. Mbak, makan yuk. Katanya sambil menyentuh lenganku dengan telapak tangannya yang mungkin tidak pernah tersentuh hand body lotion. Aku menggeleng,sejak tadi aku sibuk mencari posisi berbaring yang enak supaya mual dan peningku tidak menjadi jadi, Nggak Mut.belom bisa makankamu dari mana? Dari habis ngajar ,MbakMbak ada obat yang harus diminum nggak, biar ku ambilkan? Aku menggeleng, dalam keadaan mata tertutup pun semua yg kurasakan berputar hebat.Isi perutku bergejolak ingin keluar. Mutmbak mau Hoeekkk !! Aku terlonjak kearah Mutia dan keluarlah isi perutku. Aku bisa melihat muntahku membasahi baju dan roknya. Mutia membantuku duduk dan mengurut leherku lembut,Keluarkan semuanya mbak, muntahkan saja, supaya legamuntahakan saja Mbak!

Aku masih muntah beberapa kali. Mutia menggapai minyak angin dan menggosokkannya ke leher dan kepalaku. Tubuhnya basah sudah. Oleh mutahku. Yang aku sendiri jijik, tapi ekspresi wajah gadis itu biasa saja. Tidak sedikitpun tersirat rasa jijik atau geli. Dengan sigapnya ia menggantikan bajuku dan mengelap bekas bekas muntahku dibantu Surti yang baru datang beberapa menit terakhir. Aku merasakan kelegaan di kepala dan perutku. Mut..maaf kamu jadi kotor begituambil saja baju Mbak..pakai dulu Mut ujarku. Mutia masuk ke kamar mandi yang letaknya di dalam kamarku dan keluar dengan mengenakan baju rumah milikku. Wajah dan tubuhnya sudah bersih, dan dia kembali duduk di sisiku. Mut maaf ya jadi ngerepotin kamuaku merasa betul betul sungkan. Kalau aku jadi dia mungkin aku sudah ikut muntah muntah di tempat karena jijiknya. Ah Mbaak nggak apa apa koknamanya juga sedang sakit. Mbak mesti isi perut tuh kan sudah keluar semua isinya Aku menemukan sorot mata yang lembut di balik poninya yang tidak menarik itu, begitu lembut dan bening. Begitu tulus. Ketika sore Ben pulang dari kampus dan bingung mendapatiku dan Mutia mengobrol akrab di kamarku dan Mutia dengan mengenakan bajuku. Ada binar binar di mata adikku itu. Entah haru entah apapun. Dan rona merah itu menyemburat lagi. Dan ketika Ben pamit untuk mengantar Mutia pulang aku mengiyakan dengan tulus. Kali ini betul betul tulus tanpa ada banyak pertanyaan di pikiranku. Aku merangkul Mutia. Entah kenapa aku ingin melakukan itu. Aku bisa merasakan aroma shampo samar samar dari rambutnya, yang kutahu pasti bukan shampoo mahal seperti yang kupakai. Sekali lagi kuucapkan terimakasih yang tulus padanya. Mutia hanya tersenyum saja. Dan aku baru menyadari juga kalau senyum nya itu begitu biasa tapi penuh keihlasan. oooOOoooMalamnya Ben pulang dari mengantar Mutia dan langsung kupanggil masuk ke kamarku. Benantar Mutia sampai rumah kan? Ben mengangguk,Kenapa Mbak Mutia cerita nggak kejadian siang ini

Ben adikku memandangku dengan wajah bingung,Cuma bilang Mbak pusing pusing dan muntah aja Hmmgadis itu bahkan tidak menceritakan betapa menjijikkannya mendapat hadiah muntahanku ke seluruh baju dan roknya. Bensekarang Mbak ngerti kenapa kamu mencintai Mutia.dia..memang beda Adikku duduk di hadapanku dengan kening bertaut,Mbak, sebetulnya Mutia belum bilang menerimakudia Cuma bilang jalanin aja dulu yang bisa kita jalaninggak perlu mengumbar kata kata cinta atau apalah Wow! Mungkin buat seorang gadis biasa seperti Mutia, kata kata cinta itu tidak perlu. Sementara perempuan lain di sekitar Ben sangat ingin mendengar kata itu keluar dari mulut Ben dan akan segera menganggukkan kepala. Mungkin kata kata cinta justru membuat gadis itu jengah? Sekarang aku mengerti apa yang ada dalam kepala adik laki lakiku. Dan memang ternyata Shirley atau Susan atau siapaun tidak ada apa apanya dibanding Mutia. Kamu jaga saja hubungan kamu Ben,dia gadis yang baik..Kakak mengakui deh ujarku pelan,soal fisikhmm kulitnya itumungkin bisa pakai braso atau apa gitusupaya lebih cemerlang.buktinya..pajangan Mama yang menghitam saja bisa lebih bersih pakai braso Ben memapahku ke tempat tidur seolah aku sedang sakit parah,Mbak perlu istirahat banyak nih mbak ujarnya.

Cinta Bukan Taruhan siang itu aku sama sahabat ku yang bnma reza ingin pergi nonton katanya sih untuk bayar utang waktu itu ke gue tapi lumayan juga sihh abusa geratis sihh hehehehehe lisa llo mau nonton film apah.?tanya reza menawarkan gue mah seterah ama yang bayarin ajeh dahh .. gimna klo kita nnton yang lucu-lucu ajah gimna..? okehlahh..? akhirnya gue ama reza mutusin untuk nnton film yang lucu abis pikiran gue klo nnton film yang horor banya itu tau lahh pasti maksud gue heheheh pintu teater 2 sudah di buka harap yang telah memiliki karcis segera masuk ke ruang teater 2 rez yuuu tiatera udah di buka ajak ku pada reza ayo dahh.. reza kenapah sihh kita koq cuma nnton berdua khan ada andy ama nurfa.. akhh gue maunya berdua ama llo mang gak boleh yahh apa nnti ada yang marah..? ekh jgn pura-pura dah llo,khan llo tau gue tuhh udah setahun ngejomblo.. yahh tapi khan banyak yang udah nembak llo cuma llo tolak.. yahh itu karna gue blon siap ajah.. ekh bdw bangku kita yang ini khan.. iya betul-betul.. akhirnya gue ama reza nemuin tempat duduka jga.. tapi kenapah koq perasaan ku menjadi tidak enak gini yahh za llo lgi slek yahh ama andy..? kata siapa orang ue baek-baek ajeh ama dia mau bukti okeh nanti dia nyusul koq ama nurfa akhh masa iya ..? iyee soalna gue juga ada yang mau di omongin ama dia .. okeh dechhh.. oh yahh lisa seandainya gue nembak llo apah llo mau nerima gue gak..? wew ngaco bgt dah llo .. gue serius mau gakk..? jadi sekarang llo nembak gue gtuh..? menurut llo..? menurut gue llo cuma bencanda duank.. yahh ampunn lisaaaaaaaaaa gue serius.. ehmm gimna yahh gue takut ngerusak hubungan persahabatan kita berempat selama ini.. lahh kenapa jadi ngerusak bukana malh bikin lebih erat..? iya waktu lagi pacaranya duank tpi klo udah putus apa bakl deket kya gini lagii.. gue gak bakal putusin llo itu juga klo llo mau nerima gue.. yudh dechh.. yudah apah nihh maksudnya.. okeh gue nerima llo jadi cowo gue.. serius llo lisaaa.. yaaa gue serius syukur dehhh gue di terima am loo.. heheh iya ..

tapi kenapah yahh hati gue tuhh malah sakit apa karna rasa cinta gue ke andy aduhh gue harus bisa cepet-cepet lupain dia dan gue akan berusaha untuk mencintai reza gue harus bisa .. hayooo koq kamu bengong sayangg.. sapaan reza menghamburkan lamunan ku ekh gak koq cuma agak kurang ngerti ama alur filma ajah.. ohh say katanya andi ama nurfa udah ada di kafe biasa nnti kita lansung ke sana yahhh.. iyahhh asayang.. reza dan andy tidak beda jauh mereka sama-sama ganteng tinggi juga perhatian dan mereka juga merupakan cowo idaman buat semua cewe mungkin.. akhirnya film yang gue tonton dengan reza habis dan gue langsung di ajak melangkah menuju kafe biasa buat ketemuan ama andy juga nurfa dan akhirnya langkah gue terhenti ketika ngeliat andi ama nurfa yang sudah agak lama nungguin gue ama reza.. ikhh lama amat sihh nurfa langsung menyambut kami dengan omelannya sorry bawel gue abis nnton ama cewe gue.. disana wajah andy berubah 180 derajat mungkin sangat terkejut dengan perkataan reza ,, ohhh selamat yahhhh.nurfa mengulurkan tangana dgn gaya khas centilnya.. selamat yahhhandy pun ikut berbicara dan dia langsung menyundud sebatang rokok dari dalam sakunya andy gue mau ngomong ama llo cuma gak di sini.pinta reza pada andy okeh kita ke kamar mandy..usul andy yudh ayoo boyy.. tunnggu hp kamu.. iya nihhh.. cieee dah pasangan baru gtuhh.. apah sihh fa.. sekarang hp reza ada di tangan ku entah mengapa perasaan ku ingin sekali membuka pesan masuk di hp ini akhirnya jari ku mengetik dan sampai di kotak masuk aku langsung memeriksa dan sepertinya semua sms masuknya hanya dari andi dann aku buka satu persatu dan sungguh betapa kagetnya aku ada sms dari andy yang isinya KLO LO BISA DAPETIN LISA GUE BAKAL NGASIH APA PUN YANG LO MAU .. apa maksudnya ini..batin ku merasa jadi tidak enak apa yang sebenarnya terjadi .. apakah ada yang mereka sembunyikan dari aku..? di situ perasaan ku sungguh amat tidak enak apa yang sesungguhnya mereka berdua rencana kan.. apa lebih baik aku susul mereka berdua saja .. nurfa kamu mau ikut aku gak..?ajak ku pada nurfa gak akh gue di sini ajhh.. yudh gue mau ke kmar mandi dlu yahhh.. yudah gihh sana.. aku pun beranjak dari tempat yang ku duduki tadi bersama nurfa tapi mengapa perasaan ku semakin tidak enak .. akhirbya aku sampai di depan kamar mandi pria disitu trbilang cukup sepi hanya ada andy reza dan seorang pengunjung aku menguping pembicaraan mereka dari luar dan aku tidak mau sampai mereka curiga .. gimna andy gue udah bisa dapetin lisa lebih cepat dari llo ..? bagus klo gtuh sekarang llo mau minta ..? gue hanya butuh uang ajah .. bukannya llo anak orang kaya ..

