Anda di halaman 1dari 89

KEAGUNGAN FAJAR CINTA Cerpen Rudi Al-Farisi Malam yang dingin itu, Galin masih saja asyik memperhatikan

monitor computer kerjanya. Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 4 pagi. Memang malam itu ia mendapat giliran kerja malam dari perusahaannya untuk memonitor pengolahan pabrik. Matanya sudah cukup lelah menahan kantuk. tetapi mau gimana lagi. Ia harus tetap fit karena tugas yang dibebankan perusahaan kepadanya. Galin adalah sosok yang rajin, baik ditempat kerja maupun dilingkungan masyarakat. Ia bekerja disebuah perusahaan yang cukup ternama di negeri ini. Karena jiwanya yang bersemangat itu. ia dipercayakan atasannya untuk mengambil alih job suvervisor yang kebetulan sedang kosong. Saat sedang asyik memainkan keyboard computernya, tiba-tiba nada alarm azan shubuh berkumandang di hp nya. Ia tinggalkan sejenak pekerjaan monitoringnya. Bergegas ia berwudhu dan menghadap Sang Ilahi. Usai sholat, ia menghirup udara pagi sejenak dari jendela ruang kantornya. Tiba-tiba perasaannya jadi tidak enak saat mendengar nada hpnya berdering. Ia bingung siapa pula yang nelpon pagi-pagi buta begini suara batinnya bertanya. Assalamualaikum.. Waalaikum salam..(ternyata ibu mertuanya yang menelpon). Ya bu ada hal apa bu..? tanya galin. Maaf mengganggu kerjanya Lin. Ibu sebenarnya tidak mau mengganggu konsentrasi Galin. Tapi ini terpaksa.. jelas ibu mertuanya. Tak apa bu, kebetulan saya baru usai sholat shubuh. Jawab galin bingung. Begini Lin.. si May pergi ndak tahu kemana. Tadi saat ibu hendak membangunkan si May sholat shubuh, ia tak ada dikamarnya. Dan dia pun tak pamit. Dia ada ngomong sama galin..? jelas ibu mertuanya kebingungan. Lah.. kok bisa begitu bu. Tadi malam saat mau berangkat kerja dia masih ngantar saya kok bu.. semua baik-baik saja kok bu.. Itulah.. ibu juga bingung. Ibu sudah coba cari dia ke semua ruangan. Tapi tak ada juga. Ibu tanya sama ayah, ayah juga tidak tahu.. Iyalah bu.. saya akan pulang lebih awal.. ibu tenang ajalah dulu. Mungkin dia lagi beli sarapan.. IyalahBaiklah kalo begitu.. assalamualaikum. Waalaikum salam.. Galin bingung, konsentrasi kerjanya terganggu. Ia heran kemana pergi istinya itu. kok ndak pamitan ya.. suara batinnya bergetir. Ia coba menghubungi hp nya tapi tidak aktif. Sesampainya dirumah, ia mengumpulkan seluruh keluarganya. Semua menjawab tidak ada yang tahu. Muncul firasat kurang bagus dihatinya. Ia coba menghubungi seluruh famili terdekat. Tapi juga dengan jawaban yang sama. Galin dan seluruh keluarga merasa khawatir. Ada apa yang terjadi dengan Maya. Sang istri yang baru tiga bulan ia nikahi hilang bak ditelan bumi. Mereka menunggu hingga siang. Saat suara azan zhuhur berkumandang, hati galin sudah merasa tidak karuan. Keluarga mengusulkan untuk melapor ke polisi. Tetapi galin mencegahnya. Ia tidak mau masalah ini diketahui tetangga. Bisa jadi aib bu.. Jawab galin menenangkan mertuanya. Selesai sholat zhuhur, ia sambung dengan sholat hajat. Ia mohon kepada rabbnya yang mengatur segala kejadian untuk bisa menemukan jalan keluarnya. Usai sholat, ia menyimpulkan untuk konsultasi kepada Faris teman kerjanya. Faris yang ia kenal sebagai seorang yang cukup dalam agamanya, mungkin bisa membantunya. Ia coba menelpon faris, dan faris pun bersedia memenuhi undangannya. Namun, bagaimana pun rasa hati galin sudah tidak karuan lagi. Karena istri tercinta yang baru ia nikahi bagai lenyap dibawa angin. tak ayal, Inai tanda pernikahan dijari pun masih tersisa di ujung kuku. Tak lama faris pun tiba dikediaman galin. Waktu sore sudah mau berganti senja. Seluruh keluarga semakin cemas, apalagi galin sang suami. Setelah diceritakan apa yang terjadi. Faris hanya mengatakan untuk bersabar. Seluruh keluarga kurang puas dengan pernyataan Faris itu, begitu juga galin sang rekan kerja. Ternyata, rupanya faris menunggu saat waktu magrib tiba. Usai sholat magrib berjamaah. Faris memimpin doa memohon kepada sang ilahi. Dan semua yang ada pun ikut memohon kepada Allah semoga misteri ini cepat terselesaikan. Usai bermunajat. Semuanya berkumpul dan bermusyawarah diruang tamu. Galin pun angkat bicara.

Ris.. gimana ini.? Yang sabar Lin.. saya tak ada firasat jelek dalam hal ini. Kita husnuzhon saja. Jelas Faris. Tapi ini udah malam Ris.. jawab galin risau. Iya nak Faris. Bapak dan ibu sudah sangat cemas ni.. takutnya Maya entah kenapa-kenapa.? Mertua Galin menimpal. Iya.. saya mengerti. Tapi firasat saya, ini hanyalah ujian Allah pak.. dan semua ini berpulang kepada bapak dan ibu. terutama galin. Apa pun yang kita lakukan, insya Allah akan dijawab Allah. Dan saya hanyalah hamba Allah yang mencoba membantu saudaranya. Jawab Faris. Galin dan mertuanya akhirnya memutuskan hendak melaporkan hal ini kepada polisi. Saat semuanya sedang bersiap hendak berangkat ke kantor polisi. Tiba-tiba suara bel pintu berbunyi TiiingTooong Assalamualaikum suara dari balik pintu. Waalaikum salam.. jawab galin setengah berlari kebingungan. Saat pintu dibuka. Ternyata ada sosok wanita cantik yang tak lain dan tak bukan adalah Maya Sang istri tercinta. Subhanallah. Dinda.. teriak Galin. Dan semua isi rumah pun setengah berlari menuju pintu mendengar hal itu. Alhamdulillah. Gemuruh tahmid berkumandang dari bibir keluarga. Galin bersyukur tetapi hatinya penasaran dan penuh tanda tanya, gerangan apa yang terjadi pada istrinya. Beribu pertanyaan yang ada dikepalanya. Ia merasa ingin menumpahkan semua pertanyaan itu kepada istrinya. Belum sempat pertanyaan bertubi-tubi hendak menyerang Maya. Ibu mertuanya menyuruh semua yang berada di pintu itu masuk kedalam. Setelah semua berkumpul diruang tamu. Dan Maya sudah tahu akan diserang pertanyaan-pertanyaan. Maka Maya lebih dulu angkat bicara. Sebelumnya Maya minta maaf kepada seluruh keluarga terutama kepada Kanda (galin). Ini semua diluar kuasa Maya. Tadinya Maya ingin lebih dulu memberi tahu. Tetapi Tetapi kenapa dinda celetuk galin penasaran yang duduk disamping Maya. Begini kanda.. saat mendengar azan shubuh tadi pagi, Maya bangun dan hendak menunaikan sholat shubuh. Tetapi Maya merasa pusing dan mual. Mata Maya terasa berkunang-kunang. Lalu Maya coba membangunkan ibu, tapi ibu tak juga bangun. Lalu Maya berinisiatif hendak ke rumah sakit. Dan Maya minta maaf belum pamit dengan ibu dan ayah. Lalu Maya menelpon taksi dan sesampainya dirumah sakit, Maya pingsan dan baru siuman sekitar jam 11. lalu Maya coba menelpon kanda tapi batrei hp Maya ngedrop. Dan saat Maya bangkit dari tampat tidur rumah sakit hendak ke telepon umum. Mata maya kembali berkunang-kunang dan Maya kembali pingsan. Mungkin karena Maya belum sarapan tadi pagi. Maya akhirnya siuman sekitar jam 6 sore tadi. Lalu bagaimana sekarang May.. dan apa kata dokter.? Tanya ibunya penasaran. Lalu Maya tiba-tiba memeluk mesra Galin sambil mengatakan Malu-malu. Kata dokteeeer..MAYA HAMIL Haaamiiill..Subhanallah. Suara tasbih bergema memenuhi ruangan. Seketika suasana mencair. Ribuan pertanyaan pun sudah terjawabkan. Dan galin pun bersujud syukur kepada sang Ilahi.

CINTA LAKI-LAKI BIASA Cerpen Asma Nadia Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya. Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan. Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu. Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata! Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka. Kamu pasti bercanda! Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda. Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania! Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya. Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik! Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan. Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh? Nania terkesima. Kenapa? Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik. Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus! Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau! Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan. Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak. Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah. Tapi kenapa? Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa. Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya. Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania! Cukup!

Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini? Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia. Mereka akhirnya menikah. *** Setahun pernikahan. Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka. Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia. Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania. Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan. Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya. Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses! Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli. Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen. Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak! Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan? Rafli juga pintar! Tidak sepintarmu, Nania. Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan. Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu. Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma. Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu. Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak. Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang. Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik.. Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah. Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia! Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasanalasan menjadi tidak penting. Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama. Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik. Cantik ya? dan kaya! Tak imbang! Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari. Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis. Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya. Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan! Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil. Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang. Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali. Baru pembukaan satu. Belum ada perubahan, Bu. Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan. Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi. Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset. Masih pembukaan dua, Pak! Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya. Bang? Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan. Dokter? Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar. Mungkin? Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu? Bagaimana jika terlambat? Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal. Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri. Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir. Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat. Pendarahan hebat! Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis. Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka. Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker. Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang. Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli. Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan. Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra.. Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya. Nania, bangun, Cinta? Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik. Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik, Nania, bangun, Cinta? Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli. Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan. Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakangerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama. Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya. Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh. Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi. Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta. Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh? Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelanpelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli. Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun. Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat. Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisikbisik. Baik banget suaminya!

Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua! Nania beruntung! Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya. Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam! Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama. Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa? Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi? Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan. Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya. Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania. Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat.

Laki laki Pemanggul Goni


Setiap kali akan sembahyang, sebelum sempat menggelar sajadah untuk sembahyang, Karmain selalu ditarik oleh kekuatan luar biasa besar untuk mendekati jendela, membuka sedikit kordennya, dan mengintip ke bawah, ke jalan besar, dari apartemennya di lantai sembilan, untuk menyaksikan laki-laki pemanggul goni menembakkan matanya ke arah matanya. Tidak tergantung apakah fajar, tengah hari, sore, senja, malam, ataupun selepas tengah malam, mata laki-laki pemanggul goni selalu menyala-nyala bagaikan mata kucing di malam hari, dan selalu memancarkan hasrat besar untuk menghancurkan. Tubuh laki-laki pemanggul goni tidak besar, tidak juga kecil, dan tidak tinggi namun juga tidak pendek, sementara goni yang dipanggulnya selamanya tampak berat, entah apa isinya. Pada waktu sepi, laki-laki pemanggul goni pasti berdiri di tengah jalan, dan pada waktu jalan ramai, pasti laki-laki pemanggul goni berdiri di trotoir, tidak jauh dari semaksemak, yang kalau sepi dan angin sedang kencang selalu mengeluarkan bunyi-bunyian yang sangat menyayat hati. Beberapa kali terjadi, ketika jalan sedang ramai dan laki-laki pemanggul goni menembakkan mata kepadanya, Karmain dengan tergesa-gesa turun, lalu mendekati semak-semak dekat trotoir, tetapi laki-laki pemanggul goni pasti sudah tidak ada lagi. Dan ketika Karmain bertanya kepada beberapa orang apakah mereka tadi melihat ada seorang laki-laki pemanggul goni, mereka menggeleng. Apabila hari masih terang, beberapa kali laki-laki pemanggul goni membaur dengan orang-orang yang sedang menunggu bus, sambil menembakkan matanya ke arah Karmain. Tapi, ketika Karmain tiba di tempat orang-orang yang menunggu bus, laki-laki pemanggul goni sudah tidak ada, dan orang-orang pasti menggelengkan kepala apabila mereka ditanya apakah tadi mereka menyaksikan ada laki-laki pemanggul goni. Pada suatu hari, ketika hari sudah melewati tengah malam dan Karmain sudah bangun lalu membersihkan tubuh untuk sembahyang, korden jendela seolah-olah terkena angin dan menyingkap dengan sendirinya. Maka Karmain pun bergegas mendekati jendela, dan menyaksikan di bawah sana, di tengah-tengah jalan besar, laki-laki pemanggul goni berdiri membungkuk mungkin karena goninya terlalu berat, sambil menembakkan matanya ke arah dirinya. Kendati lampu jalan tidak begitu terang, tampak dengan jelas wajah laki-laki pemanggul goni menyiratkan rasa amarah, dan menantang Karmain untuk turun ke bawah. Karena sudah terbiasa menyaksikan laki-laki pemanggul goni bertingkah, dengan lembut Karmain berkata: Wahai, laki-laki pemanggul goni, mengapakah kau tidak naik saja, dan ikut bersembahyang bersama saya. Kendati jarak antara jendela di lantai sembilan dan jalan besar di bawah sana cukup jauh, tampak laki-laki pemanggul goni mendengar ajakan lembut Karmain. Wajah laki-laki pemanggul goni tampak berkerut-kerut marah, dan matanya makin tajam, makin menyala, dan makin mengancam. Baiklah, laki-laki pemanggul goni, kalau kau tak sudi naik dan sembahyang bersama saya, tunggulah saya di bawah. Saya akan sembahyang dulu. Sejak saya masih kecil sampai dengan saatnya ibu saya akan meninggal, ibu saya selalu mengingatkan saya untuk sembahyang dengan teratur lima kali sehari. Fajar sembahyang satu kali. Itulah sembahyang subuh. Tengah hari sembahyang satu kali. Itulah sembahyang lohor. Sore satu kali, itulah sembahyang ashar. Senja satu kali. Itulah sembahyang maghrib. Malam satu kali. Itulah sembahyang isya. Lima kali sehari. Dan kalau perlu, enam kali sehari, tambahan sekali setelah saya bangun lewat tengah malam dan akan tidur lagi. Itulah sembahyang tahajud. Dan kamu selalu mengawasi saya, seolah-olah kamu tidak tahu apa yang patut aku lakukan dan apa yang tidak patut aku lakukan. Dengan tenang Karmain menutup korden, namun karena sekonyong-konyong angin bertiup keras, korden menyingkap kembali. Laki-laki pemanggul goni tetap berdiri di tengah jalan, tetap menampakkan wajah penuh kerut menandakan kemarahan besar, dan tetap menembakkan matanya dengan nyala mengancam. Di sebelah sana, dekat trotoir di sebelah sana, semak-semak bergoyang-goyang keras tertimpa angin, dan mengirimkan bunyi-bunyi yang benar-benar menyayat hati. Karmain melayangkan pandangannya ke depan, ke gugusan apartemen-apartemen besar, dan tampaklah semua lampu di apartemen sudah padam, sejak beberapa jam yang lalu. Lampu yang masih menyala hanyalah lampu-lampu di ganggang yang menghubungkan apartemen-apartemen itu, sementara lampu merah di tiang tinggi di sebelah sana itu, berkedip-kedip seperti biasa, seperti biasa menjelang hari menjadi gelap, atau mendung, atau hujan lebat.

Seperti biasa pula, lampu di tempat pemberhentian bus menyala, sebetulnya terang, tetapi tampak redup. Selebihnya sepi, kecuali angin yang tetap menderu-deru. Karmain pindah ke kamar lain, yang korden jendelanya ternyata juga terbuka, kemudian melihat jauh ke sana. Di sana itu, ada laut, dan meskipun gelap, terasa benar bahwa laut benar-benar sedang gelisah. Sembahyang selesailah, lalu Karmain mendekati jendela, dan laki-laki pemanggul goni masih di sana, masih menunjukkan wajah marah, masih menembakkan pandangan mengancam. Maka Karmain turunlah. Dan ketika Karmain tiba di tepi jalan, laki-laki pemanggul goni tidak ada. Angin masih bertiup keras. Seekor anjing hitam, besar dan tinggi tubuhnya, mengawasi Karmain sekejap, kemudian menyeberang jalan, dan di tengah jalan berhenti lagi sebentar, mengawasi Karmain lagi, lalu lari ke arah kegelapan. Lalu terdengar lolongan-lolongan anjing, lolongan kesakitan, lolongan pada saat-saat meregang nyawa. Dulu, ketika masih kecil, Karmain bersahabat karib dengan Ahmadi, Koiri, dan Abdul Gani, semuanya dari kampung Burikan. Dan di kampung Burikan tidak ada satu orang pun yang memelihara anjing, dan anjing dari kampungkampung lain pun tidak pernah berkeliaran di kampung Burikan. Terceritalah, ketika mereka sedang berjalan-jalan di kampung Barongan, mereka tertarik untuk mencuri buah mangga di pekarangan rumah seseorang yang terkenal karena anjingnya sangat galak. Belum sempat mereka memanjat pohon mangga, dengan sangat mendadak ada seekor anjing hitam, tinggi dan besar tubuhnya, menyalak-nyalak ganas, kemudian mengejar mereka. Sebulan kemudian, anjing hitam bertubuh tinggi dan besar mati, setelah terperangkap oleh racun hasil ramuan Ahmadi, Koiri, dan Abdul Gani. Karmain menunggu beberapa saat, sambil berkata lembut dan perlahan-lahan: Wahai, laki-laki pemanggul goni, di manakah kau sekarang. Marilah kita bertemu, dan berbicara. Karena tidak ada kejadian apa-apa lagi, Karmain berjalan menuju semak-semak, dan, meskipun tiupan angin sudah meredup, semak-semak masih bergerak-gerak, menciptakan bunyi-bunyi yang menyayat hati. Karmain kembali ke lantai sembilan, masuk ke dalam apartemen, kemudian mencari berkas-berkas lama yang sudah lama tidak ditengoknya. Setelah membuka-buka sana dan sini, Karmain menemukan album lama. Ada foto ibunya ketika masih muda, seorang janda yang ditinggal oleh suaminya karena pada hari raya Idul Adha, suaminya tertembak ketika sedang berburu babi hutan bersama teman-temannya di hutan Medaeng. Ada lima pemburu, termasuk dia, ayah Karmain. Mereka berlima masuk hutan bersama-sama, kemudian melihat seekor babi hutan berlari kencang, menabrak beberapa semak-semak. Untuk mengejar babi hutan itu, mereka berpisah, masing-masing lari ke berbagai arah. Siapa di antara empat temannya yang dengan tidak sengaja menembak ayah Karmain, atau justru dengan sengaja menembaknya, tidak ada yang tahu. Karmain terpaku pada foto ibunya sampai lama, kemudian, tanpa sadar, dia terisak-isak. Dulu ibunya pernah bercerita, bahwa pada waktu-waktu tertentu akan ada laki-laki pemanggul goni, mengunjungi orang-orang berdosa. Pekerjaan laki-laki pemanggul goni adalah mencabut nyawa, kemudian memasukkan nyawa korbannya ke dalam goni. Ibunya juga bercerita, beberapa hari sebelum suaminya tertembak, pada tengah malam laki-laki pemanggul goni datang, mengetuk-ngetuk pintu, kemudian pergi tanpa meninggalkan jejak. Pada hari Idul Adha, kata ibu Karmain dahulu, sebelum ayahnya pergi berburu. Tuhan menguji kesetiaan Nabi Ibrahim. Anaknya, Ismail, harus disembelih oleh ayahnya, oleh Nabi Ibrahim sendiri. Karmain tertidur, dan ketika terbangun, waktu sembahyang fajar sudah tiba. Dan setelah Karmain membersihkan tubuh, siap untuk sembahyang, korden jendela menyingkap lagi. Laki-laki pemanggul goni berdiri di tengah jalan lagi, wajahnya menunjukkan kemarahan lagi, dan matanya menyala-nyala, menantang lagi. Baiklah, laki-laki pemanggul goni, harap kamu jangan lari lagi. Dengan sangat tergesa-gesa Karmain turun, langsung ke pinggir jalan, dan laki-laki pemanggul goni sudah tidak ada. Ketika Karmain tiba kembali di apartemennya, ternyata laki-laki pemanggul goni sudah ada di dalam, duduk di atas sajadah, melantunkan ayat-ayat suci, sementara goninya terletak di sampingnya.

Setelah selesai berdoa, tanpa memandang Karmain, laki-laki pemanggul goni berkata lembut: Karmain, kamu sekarang sudah menjadi orang penting. Kamu sudah menjelajahi dunia, dan akhirnya kamu di sini, di negara yang terkenal makmur. Bahwa kamu tidak mau kembali ke tanah airmu, bukan masalah penting. Tapi mengapa kamu tidak pernah lagi berpikir tentang makam ayahmu? Tidak pernah berpikir lagi tentang makam ibumu. Makam orangtuamu sudah lama rusak, tidak terawat, tanahnya tenggelam tergerus oleh banjir setiap kali hujan datang, dan kamu tidak pernah peduli. Laki-laki pemanggul goni berhenti sebentar, kemudian bertanya: Apakah kamu beserta sahabat-sahabatmu, Ahmadi, Koiri, dan Abdul Gani, pernah tersesat di hutan Gunung Muria? Ya. Tahukah kamu ke mana sahabat-sahabatmu itu pergi? Tidak. Mereka saya ambil. Saya tahu, kalau mereka tidak saya ambil, pada suatu saat kelak dunia akan gaduh. Gaduh karena, kalau tetap hidup, mereka akan mengacau, membunuh, dan menyebarkan nafsu besar untuk berbuat dosa. Saya tidak mengambil kamu karena kasihan. Kamu habis kehilangan ayah. Ayah bejat. Pada saat seharusnya dia di masjid, bersembahyang, dan kemudian membantu orang-orang menyembelih kambing, ayahmu berkeliaran di hutan. Bukan untuk menyembelih kambing, tapi mengejar-ngejar babi hutan untuk dibunuh. Ingatlah, pada hari Idul Adha, ketika Nabi Ibrahim sedang menyembelih anaknya sendiri, Ismail, datang keajaiban. Bukan Ismail yang disembelih, tapi kambing. Berhenti sebentar, kemudian laki-laki pemanggul goni bertanya dengan nada menuduh: Apakah benar, ketika kamu masih remaja, kamu menjadi penabuh beduk masjid kampung Burikan? Setiap saat sembahyang tiba, lima kali sehari, kamu menabuh beduk mengingatkan semua orang untuk sembahyang? Karmain ingat, ketika masih umurnya memasuki masa remaja, dia bercita-cita, kelak kalau sudah dewasa, dia akan memiliki gedung bioskop. Maka, dengan caranya sendiri, dia menciptakan bioskop-bioskopan. Kertas tipis dia gunting, dia bentuk menjadi orang-orangan. Lalu dengan tekun dia membuat roda kecil dari kayu. Orang-orangan dari kertas tipis dia ikat pada benang, benang ditempelkan pada roda kayu. Lalu dia memasang kertas minyak, menutup semua jendela supaya gelap, menyalakan lilin, menggerak-gerakkan orang-orangan. Dari balik kertas minyak terpantulah bayangan orang-orangan. Mereka bisa berlari-lari, berkejar-kejaran, dan saling membunuh, seperti yang terjadi pada tontonan wayang kulit. Demikianlah, pada suatu hari, ketika sedang asyik-asyiknya bermain bioskop-bioskopan, tiba-tiba Karmain ingat, waktu untuk menabuh beduk sudah tiba. Maka berlarilah dia ke masjid, meninggalkan kertas-kertas tipis berserakan di lantai. Seorang anak kampung Burikan pula, Amin namanya, telah datang terlebih dahulu, dan telah menabuh beduk. Setelah selesai sembahyang, Karmain dan beberapa orang pulang. Dalam perjalanan pulang itulah, mereka melihat asap hitam pekat membubung ke langit. Udara pun menjadi luar biasa panas. Hampir seperempat rumah di kampung Burikan terbakar, dan dua laki-laki lumpuh meninggal, terjebak oleh kobarankobaran api. Karmain, kata laki-laki pemanggul goni sambil menunduk, Janganlah kamu pura-pura tidak tahu, kamu lari ke masjid, sementara lilin masih menyala. Sunyi senyap, dan laki-laki pemanggul goni tetap tertunduk. Wahai, laki-laki pemanggul goni, kata Karmain setelah terdiam agak lama. Ibu saya dulu pernah berkata, ada lakilaki pemanggul goni yang sebenarnya, ada pula pemanggul goni yang sebetulnya setan, dan menyamar sebagai lakilaki pemanggul goni.

Laki-laki pemanggul goni tersengat, kemudian memandang tajam ke arah Karmain. Wajahnya penuh kerut-kerut menandakan rasa amarah yang sangat besar, dan matanya benar-benar merah, benar-benar ganas, dan benar-benar menantang. Setelah membisikkan doa singkat, Karmain berkata lagi: Bagaimana kamu bisa tahu, wahai laki-laki pemanggul goni, bahwa kelak Ahmadi, Koiri, dan Abdul Gani akan menyebarkan dosa yang membuat orang-orang tersesat? Laki-laki pemanggul goni, dengan kerut-kerut wajahnya dan nyala matanya, dengan nada ganas berkata: Hanya sayalah yang tahu apa yang akan terjadi seandainya mereka saya biarkan hidup. Wahai, laki-laki pemanggul goni, hanya Nabi Kidirlah yang tahu apakah seorang anak kelak akan menciptakan dosadosa besar atau tidak. Apakah kamu tidak ingat, Nabi Kidir menenggelamkan perahu seorang anak muda yang tampan? Nabi Kidir tahu, kelak anak tampan ini akan menjadi pengacau dunia. Dan Nabi Kidir pun mempunyai hak untuk menghancurleburkan sebuah rumah mewah. Sebuah rumah mewah yang dihuni oleh seorang bayi yang kelak akan membahayakan dunia. Dan Karmain ingat benar, dulu, menjelang kebakaran hebat melanda kampung Burikan, kata beberapa orang saksi, laki-laki pemanggul goni datang. Lalu, kata beberapa saksi pula, laki-laki pemanggul goni masuk ke rumah Karmain, kemudian bergegas-gegas ke luar, dan melemparkan bola-bola api ke rumah Karmain. Dan setelah api berkobar-kobar ganas menjilati sebagian rumah di kampung Burikan, beberapa orang dari kampung Burikan dan kampung Barongan sempat melihat, laki-laki pemanggul goni melarikan diri di antara lidah-lidah api yang makin membesar.

Pemanggil Bidadari
Kenangan itu seperti kotak-kotak kardus yang berserak. Seperti saat ini ketika kumasuki desa tempat Simbah Ibu tinggal. Batu-batu jalan setapak seperti memuntahkan kembali rindu yang tiba-tiba mencuat seperti kancing yang lepas begitu saja dari baju seragam anak sekolah. Ketika kumasuki desa itu, malam mulai merapat pada warna jingga di cakrawala. Malam yang selalu menakutkan bagi anak-anak ketika ibu mereka memberi warna hitam pada sebuah hari di mana matahari sedang penat menampakkan cahayanya. Malam pada akhirnya selalu menjadi kutukan. Tak ada satu pun yang menyukai malam di desa itu, hanya Simbah Ibulah yang selalu menyukai waktu di mana semua pekat menjadi penguasa sebuah hari dan sunyi. Aku tidak tahu sejak kapan aku panggil perempuan itu Simbah Ibu. Perempuan dengan guratan waktu yang penuh pada wajah berhamburan seribu damai di tiap kedip matanya yang bercahaya. Mata yang sebening cinta. Mata yang memberiku keberanian memberi makna kesetiaan utuh pada Semesta. Mata itu benar-benar mengajariku menjadi utuh, menjadi perempuan. Karena hanya menjadi utuh, seorang perempuan akan melahirkan anak-anak yang bahagia. Mata itu memberiku nama Ratri. Mbah, mengapa namaku Ratri? Karena kamu lahir pada sebuah malam yang penuh dengan pekat. Kepekatan yang mengerikan. Kepekatan yang begitu banyak melahirkan kesedihan. Malam yang membuat cinta berubah menjadi peluh birahi pada hati yang kosong. Perempuan renta itulah yang selalu mengajariku mencintai malam. Setiap malam dikecupnya pelan-pelan lelapku dan dengan lembut diajaknya aku keluar melihat bintang. Mari Nduk, kita berburu Bidadari. Entah kenapa kata-kata itu selalu manjur membuat mataku langsung terbelalak gembira. Diajaknya aku ke halaman rumah tanpa alas kaki dan diajarkannya ritual memanggil Bidadari itu padaku. Pada awalnya tangan kami terkatup di depan dada. Mata kami perlahan terpejam dan mulai merasakan desir angin bergerisik di antara daun-daun kering. Suara gemerisik itu kadang seperti bisikan kesedihan yang entah dari mana datangnya. Entah kekuatan dari mana tangan kaki kami berdentam ke tanah dan seperti sebuah orkestra raksasa hati kami berdegup tak kuasa untuk menolak musik yang begitu saja menyeruak dari dada. Simbah Ibu dengan gemulai mulai meliukkan tubuhnya dan dengan perlahan penuh harap Bidadari akan segera turun. Aku ikuti gerakan itu. Gerakan pemanggil Bidadari, begitu Simbah Ibu menyebutnya. Mengapa kita memanggil Bidadari? Karena jika Bidadari-Bidadari turun, maka desa kita menjadi damai. Para Bidadari itu akan masuk ke rumah-rumah dan menyebarkan bubuk bahagia pada mimpi orang-orang yang terlelap. Jadi ketika orang-orang itu bangun, tanpa mereka sadari mereka sudah membawa bubuk bahagia itu di dalam darahnya. Jika mereka bahagia mereka akan kuat. Hanya merasa bahagia yang akan melahirkan kekuatan. Sehingga mereka akan berusaha sekuat tenaga mengejar mimpi mereka dalam hari-harinya dengan kekuatan itu. Benar saja, seperempat jam kami meliukkan tubuh dengan diiringi musik dari hati kami serta mantra syahdu yang begitu lembut keluar dari tubuh rapuhnya. Tak lama kemudian dari angkasa turun beribu-ribu cahaya. Seulas senyum ada disudut wajahnya yang penuh dengan guratan-guratan waktu. Mungkin salah satu Bidadari itu ibumu, Nduk. Seperti sihir, kata itu mampu selalu memberi terang sebenderangnya dalam hatiku. Terang yang mampu melahirkan gambar perempuan dengan panggilan Ibu. Sejak aku lahir perempuan itu tidak pernah aku sentuh. Konon, satu-satunya

anak perempuan Simbah Ibu itu meninggal ketika aku lahir dan bapakku menjadi gila terus menghilang entah di mana. Mungkin itu sebabnya perempuan tua itu kupanggil Simbah Ibu, Karena hanya dia perempuan yang bisa kupanggil ibu. Ketika mantra selesai, Simbah Ibu menengadahkan tangannya ke atas dan berserulah dia dengan penuh cinta ke angkasa. Dalam sekejap cahaya-cahaya yang bergemuruh datang seperti hujan meteor menembus pekatnya malam. Cahaya- cahaya itu berhamburan masuk ke rumah-rumah penduduk. Setiap rumah yang dimasuki cahaya itu selalu memancarkan sinar benderang luar biasa. Kami percaya itulah cahaya jelmaan bidadari. Saat Bidadari-Bidadari turun di mataku adalah waktu di mana lukisan terindah sedang dilukis oleh Maha Cinta. Karena angkasa menjadi begitu banyak berwarna. Warna dari mimpi yang melahirkan cinta. Sekitar jam 3 pagi cahaya-cahaya itu kembali ke angkasa dan menghilang dalam pekat. Dengan kelegaan luar biasa Simbah Ibu selalu mengajakku bersujud mencium bumi sebagai tanda rasa syukur luar biasa karena para Bidadari telah sudi turun membagi cahaya dari Maha Cahaya kepada penduduk desa kami. Bumi seperti mengerti, setiap kami selesai bersujud maka beribu kunang-kunang berhamburan entah dari mana datangnya mengerumuni kami dan aku percaya kunang-kunang itu dihadiahkan para Bidadari untuk memberi senyuman pada wajahku karena konon pada roh-roh suci selalu menjelma menjadi kunang-kunang. Aku begitu yakin kunang-kunang adalah cara roh suci ibuku berbicara padaku. Ya, harum tubuh ibuku di antara kunang-kunang yang menari di antara malam dengan pekat yang hebat Setiap pagi penduduk desaku bangun dengan wajah gemerlap penuh cahaya yang menyemburat dari dalam dada mereka. Mereka tidak tahu bahwa setiap malam Bidadari-Bidadari penghuni sorga turun menebarkan serbuk cahaya pada mimpi mereka. Demikianlah di desa kami yang sangat sederhana itu setiap malam kami memanggil BidadariBidadari itu karena Simbah Ibu yakin jika rahim-rahim merah muda penduduk desa kami bahagia maka bayi-bayi yang akan lelap di dalamnya akan menjadi bayi yang penuh dengan cinta di dadanya. Jadi ketika mereka nanti lahir maka dunia akan penuh dengan cinta karena bayi-bayi itu akan terus memancarkan detak jantung yang memompa cinta ke seluruh jaringan nadinya. Setiap malam meskipun desa kami tak punya listrik, desa kami selalu benderang dengan cahaya Bidadari-Bidadari yang turun. Malam-malam yang sangat membahagiakan. Kemana pun kami pergi, para penduduk selalu memberi senyum tulus tak terhingga kepada kami, Pemanggil Bidadari, begitu mereka menyebut kami. Betul, ilmu memanggil Bidadari itu memang telah diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyangku. Hanya keluargaku yang memiliki ilmu itu. Hingga satu hari entah karena terlalu renta atau karena memang sudah saatnya, Simbah Ibu pergi menemui Maha Cahaya. Sejak itu duniaku benar-benar gulita. Meskipun sebelum pergi Simbah Ibu sangat mewanti-wanti untuk tetap meneruskan memanggil Bidadari di setiap malam, pesan itu tak pernah kujalankan. Aku begitu marah luar biasa, tidak tahu kepada siapa. Setiap malam aku memilih tidur untuk melupa kerinduanku pada Simbah Ibu dari pada memanggil Bidadari untuk desaku. Demikianlah sejak Simbah Ibu pergi, tak ada lagi yang memanggil Bidadari. Tentu saja akibatnya malam semakin membuat kelam desaku. Tak ada satu pun cahaya yang memancar di atap-atap rumah penduduk. Tak ada serbuk cahaya yang menaburkan cinta pada mimpi-mimpi mereka. Akibatnya setiap pagi orangorang menjadi kekeringan oleh cinta karena pada darahnya tak lagi mengalir bahagia. Hidup menjadi penuh kekhawatiran karena orang-orang tak lagi mau bermimpi. Mereka takut untuk bermimpi. Mereka menjadi lemah. Tak ada lagi kekuatan untuk mengejar mimpi. Banyak penduduk desaku yang akhirnya meninggal karena mereka memilih itu dari pada hidup tanpa mimpi. Aku tak tahan dengan pemandangan itu. Hingga pada satu pagi yang masih menyisakan pekat yang sepekat-pekatnya kutinggalkan desaku. Demikianlah keturunan terakhir pemanggil Bidadari tak lagi berada di desa itu. Bertahun-tahun kutinggalkan desaku, tanpa kenangan sedikit pun. Setiap kali ingatan tentang Simbah Ibu dan desaku yang penuh cahaya Bidadari itu muncul, buru-buru aku bunuh dengan minuman atau obat yang membuatku terlelap sedalam-dalamnya dalam mimpi tanpa matahari. Hatiku tak lagi mampu merasakan apa pun. Meskipun kata orangorang kecantikanku mampu membuat tulang di leher para lelaki bergerak tetapi tak sedikit pun aku mampu merasakan detak dalam hatiku, orkestra itu telah mati. Senyum tak ada lagi ada dalam mataku. Orkestra itu telah pergi bersama kepergian Simbah Ibu. Kesedihan yang tak bisa dieja oleh huruf paling purba sekalipun. Aku pilih pekerjaan yang membuatku selalu harus berjalan ke segala pelosok dunia untuk melupa. Tapi ingatan adalah sebuah luka yang sangat menyakitkan. Hingga suatu hari aku menyerah pada kesedihanku. Rindu yang tak tertahan luar biasa membuatku melolong berhari-hari tanpa henti. Kupanggil berkali-kali perempuan bermata sorga itu. Aku benar-benar rindu memanggil Bidadari. Aku rindu kunang-kunang yang keluar dari bumi. Aku rindu ibuku. Aku rindu malam. Aku rindu bersujud pada bumi. Aku rindu melihat wajah-wajah bahagia di desaku. Aku rindu Hidup. Pada tahun ke 9 tepat setelah kematian Simbah Ibu aku putuskan kembali ke desaku. ***

Rumah Simbah Ibu tetap sama dengan waktu aku tinggalkan dulu. Wasino tukang kebun kami yang sekarang sudah begitu renta masih tetap setia merawat rumah itu. Foto-foto yang mulai pudar warnanya tetap melekat pada dinding kamar. Ingatan memang sangat kurang ajar, karena hanya ingatan yang mampu mengubah waktu dalam sekejap. Seperti kembali di mana bau rokok klembak Simbah Ibu bercampur melati yang keluar dari sanggulnya menjadi bau yang selalu aku rindukan setiap kali pulang sekolah. Aku begitu rindu luar biasa pada perempuan itu. Penduduk desaku silih berganti datang mengucapkan selamat datang. Wajah-wajah mereka begitu penuh dengan rasa lelah luar biasa. Entah kapan terakhir mereka merasa bahagia. Wajah-wajah itu begitu berharap aku kembali memanggil Bidadari untuk mereka. Tetap mulut mereka membisu. Mereka takut berharap karena hanya harapan yang melahirkan luka. Untuk pertama kalinya sejak 9 tahun ini aku sangat merasa bersalah pada Simbah Ibu karena berhenti memanggil Bidadari. Aku melolong sejadi-jadinya karena rasa sesal itu begitu tak tertahankan. Aku putuskan malam ini aku kupanggil Bidadari kembali. Benar saja, tepat jam 12 malam kulakukan kembali ritual yang dulu selalu kulakukan bersama Simbah Ibu. Mungkin karena memang darahku adalah darah pemanggil Bidadari tak lama kemudian langit seperti benderang siang, Cahayacahaya yang selalu kurindukan itu turun seperti hujan yang meruah dari angkasa. Dadaku kembali berdentam dan orkestra di dalamnya mulai berbunyi. Para Bidadari kembali menaburkan cahaya pada mimpi-mimpi. Orang tanpa mimpi lebih dahulu mati daripada kematian itu sendiri. Airmataku tak henti-henti keluar, tapi aku tahu ini bukan airmata kesedihan tapi airmata dengan cahaya yang keluar dari dadaku. Serbuk bahagia dari para Bidadari itu mengalir juga ternyata dalam mimpiku. Kunang-kunang kembali berhamburan bahkan sebelum aku bersujud ke bumi. Kunangkunang yang pasti di antaranya juga ada roh suci Simbah Ibu itu seperti mengerti bahwa aku mulai mengisi darahku kembali dengan mimpi karena hanya mimpi yang mampu meneruskan hidup. Karena mimpi adalah kekuatan. Ubud, September 2011 Untuk Simbah Ibu semoga selalu menari disana

Batu Asah dari Benua Australia


Pucuk cemara sudah merunduk menyongsong malam. Yang menunggu penjemputan sudah meninggalkan pekarangan dengan puji syukur setinggi langit. Tinggal aku sendiri yang masih mencangkung di pojok sambil terus melotot ke pintu pagar, berharap kalau-kalau ada yang mendekat. Yang ada cuma angin senja, menerbangkan bau rerumputan bercampur debu, memperberat kecemasanku. Mas Koyo, orang yang sebentar-sebentar melemparkan pandang ke arahku dari pagar kawat berduri, tiba-tiba menghampiri, merapat, membuatku tegak. Saya Kiswoyo, masih ada hubungan sedarah dengan Mbak Uci, katanya menyebutkan nama akrab istriku. Aku merunduk dibuat ucapannya itu. Istri! Bisikku dalam hati. Ada duka di balik kata itu. Sudah gelap. Kelihatannya dia tak bakalan datang. Kalau Mas tak keberatan, ikut saya saja. Nginap dulu di rumah saya. Tak jauh dari sini, sambungnya. Tiga tahun digelandang dari Salemba, ke Cipinang, ke Tangerang, kemudian digiring ke kapal rusak untuk dikucilkan selama sepuluh tahun di Pulau Buru, maka tawaran tadi membuat hatiku tak percaya bahwa orang yang berdiri di depanku itu manusia Bumi. Aku sangsi, beberapa saat curiga, apa maksud orang ini. Bukankah tadi pagi dia sudah melihat bagaimana aku, dan puluhan tahanan politik yang lain, diturunkan dari truk dan diperlakukan tidak lebih berharga dari kawanan kerbau dan kambing yang sedang dihalau ke pejagalan. Kasar gerendel pintu bak truk diempaskan, papannya dibiarkan terbanting berdentam, kawir-kawir ke bawah. Untuk hewan saja disediakan titian turun. Tidak buat kami. Serentetan bentakan keluar dari muncung seorang sersan supaya kami buru-buru melompat dan masuk ke pekarangan markas militer itu. Kupikir aku sedang ketiban mukjizat. Manusia Bulan yang bernama Kiswoyo itu seperti bimbang merengkuh tanganku. Aih, nasib apa yang menimpa orang buangan seperti aku ini. Gemetar buku-buku jariku menyambutnya. Dibawanya aku ke rumahnya. Tiga belas tahun kota ini kutinggalkan di luar kehendakku. Nasib orang yang baik hati ini mungkin tak banyak berubah. Dia, istri, dan dua anaknya menempati rumah petak, setengah semen, separuh papan. Agak repot menyambut kedatanganku, Kiswoyo memepetkan kursi tamunya ke sisi dinding yang satu, dan menggelar dipan kayu nangka ke sisi yang lain. Buntalanku kusurukkan ke bawah. Di atas dipan itulah aku menghabiskan satu malam dari hidupku di dunia bebas. Itulah pertama kali, setelah tiga belas tahun yang gulita, aku melewati malam dengan terang bohlam yang redup. Semalaman gelisah. Bukan bohlam itu benar yang membuat aku tak bisa lelap, tetapi hantu tentang sebuah rencana hidup yang terus menumpati otakku. Bagaimana esok, dan keesokan harinya lagi, aku mempertahankan hidup di surga yang bernama dunia bebas ini? Di Buru, aku dan kawan-kawan punya lahan yang kami buka sendiri dengan tangan telanjang. Ya, benar-benar tangan telanjang! Jangankan traktor. Arit pun tak ada. Walau begitu, pulau buangan itu akhirnya bisa berswasembada pangan berkat tangan-tangan kami orang rantai, meskipun yang menikmati adalah tentara yang mengawasi hidup kami dalam pemencilan dan kerja paksa. Hari kedua, dan ini pastilah berkat Kiswoyo, satu-satunya anakku muncul. Peluk dan air mata merayakan berakhirnya perpisahan paksa antara kami, membanjir tak tertahankan di bendul pintu rumah tumpanganku itu. Nduk, bujukku lembut, maukah kau membantuku? Dia merunduk. Bapak harus punya penghasilan. Sebelum kapal membelah ombak Laut Jawa, Bapak sudah punya angan-angan, kataku pula. Besok, bawakanlah batu-asah warisan Eyangmu. Tanya Ibumu. Dia tentu tak lupa. Batu-asah itu diperoleh Eyangmu ketika dia di Australia dan sempat dia bawa ke Digul sebagai orang buangan. Batu itu bermuka dua. Yang sebelah kasar, sebelah lagi licin, halus. Hatiku gemas tak tahan menunggu. Baru pada hari kelima putriku itu muncul. Kenapa lama sekali, Nduk? Sungguh Ibu tak pernah menyangka Bapak akan pulang. Tiga hari, siang-malam, kami mencari-cari. Begitu ditemukan sudah jadi ganjalan ember di sumur kerekan. Di belakang rumah tetangga, katanya seraya menyerahkan batu dalam lipatan kertas koran itu ke tanganku. Hatiku biru. Kecupan yang dalam kudaratkan ke dahinya tanda terima kasih. Langkahnya pulang kuiringi kata-kata: Sampaikan salam dan rasa syukurku kepada Ibu. Kutimang kuelus permukaannya yang halus bak pauh dilayang. Juga sisinya yang kasar seperti bertabur pasir. Aku yakin batu-asah ini akan menyelamatkan napasku. Akan kubebaskan diriku dari ketergantungan pada Kiswoyo.

