Anda di halaman 1dari 5

5 Serangkai

Hari ini aku ingin menceritakan kepada dunia betapa bersyukurnya aku kepada Allah,
karena tepat pada hari ini adalah perayaan tiga tahun persahabatanku dengan kelima
sahabatku Bagas,Erin,Fia,Gamal,dan Rudi. Indah sekali rasanya dapat dihargai,
disayangi, serta dicintai oleh mereka yang kusebut sebagai lima serangkai dalam
hidupku. Walaupun aku tahu, diriku ini tidaklah luput dari segala kekurangan. Namun,
mereka melengkapiku. Oleh karena itu, aku tidak mampu mengungkapkan betapa
bahagianya aku sekarang. Tetapi, bolehkah aku meminta satu permintaan lagi kepada-
Mu? Bahwa, kini aku sangat merindukan mereka semua.
“Nabil, sudah selesai belum nulisnya?” ucapnya kepadaku yang terus sibuk menulis buku
harian di taman dekat rumahnya.
“Eh? Fia? Sejak kapan kamu disini?”
“Kamu lagi nulis apa? Kelihatannya kamu senang sekali, ada apa Bil?”
“Seperti biasa, aku hanya menulis buku harianku. Ada apa Fia?” kubalas dengan
senyuman manisku.
“Baiklah, aku hanya ingin mengajakmu untuk merayakan tiga tahun persahabatan kita
bersama”
“Pasti aku ikut!” ucapku dengan nada bersemangat.
Aku dan Fia langsung bergegas menuju tempat dimana kita dipertemukan dengan sang
Maha Cinta. Tempat itu adalah rumah pohon yang jaraknya tidak terlalu jauh dari
rumahku. Tempat ini adalah saksi dimana kisah persahabatan kita dimulai. Akan tetapi,
entah mengapa hari ini begitu berat dan teramat pelik untukku. Apakah ada yang salah,
Ya Allah?
“Akhirnya, kalian datang juga. Mengapa lama sekali? Ini sudah hampir sore” tanyaku
kepada Nabil dan Fia.
“Sudahlah, tidak mengapa Mal. Yang penting mereka sampai disini dengan selamat
bukan?” balasku sambil mengedipkan mataku kepada Gamal.
“Betul juga kamu, Erin. Maafkan Gamal ya”
Beberapa waktu setelahnya, aku akhirnya menyampaikan sesuatu yang mungkin akan
membuat mereka kecewa kepadaku.
“Teman-teman, maaf sepertinya aku harus segera pergi. Tapi, janji ya? Kalian harus tetap
merayakannya walau tanpa adanya aku”
“Ada apa Bil? Kamu ada tugas? Mengapa tidak memberi tahu kita sebelumnya?” ucap
Bagas.
“Kamu ada acara? Nabil katakan ada apa?” tambah ucap Rudi kepadaku.
“Tidak, tidak. Bukan sesuatu yang penting kok” tegasku kepada mereka.
“Sebelum kamu pergi. Bolehkah kami jujur kepadamu, Nabil?”
Tidak pernah terlintas dalam pikiranku. Tentang hari ini, dan tentang pernyataan keliru
yang Bagas dan sahabat-sahabatku sampaikan. Mengapa aku baru menyadari hal ini?
“Kenapa? Begitu singkatnya waktu yang kamu berikan untuk kita? Semenjak kamu
pindah sekolah saat kelas 9, kamu berbeda. Kamu selalu bilang bahwa kamu sedang
sibuk atau sedang ada acara. Bahkan, kamu pernah berbohong saat kita mengajakmu
untuk pergi menjenguk Rudi. Pada saat itu, ibu kamu sendiri yang memberitahu kita
bahwa kamu hanya sedang pergi bersama teman barumu. Bahkan tidak ada waktu satu
jam untuk berada disana. Sebenarnya, apa yang telah terjadi kepadamu? Kamu bilang kita
ini sahabat bukan? Kamu berjanji akan selalu bersama, apapun dan bagaimanapun
keadaannya. Lalu, dimana janjimu itu? Aku menagihnya!” ucap Bagas dengan air
matanya yang terus mengalir.
“Kalian kenapa sih? Kita kesini kan mau merayakan tiga tahun persahabatan kita!” ujar
Gamal.
“Bukan untuk berkelahi kayak gini! Cepat hentikan!” tambah Rudi.
Ya Allah, apakah aku salah? Aku hanya tidak ingin ada yang terluka disini. Kalaupun
harus ada yang terluka dan harus pergi. Akulah yang pantas mendapatkannya.
“Bisa tidak? Berikan Nabil ruang dan waktu?!” suara yang tidak asing lagi bagiku. Benar,
dia adalah teman baruku saat aku pindah ke sekolah baruku. Rakha Daub.
“Maaf, tapi bukan bermaksud saya ingin ikut campur dengan urusan kalian. Tetapi, kalau
ada kaitannya dengan Nabil. Saya pastikan diri saya akan selalu ada untuknya” ucap
Rakha sambil mengajakku pulang untuk pergi meninggalkan tempat yang penuh
kenangan itu.
Semenjak hari itu, hubunganku dengan kelima sahabatku telah renggang. Namun, aku
berpikir bahwa ini adalah langkah yang tepat untuk aku ambil. Aku berharap mereka
selalu dalam keadaan yang bahagia walau tanpa kehadiranku disana.
“Nabil?” terdengar suara Ayah memanggilku.
“Iya yah? Masuk saja Ayah” jawabku sambil menutup buku harianku.
“Nabil lagi apa? Ini ada Rakha, dia ingin menjengukmu”
“Bil, sudah minum obatnya belum?” tanya Rakha kepadaku.