bukannya juga kita taruhan uang iya kan..? okeh berapah yang llo minta dari gue.? gak banyak kita khan taruhan 250-250 jadi semua uangnya jadi milik gue .. nihh 250 dari gue tapi inget satu hal jangan pernah llo sakitin lisa NGERTI LO . kenapah emangnya llo cinta ama dia ..? iya gue sangat amat mencintainya tapi kenapah llo gak pernah coba ungkapin itu ke dia , karna gue gak siap jika nantinya gue harus kehilangan dia itu namanya llo banci. tapi gue akan selalu menjaganya karna gue gak percaya ama orang kaya llo tenang ajah cinta llo bakal aman di tangan gue jadi mereka selama ini deketin gue cuma untuk taruhan dan jumlah taruhan itu pun tidak besar hanya 500 mereka tega buat hati aku jadi hancur kaya gini .. gak ini gak mungkin pasti ini semua hanya mimpi tapi mengapa kalo ini hanya mimpi aku tidak terbangun aku pun mencubit pipi ku dan terasa sakit ternyata ini benar nyata tanpa terrasa air mata ini telah jatuh menetes di pipiku tanpa pikir panjang lagi aku dobrak pintu kamar mandi itu dan aku langsung labrak mereka berdua.. jadi selama ini gue hanya di jadiin bahan taruhan iyaa.. lisa sejak kapand llo udah ada di sna ..?tanya reza panik sejak kebusukan kalian terbongkar tega banget sihh kalian sama aku emang aku pernah punya salah apa ama kalian koq kalian tega sih giniin aku.. lisa llo dengerin dulu penjelasan kita berdua ..andi mulai menjawab apa .. apa yang ingin llo berdua jelasin lagii.. semuanya udah jelassss..air mata di pipiku makin deras mebasahi pipi ini .. lisaaa ..lisaa.. udah cukup gue benci ama kalian berduaaa..gue pun akhirnya berlari meninggalkan andy dan reza tapi tak lama andy mulai mengejar ku dari belakang lisa tunggu dengerin dlu penjelasan gue.. lohh lisa llo kenapah nangis..nurfa sudah menanyakan dari aku msih jauh mungkin dia kaget karna tadi aku ke kamar mandi belum knapah-napah setelah keluar aku malah menangis lo mau tau gue kenapah tanya ama dua bajingan iini..aku pun segera meninggal kan kafe dan nurfa masih dia terpaku tak mengerti apa yang sedang terjadi .. dan andy pun masih mengejar gue sampai di taman di dekat kafe ada taman yang menjadi tempat favorit gue ama ana-anak ngumpul akhirnya aku pun menghentikan langkah ku mau apa lagi sih llomau bikin hati gue tambah sakit iyaaaaaaaaa..? lisaa dengerin gue dluuu.. aku berontak karna andi terus memegangi tangan udah gak ada yang perlu di jelasin lagiiii aku terus berontak hinggak akhirnya andy menarik dan langsung memeluk ku yang masih menangis tersedu-sedu untuk menenangkan ku lisa gue tuh gak ada maksud apa-apa gue tuh sayang ama llo.. aku makin berontak ketika mendengar omongan andy aku tidak kuat mendengarnya lepasin gue gue udah benci ama llo.. lisa dengerin dulu.. aku berontak makin keras hingga andy tidak sabar dia menarik tangan ku dan entah sengaja atau tidak andi langsung mencium bibir ku rasanya seperti mimpi tapi di saat itulah aku bingung

mengapa dia melakukan itu pada ku setelah ciuman itu berakhir aku dan andi sama-sama dia dan andy langsung melepaskan tangan ku aku pun langsung berlari dan meninggal andy yang msih terpaku memandangi ke pergiann ku ternyata semua cowo sama ajah kalo udah punya salah langsung berbuat yang tidak menyenangkan .. batin ku lisa maafin gue karna gue udah jadiin llo bahan taruhan gue sayang sama llo lisaa..

Dewa Cinta Sedang Terlelap


Share25 Mataku melekat pada tetesan-tetesan air hujan yang turun, yang memukuli kaca tipis jendela kamarku. Suaranya berderap seperti bunyi hentakan sepatu prajurit yang tengah berbaris. Kuhirup nafas dalam-dalam. Aku senang jika hujan turun, karena aku sangat suka mencium aroma khas saat air hujan tengah beradu dengan tanah. Sangat tepat menggambarkan kesan kesendirian dan kesenduan. Kulemparkan ponselku begitu saja ke atas kasur yang bersepray warna hijau lumut. Alat komunikasi yang baru saja kugunakan untuk menjawab panggilan dari Mama. Sebenarnya aku sangat menyayangi wanita paruh baya itu. Namun terkadang perasaan manis itu bisa berubah menjadi kemarahan dan kekesalan yang merasuk. Seharusnya aku memang tidak pantas untuk marah kepada wanita yang telah mempertaruhkan nyawa ketika hendak melahirkanku, serta yang telah merawatku hingga saat ini aku berusia 20 tahun. Tapi apa daya, aku sering sekali kehabisan kesabaran setiap kali Mama mempertanyakan satu hal kepadaku. Hal yang merupakan satu-satunya pemicu masalah diantara kami. Mama selalu mendesakku untuk segera memperkenalkan kekasihku kepadanya. Tapi bagaimana caranya? Saat ini aku tidak mempunyai seorang pacar. Atau lebih tepatnya, aku TIDAK PERNAH punya pacar dan merasakan yang namanya pacaran. Usia 20 tahun memang masih tergolong terlalu muda untuk menikah. Selain itu aku juga masih mempunyai seorang kakak lelaki yang masih melajang. Tapi Mama memang tidak berniat untuk segera menikahkanku. Beliau hanya ingin aku memiliki seorang kekasih, layaknya remajaremaja perempuan lainnya. Sikap cuekku pada laki-laki, ditambah kesibukanku kuliah serta teman-temanku yang hampir seluruhnya perempuan, selalu membuat Mama khawatir janganjangan aku lebih suka perempuan daripada laki-laki. Dan tuduhan itulah yang selalu membuatku gerah setengah mati. Sebenarnya dulu saat berumur belasan tahun aku juga pernah merasakan hidup seperti gadis remaja biasa yang mengenal dan merasakan merah jambu cinta dan birunya kasih. Tapi ternyata rasa itu hinggap di waktu dan tempat yang salah. Papa tidak setuju aku dekat-dekat dengan seorang cowok, dengan alasan aku masih terlalu muda. Padahal kala itu usiaku sudah 17 tahun. Suatu hari Papa memergokiku sedang jalan bareng seorang teman cowok sepulang sekolah. Sorenya setiba Papa di rumah, tanpa ada ucapan salam maupun basa-basi, Papa langsung menghampiriku yang tengah menonton televisi, lalu menampar wajahku keras. Papa marah karena aku tidak mengindahkan larangannya. Padahal cowok itu hanya sekedar teman dekat (gebetan). Lagipula apa salahku? Aku hanya seorang gadis muda yang sedang mengikuti alur kehidupan sesuai usiaku saat ini. Tapi Papa tidak pernah mau mengerti. Beliau menampar dan menghujaniku berbait-bait kalimat sumpah serapah. Seolah aku adalah seorang teroris yang telah membom suatu Negara dan menyebabkan kematian jutaan orang tak berdosa.

Aku udah gede. Papa jangan perlakukan aku seperti binatang! Jeritku dengan suara melengking tinggi. Papa semakin marah mendengar teriakanku. Tangannya bertambah keras memukuliku, bahkan juga Mama serta kakak lelakiku yang berniat melerai. Tidak lama setelahnya Mama memilih untuk berpisah dengan Papa. Karena kami sudah tidak tahan lagi dengan sikap Papa yang kelewat diktator dan otoriter. Yang sangat sering salah menggunakan dan meletakkan tangannya, ditempat yang seharusnya dihujaninya kasih sayang dan bukannya tamparan serta cercaan. Seolah-olah Mama, kedua kakak lelaki dan aku, adalah pekerja rodi yang harus menerima pukulan dan hukuman setiap kali tidak turut pada peraturan para penjajah. Sejak peristiwa itu, aku mengalami trauma. Aku berubah menjadi sangat cemas bahkan takut untuk dekat-dekat dengan makhluk berbentuk cowok. Dalam sekejap, rasa percaya dan simpatiku pada cowok menguap tanpa bekas dari relung hati dan kehidupanku. Jangankan ingin pacaran, memikirkan hal itu saja sudah membuatku enggan setengah mati. Kualihkan pandangan dari kaca jendelaku yang masih dipenuhi air hujan, lalu menatap ponselku sejenak. Baru saja Mama bilang di telefon, bahwa bulan depan Mama, mas Sakti beserta istrinya, akan datang mengunjungiku ke sini. Aku yang kuliah di Universitas Sriwijaya Palembang, memang harus tinggal terpisah dari keluargaku yang berdomisili di Medan Sumatera Utara. Ada senangnya mereka akan mengunjungiku, mengingat rasa rindu yang sudah membuncah di dalam hati karena sudah hampir 6 bulan aku tidak pernah pulang mengunjungi mereka. Tapi satu yang membuatku pusing, karena ucapan Mama yang bilang bahwa bulan depan aku sudah HARUS mempunyai pacar yang akan kuperkenalkan. Kalau tidak, aku akan dijodohkan dengan anak kenalannya. *** Sengatan mentari yang sangat terik memaksaku untuk buru-buru memasukkan sepeda motor ke halaman rumah kontrakanku. Bergegas aku kembali untuk menutup pintu pagar yang tadi kutendang begitu saja. Dengan kasar kupungut sehelai sobekan koran yang mengganjal di bawah pagar. Baru saja ingin membuangnya ke tong sampah, saat itulah mataku menangkap tulisan yang tertera di sebuah kolom. Kubaca dengan cermat, kemudian kubawa potongan koran tersebut ke dalam rumah. Aku bingung. Mungkin saja ini ulah orang-orang iseng. Akan tetapi ultimatum Mama yang tenggang waktunya tinggal dua pekan lagi, memaksaku untuk berfikir ulang. Kutimang-timang koran yang sangat kotor dan mulai berwarna kekuningan itu. Kukibas-kibaskan agar bekas tapak sepatu diatasnya bisa berkurang. Kemudian kubaca kembali tulisan di dalamnya. Sebuah kolom Biro jodoh yang menamai dirinya Malaikat Cinta. Dan dari sekian banyak nama yang mempromosikan diri, hanya satu yang membuatku tertarik : Jeremy Pram/ 27 tahun/ Masinis KA/ Lajang/ 085211111111 Dari dulu aku paling tidak tertarik dengan yang namanya layanan biro jodoh. Menurutku para peminatnya hanyalah manusia-manusia yang tidak menghargai cinta sehingga menyerahkan