Kulunasi semua makanan, minuman, dipan kayu-nangka, dan segala kerepotan yang menimpa dirinya. Dengan batuasah warisan itu aku mengelilingi pusat kota, berjalan kaki, dengan langkah gontai seperti layang-layang putus tali teraju. Asah gunting! Asah pisau! Batu-asah dari Australia! Begitulah teriakanku menjajakan. Hari pertama, dua pemilik warung nasi tegal meminta aku membereskan perkakas mereka. Lancar seperti mimpi dalam membangun hari kebangkitan, sampai hari kedua puluh delapan tak ada hari tanpa asahan. Kalau tidak mempertajam pisau, ya, mengasah gunting. Hari kedua puluh sembilan. Begitu kakiku menikung di perempatan jalan, di wilayah perumahan berpagar tembok tinggi, muncul seorang anak perempuan, berkulit putih, bermata sipit, dalam bimbingan seorang perempuan, yang kuduga adalah pembantu rumah tangga. Mereka menyodorkan sebilah pisau. Ini pasti pisau sashimi. Wow Abang pintar sekari, ya, sahut anak perempuan itu dengan lidah cadelnya. Belum selesai kuasah, pembantu itu menimpali: Bang, sekalian perbaiki yang rompal, ya. Baik, tapi tak bisa buru-buru. Makan waktu agak lama. Tak apa-apa. Begitu pisau yang sudah tajam dan mulus hendak kuserahkan, sebuah sedan berhenti di belakangku. Bergaun putih, seorang nyonya menguakkan pintu. Ini Nyonya, pisaunya sudah bagus. Tajam sekali, pembantu itu pamer kepada tuannya. Sang Nyonya menilik pisau itu, dan katanya: Kore wa yoku kireru. Yokatta [Ini tajam sekali. Syukurlah], katanya berceloteh, kegirangan. Sashimi wo kiru tame desu, ne [Untuk memotong sashimi, kan?]? aku memotong. Hai, sashimi no tame desu. Nihongo dekimasu, ne [Ya, untuk sashimi. Bisa bahasa Jepang, ya]. Hai, dekimasu, cepat kusahut. Belajar di mana? Di Universitas Waseda, di Jepang. Alis mata nyonya itu hendak terbang, menjungkit ke atas. Ha?! Dia bergumam. Matanya mau menelan kepalaku. Waseda?! Sang Nyonya memperhatikan ujung kaki sampai ke ubun-ubunku. Tunggu, ya. Tergopoh dia masuk ke rumah, diiringi anak dan pembantu tadi. Sekelebat angin, dia muncul lagi, diantar seorang laki-laki. Pastilah suaminya, pikirku. Laki-laki berkacamata itu menghampiriku. Pipinya tembem. Matanya memberi kesan seorang peramah, suka bercanda. Sapanya: Kamu cuma tukang asah pisau, tapi bisa bahasa Jepang. Apa kamu intelijen mau memata-matai kantor saya? Ini kantor berita Jepang. Dibuka karena diundang pemerintah. Kamu siapa? Kedua tangannya tetap menyangga pinggang. Saya baru pulang dari Pulau Buru. Saya tahanan politik, tapi sudah bebas, tukasku, lagi-lagi dalam bahasa Jepang. Pulau Buru?! Lantas dia menggiringku ke dalam. Aku dipersilakan duduk di seberang meja kerjanya. Dijangkaunya sebuah file dan meletakkan dua foto di daun meja. Kenal? tanyanya. Ini siapa? Profesor Doktor Suprapto, ahli hukum. Pramoedya, sastrawan, jawabku. Yang ini, lanjutku, yang pakai caping ini, saya. Kacamatanya turun-naik mencocokkan foto dengan tampangku. Bahasa Jepang Saudara bagus. Belajar di mana? Di Buru?

Aku terkekeh. Tidak. Di Waseda. Di Universitas Waseda. Saya lulus Master. Lulus dari Waseda? Ujian masuknya saja begitu susah, katanya menggurui dirinya sendiri. Kuceritakan, aku ikut bertempur di Kalimantan mengusir balatentara pendudukan Jepang tahun 1943. Setelah Republik berdiri, aku memperoleh beasiswa untuk belajar di Jepang. Beberapa tahun aku menetap di Tokyo, menjadi koresponden koran Partai Komunis yang terbit di Jakarta. Tak usah lagi saya teruskan cerita ini. Karena jadi wartawan itulah maka saya dibuang ke Buru, kataku. Dia nyengir. Menyesal sekali, saya sudah punya sekretaris merangkap penerjemah, katanya. Seraya menghela napas dipandanginya aku dari balik kacamata yang melorot di batang hidungnya. Tapi, kalau mau, boleh datang tiga hari dalam seminggu, ucapnya menggenapkan harapanku yang memang menggunung. Nyaris aku melompat waktu dia bilang: Besok mulai masuk. Belasan tahun dizalimi. Aku hafal sakitnya hati jika kita dilangkahi. Menjadi pemantik kecemburuan aku tak sudi. Tapi, apa yang bisa kuperbuat? Nyatanya, akulah yang diajaknya ke mana-mana. Bukan penerjemah yang sudah bertahun bekerja padanya. Terakhir, dimintanya aku turut ke Laguboti, di bibir Danau Toba, mencari seorang insinyur Batak, yang seorang diri, dengan gajinya, ditambah tabungan istrinya, meneruskan pembangunan Proyek Asahan yang diterbengkalaikan presiden kita yang kedua. Jepang ini menjadi-jadi. Disuruhnya aku masuk setiap hari. Nasibku semulus batu-asah. Memasuki bulan keenam, aku sudah bisa mengontrak rumah yang layak. Bulan kesembilan. Istriku merengek, minta aku membiayainya menunaikan ibadah haji. Aih. Inilah kesempatan emas bagiku untuk membayar dosa-dosa sebagai suami yang telah menelantarkannya belasan tahun, sampai-sampai lima tahun terakhir dia terpaksa menikah dengan lelaki lain. Aku tak pernah menyesali keputusannya. Kutimpakan seluruh peruntungan yang buruk itu di kepalaku. Uci bilang, dia rela menikahi lekaki itu karena orang itu berjanji mau mengajaknya ke Mekkah. Bertahun menanti. Janji itu cuma angin gurun. Lantaran malu, barangkali, lelaki itu baik-baik meminta maaf, mohon berpisah. Kuurus segala kebutuhan dan persyaratan sehingga Uci terdaftar sebagai calon jemaah. Dia sendiri sudah khatam seluruh kalimah ibadah, yang wajib maupun sunah. Mendekati hari keberangkatannya, menjelang magrib, kupegangi tangannya, erat seperti tiga puluh tahun yang lalu mula pertama aku merengkuhnya. Uci, ingat kuplet ketiga lagu kebangsaan Indonesia Raya. Larik pertama berbunyi Indonesia tanah yang suci. Ya, Indonesia tanah yang suci. Kalau kau melempar jumroh di Tanah Suci, ingatlah Tanah Air kita ini. Tancapkan di hatimu bahwa batu-batu yang kau hunjamkan itu merajam setan-setan kota maupun desa di tanah suci kita ini, yang tak sempat disingkirkan karena presiden pertama keburu ditumbangkan. Lihatlah, sekarang, di samping setan kapitalis birokat, muncul pula setan banggarong. Mereka pesta-pora, gentayangan bermobil mewah meraung-raung suka-suka di Senayan sana. Pernah di antara mereka, suatu ketika, melintas di jalan bebas hambatan. Sudah tak bayar tol, menebas nyawa orang pula. Rajamlah mereka dengan batu-batumu itu. Rajamlah, sayangku. Kang Mas, istriku manis berbisik, semanis tiga puluh tahun yang lalu. Seruan azan mengguntur ke langit. Dia mengecup tanganku. (Untuk Trikoyo Tri Ramidjo, dari siapa ilham kisah ini bermula)

Pohon Hayat
Sebelum daun milik nenek gugur, nenek pernah bercerita perihal sebuah pohon yang tumbuh di tengah alun-alun kota. Kata nenek, pohon itu telah ada sejak ratusan atau mungkin ribuan tahun lalu. Tak ada yang tahu persis, kapan dan bagaimana pohon itu tumbuh. Sewaktu nenek kecil, pohon itu sudah menjulang meneduhi alun-alun kota, serupa payung raksasa. Menilik kokohnya, tampaknya akarnya telah menancap jauh ke kedalaman bumi. Batangnya pun tampak seperti lengan lelaki yang kuat dan penuh urat. Dahan dan ranting berjabar serupa jari-jemari yang lentik. Dedaunnya lebar serupa wajah-wajah yang tengah tersenyum dalam keabadian. Kata nenek, kehidupan setiap penduduk di kota ini tersemat di tiap daun yang bertengger di cabang, ranting, dan tangkai pohon itu. Setiap kali ada satu daun yang gugur, artinya seseorang di kota ini telah lepas dari kehidupan. Satu daun artinya satu kehidupan, begitu kisah nenek. *** Suatu ketika, aku pernah mendesak nenek untuk mengantarku ke alun-alun kota, untuk melihat langsung pohon itu. Tentu saja tanpa sepengetahuan ibu. Karena, kalau ibu tahu pasti ibu tak akan mengizinkan. Diam-diam kami pun berangkat, pelan-pelan aku menuntun nenek yang jalannya sudah tidak tegap lagi. Jarak antara rumah dan alun-alun kota sebenarnya tidak terlalu jauh. Kami cukup naik angkutan umum satu kali, tak sampai setengah jam kami sudah sampai. Begitu sampai di alun-alun kota, nenek langsung mengajakku ke pusat alun-alun, tempat di mana pohon itu berada. Kami berteduh di bawahnya, nenek duduk dengan napasnya yang terdengar ngik-ngik. Kepala nenek menengadah ke atas. Aku pun menirukannya. Banyak sekali misteri dan kehidupan di atas sana, gumam nenek. Lelah menengadahkan kepala, aku pun menunduk. Tampak daun-daun kering berserakan di mana-mana, sebagian terinjak-injak oleh kakiku. Nek, aku menjawil lengan nenek. Ya? Apakah daun-daun kering yang berserakan di bawah ini adalah jasad orang-orang yang sudah mati? Ya, daun-daun itu adalah jasad tilas mereka dari pohon kehidupan. Berarti jasad tilas ayah ada di antara daun-daun kering itu? Mungkin. Tapi nenek kira, kini, jasad ayahmu sudah menyatu kembali dengan tanah. Nek. Ya? Mengapa daun-daun kering itu tidak dibersihkan atau dibakar saja. Tak perlu, lambat laun mereka juga akan kembali ke muasalnya, tanah, melebur menjadi tanah. Dari tanah kembali ke tanah. Kepalaku kembali menengadah, Kalau daun-daun kemuning yang ada di atas sana itu siapa?

Mereka adalah orang-orang tua yang masih hidup di kota ini, mereka-mereka yang sudah lama bertengger di atas pohon kehidupan. Apakah mereka akan segera gugur. Tentu saja, Nak. Gugur adalah takdir mereka. Apa Nenek ada di antara salah satu daun kemuning yang ada di atas sana, yang siap gugur itu? Nenek tak tahu. Itu rahasia yang di atas, tak seorang pun berhak tahu. Aku terus menengadahkan kepala, mencari-cari di mana letak daun milik nenek, milikku, dan juga milik ibu. Nek. Ya? Tunas-tunas daun yang tersemat di pucuk pohon itu, pasti adalah bayi-bayi yang baru lahir di kota ini, ya, kan? Ya. Benar, memang kenapa? Berarti, sekarang, aku berada di antara daun-daun muda yang bertengger di atas sana? Ya. Tentu saja. Artinya, masa gugurku masih sangat lama, ya, Nek? Nenek mengernyitkan dahi, Siapa bilang? Setiap lembar daun kehidupan yang ada di atas sana adalah rahasia. Tak ada seorang pun yang tahu. Gugur adalah hak semua daun, dari yang kemuning, yang masih segar dan hijau, bahkan yang masih tunas pun bisa saja patah dan gugur. Aku terdiam. Mencerna kata-kata nenek. *** Sepulang dari alun-alun kota, nenek mengeluhkan kaki tuanya yang keram. Beberapa hari berikutnya nenek terbaring sakit. Ibu menyebut penyakit nenek dengan penyakit orang tua. Musabab itulah ibu tidak memarahiku ketika kukatakan bahwa sebenarnya akulah yang menyebabkan nenek sakit. Kian hari penyakit nenek kian parah. Tubuh nenek mati separuh. Tak bisa digerakkan. Nenek berak dan buang air kecil pun di tempat. Dengan sabar ibu mengurusinya. Barangkali memang itu kewajiban seorang anak. Ketika ibu masih bayi, pasti nenek juga melakukan hal yang sama. Kian hari tubuh nenek kian kering. Bahkan ia sudah tidak sanggup lagi bicara. Saat itu aku benar-benar takut. Takut ditinggalkan nenek. Takut kehilangan nenek. Tiba-tiba aku teringat pohon itu. Daun-daun kemuning itu. Tanpa izin ibu, aku beringsut pergi menuju alun-alun kota. Aku berdiri di bawah pohon itu dengan kepala tengadah. Berjaga-jaga jika sewaktu-waktu sebuah daun gugur dari sana. Tapi tidak, detik itu aku tak ingin ada satu daun pun gugur dari sana. Tapi seperti kata nenek, daun-daun di atas sana adalah rahasia. Tak seorang pun berhak tahu atas rahasia itu. Berjam-jam aku berdiri di bawah pohon itu. Tak tampak satu daun pun yang gugur. Nenek hanya sakit tua biasa. Ia akan segera sembuh, bisikku dalam hati. Ketika aku beranjak pergi meninggalkan pohon itu, tiba-tiba angin berhembus. Sekilas hembus. Beberapa daun dari pohon itu melayang-layang di udara dan akhirnya rebah di tanah. Aku terdiam menyaksikannya, lalu pergi dengan rahasia yang masih mengepul kepala. Sampai di rumah, tiba-tiba ibu memelukku dengan isakan lirih, Nenekmu sudah pergi.

Bujur tubuh nenek mengingatkanku pada daun kemuning yang rebah di tanah, di alun-alun kota beberapa saat lalu. *** Seiring usia, masa kecilku hilang dilalap masa. Sebagai remaja yang bebas, aku pun merantau dari kota ke kota. Satu hal yang kemudian kusadari, setiap kota yang kusinggahi selalu memiliki pohon besar yang tumbuh menjulang di alunalunnya. Hal itu mengingatkanku pada cerita nenek tentang pohon kehidupan di alun-alun kotaku. Namun, geliat zaman menyulap cerita itu menjadi cerita picisan yang sulit untuk dipercaya. Setiap manusia pasti akan pergi ke muasalnya. Tak ada hubungannya dengan pohon dan daun-daun. Tapi entahlah, hati kecilku selalu mengatakan bahwa cerita nenek itu benar adanya. Aku jadi bertanya-tanya, apakah setiap pohon yang ada di alun-alun kota adalah pohon kehidupan yang menyimpan rahasia kehidupan setiap penduduknya? Entahlah, kukira itu juga sebuah rahasia. *** Meski hidup dalam rantauan, aku selalu pulang ke kota ibu, kota lahirku, paling tidak setahun sekali. Setiap lebaran fitri. Dan benar, setiap tahun, alun-alun kotaku selalu mengalami perubahan. Taman, bangku-bangku, air mancur, bahkan kini di sisi-sisi jalan sudah ditanami ruko-ruko berderet. Mulai dari pengamen, pengemis, topeng monyet, penjual tahu petis keliling, bahkan tante-tante menor, semua tumplek blek di alun-alun kota. Satu-satunya hal yang tidak berubah adalah pohon itu. Pohon itu masih tampak kokoh dari waktu ke waktu. Setiap aku melihat pohon itu, rol film dalam kepalaku kembali berputar, menayangkan bocah kecil dan neneknya yang tengah asyik berbincang tentang kehidupan di bawahnya. Tahun berlalu-lalang seperti manusia-manusia yang datang dan pergi di alun-alun kota. Kian tahun, pohon itu kian rimbun, penduduk kota kian merebak. Namun entahlah, daun-daun yang bertengger di pohon itu tampak kusam dan menghitam, warna hijau seperti pudar perlahan. Barangkali kian waktu kian banyak serangga dan hama yang hinggap di sana. Membuat sarang, mencari makan, membuang kotoran dan beranak pinak di sana. Aku jadi bertanya-tanya, apakah itu artinya, para manusia yang hidup di kota ini juga terserang hama? Entahlah. *** Aku tak pernah menyalahkan waktu, tapi memang banyak sekali hal berubah oleh waktu. Kudengar dari ibu, kini, kota kelahiranku telah jauh berubah. Kian waktu, pepohonan kian habis. Sawah-sawah mulai ditumbuhi rumah-rumah. Tempat ibadah kian melompong. Muda-mudi lebih suka keluyuran ke mal dan bioskop-bioskop. Gadis-gadis kini tak sungkan lagi mengenakan pakaian setengah jadi. Para bujang pun lebih suka bergerombol di pinggir-pinggir jalan ditemani botol, kartu, dan gitar. Gadis hamil di luar nikah menjadi kabar biasa. Merentet kemudian, banyak ditemukan bayi-bayi dibuang di jalan. Sengketa dan pembunuhan merajalela. Barangkali orang-orang di kotaku memang sudah terserang hama. Seperti daun-daun di pohon kehidupan yang kian kusam di alun-alun kota. Berkali-kali ibu menggumamkan syukur, aku menjadi seorang perantau yang merekam berbagai pohon kehidupan, tanpa melupakan kenangan. Di zaman yang sudah berubah ini, ruang tak pernah menjadi penghalang. Meski ruang kami berjauhan, setidaknya, setiap seminggu sekali, aku dan ibu saling bertukar kabar, bersilang doa. Kian waktu, dunia kian renta, Nak, seperti juga ibumu. Dari itu, pandai-pandailah engkau menempatkan diri, begitu nasihat ibu yang terakhir yang sempat kurekam. Kian waktu, daun-daun itu pun akan luruh satu per satu dan habis. Suatu saat nanti, akan tiba masanya, pohon itu akan tumbang tercabut dari akarnya. Semua sudah tercatat dan tersimpan rapi dalam perkamen rahasia yang tergulung di atas sana. Kita hanya manusia yang naif dan rapuh, yang tak tahu apa-apa. Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah berjaga-jaga jika sewaktu-waktu nanti pohon kehidupan melepaskan kita dari tangkainya, Ibu membisikkan nasihatnasihat itu dengan suara serak. Tiba-tiba aku teringat kerutan yang berombak di dahinya, juga rambutnya yang mulai pecah memutih. Terbayang dalam kepalaku bahwa kini, mungkin, daun ibu telah menguning dan siap luruh. Tiba-tiba aku ingin pulang, kembali terlelap dalam pangkuan ibu yang hangat. Namun, sebelum langkahku sampai di tanah lahir, telah kudengar

kabar bahwa bencana besar telah melanda kotaku. Merebahkan seluruh kota setara dengan tanah. Ada yang mengatakan, bencana yang menimpa kota itu adalah sebuah cobaan. Ada pula yang mengartikan bencana itu sebagai peringatan. Namun, juga tidak sedikit yang mengemukakan bahwa bencana itu merupakan azab. Entahlah. Ketika aku kembali ke kota itu, yang kutemui hanya kota yang mati. Dengan sisa-sisa kenangan, aku merelakan ibu, merelakan kotaku, merelakan tilas masa kecilku. Bersama air mata, semua kularung ke udara. Aku merangkak mendatangi alun-alun kota yang telah porak poranda. Dari kejauhan, pohon itu masih tampak menjulang meski compang-camping. Di bawah pohon itu, tubuhku gemetar memandangi satu-satunya daun yang masih bertengger di sana. Suatu saat nanti akan tiba masanya, pohon itu akan tumbang tercabut dari akarnya. Semua sudah tercatat dan tersimpan rapi dalam perkamen rahasia yang tergulung di atas sana, kata-kata ibu kembali mengiang di telinga.

Requiem Kunang-Kunang

Barangkali aku akan menjadi kunang-kunang terakhir di kota ini. Segalanya terasa sebagai kesenduan di kota ini. Gedung-gedung tua dan kelabu, jalanan yang nyaris lengang seharian, deretan warung kelontong dan kafe-kafe sunyi dengan cahaya matahari muram yang mirip kesedihan yang ditumpahkan. Kota ini seperti dosa yang pelan-pelan ingin dihapuskan. Bila suatu kali kau berkunjung ke kota yang terletak di lekuk teluk yang bagai mata yang mengantuk ini, kau sesekali hanya akan bertemu dengan satu dua orang tua yang berjalan malas atau pemabuk yang meringkuk mendengkur di bangku-bangku taman. Bila kau perhatikan dengan cermat, setiap perempuan yang kau temui di kota ini selalu berjubah dan kerudung hitam, seolah-olah mereka terus berkabung sepanjang hidupnya, seolah-olah mereka semua adalah rahib kesedihan. Dan bila kau memperhatikan lebih cermat lagi, lebih teliti, maka kau akan segera tahu: hampir dari mereka semua, buta! Ada banyak kisahsetidaknya yang pernah aku dengarkenapa semua penduduk di kota ini buta. Jagat raya semula hanyalah gugusan cahaya. Cahaya yang kuning keemasan. Lalu ruh sepasang manusia pertama tercipta dari cahaya itu. Berbentuk percik cahaya. Kekuningan. Serupa kunang-kunang. Sepasang ruh yang serupa kunang-kunang itu kemudian turun ke dunia, begitu kisah leluhur, lalu berdiam di tubuh manusia, yang semula, hanyalah serupa batang-batang pohon. Tinggi menjulang, diam bagai pertapa. Ruh yang serupa kunang-kunang itu hinggap di tubuh manusia, sebagai sepasang mata, hingga manusia hidup dan bisa melihat dunia. Ketika manusia mati, ruh itu kembali terbang, menjelma kunang-kunang. Dan manusia kembali buta. Kisah lain datang dari muasal teluk yang terletak di Utara kota ini. Teluk Duka Cita, begitu orang-orang di kota ini menyebutnya. Pangeran Ketiga dan Putri Kelima, mereka sekandung anak Raja Pertama, saling jatuh cinta, dan waktu, juga maut dan mampu menghentikannya. Karena tak tahu lagi bagaimana cara menghentikan cinta terlarang dua saudara sekandung itu, Permaisuri, sembari terisak meminta syarat yang menurutnya muskil dipenuhi: dalam semalam mereka harus menyediakan kunang-kunang, yang bila dihamparkan dengan rapi, sanggup menutup seluruh permukaan teluk. Cinta yang buta memberi mereka akal, juga kekejaman. Dengan menggabungkan sihir yang dimilikinya, Pangeran Ketiga dan Putri Kelima, memanggil semua kunang-kunang yang ada, bahkan mereka diam-diam menambahi kunang-kunang itu dengan mata para penduduk yang telah mereka congkel, dan mereka sihir menjadi kunang-kunang. Melihat itu, Raja segera menyuruh para prajurit menebah kunang-kunang yang telah berhasil dikumpulkan itu agar kembali terbang. Maka, meski telah ratusan mata dicongkel untuk menggenapi kunang-kunang agar bisa menutupi seluruh permukaan teluk, hingga pagi tiba, masih ada sebagian teluk yang tak tertutup kunang-kunang. Pangeran Ketiga dan Putri Kelima mengeram marah, ketika mengetahui cara licik Raja menggagalkan cinta mereka. Di hadapan Raja dan Permaisuri, mereka langsung saling menusuk jantung masing-masing, sambil mengutuk: mereka akan mengambil semua mata seluruh penduduk dan keturunan yang hidup di kota ini, hingga siapa pun yang tak harus menanggung dosa menjadi buta. Kemudian mayat keduanya jatuh ke dalam teluk. Tak ada muda-mudi kota ini yang berani berpacaran di teluk itu. Bila nekat, sepulang dari sana, mata mereka buta. Kisah yang ini, barangkali, akan lebih kau percaya. Bermula dari kedatangan pasukan asing, dan perang saudara yang berlangsung bertahun-tahun setelahnya. Banyak warga yang kemudian dicap pemberontak. Mereka yang dituduh matamata pemberontak, langsung ditangkap dan dicongkel matanya. Andai saat itu kau ada di kota ini, jangan kaget, bila seseorang yang kau jumpai pada sore hari, telah menjadi buta pada pagi harinya. Ada gereja tua, yang dianggap menjadi sarang pemberontak, dan pasukan asing itu mengepungnya. Seluruh yang ada di dalamnya diseret keluar dan dikumpulkan di pekuburan yang berada di belakang gereja. Mereka langsung dihabisi dengan serentetan tembakan. Peristiwa itu selalu diperingati dengan misa paling murung di kota ini. Seperti diriwayatkan leluhur, ruh mereka yang mati akan kembali menjadi kunang-kunang. Bila malam hari, kau bisa menyaksikan puluhan kunang-kunang terbang berkitaran dari arah pekuburan di belakang gereja itu. Atau berjalanlah menyusuri kesunyian lorong-lorong kota ini malam hari, maka kau akan selalu berpapasan dengan kunang-kunang, yang melintas sendirian, atau bergerombol, seakan-akan mereka adalah sebuah keluarga yang sedang jalan-jalan. Jangan kaget, bila tiba-tiba pundakmu seakan ada yang menepuk, dan kau mendapati seekor kunang-kunang telah hinggap di pundakmu. Tak terlalu banyak penerangan di kota ini. Satu-satunya pembangkit listrik yang tersisa hanyalah berasal dari kincir air yang letaknya jauh di luar kota dan sudah payah tenaganya. Para pasukan asing dan penguasa telah lama melupakan kota ini, bagai hendak melupakan dosa mereka dari ingatan mereka. Kota itu terasa murung dan

kelabu di siang hari. Dan tanpa penerangan listrik yang cukup, di malam hari kota ini seperti dikuasai kegelapan yang ganjil. Kegelapan yang dipenuhi kunang-kunang yang bagai muncul dari lorong-lorongnya yang paling gelap. Atau berjalanlah kau menyisir tepian teluk, maka kau akan menyaksikan ribuan kunang-kunang terbang nyaris menyentuh permukaan airnya yang bagai pulas tertidur. Ribuan kunang-kunang itu seolah ruh yang bangkit dan ingin membebaskan diri dari cengkeraman kutukan masa silam yang kelam. Kadang kau bisa mendengar suara mereka bernyanyi dengan kepedihan yang begitu memilihan. Seperti koor ruh yang purbawi. Cahaya kunang-kunang akan membuat jalanan kota di malam hari menjadi tampak berpendaran kekuningan, seperti ada mata yang terus menyala dari balik kegelapan. Kau akan melihat kunang-kunang itu bergerombol memenuhi warung dan kafe-kafe, seakan tengah mengobrol. Kau akan menyaksikan kunang-kunang itu hinggap di tiang listrik yang mati, hingga tiang listrik itu terlihat seperti pohon yang menyala kekuningan. Ketika segerombolan kunangkunang hinggap di serimbun perdu atau tumpukan batu, maka perdu dan batu itu seketika menyala berpendaran. Diding-dinding yang telihat kusam dan tua di siang hari, menjadi berkilauan di malam hari. Dan sebuah pohon meranggas, bisa saja seketika langsung menyala kekuning-kuningan, seakan hiasan lampu jalan atau pohon Natal. Ada yang hidup di malam hari di kota ini, yang tak hidup di siang hari. Sebenarnya pernah, suatu saat, kota ini mencoba hidup dan berbenah diri. Banyak pendatang yang mencari peruntungan. Tapi barangkali kota ini memang kota yang ingin dilupakan, atau dilenyapkan. Selalu saja ada hal-hal kecil yang sepertinya sengaja diciptakan untuk menjadi kerusuhan. Pembunuhan dan perkelahian. Rumah ibadah yang dibakar. Penembakan dan ledakan bom. Kota ini menjadi kota yang selalu dipenuhi permusuhan dan kerusuhan. Iman menjadi sesuatu yang menakutkan. Desas-desus tantang pasukan bertopeng yang suka menculik dan mencongkel mata siapa saja yang ditangkapnya, membuat bergidik para warga yang kemudian memilih meninggalkan kota ini. Hingga kota ini tinggal dihuni orang-orang yang sebagian besar telah buta, dan kunang-kunang. Apalah yang layak diceritakan dari kota yang murung dan hanya didiami orang-orang buta dan kunang-kunang seperti aku ini? Aku, seperti ribuan kunang-kunang lain di kota ini, hidup dalam kesunyian cahaya. Kami seperti menanggung beban masa silam yang sampai kini tak pernah bisa kami pahami. Sebagai ruh, kunang-kunang seperti kami, hidup abadi. Tapi apalah arti keabadian bila kami hidup dalam kesunyian yang tak tertanggungkan seperti ini? Kami hidup untuk melupakan apa yang telah terjadi pada kami. Aku sendiri selalu ingin melupakan ingatan buruk itu. Ketika suatu malam, saat aku masih hidup sebagai manusia, berjalan pulang seusai pesta dansa. Di kelokan jalanan gelap, beberapa orang bertopeng menyergap dan meringkusnya. Aku tak sempat menjerit dan melawan ketika kurasakan belati tepat menikam jantungku. Pada detik terakhir aku hanya sempat merasakan kesakitan yang tak bisa aku lukiskan dengan kata-kata, tepat, saat mereka mereka mencongkel mataku. Pada detik terakhir itulah, ruhku keluar dari tubuh, dan menjelma kunang-kunang. Peristiwa itu terjadi sebulan sebelum Natal. Setelah peristiwa itu, terjadi kerusuhan dan kebakaran, yang menghanguskan nyaris sepertiga kota. Bekas yang disisakannya, berupa onggokan arang kebakaran, bila dilihat dari ketinggian, seperti luka sayatan pedang, yang mengiris wajah kota. Kesakitan yang akan lama kekal dalam ingatan. *** Dan inilah kali pertama aku akan merayakan Natal sebagai kunang-kunang. Mengenang dan memikirkan apa yang telah terjadi di kota ini, aku diluapi kesedihan, yang membuatku sepertinya akan menjadi kunang-kunang terakhir di kota ini. Ah, aku merasa, aku hanya terlalu dikuasai kesedihan. Mereka yang sudah lama menjadi kunang-kunang, mungkin pernah mengalami perasaan sentimentil seperti ini, tetapi akhirnya menjadi terbiasa. Perasaan sentimentil itulah, yang barangkali, membuatku ingin menceritakan semua kisah ini, kepadamu. Pada malam Natal di kota ini, kau akan menyaksikan kunang-kunang bermunculan dari penjuru kota, yang bergerak melayang menuju gereja tua, di mana dulu pernah terjadi pembantaian. Kunang-kunang itu memenuhi gereja. Hingga gereja menjadi terang benderang berkilauan kuning keemasan. Pada fresko di belakang altar, kacanya yang buram dan sudah pecah di beberapa bagian, cahaya kunang-kunang itu menampakkan diri bagaikan aura para santa, membuat salib Kristus yang menjulang seolah diselubungi cahaya kesucian yang lembut dan meneduhkan. Sementara para jemaat, yang nyaris sebagian besar renta dan buta, para perempuan yang murung sepanjang hidupnya, mengikuti misa dengan keheningan jiwa yang membuat segala suara di sekitarnya seperti terhisap lesap. Pada saat-saat seperti itu, suara pelan daun yang melayang jatuh menyentuh rerumputan, akan terdengar jelas di telingamu. Ubi caritas et amor, Deus ibi est

Simul ergo cum in unum congregamur Ne nos mente dividamur, caveamus Cessent iurgia maligna, cessent lites Et in medio nostri sit Christus Deus. Nyanyian itu, nyanyian itu, membuat aku tak kuasa menahan sedu. Aku membayangkan kota yang terang, teluk yang lembut dan menguarkan kesegaran yang tak terjamah musim. Kotaku, kotaku, yang sesungguhnya elok ini, kenapa engkau ditinggalkan para penduduk yang mencintamu dengan seluruh nestapa dan duka cita? Keheningan misa mendadak pecah oleh ledakan. Para jemaat yang buta berlarian dan tersandung hingga terjerembap. Aku melihat api berkobar dari arah samping gereja. Seperti ada yang melemparkan bom molotov. Seperti ada ledakan granat atau entah apa yang tak pernah aku tahu. Mungkin seseorang telah menyelusup ke dalam gereja dan meledakkan diri. Dan api makin berkobar. Sebentar lagi, mungkin gereja ini akan terlalap api dan memusnahkan semua kunangkunang di dalamnya. Sebelum api itu juga menghanguskanku, mungkin aku akan menjadi kunang-kunang terakhir di kota ini yang masih sempat menceritakan semua ini kepadamu.

Gerimis Senja di Praha

Senja Agustus memerah di kaki bukit Petrin, Mala Strana. Langit mengencingi Praha tak habis-habis. Gerimis turun sejak siang dan tak juga membesar. Sungai Vltava baru saja mulai tenang setelah marah meletup-letup selama setengah pekan lalu. Dua hari lalu, airnya naik hingga sembilan meter. Jembatan Charles nyaris terendam. Kemarahan Vltava nyaris saja menenggelamkan Praha. Kau ada di situ. Begitu saja. Berpayung jingga. Berdiri mematung. Matamu terlihat menerawang. Bajumu putih, sedikit berenda. Kalau saja matahari sedang berbaik hati pada Praha, rok tipismu tentu menerawang pula. Kau seperti berjejer dengan patung-patung monumen itu. Menjadi bagiannya yang paling menarik. Monumen karya Olbram Zoubek itu sederhana belaka. Terdiri dari tujuh anak tangga dengan tujuh sosok di atasnya. Ketujuhnya terlihat sedang melangkah naik. Sosok yang berdiri di anak tangga terbawah adalah seorang lelaki dengan tubuh yang lengkap. Tapi semakin tinggi anak tangga, semakin tak lengkap bagian tubuhnya. Akhirnya, di anak tangga teratas, berdiri sosok yang sudah kehilangan begitu banyak anggota tubuhnya sehingga nyaris tak lagi berbentuk manusia. Monumen ini adalah salah satu dari sekian banyak monumen yang dibangun di Republik Ceko setelah komunisme mati. Bagiku, pesan yang disampaikannya tegas-terang-benderang. Komunisme menawarkan kebohongan berongkos mahal. Seolah menyediakan anak tangga untuk naik menggapai kejayaan, tapi sejatinya adalah parade prosesi kematian kemanusiaan. Sepekan menyusuri Praha cukup untuk menemukan betapa masa lalu, termasuk yang baru saja lewat, beroleh tempat penting. Monumen, mural, artefak museum, teater mutakhir, seni rupa beramai-ramai mengabadikannya dengan saksama. Sepertinya, ada kerja kolektif untuk menjaga ingatan. Semacam saling mengajak waspada. Jakarta adalah lain cerita. Uang dihamburkan untuk lampu-lampu hias, air mancur, patung-patung pahlawan palsu dan monumen-monumen nirmakna. Ketika Praha dikepung ingatan, Jakarta terkubur kepalsuan dan lupa. Kau tetap mematung menerawang di sana. Di pelataran monumen yang sempit ini, jarak kita, mau tak mau, dekat belaka. Kau pasti dari Asia. Filipina? Suara empukmu menyengatku tiba-tiba. Eh. Ya. Asia. Indonesia. Mengherankan juga. Ada turis yang suka monumen jelek ini. Batas antara seringai dan senyummu menyembul dari balik payung jingga. Gigimu putih berkilau. Memang jelek secara artistik dan arsitektural. Tapi aku suka pesan yang dibawanya. Ajakan waspada pada kembalinya kebrutalan masa lalu. Menjaga ingatan. Melawan lupa. Hmmm. Kenapa kau bilang ini monumen jelek? Lihatlah tujuh sosok itu. Semua laki-laki. Padahal, lebih banyak perempuan yang jadi korban komunisme. Bahkan, perempuan adalah korban berlapis-lapis. Korban partai, negara, dan laki-laki. Dan si pematung tetap saja seperti lakilaki umumnya. Memandang perempuan hanya sebagai pelengkap. Statistik. Bukan manusia. Wow! Kau punya sinisme para feminis! No. No. No. Tanpa menjadi feminis, perempuan mana pun, bahkan laki-laki, dengan gampang bisa menangkap kejanggalan itu.

Sekarang giliranku yang mesti heran kalau begitu. Kenapa kau tampak menikmati monumen yang kau bilang jelek ini? Aku menyergah, mengubah posisi. Sederhana. Di musim panas seperti ini, Praha diserbu turis. Mereka ada di mana-mana, kecuali di sedikit tempat yang tak populer dan dilirik sebelah mata seperti monumen ini. Jadi, jangan keliru. Aku tak sedang menikmati monumen jelek ini. Aku butuh senyap. Senyap menyergap senja Praha. Gerimis mulai mereda. Langit merah di balik Bukit Petrin memanggil-manggil malam. *** Perjumpaan kedua kita adalah pada senja bergerimis berikutnya. Angin tak mau mengajak berkawan. Udara musim panas Praha pun sedikit mendingin. Boleh aku merapat ke tubuhmu? Permintaanmu tiba-tiba. Dan mustahil kutolak. Kios-kios souvenir terserak di Stare Mesto. Berderet-deret sepanjang Smetanovo Nabi hingga ke kaki jembatan Charles. Berdempetan. Kita berjalan saling merengkuh. Mengusir dingin. Seperti sepasang kekasih. Gerimis yang tak juga reda menyemai rambut panjang kita menjadi masai. Aku ingin bunuh diri. Kau pecah sunyi dengan cara yang sama sekali tak kuduga. Hah!? Maksudmu? Kurang jelaskah itu? Atau bahasa Inggrisku kurang bagus di telingamu? No. No. Inggrismu sempurna. Aku mendengar. Tapi. Ya. Aku sedang berpikir untuk bunuh diri. Bagiku tak masuk akal. Maksudmu? Kau begitu muda. Ranum. Cantik. Cerdas. Dunia membentang luas di depanmu. Di sekelilingmu, perubahan berdentum-dentum. Ceko-mu begitu bergairah. Kau hidup persis di tengah contoh sukses Eropa Timur dan Tengah. Masa depan menunggumu. Tinggal kau jemput. Kau dikepung musim semi daya hidup. Bagaimana mungkin kau justru ingin melangkah ke arah sebaliknya. Oh Begitukah kami dari kejauhan? Kau terlalu romantis. Kau pikir kematian komunisme adalah berita baik seluruhnya? Setelah komunisme mati, perubahan menghasilkan para penikmat sekaligus korban. Celakanya, aku menjadi yang kedua. OK. Sorry untuk kenaifanku. Aku siap menjadi pendengar. Ceritaku akan panjang. Ayo kita ke hotelmu saja. Seperti tadi kau bilang, malam ini kamu mesti packing kan? Keberatan kutemani dengan cerita panjangku? No. Sama sekali tak keberatan. Tentu aku menggeleng. Begitu baikkah Tuhan padaku senja ini? *** Di luar, para pelancong hiruk-pikuk lalu lalang. Suara-suara beragam bahasa dunia menerobos masuk melalui jendela kamar hotel yang kita biarkan lebar terbuka. Seperti suara ribuan lebah yang pandai berganti dendang.

