Anda di halaman 1dari 21

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Banyaknya produk import yang masuk di pasaran membuat produk buatan lokal kita semakin tidak diminati. Ada beberapa faktor yang mendorong masuknya barang impor ke pasar lokal, diantaranya masih terbukanya ceruk pasar karena keterbatasan pasokan, rendahnya tingkat persaingan, tingakat harga yang menarik, dan banyaknya jumlah konsumen. Meskipun faktor-faktor itu mendukung, tidak semua barang bisa memasuki pasar lokal karena ketentuanmengenai impor sudah mengatur komoditas yang bebas masuk, barang yang dilarang, komoditas yang impornya diatur. Beras termasuk yang impornya diatur sehingga pemerintah tidak mengizinkan beras dari luar negeri memasuki pasar domestik manakala angka produksi minimal sama dengan kebutuhan. Pengaturan masuknya komoditas tertentu karena kehadiran barang impor akan melemahkan daya saing dan juga motivasi masyarakat untuk berproduksi. Keputusa pemerintah mengimpor beras tentu sudah melalui pertimbangan matang, terutama setelah melihat realisasi prognosa Bulog yang di bawah target. Pada waktu lalu komisi B DPRD Jawa Tengah beberapa waktu lalu meminta klarifikasi tentang beberapa produk impor, yang notabenen produk unggulan daerah Jateng, yang masuk ke pasar Jateng, khususnya beras dan kentang. Menarik untuk dibahas karena produksi beras di provinsi ini tahun 2011 melampaui kebutuhan masyarakat. Demikian pula kentang, produksinya melebihi kebutuhan, bahkan kontribusi terhadap produksi nasionalmencapai 30%. Hal sama terjadi pada bawang merah sehingga harga yang biasanya diatas Rp. 6.000 per kg terjun bebas di angka Rp. 2.000-Rp. 2.300 karena banyaknya bawang merah impor dari Vietnam, China, dan India. Harga itu jauh di bawah biaya produksi budidaya bawang merah di

tingkat petani yang berkisar Rp. 4.500-Rp. 6.000. melihat fakta itu, sepertinya tidak ada yang menghargai kerja keras petani. Konsumen juga tidak bisa disalahkan mengingat mereka tidak akan menanyakan barang ini lokal atau impor. Sepanjang memenuhi ekspektasinya, antara lain harga lebih murah, sah-sah saja mereka membelinya. Adapun kentang dan bawang merah, termasuk kelompok barang yang tidak diatur impornya, sehingga bisa bebas masuk ke pasar lokal. Untuk kategori itu, tiap importir bebas mendatangkannya ke Indonesia. Barang yang didatangkan akan semakin banyak jika pasar merespon secara positif. Pemerintah harus memperhatikan penyebarannya di pasar sehingga komoditas itu tetap bersifat komplementer dan tidak mengganggu produksi dalam negeri. Melihat banyaknya barang impor di pasar yang sebenarnya bisa dihasilkan oleh bangsa sendiri, membuat kita prihatin dan tidak rela. Buah-buahan impor makin luas beredar di pasran, termasuk bebrapa komoditas sayuran, yang bahkan mendominasi pasar lokal. Padahal, tanah yang subur ini bisa menghasilkan buah yang lebih segar, manis, dan lebih taste ketimbang buah impor. Untuk sayuran bisa dipastikan hampir tidak ada bawang putih lokal, semuanya impor. Sepertinya tidak ada satu jenispun kebutuhan kita, terbebas dari barang impor. Bahkan yang diimpor tidak hanya baru tetapi juga barang bekas. Kadang kita berpikir untuk membatasi, bahkan melarang, masuknya barang impor yang sebenarnyabisa kita hasilkan. Kalupun bisa masuk, kita batasi peredarannya tidak di daerah sentra produksi. Namun siapa yang bisa mengawasi batas-batas tersebut. Konsekuensi sebagai negara dengan prinsip ekonomi terbuka, bahkan sudah menandatangani beberapa traktat tentang kawasan perdagangan bebas, berarti harus membuka pasar seluas-luasnya. Kita sering menginginkan pasar luar negeri dibuka seluas-luasnya, namun di sisi lain kita juaga sering bercita-cita membatasi barang impor. Padahal prinsip perdagangan bebas menganut konsep resiprokal, artinya bila pasar Indonesia membatasi masuknya barang impor dari satu negara maka negara itupun berhak membatasi masuknya barang-barang dari indonesia.