urusan paling sensitiv tersebut kepada pihak lain. Tapi kali ini semua prinsip itu serasa menguap begitu saja dari otakku. Ancaman Mama terlalu mengerikan. Aku tidak mau jika harus dijodohkan dengan anak kenalan Mama. Aku dan Mama kan sudah berbeda generasi, jadi kriteria pilihan Mama pasti sangat berbeda dengan kriteria pria impianku. Lagipula kalau aku tidak menyukai pria yang ada di biro jodoh ini, aku bisa segera mengakhiri hubungan. Anggap saja dia hanya pacar pinjaman yang akan kugunakan untuk menghadapi kedatangan Mama. Iseng, kuraih ponselku dari dalam ransel, kemudian menekan nomor ponsel Jeremy Pram yang tertera di koran. Aku sedikit deg-degan menunggu sambungan telefon. Beberapa detik kemudian, sebuah suara berat dan agak serak menggema. Aduh..! Ringisnya, di tengah suara yang hingar bingar. Halo. Sapaku bingung mendengar ucapannya. Eh, halo. Sorry ini dengan siapa ya? Tanyanya. Kini sekitarnya sudah tenang, tak terdengar lagi keramaian sebelumnya. Saya Pelangi, saya lihat nama dan nomor kamu di kolom Malaikat Cinta di surat kabar lokal. Ucapku agak ragu. Wah, gak nyangka ternyata ada yang tertarik juga sama kolom itu. Padahal saya aja udah hampir lupa tuh. Serunya sebelum kemudian memperdengarkan tawanya yang renyah ke telingaku. Maaf ya kalau saya ganggu. Kamu lagi sibuk ya? Tadi kok berisik banget? Kuberanikan diri untuk mulai bertanya. Tadi saya emang lagi di stasiun kereta, tapi sekarang udah nggak. Kamu juga gak ngeganggu kok, saya lagi libur. Liburan panjang. Sekali lagi cowok yang belum kukenal itu menghadiahiku tawanya yang entah kenapa langsung kusukai. Mungkin karena sama-sama jomblo dalam waktu yang lama, aku dan Jeremy langsung cepat akrab. Dia ternyata seorang yang cerdas dan up to date. Dia selalu bisa mengimbangi topik obrolan yang kulahirkan. Besoknya selepas makan malam, kuputuskan untuk menelefon Jeremy lagi. Aduh kepalaku. Ringisnya lirih. Jeremy, kamu kenapa? Sakit ya? Berondongku sedikit khawatir. Diam beberapa detik hingga kemudian dia menjawab. Sorry ya. aku memang sering merasa sakit kepala. Tapi sekarang udah baikan kok. Jawabnya. Kali ini suaranya sudah normal lagi. Beneran udah gak sakit lagi?

Iya, sakitnya udah hilang kok. Aku seneng deh dikhawatirin sama kamu. Godanya, tak ayal membuat wajahku merona. *** Seminggu sudah aku dan Jeremy saling berkomunikasi, walaupun bisa dibilang selalu aku yang menelfonnya lebih dahulu. Apakah dia tidak menyukaiku? Tapi kalau sedang ngobrol, dia sangat sering mengatakan kalau dia senang bisa ngobrol denganku. Dia juga tak jarang menggodaku, bahkan terkadang menggunakan kalimat-kalimat gombal yang garing. Tapi memang ada yang aneh. Jeremy tak pernah sekalipun membalas pesan singkat yang kukirimkan. Akan tetapi selalu ada setiap kali ku telefon. Apakah dia type laki-laki pelit yang terlalu perhitungan? Kucoba mengingat-ingat kembali setiap potongan percakapan kami. Entah kenapa aku sering merasa khawatir setiap kali mendengarnya meringis dan mengeluhkan sakit kepalanya. Katanya dia sering merasa pusing, namun selalu mengelak setiap kutanyakan tentang penyakitnya. Hm, mungkin Jeremy bukannya pelit, tapi dia harus menyisihkan sebagian besar uangnya untuk biaya pengobatan kepalanya. Batinku, menghibur diri sendiri. *** Aku mulai kelimpungan. Deadline sudah hampir habis. Tiga hari lagi Mama akan datang ke Palembang. Sudah sejak empat hari lalu aku mengajak Jeremy ketemuan, namun cowok itu selalu saja berdalih untuk menghindar. Sekarang aku sudah tidak perduli kalaupun dia tidak menyukaiku. Satu-satunya tujuanku kini hanyalah ingin minta bantuannya untuk pura-pura menjadi kekasihku di hadapan Mama. Kuraih ponselku, lalu menghubungi Jeremy untuk kesekian kalinya. Ya? Sapanya sedetik setelah nada pertama sambungan telefon. Gimana, bisa gak kita ketemuan? Please. Seruku tanpa basa-basi. Aduh! Jeritnya. Kamu kenapa? Sakit lagi? Jeremy, kayaknya penyakit kamu serius deh. Cecarku tanpa berusaha sedikitpun menutupi rasa cemasku terhadapnya. Hening beberapa detik. Pelangi, thanx banget ya kamu perhatian sama aku. Aku pasti gak akan pernah ngelupain kamu. Ucapnya. Suaranya sudah kembali tenang tak menunjukkan rasa sakit yang dideranya lagi. Ketemuannya gimana? Tak kuhiraukan ucapannya. Diam lagi, lebih lama. Sebenernya aku belum siap. Tapi karena kamu ngotot, biar aku ngalah aja. Besok jam 10 pagi kamu datang ke stasiun kereta. Kamu temuin Pak Dimo, biar beliau yang antarkan kamu ke tempatku. Paparnya, seraya menghela nafas panjang. Pelangi, aku sayang sama kamu. Imbuhnya lalu mematikan telefon sebelum aku sempat menjawab.

*** Bola mataku menyapu seluruh stasiun Kertapati, mencoba mencari sosok Pak Dimo seperti yang digambarkan oleh Jeremy. Kemudian tampak seorang pria separuh baya yang berkulit kecoklatan, tinggi dan buncit, sedang menyeberangi rel. Cepat-cepat kuhampiri laki-laki yang mengenakan topi pet berwarna hitam tersebut. Kuhembuskan nafas lega begitu kakiku berhasil menjajari langkahnya, dan ekor mataku sempat menangkap nametack-nya. Dimo Wardhani. Maaf mengganggu sebentar Pak Dimo. Saya Pelangi. Sapaku sembari menyodorkan telapak tangan. Lelaki itu menghentikan langkahnya, mengamatiku beberapa saat sebelum kemudian menyambut uluran tanganku. Ada yang bisa Bapak bantu? Tanyanya ramah. Saya ingin ketemu Jeremy pak. Dia suruh saya kemari, biar Bapak yang anterin saya ke tempatnya. Pintaku sopan. Kutatap wajah kukuh itu lamat-lamat karena hampir semenit lamanya beliau diam dan justru memandangku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kamu ada hubungan apa sama dia? Sudah kenal berapa lama? Kapan terakhir bertemu? Berondongnya membabi buta. Bingung dengan sikapnya, kututurkan dengan jujur mengenai pertemuanku dengan Jeremy. Ini keretanya nak. Ujar Pak Dimo lirih, menunjuk sebuah kereta berwarna putih. Lelaki itu mengusap wajahnya dengan gundah, seiring jiwaku yang hampir saja melompat meninggalkan ragaku. Tubuhku limbung, namun berhasil ditangkap oleh Pak Dimo. Dihadapanku teronggok sebuah kereta yang tinggal bangkai. Beberapa bagian sudah hancur dan lecet. Kaca-kacanya pun sudah pecah. Tak ada kata yang keluar dari bibirku, hanya tetesan-tetesan bening yang tak mau berhenti. Pun saat Pak Dimo membawaku ke kantornya dan memperlihatkan sebuah artikel dalam komputer usangnya. Kecelakaan Kereta Api penumpang Limex Sriwijaya jurusan Kertapati (Palembang)-Tanjung Karang (Bandarlampung) terjadi sekitar pukul 7 pagi (Sabtu, 16/08/2008) di daerah Kampung Baru, Kedaton, Bandarlampung. Kereta Api Limex Sriwijaya yang mengangkut penumpang dari arah Palembang itu menabrak lokomotif Kereta Api Batubara rangkaian panjang (Babaranjang) yang sedang berhenti di jalur rel. Entah apa sebabnya, kedua Kereta Api berada pada satu jalur rel yang sama. Sehingga tak dapat dihindarikan lagi kecelakaan. Kereta Api penumpang Limex Sriwijaya menabrak Kereta Api Babaranjang pagi itu. Menurut sumber Okezone, sebanyak 8 orang penumpang meninggal dunia. Salah satunya adalah seorang masinis Kereta Api penumpang Limex Sriwijaya. Dia meninggal dengan kondisi batok kepala hancur karena terjepit. Kuangkat tanganku sebagai isyarat agar Pak Dimo tidak melanjutkan ucapannya lagi. Kuseka air mataku yang semakin membanjir. Kini aku tahu penyakit apa yang bersarang di kepala Jeremy. Dan aku juga bisa paham mengapa dia tak pernah membalas pesan singkatku. Nak, Bapak cuma bisa pesan

satu hal sama kamu. Kalau ingin menghubungi seseorang yang kamu tahu lewat media, lebih baik kamu cek terlebih dahulu tanggal media tersebut. Jari Pak Dimo menunjuk potongan koran berisi kolom Malaikat Cinta yang memuat data Jeremy . Ternyata disudut kanan atas surat kabar tersebut tertera tanggal 02 Maret 2008. Tanggal yang sama sekali tak kuperhatikan sebelum menghubungi Jeremy. Dan itu sudah hampir tiga tahun berselang. Kini sudah tahun 2011. Keesokan harinya, aku kembali lagi ke stasiun Kertapati. Kali ini aku membawa kembang untuk kutaburkan di bangkai kereta bekas milik Jeremy. Hampir saja aku jatuh cinta padamu Jeremy. Andai kamu tahu betapa bahagianya aku saat kemarin di telefon kamu bilang kalau kamu sayang aku. Tapi sekarang dunia kita sudah berbeda. Aku harap kamu bisa menemukan jodohmu di alam sana. Kekasih abadi, yang takkan terpisahkan lagi oleh kematian. Mungkin aku memang sudah ditakdirkan Tuhan untuk jomblo seumur hidup. Sepertinya dewa cintaku sedang tertidur lelap. Dan mungkin aku harus pasrah dengan pria pilihan Mama. Bathinku miris. Pernah suatu kali aku kangen pada Jeremy, iseng kuhubungi nomor ponselnya. Namun yang terdengar hanya suara orang asing. Maaf, nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan!

...DI ATAS SAJADAH CINTA...