Ceritamu panjang. Lirih. Dan kelabu. Aku anak kesembilan. Bungsu. Di bawah kekuasaan komunis, hidup menjadi begitu rutin. Ayah dan Ibuku menjadikan kegiatan membuat anak sebagai selingan menantang. Anak demi anak lahir begitu saja. Setiap tahun satu. Berderet-deret seperti pagar. Komunisme memang memanjakan. Negara menyediakan apa saja, mulai sabun mandi hingga roti, dengan tak ada lebih pada seseorang dibanding yang lain. Di bawah komunisme, orangtuaku dan siapa pun tak dibiasakan apalagi didesak untuk berkompetisi. Segalanya tersedia tanpa perlu upaya berlebih. Tapi itulah, hidup kami menjadi manja. Tidak menjadi kaya, tapi dalam kesehajaan yang terpelihara. Hidup terasa mudah belaka sampai kemudian Komunisme dijatuhkan oleh Revolusi Beludru dan keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat. Demokrasi memaksa kami untuk berkompetisi. Negara tak lagi jadi penyantun, tapi membiarkan kami saling sikut untuk bertahan dan saling berebut hidup yang lebih baik. Suara-suara bising beragam bahasa dunia yang menyelinap dari balik jendela terbuka mulai perlahan menyenyap. Malam makin sepuh. Kubayangkan, para turis yang mulai letih telah memenjarakan dirinya di kamar-kamar hotel atau menyerbu panti-panti pijat dan klub-klub malam untuk menukarkan penat dengan keletihan yang lebih menyenangkan. Suaramu masih benderang, ceritamu seolah tak berujung, sementara ujung malam beringsut mendekat. Ibuku yang terlampau tua di hadapan kapitalisme, tersingkir dan tak lagi terpakai sebagai pramuniaga di sebuah kios di Kota Tua. Ayahku terkena rasionalisasi, dipecat dari sebuah lembaga birokrasi yang kelebihan pegawai, tanpa dipensiunkan. Kakak-kakakku sibuk dengan urusan masing-masing. Hidup yang keras membikin mereka tak lagi saling peduli satu sama lain. Aku terjepit dalam ketiadaan pilihan sampai sebuah tawaran yang begitu manis datang begitu saja dua tahun lalu. Sebuah biro penyalur tenaga kerja menawariku menjadi pramusaji pada sebuah restoran besar di Berlin. Kusambut tawaran itu dengan tangan terbuka sambil bersyukur betapa Tuhan telah begitu baik padaku. Kau terdiam. Menunduk. Matamu segera menjadi telaga. Dua sudut bendungan di sisi luar pangkal hidungmu makin tak mampu menahan air telagamu yang membanjir. Air matamu berjatuhan tanpa tercegah. Aku merapat begitu saja. Kau menjatuhkan bahumu ke dadaku. Lalu suaramu menyendat pada pangkal cerita yang rupanya segera tiba. Aku ditipu. Aku dijual ke sebuah tempat prostitusi di timur Berlin. Garis nasib yang kelam mesti kuterima tanpa daya. Badanku remuk dihantam kerja jahanam itu. Kemanusiaanku terbunuh oleh rutinitas itu. Membuka pintu kamar, membiarkan diperlakukan sebagai binatang, memunguti uang yang dilempar begitu saja ke atas tempat tidur sambil mendengar pintu ditutup dan suara sepatu lelaki di lantai menjauh hingga hilang ditelan lobi berkarpet. Badanku hancur, tapi hatiku lebih hancur. Kemanusiaanku makin hari makin tak bersisa. Benar-benar binasa. Air matamu membasahi bahuku. Dingin. Kita diterkam senyap yang tiba-tiba menjadi asing. Untunglah aku akhirnya bisa melepaskan diri dari enam bulan terpanjang dalam hidupku itu. Kabur dari Berlin, kembali pulang. Tapi hidup tetap tak bersahabat. Akhirnya kuulang pekerjaan yang sama di sini. Kali ini atas kemauanku. Persisnya, karena aku tak punya pilihan lain. Hingga sampailah aku di titik ini. Ketika sungai Vltava mengamuk tempo hari, keinginanku untuk mengakhiri hidup menderas begitu saja seperti air sungai yang sedang murka. Ya aku ingin bunuh diri. Rasanya aku sanggup menghadapi hidup yang berat dan keras, tapi tidak hidup yang terasa hambar seperti ini. Sesenggukanmu mengeras. Sebuah cara pilu mengakhiri cerita panjangmu. Dalam pelukanku yang merapat, semua bagian badanmu terasa bergetar. Seperti mesin pengeras jalan yang dengan lembut menekan-nekan dadaku. Lembut sekali. Melahirkan rasa yang asing dan nyaris tak kukenali.

Malam makin larut dalam sunyi. Lalu semua terjadi begitu saja. Kau tak lagi kupeluk, tapi kita saling memeluk. Dan pada dini hari pengujung musim panas itu, kita tergeletak kelelahan begitu saja seusai perjalanan saling bertaut penuh gelegak yang menguras keringat. *** Senja bergerimis. Langit di atas Bandara Internasional Praha tersapu terlalu banyak kelabu. Birunya seperti malu-malu. Enggan memperlihatkan diri. Kau mematung menopang dua matamu yang nanar. Lagi-lagi bertelaga. Baru saja kita menunaikan pelukan selamat tinggal. Aku nyaris kaku ketika kau bisikkan kata-kata itu. Terima kasih banyak Lusi. Untuk pertama kali dalam waktu yang sangat panjang, aku sanggup berbagi dan menangis. Kupikir air mataku sudah habis di Berlin. Kembalilah, Lusi. Aku akan menunggu. Jangan-jangan aku sudah jatuh cinta padamu. Suaramu parau. Aku hanya bisa mengeratkan pelukan dan mengusap-usap lembut punggungmu. Aku akan segera menghubungimu, Elena. Sesampai di Jakarta. Berjalan menuju ruang tunggu pesawat yang akan membawaku ke Jakarta seperti memasuki lorong panjang yang asing. Kita menjauh, tapi suaramu seperti makin keras memanggil-manggil. Diam-diam, kupastikan untuk segera kembali. Diam-diam, aku terganggu perasaan serupa Elena. Jangan-jangan aku sudah jatuh cinta. Sosokmu hilang tertelan kelokan menuju ruang tunggu pesawat. Dan telepon genggamku bergetar. Mama, kami tak bisa tidur. Tak sabar menunggumu pulang. Aku dan anak-anak akan menjemputmu di Cengkareng. Suara sengau milik suamiku terdengar dari tengah malam Jakarta. Keriangannya tak bisa disembunyikan. Ruang tunggu yang ramai tiba-tiba terasa begitu senyap. Di belakangku, terhalang berlapis-lapis dinding, di bawah gerimis senja Praha seorang perempuan Ceko sedang menangisi kepergianku. Nun di depanku, dipeluk malam Jakarta, seorang lelaki mendekap rindunya yang meluap untukku.

Mayat Yang Mengambang di Danau

Barnabas mulai menyelam tepat ketika langit bersemu keungu-unguan, saat angin dingin menyapu permukaan danau sehingga air berdesis pelan, sangat amat pelan, nyaris seperti berbisik, menyampaikan segenap rahasia yang bagai tidak akan pernah terungkapkan. Memang hanya langit, hanya langit itulah yang ditunggu-tunggu Barnabas, karena apabila kemudian ia menyelam di dekat batang-batang pohon ke bawah permukaan danau untuk menombak ikan, secercah cahaya pun cukuplah untuk melihat segala sesuatu yang bergerak, hanya bergerak, tiada lain selain bergerak, ketika hanya dengan sudut matanya pun ia tahu mana bukan ikan gabus mana bukan ikan merah. Ya, tangannya hanya akan bergerak menombak secepat kilat bagaikan tak menunggu perintah otak, apabila kedua jenis ikan itu lewat meski melesat, berombongan maupun terpisah dan tersesat, yang mana pun takkan lepas dari sambaran tombaknya yang sebat. Kacamata yang digunakannya untuk menyelam memang sudah terlalu tua dan agak kabur jika digunakan untuk melihat dalam keremangan, yang kali ini tampaknya masih akan bertahan cukup lama, karena langit mendung dan mega hitam bergumpal-gumpal. Dari dalam air, tanpa harus melirik ke permukaan, tahulah Barnabas hujan rintik telah menitik di seluruh permukaan danau. Namun apalah artinya hujan rintik-rintik bagi seseorang yang menyelam dan memburu ikan, bukan? Barnabas terus berenang di dalam air nyaris seperti ikan, memburu ikan, tanpa ikan-ikan itu harus tahu betapa jiwanya sedang terancam. Tentu ia mengenal ikan seperti mengenal dirinya sendiri. Ikan-ikan tak berotak, pikirnya, pantaslah begitu mudah ditombak. Namun Barnabas juga tahu, justru karena otak ikan sangat amat kecil, sehingga tidak mencukupi untuk berpikir, naluri ikan terhadap bahaya bekerja dengan kepekaan tinggi. Jadi Barnabas pun tetap harus menipunya. Makanya ia pun berenang seperti ikan, mengapung seperti kayu, menyelam seperti pemberatdan sekali tangannya bergerak, memang harus melesatkan tombaknya lebih cepat dari bekerjanya naluri ikan. Ia telah memperhatikan, betapa ikan dalam rombongan akan lebih kurang berhati-hati daripada ikan yang berenang sendirian, mungkin karena merasa aman bersama banyak ikan, sehingga memang tak sadar bahaya mengancam. Ikan yang terlepas dari rombongan dan kebingungan kadang lebih menarik perhatian Barnabas. Ia suka mengintai dan mengincarnya dengan hati-hati, kadang tanpa kentara memojokkannya, untuk pada saat yang tepat menombaknya tanpa ikan itu sempat mengelak. Ikan merah artinya ikan gabus merah, sedap jika dibakar. Ikan gabus artinya ikan khahabei, besarnya bisa sebesar betis, persembahan bagi ibu-ibu yang baru melahirkan, tak kalah sedap digoreng, tetapi Barnabas beranggapan minyak goreng bukanlah bagian dari kehidupannya, karena memang tak pernah membelinya. Bahkan Barnabas tak pernah lagi makan ikan yang diburunya itu. Jika langit yang keungu-unguan itu telah menjadi lebih terang, setidaknya dua puluh sampai tiga puluh ikan yang bernasib malang di tangannya sudah tergantung di salah satu tiang dermaga. Jumlah yang cukup guna menyambung hidup untuk sehari, dua hari, tiga hari, seminggu, tak penting benar berapa lama, karena Barnabas setiap harinya menyelam juakecuali, tentu kecuali, pada hari Minggu, karena pada hari itu Barnabas beribadah. Pada hari apa pun ikan-ikan tidak beribadah, pikirnya lagi, jadi ke manakah mereka pergi hari ini? Bukanlah karena hujan maka ikan-ikan tidak terlihat, mungkin juga tiada sebab apa pun selain sedang berombongan mencari makan di tempat lain dengan moncongnya yang tak habis bergerak memamah-mamah. Namun tetap saja Barnabas merasa jengkel karena ini membuatnya terpaksa memburu ikan lebih lama. Ia memang tak suka memasang bubu dan tak juga suka memasang jala seperti banyak orang lainnya di pulau-pulau di dalam danau, karena memasang bubu bukanlah berburu dan memasang jala juga bukanlah berburu, sedangkan ia hanya ingin jadi pemburu ikan dan tiada lain selain berburu ikan seperti yang selama ini dianggapnya sebagai panggilan. Ada orang ingin jadi pendeta, pikirnya pula, aku ingin jadi pemburu ikan.

Dari masa kecil diketahuinya orang-orang menyelam tanpa kacamata dan bahkan bisa mendapatkan ikan lebih banyak darinya sekarang. Mungkinkah air danau dahulu tidak seperti air danau sekarang? Lebih jernih karena memang lebih bersih dan mata penyelam tak harus menjadi pedas meskipun menyelam berlama-lama? Barnabas tentu ingat betapa pada masa lalu di danau itu segala sesuatunya tidaklah sama dengan sekarang. Dulu tidak ada raungan Johnson, pikir Barnabas, karena perahu bolotu tidak bermesin tempel. Dari pulau ke pulau, atau dari pulau ke daratan, orang-orang menggunakan bolotu yang hanya perlu didayung. Kadang penumpang bantu mendayung, tetapi tanpa bantuan penumpang pun, perjalanan dari pulau kecil yang satu ke pulau kecil lain di dalam danau yang dikelilingi perbukitan itu tetap bisa berlangsung, tanpa peduli apakah itu cepat ataukah lambat karena memang tiada waktu yang terlalu tepat maupun terlambat. Langit dan bumi bersenyawa tanpa peduli detak arlojidan Barnabas lebih suka menjadi bagian langit maupun bagian bumi daripada arloji. Maka tiada yang dikhawatirkan Barnabas jika pagi ini ikan-ikan seperti bersembunyi. Langit memang gelapnya agak lebih lama karena mendung dan hujan dan tentu saja ini harus dianggap biasa saja, begitu biasa, bagaikan tiada lagi yang lebih biasa, dan sungguh Barnabas sama sekali tiada keberatan karenanya. Aku sabar menunggumu ikan, batinnya, setiap orang harus cukup bersabar menantikan makhluk yang akan menyerahkan jiwa hari ini demi kelanjutan hidup pembunuhnya. Apalah artinya menahan lapar sejenak untuk hidup lebih lama? Nikmatilah hidupmu yang amat sementara itu ikan, karena pada akhirnya aku akan membawamu ke pasar dan pedagang ikan akan segera memajang dirimu di meja kayu murahan, tempat koki restoran di tepi danau itu akan menunjukmu, membelimu, membuang sisik dan isi perutmu, lantas menggorengmu bagi santapan para wisatawan yang akan membuang tulang-tulang dan kepalamu untuk menjadi rebutan ikan-ikan emas di kolam yang tak tahu menahu betapa cepat atau lambat mereka juga segera akan jadi santapan dan tulang-tulang serta kepalanya juga akan dilempar sebagai pertunjukan kebuasan dunia yang tampaknya justru meningkatkan selera makan. Barnabas tiba-tiba teringat, Klemen anaknya, yang putus sekolah teologia, pernah mengucapkan suatu kata yang tak dimengertinya. Homo homini lupus. Saat itu Barnabas memang bertanya, apa maknanya Klemen tidak melanjutkan sekolah untuk menjadi pendeta, menyianyiakan tabungan hasil berpuluh-puluh tahun berburu ikan. Di negeri danau, tempat setiap bukit berpuncak salib, menjadi pendeta adalah kehidupan terpuji. Namun inilah jawaban Klemen anak tunggalnya itu, yang pada suatu hari tiba-tiba saja muncul kembali dari balik kabut di atas danau sambil mendayung bolotu, meninggalkan sekolah di kota untuk selama-lamanya. Apalah artinya memuja langit, tapi membiarkan darah mengotori bumi. Selama tinggal di rumah mereka, tempat kecipak air danau selalu terdengar dari bawah lantai papan dari malam ke malam, Klemen tampak sering tepekur. Ibunya sudah lama meninggal karena cacing pita dan mereka hanya hidup berdua saja, sampai Klemen pergi ke kota, atas restu pendeta, untuk belajar menjadi pendeta. Kampus tempat belajar agama pun diobrak-abrik tentara, katanya, benarkah sudah cukup kita hanya berdoa? Barnabas bukan tak mendengar orang-orang berbicara dengan nada rendah tentang penembakan dan kerusuhan di berbagai tempat lainnya. Klemen pernah membacakan pesan pada benda kecil yang sering digunakannya pula untuk bicara. Aku masih di hongyeb, beberapa hongibi, dan syidos tahu persis siapa pelaku penembakan di gidinya, bekas nyahongyeb Dadbdedsya katanya punya data nama-nama pelaku penembakan. Mereka adalah (self-censorship oleh pengarang) yang menyamar sebagai pasukan sagangrod Tjhitgosoe ede dede nyalabi, seragamnya sama dengan sagangrod ini, senjatanya yang beda. Ini informasi A1, tapi kudu hati-hati, kami media tinggal tunggu siapa otoritas yang berani sebut siapa mereka. Jangan percaya omongan para petinggi munafik.

Barnabas sungguh tak mengerti apa yang harus dikatakannya. Negerinya hanyalah sebatas danau dengan tiga puluhan pulau yang dikelilingi tebing serba terjal dan meliuk berteluk-teluk itu. Ia tidak pernah tahu dan tidak butuh apa pun yang lain selain cakrawala negeri danaunya itu, yang telah memberikan kepadanya mega-mega terindah di langit biru, bukit-bukit menghijau, dan kedalaman di balik permukaan danau tempatnya memburu ikan-ikan yang baginya merupakan segala dunia yang lebih dari cukup. Ditambah khotbah para pendeta yang menyejukkan setiap akhir pekan dan pesta rakyat dari segenap pulau setiap tahun, itu semua sudah lebih dari apa pun yang bisa dimintanya. Namun Barnabas merasakan perubahan yang terjadi belakangan ini, bahwa pendeta yang tidak bicara tentang kemerdekaan gerejanya akan sepi. *** Hujan tampak menderas dan ketika Barnabas mengambil napas di permukaan danau memang sepanjang mata memandang hanyalah dunia yang kelabu karena tirai hujan dengan latar belakang bayangan punggung perbukitan di kejauhan. Perutnya terasa agak lapar tetapi tenaganya sama sekali belum berkurang. Ia bisa membawa ikatan dua puluh sampai tiga puluh ekor ikan ke pasar, tetapi jika hanya membawa sepuluh atau lima belas pun tidak ada yang harus disesalinya sama sekali. Bahkan jika ikan yang ditombaknya cukup besardan ikan-ikan terbesar suka menyendirimaka seekor atau dua ekor pun justru akan dibayar lebih tinggi daripada sepuluh ikan yang biasa. Ya, ikan-ikan tak tahu kapan akan mati, batin Barnabas, tetapi pagi ini tampaknya belum ada yang akan mati. Setidaknya di dekat permukaan ini. Maka Barnabas menyelam, menyelam, dan menyelam semakin dalam, ke tempat ikan besar biasanya menyendiri. Namun gagasan tentang ikan besar yang menyendiri ini, yang memisahkan dirinya secara alamiah karena tak dapat lagi berombongan ke sana kemari dengan ikan-ikan kecil meskipun dari jenisnya sendiri, mengingatkan Barnabas kepada dirinya. Sedikit pemburu di antara penjala dan pemasang bubu, dan di antara pemburu yang biasanya bekerja siang atau malam, hanyalah Barnabas yang selalu bekerja tepat menjelang fajar merekahjelas membuatnya berbeda, keberbedaan yang mungkin menurun kepada Klemen. Memang banyak hal tak dimengertinya pula dari gagasangagasan Klemen, apalagi ketika ia bicara tentang pernyataan untuk merdeka. Manusia kadang masih seperti ikan, pikirnya, tak dapat bercampur baur dan hanya nyaman dengan golongan sejenisnya. Di danau itu telah dimasukkan ikan dari tempat asing, seperti ikan gabus Toraja, yang ternyata lebih suka memakan telur ikan gabus asli dari danau itu maupun ikan-ikan lainnya. Ikan gabus asli yang disebut khahabei itu harus dicari para penyelam di bagian danau terdalam. Sedangkan ikan lohan yang juga asing di danau itu, tak hanya memakan telurtelur ikan gabus, anak-anak ikan gabus, dan ikan-ikan kecil lain, tetapi juga udang dan jengkerik . Maka ikan-ikan asli lain seperti ikan seli, ikan gete-gete besar dan kecil, ikan gastor, ikan gabus merah, ikan gabus hitam yang dahulu berlimpah kini hanya tertangkap dalam jumlah sedang; yang masih banyak tinggal ikan-ikan hewu atau ikan pelangi, tetapi ikan kehilo semakin susah dicari, mungkin karena makin jauh bersembunyi, mungkin juga memang tinggal sedikit sekali. Tempat mereka telah diisi ikan-ikan asing yang disebut ikan mata merah, ikan tambakan, ikan sepat siam, ikan nila, ikan nilem, dan ikan mas. Barnabas tahu benar, dahulu setidaknya terdapat dua puluh sembilan jenis ikan, termasuk ikan laut yang masuk dari muara sungai di sebelah timur, dan sekarang hanya enam belas jenis, itu pun tinggal sembilan jenis yang asli. Ikan makan ikan, apakah manusia tidak memakan manusia? Barnabas tidak terlalu peduli apakah ia pernah menjawab pertanyaannya sendiri. Sudah beberapa hari Klemen menghilang. Tetangganya menyampaikan kadang ada orang datang bertanya-tanya tentang Klemenbukan, mereka bukan sesama penduduk di negeri danau yang saling mengenal sejak dilahirkan. Perahu bolotu yang digunakan Klemen juga masih di tempatnya, ketika beberapa malam lalu mendadak terdengar deru perahu Johnson di kejauhan pada tengah malam. Penduduk yang masih terjaga saling berpandangan. Mereka yang terbiasa menyendiri memang harus menghadapi segala sesuatunya sendirian.

Barnabas menyelam makin dalam, bahkan sampai menyentuh lumpur di dasar danau. Seekor ikan khahabei besar yang waspada berkelebat, mengepulkan lumpur yang segera saja menutupi pandangan. Barnabas tidak dapat melihat apa pun. Cahaya yang sejak pagi tidak pernah lebih terang dari kekelabuan dalam hujan, di dasar danau ini tak dapat juga memperlihatkan sesuatu kepada Barnabas. Namun di antara kepulan lumpur pekat Barnabas merasakan sesuatu datang dari dasar danau dan ia segera menghindarinya. Tak urung, sesuatu yang mengambang karena gerakan ikan khahabei itu telah melepaskan keterikatannya dari akar-akaran di dasar danau, menyentuh tubuhnya juga dalam perjalanan ke permukaan danau. Ia terkesiap dan melepaskan dirinya dari kepulan lumpur, melesat dan menyusul sesuatu yang segera jelas merupakan sesosok mayat. Dari balik kacamata selamnya yang buram, matanya terpaku kepada sosok itu, yang perlahan tetapi pasti menuju ke atas sampai mengapung di permukaan danau. Dengan cahaya yang sedikit lebih baik daripada di dasar danau, meskipun tidak terlalu jelas, Barnabas dapat memastikan bahwa tangan dan kaki mayat itu terikat, dan pengikatnya adalah robekan bendera bergaris biru putih, sedangkan mulutnya disumpal dengan kain merah. Di permukaan itu hujan bukan semakin mereda tetapi menderas. Angin keras menyapu seluruh permukaan danau, sehingga air hujan yang turun dari langit tersibak bagaikan tirai raksasa yang melambai-lambai. Di antara deru angin yang menarik-narik daun pohon nyiur di semua pulau, terdengarlah jeritan panjang dari tengah danau. Klemeeeeeeeennnn!

Tart di Bulan Hujan

Ternyata harganya tiga ratus tujuh puluh lima ribu, Pak, kata Sum kepada lakinya, Uncok. Barang apa yang kau bicarakan itu, kok mahal amat? bertanya suaminya. Lho, musim hujan tahun lewat dan sebelumnya juga, kan, saya bilang, Pak, roti yang diberi gula yang berbentuk bunga mawar itu harganya tiga ratus lima puluh ribu. Roti itu besar, cukup untuk satu keluarga dengan beberapa tamu. Tapi, sekarang naik dua puluh lima ribu, Sum mencoba menjelaskan. Lakinya tetap tak paham. Ia menarik rokok sebatang dari bungkusnya dan mencoba menyalakan korek. Ngerokok lagi, tiba-tiba Sum sedikit membentak. Apa enggak bisa uangnya sedikit disimpan untuk tambahan beli roti. Beli roti bagaimana? Uncok gantian membentak. Kau ini edan, ya. Nyediain nasi aja susah, kok beli roti mewah kayak gitu. Itu makanan menteri, bupati, dan wali kota serta para koruptor. Tahu?! Kita makan nasi aja sama sambal. Kamu itu mimpi. Lakinya menegaskan. Tiba-tiba sepi. Di langit ada mendung yang memberi sasmita akan hujan. Kilat sesekali menggebyar. Rumah kita masih bocor, kata Uncok lagi sambil mendongak. Belum bisa beli plastik tebal penahan tiris. Kok kamu mikirin roti tart yang, buat kita, harganya triliunan rupiah. Edan kau itu! Sum diam. Tak mendengarkan omelan suaminya. Bayangan di depan matanya sangat jelas: tart dengan bunga-bunga mawar, dengan tulisan Happy Birthday. Betapa bahagianya anak yang diberi hadiah itu. Sum sendiri belum pernah mendapat hadiah seperti itu, apalagi mencicipi. Tapi, alangkah lebih bahagia ia jika bisa memberikan sesuatu yang dinilainya luar biasa, betapa pun belum pernah menikmatinya. Kurang beberapa hari lagi, Pak, kata Sum memecah kesunyian. Apanya yang kurang beberapa hari lagi? Uncok membentak. Kiamatnya apa gimana? Kita memang mau kiamat. Hakim, jaksa, polisi, pengacara, menteri, anggota DPR nyolong semua. Dan kau malah mau beli tart lima triliun. Duitnya sapa? Nyolong? Tak ada yang bisa kita colong. Ngerampok? Kau punya pistol atau bedil? Enggak! Kau cuma punya pisau dapur dan silet untuk mengerok bulu ketiakmu. Sum tak menyahut. Pikirannya masih melanglang ke toko roti. Kita bisa naik bus Trans Yogya Pak, aman. Enggak ada copet. Pulangnya naik becak aja. Kita harus hati-hati bawa tart sangat istimewa itu, Pak. Ah, si bocah itu pasti seneng banget. Kalau dia bisa seneng, alangkah bahagia diriku. Kedua tangannya dilekatkan pada dada dan membentuk sembah, menunduk. Tuhan, bisik Sum, perkenankan saya membeli tart untuk ulang tahun si anak miskin itu. Ia lalu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Saking kepinginnya beli tart, seakan ia hendak menangis. Matanya terasa basah. Kemudian hujan pun rintik-rintik. Naaah, mau hujan, kata lakinya. Pindah-pindahin bantal-bantal. Jangan biarkan di situ, tempat tiris deras. Uncok memberi komando. Sum tenang saja. Biarkan tiris membasahi rumah, kata Sum. Itu rezeki kita: air, sahut Sum. Uncok tak tahan. Kamu kok semakin edan, lakinya membentak. Malam merambat larut. Tidak diketahui dengan pasti apakah malam itu jadi hujan atau tidak. ***

Gagasan beli tart dengan bunga-bunga mawar itu sudah lama muncul di benak Sum. Dua tahun lalu. Waktu itu Bu Somyang Kapoyos, rumahnya di Surabaya, menginap lima hari di Yogyakarta karena urusan disertasi. Ia membawa putranya. Dan tepat satu hari kemudian, ia teringat ulang tahun anaknya. Cepat-cepat ia berganti pakaian, memanggil taksi dan meluncur ke toko roti Oberlin. Ia pun membeli tart ulang tahun dengan tulisan Happy Birthday dengan lima lilin menyala. Ketika kembali ke home stay, Sum, yang sedang menyapu lantai, melihat roti itu. Tergetar. Astaga, indahnya. Lilinnya menyala, seperti menyala dalam hatinya. Aku harus beli tart itu, buat si bocah, saat ulang tahunnya di bulan hujan nanti, gumamnya. Berapa harganya, Bu? tanya Sum. Tiga ratus lima puluh ribu, jawabnya. Astaga! Gaji Sum kerja di home stay hanya dua ratus lima puluh ribu sebulan. Kalau ada tamu, ia memang sering mendapat tip, tetapi cuma cukup buat beli soto Pak Gareng tiga ribuan. Ia masih harus memikirkan seragam anaknya. Suaminya, yang sopir bus, tak selalu bisa bawa uang cukup. Jalan makin padat. Motor jutaan memenuhi jalanan. Sering macet. Kadang harus cari jalan lain. Perjalanan makin panjang. Artinya bensin boros, padahal bahan bakar mesti dibeli sendiri. Tapi aku harus beli tart itu, gumamnya. Buat si bocah. Di ulang tahunnya di bulan hujan. Ia bakal senang. Oh, enggak begitu mikirnya. Tapi gini: semoga ia senang. Tuhan, perkenankan ia senang menerima persembahan roti dari saya, gumamnya lagi. Tuhan, saya butuh sekali bahagia dengan melihat si bocah bahagia. Di mana tokonya, Bu, tanya Sum lagi. O, deket toko onderdil motor itu, jawab Bu Somyang, Kamu mau beli? tanyanya. Sum mengangguk. Anakmu ulang tahun? desak Bu Somyang. Buuukan anak saya, tapi kalau dianggap anak saya, ya enggak papa, jawab Sum. Oooo, anak yatim piatu di panti asuhan yang kamu pungut? Bu Somyang mendesak. Bukan, enggak, jawab Sum. Ah, Sum aku tak paham. Tapi, aku ingin ingatkan kalau untuk anak-anak gelandangan, ya enggak usah tart kayak gini. Cukup beberapa potong roti santen apa roti bocongan atau roti teles yang seribuan ditambah minuman dawet. Itu pun tiap gelas cendolnya lima belas atau enam belas biji saja. Kalau anak-anak dibiasakan makan-minum yang mewahmewah, kurang baik. Bisa tuman, ketagihan. Sum diam. Jantungnya terasa tertusuk oleh kata-kata yang diucapkan karena ketidaktahuan. Sum menunduk. Beberapa tahun silam pernah seorang penyair diminta berkhotbah di gereja. Ia berkata, malanglah dia orang yang tak tahu kalau ia tak tahu, hina dan sakit orang yang tak paham kalau ia tak paham. Kata-kata itu mendengung kembali di telinganya ketika ia menatap mulut Bu Somyang yang mengerikan. Aku harus membeli tart itu, apa pun yang terjadi, gumam Sum. Apa pun komentar orang aku tidak peduli. Aku hanya ingin si bocah bahagia pada hari ulang tahunnya. Selama bertahun-tahun aku menyaksikan perayaan ulang tahun si kecil, belum pernah ada yang membawa tart. Padahal, kalau mau, mereka bisa beli. Kebanyakan tamu yang datang sedikitnya naik motor, malah ada yang naik mobil. Heran! Bagaimanakah pikiran orang-orang itu. Dua minggu setelah menyaksikan tart yang menggetarkan, Sum memutuskan menabung. Ketika dikonsultasikan, Ketua Lingkungan menyarankan agar Sum menabung di bank. Tapi, Pak Karta Wedang memberi tahu bahwa bank kadangkadang tak bisa dipercaya. Uang para nasabah dibawa lari oleh petugas bank sendiri dan bank tidak bertanggung jawab. Oooo, gitu, kata Sum, Lalu, enaknya gimana, ya? Pak Karta tidak menjawab.

Akhirnya, Sum memutuskan menabung di rumah sendiri. Ia merencanakan menyisihkan uangnya lima belas ribu setiap bulan. Kalau ia sukses lebih menekan kebutuhan, setahun, kan, seratus delapan puluh ribu. Dua tahun, kan, tiga ratus enam puluh ribu. Horeeeee! Dua tahun lagi, aku bisa beli tart buat si kecil. Dan masih sisa sepuluh ribu. Hatinya bersorak-sorai. Dan pada bulan hujan tahun ini, kegiatan menabungnya hampir genap dua tahun. Ia tak sabar lagi. Tapi, alangkah kecewa ketika ia menengok di toko roti Oberlin, tart yang dibayangkan sudah naik harganya. Ia sedikit lemas. Ia menjadi pucat. Dan pandangannya berkunang-kunang. Ada apa Bu, sakit? tanya pelayan toko. Sum menggeleng. Ia berkeringat dingin. Punggung terasa sedikit basah, tetapi keleknya terasa basah sekali. Ibu mau beli roti? desak pelayan toko. Ya, jawab Sum sangat pelan hampir tak terdengar. Apalagi lalu lintas hiruk-pikuk. Mau beli, pelayan mendesak. Iyaa, jawab Sum. Pelan sekali. Yang mana? Sum menuding tart mahal itu. Haaah? Pelayan toko kaget sambil memandangi penampilan Sum. Sum lemas. Bagaimanapun masih ada kekuatan. Tapi tidak sekarang, Sum menegaskan. Oooo, kamu disuruh majikanmu lihat-lihat harganya, begitu? Sum menggeleng. Saya mau beli sendiri. Saya sudah menabung. Tart itu untuk si bocah. Pelayan toko tak paham, dan mulai curiga. Karena itu, dengan cara halus, ia menggiring Sum ke luar toko. Perempuan itu melangkah ke luar. Masih ada waktu, gumamnya. Aku akan buruh nyuci di kos-kosannya Pak Nur Jentera. Pokoknya, bulan hujan tahun ini aku harus beli tart untuk si kecil. Aku ingin sekali merasakan bahagia ketika bocah itu bahagia. Kalau aku sudah berhasil membeli tart untuk si bocah, aku lega banget. Aku rela mati. Kalau yang aku lakukan dianggap keliru oleh sidang malaikat dan aku harus masuk neraka ya enggak papa. Aku tetap bahagia di neraka. Ya, mati dengan bahagia sekali karena sudah bisa mempersembahkan roti tart di bulan hujan. Di minggu hujan. Di malam hujan, gumamnya. Tiba di rumah, ia langsung mengambil uang tabungannya yang disembunyikan di dalam lemari, di bawah pakaian. Kurang empat puluh lima ribu, gumamnya sambil menghitung uang receh. Ia ingat, ia harus membeli nasi buat anaknya, si Domble. Tapi kalau aku berhasil nyuci pakaian di kos-kosan Pak Nur Jentera, semua bakal beres. Slamet bilang, Pak Jentera baik banget sama orang duafa. Beda banget dengan Wak Zettep yang pelit banget dan tukang mempermainkan orang. Sum menunduk. Tuhan, biarkan saya percaya bisa membeli tart untuk si bocah. *** Esoknya sudah mulai memasuki bulan hujan. Ia pun menghitung hari. Di lingkungannya, warga sudah sering kumpulkumpul menyiapkan pesta ulang tahun. Di gereja banyak pengumuman tentang kegiatan menyongsong pesta itu. Sum tak pernah diajak. Alasan ibu-ibu kaya, Sum, kan, sibuk bantu rumah tangga sana-sini. Mana ada waktu buat gini-gini.

Di samping itu, kalau ia diajak, Sum selalu merasa tak pantas duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan mereka. Sum selalu merasa dirinya orang duafa yang tempatnya di pinggiran. Dengan senang Pak Jentera menerima Sum. Tampaknya, lelaki itu terpesona dengan cara kerjanya yang cekatan. Karena itu, tak ragu-ragu ia memberi Sum upah tambahan, bahkan boleh dikatakan setiap hari. Maka, sebelum saat pembelian tart tiba, di tangannya sudah ada uang cukup. Bahkan lebih. Sementara itu, Bu Jentera juga luar biasa perhatiannya. Sekali ia memanggilnya ke rumah. Kamu mau pesta apa pada natalan nanti. Ah, enggak pesta kok, Bu, cuma mau beli tart, jawab Sum. Tart? Tart? Siapa yang ulang tahun? Anakmu? Bu Jentera kaget dan bertanya setengah mencecar. Tapi Sum tetap tenang. Bukan anak saya Bu, tapi kalau dibilang anak saya, ya enggak papa, jawab Sum. Ooooooooo, anak pungut? Di panti asuhan dekat rumah Wak Zettep yang terkenal pelit itu? Bu Jentera bertanya lagi. Enggak, bukan dia anak baik-baik, sangat baik cantik sekali, pandangan matanya menggetarkan, jawab Sum. Ah, aku tak paham, kata Bu Jentera. Lho, kata-kata Bu Somyang di ulang di sini, gumam Sum. Tapi baiklah, kata Bu Jentera lagi, kalau mau beli tart, ya, yang baik sekalian, sambungnya. Wuuuah, luar biasa ibu ini, kata Sum dalam hati. Nih, aku ngiur dua ratus ribu, kata Bu Jentera sambil senyum sangat manis. Ya Tuhan, apakah Bu Jentera ini malaikat utusanmu, kata Sum dalam hati. Dengan gemetar Sum menerima uang itu. Tepat pada saat itu, Pak Nur Jentera tiba di rumah dari sepeda-an bersama persekutuannya. Ia langsung duduk dan mendengarkan cerita istrinya tentang rencana Sum. O, bagus, bagus, kata Pak Jentera. Ia berdiri lalu tangan kanannya merogoh dompet di saku belakang. Mbak Sum mesti beli roti lain untuk tambahan. Kan anak-anak pasti akan datang, rame-rame. Nih, ada tambahan tiga ratus, katanya dengan tenang. Sum hampir tak memercayai telinganya. Ya Tuhan, engkau begitu dermawan, jerit gembira hati Sum. Hatinya bersorak-sorai. Ia pun lari ke Bapak Ketua Lingkungan menceritakan rencananya. Hujan pun turun, menderas. Apa boleh Bu Sum membawa tart masuk gereja, apalagi meletakkan tart itu di depan patung Kanak-Kanak Yesus di dalam Goa? Pak Koster pasti takut gerejanya kotor. Pastor paroki akan tanya, perayaan Natal dengan tart di depan Kanak-Kanak Yesus itu menurut ayat Kitab Suci yang mana, teologinya apa. Tanpa menggubris, Sum berangkat ke toko roti. Sebelumnya mampir ke rumah dulu, menemui suaminya, yang kebetulan tak nyopir. Uncok terdiam mendengar cerita Sum tentang Bapak Lingkungan. Sepi. Lama. Hati Uncok trenyuh. Laki itu merasa harus berbela rasa dengan istrinya. Apalagi ia membawa uang berlebih untuk beli seragam si Domble. Juga uang buat rokok. Uncok, kemudian, mendekap istrinya. Selepas dari toko, pulang dulu, kata lakinya. Sum tak bisa berkata apa-apa. Mulutnya terkunci. Keharuan mendesak paru-paru dan tenggorokannya. Suaminya berubah tiba-tiba. Tuhaaan, hebatnya dikau. Berangkatlah, kata suaminya, Pulangnya mampir ke rumah dulu sebelum ke gereja.

Di toko roti, pelayan-pelayannya memandang dengan sebelah mata. Mereka tak percaya Sum punya uang untuk beli tart hampir empat ratus ribu. Tidak masuk akal, kata Tanpoting, pemilik toko roti itu. Ketika Sum akhirnya mengeluarkan uang lebih dari harga tart, baru mereka percaya. Pukul setengah empat sore Sum tiba di rumah. Alangkah kagetnya dia melihat goa dengan Kanak-Kanak Yesus di dalamnya sudah disiapkan lakinya di tengah rumah. Patung kecil-kecil itu rupanya dipinjam dari asrama para suster. Mereka memperkenankan aku memakai ini semua, kata suaminya. Sum tak bisa berkata-kata apa-apa. Kegembiraan meluap. Taruhlah tart di sini, kata Uncok, persis di depan Kanak-Kanak Yesus terbaring. Nanti malam, selesai Misa Natal, anak-anak kita undang ke rumah ini merayakan ulang tahunnya. Tak perlu di gereja. Mereka akan menyanyi panjang umurnya, panjang umurnya, panjang umurnya serta mulia. Lalu anak-anak akan menyantap tart. Biarlah rumah kita kotor, tapi ada senyum dan tawa meriah. Sum memeluk suaminya. Air matanya menetes karena haru. Persis hujan turun dengan sangat deras dan rumah sepasang merpati itu tiris di sana-sini, kecuali di atas tart. Seluruh rumah basah, lambah-lambah. Tapi, Sum dan Uncok tertawa terbahak-bahak sambil berpelukan. Si Domble pun ikut menari-nari sambil sesekali nyuri mencolek tart yang dibalut gula-mentega-cokelat yang lezat luar biasa. Patung Kanak-Kanak Yesus menatap mereka dengan senyum. Menjelang pukul sembilan malam, anak-anak langsung menyerbu rumah Sum dan Uncok selepas dari misa di gereja. Mereka menari-nari di depan patung Kanak-Kanak Yesus dan tart. Kue-kue lainnya pun disiapkan. Anak-anak berebut membersihkan rumah yang basah dan kotor luar biasa.