“Minum atau tidaknya aku, tidak akan mengubah apapun bukan?”
“Nabil, bagaimanapun juga kita harus tetap berusaha bukan? Rakha tidak kenal sikapmu
yang seperti ini!” ucapnya seraya mengambil obat untukku.
“Benar kata Rakha. Nabil kan anak Ayah yang kuat, Ayah yakin kamu pasti sembuh”
“Tidak akan ada gunanya Ayah. Obat-obatan itu hanya menghambat penyakitku saja
kan? Bukan menyembuhkan”
Namun tidak terasa darah itu mengalir lagi melalui hidungku yang payah ini.
“Nabil! Kamu mimisan!!!” teriak Rakha.
Namun, kali ini berbeda. Darah itu mengalir begitu banyak. Aku pun merasakan sakit
yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Inikah waktunya?
Dengan sigap Ayah mengantarku ke Rumah Sakit tidak jauh dari rumah bersama dengan
Rakha.
Setelah menunggu waktu yang cukup lama di dalam ruang Unit Gawat Darurat. Aku
merasa lebih lega. Berhasilkah operasi kali ini?
“Dengan Pak Yusuf?”
“Iya Pak betul, bagaimana kondisi anak saya Pak? Nabil baik-baik saja kan, Pak
Dokter?” tanya Ayah yang begitu tergesa-gesa.
“Maaf Pak, harus saya katakan bahwa kondisi anak Bapak semakin memburuk, karena
sampai sekarang kita belum mendapatkan calon pendonor hati untuk Nabil. Sirosis hati
yang dialami Nabil sudah semakin parah, Pak”
“Kira-kira sampai kapan Nabil dapat bertahan, Dokter?”
“Pertanyaan yang tepat, apakah Nabil itu masih mampu bertahan?”
Ayah dan Rakha begitu terpukul mendengar kabar buruk tersebut.
Akan tetapi, kini tubuhku juga sudah terbebas dari peralatan medis itu. Tetapi, mengapa
Ayah dan Rakha menangis? Tunggu dulu, itu sahabat-sahabatku. Ya, itu benar! Aku
sangat merindukan mereka semua. Kenapa mereka ada disini? Apakah mereka tahu akan
penyakitku? Sudahlah tidak apa, yang terpenting aku bisa bertemu dengan mereka.
Namun, kenapa aku terlihat seperti orang asing bagi mereka?
“Nabil!!! Kenapa kamu tinggalin aku secepat ini?”
“Rakha, kenapa kamu tidak bilang sejak awal? Apa yang sebenarnya terjadi kepada
Nabil? Katakan!” ucap Erin.
“Pak, ada apa dengan Nabil? Nabil sakit apa Pak?!” tambah Bagas.
“Kenapa, kita menjadi orang yang paling terakhir untuk mengetahui hal ini, Nabil?
Kenapa?” ujar Fia.
“Semua jawaban yang kalian nantikan selama ini, akan terjawab dengan surat yang
ditulis Nabil sebelum dia pergi meninggalkan kita semua, Bapak permisi”
Teruntuk Sahabatku
Aku tidak suka kalau surat ini menjadikan langkah awal dari sebuah perpisahan. Karena
itu, aku ingin menulis surat ini hanya untuk kembali mengenang persahabatan kita yang
sudah kita jalin selama tiga tahun terakhir dalam hidupku. Maafkan aku, karena
belakangan ini aku sedang disibukkan oleh suatu hal yang sama sekali belum pernah
kuceritakan kepada kalian. Aku hanya ingin tetap menyembunyikannya, sungguh bukan
karena aku tidak ingin kalian tahu. Namun, untuk apa memberitahu kepada kalian bahwa
episode dalam kehidupanku akan segera berakhir? Bukankah aku pernah berjanji? Bahwa
aku hanya akan membagikan kisah hidupku yang akan membuat kalian bahagia saja?
Maafkan kekeliruanku.
Teruntukmu, Bagas. Sahabatku yang paling menyejukkan senyumannya. Senyumanmu
selalu yang paling kurindukan. Tawamu, membuat hari-hari terakhirku semakin
bermakna.
Teruntukmu, Erin. Sahabatku yang paling sederhana. Kesederhanaanmu menyadarkanku,
bahwa betapa aku sangat beruntung memilikimu dalam hidupku.
Teruntukmu, Fia. Sahabatku yang paling manis. Terima kasih ya, sudah mewarnai
hidupku dengan kehangatanmu.
Teruntukmu, Gamal. Sahabatku yang paling kuat dan tegar. Aku banyak mengambil
pelajaran serta hikmah setelah aku mengenalmu. Aku jadi tahu, arti kehidupan yang
sebenarnya itu seperti apa.
Teruntukmu, Rudi. Sahabatku yang keren dan cool. Aku pasti akan selalu
merindukanmu. Tetap menjadi Rudi yang kukenal ya!
Teruntuk sahabat-sahabatku, terima kasih atas semua perhatian, cinta, dan kasih sayang
kalian kepadaku yang amat terbatas ini. Berjanjilah kepadaku, bahwa kalian akan tetap
menjalani hari demi hari dengan semangat, ceria, dan penuh senyuman karena itu
bagaikan hadiah yang sentiasa kalian berikan kepadaku. Aku pastikan, aku akan baik-
baik saja. Asalkan, kalian juga dalam keadaan yang bahagia. Terima kasih telah mengisi
hari-hariku yang begitu terbatas ini, dengan keberadaan kalian di dalam hidupku.
Aku sangat menyangi kalian,
Lima Serangkaiku…

Anda mungkin juga menyukai