KOTA KUFAH terang oleh sinar purnama. Semilir angin yang bertiup dari utara membawa hawa sejuk. Sebagian rumah telah menutup pintu dan jendelanya. Namun geliat hidup kota Kufah masih terasa. Di serambi masjid Kufah, seorang pemuda berdiri tegap menghadap kiblat. Kedua matanya memandang teguh ke tempat sujud. Bibirnya bergetar melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Hati dan seluruh gelegak jiwanya menyatu dengan Tuhan, Pencipta alam semesta. Orang-orang memanggilnya Zahid atau Si Ahli Zuhud, karena kezuhudannya meskipun ia masih muda. Dia dikenal masyarakat sebagai pemuda yang paling tampan dan paling mencintai masjid di kota Kufah pada masanya. Sebagian besar waktunya ia habiskan di dalam masjid, untuk ibadah dan menuntut ilmu pada ulama terkemuka kota Kufah. Saat itu masjid adalah pusat peradaban, pusat pendidikan, pusat informasi dan pusat perhatian. Pemuda itu terus larut dalam samudera ayat Ilahi. Setiap kali sampai pada ayat-ayat azab, tubuh pemuda itu bergetar hebat. Air matanya mengalir deras. Neraka bagaikan menyala-nyala dihadapannya. Namun jika ia sampai pada ayat-ayat nikmat dan surga, embun sejuk dari langit terasa bagai mengguyur sekujur tubuhnya. Ia merasakan kesejukan dan kebahagiaan. Ia bagai mencium aroma wangi para bidadari yang suci. Tatkala sampai pada surat Asy Syams, ia menangis, fa alhamaha fujuuraha wa taqwaaha. qad aflaha man zakkaaha. wa qad khaaba man dassaaha (maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaan, sesungguhnya, beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya )

Hatinya bertanya-tanya. Apakah dia termasuk golongan yang mensucikan jiwanya. Ataukah golongan yang mengotori jiwanya? Dia termasuk golongan yang beruntung, ataukah yang merugi? Ayat itu ia ulang berkali-kali. Hatinya bergetar hebat. Tubuhnya berguncang. Akhirnya ia pingsan. *** Sementara itu, di pinggir kota tampak sebuah rumah mewah bagai istana. Lampu-lampu yang menyala dari kejauhan tampak berkerlap-kerlip bagai bintang gemintang. Rumah itu milik seorang saudagar kaya yang memiliki kebun kurma yang luas dan hewan ternak yang tak terhitung jumlahnya. Dalam salah satu kamarnya, tampak seorang gadis jelita sedang menari-nari riang gembira. Wajahnya yang putih susu tampak kemerahan terkena sinar yang terpancar bagai tiga lentera yang menerangi ruangan itu. Kecantikannya sungguh memesona. Gadis itu terus menari sambil mendendangkan syair-syair cinta, in kuntu asyiqatul lail fa kasi musyriqun bi dhau wal hubb al wariq (jika aku pencinta malam maka gelasku memancarkan cahaya dan cinta yang mekar ) *** Gadis itu terus menari-nari dengan riangnya. Hatinya berbunga-bunga. Di ruangan tengah, kedua orangtuanya menyungging senyum mendengar syair yang didendangkan putrinya. Sang ibu berkata, Abu Afirah, putri kita sudah menginjak dewasa. Kau dengarkanlah baik-baik syair-syair yang ia dendangkan. Ya, itu syair-syair cinta. Memang sudah saatnya dia menikah. Kebetulan tadi siang di pasar aku berjumpa dengan Abu Yasir. Dia melamar Afirah untuk putranya, Yasir. Bagaimana, kau terima atau? Ya jelas langsung aku terima. Dia kan masih kerabat sendiri dan kita banyak berhutang budi padanya. Dialah yang dulu menolong kita waktu kesusahan. Di samping itu Yasir itu gagah dan tampan.

Tapi bukankah lebih baik kalau minta pendapat Afirah dulu? Tak perlu! Kita tidak ada pilihan kecuali menerima pinangan ayah Yasir. Pemuda yang paling cocok untuk Afirah adalah Yasir. Tapi, engkau tentu tahu bahwa Yasir itu pemuda yang tidak baik. Ah, itu gampang. Nanti jika sudah beristri Afirah, dia pasti juga akan tobat! Yang penting dia kaya raya. *** Pada saat yang sama, di sebuah tenda mewah, tak jauh dari pasar Kufah. Seorang pemuda tampan dikelilingi oleh teman-temannya. Tak jauh darinya seorang penari melenggak lenggokan tubuhnya diiringi suara gendang dan seruling. Ayo bangun, Yasir. Penari itu mengerlingkan matanya padamu! bisik temannya. Bebenarkah? Benar. Ayo cepatlah. Dia penari tercantik kota ini. Jangan kau sia-siakan kesempatan ini, Yasir! Baiklah. Bersenang-senang dengannya memang impianku. Yasir lalu bangkit dari duduknya dan beranjak menghampiri sang penari. Sang penari mengulurkan tangan kanannya dan Yasir menyambutnya. Keduanya lalu menari-nari diiringi irama seruling dan gendang. Keduanya benar-benar hanyut dalam kelenaan. Dengan gerakan mesra penari itu membisikkan sesuatu ketelinga Yasir, Apakah Anda punya waktu malam ini bersamaku? Yasir tersenyum dan menganggukan kepalanya. Keduanya terus menari dan menari. Suara gendang memecah hati. Irama seruling melengking-lengking. Aroma arak menyengat nurani. Hati dan pikiran jadi mati. *** Keesokan harinya. Usai shalat dhuha, Zahid meninggalkan masjid menuju ke pinggir kota. Ia hendak menjenguk saudaranya yang sakit. Ia berjalan dengan hati terus berzikir membaca ayat-ayat suci Al-Quran. Ia sempatkan ke pasar sebentar untuk membeli anggur dan apel buat saudaranya yang sakit. Zahid berjalan melewati kebun kurma yang luas. Saudaranya pernah bercerita bahwa kebun itu milik saudagar kaya, Abu Afirah. Ia terus melangkah menapaki jalan yang membelah kebun kurma itu. Tibatiba dari kejauhan ia melihat titik hitam. Ia terus berjalan dan titik hitam itu semakin membesar dan

mendekat. Matanya lalu menangkap di kejauhan sana perlahan bayangan itu menjadi seorang sedang menunggang kuda. Lalu sayup-sayup telinganya menangkap suara, Toloong! Toloong!! Suara itu datang dari arah penunggang kuda yang ada jauh di depannya. Ia menghentikan langkahnya. Penunggang kuda itu semakin jelas. Toloong! Toloong!! Suara itu semakin jelas terdengar. Suara seorang perempuan. Dan matanya dengan jelas bisa menangkap penunggang kuda itu adalah seorang perempuan. Kuda itu berlari kencang. Toloong! Toloong hentikan kudaku ini! Ia tidak bisa dikendalikan! Mendengar itu Zahid tegang. Apa yang harus ia perbuat. Sementara kuda itu semakin dekat dan tinggal beberapa belas meter di depannya. Cepat-cepat ia menenangkan diri dan membaca shalawat. Ia berdiri tegap di tengah jalan. Tatkala kuda itu sudah sangat dekat ia mengangkat tangan kanannya dan berkata keras, Hai kuda makhluk Allah, berhentilah dengan izin Allah! Bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kuda itu meringkik dan berhenti seketika. Perempuan yang ada dipunggungnya terpelanting jatuh. Perempuan itu mengaduh. Zahid mendekati perempuan itu dan menyapanya, Assalamualaiki. Kau tidak apa-apa? Perempuan itu mengaduh. Mukanya tertutup cadar hitam. Dua matanya yang bening menatap Zahid. Dengan sedikit merintih ia menjawab pelan, Alhamdulillah, tidak apa-apa. Hanya saja tangan kananku sakit sekali. Mungkin terkilir saat jatuh. Syukurlah kalau begitu. Dua mata bening di balik cadar itu terus memandangi wajah tampan Zahid. Menyadari hal itu Zahid menundukkan pandangannya ke tanah. Perempuan itu perlahan bangkit. Tanpa sepengetahuan Zahid, ia membuka cadarnya. Dan tampaklah wajah cantik nan memesona, Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama Tuan, dari mana dan mau ke mana Tuan? Zahid mengangkat mukanya. Tak ayal matanya menatap wajah putih bersih memesona. Hatinya bergetar hebat. Syaraf dan ototnya terasa dingin semua. Inilah untuk pertama kalinya ia menatap wajah gadis jelita dari jarak yang sangat dekat. Sesaat lamanya keduanya beradu pandang. Sang gadis terpesona oleh ketampanan Zahid, sementara gemuruh hati Zahid tak kalah hebatnya. Gadis itu

tersenyum dengan pipi merah merona, Zahid tersadar, ia cepat-cepat menundukkan kepalanya. Innalillah. Astagfirullah, gemuruh hatinya. Namaku Zahid, aku dari masjid mau mengunjungi saudaraku yang sakit. Jadi, kaukah Zahid yang sering dibicarakan orang itu? Yang hidupnya cuma di dalam masjid? Tak tahulah. Itu mungkin Zahid yang lain. kata Zahid sambil membalikkan badan. Ia lalu melangkah. Tunggu dulu Tuan Zahid! Kenapa tergesa-gesa? Kau mau kemana? Perbincangan kita belum selesai! Aku mau melanjutkan perjalananku! Tiba-tiba gadis itu berlari dan berdiri di hadapan Zahid. Terang saja Zahid gelagapan. Hatinya bergetar hebat menatap aura kecantikan gadis yang ada di depannya. Seumur hidup ia belum pernah menghadapi situasi seperti ini. Tuan aku hanya mau bilang, namaku Afirah. Kebun ini milik ayahku. Dan rumahku ada di sebelah selatan kebun ini. Jika kau mau silakan datang ke rumahku. Ayah pasti akan senang dengan kehadiranmu. Dan sebagai ucapan terima kasih aku mau menghadiahkan ini. Gadis itu lalu mengulurkan tangannya memberi sapu tangan hijau muda. Tidak usah. Terimalah, tidak apa-apa! Kalau tidak Tuan terima, aku tidak akan memberi jalan! Terpaksa Zahid menerima sapu tangan itu. Gadis itu lalu minggir sambil menutup kembali mukanya dengan cadar. Zahid melangkahkan kedua kakinya melanjutkan perjalanan. *** Saat malam datang membentangkan jubah hitamnya, kota Kufah kembali diterangi sinar rembulan. Angin sejuk dari utara semilir mengalir. Afirah terpekur di kamarnya. Matanya berkaca-kaca. Hatinya basah. Pikirannya bingung. Apa yang menimpa dirinya. Sejak kejadian tadi pagi di kebun kurma hatinya terasa gundah. Wajah bersih Zahid bagai tak hilang dari pelupuk matanya. Pandangan matanya yang teduh menunduk membuat hatinya sedemikian terpikat. Pembicaraan orang-orang tentang kesalehan seorang pemuda di tengah kota bernama Zahid semakin membuat hatinya tertawan. Tadi pagi ia menatap wajahnya dan mendengarkan tutur suaranya. Ia juga menyaksikan wibawanya. Tiba-tiba air matanya mengalir deras. Hatinya merasakan aliran kesejukan dan kegembiraan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam hati ia berkata,