Diam-diam Sum menatap pandangan mata anak-anak yang datang. Seperti bersinar, seperti bersinar Sum berjongkok dan memeluk mereka satu demi satu. Sum tersedu karena haru dan bahagia.

Salah Nurunin Resleting


Tumini seorang wanita dewasa pegawai sebuah kantor swasta asing pagi itu mau berangkat kerja dan lagi menunggu bus kota di mulut gang rumahnya. Seperti biasa pakaian yang dikenakan cukup ketat, roknya semi-mini, sehingga bodinya yang seksi semakin kelihatan lekuk likunya. Bus kota datang, tumini berusaha naik lewat pintu belakang, tapi kakinya kok tidak sampai di tangga bus. Menyadari keketatan roknya, tangan kiri menjulur ke belakang untuk menurunkan sedikit resleting roknya supaya agak longgar. Tapi, ough, masih juga belum bisa naik. Ia mengulangi untuk menurunkan lagi resleting roknya. Belum bisa naik juga ke tangga bus. Untuk usaha yang ketiga kalinya, belum sampai dia menurunkan lagi resleting roknya, tiba-tiba ada tangan kuat mendorong pantatnya dari belakang sampai Marini terloncat dan masuk ke dalam bus. Tumini melihat ke belakang ingin tahu siapa yang mendorongnya, ternyata ada pemuda gondrong yang cengar-cengir melihat Tumini. Hei, kurang ajar kau. Berani-beraninya nggak sopan pegang-pegang pantat orang! Si pemuda menjawab kalem, Yang nggak sopan itu situ, Mbak. Masak belum kenal aja berani-beraninya nurunin resleting celana gue.

Kalo Kerja Pake Ini


Kerja pake ini Di suatu pinggiran kota, hiduplah seorang nyonya yang cukup (sedikit mampu) dengan pembantunya yang selalu buat masalah. Suatu hari, pembantu itu memecahkan piring untuk kesekian kalinya... akhirnya nyonya itu memanggil pembantunya sambil memaki berkata," Minah....kamu ini gimana...dasar org goblok, makanya kalau kerja itu jangan pake ini (sambil nunjuk lututnya) tapi pake ini (sambil nunjuk kepalanya, otak-red)...kamu saya pecat.."akhirnya pembantunya pergi... 5 tahun kemudian, di suatu Supermarket..si Nyonya ketemu dengan pembantunya yang dulu tapi dengan pakaian yang mewah dengan banyak perhiasan emas... Si-nyonya memanggil," Minah, kok kamu sekarang berubah..menjadi kaya...kok bisa???? Si-pembantunya menjawab," makanya Bu, kalau kerja itu jangan pake ini (sambil nunjuk kepalanya, otak-red) tapi pake ini donk (sambil nunjuk dii antara pahanya)...."?#$#@"

Kumpulan Cerpen Remaja PACAR BOONGAN

Pokoknya sebelum kamu lulus SMA tahun ini,kamu harus segera punya pacarkata mamah tegas pada Ega. ahhmamah,nggak bisa gitu dong,,Egakan sebentar lagi ujian,masa Ega harus nyari cowo dalam waktu sesingkat itu..lagian Ega belum mau pacaran maaKata Ega balik tegas sama mamahnya,udah berulang kali mamah Ega meminta Ega untuk mencari Pacar,karena Umur Ega sudah cukup Matang untuk mendapatkan seorang Pacar,tapi Ega nggak pernah mau,karena bagi dia,Pacaran bukan suatu hal yang penting,bagi Ega pacaran saat ini juga belum merupakan kewajibannya,ia masih ingin merasakan masa-masa sendirinya tanpa diribetin sama urusan yang namanya cowo. Ega bingung harus ngasih pengertian sama mamahnya dengan cara apa,nggak jarang juga mamah Ega menggretak Egakalau kamu nggak bisa bawain pacar disaat kamu lulus tahun ini,mamah akan jodohin kamu sama RafliEga bner ogah sama yang namanya dijodoh-jodohin,apa lagi sama orang se-trouble Rafli,yang bisanya nyusahin dan nyari masalah.. Liat nanti aja deh maaKata Ega langsung ngeloyor pergi Ega,,,mama belum selesai ngomong sama kamu..Kata mamah stengah berteriak. *** gue bingung ko,harus ngasih tau nyokab dengan cara apa lagi,nyokab slalu maksa gue buat nyari pacar,padahal cari pacar sekarang nggak pentingKata Ega curhat pada Diko,sahabatnya Diko merapatkan dirinya ke dekat EgaGue tahu prasaan lo ga,mungkin nyokab lo nggak mau lo terlalu lama sendiri,apa lagi lo dari dulu belom pernah punya pacarkan,jadi wajar kali nyokab lo nyuruh lo buat nyari pacar,umur lokan udah 17tahunJelas Diko panjang lebar. Tapi nggak logis ah,ko,cara nyokab gue nyuruh begitu,gue belum mau pacaran kenapa harus dipaksa-paksain gitu..Kata Ega hmm..nyokab lo takut lo nggak laku kali..Kata Diko spontan,seketika bikin Ega lirik sinis kearahnya. hahsejelek itukah gue?separah itukah?sampai nyokab takut gue nggak laku kalau gue nggak pacaran sekarangKata Ega berapi-apinanti kalau ada saatnya gue juga pasti nyari pacar,,tapi nggak sekarang,lagian umur gue juga masih 17tahun,masih muda kali. ya..sorry,,,Kata Diko,tiba-tiba ide cemerlang terlintas dipikiran DikoGa,,gue ada ide nih Apa ko??Kemudian Diko membisikkan sesuatu pada EgaHah??Pacar boongan? IyaDiko mengangguk mantaplo nggak mau pacaran dulukan?tapi lo mau nyokab lo berhenti maksa-maksain lo kan?itu cara yang jitu ga,,,didepan nyokab lo pura-pura pcaran sama dia,tapi dibelakang nyokab lo,lo tetep tmenan wah,boleh tuh ide lo,,tapi siapa yang mau jadi korbannya?tanaya Ega bingung. iya juga yaDiko ikut berpikir,seketika Ega melirik Diko dengan senyum dengan gerakan muka mengisyaratkan gue tahukenapa lo liatin gue gitu? hehehe,,,gue tahu orangnya siapaKta Ega

Siapa Ga?Tanya diko penasaran Elospontan Ega menunjuk Diko Gue??knapa harus gue?tanay Diko bingung Karena Cuma lo yang bisa bantuin gue..Kata Ega tersenyum puasmaukan lo,jadi pacar boongan gue? Diko menggaruk kepalanya,bingung,akhirnya..Yaudah deh,gue mau ahh Diko,,thanks ya,emang Pacar boongan gue yang terbaikKata Ega reflek memeluk Diko,uhmhzz..maaf ya,nggak apa-apa..Kata Diko senyum Yaudah,jangan lupa ya nanti kerumah gue,lo nanti bakal gue kenalin sama nyokab gue,,jangan lupa ya sayangkata Ega langsung ngeloyor Pergi meninggalkan Diko. *** Siang hari,Diko dan Ega pulang bersama

Saat sampai dirumah,terlihat mamah yang sedang duduk diteras,Ega langsung berlari kecil dan menghampiri mamanya,dan diikuti Diko yang berada dibelakangnya Maa..liat deh,Ega bawa Pacar Ega..Kata Ega dengan senyum,mamahnya langsung bangkit dari duduknya. ini Pacar kamu Ega?Tanya mamah,danEga mengangguk mantap oh ya kenalin maa,ini Diko..Kta Ega ,memperkenalkan Diko. siang tante,saya Diko..Kata Diko sambil menyalimi mamahnya Ega Ramah,kemudian disambut Ramah oleh mamahnya Ega,lalu mamah Ega mempersilahkan keduanya duduk ngomong-ngomong,kalian kapan jadian?Tanya mamahnya Ega membuka percakapan Ehmmbaru juga tadi tantekata Diko sedikit gugup oh,ehm..orang tua kamu kerja Dimana?Tanya mamah Ega kembali Kalau mamah di boutique didaerah Jakarta selatan,kalau papah jadi dokter gigi,di rumah sakit MedistraKata Diko mantap. oh,,ehm..tante masuk dulu ya,mau minum apa? nggak usah repot-repot tante..Kta Diko menolak Ramah ah,tante nggak repot kok..yasudah tante buatkan minum dulu ya..kata mamahnya Ega sabil berlalu. Ga,nyokab lo baik banget yaa,,asikk bangett punya nyokab kaya begitukata Diko memuji mamahnya Ega,Diko begitu menikmati rumah Ega yang adem dan banyak tanaman anggrek.Ega tersentak kaget mendengar pengakuan Diko barusan. hekklo bilang asik punya nyokab kaya gitu?heh,kalau nyokab gue asik,gue ga mungkin disuruh buat nyari pacar,sampai lo harus jadi korban pacar boongan guekata Ega panjang lebar.nggak lama mamahnya Ega kembali membawa tiga gelas sirup yang segar. Silakan diminum Dikokata Mamahnya Ega ramah aduh,tante jadi ngerepotin nihh.Kata Diko berlaga malu(malu-malu tapi mau) nggakk kok,diminum dongkata mamah Ega ramah sambil mengedarkan senyuman pada Diko dan Ega,lalu mamah Ega melirik jam tangannyaoya,tante jadi lupa,hari ini ada arisan,tante tinggal dulu ya Dikonggak lama mamah Ega beranjak pergi,akhirnya Ega bisa terlepas dari adegan pura-pura mesranya bersama Diko,lalu Ega melirik Diko yang begitu menikmati duduk tepat disampingnya. Dik,,uda nggak ada nyokab gueEga mengingatkan Diko,Diko langsung melirik,dengan tatapan senyum nakal gue-udah-pw-neh,lalu Ega menatap Diko dengan mata Garang,dan siap melempar Diko bantal sofaLo pindah nggak,apa gue lemparDiko langsung loncat dan pindah ke bangku disampingnya,sesaat terjadii keheningan,nggak ada yang berbicara diantara keduanya. rumah lo sepi banget,Gapada kemana?Diko memecah keheningan,pertanyaannya begitu basi. mana gue tahu,tadikan dirumah tinggal 1makhluk,yaitu nyokab gue yang pergi arisan,kalau yang lain nggak tau deh..kata Ega santai,lalu mulut Diko membulat,kemudian terjadi kembali keheningan,sampai akhirnya suatu suara klakson mobil mengagetkan keduanya,Ega langsung berlari menuju pagar,dan membukakan pagar untuk seorang yang sedari tadi mengklakson mobilnya,yang ternyata itu kak.Egi yang pulang dari kuliah.

lo ngelamun ya,apa kuping lo kesumbat kapas,,gue dari tadi klakson mobil,lo kaga nongol-nongolkata kak.Egi kesal setelah memasukan mobilnya dalam garasi,lalu kak.Egi melirik Diko,dan Diko tersenyumoh,jadi lo pacaran,jadi kaga kedengeran ,pantesan ajah.. ett dah lo kak,siapa yang pacaran udah,nggak usah ditutupin,akhirnya laku juga lo..hahahakata kak.Egi meledek adiknya,nggak lama pluukk..adooww makannya kalau ngomong dijaga,,,sembarangan banget lo ngomong,emangnya gue barang bekas apakata Ega puas setelah menyerang kak.Egi dengan sandal high heels mamahnya,yang lumayan bisa bikin kepala memar*sadiiss* Diko yang melihat adegan ribut singkat antara kakak beradik itu hanya bisa terkekeh,lalu Ega kembali duduk di sofa teras bersama Diko wah,parah lo,kakak lo sendiri ditimpuk bgituan..Kata Diko Ega tertawa puashahaha..bodo,lagian tuh orang ngomong sembarangan,emangnya gue barang bekas yang nggak laku-laku apa lah,emang iya kanDiko spontan,seketika mata garang Ega kembali terlihat,dan siap menimpuk Diko dengan high heels mamahnya yang sebelah,Diko pun tersenyum dan nyengirPEACEyakh,,bercanda kok

Tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul 05.00,Dikopun pamit pulang,lalu Ega mengantarkannya sampai pagareh,jangan kapok ya,kalau main kerumah gue,,terutama sama nyokab,dan adegan rebut gue sama kak.Egi tadi iya,,tenang ajah,malah seru kali,ngelihat pertandingan langka gratis..hhekata Diko yang mukanya telah berada dibalik helm,lalu Dikopun menancap gas motornya,kemudian Ega kembali kerumah. *** Udah hampir 3bulan Diko menyandang status sebagai pacar bohongan Ega,sejak itu juga kelakuan mamah pada Ega berubah,mamah jadi lebih perhatian sama Ega,mamah juga lebih sering tersenyum,apa yang dia lakukan selalu disertai senyuman,dan tak jarang juga Diko selalu diajak mahnya Ega untuk pergi jalan-jalan,ke arisannyapun Diko bersama Ega diajak,untuk menunjukkan pada rekan arisannya kalau Ega memiliki pacar,tapi untuk Ega ini sangat menyiksa,dia terpaksa membohongi mamahnya,demi bahagia mamahnya,dia juga ga mau selalu dipaksakan untuk segera memiliki pacar.

Malam yang begitu tenang,semilir angin menemani kesendirian Ega yang tengah duduk merenung diteras,nggak lama tiba-tiba dia terpikir kelakuannya yang udah membohongi mamahnya,demi untuk membahagiakan mamahnya yang menginginkan dirinya memiliki pacar,laluEga mendongakkan kepalanya keatas langit,ia pun mulai curhat kepada bintang-bintang yang hanya Nampak sedikit dan tidak begitu teranggue terkesan jahat banget sama mamah,udah bohongin mamah,tapi gue juga nggak mau buat mamah kecewa,gue juga ga mau dipaksain untuk memiliki pacar,gue belum mau pacaran,apa lagi kalau sampai dijodoh-jodohin,gue harus gimana???tanpa terasa air mata Ega telah mengalir,rasa penyesalan memenuhi perasaannya. kamu harus akhiri semua ini,EgaEga tersentak kaget mendengar suara itu,suara itu amat dikenal Ega,saat Ega menoleh,rupanya suara itu,suara mamahnya mamahEga langsung menghapus airmatanyasejak kapan mamah disini? sejak tadi,mamah udah mendengar semuanya sayang..kata mamahnya menghampiri Ega,Egapun memeluk mamahnya mah,,maafin Ega,ega udah bohong sama mamah,,Ega Cuma nggak mau mamah terus memaksa akuEgapun histeris dipelukan mamahnya mamah tau sayang,maafin mamah udah egois sama kamu,harusnya mamah mengerti keinginan kamu,dan harusnya mamah bangga punya anak seperti kamu,dan tidak memaksakan kamu untuk memiliki pacar..kata mamahnya Ega,suaranya terdengar bergetar,dan nggak lama,air matanyapun jatuh juga ,,merekapun berpelukan,nggak lama sebuah suara mengagetkan keduanya dan keduanya segera meepaskan pelukan dan menghapus air matanya.

Ega sayang,,,ayo malam mingguankata Diko,lalu Egad an mamahnya tertawa geli,.Diko nggak ngerti,mengapa mereka jadi tertawa. Diko,drama sudah berakhir,kamu udah nggak perlu jadi pacar bohongannya Egakata mamahnya Ega yang masih menahan tawa,Diko jadi tertunduk malu,mukanya memerah menahan malu..-,******************************************************************************** Kumpulan Cerpen Remaja : Pacar Boongan bagaimana menurut teman teman aneka remaja, wahhh keerrreen kana..??? lucu Juga kalo Mau Kumpulan cerpen remaja yang Laiinnya silakan bca artikel yang laiinnya yaa,,, Jangan lupa kirim karaya2 kamu disini,, insyaaalah akan di post dengan syarat kamu harus sabar

AKU CINTA SAHABATKU Oleh NN


Angin sore menerpa wajahku yang sedang asyik-asyiknya melamunkan hal yang ga tau kenapa bisa aku lamunin. Hal ini tuh udah bikin aku galau belakangan ini. Ya, apa lagi kalau bukan jatuh cinta. Jatuh cinta udah ngebuat aku kaya orang bego. Tiap kali aku makan, wajah dia tuh selalu muncul, ngebayang-bayangin tiap langkah aku ke sekolah, dia tuh bagaikan bintang untukku, slalu nemenin tokoh 'aku' dalam mimpi aku. Sebenernya sih dia tuh temen chattingan facebook aku, dia tuh slalu ada kalau aku lagi sedih, ada masalah, juga kalau aku seneng, dia slalu ada buat jadi tempat berbagi kesenangan. "Braakkkk!" suara itu kedengaran amat menyeramkan, dan setelah kusadari, ternyata aku terjatuh dari ayunan yang sedang kunaiki. Ya ampun, aku ngelamunin dia lagi... Apa yang terjadi sama aku? Masa aku baru aja ngelakuin hal bego kaya gitu? Hal yang mungkin ngebuat orang lain ngakak di atas penderitaanku. "Awww.... Sakit banget kaki aku..." sebenarnya aku tau di taman ini ga ada orang lain selain aku, tapi kok aku ngerasa ada suara ketawa yang kejam? Hiiyyy, jangan-jangan....... "Huaaaa", aku berteriak kencang saking kagetnya. Baru kali ini aku denger suara hantu, ternyata suaranya tuh kaya manusia banget yah. "Ya ampunnn, ini Kayla? Ahaha, aku ngga nyangka banget bisa ketemu kamu di sini, Kay", kata suara itu. Haaaaa..... Salah apa aku bisa ketemu hantu di sore hari yang indah ini, ternyata hantu itu serba tau yaaa, masa dia juga tau nama aku, terus ya iya dia seneng bisa ketemu manusia bernama Kayla ini di taman terus nakut-nakutin dia, sementara aku...? 'Tuhan tolongin aku Tuhan, bawa aku ke tempat yang aman, ke atas pohon boleh deh, asal aku ga usah ngeliat ni hantu gitu, ngga usah tatap muka sama diaaa.... Aku takut hantu....', doaku dalam hati. Tapi kayanya itu cuma jadi mimpi soalnya aku masih di bawah pohon, di deket ayunan kuning ini.... Suara langkah kaki itu semakin deket lagi... "aaaaaaa, jangan bunuh aku, mas hantu, aku masih belom punya pacar, masih banyak dosa sama mama sama papa... Pleaseee dong mas hantu, biarin aku hiduppp", teriakku sejadi-jadinya. "Hahahahaha Kaylaa-Kaylaa... Kamu tuh yaa ngga di dunia asli, ngga di chat, sama aja: PENAKUT! Hahaha, ini aku, Mike..." kata suara itu... 'Mike siapa' kataku dalam hati.... 'Mike??? Hah, cowo itu? yang sedari tadi aku pikirin? Cowo yang ngebuat aku jatuh memalukan dari ayunan? hahaha, ngga mungkin ah', kataku sembari membalikkan tubuhku ke arah suara itu berasal. Hwaaa, wajah itu membuat hatiku bergetar hebat. Ternyata itu beneran Mike ya Tuhan! Seketika lidahku tak bisa berkata-kata, 'kenapa lidahku kelu tiap kau panggil aku', gitu kalo kata sm*sh! aduh apa apan aku ini, di saat seperti ini aku masih bisa mikirin boyband asal Bandung favoritku itu... kembali lagi dong ke dunia nyata. "Hah, kamu beneran Mike?" kataku, memandang wajah dia yang berdiri di sebelahku sambil mengulurkan tangan, membantuku berdiri. "Ya iyalah emang kamu mikir aku ini hantu yang tau nama kamu? Hahaha", kata Mike seolah dapat membaca pikiranku. "Hehehe, ya kirain sih", kataku, menyambut uluan tangannya. Baru kali ini aku melihat wajah aslinya, ternyata lebih cakep dari fotonya, ngebuat hati aku cenat cenut. Kami mengobrol banyak di taman sambil menikmati matahari yang dengan malu-malu ke tempat asalnya. Senja itu, aku benar-benar ngerasain apa yang namanya indahnya jatuh cinta. Setelah mengobrol begitu lamanya, kami berpamitan, oiyah sekarang aku tau, dia pindah ke blok sebelah rumah aku. Aku jadi tetanggaan sama dia, senangnya :D. Kami lalu pergi ke rumah Mike untuk Mike kenalkan sama keluarganya yang sering dia ceritakan di chat ym ke aku. Mike pindah dari Jakarta ke Bandung, katanya sih papanya tugas kerja di Bandung. Dia tinggal sama keluarganya, yang barusan dia kenalin ke aku, Oom Anwar, Tante Rosa, dan adik perempuannya yang cantik, Mary. Mike sekolah di sekolah yang beda sama aku. Hari-hari berikutnya kujalani dengan senyuman yang menghiasi wajaku, menganggap bahwa semua hal buruk di dunia ini takkan berarti apa-apa bagiku, asal aku bisa liat wajah dia, wajah Mike setiap hari...

Sekarang Mike sudah menjadi sahabatku yang selalu ada di sampingku tiap aku ada masalah, dia selalu ngehibur aku.Semuanya jadi indah, sampai pada suatu hari, dia cerita ke aku tentang seorang cewe yang udah ngebuat hati aku sedih. Mike suka sama cewe itu, dan akhirnya setelah 3 bulan PDKT atau pendekatan, mereka jadian. Aku ngga kuat kalo harus terus begini, aku harus ngomong sama Mike tentang perasaanku sebenarnya, sebelum aku dibuat gila sama perasaan cinta sama sahabat sendiri. Bahkan, sebelum kami sahabatan, cuma sebagai temen di dunia lain selain dunia nyata, yaitu dunia maya, yang ga pernah tatap muka sebelumnya, aku udah suka sama dia... Ya, kalo perasaan ini terus-menerus dipupuk kaya gini, apalagi dengan sikap baik bangetnya itu, sikap perhatian itu, aku ngga mungkin ngga cinta sama dia... Rasa cinta ini terus menerus tumbuh, semakin besar dan semakin besar. Kalau aku ngga ngomong, bukannya aku seneng, tapi malah tersiksa sama perasaan ini. Sampai pada suatu sore yang cerah, saat kami sedang ngobrol di taman kompleks sambil menatap awan yang terus menerus bergerak, aku menceritakan semua tentang isi hatiku, apa yang aku rasakan sama dia, dari kapan perasaan itu muncul, dan berbagai macam kalimat lain yang gatau kenapa langsung meluncur dari lidahku. Aku juga heran kenapa dia ngga kaget sama apa yang aku katakan. Dia tetap tersenyum manis sambil mendengarkan aku bicara tentang perasaan terlarang ini. Setelah selesai semua beban di hatiku ini. "Mike, kok kamu malah senyum-senyum sih? Emang sih ceritaku tuh novel banget, tapi harus kamu tau, ini tuh kejadian sebenernya!", kataku. "Ngga kok, Kay, aku seneng kamu mau jujur sama aku, aku seneng kamu mau jadi the one yang mau tulus cinta sama aku... Ehm, sebenernya aku malu banget ngomong ini sebenernya. Aku juga suka sama kamu, Kay. Dari kita ketemu di chat ym, aku juga udah suka sama kamu, aku berusaha supaya jadi yang terbaik buat kamu. Tapi aku udah putus harapan, soalnya kamu tuh ngga ngasih respon ke aku", jelas Mike. "Hah? Kalau kamu juga suka sama aku, kenapa kamu jadian sama Lila? Kenapa kamu malah ngebuat hati aku tambah sakit, Mike setelah aku tau kejadian yang sebenarnya." "Sebenernya, Lila yang aku ceritain ke kamu itu, dia adik aku, aku cuma mau tau, apa kamu cemburu sama Lila atau ngga. Ternyata kamu cemburu yah, hehehe", canda Mike, tapi aku kira ini janggal dan ngga lucu! "Mike, bukannya adik kamu namanya Mary? Kok kamu ganti jadi Lila sih?", tanyaku penasaran. "Yah, namanya kan Delila Mary Wijaya, nama belakangnya sama kaya aku: Michael Stefan Wijaya. Hehehe, maaf banget kalau aku udah bohongin kamu, Kayla." Mike membuat aku yang tadinya kesal bercampur senang merasa sedikit tenang. "Jadi?" kata Mike. "Jadi, apa aku boleh jadi cowo yang bisa ngelindungin kamu, Kay?", sederhana, tapi udah buat aku melambung tinggi, bagai terbang di atas awan. "Aku mau, Mike jadi cewe yang bisa ngertiin kamu", jawabku sambil tersenyum. Kami baru saja jadian dan aku sangat senang akan hal itu. Menikmati senja di dekat ayunan tempatku pertama bertemu dengan Mike, dengan suasana yang sama: langit senja berwarna merah keunguan membuat hatiku tentram. Ternyata, sahabat juga bisa jadi cinta.

7 YEARS OF LOVE Cerpen Aisyah Wulansari Rahajeng


Desember 2011

Tak bosan. Tak akan pernah bosan aku menatap sesosok gadis di hadapanku. Tetap cantik, meski kini ia tengah terbaring lemah dengan wajahnya yang pucat pasi. Entah mengapa, dalam tak kesadarannya aku seakan melihatnya tengah tersenyum kepadaku. Senyum yang tak asing buatku. Senyum yang akrab menyapaku di setiap hari-hariku.. dulu,,,, Aku merindukanmu Ucapku terisak bukan untuk yang pertama kalinya. Aku yakin ia akan mendengar apa yang ku katakan, walau tubuhnya tak bergerak sedikitpun. Hanya suara dari mesin pendeteksi detak jantung yang ramaikan suasana yang ada kini. Aku merindukannya. Benar-benar merindukannya. ***** 28 Desember 2010

Pritha, ada bintang jatuh!!! Lalu? Kata orang sih, kalau ada bintang jatuh segala keinginan kita akan terwujud. Apa kamu percaya sama hal itu? Kamu kan cowo? Emang cowo nggak boleh percaya begituan?! Udah deh, mending kita coba dulu ajah!! Langit malam bersolek indah malam ini. Gemintang anggun hiasi kepekatan malamnya. Dan di bawah dekapan malamnya, ku habiskan waktu bersama Pritha, sahabatku. Seorang gadis cengeng yang periang, menyenangkan sekaligus menyebalkan. Gadis kecil keras kepala yang terus mengajakku untuk main boneka bersamanya, meski ia tahu bahwa aku seorang bocah laki-laki. Gadis cilik yang super cerewet dan mau menang sendiri. selalu memaksa aku untuk terus memboncengnya mengelilingi kompleks perumahan kami, meski kami sudah mengitarinya lebih dari 5 kali. Udah berapa lama ya kita saling kenal? tiba-tiba pertanyaan itu terlontar dari bibirnya. Nggak tau!! Emang kenapa? Toh, pada awalnya aku terpaksa kan mau main dan kenal sama kamu! Bawel amat sih, aku serius,Pram!! Emang siapa yang nggak serius sih?! Jadi udah berapa lama ya kita jadi sahabat? Enam tahun. Sok tahu! Emang kamu beneran yakin? . . . . Prithaaaaaa!!!! tiba-tiba suara tante Vivi hadir memecah sunyi yang ada di antara kami. Dipanggil noh, Non. iya iya,..aku duluan ya Pram. Sampai besok:) Aku yakin banget,Tha. Kita udah deket selama enam tahun. Aku nggak bakal lupa. Nggak akan pernah lupa, Tha. Besok adalah genap enam tahun pershabatan kita. Semoga kamu juga nggak lupa, ucapku dalam hati setelah sosok Pritha melangkah menjauh dariku. ***** 29 dddrrrrt.dddrrrtttddrrrttt From Desember : 2010

Pritha +628133xxxxxxx Pram, jangan lupa ya. Hari ini kita janjian di taman biasa. Jam 9. Oke? Aku tunggu. . . . Sekali lagi ku lirik jam tanganku. Pukul 9.05. Sampai saat ini aku belum menemukan sosok Pritha. Tak biasanya ia terlambat. Dia selalu tepat waktu. Padahal, tadi aku sudah benar-benar terburu waktu, berusaha untuk tak terlambat walau hanya untuk kali ini saja. Kekesalanku mulai muncul. Apa Pritha sengaja datang terlambat untuk mengerjai aku? Awas saja dia. Sembari menunggu, ku pandangi tulisan yang terukir di pohon Mahoni yang rindang ini. Kami menulisnya tepat enam tahun yang lalu. Dan sejak itulah, kami tetapkan hari itu sebagai hari jadi kami sebagai seorang sahabat. Sahabat yang akan selalu hadir disaat salah satu di antara kami jatuh ataupun sebaliknya. Sahabat yang selalu menjadi pendengar paling baik bahkan terkadang melebihi orangtua kami sendiri. Selalu ada. Selalu bersama. Sekarang. Dan selamanya. Amiin J 9.15. Pritha masih belum menampakkan sosoknya. Apa dia baik-baik saja? Tak seperti biasanya ia terlmbat. Apalagi dia yang membuat janji. Tak ada jawaban dari panggilan ku ke ponselnya. Semua pesanku juga tak mendapat respon. To : Pritha

08133xxxxxxx Tha, kamu dimana? Uda jam beapa ini, Sayang? Inget ya, aku sibuk. Nggak bisa nunggu lama-lama aku. Kalau bisa bales sms ini. Harus!!!. Still waiting for you, Tha. Tiga puluh menit. Empat puluh lima menit. Dan sekarang, hampir satu jam aku menunggunya. Pritha masih belum hadir di sini. Aku ingin marah. Aku benar-benar merasa dihianati. Tapi, sepertinya aku tak bisa. Ingin aku segera angkat kaki dari tempat ini. Hilang harap sudah untuk yakin bahwa Pritha akan menginjakkan kakinya di taman ini. Baiklah lima menit lagi. Ku beri kesempatan lima menit lagi. Tak lebih. Pritha, ku mohon ----Lima menit kemudian.---Pramana!!! Sebuah suara menghentikan langkahku. Suara yang tak asing, begitu akrab di telingaku, namun terdengar lemah. Suara Pritha. Aku berbalik. Dapat ku lihat seutas senyum tersimpul di wajah Pritha. Ia tampak pucat. Lemas. Apa dia sakit? Tapi,. Maafin aku yah, Pram. Dia berhamburan ke pelukanku. Ia menangis sejadi-jadinya. Kamu marah kan sama aku? Maaf banget, Maaf. Ku rasakan bulir-bulir bening hangat basahi bajuku. Aku tak mampu berkata-kata. Aku sendiri bingung dengan perasaan yang berkecamuk di dadaku. Apa ku harus marah pada sahabatku? Atau apa? Aku harus bagaimana? Aku tak tahu. Nggak, Tha nggak,. Ku tarik tubuhnya dari dekapanku. Pramana,?? ujarnya pelan. Meluncur lagi bulir-bulir bening dari kedua pelupuk matanya. Nggak, Tha. Nggak ada yang perlu dimaafin. J ku rasakan dingin pipinya saat ku usap air mata yang mengalir dari pelupuk matanya. Emang tadi kamu kemana? Emm, anu ee er tt..taadi Tadi kenapa? potongku sambil menariknya untuk duduk di rumah pohon kami. Tha, tadi kenapa? ku ulang pertanyaanku sesampainya kami di atas (di rumah pohon) Tadi,.. jam di rumahku mati. Ya, jamnya mati. Jadi aku nggak tau kalau uda jam 9 lewat. Sori yah, kenapa nggak bales sms ku? Toh kamu juga bisa lihat jam yang ada di hape kamu kan? Em, hapeku mati. Batrey.nya habis. Sori Trus, jam di rumah kamu kan nggak cuma satu kan, Tha? Iya sih, Cuma nggak tahu tuh pada rusak berjamaah. Tadi papa juga telat pergi ke kantor. Trus mama juga iya iya. Aku ngerti kok. Nggak usahpanjang-panjang ceritanya. Bawel!! Dasar kamu!! Masih aja ya nyebelin. Emang kamu ngapain ngajak ketemuan? Mau traktir nih? Iih, nih orang. Doyan banget ama yang gratisan. Emang kamu lupa ya? lupa? hari ini kan genap enam tahun kita sahabatan. Pikun banget sih kamu!! O. jawabku sekenanya. Sumpah ya, kamu itu,.. awas kamu, Pram!!! protesnya sambil memukul ku gemas. Tentu aku nggak lupa, Tha. Dan aku seneng kamu juga nggak lupa, batinku. . . . . . Kami habiskan seharian untuk mengulang segala cerita akan kenangan yang telah kami jalani bersama. Segala protes ia ajukan atas keisenganku selama ini. Dengan riang ia bercerita dan tentunya dengan senyumnya yang tak pernah hilang. Selalu hadir seperti biasanya. Senyumnya indah, meski harus hadir di wajahnya yang selalu pucat. Sejak awal kami bertemu, memang ia tampak pucat. Awalnya aku mengira dia mayat hidup, tapi. Aku ragu akan ada mayat hidup yang bawel dan super cerewet seperti dia. Dia tergolong anak tertutup. Jarang keluar rumah. Orangtuanya super protektif terhadapnya,meski kini ia sudah duduk di kelas XII SMA. Tapi, aku tahu Pritha bukan anak manja. Aku juga yakin, orangtua Pritha pasti punya alasan kuat untuk bertindak protektif terhadapnya hingga detik ini. Mungkin, karena dia anak perempuan satu-satunya,. Tha, Apa? Kamu janji nggak bakal kaya tadi ya? Maksud lo? jawabnya terheran-heran akan sikapku. Dasar oneng ya!! Gue tuh coba bersikap perhatian dan romantis sama lo!! Respon yang agak bagus dikit kek!! protesku. Dia hanya nyengir dan kembangkan sebuah senyuman di wajahnya kemudian. Pram, kamu mau janji sesuatu sama aku? Apaan? Dia menatapku lekat-lekat. Tampak sebuah rahasia tersimpan dalam dirinya. Sesuatu yang sengaja disembunyikan dariku olehnya. Ditariknya napas panjang, dihembuskannya perlahan kemudian. Kalau nanti aku nggak bisa lama-lama ada sama kamu, ataupun nggak bisa lagi main bareng kamu, kamu jangan marah sama aku yah, kamu

Kamu ngomong apa sih? potongku cepat. Kata- katanya sangat tak ku mengerti. Bahkan aku merasa aku membenci untuk mengerti kata-kata yang baru saja ia ucapkan. Dengerin dulu., Pram Bodo amat!! jawabku sekenanya. Pramana, rengeknya. Udah sore, yuk pulang. Aku anter Tapi, Udah, Aku nggak mau Tante Vivi entar ngomel-ngomel ama aku Pram, Udah. Ayo!!.. paksaku sambil menarik tangannya yang makin terasa dingin. ***** 26 Desember 2011

Nak, Pramana. Suara tante Vivi lembut menyapaku. Membangunkanku akan lelap. Udah malem, Sayang. Kamu pulang gih. Besok kamu harus kuliah kan? Bidang kedokteran bukan hal mudah, Sayang Iya sih, Tan. Tapi Pritha kan. Kan ada tante disini. Besok masih ada hari, kamu kan bisa ke sini lagi? Ya udah tante, Pramana pulang dulu. Assalamualaikum.. Waalaikumsalam. Hati-hati ya, Sayang Suasana kota Bandung makin ramai. Kerlap-kerlip lampu kota beradu indah di pinggiran jalan protocol utama. Suasana berbeda sungguh terasa saat aku melangkah keluar dari gedung rumah sakit yang serba putih. Ku teruskan langkahku ke gerbang utama rumah sakit. Ku hentikan sebuah taksi. Ku komando sang sopir untuk bergegas menuju ke rumah karena hari makin larut, aku tak ingin membuat mama khawatir akan aku. Dalam taksi teralun lagu Seven Years Of Love . Sebuah lagu yang kembali membangkitkan ingatanku akan kenangan bersama Pritha dulu. Saat dimana aku bisa melihat senyumnya yang menenangkan. Teringat olehku, bahwa tepat 3 hari lagi pada setahun lalu adalah hari dimana aku dan Pritha sempat kembali mengukir janji. Pritha, aku yakin kamu tak akan pernah melupakan janji kita itu. ***** 29 Desember 2010 Kak, ini lagu apa? tanya Pritha sesampainya kami dalam mobil. Pak Maman jalan yah. Udah sore nih, kasian Pritha Iya, Den jawab Pak Maman,sopir pribadi keluargaku, patuh. Ih, Pramana. Jawab dong. Ini lagu apa? Iya. Iya. Nyantai aja kali Jadi? . . . K Dasar!! Mending tanya Pak Maman aja. Pak, ini lagu judulnya apaan yah? Maaf, Non. Pak Maman nggak tahu lagu bule kaya beginian. Jawab Pak Maman terlalu jujur. Emang kenapa sih, Tha? Aku suka ajah. Nggak boleh? Suka lagunya atau penyanyinya? Yee, Ini lagu judulnya, Seven Years of Love jelasku Kok tahu? Ya tahu lah. Ini lagu kesukaannya Findha. Dulu dia suka banget ama penyayinya. Jadi dia ngoleksi album plus posternya. Dan ini salah satu lagunya. Oh. Maaf kalau aku jadi harus ngungkit-ngungkit masalah Findha. Aku.. Nggak apa. Nyantai aja. :) potongku kemudian. Tahun depan, aku harap kita bisa main-main lagi kaya tadi. Tahun ketujuh persahabatan kita. Dan pastinya terus berlanjut sampe tahun-tahun persahabatan kita berikutnya. Kamu kenapa sih? Pastinya lah kita bisa terus temenan. Kita masih punya banyak waktu, Tha. Kamu kenapa sih? Ia hanya diam. Keheningannya semakin membuatku penasaran akan apa yang terjadi pada diri Pritha. Sebenarnya apa yang disembunyikan olehnya? Oh, Pritha. . . . Janji? ucap Pritha sambil mengangkat kelingkingnya. Untuk? tanya ku keheranan. Tetaplah menjadi sahabatku dan tetaplah berada di samping dan Janji ucapku memotong perkataanya. Ku kaitlan kelingkingku pada kelingkingnya kemudian. ***** Mei 2011

Ujian sekolah telah usai. Namun, aku beserta kawan-kawan lainnya masih belum benar-benar merasa merdeka. Kami masih harus berjuang dan bersaing untuk dapat masuk perguruan tinggi yang kami inginkan. Dan kurang seminggu ke depan merupakan hari dimana hajat akbar di sekolah kami akan dilaksanakan, Hari Perpisahan. Hampir semua siswa antusias dalam hal ini. Berharap ini merupakan sebuah momen yang tepat untuk mengukir sebuah kenangan terindah yang ada. Namun harapan itu seakan jauh berbeda akan keadaan yang terjadi belakangan ini. Pritha tiba-tiba menghilang. Tiada sedikitpun kabar darinya. Ia seakan hilang ditelan sang bumi. Tak hanya sekali aku menghubungi ponselnya, namun tetap tiada jawaban. Tak hanya satu dua pesan yang ku kirim padanya, namun tak satupun yang dibalas. Aku coba mengirim pesan padanya melalui dunia maya, tetap tak ada respon. Hingga hari ini, sepulang sekolah, ku putuskan untuk mendatangi rumah Pritha. Ting tong Ting tong Tak ada jawaban. Kali ini adalah panggilan terakhir dariku. Sebagaimana adab yang ada, jika sang pemilik rumah sudah dipanggil 3 kali dan ia tak kunjung menyambut. Maka sebaiknya kita pulang, karena mungkin sang tuan rumah sedang sibuk atau ada suatu kepentingan, atau saja ia sedang tidak mau diganggu. Ting tong. . . Bel terakhir telah aku bunyikan. Berharap kali ini benar-benar mendapat jawaban. Satu menit. Dua menit Maaf, Den. Cari siapa? seorang wanita paruh baya berpakaian sederhana menyambutku. Beliau Bi Imah, pembantu di rumah Pritha. Pritha ada, Bi? Em anu, Den Emm Kenapa, Bi? Pritha baik-baik aja kan? sergapku kemudian. Aden ndak tahu toh? Tahu apa. Bi? Non Pritha kan lagi keluar kota sama Tuan dan Nyonya Apa? Kok Pritha nggak pamit ama aku, Bi? Pritha baik-baik aja kan? Em,,, anu, Den.. Bibi ndak tahu jawab Bi Imah ragu-ragu. Bibi nggak bohong kan?sergapku pada Bi Imah. Aku merasa ada sesuatu yang mengganjal akan kepergian Pritha dan keluarganya Nnnndak kok, Den. Bener jawab Bi Imah dengan suara pelan. Yaudahlah, Bi. Pramana pulang dulu. Nanti kalau mereka udah pulang, bilang yah aku kesini nyari Pritha ucapku pasrah kemudian. Assalamualaikum Waalaikumsalam **** Hening masih ada. Berputar-putar di antara kami. Aku, Pak Arif, guru Biologiku, dan Pak Sucipto, Kepala Sekolah. Aku masih terus bertanya-tanya akan alasan mengapa aku dipanggil ke ruang kepala sekolah. Hal penting apa yang akan dibicarakan beliau denganku? Kabar baik atau kabar buruk? Dua menit sudah pertanyaan itu berputar-putar di otakku. Dan dalam waktu dua menit pula, aku serasa akan mati tercekik rasa penasaran. Ehem.. ehem Pak Kepala sekolah berdehem, tanda beliau akan memulai pembicaraan. Pak Arief tampak menggut-manggut, tanda beliau siap untuk mendengarkan setiap kata yang akan keluar dari Pak Sucipto. Dag.. dig dug.. dyar!! detak jantungku berdetak kencang, tanda aku siap untuk menerima segala kabar baik yang ada, juga sebagai tanda bahwa aku tidak siap menerima kabar buruk yang ada. Begini, Nak Pramana beliau memulai pembicaraan. apa kamu sudah mendaftar untuk jenjang berikutnya di salah satu universitas? I..ii..iya, Pak Pak Sucipto hanya manggut-manggut. Perlahan aku mulai berani mengangkat kepalaku. Ku tatap lekat-lekat kepala botak beliau yang terlihat berkilau di bawah sinar lampu TL. Selamat ya, Nak Pak Arief tiba-tiba angkat bicara. Kamu mendapat tawaran program beasiswa di alah satu universitas terkemuka, dan Beneran, Pak!! sambungku cepat, tak perduli Pak Arief sudah menyelesaikan kalimatnya atau belum. Yang penting hepi ajalah J. Wah makasih nih, Pak ku raih tangan Pak Sucipto dan Pak Arief, dan ku cium punggung tangan beliau berdua bergantian. Iya ya , Nak. Selamat untuk kamu ucap Pak Sucipto penih wibawa. Ada masalah, Pak? Begini, Nak pihak universitas te;ah melihat hasil belajar kamu selama bersekolah di SMA ini Dan?sahutku tak sabar. Mereka menawarimu untuk masuk dalam bidang kedokteran. Apa kamu berminat untuk masuk dalam bidang itu? Asal kamu tahu, Nak. Bapak sangat mendukung jika kamu masuk dalam bidang itu Begitu pula dengan Bapak, Pramana. Bapak sangat mendukung tawaran itu. Ini kesempatan emas buatmu, Nak tambah Pak Sucipto.