Inikah cinta? Beginikah rasanya? Terasa hangat mengaliri syaraf. Juga terasa sejuk di dalam hati. Ya Rabbi, tak aku pungkiri aku jatuh hati pada hamba-Mu yang bernama Zahid. Dan inilah untuk pertama kalinya aku terpesona pada seorang pemuda. Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta. Ya Rabbi, izinkanlah aku mencintainya. Air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Ia teringat sapu tangan yang ia berikan pada Zahid. Tiba-tiba ia tersenyum, Ah sapu tanganku ada padanya. Ia pasti juga mencintaiku. Suatu hari ia akan datang kemari. Hatinya berbunga-bunga. Wajah yang tampan bercahaya dan bermata teduh itu hadir di pelupuk matanya. *** Sementara itu di dalam masjid Kufah tampak Zahid yang sedang menangis di sebelah kanan mimbar. Ia menangisi hilangnya kekhusyukan hatinya dalam shalat. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Sejak ia bertemu dengan Afirah di kebun kurma tadi pagi ia tidak bisa mengendalikan gelora hatinya. Aura kecantikan Afirah bercokol dan mengakar sedemikian kuat dalam relung-relung hatinya. Aura itu selalu melintas dalam shalat, baca Al-Quran dan dalam apa saja yang ia kerjakan. Ia telah mencoba berulang kali menepis jauh-jauh aura pesona Afirah dengan melakukan shalat sekhusyu-khusyu-nya namun usaha itu sia-sia. Ilahi, kasihanilah hamba-Mu yang lemah ini. Engkau Mahatahu atas apa yang menimpa diriku. Aku tak ingin kehilangan cinta-Mu. Namun Engkau juga tahu, hatiku ini tak mampu mengusir pesona kecantikan seorang makhluk yang Engkau ciptakan. Saat ini hamba sangat lemah berhadapan dengan daya tarik wajah dan suaranya Ilahi, berilah padaku cawan kesejukan untuk meletakkan embun-embun cinta yang menetes-netes dalam dinding hatiku ini. Ilahi, tuntunlah langkahku pada garis takdir yang paling Engkau ridhai. Aku serahkan hidup matiku untuk-Mu. Isak Zahid mengharu biru pada Tuhan Sang Pencipta hati, cinta, dan segala keindahan semesta. Zahid terus meratap dan mengiba. Hatinya yang dipenuhi gelora cinta terus ia paksa untuk menepis noda-noda nafsu. Anehnya, semakin ia meratap embun-embun cinta itu semakin deras mengalir. Rasa cintanya pada Tuhan. Rasa takut akan azab-Nya. Rasa cinta dan rindu-Nya pada Afirah. Dan rasa tidak ingin kehilangannya. Semua bercampur dan mengalir sedemikian hebat dalam relung hatinya. Dalam puncak munajatnya ia pingsan. Menjelang subuh, ia terbangun. Ia tersentak kaget. Ia belom shalat tahajjud. Beberapa orang tampak tengah asyik beribadah bercengkerama dengan Tuhannya. Ia menangis, ia menyesal. Biasanya ia sudah membaca dua juz dalam shalatnya. Ilahi, jangan kau gantikan bidadariku di surga dengan bidadari dunia. Ilahi, hamba lemah maka berilah kekuatan! Ia lalu bangkit, wudhu, dan shalat tahajjud. Di dalam sujudnya ia berdoa,

Ilahi, hamba mohon ridha-Mu dan surga. Amin. Ilahi lindungi hamba dari murkamu dan neraka. Amin. Ilahi, jika boleh hamba titipkan rasa cinta hamba pada Afirah pada-Mu, hamba terlalu lemah untuk menanggung-Nya. Amin. Ilahi, hamba memohon ampunan-Mu, rahmat-Mu, cinta-Mu, dan ridhaMu. Amin. *** Pagi hari, usai shalat dhuha Zahid berjalan ke arah pinggir kota. Tujuannya jelas yaitu melamar Afirah. Hatinya mantap untuk melamarnya. Di sana ia disambut dengan baik oleh kedua orangtua Afirah. Mereka sangat senang dengan kunjungan Zahid yang sudah terkenal ketakwaannya di seantero penjuru kota. Afiah keluar sekejab untuk membawa minuman lalu kembali ke dalam. Dari balik tirai ia mendengarkan dengan seksama pembicaraan Zahid dengan ayahnya. Zahid mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu melamar Afirah. Sang ayah diam sesaat. Ia mengambil nafas panjang. Sementara Afirah menanti dengan seksama jawaban ayahnya. Keheningan mencekam sesaat lamanya. Zahid menundukkan kepala ia pasrah dengan jawaban yang akan diterimanya. Lalu terdengarlah jawaban ayah Afirah, Anakku Zahid, kau datang terlambat. Maafkan aku, Afirah sudah dilamar Abu Yasir untuk putranya Yasir beberapa hari yang lalu, dan aku telah menerimanya. Zahid hanya mampu menganggukan kepala. Ia sudah mengerti dengan baik apa yang didengarnya. Ia tidak bisa menyembunyikan irisan kepedihan hatinya. Ia mohon diri dengan mata berkaca-kaca. Sementara Afirah, lebih tragis keadaannya. Jantungnya nyaris pecah mendengarnya. Kedua kakinya seperti lumpuh seketika. Ia pun pingsan saat itu juga. *** Zahid kembali ke masjid dengan kesedihan tak terkira. Keimanan dan ketakwaan Zahid ternyata tidak mampu mengusir rasa cintanya pada Afirah. Apa yang ia dengar dari ayah Afirah membuat nestapa jiwanya. Ia pun jatuh sakit. Suhu badannya sangat panas. Berkali-kali ia pingsan. Ketika keadaannya kritis seorang jamaah membawa dan merawatnya di rumahnya. Ia sering mengigau. Dari bibirnya terucap kalimat tasbih, tahlil, istigfhar dan Afirah. Kabar tentang derita yang dialami Zahid ini tersebar ke seantero kota Kufah. Angin pun meniupkan kabar ini ke telinga Afirah. Rasa cinta Afirah yang tak kalah besarnya membuatnya menulis sebuah surat pendek, Kepada Zahid, Assalamualaikum Aku telah mendengar betapa dalam rasa cintamu padaku. Rasa cinta itulah yang membuatmu sakit dan menderita saat ini. Aku tahu kau selalu menyebut diriku dalam mimpi dan sadarmu. Tak bisa kuingkari, aku pun mengalami hal yang sama. Kaulah cintaku yang pertama. Dan kuingin kaulah pendamping hidupku selama-lamanya. Zahid,

Kalau kau mau. Aku tawarkan dua hal padamu untuk mengobati rasa haus kita berdua. Pertama, aku akan datang ke tempatmu dan kita bisa memadu cinta. Atau kau datanglah ke kamarku, akan aku tunjukkan jalan dan waktunya. Wassalam Afirah =============================================================== Surat itu ia titipkan pada seorang pembantu setianya yang bisa dipercaya. Ia berpesan agar surat itu langsung sampai ke tangan Zahid. Tidak boleh ada orang ketiga yang membacanya. Dan meminta jawaban Zahid saat itu juga. Hari itu juga surat Afirah sampai ke tangan Zahid. Dengan hati berbunga-bunga Zahid menerima surat itu dan membacanya. Setelah tahu isinya seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ia menarik nafas panjang dan beristighfar sebanyak-banyaknya. Dengan berlinang air mata ia menulis untuk Afirah : Kepada Afirah, Salamullahialaiki, Benar aku sangat mencintaimu. Namun sakit dan deritaku ini tidaklah semata-mata karena rasa cintaku padamu. Sakitku ini karena aku menginginkan sebuah cinta suci yang mendatangkan pahala dan diridhai Allah Azza Wa Jalla. Inilah yang kudamba. Dan aku ingin mendamba yang sama. Bukan sebuah cinta yang menyeret kepada kenistaan dosa dan murka-Nya. Afirah, Kedua tawaranmu itu tak ada yang kuterima. Aku ingin mengobati kehausan jiwa ini dengan secangkir air cinta dari surga. Bukan air timah dari neraka. Afirah, Inni akhaafu in ashaitu Rabbi adzaaba yaumin adhim! ( Sesungguhnya aku takut akan siksa hari yang besar jika aku durhaka pada Rabb-ku. Az Zumar : 13 ) Afirah, Jika kita terus bertakwa. Allah akan memberikan jalan keluar. Tak ada yang bisa aku lakukan saat ini kecuali menangis pada-Nya. Tidak mudah meraih cinta berbuah pahala. Namun aku sangat yakin dengan firmannya : Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah buat wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (yaitu surga). Karena aku ingin mendapatkan seorang bidadari yang suci dan baik maka aku akan berusaha kesucian dan kebaikan. Selanjutnya Allahlah yang menentukan. Afirah, Bersama surat ini aku sertakan sorbanku, semoga bisa jadi pelipur lara dan rindumu. Hanya kepada Allah kita serahkan hidup dan mati kita. Wassalam, Zahid ===============================================================

Begitu membaca jawaban Zahid itu Afirah menangis. Ia menangis bukan karena kecewa tapi menangis karena menemukan sesuatu yang sangat berharga, yaitu hidayah. Pertemuan dan percintaannya dengan seorang pemuda saleh bernama Zahid itu telah mengubah jalan hidupnya. Sejak itu ia menanggalkan semua gaya hidupnya yang glamor. Ia berpaling dari dunia dan menghadapkan wajahnya sepenuhnya untuk akhirat. Sorban putih pemberian Zahid ia jadikan sajadah, tempat dimana ia bersujud, dan menangis di tengah malam memohon ampunan dan rahmat Allah SWT. Siang ia puasa malam ia habiskan dengan bermunajat pada Tuhannya. Di atas sajadah putih ia menemukan cinta yang lebih agung dan lebih indah, yaitu cinta kepada Allah SWT. Hal yang sama juga dilakukan Zahid di masjid Kufah. Keduanya benar-benar larut dalam samudera cinta kepada Allah SWT. Allah Maha Rahman dan Rahim. Beberapa bulan kemudian Zahid menerima sepucuk surat dari Afirah : Kepada Zahid, Assalamualaikum, Segala puji bagi Allah, Dialah Tuhan yang memberi jalan keluar hamba-Nya yang bertakwa. Hari ini ayahku memutuskan tali pertunanganku dengan Yasir. Beliau telah terbuka hatinya. Cepatlah kau datang melamarku. Dan kita laksanakan pernikahan mengikuti sunnah Rasululullah SAW. Secepatnya. Wassalam, Afirah =============================================================== Seketika itu Zahid sujud syukur di mihrab masjid Kufah. Bunga-bunga cinta bermekaran dalam hatinya. Tiada henti bibirnya mengucapkan hamdalah.

CERPEN CINTA ROMANTIS : Akhirnya, Kini Aku Mengerti


Namaku Shelli, siswa kelas X SMA yang masih terlalu dini mengenal istilah cinta. Aku mengenal dengan istilah cinta saat duduk di bangku kelas tiga SMP. Belum terlalu paham tentang cinta, sebegitu mudahnya aku mempermainkan cinta saat itu, tanpa sedikitpun memikirkan perasaan pasanganku. Awal masuk SMA, aku menjalin suatu hubungan dengan kakak kelasku. Aku kelas X, sedangkan dia kelas XII sekali lagi aku hanya bermain-main dengan cinta tanpa serius memikirkan perasaannya yang telah tersakiti karena kelakuanku. Putus dari dia aku mengenal dengan sesosok lelaki muda, kebetulan dia juga kakak kelasku, tepatnya kelas XI, Riko namanya. Sebelumnya aku benar tidak tertarik sama sekali menjalin hubungan lagi, bosanlah istilahnya, tak ada yang menarik saat ku menjalin hubungan. Awal perkenalan kami juga tidak begitu menarik, dan aku pun tak menganggap Riko sama sekali. Tapi rasa itu langsung berbeda ketika aku pertama kali melihat dirinya.

Shel, itu lo yang namanya Riko gertak Dani, salah seorang temanku yang ketika itu kami sedang duduk santai didepan kopsis sambil berbincang. Aku langsung menoleh ke arah lelaki muda itu, dan itulah awal aku tahu Riko secara langsung. Benarkah itu Riko? tanyaku kepada Dani tanpa memalingkan pandanganku ke arah Riko. Iya benar, itu Riko ! Jawab Dani sambil memakan jajan yang baru saja ia beli. Gila, Benar-benar gila. Ganteng banget ternyata gumamku di dalam hati dan masih terpesona melihatnya. Sesampainya di rumah, aku pun tak henti-henti kepikiran wajah si Riko. Kenapa ini, aku tak bisa berhenti memikirkan lelaki itu. Biasanya aku juga tak pernah seheboh ini pikirku sangat aneh sambil berkali-kali aku memandangi handphone berharap ada SMS masuk dari Riko. Sungguh aneh, yang tadinya aku tak tertarik sama sekali, sekarang malah berharap lebih sama Riko. Ada SMS ! teriakku. Langsung ku buka SMS itu dan benar, itu SMS dari Riko. Akupun sangat kegirangan. Itulah awal mula aku bisa serius menjalin hubungan dengan pasangan, sungguh berbeda dengan pasangan-pasanganku sebelumnya. Dan inilah waktu yang aku tunggu, waktu dimana aku dan Riko jalan bareng. Sebelumnya kami memutuskan untuk nonton, tapi berhubung waktu telah terlewatkan, kami akhirnya menuju ke sebuah tempat yang begitu indah. Udara yang begitu sejuk, suasana tenang, burung-burung bernyanyi, rumput hijau menari dan genangan air yang membentang luas adalah sebagian kecil dari pancaran indah tempat ini. Di tempat ini kami saling bercerita tentang kehidupan kami, tak terasa pula sore telah datang menjemput. Aku boleh ngomong serius sama adek ? tanya Riko begitu serius memandangku. Boleh kak, silakan ! dengan sedikit gugup aku menjawab pertanyaannya. Tiba-tiba Riko menggenggam tanganku. duuh gila, mau ngapain ni anak gumamku dalam hati. Maukah adek jadi pacarku ? Seketika perasaanku langsung campur aduk antara senang dan bingung. Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu sekarang kak. Kita juga belum lama kenal Jawabku menutupi rasa bingung yang sedang bersemayam di otak dan hati. Tapi aku sudah menganggapmu jadi pacar dek dari dulu bujuk Riko seperti mengharapkan jawaban berbeda dariku. Sungguh tak kuasa aku melihat pandangannya, ingin memalingkan pandangan darinya, tapi kepala ini bagai ditahan oleh batu besar. Ya sudah, aku mau Benarkah ? Terimakasih adek Sambut Riko dengan muka kegirangan.

Akhirnya aku telah mengerti indahnya menjalin hubungan waktu bersama Riko. Apakah ini sesuatu yang dinamakan cinta, sesuatu yang dulu selalu aku anggap membosankan dan tidak mempunyai arti sama sekali. Awalnya aku begitu bahagia, aku selalu membanggakannya, tapi tidaklah mudah menjalani hubungan dengan Riko. Banyak kabar burung tentang Riko, entah karena Riko adalah salah seorang anak yang dikenal di sekolah, atau karena dia mempunyai banyak mantan pacar di sekolah, yang pasti kabar itu sungguh tak bersahabat di telingaku saat itu, Banyak kabar burung yang mengatakan bahwa Riko itu playboy, Riko itu anak yang tidak baik, dan sebagainya. Berbagai cara aku lakukan untuk selalu percaya pada Riko, karena aku yakin Riko yang aku kenal bukanlah tipe orang yang seperti itu. Begitu juga dengan Riko, dia menyarankanku untuk tidak percaya kepada kabar burung tentang dirinya. Suatu hari, ketika kenaikan kelas. Aku kebetulan sekelas dengan salah seorang yang telah mengenal Riko dari SMP, dia adalah Sinta, sahabat dari dua mantan pacar Riko. Hai ! sambutku padanya. Hai juga, kamu pacarnya Riko yang baru ya? Aku hanya membalasnya dengan senyum, walaupun pertanyaan Sinta begitu biasa, tentu aku merasa sedikit tersinggung. Sinta adalah tipe orang yang mudah bergaul, walaupun kami baru kenal, tapi dia sudah sangat akrab denganku, Sinta pun tidak segan untuk berbicara tentang masa lalu Riko kepadaku. Aku begitu terkejut ketika Sinta berbicara bahwa Riko adalah seorang yang playboy, dan salah satu mantannya itu adalah wanita yang tidak baik. Sungguh berbanding terbalik dengan semua cerita Riko yang sesungguhnya. Saat itu kondisi otak dan hatiku sungguh tidak stabil, aku bingung harus percaya sama siapa lagi, apakah aku harus percaya sama teman-temanku yang jelas-jelas tidak hanya seorang yang menyatakan bahwa Riko tidak sebaik yang aku kira atau apakah aku harus percaya sama Riko dan mempercayai bahwa tidak mungkin orang sebaik Riko mempunyai sifat seperti itu. Sungguh hatiku tak tenang dengan semua ini. Ini adalah puncak rasa ragu-raguku terhadap Riko, tapi untuk kesekian kalinya, Riko bisa menenangkanku dan akhirnya aku tahu harus percaya pada siapa waktu itu. Keesokan hari setelah aku berhasil menenangkan pikiranku ada SMS dari seorang sahabatku, Candra. Kamu masih pacaran dengan Riko ? bunyi SMS dari Candra. Iya, kenapa ? Balasku Nanti kerumahku ya, ada yang mau aku omongin, penting !. Melihat balasan dari Candra, aku merasa terkejut. Tidak seperti biasanya dia bilang seperti itu dan mengurusi urusanku dengan pacarku. Tanpa pikir panjang aku langsung memanasi motor, dan bersiap ke rumah Candra tanpa meminta izin pada Riko. Sesampainya disana ternyata tidak hanya ada Candra seorang, tetapi Ayu juga

ada disana. Mereka berdua adalah sahabatku dari kelas satu SMP. Aku terkejut melihat wajah mereka yang begitu serius memandangiku. Ada apa emangnya, wajah kalian serius banget seperti menghadapi ulangan fisika aku berusaha membuka perbincangan. Kamu masih pacaran dengan Riko ? tanya Ayu dengan penasaran. Masih, memangnya kenapa sih ? kalian membuatku penasaran dari tadi Sebaiknya kamu putusin saja deh Riko itu ujar Candra. loh, kenapa sih ? kok tiba-tiba kalian berbicara seperti itu ? biasanya kalian mendukungku jika aku menjalin hubungan sama orang ? Iya, kami mendukung jika kamu bahagia, tapi apa kenyataanya ? Aku bahagia kok, kalian tahu sendirikan kalau aku bahagia sudahlah shel, kamu tidak perlu berbohong pada kita Aku mencoba menutupi perasaanku yang dari kamarin tak menentu, tapi apa daya, mereka telah lama mengenalku, aku tak bisa berbohong pada mereka, akhirnya aku terus terang dengan semua yang terjadi selama ini. Benar ternyata ucap Candra mematahkan ceritaku. Benar kenapa Candra ? Benar apa yang telah diceritakan Tika kepada kami Tika adalah mantan pacar dari Riko, yang kebetulan satu kelas dengan Candra maupun Ayu ketika kenaikan kelas XI. Candra mulai bercerita kepadaku tentang semua cerita yang telah diceritakan Tika kepada Ayu maupun Candra. Intinya, Riko selingkuh dengan Tika, seketika aku tak kuasa menahan air mata, kenyataan ini begitu menyakitkan bagiku. Selama ini orang yang ku percayai, orang yang ku banggakan ternyata mempunyai hati yang busuk, bahkan lebih busuk dari seekor kera. Emosiku sudah tak terkendali waktu itu, tanpa pikir panjang aku langsung mengambil keputusan untuk mengakhiri hubunganku sama Riko mulai detik ini. Awalnya Riko tak terima dengan keputusanku ini, tapi apa daya jika aku juga tak bisa percaya lagi sama Riko. Akhirnya dengan berat hati dia menerima keputusanku ini. Bel pulang sekolah berdenting, ketika itu sebagian besar anak menyambutnya dengan senang, tapi tidak denganku. Riko menungguku di depan sekolah, pada waktu itu aku tak menganggapnya sama sekali, aku sudah terlanjur membencinya, rasa cinta yang aku harap berawal dan akan berakhir dengan kebahagiaan ternyata pudar ditengah jalan dengan alasan yang

sangat memalukan. Berkali-kali Riko meminta maaf, tapi kata maaf pun sulit terucap dari bibir ini. Adek, maafkan aku. Aku tahu aku salah, ijinkan aku untuk terakhir kali ini mengantarkan adek pulang dan aku akan terima keputusan adek selanjutnya Ucap Riko dengan raut wajah memelas. Jujur aku tak kuasa melihat raut wajah itu, aku ingin bisa memaafkan dan menerima dia kembali, tapi hati dan mulut ini sudah membeku untuk sebuah kata maaf terucapkan. Ketika itu pula aku berpikir, inilah saat yang tepat untuk melepaskannya, karena sudah beberapa hari ini Riko sama sekali tak pernah menyetujui keputusanku untuk mengakhiri hubunganku dengannya. Benar ? kamu bakalan terima keputusanku selanjutnya Iya adek, aku akan terima keputusan yang adek berikan Aku langsung menerima ajakan Riko mengantarkanku pulang untuk yang terakhir kalinya itu. Selama di jalan aku tak kuasa menahan air mata, hatiku begitu sakit apabila teringat perbuatannya selama ini. Riko berusaha menggenggam tanganku, tapi aku selalu menampiknya. Riko juga berusaha menenangkanku, tapi kata-katanya semakin membuatku tak kuasa menahan kesedihan. Aku mengerti aku salah selama ini, aku tidak bisa jadi yang terbaik bagi adek, aku telah mengkhianati adek, aku memang seseorang yang bodoh Ucapnya dengan sesekali memandangiku dari sepion motor mionya. Aku tak sanggup untuk menjawab semua kalimat yang terucap dari mulut Riko dan air mata ini semakin tak tertahan, berkali-kali aku berusaha mengusap air mata dari kedua bola mata ini, menutupi kesedihan yang sedang melanda diriku dan mencapai pada titik puncaknya. Aku masih bolehkan main ke rumah adek, masih bolehkan jalan sama adek, masih bolehkan memanggil adek dengan kata sayang sambil Riko meraih tanganku dan menggenggamnya. Lalu dia berkata sambil menatapku melalui sepion motornya Aku pesan sama adek, jaga diri adek baik-baik, jangan dengan mudah menerima orang yang sepertiku dalam hidup adek, itu tak pantas bagi orang sebaik adek dan itulah kalimat terakhir yang Riko ucapkan kepadaku. Sesampainya di rumah, ketika aku turun dari motornya, aku melihat kesedihan dan penyesalan dari kedua bola mata yang sebentar lagi meneteskan airnya. kesedihanku semakin tak tertahan, aku menangis, aku menyesal, dan aku baru sadar tentang arti cinta yang sesungguhnya. Disini aku terus berusaha berpikir positif atas kejadian ini. Aku yakin Tuhan tidak akan memberi cobaan apabila umatnya tidak mampu untuk menjalani dan keluar dari cobaan itu. Akhirnya, kini aku mengerti cinta itu bukanlah sesuatu yang hanya dapat dibuat mainan semata, akhirnya, kini aku mengerti cinta itu tidak hanya datang dari ketampanan atau kecantikan, dan akhirnya, kini aku mengerti tidaklah baik jika kita terlalu membanggakan pasangan kita karena cinta. Aku mengerti atau tidak ? ternyata cinta itu selamanya tak selamanya mendatangkan kebahagiaan dalam hidup ini, melainkan juga akan mendatangkan kesedihan yang begitu mendalam. (elf) **CERPEN CINTA ROMANTIS Akhirnya, Kini Aku Mengerti oleh Elfrida Chanda