Biar saya Baik baik Terimaksih, Sekarang Permisi, *****

bapak

pikirkan beri

dahulu, kamu waktu bisa

Pak sampai

jawabku awal kembali,

bulan

kamu

sekenanya. depan Pak Nak Pak..

30 Mei 2011 Kedokteran? Aku benar-benar tak yakin akan tawaran itu. Aku sama sekali tak tertarik dalam bidang itu. Namun Pak Arif benar juga, ini kesempatan besar buatku. Aku harus bagaimana? Masih dibawah pengaruh rasa bingung yang tak karuan, ku buka laptopku. Ingin ku hilangkan semua penatku. Ku gerakan jemariku merangakai sebuah URL yang sedang digandrungi remaja sebagian besar, www.facebook.com. Setelah melaluiproses log in, aku telah sampai pada beranda dunia mayaku. Betapa terkejutnya aku saat kulihat akan adanya puluhan pesan dan pemberitahuan pada akun facebook-ku. Dan. Itu semua dari Pritha. Dia kembali pantaskah aku mengatakan kata kembali untuk munculnya kabar dari Pritha? Huh, aku tak tahu. Pramanaaaaaa toktoktok suara Ibu buyarkan lamunan ku yang tak karuan. Ada Nak Pritha di depan. Temuin gih,,, Apa? Pritha? batinku. Iya, Bu bentar sahutku kemudian. Pritha muncul setelah sebulan lebih menghilangsebenarnya apa yang dia inginkan? batinku masih tak percaya. . . . . . . Hai, Pram. Sapa Pritha saat aku baru muncul dari balik tembok. Aku masih tak tahu apa yang harus ku katakan padanya. Haruskah rasa marah dan kecewa atas hilangnya kabar darinya secara tiba-tiba, yang ku tunjukan? Atau, haruskah ku tumpahkan segala rasa rinduku padanya dan mengenyampingkan semua kecewaku? Ngapain lo kesini? tanyaku begitu saja. Sory Pram, aku . . . . Aku ada keperluan ama keluargaku di luar kota. Dan itu mendadak banget. Dan aku Nggak bisa pamit atau ngasih kabar kek?! potongku, kesal. Em Aku Kenapa? Apa susahnya sih, Tha?? Gue kecewa ama lo!! Pram, aku,,, dia hanya menangis. Air matanya mengalir deras dari kedua pelupuk matanya. Huh, aku membenci pemandangan ini, melihat Pritha menangis. Udah lah, Tha! Kalo Lo uda nggak mau kita sahabatan lagi, bilang aja. Nggak usah kaya gitu, ngilang nggak ada kabar. Sms, e-mail, telpon nggak ada yang lo respon. Ucapku mencak-mencak. Pram, suaranya melemah. Wajahnya yang sedari tadi pucat, makin memucat kini. Air matanya terus mengalir. Dia menangis. Aku kian terbakar api emosi. keluar dari sini! ucapku padanya dengan nada lebih rendah dari sebelumnya. Pram, aku PERGI!!! bentakku kemudian. Aku berbalik. Berharap Pritha tak mengetahui akan air mataku yang mulai meluncur mulus di pipiku. Berharap Pritha segera menghilang dari rumahku. Masih ku dengar isaknya untuk beberapa lama. Kemudian, ku dengarkan langkah kaki yang gontai menjauh dariku. Pritha pergi. Entah dia akan kembali atau tidak, aku tak tahu Aku masih berdiri terpaku di sini. Di tempat, dimana aku telah mengusir Pritha, sahabatku. Potongan-potongan episode saat aku bersama dia bermain dalam memoriku. Bagai film yang tengah di putar pada layar besar, begitu cepat. Gambaran akan kebersamaanku dengan Pritha teramat jelas terlihat dalam anganku. Haruskah semua kenangan iindah itu berakhir sampai disini? Prithaaaaaaaa ku teriakkan namanya sekeras mungkin, berharap dia akan berhenti menjauh dari rumahku. Ku balikan tubuhku, segera aku berlari menyusulnya. Tha ku tangkap sosoknya yang kian menjauh dari pintu utama rumahku. Prithaaaaaaaa kali ini ku teriakkan namanya lebih keras lagi. Dia berhenti. Aku pun berhenti berlari. Dia berbalik. Aku melangkah mendekatinya. Dia menatapku. Aku pun menatapnya. Thaucapku dengan napas tersengal. Pram,. Aku Maafin aku ya, Tha.. ku raih tubuhnya dan menariknya dalam dekapan tubuhku. Maaf,Maaf Pram ucapnya sambil terisak dalam dekapanku. sssst.. ku letakkan telunjukku pada bibirnya yang pucat. Udah,.. udahsemua udah berlalu. Aku yakin kamu

punya alasan yang kuat untuk kepergian kamu. Em,,,,,aku ada kabar baik nih,,, Oh ya apa? ucap Pritha sambil mengusap garis air mata di pipinya. Aku dapet beasiswa, Tha. Oh ya? Waw, selamat yaa ucapnya girang sambil memelukku. Hebat kamujurusan apa? Itu masalahnya aku bingung. Mereka nawarin aku di bidang kedokteran.. kamu tahu kan, aku kurang ada minat dalam bidang itu keputusan kamu gimana? . . . aku hanya dapat mengangkat bahu. Kamu tanya sama hati kamu ucapnya sambil menunjuk dadaku, menunjuk dimana hati kecil berada :) makasii, Tha. Lo emang yang terbaik :) Ntar malem aku mau traktir kamu makan. Oke? Buat ngerayain ini. Ntar aku jemput deh. Gimana? Nggak usah jemput lah. Nanti aku usahain ya, Pram. Aku pulang dulu, tadi aku bilang ke Mama nggak bakal lamalama soalnya.. Assalamualaikum okeh. See you later, girl!! Jam 7 yah Ati ati. Waalaikumsalam ***** 20.00 Satu jam lebih aku mematung di sini. Ku lirik jam tanganku, berharap waktu berhenti detik ini juga. Ingin ku berikan kesempatan pada Pritha untuk dapat hadir di sini tepat waktu. Tapi.. lagi lagi ia tak tepat waktu. Lagi lagi ia tak memberikan kabar padaku. Ada apa lagi dengannya? Akankah dia menghilang lagi? Jarum jam menunnukan pukul 20.45. Seharusnya kami telah berkumpul, menghabiskan waktu bersama dengan senda gurau, dengan tawa, dengan kegembiraan. Tapi. Yang ada hanya aku yang sendiri, dalam hening, dalam sepi. 21.00 Ku putuskan untuk kembali ke rumah seorang diri. Seharusnya aku melangkah pergi dari tempat ini berdua. Mengantar Pritha pulang, karena hari telah larut. Semua tinggal rencana.. lagi lagi Pritha mengingkari janjinya. Janji untuk datang pada malam ini. Janji untuk selalu memberi kabar akan suatu halangan yang terjadi padanya. Lagi lagi Pritha telah membuatku kecewa. **** Juni 2011 Pram, ada yang nyari tuh!! seru Rendra kawanku dalam satu tim basket. Siapa? Tuh ucapnya sambil menunjuk seorang gadis bermbut panjang dan berwajah pucat. Pritha? . . .Rendra hanya mengankat bahu. Cantik loh, tapi sayang wajahnya pucet banget. Temuin sono . . . . Ngapain lo di sini? ucapku kesal saat sampai di hadapannya. Aku tau hari ini kamu ada jadwal latihan basket. Jadi aku langsung ke sini aja. Dan ternyata tebakan aku bener, kamu ada di sini Pulang sana! Aku sibuk! Kamu marah? dia bertanya dengan wajah polosnya. Pram, .aku-- Peduli apa Lo!! Pulang sana, gue nggak butuh temen kaya Lo!! Muna! Aku bisa jelasin, Pram malam itu aku Kenapa? Lo nggak bisa dateng karena jam di rumah lo mati lagi? Hape lo low batt, jadi lo nggal bisa sms buat ngasih kabar ke gue?! omelku panjang lebar padanya. Udah deh. Gue capek!! Nggak sekali lo kaya gini Pram..aku Dan lo juga tahu kan, gue paling nggak bisa toleran ama orang muna kaya Lo!!!! Tapi, aku punya alasan untuk ini, Pram!!! Dengerin dulu penjelasanku Udah jelas semua!!! potongku dengan nada suara yang kian naik. PERGI LO!!! Enek gue ngeliat lo di sini!! katakata jahat itu keluar tak terkendali dari mulutku. PERGI!!! Aku berbalik dan segera melangkah pergi menjauh dari Pritha. Berharap kali ini aku tak akan berbalik dan mengejarnya seperti dulu. Hatiku terlanjur luka dan bernanah. Aku benar-benar kecewa. . . . . . ---beberapa menit kemudian--Pram pram praaam.. Dudi tergopoh gopoh ke arahku yang sedang asyik berkeluh kesah dengan bola basket. Ngapain? jawabku malas. Cewe tadi... cewe yang barusan lo temuin Kenapa lagi? potongku cepat. dia balik lagi? Maksa pengen ketemu gue lagi? Usir aja! Bilang gue lagi sibuk. Repot amat! Eh. Bukan!!! Denger dulu!! bantahnya. Dia pingsan!! hah.. sahutku dengan mata melotot dan hati yang kaget bukan main. Dimana?

Di gerbang depan. Anak-anak lagi ngerubungin dia tuh. Segera ku berlari menuju TKP. Tubuh gadis itu terbujur lemah. Wajahnya kian pucat. Mengalir darah segar dari kedua lubang hidungnya. Orang-orang di sekitarnya hanya terdiam, asyik menonton penderitaanya. Segera ku raih tubuhnya. Ku periksa denyut nadinya. Kian melemah. Pun kulitnya kian terasa dingin. Apa yang kalian lihat hah? Panggil ambulans!!! CEPAAAAT!!!! ucapku mencak mencak tak karuan. Pritha bertahanlah.. bisikku padanya lemah. ***** Apa? Kanker otak? aku tercengang. Pritha tidak mungkin mengidap penyakit itu. Aku tahu dia orang yang kuat. Tuhan.. Kenapa dia nggak cerita? Kenapa. Aku nggak pernah tahu tentang ini? Maafkan tante, Sayang. Pritha sangat sayang sama kamu. Dia melarang tante dan om untuk cerita penyakit ini ke kamu. Dia nggak pengen kamu khawatir, Nak jelas Tante Vivi dengan nada yang sengaja dibuat tenang. Separah apa kankernya? Sudah stadium akhir. Sebulan yang lalu kami mencoba untuk menjalani terapi diluar negeri. Namun, pihak kesehatan di sana sudah menyerah, Nak. Terlambat bagi kami untuk melawan kanker di tubuh Pritha. Sesampainya kami di rumah, Pritha langsung merengek memaksa untuk datang ke rumahmu, Nak. Alhasil, beberepa malam lalu tubuhnya kembali melemah. Kondisinya drop. Tadi pagi, saat dia sadar dan agak membaik, dia memaksa agar diantar ke tempat latihan basket tempat kamu biasa latihan. Dia bilang, dia ada janji sama kamu. Tante nggak yakin untuk ngijinin dia ketemu kamu, tapi dia memaksa. Dan sekarang tante Vivi terisak. Kalimatnya terhenti. Airmuka yang tadi Nampak tegar, kini berubah menjadi sesal. Satu demi satu kejadian yang ada di ceritakan Tante Vivi dengan rinci meski diselai dengan isak tangis yang kunjung henti dari beliau. Semua seakan terputar kembali, bagai sebuah film kelam yang sama sekali tak ingin ku saksikan namun terus ku bayangkan. Sabar ya, Te. Pritha itu orang yang kuat. Tante tahu itu kan? hiburku pada tante Vivi seadanya. Semoga saja, Nak. Dia sudah cukup lama menderita karena kanker ini. Sudah hampir 9 tahun yang lalu. Dulu sempat pulih, dan dokter sudah menyatakan dia sembuh. Tapi kanker itu muncul lagi :( Tante Vivi tenggelam dalam isakan tangisnya yang pilu. Papa Pritha terdiam. Aku pun tertdiam, terduduk lesu penuh sesal. Mengalir air mataku yang seakan percuma. Karena aku telah gagal melindungi Pritha. Gagal menjaga Pritha. Kini aku tak tahu harus berbuat apa. Inginku putar kenbali waktu. Ingin ku cabut semua kata-kata kasarku pada Pritha. Ingin ku hapus semua prasangka burukku akan dia. Aku hanya bisa berlari. Membawa diri ini untuk menjauh dari badan Pritha yang masih dalam kondisi kritis. Aku ingin terus berlari, berharap menemukan sebuah jawaban atas segala segala rasa yang kini berkecamuk dalam dada. Tiba-tiba langit mendung. Tetes-tetes air langit turun basahi tanah bumi. Gemuruh bergelegar, saling bersautan seakan alam sedang marah. Apakah sang alam marah padaku atas Pritha? Terkutukkah aku sudah? . . . Tuhan.. kenapa Engkau gariskan ini terjadi padaku?????? teriakku tak jelas, sesampainya aku pada suatu tempat yang dahulu sering ku kunjungi.. Kenapa Engkau biarkan ini terjadi dalam hidupku untuk yang kedua kalinya, Tuhan? Belum cukup Engkau hancurkan hati ini dengan kepergian Findha??!!! Kenapa sekarang Pritha juga harus mengalami hal yang sama dengan halnya Findha?? Apa aku tak boleh bahagia, Tuhan? Apa aku memang tak pantas untuk mencintai dan dicintai oleh orang-orang istimewa seperti mereka? Aku tahu ini salah. Tak seharusnya aku menyalahkan kuasaNya yang Mahaagung. Tapi, harus dengan siapa lagi aku mengadu kini? Findha, lo tahu kan gimana hancurnya hati gue saat lo emang harus ninggalin gue untuk selamanya? tanyaku pada pusara yang ada di hadapanku. Sekarang, gue harus ngalamin lagi yang namanya kehilangan orang yang gue sayang, Dek Aku hanya dapat terus terisak. Terus tenggelam dalam banjiran airmata di bawah guyuran hujan. Terus berkeluh kesah akan semua sakit yang ku rasa, pada pusara di hadapanku. Pusara yang bernisankan Findha. Sosok teristimewa dalam hidupku. Adikku.. ***** 29 Desember 2011 Kamu pinter banget menyembunyikan semua ini dari aku. Dasar anak nakal! ucapku pada sosok yang masih enggan membuka kedua matanya. Ia masih lelap dalam tidurnya yang panjang. Meski demikian, aku beserta keluarga Pritha yakin, Pritha pasti akan bangun dari lelapnya. Bangun untuk kembali tersenyum. Senyum yang mampu untuk membuat sang mentari malu dan selalu ingin bersembunyi di balik awan.

Kamu tahu kan hari ini adalah hari yang kamu tunggu setahun yang lalu. Tujuh tahun persahabatan kita. Kamu juga tahukan, sekarang aku uda kuliah di bidang kedokteran. Apa kamu nggak pengen tau ceritaku waktu di kampus? Seru banget, Tha! aku terus mngoceh sendiri. Entah, orang-orang di sekitarku telah menganggapku gila atau tidak. Tak peduli, yang terpenting Pritha segera sadar dan dapat kembali tersenyum. Walau matanya terpejam, aku yakin mata hati Pritha mampu merasakan semuanya. Ku letakkan tangannya di atas kepalaku. Ke genggam erat tangnnya yang dingin. Ku cium punggung tangannya dengan penuh rindu, penuh sesal. Selamat hari persahabatan, Tha. Seven years of our love bisikku sambil kembali mencium punggung tangannya. Ku benamkan tubuhku dalam lipatan tanganku. Inginku pejamkan mata, dan menemuinya dalam alam bawah sadar. Mencari bayangannya dalam tiap kenangan yang terus mengaduk-aduk otakku. . . . . ---pukul 21.00--Pram.. Suara itu terdengar lemah. Suara yang hampir hilang dari pendengaranku 7 bulan lalu. Suara dari sosok yang ku rindu, . . . . . . . .Pritha. Kamu udah sadar? responku spontan. Biar aku panggil dokter yah, kamu tunggu bentar disini Pram, ucap Pritha sambil memegang pergelangan tanganku, menghentikan langkahku. Nggak usah. Aku baik kok. Aku lagi nggak pengen dapet ceramah dari dokter. Aku mohon.. ucapnya masih dengan lemah. Oke. Ucapku patuh. Aku akan kabarin Mama dan Papa kamu- Pram kembali Pritha menatapku dalam. Ia menggeleng. Aku nggak mau ngerepotin mereka ya ya ya jawabku setengah kesal. Makasi :) ucapnya sambil nyengir. Lo tidurnya lama amat, kaya kebo ucapku membuka perbincangan pertama kami setelah hampir 7 bulan kami mematung dalam perbincangan sunyi. Oh ya?potongnya, berusaha memberi respon yang baik. Tapi. Lo kebo paling cantik di dunia, Tha. Gombal Lo! Aku masuk kedokteran bisikku. Selamat, Pram :) senyumnya mengembang di bibirnya. Senyum yang selama ini aku rindukan. Selamat hari persahabatn, Pram lanjutnya lirih. Selamat juga buat kamu, Tha dapat ku lihat senyumnya terus mengembang dalam wajah pucatnya. Senyumnya bagai bintang pagi yang indah. Sekarang tanggal berapa? tiba-tiba dia bertanya demikian. 29 Desember :) Oh ya? Waktu berjalan cepet banget ya selama aku nggak sadar.. Kan aku uda bilang kamu tidur kaya kebo godaku Aku pengen ke taman, Pram. Bukannya kita uda janji untuk pergi ke taman ditahun ke-tujuh persahabatan kita? lo nggak lupa, Tha :). Makasii batinku Udah malem, Tha. Kamu juga baru sadar. Besok aja yah Ayolah, Pram.. semua akan beda kalau besok. Bukannya kamu juga udah janji? rengeknya manja Nggak, Tha!! Pram,. Please Diluar hujan, Tha Aku takut aku nggak punya waktu banyak untuk ini, aku Lo ngomong apa sih? Kesempatan kita masih panjang potongku karena risih akan kalimat yang belum terselesaikan oleh Pritha. Pram, ku lihat mata beningnya mulai tergenangi air mata. Ini adalah kelemahanku. Aku paling tak tega jika harus melihat seorang sahabatku seperti itu. Oke, karena angka 7 merupakan angka bagus dan katanya sih membawa keberuntungan, aku anter kamu. Tapi inget, kamu juga harus sesuain sama kondisi kamu jawabku kemudian. Oke, nanti kalau aku uda nggak kuat. Aku bakal ngelambaiin tangan kok :D Snting lo! Aku percaya kamu :) :) **** . . . -pukul 23.45Hujan masih belum reda, makin deras malah. Aku dan Pritha masih mematung memandangi tiap tetes air langit yang turun, kemudian mengembun pada kaca mobil. Kami berhasil sampai di taman ini dengan usaha yang tak mudah. Malam ini aku telah melakukan satu tindak criminal. Menculik anak orang, sekaligus membawa kabur pasien rumahsakit yang baru sadar dari koma.

Hujannya nggak kunjung reda. Mending kita balik aja yah. Besok kita ke sini lagi ucapku pada Pritha yang sedang asyik melukis pada kaca mobil dengan embunan air yang ada. Dia bebalik menatapku. Dia diam dalam beberapa saat. 15 menit lagi hari ini akan berakhir Pram Justru itu, Tha. Mending kita pulang. Hari udah makin malem dan ini sama sekali nggak baik buat kondisi kamu, Tha Karena hari tinggal 15 menit lagi, ayo kita turun dari mobil dan kita langsung menuju ke rumah pohon. Akan menyenangkan walau waktu kita nggak banyak ucap Pritha seakan tak mendengar apa yang aku katakan sebelumnya. Tha, lo dengerin gue ngggak sih? protesku pada Pritha yang sedari tadi terus menerawang jauh dan terus berbicara tanpa melihat aku. Pram. Waktu terus berjalan. Waktu kita nggak banyak ucapannya seakan menandakan bahwa ia benar-benar tak memperdulikan setiap ucapanku. Ayo, Pram.. lanjutnya dengan nada memaksa. Setetes bulir bening meluncur mulus dari hulu pelupuk matanya. Tha, came ondengerin aku paksaku sambli menarik tangannya. Please, ucapnya melemah. Tetes airmata berikutnya menyusul jatuh dari pelupuk matanya. Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa Tha. Cuma itu. Aku akan baik-baik aja, Pram. Aku yang tahu seberapa kuat aku bisa bertahan dari semua ini Ku tarik napas panjang. Berusaha untuk dapat memutuskan yang terbaik, tadi aku sudah mengalah untuk nekat membawa kabur Pritha ke taman ini, dan sekarang.. Okelah, Ayo kubukakan pintu mobil untuknya. :) thanks, boy. Ucapnya senang, tentu dengan sebiah senyum yang sempat hilang selama beberapa bulan lalu. Sesaat kemudian ia tampak bingung. Sepertinya ada masalah dengan kakinya. Bisa bantu aku untuk sampai ke rumah pohon? tanyanya ragu dan sungkan. Ow,.. withpleasure Princess,:) ku raih tubuhnya dan ku bopong dia. Lo makin berat ya, harusnya tambah enteng!! Dasar kebo!! Sialan lo!! Sini biar aku pegang payungnya tawarnya padaku. Angin bertiup makin kencang. Pun hujan tak lekas untuk sekejap menghentikan tiap tetes yang ada. Hal ini makin memberatkan langkahku dan Pritha untuk dapat sampai di rumah pohon kami. Aaahh, Pritha memekik kaget saat tiba-tiba payung yang dibawanya terbawa tiupan angin. Pram, maaf.. payungnya ucapnya dengan suara makin lemah yang beradu dengan derasnya suara hujan. tenang, Tha. Bentar lagi kita sampe ucapku tergopoh-gopoh. Ku percepat langkahku. Tubuhku sudah kuyup, begitu pula Pritha. Melihat wajahnya yang kian memucat, aku makin khawatir dan merasa serba salah. . . . Kita udah sampe, Tha ucapku pada Pritha yang tampak kian lemah di pangkuanku. Wajahnya kian memucat. Guyuran hujan makin membuatnya lemah. makasii, Pram ucapnya sambil meraba ukiran tulisan yang ada di pohon Mahoni milik kami. Makasii kamu udah mau temenin aku, jaga aku Tha, udah :) ku tatap matanya yang bulat nan penuh akan ketulusan cinta. Ia tetap menggigil walau sudah mengenakan jaket miliknya. Ku kenakan jaket ku untuk melapisi tubuhnya yang kuyup. Aku seneng banget bisa kenal dan bersahabat ama orang kaya kamu nggak kerasa ya, udah tujuh tahun kita sama-sama. Rasanya baru kemarin, tapi kenapa ya rasanya hari ini semuanya akan berakhir Sssstttt, ku letakkan telunjukku pada bibirnya yang pucat dan gemetar. Waktu kita masih panjang bisikku pilu. Aku harap, Pram ucapnya lelah sambil menarik masuk tubuhnya dalam dekapanku. Maaf kalau selama ini aku nyembunyiin masalah ini ke kamu. Aku udah nggak jujur ke kamu Ku peluk ia erat. Semakin lama semakin ku eratkan dekapanku padanya. Dan makin terasa pula tubuhnya yang kian melemah dan gemetar. Tha, kita balik yah. Inget ama janji kamu buat jaga kondisi kamu Nggak, Pram,. Ia menggeleng di dadaku, dalam dekapanku. Semenit lagi, Pram hanya tinggal semenit hari ini akan berakhir.. tetaplah seperti ini. Jangan lepaskan semua ini, Pram. Ucapnya makin lirih dan lelah dari sebelumnya. Ku rasakan kulitnya yang kian dingin dalam genggaman tangannya. Ku eratkan pula dekapanku pada tubuhnya, hanya berharap agar ia masih bisa merasakan hangat. Jangan tinggalin aku kaya Findha ya Tha Nggak, Pram. Nggak akan. Ucapnya pelan. Dan asal kamu tahu, Findha nggak pernah ninggalin kamu, dia selalu ada di sisi kamu. Dia bener-bener adek yang istimewa, Pram. Seperti kata-kata kamu dulu Iya, dia istimewa ucapku dengan linangan airmata yang mulai jatuh. Sama istimewanya sama kamu, Tha :) ucapku pahit. Aku sayang sama kamu, Tha J aku juga, Pram ucapnya sambil menatap mataku dalam. Aku sayaaaang banget sama kamu :) ujarnya sambil beruaha tersenyum wajar. Meski tetap saja senyumnya makin menambah pahit luka hati ini. I love you bisikku. really? I do. Youre a special one in my life. My best friend. You never be changed in my heart lanjutku padanya. Im great to hear that :). I love you too, boy. Youre the best in my life. Kamu anugrah paling indah, Pram. Ku dekap tubuhnya. Aku tak kuasa lagi untuk menatap matanya lebih lama. Tak memiliki daya untuk mendengarkan

setiap kata yang diucapnya lirih dan lelah. Ingin terus ke peluk ia. Tak ingin melepaskannya. Seakan, jika aku melepaskan dekapanku ini, maka aku akan kehilangan semuanya. Kehilangan untuk selamanya. Ku lirik jam tanganku. Waktu telah menunjukan pukul 00.00 Tepat tengah hari. Jika sang jarum jam bergeser sepersekian detik saja, maka hari bahagia bagi kami ini berakhir sudah. Bersamaan dengan berjalannya sang waktu dan bergantinya hari, hujan pun mereda , berganti dengan rintik gerimis yang turun. Angin yang tadinya bertiup kencang, kini menjinak berganti dengan tiupannya yang sepoi menenangkan. Tha, ayo balik ke rumah akit. Hari udah berganti. Inget kondisi kamu ucapku memecah sunyi saat ku lihat sang waktu menunjukan pukul 00.01 . . . Tha,???? ucapku diterjang berjuta tanya. Ku tarik ia dari dekapanku. Tha.???? Wajahnya tampak sangat pucat. Bibir merah mudanya, membiru. Kulit tubuhnya terasa dingin. Sangat dingin. Tubuhnya tak lagi gemetar seperti tadi. Terkesan tak kuasa bergerak malah. Tha. Ucapku sambil mengguncang ringan tubuhnya. Kamu udah janji untuk nggak ninggalin aku, kan? Tha? Ku periksa denyut nadinya yang terasa amat lemah. Ku lakukan pertolongan pertama sederhana. Ku tekan dadanya perlahan, untuk memancing reaksi dari detak jantungnya. Tak lama, ia membuka matanya. Ia tersenyum. Pram,.. Sssst,. Udah. Sekarang aku bawa kamu ke rumah sakit. Ia mengangguk pelan. Aku bahagia banget malam ini. Ucapnya lelah terbata. Pram, maaf aku Ia tak mampu melanjutkan kata-katanya. Dan pada detik itu pula, tarikan nafasnya memberat, denyut nadinya melemah, dan, PRITHAAAAAAAAA!!!!!!! aku tak mampu melakukan apapun. Ia pergi. Menyusul Findha di sana. TUHAAAAAAANNNN,.. Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun ucapku pasrah. Ku kecup kenignya sebagai tanda kasih dan cintaku padanya. Mungkin adalah kesempatan terakhirku untuk dapat terus manatap mata bulatnya, mendekap erat tubuh kurusnya. Angin sepoi-sepoi seakan tak mampu membawa duka ini pergi. Dinginnya Angin malam yang menusuk tulang, seakan tak mampu saingi kepedihan dan kepahitan hati ini. Pritha pergi. Separuh jiwa dan hatiku turut pergi bersamanya. Akankah semua cerita yang ada pun akan pergi bersamanya??

AWAL BERTEMU Cerpen Arika Purwanti


Hari ini aku tak punya lagi pasangan alias ngejomblo. Namun aku senang punya teman baru walaupun kadang rada mangkel n jutek sama ini orang because sahabat atau teman baru ini sahabat karibnya mantanku. Dengan wajah kucelku ku mulailah hidup tanpa kekasih. Sedih sih iya karena begitu lama ku mencintai lelaki sepertinya. Cowok jutek itu berasal dari.... Kriiiinggggg bel pulang pun berbunyi. Aku bergegas menuju pintu untuk pulang ditemani sahabatku thanti. Terik panas matahari menghampiri wajah kita. Aku pun mengajak thanti segera menuju parkiran yang biasanya anak kelasku nongkrong di situ. Eh than pulang yukk??? dengan wajah kusamku ku mengajak thanti untuk segera pulang. Thanti menjawab wahh ka aku lagi pengen ngumpul-ngumpul nich jawab thanti dengan senyuman. Ya udah deh aku pulang duluan yak than ?? mukaku terlihat lesu menjawab pertanyaan thanti. Kenapa sih lo ka?? Ada masalah curhat dong.!! Enggak papa than Cuma abis putus doank. Jawabku di ejek oleh thanti. Makanya sama kita dong ngejomblo. Ahhh udah lahh pulang gue capek. Good bye my friend dengan melambaikan tangan aku menuju stop an bis depan smp 6. Seperti biasa tanganku tak bias lepas dengan Hand Phone super jadul ku. Kringg bunyi hp yang membubarkan lamunanku ku mulai membuka dan membacanya. Dari blek julukan ku kepada sahabat baru ku. Ka lu bias gak bantuin gue?? Sms itu aku baca aku pun membalasnya Bantu apa blek??? Gini ka lagi punyan masalah e n gak bisa di ceritakan d isms atau telp bisa gak k kalo ketemu??? Dengan muka yang suntuk pun aku rada malesan membalasnya. What?? Segitu pentingnya ya nyampek sms or tlp pun gk bisa?? Iya nih ka bisa kagak kamu ketemu?? Ntar gue datengin ?? tak lama kemudian aku menyetujuinya. Untuk bertemu dengan si blek sahabat bekas pacarku. Hari itu tibalah hari minggu waktu luang yang sempat ku pergunakan untuk menemui si blek. Dengan muka malesku berjalan menuju jalan yang biasanya buat nunggu angkot. Beberapa menit kemudian hanphone berbunyi sms dari si blek pun masuk. Ka lu dimana gue udah pulang ki??? iyaa bentar yak lagi otw gue blek jadinya ketemu dimana blek??? Jawabku dengan sms singkat itu. blek pun mengajak ika ketempat yang sering blek kunjungi.. nyampelah aku di tempat yang di janjikan. Ku cari cinglak cingluk dengan muka kepanasan ku hari yang begitu panas gak ada pepohonan sama sekali. Beberapa menit kemudian blek nyamperin aku. Eh ka mau kemana lu??? Aku kaget kok blek sekarang pake kacamata.. dengan muka yang pas pasan aku liatin blek. Ohh ternyata lumayan juga pikirku dalam hati. emmm ya mau ketemu lo lah.. gmn sih lo?? Jawab aku dengan rada gemetar udah gak usah grogi gitu lahh.. jawab si blek dengan mrengess.. sambil berjalan menuju kos an blek kita ngobrol basa basii. Nyampelah di kos barunya si blek. Ini ka kos baru gue maklum anak cowok gak rapi alias berantakan kayak kapal pecah kata si blek dengan bercanda. hmmm ahh biasa aja blek udah tau kok gue kalo cowok itu kayak gitu.. kyak gak pernah kenal cowok aja e aku.!!! Jawabku dengan ketawa. btw mau ngomongin apaan sih blek??? Ginii ka gue pengen bikin novel lu kan bisa tuh gue tolong ya dibantuin??? hahh ?? Cuma gitu doank blek?? Di sms kan bisa?? Jawabku dengan muka mangkel. gak penting banget tau aku capek nyampek sini Cuma mau ngomong itu doank.!! Huhhh ampun deh Ya maaf ka kan aku pengen ketemu kamu sekian lama kita kenal lo gak mau ketemu gue smspun dicuekin karena status lo masih pacaran sama maho.. jawab si si blek dengan muka melasnya. yaya gapapa kok sant aja blek. Setelah bertemu dengan si blek rasanya diriku nyaman banget bersama dia. Waktu pun begitu cepat jam di tanganku menunjukkan pukul empat sore.. Blek aku pulang dulu ya.. Lho kok buru ka??? Ah takut gak dapet angkot e;; Yaudah tak anter yak nyampek ujung gang?? Muka blek melihatku dengan kasian Hmmm yauda lo anter aku ya bllek jawabku dengan rasa senang melihat cowok yang tanggungjawab seperti blek. Diperjalanan menuju gang blek pun melontarkan kata-kata yang lucu sehingga aku pun tertawa. Dengan tangan blek di bahuku ku merasakan nyaman di dekatnya. Kami pun bercanda gurau nyampek lupa sudah nyampek di ujung gang.

Makasih yak blek udah mau anterin. Iyaa ka sama-sama laen waktu mampir ke kos an gue ya ka??/ hmmm okey siap blek aku pun naeg angkot dan mempikirkan perasaanku ketika bersama blek. Kami pun lanjut dengan smsan membahas tentang pertemuan tadiii. Tak terasa sudah aku turun dari angkot yang tadinya penuh banyak keringat banyak asap. dengan perasaan yang senang ceria pun aku diitanyaen ma ibuku kenapa nduk mukamu ceria begitu??? enggak papa buk baruu ketiban cinta??hehe kataku sambil cengengesan kitiban cinta?? Memangnya cinta bisa terbang dek nyampe ketiiban gitu?? Ibupun ketawa melihatku senang dan rada bloon kringgggg bunyii handphone ku yang terdengar nyaring di kamarr ternyata blek menelphone ku dengan rasa yang gak karuhan ku angkat tlp itu.. Assalamualaikum blek?? ada apa bllek gak ada hujan gak ada angin tumben telfon?? Hmmm. Gapapa ka Cuma mauu nanyain sedang apa kamu??? what??? Cuma gtu blek??? Sms aja juga bisa. Kataku malu malu tapi mau di telfon dia.. hmm gak boleh telfon ni ka??? esssstt boleh kok Cuma heran aja aku blek. ka sebenernya aku gak enak ngomong ini ma kamu emangnya ada apa blek?? ka aku gak enak ma mantanmu dikiranya aku yang bikin kalian putus oww itu?? Gak kok bukan kamu.. dah sih sant aja yak kamu teman baruku sekarang (ketawa aku sambil ngeledek) hehe thanks ya ka semoga menjadi awal pertemuan yang baik yupppss guys. sesaat kemudian telfonya dia pun mati aku rada kecewa jengkel mangkel huhh gak ada sopannya telfon langsung di matiinn. kataku sambil membuang hand phone ke kasur. setelah pertemuan tadi aku sama blek contac an tiada hari tanpa sms hingga akhirnya blek menemui aku dan mengatakan ka selama ini aku mendengar cerita dari teman ku banyak ternyata emang benar kamu orangnya baik.. ka bolehkah kita lebih dari sekedar teman??? tanganku mulai gemetar dan mulut tak dapat berkata apapun aku bingung menjawab. Dengan sifat sok jutek pun akhirnya muncul. Apa bllek??? Lebih dari teman maksudnya??? iya lebih ka ahh masak gak paham kata-kataku sih?? dengan jawaban Iya aku pun lontarkan ke blek. Akhir dari itu semua kita berjalan selayaknya pasangan kekasih namun status masih sahabat karena blek masih menghargai mantanku sebagai mantannya.

HEMOFILIA Cerpen Sisca Ainun Nissa


Tau nggak apa itu HEMOFILIA? Hemofilia adalah salah satu jenis penyakit yang menyerang darah. Khususnya eritrosit atau sel darah merah. Hemofilia merupakan penyakit menurun yang menyebabkan darah sukar untuk membeku jika terjadi luka. Ada beberapa usaha untuk dapat mengatasi penyakit Hemofilia, antara lain yaitu mengkonsumsi makanan atau minuman yang sehat, menjaga berat tubuh jangan berlebihan, karena jika berat badan berlebihan dapat mengakibatkan pendarahan pada sendi-sendi di bagian kaki, dan berhati-hatilah dalam kehidupan sehari-hari untuk memperkecil resiko terluka. Itu sekilas info tentng Hemofilia. Alena, sahabatku sengaja memberikannya padaku. Ia ingin agar aku lekas sembuh dari penyakit yang kuderita. Ya, aku selama ini menderita Hemofilia. Penyakit itu menurun dari Mamaku. Dan sekarang Mamaku sudah tiada gara-gara ganasnya penyakit itu. Mamaku meninggal gara-gara pendarahan hebat setelah mengalami kecelakaan yang dahsyat semasa aku umur 9 tahun. Oh, ya. Sampai lupa, kenalin aku Zeffana Asenna Putri. Aku biasa dipanggil Senna. Saat ini aku duduk di kelas dua SMP, tepatnya di kelas VIII F. Aku terlahir di antara keluarga yang bisa dibilang mampu, bahkan cukup mampu. Papaku bekerja sebagai direktur sebuah perusahaan yang ternama di kotaku. Sehingga Papa sibuk sekali dengan kariernya. Malah, setelah kepergian Mama aku sering di rumah hanya bersama kakakku, Kak Gabriel dan pembantu di rumahku, Bi Husnah. Kak Gabriel adalah kakak yang sempurna bagiku. Perhatiannya seakan-akan lebih besar daripada perhatian papa. Aku mau kemana di anterin, mau begini di turutin. Tapi entah mengapa, akhir-akhir ini sifat over protective Kak Gabriel membuatku risih. Kadang-kadang juga aku berpikir, sebenarnya Kak Gabriel itu kakakku apa bodyguardku sih? Ya, sifat Kak Gabriel seperti itu gara-gara mandat papa. Papa takut kalau aku akan dapat nasib seperti mama, nasib yang buruk gara-gara Hemofilia. Tapi inilah hidupku, aku tak akan mampu menolak atau membelokkan takdir hidupku. Seperti apa yang tersurat dalam rukun iman di dalam Islam. Rukun iman yang keenam, yaitu iman pada takdir baik dan takdir buruk. Aku percaya Tuhan menggariskan yang terbaik dalam perjalanan hidupku. **** Kubuka mataku untuk menyambut indahnya Minggu pagi. Kutatap jendela yang menghadap ke arah mentari. Sinarnya menembus celah ventilasi. Bahkan mampu merambat lurus menerjang kaca jendela. Berat rasanya ku meninggalkan tempat tidurku yang berantakan itu. Tapi Kak Gabriel sudah mengetuk pintu kamarku berulang ulang. Terpaksa aku meninggalkan kamarku dengan langkah yang berat. Kak, aku masih ngantuk. Ucapku dengan mengusap sepasang mataku. Cepetan mandi! Lalu sarapan. Udah di tunggu sama Alena. Ucap Kak Gabriel. Asstafirullahaladzim. Aku lupa kalau aku ada janji mau nglukis bareng sama Alena. Makannya, cepetan gi sana mandi! Kak... Apaan lagi, Senna? Papa mana? Udah berangkat dari tadi setelah Subuh. Kamu belum bangun kan? Papa sibuk terus ya kak? Udah pulangnya malam, berangkatnya pagi-pagi. Huft. Udah. Kamu mandi aja! Kasian Alena nunggunya kelamaan. Sip. Hati-hati, jangan sampai jatuh. Baik, Kak Gabriel sayang. Setelah aku persiapkan pakaian aku bergegas menuju kamar mandi. Bagian yang ini aku SENSOR ya? Nggak usah di ceritain. Badanku udah wangi dan bersih. Aku menemui Alena yang sejak tadi menungguku di ruang tamu. Wajahnya yang cantik menyambutku dengan senyum. Meski aku tahu, tersirat perasaan jengkel di dalam hatinya kerena ketelatanku. Len, sorry. Im over sleep. Ucapku dengan guratan senyum malu. Ah, kamu. Kaya lagu wajib aja, di abadikan terus. Kamu Len, bisa aja. Aku yakin kamu belum sarapan kan? Ayo sarapan bareng! Tebakan kamu meleset jauh. Aku udah kenyang, malah yang bantu persiapan sarapan itu aku sendiri. Masa sih? Nggak yakin aku kalau seorang Alena bisa masak.

Emang Ah, Nggak Ukay.

nggak yaudah usah.

bisa. aku Aku

Kan

aku sarapan tunggu

bantu dulu. di

nyicipin Ikut sini

doank! nggak? aja!

Aku berlalu meninggalkan Alena. Kak Gabriel sudah duduk manis di kursi ruang makan menungguku. Aku tersenyum ramah, dan kemudian makan makanan sehat yang di buat Bi Husnah. Nasi dengan lauk ikan laut dan sayur sayuran segar. Setelah semua selesai, aku pergi naik sepeda kesayanganku menuju tanah lapang. Itu target pertama dan satu-satunya sebagai objek lukisanku nanti. Semua perlengkapan melukis sudah siap. Inspirasi sudah melekat di pikiranku sejak tadi malam. Dan kini saatnya aku menuangkan inspirasiku di atas kanvas. Len, aku boleh nggak minta pendapatmu? Tentu donk, Sen. Apasih yang nggak untuk seorang sahabat? Nungguin mandi sama sarapan aja oke. Kamu nyindir ah, Len? Sorry bos. Emang mau minta pendapat tentang apa? Gimana kalau aku ikut extrakulikuler bulutangkis di sekolah? Biar aku bisa mewakili sekolah kaya kamu dan Kak Gabriel dulu. Kamu yakin, Sen? Lantas, bagaimana dengan... Hemofilia yang aku derita? Aku akan menjaga diri dengan baik deh, Len. Aku janji. Sen, menurutku sebaiknya jangan. Aku berkata ini karena aku sayang sama kamu. Aku tak mau sahabat sebaik kamu kenapa-napa. Len, tapi tanpa olahraga berat badanku tak akan terkontrol. Dan bila aku over weight itu juga akan membahayakanku, akan menyebabkan pendarahan pada sendi-sendi di bagian kaki. Aku tahu itu dari dari artikel yang kamu bawa kemarin. Ya, aku tahu. Tapi nggak harus ikut bulutangkis kan? Itu nggak mudah Sen. Dan resiko untuk terjatuh sangat besar. Yah, andai... Ingat janjimu, Sen! Aku ingat. Aku berjaji aku tak akan mengeluh. Baiklah. Udah sampai. Lets go! **** Keinginanku untuk ikut extrakulikuler bulutangkis seakan-akan tak terbendung. Tak bisa di elakkan lagi. Aku sudah tertarik dari dulu, tapi aku baru berani mengutarakannya. Karena aku sadar Hemofilia seakan-akan merenggut cita dan masa depanku. Bagaimana reaksi Kak Gabriel jika dia tahu kalau aku ingin seperti dirinya? Akankah dia bangga ataukah dia takut seperti apa yang terjadi pada Alena? Hanya waktu yang bisa menjawabnya. Pagi yang indah di sekolah. Angin semilir pagi benar-benar membuat bulu romaku merinding. Terpaan angin sepoisepoi yang menghantam ranting-ranting kering, membuatnya satu demi satu jatuh ke tanah. Hal itu mengiringi kedatangan Alena. Senyumnya yang khas menyapaku seperti biasanya. Tapi entah mengapa, kehadiran Alena pagi ini membuat diriku aneh. Akankah pendapat Alena kemaren yang mebuatku jadi seperti ini? Oh, aku harap jangan. Aku tak ingin membenci sahabatku hanya gara gara egoku sendiri. Tapi, setan masih berbisik padaku, memberikan sugesti-sugesti jahat yang membuat aku benci Alena. Eh,Senna. Kok sendiri sih? Mana Alena? ucap Revita, salah satu anak ternama di sekolahku. Hm, ada di kelas. Kenapa Rev? Sorry ya. Kemaren aku nggak sengaja buntutin kamu dan Alena waktu kamu mau ke tanah lapang. Dan aku dengar semua perbincanganmu dengan Alena. Maaf ya? Tak apa Rev, namanya juga nggak sengaja. Menurut pendapatku apa yang kamu lakukan itu sudah benar. Seharusanya kalau Alena sahabat yang baik, ia mendukung apa yang kamu lakukan. Bukan malah mengekangnya. Tapi, aku rasa yang dikatakan Alena kemarin demi kebaikanku, Rev. Aku rasa tak seprti itu. Ia tak ingin kamu ikut, karena ia tak ingin kamu jadi saingannya kelak. Tapi, aku kan nggak sepintar Alena. Jadi mana mungkin Alena berpikir seperti itu. Apasih yang nggak mungkin di dunia ini, Sen? ucap Revita dengan ulasan senyum. Ayo ikut aku sekarang, Sen! Kemana? Ayo ikut saja. Aku turuti saja apa permintaan Revita. Revita terkenal karena kekayaan orangtuanya, keelokan parasnya, dan kepintarannya dalam bergaul. Pantas aja banyak anak cowok yang jatuh hati pada Revita. Sungguh, sebuah ciptaan yang hampir sempurna.

Dibawa kemana aku? Ya Tuhan. Ternyata Revita mendaftarkanku untut ikut extrakulikuler bulutangkis. Aku nggak nyangka Revita akan sebaik ini padaku. Tapi, gimana dengan Kak Gabriel? Ah, cuek aja. Penting aku happy. Makasih Revita. **** Sejak kejadian itu, aku jadi lebih akrab dengan Revita. Dan tak jarang aku bertengkar dengan Alena serta Kak Gabriel. Mereka masih saja menentang keras kemauanku. Sen, kakak sayang sama kamu. Kakak nggak ingin kamu kenapa-napa. Ucap Kak Gabriel dengan nada sungguhsungguh. Kak, Senna bukan anak kecil lagi yang harus selalu nurut dengan kemauan kakak. Kak, aku punya cita dan impian. Kakak, seharusnya bangga punya adik yang punya tekad kuat untuk meraih cita-citanya. Tapi apa dengan kakak? Aku ingin seperti kakak. Waktu SMP dulu, kakak pernah sampai ke tingkat provinsi kan? Aku juga ingin. Tapi, kondisi tubuhmu tidak memungkinkan, Senna. Ah, persetan apa itu Hemofilia. Aku tak perduli. Senn... Aku pergi tanpa menghiraukan panggilan Kak Gabriel, sialnya di saat aku berlari menghindar dari Kak Gabriel, aku menabrak Alena. Lepas dari mulut buaya di makan harimau. Sial sial... Sen. Tak usah kau Sapa sapa dan tebar Alena senyummu. Karena dengan kau bukan sahabatku senyum. lagi.

Setelah mengucap kata-kata tersebut aku pergi meninggalkan Alena. Benar-benar membuatku jengkel. Minggu pagi yang biasanya menyenangkan kini malah menjengkelkan. Kenapa juga Alena main kerumahku. Ah, bajingan. **** Moment yang aku tunggu kini tiba juga. Aku sekarang lagi bertanding dengan anak SMP lain. Oh, perasaan di hatiku bercampur aduk. Perasaan senang dan gelisah. Anak SMP Nusa Harapan yang menjadi musuh bebuyutan sekolahku kini ada di hadapanku. Oh, aku semakin khawatir. Aku tengok keadaan sekeliling. Ternyata Alena dan Kak Gabriel juga ada di sini. Mau apa mereka? Pasti mereka aku menghinaku kalau aku kalah. Tak peduli, inilah aku yang maju dengan segala kelebihanku. Aku mulai mengayunkan raket yang aku pegang erat di tangan kanan. Cock yang membumbung tinggi ku tangkis dengan sekuat tenaga. Dan akhirnya jatuh di area lawan. Hore! Satu point untukku. Hal itu berulang berkali-kali hingga selisih scors mencapai 7 point. Ketika aku akan mendaratkan smashku untuk yang kesekian kalinya, ternyata tangkisanku meleset. Dan cocknya jatuh tepat di depan kakiku. Aku tak mengetahuinya, sehingga aku tersandung kok tersebut. Lututku jatuh ke lapangan. Aduh. Aku menjerit sekali. Tapi, luka kecil di lututku menyebabkan pendarahan hebat. Banyak orang datang mengerumiku. Aku melihat Alena dan Kak Gabriel, mereka terlihat buram, buram dan akhirnya gelap gulita. Aku tak sadarkan diri. **** Aku membuka mata perlahan. Oh, suasananya putih semua. Dimana aku? ucapku dalam hati. Jangan, aku belum pengen mati. Ucapku lantang. Tapi aku belum tahu aku ada dimana. Kulihat bayang-bayang remang berwarna hitam. Malaikat? pekikku tajam. Jangan panggil aku, aku masih ingin di dunia. Sen, sadar! Ini Kakak. Sen. Ucap bayang-bayang hitam itu.

Aku membuka mataku lebih lebar lagi. Aku tatap tajam bayang-bayang hitam tersebut. Ternyata benar itu Kak Gabriel. Di sampingnya juga berdiri laki-laki separuh baya dengan kumis tipis. Setelah kucermati lagi itu papa. Aku Kamu di rumah sakit, Sen. Kamu baru ada sadar dari komamu yang sudah hampir dimana? seminggu.

Aku sedikit lega. Ternyata aku masih hidup. Andaikan aku mati, gimana kelanjutannya ya? HANYA TUHAN YANG TAHU.

Papa? Sena rindu papa. Iya, sayang. Papa temani kamu disini. Papa nggak akan kemana-mana. Papa janji, sayang. Terimakasih, Pa. Kemudian aku teringat tentang pertandingan bulutangkis. Revita mana? Aku mau minta maaf sama dia. Kamu salah apa, Sen? tanya Kak Gabriel ingin tahu. Senna nggak bisa memenangkan pertandingan bulutangkis. Sen, asal kamu tahu ya? Revita itu nggak benar-benar baik sama kamu. Ia hanya ingin mencelakakanmu. Apa buktinya kak? Selama kamu sakit, apa pernah Revita menjengukmu? Tak pernah, Sen. Dan kakak berharap kamu jangan terlalu dekat dengan Revita. Yang benar kak? Ya. Untuk apa kakak berbohong? Kak, begitu pula Alena. Dia tak menjengukku kan? Kamu jangan bilang seperti itu, Sen. Alena tak hanya menjengukmu, ia malah... ucapan Kak Gabriel terhenti. Malah apa? Tak penting. **** Hangat mentari, panas membakar di siang yang terik di halaman sekolah. Tapi hatiku membeku kedinginan. Aku telah menjauh dari Alena, untuk berteman dengan Revita. Tapi setelah aku gagal, Revita malah menjauhiku. Aku merasa bersalah dengan Alena. Tapi rasa gengsi membuatku kalang kabut. Bahkan gara-gara aku jatuh kemarin, aku harus keluar dari extrakulikuler bulutangkis. Benar-benar hancur bertubi-tubi hidupku. Semua gara-gara Hemofilia. Oh, andai penyakit itu tak aku derita. Hai, Sen. Kok sendirian? Bisa aku temani? ucap Alena dengan nada ramah. Tak usah. Pasti kamu senang kan? Hidupku sudah hancur? Tak ada lagi saingan untukmu. Sana pergi! Urus dirimu sendiri. Tak usah kau pedulikan aku lagi. Sen, apa maksudmu? Aku benar-benar nggak tahu. Ah, nggak usah sok suci kamu. Inikan yang kamu mau? Sen, aku hanya ingin kamu senang. You are not my best friend. Now and forever. Ucapku sambil pergi meninggalkan Alena. Jujur, sebenarnya aku merasa kasihan dengan Alena. Sahabat sebaik dia harus aku caci maki dengan kata-kata kotor seperti tadi. Kasalahan Alena tak sebanding dengan kabaikannya. Bagiku, Alena itu laksana malaikat. Tapi itu dulu. **** Aku terdiam sendiri di kamarku yang tak asing dengan kata berantakan. Tiba-tiba sepasang tangan mengetuk pintu kamarku yang terbuat dari kayu. Aku membukanya tanpa melontarkan sepatah katapun. Di cariin Alena tuh, Sen. Ucap Kak Gabriel dengan menatap tajam mataku. Ngapain tuh anak kesini. Mau cari masalah? Sen, Alena itu anak yang baik. Ia tulus berteman sama kamu. Cukup-cukup! Sebenarnya, adik kakak itu siapa sih? Aku apa Alena? Perasaan, kakak belain Alena terus. Sen, kakak belain yang benar. Terserah. Aku benci Alena. Dia merebut semuanya dariku. Sampai kakakku sendiri di rebut sama dia. Alena selalu benar dan aku selalu salah. Iya kan kak? Jujur aja! Sen! nada bicara Kak Gabriel mulai meninggi. Asal kamu tahu, sebagian darah yang ada di tubuh kamu itu milik Alena. Dan, bila tak ada Alena mungkin kamu sudah pergi dari dunia ini. Apa yang kakak bilang itu benar adanya? Ya. Aku berlari menemui Alena yang ternyata sudah duduk di sofa ruang tamu. Aku memeluknya dengan deraian air mata. Aku tak sanggup memperlihatkan wajahku yang hina. Yang brutal karena di telan rasa iri dan ego yang individualis. Len, maafkan aku. Aku memang sahabat yang tak tahu terimakasih. Sahabat yang buruk. Sahabat yang hina. Tapi kenapa kamu masih mau bersahabat denganku? Apa untungnya Len? Udah, Sen. Cukup! Jangan kau perlihatkan lagi air matamu di hadapanku. Tatap mataku! Lihat! Inilah persahabatan. Persahabatan yang baik tak memperdulikan untung rugi. Karena persahabatan itu di ikat dengan rasa kekeluargaan dan solidaritas. Seandainya aku bisa jadi sepertimu? Tak usah kau berpikir seperti itu. Karena aku suka kamu apa adanya. Senna yang ceria dan terus menggapai cita. Give applause! ucap Kak Gabriel memecah suasana haru. Len, sorry aku harus membeberkan rahasia kita.

Kak Gabriel. Jadi Senna sudah tahu Ya. Sorry Len. Tak apa Kak. Yang Ya terimakasih untuk Kak Gabriel, kakakku sempurna juga. Lho, kok hampir Karena kesempurnaan

tahu kalau yang mendonorkan darah untuknya itu aku? Abisnya Senna keterlaluan banget. penting semua tertawa seperti semula. yang hampir sempurna. Dan Alena, adalah sahabat yang hampir Ucapku malu. sempurna semua? bantah Alena. milik Alloh semata.

Hahahaha. Kami tertawa bersama. Emang hidup ini indah. Dan aku baru menyadarinya. Karena egoku sendiri semua jadi berantakan. Tak perlu kita jadi orang lain. Karena memang manusia diciptakan berbeda. Kenapa? Karena dengan perbedaan tersebut kita bisa saling memahami dan saling belajar. Bener **** nggak? Pasti donk! Senna gitu lho!!!!!!!!!!

MEJA DI SUDUT RUANGAN YANG AKU SUKA Cerpen Cucuk Espe


Ini benar-benar bulan Desember. Hujan dimana-mana. Jalanan basah. Langit hitam menggantung sepanjang hari. Dan angin bertiup terlalu kencang. Dingin menusuk tulang. Musim penghujan tahun ini datang terlambat, mungkin akan lama. Untung saja, kotaku yang kecil bukan termasuk wilayah langganan banjir. Bukan karena disiplin penghuninya, tetapi rasio penduduk dan luas wilayah sangat tidak sebanding. Membuat iri mereka yang tinggal di kota besar yang padat dan sumpek. Kotaku kecil sehingga tidak memerlukan kerja ekstra untuk mengurusnya. Aku sangat berterima kasih kepada Tuhan, dilahirkan dan dibesarkan di kota itu. Apalagi setiap musim penghujan, aku paling suka melihat jalanan kotaku basah. Dedaunan di sepanjang jalan terlihat mengkilat pada sore hari. Terpaan lampu kota membuat deretan pohon di sepanjang jalan layaknya pagar besi berkilau. Aku suka itu! Sore ini, angin bertiup terlalu kencang. Hujan sejak pukul 12 siang tadi belum juga berhenti, meski kini tinggal gerimis. Dari balik jendela sebuah caffe shop di pinggir kotaku,, aku duduk menikmati gerimis itu. Gerimis yang telah lama tidak aku temukan hampir sepanjang tahun ini. Sekaligus gerimis yang selalu membuka beragam cerita yang menumpuk di sudut batinku. Aku duduk di situ ditemani segelas cappucino sambil menghisap rokok, pelan dan dalam. Mestinya aku merasa damai berada di situ, nyaman dan melonggarkan pikiran. Tetapi sore itu tidak! Aku memang selalu datang ke tepat itu setiap sore sehabis mengirimkan tulisan ke media yang bisa memuat esai-esai kacau-ku. Melepas penat dan mungkin akan menemukan ide baru untuk bahan tulisan keesokan harinya. Terlalu sering aku di situ. Hingga hampir seluruh pelayan mengenalku. Keuntungannya, setiap aku masuk tanpa ditanya menu, langsung dipersilahkan duduk di meja dekat jendela yang terletak di sudut ruangan. Tempat yang aku suka! Anehnya, sore itu aku menemukan diriku tidak biasanya. Perasaan ini semakin aneh manakala melihat kaca jendela kusam dan buram. Kuusap dengan tangan, terlihat beberapa anak bermain air di pinggir jalan. Anak jalanan! Meski kotaku kecil, namanya anak jalanan tetap saja ada. Tentu saja dengan tingkat kerumitan permasalahan yang berbeda. Anak jalanan di kotaku masih memiliki rumah dan orang tua. Hanya saja orang tua mereka tidak memiliki pekerjaan tetap sehingga anak-anak mereka tidak terurus. Berbeda dengan di kota besar yang tuna segala-galanya. Bahkan orang tua saja mereka bingung menentukan siapa dan dimana. Aku tersenyum melihat tingkah mereka yang polos. Bermain air, saling menendang, memukul, berputar, berlari, tanpa beban. Suasana tawa dalam guyuran gerimis di luar terasa ringan. Seringan kapas! Berbeda dengan suasana nyaman di sini, di sudut ruangan yang cozzy kata anak-anak mudatetapi terasa berat, seberat awan hitam yang menggantung. Nyaris jatuh. Sedang menunggu seseorang? suara perempuan mengoyak lamunanku. Perempuan muda dengan senyum enteng kutemukan telah duduk tepat di depanku. Sejak aku mengenal dan menjadikan coffe ini tempat favorit untuk meliarkan khayalan, baru sore itu ada perempuan datang dan duduk tanpa aku minta. Aku agak gelagapan. Tidak juga. Kamu, aku belum menemukan pertanyaan yang sesuai untuk sebuah ketiba-tibaan. Aku panggil kamu karena aku yakin usia perempuan ini jauh di bawahku. Maaf, jika mengganggu, celetuknya. Tidak juga, terpaksa aku mengulang kalimatku. Terima kasih telah mamu duduk di meja ini. Ya! Aku formal banget. Perempuan itu tersenyum. Mungkin menertawai sikapku yang diluar perkiraannya. Aku bisa menebak, dipikirnya aku akan langsung menyodorkan senyum menggoda dan bergerak sangat agresif. Jujur, aku memang sering seperti itu tetapi bukan untuk sebuah ketiba-tibaan yang menghilangkan segala kecerdasanku. Benar! Aku terasa seperti lelaki lugu. Perempuan itu membetulkan posisi duduknya. Aku baru dua kali kesini. Pertama tiga hari lalu, dan duduk di meja ini, katanya. Aku mengingat tiga hari yang lalu, memang aku tidak ngopi di sini. Aku ke rumah teman di luar kota. Dan sore ini, ternyata tempat ini enak juga ya, lanjutnya. Aku sering ke sini, jawabku seolah menyiratkan di meja inilah tempatku! Oya? Hampir setiap sore. Dan duduk di sini. Selalu di sini? tanya perempuan itu lagi. Ini tempat yang terlindung, jawabku sambil melirik ke pot-pot bunga yang berjejer mengelilingi sudut ruangan tempat favoritku. Tidak terlihat tetapi bisa melihat siapa saja yag masuk. Pilihan tepat. Lalu kenapa tadi aku mengejutkanmu?

Sialan! Rupanya dia tahu kalau aku tadi sangat terkejut melihat kedatangannya. Lihat anak-anak itu! Mereka membuatku tidak menyadari ada seseorang telah berada di depanku, jawabku sekenanya. Perempuan itu tersenyum. Giginya terlihat sangat terawat. Maaf, kita belum kenalan, Oka kusodorkan tangan. Dia menyambut tanpa ragu. Jenny. Baru di kota ini? Betul. Aku tinggal bersama saudara sepupu di ujung jalan ini, jawabnya. Setelah berkenalan itulah, pembicaraanku dan Jenny berlangsung lancar. Bahkan kini terlihat bakat asliku; agresif dan suka memutar balik logika kalimat lawan bicara. Tak terasa hampir dua jam, aku dan Jenny terlibat pembicaraan tanpa arah. Ringan tetapi aku tahu, Jenny sangat suka. Bahkan dengan gayanya yang khas Jenny menceritakan kondisi keluarganya di Jakarta yang berantakan. Ayahnya harus balik ke Singapura sedangkan ibunya tetap tinggal di Jakarta, serumah dengan pria selingkuhannya. Aku menghela napas panjang dan dalam. Dari dulu, peroblematika hidup kota besar tak jauh bergeser. Cinta, uang, pengkhianatan.klise! Bentakku dalam hati. Hujan di luar sedikit mereda. Tetapi jalanan mulai gelap. Temaram lampu kota, sekuat tenaga menembus dinginnya udara basah. Kulihat Jenny semakin menikmati suasana, seolah ingin melepaskan beban yang puluhan tahun menimbun kebebasannya. Apa tidak terlalu malam? kataku mengingatkan. Aku masih suka di sini. Oka keberatan? Aku menggeleng. Akhirnya aku melanjutkan pertemuan itu hingga larut malam. Jenny memang luar biasa dengan segala permasalahan hidupnya. Diceritakan dengan detail, mungkin tanpa tertinggal secuilpun. Aku menikmatinya. Keliaran pikiranku menangkap cerita Jenny dengan penuh semangat. Ini ide hebat! Pikirku. Hingga pagi. Tetapi tidak di coffe itu lagi. Kutemukan tubuhku, lunglai dalam pelukan Jenny. Malam yang penuh gerimis telah membuka segala cerita, menimbun segala duka. Ini sisi kreatifku yang terkadang muncul tanpa kusadari. Maaf * * * Kubatalkan semua rencana yang telah kususun rapi sejak semalam. Ke rumah teman, lantas mampir ke perpustakaan kota, dan ngopi di tempat biasa. Semangatku mendadak terbang menyelinap di sela mendung yang membekap matahari pagi. Kini, gelapnya langit benar-benar membunuh ketenangannku. Lantas mengumbar kecemasan yang sangat hebat. Aku tidak tahu harus melakukan apa untuk menyingkirkan kenyataan mengerikan akan mengusik kenyamanan pagiku. Mungkin juga kenyamanan seluruh usia hidupku. Kubaca koran pagi; Jenny bunuh diri! Seorang perempuan, tengah malam, ditemukan tewas tergeletak di pinggir rel kereta dekat gerbang masuk kota. Diduga, perempuan itu menabrakkan diri ke kereta barang yang melintas dengan kecepatan tinggi. Polisi berhasil menemukan indentitas dalam tasnya, korban bernama Jenny, 27 tahun, warga Jakarta yang baru beberapa hari tinggal di kota iniKulipat koran itu, napasku seolah berhenti sesaat. Tetapi jantungku berdegub jauh lebih kencang. Itu perempuan yang bersamaku kemarin malam! Aku membaca berita singkat itu sekali lagi. Sama. Aku yakin itu Jenny! Tetapi kenapa dia melakukan hal bodoh itu? Kuhisap rokok sekedar menenangkan pikiran. Tetapu justru malah blingsatan dan menyiksa. Entah apa yang sedang terjadi dalam pikiranku, aku tidak tahu. Sedih. Takut. Bersalah. Semua jadi satu! Apalagi ketika paragraf terakhir berita itu kubaca; hasil visum tim dokter menyatakan kalau korban sedang hamil dua bulan. Keringat dingin meluncur tak tertahankan lagi. Apa karena kehamilannya itu membuat Jenny nekad? Berpuluh ingatan singkat tentang Jenny memenuhi pikiranku. Aku terduduk. Lemas. Kurasakan angin dingin menyelinap menggerakkan dedaunan di luar dan menelusup melalui celah jendela. Kemarin malam, seolah tanpa beban, Jenny menjelaskan sebagian peristiwa hidupnya. Kau tidak menyesal? tanyaku. Lama sekali aku tidak mengenal perasaan itu. Kenapa? Kedua orang tuaku, seolah mengajarkan jika penyesalan adalah bentuk pengingkaran, Jenny menerawang kosong. Aku yakin, ada beban teramat berat menggunung dalam batinnya. Rupanya ada bagian masa lalu yang menyakitkan? Bukan sebagian hampir seluruhnya. Semua peristiwa terjadi pada diri kita seolah diluar rencana baik yang kita susun. Aku tidak memiliki kekuatan untuk menghentikan rangkaian peristiwa itu. Jadi, suka atau tidak, harus dijalani, jelas Jenny sangat dalam.

Meski Hanya

peristiwa persoalan

itu cara

akibat pandang

ulah saja,

kita tukasnya

sendiri? pendek.

Selanjutnya, tanpa beban secuilpun menganggu perasaannya, Jenny menceritakan pertengkaran kedua orang tuanya pada suatu malam. Pertengkaran yang hebat! Ketika itu, Jenny tidak mengerti pangkal permasalahan sebenarnya. Yang dia lihat, ayahnya menampar ibunya. Ibu lebih berani lagi, membantah dan melontarkan kalimat kasar. Bukan layaknya suami-istri. Jenny menangis menyaksikan semuanya dari balik jendela. Sejak itu, ayahnya jarang pulang sedangkan dia sendiri pergi menumpang rumah teman, agak jauh dari rumahnya. Terakhir, Jenny mendapat kabar, kalau ayahnya telah pulang ke negara asalnya, Singapura. Sedangkan ibunya pergi bersama lelaki selingkuhannya. Jenny sendirimerasa menemukan jalan hidupnya danm menikmatinya seolah ingin membunuh peristiwa menyakitkan yang merubah jalan hidup normalnya itu. Dan aku hamil, kata Jenny pelan. Aku tak tahu harus bersikap apa. Kalimat itu seakan ditujukan kepadaku dan menanti agar aku mampu mengurai beban hidupnya. Aku tahu, apapun alasannya, ini adalah kesalahan yang mesti diperbaiki. Tetapi bagaimana caranya? Ternyata dibalik keceriaan Jenny ketika awal berkenalan, tersimpan peristiwa cukup berat. Senyumnya mungkin untuk membunuh siksaan beban itu. Aku Itu Kota Berarti Belum tangkap tangan alasannya itu akan tahu juga. Jenny. hingga terlalu lama Aku Tiba-tiba kami kamu menyiksa, tinggal juga nggak menjadi sangat akrab. meninggalkan Jakarta? celetuknya pelan. di kota ini? enak dengan sepupuku.

Begitulah, malam terus merambat hingga larut membawa pagi. Aku lebur dalam duka Jenny yang mungkin tidak akan tersembuhkan. Aku sadar, kehadiranku hanya akan melupakan bebannya sesaat. Tidak akan lama! Tetapi pertemuan singkat itu, terasa begitu bermakna. Apalagi ketika matahari menyelinap melalui lubang jendela, mengusik tidurku. Kelelahan. Dan pagi ini Kutemukan tubuh yang penuh duka itu, kini penuh luka. Kuambil rokok, entah batang yang keberapa. Asbakpun telah penuh. Namun batinku tetap saja blingsatan. Pagi ini benar-benar hancur. Seperti kalimat Jenny kemarin malam, penyesalan hanyalah wujud pengingkaran. Memang semua garis peristiwa hidup harus dijalani tanpa protes sedikitpun. Karena manusia memang tidak layak untuk protes. Dan mungkin saja aku ragu menggunakan kata mungkinJenny telah melanjutkan garis peristiwa kehidupannya. Tanpa menyesal sedikitpun! Kulirik koran yang terlipat di meja. Terlihat foto tubuh Jenny, terbungkus kantung warna merah. Dandia hamil! Aku tersentak. Nyaris tersedak. Berdiri. Dan melihat ke arah jendela, menerawang kosong. Berpuluh kenangan menjejal dalam pikiran. Ketakutanku pun memuncak. Jenny memang telah meninggal, tetapi bayi itu? Orok yang dikandungnya? Bisa jadi meski terlalu dekat jaraknyaaku juga memiliki anak itu. Karena semalamanJenny! Aku berteriak sendiri. Tanpa mampu menemukan solusi sedikitpun. * * * Kulihat dari balik jendela yang kusam, gerimis semakin lebat. Secangkir kopi nyaris habis. Empat puntung rokok tersuruk dalam asbak. Pada meja di sudut ruangan itu, aku duduk sendiri. Seperti hari-hari sebelumnya. Tetapi sejak peristiwa itu terjadi, kini aku memiliki alasan lain untuk duduk di meja itu. Terasa gelas cappucino milik Jenny belum kering. Perempuan itu seolah terus mengajakku untuk selalu menemuinya di caffe itu. Kunikmati pertemuan batin yang melegakan itu. Tanpa penyesalan. Yang lebih penting, aku selalu duduk pada meja di sudut ruangan itu untuk menziarai anak batinku dalam kandungan Jenny. Hal itu harus kulakukan sebagai wujud penyesalan. MaafJenny. Anak itu terlalu suci untuk menanggung beban garis hidup orang tuanya. Aku pesan kopi lagi. Gerimis bertambah lebat.**

CAHAYA BULAN Cerpen Guy de Maupassant


Madame Julie Roubere tengah menanti kedatangan kakak perempuannya, Madame Henriette Letore, yang baru saja kembali dari perjalanan ke Negeri Swiss. Seluruh keluarga Lotere melancong semenjak lima minggu lalu. Madame Henriette mengizinkan suaminya pulang sendirian ke kampung halamannya di Calvados, karena ada beberapa urusan bisnis yang harus diselesaikan, dan menghabiskan beberapa malam di Paris bersama kakaknya. Malam berlalu. Dalam keheningan yang senyap, Madame Roubere asyik membaca dengan pikiran kosong, sesekali menaikkan alis matanya setiap kali mendengar suara. Akhirnya, pintu rumahnya diketuk, dan kakaknya muncul dalam balutan jaket tebal. Dan tanpa salam formal, mereka berpelukan penuh kasih dalam waktu yang cukup lama, melepaskan pelukan sebentar lalu saling memeluk lagi. Kemudian, mereka saling menanyakan kabar, keluarga dan ribuan hal lain, menggosip dan saling menyela, sementara Madame Henriette sibuk melepas jaket dan topinya. Malam cukup gelap. Madame Roubere menyalakan lampu kecil, dan tak lama kemudian, dia acungkan lampu itu ke atas untuk menatap wajah kakaknya, lalu memeluknya sekali lagi. Namun, betapa terkejutnya dia saat menatap wajah kakak tercintanya itu. Dia mundur dan tampak ketakutan. Di kepala Madame Letore tampak dua gepok besar rambut putih. Sisanya, rambut itu tampak hitam pekat berkilauan dan di setiap sisi kepalanya terdapat dua sisiran keperakan yang menyusur ke tengah gumpalan rambut hitam yang mengitarinya. Dia baru berumur 24 tahun, dan tentu saja perubahan ini benar-benar mengejutkan dia semenjak kepergiannya ke Swiss. Tanpa bergerak sedikit pun, Madame Roubere menatap penuh keheranan, titik-titik air mata menetes ke kedua pipinya. Pikirannya berkecamuk, bencana apa yang telah terjadi pada kakaknya. Dia bertanya, "Apa yang terjadi padamu, Henriette?" Dengan menyunggingkan senyuman di wajahnya yang sedih, senyum seseorang yang patah hati, Henriette menjawab, "Tidak ada apa-apa. Sumpah. Apakah kamu sedang memperhatikan rambut putihku ini?" Tetapi Madame Roubere keburu merampas pundaknya, menatapnya tajam, dan mengulangi pertanyaannya lagi. "Apa yang terjadi padamu? Ayo katakan, apa yang telah terjadi. Dan jika kamu berbohong, aku pasti akan mengetahuinya." Mereka masih saling pandang, dan Madame Henriette, yang terlihat seolah-olah hendak pingsan, meneteskan air mata dari kedua sudut matanya. Adiknya bertanya lagi, "Apa yang terjadi padamu? Apa yang terjadi? Ayo jawab aku!" Dengan suara patah-patah sambil tersedu, Henriette menjawab, "Aku aku punya seorang kekasih." Ketika sedikit lebih tenang, ketika degup jantungnya yang keras mulai mereda, dia memasrahkan kepalanya ke dada adiknya seolah-olah hendak melepaskan semua beban hatinya, untuk menguras seluruh derita yang telah menyesakkan dadanya. Dengan tangan saling bergenggaman, dua kakak beradik ini berjalan menuju sofa di sudut ruangan yang gelap. Mereka tenggelam dalam keharuan, sang adik memeluk kakaknya erat-erat untuk mendekatkan diri, lalu mendengarkan. "Oh! Aku tahu kalimatku ini tidak masuk akal; aku bahkan tidak dapat memahami diriku sendiri, dan semenjak itu aku merasa telah menjadi orang gila. Berhati-hatilah, adikku, berhati-hatilah dengan dirimu sendiri! Jika saja kamu tahu betapa lemahnya kita, betapa cepatnya kita menyerah dan jatuh. Cukup satu momen kelembutan saja, satu masa

melankolis yang menerpamu di antara ribuan kerinduan untuk membuka tanganmu, untuk mencintai, menyukai sesuatu, maka kamu pun akan dengan mudah jatuh. Kamu mengenal suamiku, dan kamu tahu betapa aku mencintainya; tetapi dia pria yang matang dan rasional, dan tak mampu memahami getaran lembut hati seorang wanita. Dia selalu sama, selalu baik, selalu tersenyum, selalu ramah, selalu sempurna. Oh! Betapa kadang-kadang aku berharap agar dia memelukku dalam kedua tangannya lalu memberiku ciuman lembut yang manis dan pelan-pelan. Betapa aku berharap agar dia menjadi pria yang bodoh, bahkan lemah, sehingga dia merasa membutuhkanku, membutuhkan belaianku dan air mataku. Semua ini kelihatannya culun; tetapi kita, para wanita, memang ditakdirkan seperti itu. Apa daya kita? Tapi, tidak pernah terpikir olehku untuk meninggalkan suamiku. Sekarang terjadi, tanpa cinta, tanpa alasan, tanpa apa pun, hanya karena bulan telah menyinariku suatu malam di pinggir Danau Lucerne itu. Selama satu bulan itu, ketika kami melakukan perjalanan bersama, suamiku, dengan sikapnya yang masih acuh tak acuh, telah melumpuhkan semangatku, memadamkan rasa puitisku. Ketika kami menuruni jalan-jalan di pegunungan saat matahari terbit, ketika dua ekor kuda saling bersenda-gurau, dalam keremangan kabut, kami memandang lembah, hutan, sungai dan pedesaan, aku bertepuk tangan keras-keras dan berkata kepadanya: Betapa indahnya, wahai suamiku! Beri aku ciuman! Cium aku! Dia hanya menjawab, dengan senyum dinginnya: Tidak ada alasan bagi kita untuk saling berciuman hanya karena kamu menyukai pemandangan ini. Dan kalimatnya itu telah membekukan hatiku. Menurutku, ketika dua orang saling mencintai, mereka harusnya semakin tersentuh oleh pemandangan-pemandangan yang indah. Aku membeku bersama puisi hatiku. Aku seperti tungku yang tersiram atau botol yang tersegel rapat. Suatu malam (kami menginap empat malam di sebuah hotel di Fluelen), karena sakit kepala, Robert langsung tidur setelah makan malam, dan aku berjalan sendirian menyusuri jalan di pinggir danau itu. Malam itu berlalu seperti dongeng-dongeng sebelum tidur. Bulan purnama mendadak muncul di atas langit; pegunungan tinggi, dengan semburat putih salju, seperti mengenakan mahkota warna perak; air danau gemericik dengan riak-riak kecil yang berkilauan. Udara begitu lembut, dengan kehangatan yang merasukiku sampai seperti mau pingsan. Aku begitu kepayang tanpa sebab apa pun. Tetapi, betapa peka, betapa bergolaknya hati saat itu! Jantungku berdegup keras dan emosiku semakin kuat. Aku duduk di atas rumput, menatap danau yang luas, melankolis dan menakjubkan itu, seolah-olah ada perasaan aneh merasukiku; aku terangkum dalam rasa haus akan cinta yang tak terlegakan, sebuah pemberontakan terhadap kebodohanku sepanjang hidupku. Apa! Tidakkah menjadi takdir bagiku untuk dapat berjalan dengan seorang pria yang kucintai, dengan tangan saling berpelukan dan mulut saling berciuman, di pinggir danau seperti ini? Tidak bolehkah bibirku mengecap dalamnya ciuman yang lezat dan memabukkan di malam yang telah diciptakan Tuhan untuk dinikmati? Apakah ini nasibku untuk tidak meresapi indahnya cinta dalam bayang-bayang cahaya bulan di malam musim panas ini? Lalu tangisku meledak seperti wanita gila. Kudengar sesuatu bergerak di belakangku. Dan seorang pria berdiri di sana, menatapku tajam. Ketika kupalingkan kepalaku, dia mengenaliku dan berkata, Kamu menangis, nyonya? Dialah pemuda yang tengah melancong bersama ibunya, dan kami sering bertemu. Matanya seringkali menguntitku. Aku begitu bingung dan tidak tahu harus menjawab apa. Kujawab saja bahwa aku sedang sakit. Dia berjalan di dekatku dengan cara yang santun dan lembut, lalu mulai berbicara kepadaku tentang perjalanan kami. Segala yang kurasakan telah dia terjemahkan ke dalam kata-kata. Segala hal yang membuatku bergairah dapat dia pahami dengan sempurna, lebih baik dari diriku sendiri. Dan tiba-tiba dia mengutip larik-larik puisi Alfred de Musset. Tenggorokanku tersekat, aku terpesona dengan emosi yang meluap-luap. Terlihat di sekelilingku, pegunungan, danau dan cahaya bulan tengah bernyanyi untukku. Lalu terjadilah. Entahlah. Aku tak tahu kenapa, semacam sebuah halusinasi. Aku tidak bertemu lagi dengannya, sampai suatu pagi dia harus melanjutkan perjalanannya lagi. Dia memberiku sebuah kartu!" Lalu, sambil jatuh ke dalam pelukan adik perempuannya itu, Madame Lotere menangis sesenggukan, nyaris seperti anak kecil. Madame Roubere, dengan wajah serius, berkata dengan lembut, "Dengarlah, kakakku, seringkali bukanlah seorang pria yang sesungguhnya kita cintai, tetapi cinta itu sendiri. Dan cahaya bulanlah yang menjadi kekasih sejatimu malam itu." ***

Catatan: Judul asli Moonlight karya Guy de Maupassant. Cerpen ini diterjemahkan oleh Ribut Wahyudi, penulis dan pengelola penerbitan di Jogja. Guy de Maupassant adalah cerpenis kelahiran Chateau de Miromesniel, Dieppe pada 5 Agustus 1850. Selama hidupnya, dia telah menulis lebih dari 300 cerita pendek, enam novel, tiga buku perjalanan, dan sebuah kumpulan puisi. Maupassant sudah menderita sifilis semenjak usia 20 tahun. Pada 2 Januari 1892, dia berusaha bunuh diri dengan menusuk tenggorokannya sendiri. Dia meninggal pada 6 Juli 1893.