CERPEN PERSAHABATAN : Pengorbanan Alice


Prrangggg . Gian melempar piring berisi makanan yang di berikan Alice padanya. Pecahan piring dan makanan berserakan di lantai. Alice mundur karena kaget. Apa pedulimu dengan ku?. Pergi!!! bentak Gian pada Alice yang membuatnya semakin kaget. Gi, aku tau ini berat, aku ngerti !! Tau apa kamu dengan perasaanku.Gian memotong kata-kata Alice.Gak ada satu pun yang ngerti gimana perasaanku sekarang. gak ada yang peduli denganku bahkan orangtuaku sendiri, dan kamu gak perlu repot-repot memperhatikan.Gian kalap. Alice benar-benar mundur kali ini, belum pernah dia melihat Gian seperti ini. Dia tau Gian sedang banyak masalah, tapi dia gak nyangka Gian bisa sekalap ini. gak ada gunanya memaksakan diri pikirnya, Gian mungkin butuh waktu sendiri. Setelah Alice pergi, Gian semakin kalap. Dia melempar semua barang-barang yang ada di kamarnya. Gian terduduk di antara barang-barang yang berserakan. Dia muak dengan semuanya. Kedua orang tuanya hanya sibuk dengan urusan mereka sendiri, jarang ada di rumah, dan kalau pun mereka pulang, maka mereka cuma bertengkar dan saling menyalahkan. Mereka sama sekali gak peduli dengan Gian, segala cara udah dilakukan Gian agar orang tuanya mau memperhatikannya, tapi tetap gak ada hasilnya. Bahkan ketika Gian hampir dikeluarkan dari sekolah karena memukuli temannya sampai harus masuk rumah sakit, orang tua Gian malah bertengkar dan saling melempar kesalahan. Gian merasa benar-benar putus asa. Dan terakhir yang membuat Gian makin tertekan adalah kenyataan bahwa ternyata Gian bukan anak kandung orang tuanya, dia cuma anak angkat, dan selama ini orangtuanya merahasiakan kenyataan itu. Gian gak sengaja mendengarnya waktu mereka bertengkar. Gian gak bisa terima keadaan ini, untuk apa harta yang melimpah, buat apa kehidupan yang mewah, kalau kenyataannya dia gak bahagia. Selama ini, cuma Alice yang selalu menemaninya, Alice adalah temannya dari kecil, sama Alice dia menumpahkan semua kekesalannya, tempat dia berbagi suka dan duka. Tapi sekarang Gian separti kehilangan kepercayaan, dia gak bisa percaya siapa pun lagi, baginya semua hanya purapura dia benci semuanya.

Alice datang besoknya, dia berharap Gian sudah tenang lagi. Tapi ternyata dia salah, Gian masih bersikap sama. Mau apa lagi kamu kesini? Apa kamu gak ngerti juga. Udahlah di dunia ini emang gak ada yang peduli sama aku, semua cuma pura-pura. Pergi sana! Dasar cewe gak tau diri. Aku gak mau liat muka kamu lagi!!! GIAN !!!alice benar-benar gak bisa percaya dengan apa yang didengarnya. Ya, cewe gak tau diri. Puas !?!?!!. sekarang pergi dari sini! Alice bagai disambar petir. Dia gak pernah nyangka Gian akan mengatakan kata-kata seperti itu. Alice berlari meninggalkan gian, dia gak bisa lagi nahan airmatanya. Dalam keadaan kalut gian memacu motornya dengan kecepatan tinggi, dia gak punya tujuan, dia Cuma ingin pergi.walaupun gak tau kemana. Sebuah benturan keras menghantam gian. Tubuh gian. Tubuh gian terlempar dari motornya,darah mengalir dari kepalanya.gian tidak tau lagi apa yang terjadi. Prrang . Gelas yang dipegang alice jatuh dari tanganya. Gian.katanya tanpa sadar. *** Gian terbaring di tempat tidurnya, kepalanya dibalut perban. Alice duduk di sebelah tempat tidur gian, sudah tiga hari gian gak sadar,dan selama itu alice selalu menemani gian,dia gak pernah ninggalin gian walaupun Cuma sebentar. Keadaan gian sudah membaik setelah sempat kritis karena kehilangan banyak darah. Gi, aku tau kamu punya masalah yang berat, tapi kamu salah kalau kamu pikir gak ada yang peduli sama kamu. Banyak yang sayang sama kamu, gi.dan kalaupun itu emang bener, kamu masih pumya aku yang selalu peduli dan sayang sama kamu, aku gak akan ninggalin kamu. Tapi kalau kamu emang gak mau ketemu aku lagi, gak pa-pa, kamu gak usah khawatir, kamu gak akan pernah liat aku lagi. Cepet sembuh Gi. Alice mengecup kening Gian dan menghapus airmatanya sendiri. Alice keluar dari ruang serba putih itu, setelah pamitan dengan orangtua gian yang duduk di ruang tunggu, alice pergi, bukan cuma dari rumah sakit itu tapi juga dari Gian. Dia sudah memutuskan untuk pindah ke Paris dan tinggal bersama orangtuanya yang bekerja disana, mungkin gak akan kembali lagi.

Gian mulai membuka matanya, pertama pandangannya masih kabur, kemudian mulai jelas Yang dilihatnya pertama kali adalah orang tuanya yang tersenyum memandangnya. Gian, kamu sudah sadar sayang? jelas sekali nada lega dalam suara mama gian. Mama..papa kata gian lemah. Maafin mama Gian, selama ini mama dan papa terlalu sibuk, kami kurang memperhatikan kamu, sampai dirumah kami malah bertengkar.maafin mama gian.kata mama gian, airmata mengalir dipipinya. iya gian, maafin papa juga. Walaupun kamu bukan anak kandung kami, tapi kami menyayangi kamu seperti anak kami sendiri, siapa lagi yang kami sayang kalu bukan kamu, Cuma kamu yang kami pumya. Maafin mama sama papa, karena kami kamu jadi begini. Alice sudah cerita semuanya, selama kamu koma dia yang menjaga kamu, dia juga yang udah mendonorkan darahnya buat kamu. Alice dimana alice.gian separti baru tersadar. Mama dan papa gian terdian, mareka gak menjawab pertanyaan gian. ma .pa .alice mana?desak gian. alice udah pergi.jawab papanya hampir gak terdengar. pergi? Kemana pa. kami gak tau gian, alice gak bilang, dia Cuma bilang dai bakal pergi dan gak akan kembali lagi kesini, karena dia bilang kamu gak mau ketemu dia lagi.jelas papa gian. Alice . Gian gak sanggup ngomong apa-apa lagi, dia ingat waktu dia mengatai dan mengusir alice, dia gak nyangka kata-katanya waktu sedang emosi itu udah buat dia kehilangan teman yang sangat menyayanginya dan rela berkorban demi dirinya walaupun dia udah menyakiti perasaan alice, Alice, maafin aku. Kata gian dalam hati. Cuma itu yang bisa diucapkan Gian. **CERPEN PERSAHABATAN Pengorbanan Alice oleh Riski Maharani

CERPEN REMAJA : Lagu Terakhir Untuk Ita


Sudah hampir dua jam Ita mondar-mandir mengelilingi kamarnya, gadis ini terlihat sangat gelisah. Berulang kali dia melirik hp kecil yang ada di tempat tidurnya, tapi tak ada satu pun pesan masuk yang tampak di hp itu. Kamu kemana, sih? Kok sms ku nggak di balas-balas gerutu Ita sambil memencet nomer telepon dengan cepat. Sebelum Ita sempat menelpon, sebuah SMS masuk dan di layar ponsel itu tertulis My Prince. Secepat kilat dia membuka SMS itu lalu membacanya dengan tidak sabar. Ternyata orang yang selama ini dia tunggu itu baru saja selesai bertanding dalam turnamen voli. Setelah membalas SMS itu, Ita memejamkan matanya untuk tidur, karena malam telah larut. Keesokan harinya Seperti biasa, Ita selalu mengirimkan ucapan selamat pagi pada kekasihnya sebelum dia berangkat kuliah. Namun, hatinya kembali tak tenang ketika sang kekasih belum juga membalas SMS-nya hingga sore hari. Berkali-kali dia mengirimkan SMS, hingga akhirnya balasan yang ditunggu datang. -aku udah sholat dan makan kokIta langsung membalas SMS itu, tapi setelah beberapa kali SMS-an, dia merasa ada yang aneh dengan pesan dari kekasihnya itu. Hingga akhirnya dia tahu kalau ternyata yang membalas SMS itu bukanlah Ivan pacarnya, tapi temannya. Hal itu membuat Ita sangat marah dan tidak membalas SMS itu lagi. Dia berharap pacarnya akan menghubunginya dan meminta maaf langsung padanya. Tapi pertengkaran itu malah berlanjut hingga malam hari. Meskipun Ivan telah meminta maaf, tapi Ita masih juga kesal dengan sikap Ivan yang tidak mau membalas SMS-nya. Dan malam itu pun berakhir tanpa ada SMS dari keduanya. Pertengkaran kedua pasangan itu berakhir dengan kata putus yang dikirimkan lewat SMS oleh Ivan. Hal itu membuat Ita yang sejak awal sudah sedih akhirnya menangis di depan sahabatsahabatnya. Dia tidak menyangka pacar yang selama ini sangat dicintainya ternyata tega memutuskan hubungan mereka begitu saja. Namun, setelah mendengar alasan Ivan yang sudah merasa tidak nyaman lagi dengan dia, Ita akhirnya menerima keputusan itu dengan hati yang hancur. Malam harinya, Ita yang masih stres dengan kenyataan yang menyakitkan itu mendadak jatuh sakit. Tubuhnya demam dan kadang dia menggigil. Dia berharap Ivan akan menghubunginya dan bilang kalau mereka tidak jadi putus. Tapi harapan itu, hanya menjadi harapan semata, karena tak satu pun SMS dari Ivan yang masuk ke hp-nya. ***