KADO VALENTINE YANG TERINDAH Cerpen Tiara Arya Saputri


" kak aya "ucap adik ku chicha dr tangga atas " apa cha ??" tanya ku " kk kan 2 minggu lagi mau valentine kk udah siapin kado buat chicha ??" tanya adik ku manja " blom " " ihh kk jahat deh " aq pun langsung mengambil tas ku yg ada di kursi dan langsung pergi sekolah ..... ups lupa knalin aq aya n yg manja tadi itu ade aq ,, aq sama ade aq itu tinggal sama mami n papi tp mereka jarang di indo mereka hanya 1 kali dalam 3 bulan pulang ,, dan aq sama chicha termasuk anak yg kurang kasi sayang ... chicha masih duduk di kls 1 sma sedangkan aq kls 3 sma .... @ sekolah " pagi aya " sapa dicky sahabat ku " ngapain lo baikin gw ??" tanya ku penuh curuga " gw minta izin ngajak chicha pergi valentine boleh ga ??" " gmana ya ?? " ayolah ya " " gmana ya " chicha pun datang " kk aya kok tadi ninggalin chicha ??"tanya chicha manja " yah km lelet kk kan ga suka orang yg lelet " jls ku " ia deh " " oya ky , cha kk dluan ya " pamit ku " ok " ucap chicha dan dicky serentak aq pun langsung berjalan ke arah klas ku tp tiba2 ada yg memegang tangan kudan dya adalah bisma mantan ku " apaan sih " bentak ku "aya km knp sih ??" tanya bisma " apaan ?? aq ga knp napa bis " ucap ku lagi dgn suara yg keras " trus km knp menghindar dr aq??" " aqga menghindar bis " ucap ku lagi " trus ??" " aq cuma ga mau rara sedih ngeliat kita ,, rara itu sahabat aq dan aq ga mau buat dya sedih bis " jls ku " ia aq tau ya tp km kan tau klo aq ga cinta sama rara ... " ucap nya dan tak kami sadari rara ada di sana " kalain berdua tega ya " ucap rara " ra ini ga seperti apa yg lo bayang kan " bela ku " gaseperti apa yg gw bayangkan ??? lo mikir dong ya pacar gw bilang kya gitu kesahabat gw " ucap rara sambil nagis " tp gw ga ada hubungan apapun sama bisma ra " jls ku tp rara masih saja tak percaya dan langsung pergi " gw minta maaf ya " ucap bisma bersalah aq pun langsung pergi @ taman di sini gw sama bisma ngerayain hari2 kita dgn bahagia tp sahabat gw rara juga mencintai bisma ,, gw pernah punya hutang budi sama rara karna rara udah nolongin gw dlu waktu gw masih ga pe dean sama diri gw sendiri apalagi waktu ada ilham cinta pertama gw sekaligus sahabat rara ,,, ilham sangat baik tp dya ninggalin gw sama kya sahabat2 gw yg laen dan cuma rara yg setia sama gw ... tp pengorbanan ilham masih teringan di saraf gw .. flasback saat gw dan ilham pergi ketaman itu ilham dan kami bercanda ria .. " aya km cantik deh " puji ilham " makasi ya ham " " ia " " oya ham aq bili minuman dlu ya " pamit ku " ia aq tunggu ya n beliin juga aq juga ya ya yg rasa vanila " ucap ilham " ia "

aq pun langgsung pergi ke ujung jalan dan karna kelamaan ilham pun menyusul ku kesana " aya awas " ucap ilham yg langsung mendorong ku aq dan dya terlempar ke pembatas jalan .. aq tidak knp2 tp kpala ilham terluka di bagian belakang tp cuma dikit ... sejak itu aq dan ilham berpisah flas off " lo knp ??" tanya seseorang cwo yg duduk di samping ku " gpp ko " ucap ku berbohong " owh .. oya lo mau ??'ucap cwo itu sambil memberikan es cream yg rasa vanila air mata ku pun jatuh mengalir " lo knp ??" tanya cwo itu " gpp kok gw cuma ke inget temen gw ajj " ucap ku lagi " siapa ya ?? apa orang itu ilham ??" tanya nya lagi aq pun langsung terkejut " lo ?? " ucap ku yg menunjuk orang itu " knp aya ??" tanya nya " ilham ?? " ucap ku yg langsung pergi " aya tunggu gw ya " ucap nya yg langsung mengejar ku jalan raya " aaaaaaaaaaaaaaaaaaa " triak ku aq pun tertabrak olh sebuah mobil ilham pun membawa ku ke rs dan mengabarkan ke smua keluarga 2 minggu pun berlalu selama 2 minggu ini banyak yg terjadi akhir nya aq sadar dan membuka mata ku ... aq melihat smua yg aq sayang ada disini termasuk ilham " gw minta maaf ya aya " ucap rara yg langsung memeluk ku " ia tp maafin gw juga ya " ' oke " " aya gw sama chicha udah jadian loh " ucap dicky heboh" " kk dicky apaan sih " ucap chicha malu2 n juga manja " mami sama papi juga minta maaf ya sayang " ucap mai n papi dgn rasa bersalah karna tlah menelantarkan aq n cicha " aq juga minta maaf ya " ucap ilham dgn wajah malaikat aq pun langsung memeluk nya " ia aq maafin kamu kok " ucap ku sambil memeluk nya erat " oya kak ini kado valentine " ucap chicha yg memberikan sbuah cincin untuk ku " kok cincin ??" tanya ku heran " ya tanya aja sendiri sama kak illam " ucap chicha lagi " maksud nya apa ham ??" tanya ku " km mau ga tunangan sama aq " tanya ilham romantis " ia aq " ucap ku malu dan akhir nya aq bahagia ...

SANG PENGEMBARA Cerpen: Antoni


CINTA membuatku bodoh. Sebetulnya aku membenci keadaan ini. Sudah lama aku tidak jatuh cinta. Dan tiba-tiba makhluk gaib itu datang, menyergapku dari belakang, membantingku dengan kasar, jatuhlah aku ke pelaminan. Aku seorang pengembara, tapi kini aku terjerat tali pernikahan. Bayangkan. Seorang pengembara terjerat tali pernikahan! Pernikahan tanpa janur kuning melengkung, tanpa kelapa gading menggelantung, tanpa setandan pisang raja, melati dironce-ronce, apalagi gending Kodok Ngorek, tidak ada sama sekali. Semua berlangsung tawar, tidak semerbak, abu-abu, persis mendung menggantung. "Ini pernikahan resmi kan, Ma?" tanyaku kepada ibu mertuaku, setelah semua tamu pulang. "Resmi!" Alis matanya agak menaik. "Ada naib dan petugas KUA. Sah menurut hukum dan agama. Emangnya kenapa?" "Ya alhamdulillah, merasa bahagia saja," jawabku. Aku memang seorang muallaf sejak Agustus 2003. Jadi maklum belum begitu paham. Kami pun kembali terdiam. Ibu mertuaku asyik memisah-misahkan jepitan rambut yang tadi dipakai istriku. Ada yang besar ada yang kecil, dipisahkan satu dengan lainnya. Lalu disimpan di kotak kecil-kecil. Sambil menyulut rokok, aku sandarkan punggung ke tiang kayu penyangga rumah limasan ini. Tidak ada penutup atap. Gentingnya terlihat dari bawah. Lonjoran-lonjoran bambu tampak jelas. Aku tercenung sejenak. Teringat mendiang ibuku yang meninggal November tahun lalu. Seandainya masih hidup, tentu ia bahagia sekali menyaksikan pernikahanku. Wasiat terakhir untukku hanya satu: ia ingin melihatku bahagia. Rambutku terasa sedikit naik. Angin bukit batu yang kering, bersirobok masuk dari pintu depan. "Aku mengalami kebahagiaan hanya pada saat berdoa saja, Bu," gumamku dalam batin. Pernikahan, terus terang, memang membuatku bahagia. Meski perhelatannya berlangsung sangat sederhana. Pernikahan memaksaku berhenti mengembara. Puluhan tahun aku melintasi jalanan sepi dan gelap, berteman rindu dan harapan. Kakiku melangkah tanpa kepastian. Akhirnya aku dihentikan oleh kekuatan yang tidak pernah aku pahami. Jodoh membuatku berhenti melangkah. Sebagai pengembara, sungguh tak pernah aku mempelajari apa itu hakikat perkawinan, rumah tangga bahagia, keluarga sakinah dan sebangsanya. Jadilah aku manusia paling bodoh. Mengalami ketergagapan budaya dalam berumah tangga. Sebuah ritual tradisional yang dijalankan turun temurun oleh seluruh umat manusia di dunia ini. Dan aku tidak mengenalinya sama sekali. Dulu, aku merasa takut menghadapi pernikahan. Dalam bayanganku, semua keperluan rumah tangga harus dipersiapkan terlebih dahulu, seperti rumah, penghasilan tetap dan kendaraan. Sejak usia 18 tahun, sudah tiga kali aku membangun rumah, hanya untuk memahami elemen-elemen pernikahan itu. Rumah pertama, mungil tapi permanen, terpaksa aku jual karena pindah ke Surabaya. Dan calon istriku pergi jadi pramugari. Terbang, selamanya. Rumah kedua, sebetulnya aku tidak begitu berminat membangunnya untuk tujuan berumah tangga, meski pacarku cintanya tak terbatas untukku. Kubangun di pinggir jalan besar, di sebuah desa yang tenang. Aku tinggal di situ setahun lamanya, sambil menyelesaikan buku keduaku tentang meditasi. Aku jual lagi. Pacarku ke Singapura bekerja di sana. Setelah itu, aku tidak membangun rumah lagi. Tapi membelinya. Di daerah sentra pariwisata di Jogja.

Sebuah rumah joglo tua dan angker. Kubuat galeri kecil, lumayan juga. Lukisan-lukisan karyaku sempat dibeli turis Belanda dan Belgia. Akhirnya, karena jenuh dan ada peristiwa bom Bali, aku memutuskan mengembara lagi. Rumah itu kujual secara tergesa-gesa. Kini, aku punya istri yang setia tapi tidak punya rumah. Dulu aku punya rumah tapi hidup sendiri tanpa istri. He..hehe, ironis kan? Sementara ini istriku tinggal bersama mamanya. Ia memang anak yatim yang didera penderitaan hidup berkepanjangan. Aku letakkan puntung rokok terakhirku ke asbak. Ibu mertuaku ternyata sudah sejak tadi beranjak dari duduknya. Lamunanku tentang peristiwa pernikahan ini, membuatku tidak memahami lingkungan sekitarku. Aku pun beranjak, mencari istriku di bilik sebelah, bersekat tripleks. Istriku cantik sekali. Tercantik di dunia. Ia tampak sedang sibuk memberesi pakaian pengantinnya, bedaknya dan segala tetek bengek perlengkapan gaun pengantin. Bau parfum Drakkar Noir dari Calvin Klein masih tertinggal, di ujung hidungku. Tadi, seusai resepsi, kucium dia di tengkuknya. Jadi aroma parfumnya ikut juga. Memang, itu parfum cowok. Tapi mau bagaimana lagi? Adanya cuma itu. Aku membelinya di drugstore Bandara Juanda, Surabaya dua tahun lalu, sepulang dari Makassar. Aku cium lagi tengkuknya. Ia tersenyum manja. Kebahagiaan terpancar di wajahnya. "Mau ngopi lagi, Mas?" tanyanya. Aku menggeleng, kudekap dia dari belakang, kemudian kita saling menempelkan pipi dan mematut-matut di depan cermin. Sepasang pengantin baru yang menikah diam-diam. Aku lihat matanya berbinar-binar. Ia bahagia. Makna kebahagiaan bagiku hanyalah setetes warna yang lebih bersinar di antara warna-warna lain yang kusam. Setiap orang yang mampu meraih segala sesuatu yang diidam-idamkan, tentu merasa bahagia. Begitu pula aku. Seringkali aku merasa lelah mengembara dan ingin hidup layak seperti pada umumnya orang dengan menikah, berkeluarga, dan beranak pinak seperti yang disampaikan Allah kepada Nabi Ibrahim. Dua minggu menjelang pernikahan, secara khusus memang aku memohon kepada kekuatan Yang Maha Dahsyat. Kekuatan paling purba, sebelum bumi dan tata surya ini tercipta. Di bawah pohon tua berumur ratusan tahun, di atas bukit kecil yang lembab, tepat tengah malam dan purnama penuh di angkasa, aku sampaikan permohonan keramatku itu. "Aku tidak butuh kekayaan, aku butuh istri dan sebuah keluarga," begitu doaku. Kun fayakun, terjadilah segala sesuatunya secepat kilat. Pernikahanku juga berlangsung kilat. Memang, ketemunya sudah lama, dua tahun silam di acara pernikahan seorang artis dangdut top ibu kota. Belum ada getar-getar cinta kala itu. Pertemuan kedua terjadi di Jogja, di pinggir lapangan golf Hyatt Regency, Bogeys Teras. Biasa saja, semuanya berlangsung biasa. Cuma di tengah dentuman musik classic rock yang mengalun, dia mengatakan kepadaku setengah berbisik: "Kalau mau sama aku, harus serius," katanya. Langsung saja aku melamarnya malam itu juga. Ia pun mencium punggung tangan kananku. Resmilah kita mengikat janji. Sepuluh hari setelah malam "bertabur bintang" itu, terjadilah pernikahanku ini. Tanpa surat undangan dan wedding taart. Perjalanan pernikahanku memang terkesan begitu indah. Tak ada cacat, semua berjalan baik dan tenang. Ombaknya kecil, landai, dan bisa pasang layar sesuka hati. Langit biru tampak bersahabat di ujung cakrawala dan matahari bersinar ramah. Kunikmati pernikahanku. Sedikit unik. Biasanya jok sebelah kemudiku selalu kosong. Paling, terisi dokumen pribadi dan beberapa bungkus rokok. Kini ada wanita cantik dengan rambut tergerai, tawa yang renyah dan sangat suka memakai aksengitu loh. "Liya gitu loh.," katanya menegaskan bahwa Liya beda dengan Lia.

Aku jadi mudah tertawa dibuatnya. Segala kata jadi berbunga-bunga, dan kita selalu mengurung diri di kamar berdua. Bercanda, berantem kecil-kecilan, saling merajuk dan tentu saja, bercinta. "Aku pengin punya anak 9," kataku. "Dua saja.Capek," jawabnya sambil menepuki perutnya. Lalu kita berpelukan lagi. Seolah tidak ada cakrawala untuk luapan kegembiraan dan kebahagiaanku. Tidak ada yang membatasi. Tidak ada garis lurus yang memisahkan. Tidak seperti langit dan bumi yang dibelah di cakrawala. Segalanya serba los, bebas dan tak terbatas. Luar biasa. Aku selalu merindukan setiap menitnya. Tawa ceria dan segala canda itu ternyata tidak berumur lama. Begitu cepat perginya. Sama cepatnya dengan proses pernikahanku. Kebahagiaan, agaknya, tidak pernah berpihak kepadaku. Segala sesuatunya berbalik 180 derajat. Sirna seketika. Berubah serba hitam. Galau. Gelap. Bergemuruh. Menghentak-hentak dan menyambar-nyambar. Setiap kata jadi bersayap-sayap. Salah paham muncul silih berganti. Kecemburuan, kecurigaan, dan pembicaraan-pembicaraan yang penuh teka-teki pun berebut mengganggu. Salah ucap sedikit, menjelma jadi bara api. Berkilat-kilat. Aku sampai tidak sempat berdoa karena pikiranku tersita sepenuhnya untuk istriku. Kelakuannya berubah-ubah, sulit dipahami. "Aku ingin sendiri," katanya pelan, tapi kurasakan seperti halilintar. Menggelegar. "Kita ini menikah, bukan pacaran. Ini Suroharus serba hati-hati," kataku mengingatkan. "Hasyaahhhh.." Mukanya jadi cemberut dan bibirnya jadi tambah lancip. Rambutnya yang dikucir bergoyang-goyang. Meski marah, kuakui, dia tetap saja menggemaskan. Sambil menjentikkan abu rokok ke asbak, ia pun berargumentasi tentang pernak-pernik kegalauan perasaannya. Dari soal sepele sampai besar. "Aku tuh sukanya mobil-mobilan dan korek api, bukan bungaSabunku juga bukan yang itu, shamponya yang ini.." Mimik mukanya agak berkerut-kerut, ketika aku bawakan setangkai red rose yang dikemas plastik cantik. Aku berusaha menyelami segala sesuatunya dengan hati-hati. Termasuk soal rumah, yang berkali-kali dilihat masih kurang cocok di hati. Kadang jengkel juga. Namun pernikahan tidak boleh terganggu dengan perasaan-perasaan yang tidak berguna seperti itu. Pernah aku berpikir kenapa harus begitu tergesa-gesa menikah? "Aku sudah lelah dan jenuh dengan kehidupanku selama ini. Jadi aku memutuskan untuk cepat menikah," katanya ketika itu. Argumentasinya itu membuatku merasa menemukan wanita yang sudah matang. Masa lalu yang carut marut memang harus diakhiri ketika pernikahan terjadi. Ketika baju pengantin dikenakan dan akad nikah ditandatangani, maka masa lalu berakhirlah di situ. Pernikahan adalah sebuah lembaran baru yang serba bersih, sehingga kita bisa menuliskan apa pun di sana sesuka hati, tanpa harus dihantui lembaran-lembaran hitam masa lalu. Kisahnya harus dibuat sesuai tata nilai yang berlaku di masyarakat. Ditata seperti mengatur sebuah taman bunga. Agar segalanya serba semerbak dan mewangi. Sampai akhirnya lembaran pamungkasnya ditutup sendiri oleh Sang Khaliq. Pemilik hak atas seluruh hukum kehidupan. Ah, lumayan juga teoriku ini. "Hanya kematian yang bisa memisahkan sepasang pengantin," kataku kepadanya. Ia tercenung beberapa jurus. Matanya yang indah terdiam beberapa saat. Lalu bola matanya berubah jadi abu-abu. Ia pun meledak-ledak lagi. Ada bau parfum yang berbeda dari tubuhnya, ketika ia berdiri sambil bersungutsungut. Aku terhenyak. Berangkat kantor tadi pagi, memang ia sudah terlihat kusut. Tapi aku tidak memikirkannya terlalu dalam. Sewaktu turun mobil, ia hampir lupa mencium tanganku. "Aku suamimu bukan?" tanyaku pelan, sambil kusodorkan tangan kananku. Ia pun menciumnya. "Nanti dijemput jam berapa?" tanyaku lagi.

"Jam empat sore. Mundur satu jam," jawabnya, sambil bergegas turun. Prahara itu pun dimulai. Bau parfum yang berbeda sepulang kantor, menjadi puncak dari seluruh masalah yang bertumpuk. Padahal sepulang kantor tadi kami sempat melihat sekali lagi rumah yang akan kami tempati. "Besok aku mau naik bis kota saja. Nggak usah diantar jemput lagi," ujarnya sambil membanting tubuhnya ke kasur. Ia memunggungiku. Tampak jengkel. Aku berharap keadaan itu hanya sementara saja. Seperti permasalahan-permasalahan kecil yang terjadi di hari-hari kemarin. Ternyata tidak. Besok-besoknya lagi, tetap sama. Terus-menerus begitu. Sehari dua hari. Seminggu dua minggu. Seluruh saluran komunikasi ditutup. Ia pun ganti nomor hand phone. Aku takut membayangkan kenyataan yang bisa membuatku bersedih. "Ini hanya sementara," katanya ketika aku nekat menemuinya, di siang yang terik. "Sementara," itulah kata-kata yang aku jadikan pegangan. Meski berat dan dipenuhi ribuan teka-teki, aku berusaha meyakini janjinya itu. Kehidupanku pun limbung. Aku kembali melangkah tanpa kepastian, tak ada teman selain rindu dan harapan. Keinginanku untuk menjalani kehidupan masa lalu kembali menggelegak lagi. Mengembara. Ya, mengembara. Akulah, pengembara itu! Aku harus kembali berteman dengan alam, dengan orang-orang yang hidup sederhana di ujung-ujung desa, di pegunungan dan di pinggir-pinggir pantai. Bertemu orang-orang yang tulus mencintaiku, menerimaku dengan tangan terbuka, tanpa rasa curiga, saling pengertian dan tidak mengkhianati. Aku merasa bahagia. Apalagi kalau mereka berduyun-duyun di belakangku, mengikutiku berdoa. "Tapi ya Allah, apakah Engkau tidak mengizinkan aku memiliki sebuah keluarga, keturunan, dan generasi pewaris?" gumamku ketika aku datang lagi ke pohon besar di atas bukit yang lembab itu. Selang beberapa saat, tiba-tiba melodi Songete mengalun dari hand phoneku. Debur ombak Laut Selatan hampir membuatku tidak mendengarnya. Ada SMS masuk, dadaku berdebar. "Jeleeeeeeeeeeeeeekwhere are u? Aku kangen tho sama Jelek. Ke sini tak buatin kopi..!" begitu bunyi SMS-nya. Dari istriku. Ah, ternyata itu SMS yang pending sejak empat minggu lalu. ***

JEBAKAN CINTA Cerpen Erna Gusnita


Ngomongin cinta memang tidak akan pernah habisnya. Cuma mungkin ada yang membedakan sebarapa besar cinta itu kepada seseorang. Cinta membuat orang-orang lebih nekat, lebih gila, bahkan ada juga lebih baik. Ada yang terpuruk karna ditinggal cinta. Ada juga yang biasa-biasa aja bahkan mempermainkan cinta. Semua bisa aja terjadi karna cinta. Cinta memang membuat kita seperti orang gila. Tapi sebenarnya itu normal sebab jika tidak pernah jatuh cinta berarti orang itu tidak normal. Cinta sudah mengalir didalam diri kita saat kita terlahir kedunia ini.Cinta tidak bisa dipaksakan dan tidak bisa direkayasa oleh seseorang. Siapapun orangnya, mau pejabat, tukang kebun dan sebagainya. Dizaman sekarang ini jarang wanita atau lelaki yang memperjuangkan cinta mereka. Cinta bisa saja dibeli dengan uang. Mereka berpikir dengan uang cinta akan tumbuh sendirinya. Hidup membutuhkan uang bukan cinta. Tapi ada pendapat lain, mungkin ini sepuluh dari seribu wanita atau lelaki yang berpendapat seperti ini. Mereka bisa menerima pasangannya apa adanya tanpa memikirkan harta, jabatan. Mereka menjalani semua ini dengan cinta. Dengan cinta mereka bisa membangun rumah tangga yang utuh dan karna cinta mereka lakukan apapun untuk pasangan mereka masing-masing. Dengan cinta mereka bisa mencari uang. Senang-susah mereka lewatkan bersama. Sungguh luar biasa, ntah mana yang benar kita tidak bisa memberi jawaban. Mungkin hanya hati nurani kita yang bisa menjawab semua ini.Dan tergantung kepada masing-masing kepribadian orang itu sendiri. Ditaman kampus ada seorang cewek yang sedang nungguin seseorang, ntah siapa orang yang ditunggu. Cewek ini biasa saja, tidak cantik. Tak lama menunggu akhirnya seorang cowok datang. Cowok ini lumayan keren, sepertinya tidak kuper. Cowok itu namanya Dean. Sesampai disana ia lansung membuka suara Maaf telat, tadi lagi belajar baru aja keluar gak pa-pa, ada apa sih? Sebenarnya kamu tinggal sama siapa sih?? Mang kenapa? Ada yang aneh Nggak ada, pengen dekat aja, tuh mamamu apa nggak sih? Sebenarnya itu mama angkatku, aku diambil dipanti asuhan Jadi apa yang dibilang anak-anak tu benar., jadi selama ini loe bohong ma gue Gue nggak pernah niat untuk bohong, dia memang mama angkatku pi ku udah menganggapnya seperti mamaku sendiri, dari kecil beliau menyengolahkan aku sampai aku kuliah begini Tapi setidaknya kamu jujur dong dari dulu Apa perlu gue jujur tentang itu, apa salah ku menganggap mama adalah mamaku Nggak taulah, susah ngomong sama kamu, lebih baik kita putus aja ya Ya udah low memang itu yang lebih baik untuk kita Cewek yang bernama Vita lansung pergi dari tempat duduknya. Ia lansung pulang kerumahnya. Antara kampus dan rumahnya berjarak 5 km. Karna jalan macet, jadi 45 menit kemudian baru sampai dirumah. Sesampai dirumah ia lansung masuk kekamar, ia banting pintu kamar. Mamanya yang melihat kejadian itu lansung menghampiri anaknya. Ia mendapati anaknya sedang menangis dikasur. Ia mendekati anaknya dengan perlahan, dan bertanya: Ada apa nak? Ma apakah salah low aku tu anak angkat mama Nggak ada yang salah, memangnya ada apa? Dean tau low aku bukan anak mama, dia marah-marah dan minta putus Emang tau darimana dia? Nggak tau darimana ia tau, pi apakah aku salah low nggak bilang masalah itu, aku dah menganggap mama sebagai mama kandungku sendiri Kamu nggak salah, mama juga nggak pernah bilang keteman-teman mama kamu anak angkat mama, mungkin dia tidak tulus mencintaimu Tiba-tiba Dia kenapa ma? Tanya Rendy kakaknya datang Ini masa gara-gara tau Vita anak angkat lansung diputusin sama Dean Jawab mamanya Berarti dia tidak tulus mencintaimu, selama pacaran ma kamu dia pernah minta- minta bantu berupa uang Ada, mang kenapa? Berarti dia cuma mengharapkan hartamu aja, low besok dia baikan ma kamu coba kamu uji dia Kakakmu benar tu Tak lama kemudian Reni anak kedua dari Subroto masuk kekamarnya. Reni tua tiga tahun dari Rendy. Rendy tua satu tahun dari Vita. Anak pertama dari pasangan Subroto dengan Pratiwi subroto bernama Rendra. Sekarang sudah menjadi

guru disalah satu sekolah di Batam. Dulu ia kuliah di UNP jurusan Matematika pendidikan. Ia baru berumur 27 Tahun. Anak kedua yang bernama Reni menjadi dokter di Rumah Sakit Embung Fatimah. Sudah 2 Tahun ia dinas.Kuliah di UNIBA. Sedangkan anak ketiga pasangan ini masih kuliah semester akhir Jurusan kedokteran di UI. Anak terakhir mereka angkat waktu berumur 4 Tahun. Dia adalah Vita. Sekarang masih kuliah semester enam di UNRIKA. Subroto dan istrinya tak pernah pilh kasih pada anak-anaknya. Begitu juga anak-anak Subroto. Vita mereka sayangi seperti adik kandungnya sendiri. Apapun keinginan Vita pasti mereka kabulin. Waktu kecil dulu Rendy rela ngasih sandalnya karna sandal Vita putus waktu main-main dikampung mamanya. Padahal aspal sangat panas sekali. Reni juga begitu, ia selalu membawakan makanan kesukaan adeknya kalau dia lagi pergi kemana-mana. Rendra juga begitu, kalau main sama dia, pasti Vita selalu dia gendong. Ia rela kena hujan asalkan adeknya Vita tidak kena air hujan. Begitu sayangnya mereka pada Vita. Begitu juga Vita, Jika kakak-kakaknya lagi pada keluar kota pasti ia kebingungan mau ngapain. Begitu dekatnya mereka. Diruang tamu Alfi sedang duduk sambil menonton TV. Alfi anak bungsu dari keluarga Siswanto. Siswanto seorang pengusaha. Dimana-mana ada hotelnya dan 10 restauran. Baik diluar dan di dalam Batam. Siswanto punya 2 anak. Dua-duanya laki-laki. Anak pertama mengurus hotelnya di Jogja. Jadi sekarang tinggal Alfi dan pembantunya dirumah.Papa dan mamanya sedang keluar kota. Alfi benar-benar sedang prustasi tampaknya. Gimana tidak, pacar yang ia sayangi, yang ia rawat meninggalkannya. Dari kuliah sampai bekerja dibiayain sama Alfi. Tapi ceweknya rela meninggalkannya demi cowok lain. Memang cowok itu sekarang pekerjaannya sudah mantap dari Alfi. Alfi waktu itu masih guru honor. Baru setahun ia jadi PNS. Ia belom tertarik untuk menjalani bisnis papanya. Hari-hari setelah ditinggal mantannya yang ada keterpurukan. Sedang asik melamun tiba-tiba Rendra datang. Loe bengong kenapa lagi?? Nggak kenapa-napa, bingung aja Bingung kenapa? Jangan bilang loe teringat mantan loe Ya gue nggak habis pikir aja Ndra, bunga yang guue rawat, eh diambil orang Ya namanya aja nggak jodoh, udahlah lupain dia, kerumah ku yok Yoklah, ku juga bt dirumah terus Jarak rumah Alfi kerumah Rendra menempuh waktu 30 menit. Sesampai dirumah Rendra tak ada satu orangpun yang ada dirumah. Rendra menghampiri pembantunya yang sedang nonton TV diruang tengah. Pembantunya seusia dengan Vita. Keluarga mereka juga menguliahkan dia. Karna dulu ibunya pembantu setia mereka. Namun antara Vita dengan Ica tidak begitu akrab dikampus. Paling cuma tegur sapa pi low dirumah mereka tampak akrab juga. Ca, mama mana? Dikamar den Yok lansung kekamarku aja ya Fi OK Mereka berjalan menuju kamar Rendra yang terletak di lantai dua. Kamar Rendra dan Reni bersebelahan. Kamar Rendy juga masih dilantai dua tapi agak terpisah dari kamar mereka berdua. Sedangkan kamar Vita berada dibawa yang tidak jauh dari tangga. Setelah sampai dikamar Rendra turun lagi tapi sendirian tanpa Alfi. Ia menuju kamar Vita. Ia dapati mamanya, dan adik-adiknya berkumpul disana. Ada perkumpulan apa ni ma? Nggak ada apa-apa, adekmu lagi sedih aja Biasalah kak low remaja key gini Reni membuka suara Udahlah adekku sayang, nggak baik berlarut dalam kesedihan ntar tambah jelek, tengok tu tambah jelek aja kan Kakak teriak Vita lansung duduk dan mengejar Rendra yang lari kekamarnya Mulai deh Kata Rendy keluar dari kamar Vita Vita mengejar Rendra kekamarnya, sampai dikamar Rendra lansung Rendra dipukul dan dicubitnya. Rendra berusaha menahan kesakitan demi adeknya. Udah donk, sakit tau Biarin nggak peduli Akrab kali dirimu ma pembantumu Ndra Alfi membuka suara Mereka berdua terhenti sambil menatap Alfi.Alfi pun melihat dengan heran. Memang kak Rendra pernah cerita ya, and mang mirip pembantu? Makanya jangan larut dalm masalah terus, kan jadi jelek jadi dianggap pembantu deh Rendra ketawa Makasih atas pujiannya Vita lansung lari dari kamar Rendra, Rendra lansung mengejarnya. Vita lansung masuk kekamar dan mengunci pintunya. Ia menangis kembali.Rendra kembali kekamarnya dan menemukan Alfi yang sedang menonton film horor. Fi, kamu nggak tau dia ya, lom kenal ya? Mang kenapa?

Dia bukan pembantu aku, dia adekku yang paling bungsu, yang kami jaga selama ini, dari kecil dia paling istemewah sekali bagi kami. Adekmu yang mana lagi? Setauku adekmu dari sejak awal kenal Reni dan Rendy, dia nggak ada kemiripan denganmu. Kamu nggak pernah ketemu dia, memang low adek kakak harus mirip, banyak diluar sana orang adek kakak yang nggak mirip kok Dia ngambek ya, maafin aku ya. Dia bentar aja ngambeknya, ntar juga baikan Memang begitu dengan Vita, dia terlalu sensitif akhir-akhir ini. Tapi low ngambek dengan kakaknya paling nggak akan lama. Karna dia nggak kan tahan jika hari-harinya tidak dilalui dengan kakak-kakaknya. Vita juga orangnya gampang kasihan, ia paling nggak tegaan. Keadaan ini sering dimanfaatin oleh mama dan kakak-kakaknya. Kalau kakaknya sedang bermasalah maka ia adalah orang yang paling pertama yang membantunya karna kasihan sama kakaknya.Malam ini Alfi menginap dirumahnya Rendra. Ia benar-benar suntuk low dirumah sendirian. Malam ini semua orang sudah ngumpul diruang makan tapi Vita tidak muncul-muncul. Kemana ya?. Ternyata dia masih dalam kamar. Inilah kebiasaan buruk Vita. Orang sibuk mau makan malam dia sibuk mau tidur. Tambah lapar tambah enak tidurnya. Jauh berbedakan jika biasanya orang-orang low udah kenyang baru bisa tidur. Terpaksa mamanya membangunkannya. Tapi kali ini yang membangunkannya Rendy sama Rendra. Mereka masuk kekamar Vita dan mengangkatnya lalu memasukkannya kedalam bak mandi. Vita kaget lansung berteriak. Aahhhhhhhhhhhhhhhhhh Semua yang mendengar teriakan itu lansung menuju ke kamar Vita yang nggak terlalu jauh dari ruang makan. Ada apa? Tanya mamanya Kak Rendy jahat baget ma, kan dingin Siapa suruh tidur jam segini, enak nggak Ih menyebalkanlah, suka-sukalah mau tidur ato nggak, low lapar makan aja dulu, dah keluar semua ntar lagi ku keluar Semua keluar dengan ketawa, tak lama kemudian Vita pun keluar dari kamarnya. Ia menghenyakkan pantatnya dikursi disampingnya Reni dan mamanya. Sedangkan diseberangnya ada Alfi, Rendy dan Rendra. Mereka semua makan tanpa adanya suara yang keluar dari mulut satupun. Selesai makan semua ngumpul didepan TV seperti biasa. Mama dan Papanya duduk diatas sama Vita dan Reni. Sedangkan yang lain duduk dibawah. Seperti biasa semua nonton opera van java. Ini siaran kesukaan semua anggota keluarga ini. Pas lagi iklan, mamanya bertanya pada Rendy; Ndy, kamu kapan ke Jakarta? Mungkin hari Sabtu aja ma, biar minggu bisa istirahat Ma, Vita ikutlah ma kak Rendy. Ngapain?? Key nggak ada kerjaan aja Rendra membantahnya Emang nggak ada kerjaan, bis malas nengok muka orang jelek dirumah ni,low kak Rendy kan lumayanlah Trus yang paling cakep siapa dong? Tanya Rendra Yang paling cakep anak mama dan papa adalah Vita, yang kedua Reni, and yang ketiga kak Rendy and yang paling jelek adalah kak Rendra Yeee keGR-an loe, sejelek apa sih kakakmu ini, padahal banyak yang naksir loh. Bantah Rendra Kak Ndy antarin ku ke DC mall, ada yang mau dibeli. Antar sama Kak Rendra ato ma kak Reni aja, kakak mau beres-beres Duh kakak capek banget sayang Reni membuka suara Kakak banyak yang mau disiapkan ni, Fi loe sibuk nggak antarin adekku lah. Boleh, kebetulan ku juga ada yang mau dicari. Makanya belajar bawa mobil, ni penakut banget, masa kemana-mana harus diantar. Bantah Reni Vita diam aja sambil berjalan ke kamarnya. Tak lama kemudian dia keluar dari kamarnya membawa sebuah tas kecil. Mereka pergi menggunakan mobilnya Renda. Jarak rumah Vita dengan DC mall tidak terlalu jauh. Diperjalanan mereka hanya diam saja tanpa ada sepatah katapun. Sesampai disana, Vita masuk saja tanpa basa-basi sama Alfi. Alfi mengikuti Vita dari belakang.Ternyata Vita kesana cuma mau beli cosmetik dan farfum ditempat ia biasa beli.Setelah siap membeli farfum,ia mulai membuka suaranya Kak lama dikit nggak apa-apakan? Nggak masalah, masih jam 9 pun, masih ada yang mau dibeli? Mau liat-liat aja dulu. Ya udah Mereka hanya melihat-lihat saja. Dari tadi tidak ada yang dibelinya. Tanpa disadari Vita ketabrak Dean. Vita tampak kaget, begitu juga dengan Dean.Ketika Dean melihat Alfi, Dean tampak gembira sekali. Ternyata mereka juga kenal satu sama lainnya.

Masih Iya, Kak

langgeng aja ya kemana aja selama Vita pergi dulu

ma ini? ya

Tita. Kata Alfi membuka suaranya Dean berusaha mengalihkan pembicaraan kemobil. Vita pamitan sama Alfi OK.

Vita berjalan kearah parkiran dengan kesal. Tak ada sedikitpun senyum diwajahnya. Dimobil ia terpaksa menunggu Alfi dengan sabar. Soalnya sudah 15 menit tapi Alfi lom juga dtang-datang. Tak lama kemudian Alfi muncul berbarengan dengan Dean dan seorang cewek. Wah ternyata mereka berdiri pula didepan mobil untuk ngobrol. Nggak habis-habisnya obrolannya. Tak lama akhirnya Dean menjauh juga dari mobilnya dan Alfi juga masuk ke mobil. Melihat mukanya Vita manyun aja, akhirnya Dean membuka suara; Maaf ya, Kamu kesal ya nunggu kelamaan? Nggak lah, ku nggak kesal menunggunya pi kesal sama temannya tadi. Mang kenapa dengan dia? Oya dia kan satu kampus ma loe, nggak kenal ya? Kenal kok, udah lama ya mereka pacaran? Kenapa mang nya? Tanya aja sih. Mereka jadian udah setahun yang lalu. Tahun lalu? Iya, kenapa? Brengsek juga dia ya, padahal dalam waktu itu dia jadian ma gue. Benaran Loe? Benar, enam bulan yang lalu gue jadian ma dia, and baru tadi pagi putusnya Gila juga ya, Rendra tau Tau, biasa aja dia, udah lupain aja dia, malas bahas dia, makasih ya udah ngantarin gue, met malam. Vita pun turun dari mobil dan lansung masuk kedalam kamar.Sesampai dikamar iapun lansung untuk tidur. Lamakelamaan akhirnya Vita and Alfi mulai dekat. Rendy sudah balik ke Jakarta sedangkan Reni ada urusan ke Surabaya. Papanya sedang pergi ke Padang. Jadi dirumahnya agak sepi. Alfi sering main kerumah Vita. Setiap malam minggu pasti datang kerumahnya untuk menemui Rendra. Kadang mereka berdua pergi and kadang Vita suka ikut karna bingung mau kemana. Jadi dia lebih memilih untuk pergi bersama kakaknya dan Alfi. Dia sama Alfi sudah tidak asing lagi. Mereka sudah seperti adik-kakak. Mereka sudah sering jalan berdua kemana-mana.Tapi Sekarang tampaknya Alfi menghindar dari Vita. Nggak tau apa permasalahannya. Dia nggak pernah lagi muncul dirumahnya Vita. Ditelponpun pasti selalu nggak diangkat. Semenjak Rendra sudah punya pacar malam minggu mereka juga nggak ngumpul lagi. Hari-hari dilewati Vita dengan kesepian, akhirnya bawaannya selalu BT trus. **** Malam ini Vita dirumah sendirian, tampangnya tampak suntuk banget. Acara di TV nggak ada yang bagus. Diraih HP nya tapi juga nggak ada sms dari siapapun. Dia pun bingung mau sms siapa karna low dia sms sembarang orang ntarnya malah tambah kesal sendiri. Akhirnya ia memutuskan untuk sms Alfi. Tapi sudah 30 menit smsnya juga lom dibalasnya. Sepertinya dia tidak menginginkan kehadiran gue, Ya udahlah lupain aja dia. Gumamnya dalam hati Tapi kok gue bawaannya kesal aja low dia nggak sms gue, pa gue suka dia, ah nggak lah ngapain juga mikiran orang yang nggak mikiran gue, ngapain gue berharap ma orang yang nggak mengharapkan kehadiran gue, capek berharap terus, mending jalani aja seperti air mengalir. Gumamnya lagi. Dia baringkan badannya, dan tak lama kemudian ia ketiduran. Hari ini hari Sabtu, dirumah tak ada satupun orang. Kecuali kakaknya yang sedang tidur. Vita lagi duduk dengan kesal karena tadi tidak sengaja ia melihat pacar kakaknya jalan bermesraan dengan cowok lain. Ia tidurkan badannya disebuah sofa diruang tamu. Tak lama kemudian ada tamu yang datang. Dengan malas Vita membuka pintunya. Betapa kagetnya dia, ternyata yang datang Mey-Mey ceweknya Rendra. Dengan nada tidak suka Mey-Mey bertanya kepada Vita; Mana Rendra? Tidur, ada perlu apa? Jawabnya dengan jutek Bukan urusanmu. Mey-Mey lansung menerobos Vita yang berdiri didepan pintu Dengan kesal Vita menarik tangan Mey-mey dan Mey-mey mendorongnya kebelakang. Dengan kesal Vita membuka suaranya; Tau sopan santun nggak sih, mau kemana loe? Eh loe tu disini Cuma anak angkat jadi nggak usah sok deh, kapan aja loe bisa diusir dari sini. Vita Tega lansung kali terhenyak mendengar kakak ceritain ke dia kata-kata gumamnya cewek dalam itu. hati

Vita menarik kembali tangannya dan berkata; Sampai kapanpun aku tak akan pernah meninggalkan rumah ini, karna disini keluargaku, sedangkan kau cewek murahan yang mengincar harta oarang saja, ku tau kamu tidak mencintai kakak saya, pi mencintai propesinya dan hartanya, kalau kamu nekat masuk kekamar kakakku maka ku kan ceritakan kejadian kamu jalan mesra sama cowok tadi. Jangan coba mengancam gue, low berani loe ngomong key gitu maka nggak segan-segan ku robek-robek mulutmu ancam Mey-mey Sayang aku tidak takut cewek matre and murahan Mey-mey lansung menampar pipi Vita. Vita yang juga emosi tidak terima begitu saja tamparan itu. Iapun membalasnya, pas sedang menampar Mey-mey Vita apa-apaan kamu ni? bentak Rendra Dia duluan kak Vita membela diri Bohong yank, dia yang duluan, masa dia bilang aku cewek murahan yang nggak cocok buat kamu, katanya kakaknya hanya untuk dirinya, aku sudah mengingatkan low kalian adik-kakak jadi tidak akan mungkin itu terjadi, dia marah dan menampar aku. Mey-mey mendekati Rendra Dirumah ini tidak ada kekerasan, jika kamu mau ada kekerasan silakan tinggalkan rumah ini. Tapi kak dia duluan yang mulai, dia juga udah selingkuhin kakak. Tega kali dirimu memfitnah aku hanya karna kamu pengen dapatkan cinta kakakmu. Kamu memang murahan kok Dengan amarah Rendra menampar Vita. Vita benar-benar kaget menerima tamparan itu. Baru pertama ini Rendra menamparnya karna ceweknya. Tampar lagi kak, tampar................ Pergi kamu dari rumah ini. Dengan kesal Vita lari keluar rumah. Ia tak ada bawa apa-apa, sopirpun tak ada nampak. Terpaksa ia jalan kaki. Tak tau mau kemana yang ia tuju. Air matanya meleleh saja. Benar-benar sudah tak tahan lagi ia menahan air matanya. Ia benar-benar tak menyangka kakaknya berubah dan mengusir dia. Hari sudah larut malam, ia masih duduk dihalte. Tak tau mau kemana ia pergi.Ia duduk aja disana sendirian sambil menangis. Hujan pun turun deras, ada tiga orang cowok berhenti di halte. Ternyata cowok itu Alfi dan teman-temannya. Fi tu kan adeknya Rendra. Bisik seoarang temannya Iya Fi, dia menangis, apa mungkin mau pulang nggak ada taksi Alfipun mendekatinya karna sudah tidak tega melihat mata Vita yang suda bengkak karna menangis. Kamu ngapain disini Vit? mau diantar pulang? Vita hanya diam saja. Melihat Vita diam Alfipun mengeluarkan Hpnya. Ia hendak menelpon Rendra. Nggak usah nelpon Rendra kak, Kak Rendra tlah mengusir aku Alfi dan kawan-kawan kaget mendengar hal itu. Hujan telah reda, Alfi tidak mungkin meninggalkan adik temannya disana dalam bahaya. Ditaro tempat teman yang lain tidak memungkinkan karna rata-rata mereka ngekos. Awalnya Vita nggak mau di ajak Alfi. Tapi karna ia takut dihalte sendirian malam-malam terpaksa ia ikut Alfi kerumahnya. Alfipun mengerti makanya ia tak mengantarkan Vita kerumahnya. Sesampai dirumah Alfi Vita nggak bisa tidur. Ia duduk melamun ditaman rumah Alfi padahal diluar sangat dingin karna tadi. Alfi kaget melihat dia masih duduk diluar. Alfipun menghampiri Vita yang duduk ditaman. Kok lom tidur Vit? Kamu tu ada masalah apa sih ma kakak kamu? Kak Rendra marah karna aku dianggap merusak hubungan dia dengan pacarnya, padahal pacarnya yang cari garagara ma aku, pacarnya marah karna saya tau low pacarnya itu jalan ma cowok bermesraan lagi. Mey-mey selingkuh? Iya begitu penglihatan aku, dasar cewek murahan . Lom tentu apa yang kamu lihat itu sama seperti yang kamu pikirkan. Oh jadi kakak juga nyalain saya juga, ya udah saya pergi aja dari sini Vita berdiri dari tempat duduknya. Alfi menahannya Bukan begitu maksud kakak, jangan pergi ntar low kamu kenapa-napa kakak dimarahin kakak kamu. Dia udah nggak peduli lagi ma aku kok, buktinya aja nyari ku aja nggak. Sabar ya, Oya maafin kakak soal yang kemaren ya, kakak lagi banyak masalah. Semua orang terlahir didunia ini pasti mempunyai masalah, terpuruk dalam masalah tidak akan menyelesaikan permasalahan,pi ku rasa orang punya masalah nggak segitunya,masa balas sms satu aja susah, pi tu haknya kakak. Kamu marah ma aku ya? Maaf deh Vit,maukan maafin kakak? Aku dah maafin kok, udah lupain aja kak, tidur yok udah jam 3 pagi nih

Yok,

Merekapun beranjak dari tempat duduk dan berjalan menuju kamar masing-masing untuk tidur. Biasanya Alfi low tidur jam segini, bangunnya pasti jam 12 siang. Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti demi jam akhirnya matahari muncul di ufuk timur.Belom ada yang bangun dirumah itu kecuali pembantunya. Vita masih tertidur lelap, begitu juga Alfi. Jam sudah menunjuk angka 12 siang. Alfi sudah bangun tapi si Vita belum bangun. Nggak ada tandatanda Vita sudah bangun. Alfi terpaksa membangunkan Vita karna ditunggu-tunggu belum juga bangun. Alfi membuka pintu kamar Vita. Vita tidak ada ditempat tidurnya, Alfi mencarinya kekamar mandi.Vita tergeletak dilantai kamar mandi.Alfi benar-benar bingung banget melihat keadaan Vita yang pucat. Ia bawa Vita kerumah sakit terdekat. Rendra sedang dirumah bersama sang pacar. Tak lama kemudian bel rumah berbunyi. Ternyata papa, mama dan Rendy pulang ke Batam. Sesampai dirumah, Dalam rangka apa kamu pulang Ndy? Perasaan ku nggak enak, kangen Vita, Vita mana? Rendy lansung kekamar Vita. Eh ada nak Mey-mey, dah lama disini? Tanya mamanya Nggak juga tante. Tiba-tiba Rendy keluar lagi Vita nggak ada, mana Vita Kak? Vita pergi dari rumah. Rendra menjawabnya sambil menunduk Ada apa ini? Tanya mamanya Kak low sampai Vita kenapa-napa, kakak orang yang pertama saya tuntut. Rendy dengan emosi Rendra menceritakan apa yang terjadi kepada papa, mama dan Rendy. Mey-mey juga ikut-ikutan menceritakan. Tak lama kemudian telpon rumahnya berdering, karna semua lagi sibuk akhirnya Mey-mey yang agkat. Halo, ini siapa? Mey-mey ya, ini Alfi. ya ada apa? Bilang ke Rendra, Vita dirumah sakit Maaf salah sambung Mey-mey menutup teleponnya Siapa yang nelpon Mey? Tanya Rendra Salah sambung jawab Mey-mey Tak lama kemudian Hp Rendy berdering, setelah diangkat ternyata Alfi. Rendy kaget banget mendengar Vita dirawat dirumah sakit.Rendy ngasih tau semuanya apa yang ia dengar dari Alfi. Semua keluarga panik termasuk Rendra. Bagaimanapun Vita adek kesayangannya dari Vita kecil. Setelah sampai dirumah sakit ternyata Vita sudah sadarkan diri. Kata dokter Vita hanya kedinginan saja karna badannya diguyur air kelamaan. Vita juga sudah boleh dibawa pulang. Dari tadi ketemu Rendra Vita hanya diam saja. Begitu juga dengan Rendra. Hari- hari dilewati hanya diam saja, tak ada lagi kemana-mana berdua. Biasa seperti orang pacaran saja mereka berdua. Selain dekat sama Rendra sama Rendy Vita juga akrab, tapi karna Rendy jarang dirumah makanya Vita lebih sering dilihat berduaan dengan Rendra. Akhir-akhir ini Vita lebih sering mengurung diri dikamar jika tidak kuliah. Apalagi kalau ada Mey-mey dia paling malas. Kadang low Mey-mey dirumah itu berisik dia pasti hidupin musik keras-keras. Kadang ia pindah kekamar Rendy biar nggak kedengar suara Mey-Mey. Hari ini Vita sedang dikamar Rendy, mereka berdua sedang nonton film taiwan. Keduanya suka nonton film-film taiwan. Sambil nonton Vita juga menceritakan kejadian yang sebenarnya ke Rendy. Tak lama kemudian Rendra masuk; Nggak berhenti-hentinya ya kamu jelekin pacarku bentak Rendra Kak jangan kakak coba untuk bentak adik saya Ya adik kamu, tolong di ajarin, saya tidak pernah mengajari adek-adek saya seperti itu Terserahlah, capek berantem lanjutnya Rendra Rendra pergi Boleh Boleh keluar gabung aja, Malas dari nonton kok kamar nggak? nggak liat Rendy, terdengar bareng tak suara kak muka lama Alfi Rendra kemudian dipintu kak? ceweknya

Mereka berdua ketawa mendengar jawaban Alfi. Lama sudah Rendra dan Vita tak bersapaan. Rendy sudah balik ke Jakarta tiga bulan yang lalu. Alfi dan Vita semakin dekat saja. Mereka sering bepergian berdua apalagi kalau malam minggu. Belakangan ini Alfi sepertinya tidak mau jauh-jauh dari Vita. Lama akhirnya dekat akhirnya mereka berdua jadian. Yang duluan nembak adalah Alfi. Memang sebelumnya yang dulu menampakkan sayangnya Vita dengan caracaranya, tapi Alfi saja yang tak merespon. Malam itu bagitu cerah, banyak bintang yang menghiasi langit.Alfi dan Vita sedang jalan kesebuah pantai yang nggak jauh dari rumah Alfi. Mereka pergi pakai motor mio. Sesampai dipinggir pantai mereka duduk ditempat yang berhadapan lansung dengan laut. Vita tampak senang banget, tapi ia coba untuk

biasa-biasa saja biar tidak terlalu kenampakan sama Alfi.Alfi senyum-senyum saja melihat Vita yang selalu salting. Lama sudah saling diam akhirnya Alfi membuka suara; Indahkan tempatnya? Aku suka kesini Vit low ada masalah. Ya, indah. Vit, ntah kenapa aku selalu kepikiran kamu belakangan ini, dekat kamu bikin nyaman. Jika nggak ketemu kamu sehari rasanya ku merana kali. Masa sih begitu?? Ya begitulah yang terjadi, kakak sayang sama kamu, kamu mau nggak jadi pacar kakak. Gimana ya? Sukanya dari segi apa sih, akukan jelek. Dari sifatmu, bagi kakak cantik itu nggak penting yang penting cantik hatinya. Ntar kakak berubah pikiran. Gimana low sambil jadian kita kan bisa masa penjajakan, ntar low jodoh pasti kita ketemu lagi. Vita hanya menunduk sambil senyum-senyum malu, Alfi melihat tingkah Vita yang malu-malu gitu. Gimana Vit? Menurut kakak gimana? Low senyum malu-malu begitu berarti mau, iya kan? Gitu ya? Ya sebenarnya Vita juga udah suka kakak sejak lama. Yang benar ni dek? Benar kak, pi waktu itu kakak cuekin Vita begitu saja, seperti nggak mau kenal sama Vita. Bukan begitu sayank, maaf ya waktu itu, berati ma Rendra panggil kakak ipar dong sekarang. Vita hanya tertawa-tawa mendengar apa yang diucapkan Alfi. Sudah 1 jam disana akhirnya mereka pulang. Sesampai dirumah Vita ternyata ada Mey-mey duduk diteras. Sebelum melangkahkan kakinya Alfi meraih tangannya Vita. Lalu mendekati Vita sambil berbisik ; Ntar low Mey-mey cari masalah jangan dilayani ya yank. Nggak boleh gitu jugalah, ntar dia merasa menang sendiri. Nntuk nggak usah dilayani, nggak ada untungnya bahkan rugi untuk hubungan kamu dengan kakakmu. Ya dehc kak. Ya udah masuk sana. Vita pun masuk, sedangkan Alfi masih diam ditempat. Setelah Vita masuk kedalam rumah barulah Alfi pulang kerumahnya. Sesampai drumahnya, ia kaget ternyata dirumah ada mantan pacarnya Tiwi. Dia sedang menangis diteras rumahnya Alfi. Ntah apa yang terjadi dengan dirinya sampai ia menangis seperti itu. Alfipun mendekatinya dengan perlahan, Kamu kenapa Wi? Tiwi lansung memeluk tubuh Alfi,Alfi tambah kaget, Kamu kenapa? Suamiku selingkuh dengan perempuan lain, trus setelah itu dia sering pukul aku low ku bilang low dia selingkuh. Trus sekarang suamimu tau kamu kesini? Nggak, dia mana peduli sama aku, aku takut pulang Fi. Ya aku harus key mana, ntar oarng bilang aku pengganggu pula. Nggak lah, aku mohon tolong izinkan aku nginap disini. Oklah, pi tunggu dulu ya, aku minta izin ma ortu dulu soalnya ortu sudah dirumah. Alfipun masuk kerumahnya dan lansung menuju kamar ortunya karna jam 10 malam biasanya ortunya udah tidur karna besok ada aktifitas lain. Diketoknya pintu kamar ortunya. Tak lama kemudian keluar mamanya dan disusul papanya. Ada apa lagi Fi? tanya mamanya Gini ma, pa, didepan ada Tiwi disini, dia ada masalah dengan suaminya,boleh nggak dia nginap disini ma, pa? Gila kamu, dia itu udah menghianati kamu jawab papanya Bunga yang kamu tanam, yang kamu rawat diambil orang, sudah susah-susah kamu rawat pi dia berpaling dari kamu, sekarang dia datang lagi, nggak boleh. Ma, pa, untuk sementara aja, kasihan dia ma. Dia aja nggak kasihan sama kamu. Bantah mamanya Ma nggak baik dendam, yang lau biarlah berlalu. Terserah kamu ajalah, toh ntar low kamu sakit hati jangan terpuruk lagi. Kata papanya Alfi pun menemui Tiwi dan mengajaknya masuk. Tiwi diantar kekamar tamu. Tiwi belom berhenti menangis dari tadi. Alfi jadi nggak tega ninggalinnya sendiri. Apalagi Alfi masih lom bisa melupakan Tiwi sepenuhnya. Dihatinya masih ada cinta untuk Tiwi meskipun dia sudah jadian sama Vita. Setelah Tiwi udah mendingan Alfi meninggalkannya. Jarum jam selalu berputar, Tiwi sudah sebulan tinggal dirumah Alfi. Kesmpatan berdua sering mereka lewati seperti

dulu lagi. Siang yang cerah banget Alfi sudah pulang dari sekolah, ia tidak kemana-mana karna dirumah masih mau nemani Tiwi. Tak disangka-sangka ternyata Vita datang kerumahnya. Ntah dalam rangka apa, Vita datang kerumahnya. Vit ada apa ya? Emang nggak boleh datang kesini ya? Boleh donk yank, masa nggak ada tujuan lain kesini sih? Kangen aja. Kan baru semalam ketemu. Tiba-tiba Tiwi keluar, Saudaranya ya? Iya, kita pergi yok jalan-jalan kemana gitu. Nggak bisa kak, ada tugas banyak dari kampus, kesini mampir bentar aja karna dekat dari kampus, ni juga mau pulang. Ohw gitu, hati-hati aja ya, Vita lansung meninggalkan rumahnya Alfi, ia tampaknya buru-buru banget.

Alfi pun duduk di ruang tamu sambil nonton. Tak lama kemudian Tiwi pun menghampinya dan duduk disebelahnya. Fi sepertinya aku lom bisa pulang hari ini, aku masih takut. Nggak apa-apa, sampai kapanpun nggak apa-apa. Makasih banget ya, keynya ku mau cerai aja sama suamiku Fi. Kamu serius, apa nggak ada penyelesaian dengan cara lain. Aku sudah nggak tahan ma dia, makasih ya kamu masih baik ma aku. Ya sama-sama, udah makan lom? Kamu masih perhatian sama aku ya, maafin aku ya. Ya aku dah maafin kok, ku mang nggak bisa nggak peduli ma kamu. Makasih ya kamu masih sayang ma aku, trus yang tadi siapa? Dia pacarku Wi, ku jadian ma dia untuk melupakan kamu. Setelah ku cerai kamu mau kan kita balikan lagi? Ku akui mang ku masih sayang sama kamu................... kata-katanya terputus karna ada suara benda jatuh. Alfi menengoknya keluar ternyata ada kucing yang tak jauh dari vas bunga. Setelah itu dia masuk lagi kedalam. Pembicaraan mereka Cuma sampai disitu karna mama Alfi minta diantar Alfi ke mall. Malam yang begitu dingin, diruang tamu ada Rendra and mamanya sedang nonton. Papanya masih lom pulang.Vita masih dikamar nggak keluar-keluar dari tadi siang. Ndra kamu masih berantem ma adek kamu? Biarin aja ma, biar dia bisa lebih dewasa. Sepertinya adikmu lagi ada yang nggak bisa ia selesaikan low ia sudah nggak keluar kamar. Iya ma, ntar aku samperin. Rendrapun melangkah kekamarnya, tiba ada bel yang bunyi. Ia tidak jadi kekamar Vita. Ternyata tamunya Alfi. Hey sob, pa kabarnya? tanya Rendra Baik aja, kabarmu gimana? Baik juga, yok masuk. Alfipun masuk, diruang Mungkin TV biasanya ia ia melihat Vita ngerjain tapi malam tugas ini ia tak menemukan Vita. pikirnya

Alfi dan Rendra memang lom bisa terpisahkan. Mereka berteman dari awal kuliah. Awalnya mereka berteman hanya karna merasa berasal dari Batam. Tapi tambah lama mereka tambah akrab saja karna adanya kecocokan antara mereka. Sampai sekarangpun mereka masih bersama-sama. Sudah lama Alfi tidak jumpa dengan Vita, dia kerumahnya juga nggak ada. Mampir kerumah Alfi juga nggak ada.Hujan deras sekali siang ini, Alfi dan Tiwi jalan bareng ke mall. Sebenarnya bukan jalan tapi ada keperluan disana. Tak sengaja ketemu Vita disana yang juga sama kakaknya Reni. Alfi pun senyum ke Vita, tapi Vita cuek aja. Malahan dia lanjut aja jalan tanpa menghiraukan Alfi. Alfi mengejarnya dan meraih tangannya, Kamu kenapa sih? Nggak ada apa-apa, ku lom siap aja mendengar semuanya,ntar aja pas pesta kakakku. Vita pergi begitu saja meninggalkan Alfi. Alfi tambah kebingungan melihat perubahan sikap Vita. Esok malamnya ada pesta pernikahan dirumahnya Vita. Pesta pernikahan Reni menikah dengan seorang dokter juga.Sebenarnya akad nikahnya kemaren dan pestanya dari pagi sampai malam. Karna juga bertepatan dengan ulta Rendra yang ke 28. Vita

Cuma tampak sebantar-bentar aja. Dia lebih lama dikamar daripada diluar. Rendra diluar sedang bersama temantemannya. Mey-mey datang menghampirinya; Kita kapan menyusul yank Ntar dulu pikirin tu ya, Vita ma kamu aja lom baikan. Kok key gitu, apa hubungannya? Kamu tanya hubungannya, kamu tau nggak dia tu adek bungsuku, adek kesanganku, adek kesayangan semuanya. Low adek kesayangan kenapa dia nggak bantuin, ni capek tau jadi pagar ayunya Mang dia kemana? Dikamar aja dari tadi Rendrapun menghampiri kamarnya Vita. Ia melihat Vita tidur dikasurnya masih pake kebaya. Rendra lansung menariknya, Kamu jangan kelewatan ya, ini masih pesta kakakmu, kamu masih enak-enak tidur disini, nggak bantuin sama sekali. Ya, maaf. Vita pun keluar Rendra Kamu tuh sekarang makin lama makin menjadi-jadi menahannya sopannya.

ya,

nggak

ada

Vita diam aja sambil menunduk, tiba-tiba ia ambruk di lantai. Rendra panik seketika tapi Rendy datang membawa Reni dan mamanya. Karna Reni seorang dokter terpaksa Reni yang menanganinya secara lansung. Rendy dengan emosi berkata; Kakak ni apa-apaan sih, ngomong key gitu ma Vita Nggak usah kamu belain dia, bukan bantu pi malah tidur. Aku yang nyuruh dia tidur, low terjadi apa-apa kakak harus tanggung jawab Apa-apaan kamu nih, udah merasa kegedean Udah-udah, ngpain kalian bertengkar karna anak angkat itu sih, toh juga bukan adek kandung kalian. Mey-mey berusaha menenangkan mereka berdua Dengar ya kamu, dia itu adek ku, nggak ada yang bisa menggantikan posisi dia, kakak yang cerita ma dia ya, brengsek juga kakak ya Rendy dengan emosi. Aku nggak pernah bilang kamu ya, jadi selama ini Vita benar, kamu yang cari gara-gara sama dia, sekarang juga kita putus. Kakak aja yang begok masa lebih milih dia daripada adiknya sendiri . Pergi sekarang kamu Mey-mey. Rendrapun masuk kedalam kamar Vita, ia mendekati Vita dan memegang tangannya. Tak lama kemudian Alfipun datang kekamarny a berdua dengan Tiwi. Rendra nggak ada menaroh rasa curiga apa-apa. Ia tau low Alfi sudah menjadi pacar adiknya dan ia juga tau low Tiwi mantan pacar Alfi. Vit bangun, ni kakak sayang. Vita Vita pun Ya Kakak Masa membuka Sayang kakak, tidak memeluk Cuma kak matanya. jangan akan Rendra, Rendra Dengan senang hati maafin tinggalin Vita pernah meninggalkan lalu yang Rendra kakak lagi kamu lansung ya lagi mau berkata; ya. kakak. sayang. berkata; donk.

tiba-tiba dipeluk, kakak

Rendy juga

Vita dan Rendra senyum lalu mereka memeluk Rendy. Pesta masih berlanjut, diluar masih banyak tamu. Vita hanya dikamar saja karna ia malas bertemu dengan Alfi.Pestapun selesai, semua pada pulang dan tidur karna sudah malam. Hari demi hari dilewati Vita bersama kakak-kakaknya. Meskipun Rendy sudah balik ke Jakarta. Tapi sekarang ia sudah nggak sepi lagi karna Rendra sudah seperti dulu sama dia. Sabtu siang yang cerah, Vita dan Rendra mau jalan berdua kesebuah mall. Sebelumnya Rendra jemput Vita kekampusnya keberulan Vita ada kuliah. Sesampai di depan gerbang kampus Rendra kaget melihat Vita didorong-dorong sama Mey-mey dan temannya. Dengan cepat Rendra menghampiri mereka. Apa-apaan nih, kamu nggak apa-apa sayang? tanya Rendra pada Vita Sekali lagi kalian ganggu adik saya, saya akan hajar kalian berdua. Adik loe? Bukannya adik angkat. Siapa bilang adik angkat, dia adik kandung saya, jadi nggak usah sok tau deh. Meskipun dia adek kandungmu, masa loe lebih milih adik loe daripada pacarmu. Ya saya lebih milih adik saya, kenapa? Ya udah nikahi aja adekmu. Kata teman Mey-mey sambil ketawa.

Nggak ada yang lucu ya, saya memilih adik saya karna cewek yang ku belain tu nggak ada baiknya. Nggak ada baiknya, maksudnya? Masa baru jadi pacar aja dia udah berani memecah belahkan keluarga saya, masa dia berani mengadu domba saya sama adik saya, gimana saya memilih dia. Masa iya? Ya begitulah. Rendra dan Vita meninggalkan mereka dengan senyum-senyum. Mereka melanjutkan perjalanan ke DC mall. Rendra mau beliin Vita baju dan apapun yang Vita mau untuk menebus kesalahannya pada adiknya. Vita kalau bersama Rendra manjanya makin menjadi-jadi karna Rendra adalah orang yang paling memanjakannya bahkan melebihi papa dan mamanya. Papa dan mamanya tidak terlalu memanjakan anak-anaknya. Kalau bersama Rendy, Vita juga akrab karna umurnya tidak jauh beda. Kadang mereka sering juga berantam, tapi paling cuma sebentar karna mereka tidak bisa berantam lama-lama. Meskipun sering berantem Rendy sangat menyayangi Vita melebihi apapun. Intinya semua menyayangi Vita. Reni juga begitu, dia rela memberikan barang ia sayangi ke Vita. Vita sedang menikmati belanjanya bersama Rendra. Kak ini bagus loh buat kakak. Vita menunjuk sebuah baju cewek yang seksi banget. Eh kurang ajar ya. Rendra mengejar Vita yang berusaha lari dari Rendra. Tak disengaja Vita menabrak seseorang, orang itu tak lain adalah Dean. Maaf nggak sengaja. Ya nggak apa-apa, kamu dah putus ma kak Alfi ya? Cari yang baru dong, masa kalah trus. Rendra Ni pun pacar sampai baruku. Vita ditempat memeluk Vita, Rendra.

Dean dan Rendra Jangan-jangan Dean kenal kak Kenapa ketawa? Dia tu udah kenal kakak dari sebelum kamu pacaran ma dia. Kamu tuh gengsinya lom hilang-hilangnya ya. Dean mengusap Ya udah bareng kami aja belanjanya

ketawa cekikian. Rendra. Pikir Vita tanya Vita jawab kakaknya tambah ketawa. kepalanya sambil senyum-senyum. Yan ajak Rendra.

Deanpun setuju dengan ajakan Rendra. Dilantai dua mereka bertemu dengan Alfi dan Tiwi. Sepertinya mereka juga belanja banyak. Rendrapun menegurnya; Disini juga bro? Iya, jawab Alfi sambil senyum Yan temani ku kesana donk, kakak ngobrol aja dulu ya. Vita pun menarik tangannya Dean. Alfi hanya bisa melihat kejadian itu. Karna ia tau pasti Vita menjauhinya. Setelah 15 menit jalan berdua dengan Dean akhirnya Vita mendekati Kakaknya karna ia melihat Alfi sudah pergi dari kakaknya. Kak pulang yok. Ye setelah misinya selesai ku ditinggal nih. Vita hanya Sory ya diam Yan, dan Rendra menarik melambaikan tangan tangan kakaknya. kirinya

Mereka berdua pulang kerumahnya. Vita tampak kesal sekali hari ini. Ntah kesal sama Dean ntah sama Alfi. Dimobil mukanya manyun aja. Tak ada satupun senyum yang menghiasi wajahnya. Rendrapun bertanya; Kamu ada masalah apa dengan Alfi? Nggak ada apa-apa kak. Kok gitu mukanya? Ato masih kesal ma Dean? Dean sudah ku maafkan, kami sudah biasa-biasa aja, masa kakak nggak tau sih? Tau apanya sayang? Jadi Alfi nggak cerita ma kakak ya, mantannya minta balikan ma dia, dia tu macari Vita karna pengen lupain mantannya, mantannya minta balikan ma dia, dan Alfi bilang dia memang masih mencintai mantannya, otomatis dia ketemu aku pengen minta putus, ku lom siap diputusin dia kak. Kok Alfi nggak cerita ya, dia memang mencintai mantannya melebihi apapun. Jadi Vita harus key mana kak? Ya terima aja semua dengan lapang dada. Kenapa Vita terjebak cinta key gini kak? Udah mendingan kamu temuin dia, nggak baik menggantung hubungan orang lain.

Kak, kak Rendy minggu depan wisudah kan? Vita mau ke Jakarta aja ah. Kak Rendy kan nggak jadi pulang, mama ma papa kan dari Surabaya lansung aja ke Jakarta, jadi pergi ma siapa? Sendirian aja, suntuk banget disini. Mang berani? Jangan menghindar dari masalah ya, low Kakak nggak sibuk kakak akan antar kamu ke Jakarta. Pembicaraan mereka terpotong sampai disitu karna keduanya sudah sampai dirumah. Rumah tidak sesepi seperti biasa, ternyata Rendy pulang kerumah bawa teman-teman kuliahnya. Lumayan menghibur Vita, dan Vita tampak senang karna ia nggak kuatir lagi mau ke Jakarta sendirian. Malam ini Rendy main dalam kamar Vita. Ia menyuruh Vita untuk temui Alfi kerumahnya. Vit kakak dirumah Cuma 2 hari, besok kita sibuk semua, jadi sekarang aja, low kamu pulang dari Jakarta sakit hati kan nggak seru banget. OK, antar kesana kak. Merekapun keluar rumah, tapi niat mereka batal ke rumah Alfi karna Alfi sudah nyampai disana bareng Rendra. Vita pun mendekati Alfi. Sedangkan Rendra dan Rendy masuk kedalam rumah. Aku dah siap sekarang, silakan. Siap ngapain Vit? Aku tau kakak macari aku karna Cuma sebagai pelampiasan air matanya Vita mulai meleleh. Kamu tau dari siapa? Aku dah dengar semuanya waktu aku terakhir kerumah kakak, cewek itu mantan kakak, and kakak pengen balikan sama dia kan? Silakan aja putusin aku. Jadi kamu dah tau soal itu? Ya, maaf udah jadi penghalang cinta kakak, sekarang saya siap kakak putuskan. Emang kamu iklas melakukan semua ini? Aku udah iklas meskipun perih, mungkin udah suratan aku key gini trus. Tapi jangan tinggalkan aku Vit, aku nggak mau kamu kemana-mana. Udahlah kak. Aku mencintai kamu, kamu nggak dengar semua kejadian itu sampai habis, kami nggak balikan kok karna aku sayang sama kamu Vit, jangan pergi Vit, aku nggak akan bisa jarak jauh sama kamu. Aku nggak ngerti ucapan kakak. Kakak tu sayang kamu, kamu orang yang terakhir kakak sayang, Kamu nggak usah pindah kuliah ke Jakarta ya Vit. Vita Siapa ketawa yang mau Jadi Iya, Nggak Kamu pindah, aku kakak berarti lah, kenapa tu ke Jakarta Cuma menyaksikan wisuda dibohongi kakakmu kita nggak putus kan kan Rendra tau cekikian ketawa? kak Rendy. dong kak? semuanya. Apa?

Vita lansung masuk kedalam mencari Rendra. Jadi kalian berdua nipu aku ya kak, kakak tau low Alfi tu nggak balikan ma mantannya, ihhhh nyebelin banget sih. Sambil mencubit kakaknya Rendra Rendra menahan sakit, karna cubitan Vita sangat sakit sekali. Kakak nggak ikutan ya? Rendy lari menjauh Nggak ikut apanya mengejar Rendy Eh ada pa ni? Tanya mamanya yang keluar dari kamar Jadi mama dirumah? Tanya Vita. Iya, dari tadi mama dirumah, mama disuruh dikamar sama kakak-kakak kamu, katanya biar dapat menantu baru. Lamar sekarang aja Kak Alfi Rendy sambi ketawa Tante saya sayang sama anak tante, mau nggak tante ambil saya sebagai menantu tante. Semua pada nyorakin Alfi Setuju saja, kan kami dah lama kenal nak Alfi, berpulang sama yang mau dilamar aja, mau apa nggak? Mau jawab Vita menunduk malu Suasana Tapi ada semakin syaratnya, heboh Vita mau mendengar nikahnya setelah jawaban kak Rendra Vita nikah. kepala. Rendra.

Semua makin heboh kecuali Rendra dan Alfi. Rendra garuk-garuk Jangan bawa-bawa kakak dong, low mau duluan nggak apa-apa. Jawab

Nggak mau,ditunggu pokoknya Penuhi aja kak Rendy dengan ketawa Loe pikir gampang syaratnya Rendra mengusap kepala Rendy Jadi aku harus menungu Rendra dulu donk Alfi dengan manyun Kan sahabat sejati jawab Vita sambil ketawa Ternyata kita benar-benar sohib sejati Ndra, masalah nikah aja harus saling menunggu. Iya, sorry ya, ni karna syarat adikku yang tolol ini.

Semua yang ada dirumah ketawa senang mendengar semua itu. Bahkan teman-teman Rendy juga nggak tahan menahan tawa. Hubungan mereka semua membaik malam itu juga.Rendra pun berjanji akan cari jodoh secepatnya supaya Alfi tidak kelamaan menunggunya.

CINTA CEWEK DEPRESI Cerpen Dina rochmatun


HAI , kok duduk sendirian??? kata seorang cowok yang tiba-tiba sudah ada didepan Vaya Vaya kaget. Dia menatap seorang yang menyapanya dengan ketakutan. Jangan takut, aku cuman kepingin nanya tahu laboratorium nggak???? tanya cowok itu dengan tenang Vaya kemudian menggeleng. Owh! Tidak tahu ya..????? eh ngomong-ngomong kamu lagi ngapain disini??? tanya seorang cowok itu lagi. Sekali lagi Vaya menggeleng. Cowok itu menatapnya sambil tersenyum. kok diam saja??? tanya cowok itu heran, dia sekilas melihat Vaya yang sedang duduk dan memandang kearah depan dengan pandangan kosong. Dia tidak tampak seperti orang sakit! Lalu mengapa dia kerumah sakit???? Bukankah rumah sakit itu tempat orangorang yang sakit eaa???? Kata cowok itu dalam hati. nunggu siapa????? sekali lagi cowok itu bertanya. Tetapi Vaya hanya diam saja. Tidak memberi respon, akhirnya cowok itu capek sendiri. Cowok itu duduk di sampingnya.Heeeeeeemmt!,. PENYIAR RADIO SAJA! kata cowok itu tanpa merasa kesal. ngomong sama kamu kayak ngomong sendiri! Salah-salah aku yang diseret ke situ! dikira GOKIEL!!!!!!!!!!!! Cowok itu ketawa geli ktika dirasanya dia tertawa sndiri, karena Vaya diam saja, langsung saja tawanya berhenti. Di awasinya Vaya sambil menyeringi jenaka. kamu gak bisa ngomong, gak bisa ketawa????????? kata cowok itu. DIA BISU..!!!!!!! kata tante sarah yang tahu-tahu sudah berdiri tegak disamping Vaya, Vaya tidak tahu kalau tantenya sudah ada di sampingnya dari tadi. Vaya, AYO KITA PULAAAAAAAANG! Vaya lalu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan meninggalkan cowok itu. maaf, Tante!!! cowok itu berlari mengejar Vaya dan menghadang dari depan Vaya. Vaya langsung memandang cowok itu dengan pandangan tidak mengerti, apa maksud cowok itu menghadangnya. Cowok itu membalas tatapan Vaya dan sesaat mereka berdua saling bertatapan. Mengetahui hal itu tante sarah langsung mendehem Ehhhheeeemmmtt!!!!!!!... maaf ya dek! Ada apa adek ini memanggil-manggil dan menghadang di depan?????? Katakan saja sebenarnya apa maksud adek!!!! Maaf tante!!!! Aku hanya ingin berkenalan dengan. Cowok itu memandang Vaya. Owhhhh! Namanya Vaya! kata tante sarah sambil menghela nafas panjang. Dasar anak muda zaman sekarang. Vaya tante?????????, cowok itu langsung mengulurkan tangan kananya pada Vaya Hai! Vaya, namaku DIYAN!!!!!! kata cowok itu sambil tersenyum. Vaya hanya memandang uluran tangan cowok ini, dia tidak membalas uluran tangannya. Vaya.., Diyan ingin berteman dengan mu, ayo jabat tangan!!!!!! ragu-ragu Vaya membalas jabatan tangan cowok itu. senang berkenalan denganmu Vaya, mulai sekarang kita berteman yaaaa!!! pinta cowok itu. Sejak kecil Vaya selalu sendiri, kesepian. Dia tidak mempunyai seorang teman. Maklumlah kondisi Vaya yang seperti ini, lagi pula mana ada yang betah berteman denganya. Tapiiiii yang satu ini benar-benar lain daripada yang lain. Sepertinya cowok ini benarbenar tulus ingin berteman dengan Vaya. tante.! Boleh kan saya bermain main kerumahnya Vaya???????? TENTU sahut tante Sarah setengah kaget. Main-mainlah kalau nak Diyan sempat!!!! tante sarah lalu memberikan alamat rumahnya ke cowok itu. Suatu hari cowok itu benar-benar ,main ke rumah Vaya, dia datang ke alamat rumah sesuai dengan alamat rumah yang diberikan tante Sarah. Selamat sore , Tante. Vayanya ada?????. tante sarah terperagah kaget. Dia bener-bener tidak menyangka kala cowok yang dulu pernah ia temui di rumah sakit, tiba-tiba sudah berdiri tegak di depanya sambil menggenggam seikat bunga mawar merah di tangan kananya.

Tetapi Diyan tampaknya tidak kecwA KETIKA Vaya muncul tidak menaruh perhatian pada seikat bunga itu. Soalnya Vaya juga bingung mau di apakan bunga itu?????!!!!! Diyan membawakan Kamu bunga Vay, kata tante arah. lain kali ku bawakan kamu coklat Vay!!!!!!!... kata Diyan sambil tersenyum. Sama ekali tidak kecewa melihat sambutan Vaya. Vaya, kamu suka coklat..????? Vaya Cuma mengangguk. Ke esokan harinya Diyan datang lagi kerumah Vaya, Diyan benar-benar membawakan setumpuk coklat untuk Vaya. kamu suka yang ada kacangnya ya Vay.????? Kalau aku, lebih suka yang ada anggurnya ini. Mau coba??????? Dan mereka makan coklat dengan asyiknya seperti dua orang anak kecil. Tante sarah benar-benar merasa aneh, yang seperti ini belum pernah terjadi. Sudah 9 tahun Vaya dikucilkan teman-temanya, akhirnya sekarang Vaya mempunyai seorang teman juga.. tetapi!, tman yang benar-benar di luar dugaan tante sarah. Diyan dua tahun lebih tua daripada Vaya. Fisiknya normal, mentalnya juga normal, lagak-lagukmya seperti anak muda zaman sekaran, penampilanya pun demikian. Mengapa seorang seperti Diyan mau saja berteman dengan seorang gadis seperti Vaya???? Dia pasti tidak kekurangan teman. Untuk apa dia mendekati Vaya????.... fikir tante sarah. Tak terasa satu tahun sudah lamanya hubungan pertemanan Diyan dengan Vaya. Tante sarah heran. Hubungan yang disangkanya tidak berlangsung lama itu, ternyata cukup langgeng. Diyan semakin sering datang kerumah mereka. Dan Vaya..!!! ini yang membuat tante sarah cemas dan bercampur gembira. Dia mengalami banyak perubahan. Kalau dulu Vaya males mandi, tidak mau menyisir rambutnya kalau tidak didesak-desak tante sarah, sekarang dia malah mandi sebelum diuruh, sudah menyisir rambutnya, sebelum tante sarah sempat mengambil sisir. Dan dia mulai memilih-milih baju yang akan dipakainya kalau sedang menunggu kedatangan Diyan. Meskipun dia masih tetap membisu, jelas ada hubungan yang lebih erat diantara mereka. Seperti hari ini, dengan caranya sendiri Vaya meminta tantenya untuk mendandaninya. Meskipun bingung, tante satrah tak urung merasa terharu. Akhirnya Vaya memperoleh juga masa keremajaanya.. benarkah Diyan orang yang dikirim Diyan untuk menolong Vaya dari kumparan DEPRESINYA?????... tentu saja tante sarah tidak mengetahui Diyanlah justru yang mendorong Vaya untuk berdandan. kamu cantik sekali Vay???? katanya suatu hari. Gadis yang paling cantik , yang pernah qaku kenal. Entah dia berbohong atau tidak, perasaan Vaya saat itu benar-benar senang. Kenapa kamu gak mau memotong rambutmu sedikit Vay?? Biar lebih Modis, .. model rambut mu KUNO!!!!!!! Dan wajahmu.. mengapa selalu sepucat itu?????... tau nggak , kamu tampak lebih keren kalau bibirmu lebih merah sedikit, Mata mu lebih bersinar, pipimu lebih bercahaya. Pendeknya LEBIH CANTIK, DEH!... lihat tante sarah mu,, sudah tua khan dia?? Tetapi tetap cantik! Tahu kenapa??????? Karna dia merawat dirinya !!!! kamu juga bisa lebih cantik daripada tante sarahmu Vay!!!... lha.. kamu khan jauh lebih muda!!!!!,,,,, MASAK kamu kalah siiiiiiiiih sama Tante-tante????????? Tentu saja Diyan mengatakanya sambil bergurau . tapi bagi Vaya sendiri, gurauan Dyan itu sungguh menggugah keinginanya untuk mengubah penampilan. Kalau begitu yang di sukai DIYAN selama ini. Vaya sendiri juga heran. Mengapa selama ini dia ingin menyenangkan hati DIYAN????? Rupanya di hati Vaya sudah mulai tumbuh benih-benih cinta. Setiap bertemu dengan Diyan , jantungnya selalu berdetak lebih kencang dari biasanya. Owhhh! Apakah ini yang namanya CINTA?????? Tanya Vaya dalam hati. Vaya benar-benar tidak dapat memahami dirinya. Dan tibalah saat-saat yang ditunggu-tunggu Diyan untuk menyatakan cintanya ke Vaya. Saat itu Diyan mengajak Vaya untuk jalan-jalan di taman, awalnya tante sarah tidak mengizinkan . tapi keinginan Vaya yang kuat membuat Vaya kembali bisa berbicara dan mengatakan keinginan hatinya kepada tantenya. Tante., apa aku harus terus-teruan di kurung di rumah????? Apa aku nggak boleh pergi jalan-jalan melihat keindahan alam di sana tante???? kata Vaya sambil menangis. Mendengar Vaya dapat berbicara lagi Tante Sarah pun bahagia. Vaya kamu bisa berbicara LAGI???????... kata tant sarah. iya, ..Vaya kamu bisa berbicara lagi???!!!!!!!!!. Diyanpun tersenyum bahagia. ya sudah tante izinkan kamu pergi. Tapiiiiiiiiii. Pesen tante hati-hati ya Vaya!!!!!!

Vayapun

berangkat

menghapus dulu

air tante..!!!!!!!

matanya kata

iya Diyan

tante..! berpamitan.

Akhirnya datang juga keajaiban yang selama ini di tunggu-tunggu tante sarah sejak 9 tahun yang lalu. Vaya yang tidak bisa ngomong alias BISU! Sekarang dapat kembali berbicara dan NORMAL seperti anak-anak seusianya. Bukan hanya tante Sarah yang berbahagia, Vayapun jauh lebih bahagia dari tantenya. Vaya kini sekarang bisa bersama orang yang ia cintai yaitu DIYAN, dan DIYAN pun juga merasakan hal yang sama.

Anda mungkin juga menyukai