Sudah hampir seminggu Ita sakit, hingga akhirnya dia harus di rawat di rumah sakit. Tapi kondisinya belum juga membaik. Maag yang selama ini di deritanya ternyata sudah sangat parah hingga menimbulkan pendarahan. Dokter pun mengatakan kalau salah satu faktor yang menyebabkan penyakit Ita semakin parah adalah stres yang dialaminya hingga membuat kondisi tubuhnya menurun. Gati, sahabat Ita yang paling mengerti keadaan Ita hanya bisa menatap iba tubuh sahabatnya yang sekarang terkulai lemah diatas tempat tidur. Wajahnya pucat dan tubuhnya semakin kurus. Gati sangat mengerti perasaan Ita yang merasa sangat kehilangan Ivan kekasihnya. Kadang samar-samar dia mendengar Ita menyebut nama Ivan dalam tidurnya, dan hal itu membuat Gati menangis, tak sanggup melihat penderitaan yang di rasakan oleh sahabatnya itu. Ta, gmn keadaan kamu sekarang? tanya Gati ketika sahabatnya baru saja bangun. Alhamdulillah udah mendingan, udahlah nggak usah cemas gitu jawab Ita, wajahnya terlihat pucat. Kamu masih mikirin Ivan, ya? Maksud kamu? Dari kemarin aku dengar kamu memanggil nama Ivan berkali-kali saat kamu lagi tidur. Kamu kepikiran dia lagi? tanya Gati cemas. Iya, aku kangen sama dia. Apa dia menghubungiku? jawab Ita. Setahu aku, sih, belum ada SMS ataupun telepon dari dia. Kenapa? Enggak apa-apa, cuma mau tahu aja dia peduli atau nggak jawabnya, wajahnya terlihat sedih. Apa perlu aku telepon dia untuk kasih tahu keadaan kamu? Enggak usah, aku nggak mau dikasihani sama dia. Gati hanya bisa diam mendengar jawaban sahabatnya itu. Rasa kagum dan sedih bercampur di hatinya. Kagum akan ketegaran sahabatnya itu, tapi sedih melihat penderitaan yang harus dialami Ita. Gati tahu di saat sakit seperti itu, pasti Ita ingin Ivan ada bersamanya, dan nggak meninggalkannya seperti ini. Hampir tiga minggu Ita di rawat di rumah sakit, dan selama itu juga Gati selalu memperhatikan perkembangan kesehatan sahabatnya itu. Setiap kali Ita merasa sakit di tubuhnya ataupun tubuhnya demam, Ita selalu mendengarkan sebuah lagu ciptaan Ivan, mantan kekasihnya. Dan seperti mukjizat, keadaan Ita perlahan membaik setelah mendengar lagu itu. Gati akhirnya mengerti kerinduan Ita pada Ivan sangatlah besar hingga menyiksa seluruh tubuhnya bukan hanya hatinya.

Hingga suatu hari, tanpa sepengetahuan Ita, Gati menelpon Ivan yang ada di luar kota. Dia menceritakan keadaan Ita pada cowok itu, dan dia juga meminta Ivan untuk datang menemui Ita. Tapi, Ivan masih belum juga mau menemui Ita. Aku mohon sama kamu, Ita butuh kamu. Tolong datanglah ke Jakarta dan temui Ita walaupun hanya sebentar ucap Gati. Aku belum bisa menemui dia, lagipula kehadiranku malah bisa membuat dia semakin sakit jawab Ivan. Satu kali saja, tolong temui dia. Mungkin dengan bertemu denganmu dia bisa sembuh. Atau kamu akan menyesal paksa Gati. Apa maksud kamu? Memang penyakitnya itu parah? Datang dan lihatlah sendiri keadaan Ita sekarang. Sebelum kamu menyesal untuk selamanya ucap Gati sebelum mengakhiri teleponnya. *** Beberapa hari setelah telepon itu, Ivan mengabari Gati kalau dia akan ke Jakarta untuk menemui Ita. Gati yang mendapat kabar menggembirakan itu langsung menemui Ita. Tapi sayangnya Ita sedang tidur saat itu. Gati hanya bisa menunggu, sampai Ivan tiba di Jakarta dua hari lagi. Hari itu akhirnya tiba juga. Ivan, orang yang selama ini di tunggu kedatangannya oleh Ita dan Gati akhirnya datang. Dia meminta Gati mengantarkannya ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Ivan terdiam melihat keadaan gadis yang ada di kamar rawat itu. Sosok yang selama ini tidak pernah di jumpainya, kini dilihatnya dengan kondisi yang memprihatinkan. Selang infus terpasang di tangannya, matanya terpejam, tapi di kedua telinganya terpasang headset agar Ita bisa selalu mendengarkan lagu musik yang bisa menenangkan. Dia hanya sedang tidur. Tunggu saja, sebentar lagi juga dia bangun ucap Gati yang berdiri di belakang Ivan. Sudah berapa lama dia seperti ini? tanya Ivan, dia mulai berjalan mendekati tempat tidur Ita. Hampir satu bulan dia terbaring di tempat tidur itu. Sekarang coba kau dengar lagu yang sedang di dengarkan Ita ucap Gati sambil melepas satu headset itu dan memberikannya pada Ivan. Ivan terkejut ketika mendengar lagu itu, lagu yang pernah dia ciptakan untuk Ita dulu. Dia tidak menyangka gadis itu masih menyimpan rekaman lagu itu. Kedua matanya menatap wajah Ita yang tertidur. Itulah yang membuat Ita bertahan selama ini. Itu yang dia lakukan bila sedang merindukanmu. Suaramu yang sangat dia rindu ucap Gati.

Ivan yang masih merasa terkejut perlahan memegang tangan Ita, kedua matanya tak lepas dari wajah Ita. Terlihat masih ada kasih sayang yang dalam dari tatapan itu. Tiba-tiba tangan yang di pegang Ivan bergerak, Ita bangun dari tidurnya. Dan dia terkejut ketika ada seorang cowok duduk di sampinya sambil memegang tangannya. Tenang, Ta. Dia Ivan, orang yang selama ini kamu rindu ucap Gati. Ivan? Kenapa bisa ada disini? tanya Ita yang masih terkejut. Maaf, ya. Aku yang menelpon dia dan meminta dia untuk datang menjengukmu. Karena aku nggak tega melihat kamu seperti ini terus. Kenapa kamu bisa sampai kayak gini? Kenapa kamu nggak menjaga kesehatanmu? tanya Ivan yang masih tetap menatap wajah Ita. Itu bukan urusanmu sahut Ita sambil melepaskan genggaman Ivan. Waktu itu kamu kan udah janji, bisa terima keputusanku untuk mengakhiri hubungan kita, dan berjanji akan baik-baik saja. Tapi kenapa sekarang kamu kayak gini? Ita hanya diam dan memalingkan wajahnya dari Ivan. Sementara Ivan masih terus berbicara pada Ita. Gati yang melihat itu hanya berharap keadaan Ita akan membaik setelah bertemu Ivan. Dan ternyata benar, setelah berdebat cukup lama akhirnya Ita dan Ivan mulai akrab kembali. Wajah Ita yang tadinya pucat juga mulai berubah cerah. Pertemuan antara Ita dan Ivan terus berlangsung selama seminggu, dan selama itu keadaan Ita berangsur membaik. Suatu hari, Ita ingin pergi ke pantai bersama Ivan, dia ingin melihat sunset bersama orang yang di cintainya. Walaupun awalnya dokter, orang tua Ita, dan Ivan tidak setuju, tapi demi kesembuhan Ita, akhirnya mereka menyetujui permintaan Ita itu. Dan pergilah mereka berdua ke pantai untuk melihat sunset. Di pantai itu, Ivan menyanyikan lagu yang baru di buatnya untuk Ita. Lagu yang liriknya adalah ciptaan Ita, dulu dia pernah meminta Ivan untuk menciptakan lagu dari lirik yang dibuatnya. Dan kini lagu itu telah selesai dan Ivan menyanyikannya secara langsung untuk Ita. Keadaan yang sangat romantis itu membuat Ita bahagia. Berkali-kali dia tersenyum dan tertawa saat bersama Ivan. Kebahagiaan yang entah akan bertahan sampai kapan. Aku bahagia banget hari ini, karena bisa pergi sama kamu, tertawa dan melihat sunset bersama kamu. Dan yang lebih membahagiakan, aku bisa mendengar lagu itu secara langsung ucap Ita sambil memandang langit. Aku juga senang bisa jalan sama kamu. Makanya kamu harus cepat sembuh, nanti kita bisa jalan-jalan lagi sahut Ivan. Iya. Rasanya aku nggak ingin ini berakhir, aku ingin terus bersama kamu. Bahagia seperti ini.

Ivan hanya bisa tersenyum mendengar ucapan Ita. Lalu mencium kening Ita dengan lembut. Ita yang terkejut hanya bisa menatap Ivan, lalu tersenyum. Aku sayang kamu. Cepat sembuh, ya ucap Ivan. Air mata mengalir dari mata Ita. Suasana mengharukan itu terlihat sangat membahagiakan. Setelah itu mereka kembali ke rumah sakit karena Ita masih harus di rawat. *** Sebuah kabar mengejutkan membuat Ivan dan Gati datang ke rumah sakit lebih pagi dari biasanya. Keadaan Ita yang belakangan ini mulai membaik, tiba-tiba drop. Semua dokter dan perawat sibuk mengatasi keadaan itu. Sedangkan Ivan, Gati dan keluarga Ita hanya bisa menunggu dan berdoa dari luar ruang ICU. Setelah beberapa lama menunggu, akhirnya dokter membolehkan mereka untuk masuk ruangan itu dan melihat kondisi Ita yang sudah sadar. Wajah gadis itu semakin pucat dan tubuhnya dingin. Tapi dia masih tersenyum saat melihat keluarga dan dua orang yang berharga baginya itu masuk ke kamarnya. Kamu nggak apa-apa kan, sayang? tanya orang tua Ita. Aku baik-baik aja kok, Bu sahut Ita yang masih lemah. Ivan, aku mau mendengar kamu menyanyi. Tolong nyanyikan lagu itu sekarang. Aku mau dengar ucap Ita dengan suara yang hampir seperti bisikan. Nanti saja, sekarang kamu istirahat dulu sahut Ivan. Aku mau mendengarnya sekarang. Aku lelah, ingin istirahat. Aku ingin mendengar lagu itu untuk menemani tidurku. Nyanyikan saja ucap Ibu Ita. Akhirnya Ivan menyanyikan lagu yang ingin di dengar Ita itu. Tangannya menggenggam tangan Ita yang dingin, Ita juga menggenggamnya dengan erat seperti tak mau lepas lagi. Perlahan matanya terpejam dan akirnya dia tertidur. Tapi bukan tidur biasa, karena monitor yang menunjukkan gerakan jantung Ita perlahan berhenti, hingga akhirnya sebuah garis muncul di monitor itu. Dan tak ada lagi pergerakan grafik detak jantung Ita. Ivan yang dari tadi menggenggam tangan Ita merasa tangan Ita perlahan melepas genggamannya. Mereka terus memanggil Ita, tapi dia tidak juga membuka matanya. Dokter juga sudah mengatakan kalau Ita telah pergi untuk selamanya. Air mata seperti tak bisa berhenti mengalir dari mata keluarga, Gati dan Ivan. Mereka tidak menyangka, Ita yang mereka kira akan segera sembuh ternyata meninggalkan mereka secepat itu.

Begitu juga Ivan, dia tidak mengira kalau lagu yang dia nyanyikan itu adalah lagu terakhir untuk Ita. Sebelum wajah Ita di tutupi kain putih, Ivan mencium kening gadis yang pernah di cintainya itu dengan lembut. Selamat jalan, sayang. Maafkan aku yang telah membuatmu seperti ini. Semoga kau tenang disana. **CERPEN REMAJA Lagu Terakhir Untuk Ita oleh Nita Widya Ratna

Anda mungkin juga menyukai