B. Rumusan Masalah Dari rumusan masalah di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan dalam makalah ini sebagai berikut : 1. Apa penyebab semakin tidak diminatinya produk buatan Iokal? 2. Mengapa produk impor lebih diminati? 3. Bagaimana kondisi pasar di Indonesia saat ini? 4. Bagaimana respon konsumen terhadap produk lokal dan impor? 5. Apa saja produk impor yang masuk di pasar Indonesia?

C. Tujuan Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui bagaimana keadaan pasar di Indonesia saat ini. 2. Untuk membuat masyarakat Indonesia lebih mencintai produk buatan lokal. 3. Untuk menyadarkan pemerintah agar membatasi barang impor yang masuk ke Indonesia.

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Sistem Ekonomi Berbagai permasalahan ekonomi yang dihadapi oleh semua negara di dunia, hanya dapat diselesaikan berdasarkan sistem ekonomi yang dianut oleh masingmasing negara. Perbedaan penerapan sistem ekonomi dapat terjadi karena perbedaan pemilikan sumber daya maupun perbedaan sistem pemerintahan suatu negara. Sistem ekonomi merupakan perpaduan dari aturanaturan atau caracara yang menjadi satu kesatuan dan digunakan untuk mencapai tujuan dalam perekonomian. Suatu sistem dapat diibaratkan seperti lingkaran-lingkaran kecil yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Lingkaran-lingkaran kecil tersebut merupakan suatu subsistem. Subsistem tersebut saling berinteraksi dan akhirnya membentuk suatu kesatuan sistem dalam lingkaran besar yang bergerak sesuai aturan yang ada. Sistem ekonomi dapat berfungsi sebagai : a. Sarana pendorong untuk melakukan produksi b. Cara atau metode untuk mengorganisasi kegiatan individu c. Menciptakan mekanisme tertentu agar distribusi barang dan jasa terlaksana dengan baik. Macam-macam Sistem Ekonomi Sistem ekonomi sebagai solusi dari permasalahan ekonomi yang terjadi dapat dibedakan menjadi 4 macam, yaitu : 1. Sistem Ekonomi Tradisional
4

2. Sistem Ekonomi Pasar (Liberal/Bebas) 3. sistem ekonomi Komando (Terpusat) 4. Sistem Ekonomi Campuran

B. Banyaknya Produk Impor di Indonesia Impor baik sektor minyak dan gas dan sektor non-migas pada Januari 2012 tercatat sebesar 14,57 miliar dollar AS. Atau, naik dari Januari tahun sebelumnya dengan 12,56 miliar dollar AS. Impor non-migas Januari 2012 sebesar 11,58 miliar dollar AS atau naik 20,80 persen. "Share(porsi) yang terbesar adalah mesin dan peralatan mekanik 2,32 miliar dollar AS, dan mesin dan peralatan listrik dengan 1,57 miliar dollar AS," ujar Kepala Badan Pusat Statistik, Suryamin, dalam konferensi pers, di Jakarta, Kamis (1/3/2012). Jika dilihat dari negara sumber impor, China, Jepang, dan Singapura menjadi tiga besar dalam hal porsi dari total impor Indonesia. Porsi impor dari tiga negara ini mencapai 44,25 persen. China yang terbesar nilainya dengan 2,53 miliar dollar AS. Dari kelompok penggunaan barang, impor bahan baku atau penolong mencapai 71,94 persen dari total impor. Turun dari 75,06 persen pada Januari 2011. "Barang modal malah meningkat porsinya dari 16,74 persen menjadi 20,38 persen pada Januari 2012," ucap Suryamin. Sementara itu, porsi barang konsumsi pada Januari 2012 sebesar 7,68 persen dari total impor. Dengan demikian, sekalipun ada kenaikan angka impor, Indonesia masih mencatat angka surplus sebesar 923,4 juta dollar AS pada Januari 2012. Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan. Distribusi dan Logistik, Natsir Mansyur, mengatakan, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) pengganti Permendag 39/2010 tentang Ketentuan Impor Barang Jadi harus segera dikeluarkan. Pasalnya, setelah Permendag tersebut dicabut Mahkamah Agung, lembaga ini memberikan tenggat waktu 90 hari untuk dikeluarkannya aturan yang baru.

Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) telah memutuskan, pasal 2 ayat (1) juncto pasal 1 angka 3 Permendag 39/2010 tentang Ketentuan Impor Barang Jadi oleh produsen tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh sebab itu, Kementerian Perdagangan diketahui akan terbitkan Permendag baru dengan alasan untuk mengakomodasi kepentingan investor untuk kebutuhan produksinya. "Dengan pertimbangan masa waktu yang pendek ini pengusaha (harus) ada kepastian. Diharapkan Permendag yang baru lebih selektif dan lebih rinci siapa saja importir produsen itu," kata Natsir, dalam rilis yang diterima Kompas.com, Minggu (26/2/2012). Seharusnya, kata Natsir, jangan ada lagi importir produsen abal-abal. Oleh karenanya, kajian terhadap importir produsen itu harus jelas. Dalam hal ini, keterlibatan Kementerian Perindustrian sangat besar dalam menyeleksi importir produsen yang mendapatkan fasilitas izin importir produsen, yakni importir yang selama ini sudah mendapat fasilitas impor barang jadi sebagai penunjang seperti komponen suku cadang untuk diproduksi sebagai barang jadi. "Pelaku industri jangan manja impor barang terus-terusan, impor suku cadang barang jadi," tegas dia. Natsir menilai, Kemenperin perlu memberikan batas waktu kriteria teknis dan waktu impor barang jadi setiap importir yang dapat izin untuk diproduksi dalam negeri. Dengan demikian, industri suku cadang dalam negeri tumbuh dan berkembang. Pengusaha dalam negeri pun lebih mudah dalam memproduksi barang jadi sehingga tidak perlu lagi mengimpor barang jadi sebagai penunjang. Ke depan, Kadin berharap industri dalam negeri, seperti industri otomotif, sandang pangan, hingga manufaktur, akan lebih berkembang. "Kita perlu mengamankan pasar domestik, membangun industri yang mandiri sebagai penunjang pasar domestik, memberikan insentif kepada industriawan. Bukan saatnya lagi industri dalam negeri nampak besar tapi menikmati fasilitas, mendapat perlindungan dengan berbagai alasan untuk menikmati pasar domestik Indonesia, sehingga ke depan Indonesia harus bisa memunculkan industriawan bukan trader (pedagang)," pungkas Natsir.
6

Wakil Menteri Pertanian Rusman Heryawan menyatakan jumlah impor buah dari luar negeri empat kali lebih banyak ketimbang ekspor buah dari Indonesia ke luar negeri. Ia menyebut ekspor buah lokal ke luar negeri pada tahun 2010 mencapai US$170 juta. Ini jauh lebih kecil ketimbang nilai buah impor yang masuk, yakni mencapai sejumlah US$700 juta. "Jadi, jumlah buah impor empat kali lipat dari nilai ekspor. Namun, jumlah tersebut adalah kategori ekspor, sedangkan untuk pasar dalam negeri masih dikuasai barang lokal," katanya, Kamis (23/2), di Temanggung. Menurutnya, untuk pasar dalam negeri, buah dan sayur lokal masih menguasai pasar. Ia meminta masyarakat bangga dengan produk lokal. Ia mencontohkan di Thailand buah salak yang produksinya tidak besar dan tidak terlalu bagus, tetapi mereka cukup bangga dan dijadikan sajian dalam pesawat kelas bisnis. Sedangkan, di Indonesia yang sebenarnya banyak buah-buahan yang memiliki kualitas terbaik tidak dimanfaatkan maskapai di Indonesia . "Maskapai di Indonesia dan hotel-hotel masih belum mau terbuka dengan produk-produk pertanian dalam negeri. Ini yang perlu dikembangkan. Juga eksportir mesti punya nasionalisme terhadap produk lokal, sehingga melindungi petani kita," ujarnya. Dalam kesempatan itu, ia juga mencanangkan konsumsi sayur dan buahbuahan dalam negeri. "Kami meminta kantor-kantor gubernur, bupati serta kementerian dilarang menyuguhkan buah anggur dan lain-lain yang berbentuk impor. Maka sekarang adanya adalah buah yang dihasilkan dari dalam negeri yang disuguhkan," katanya. Jeruk Singkawang Melihat banyaknya barang impor di pasar yang sebenarnya bisa dihasilkan oleh bangsa sendiri, membuat kiat prihatin dan tidak rela. Buah-buahan impor makin luas beredar di pasar, termasuk beberapa komoditas sayuran, yang bahkan mendominasi pasar lokal. Padahal, tanah yang subur ini bisa menghasilkan buah yang lebih segar, lebih manis, dan lebih taste ketimbang buah impor. Untuk sayuran, bisa dipastikan

hampir tidak ada bawang putih lokal, semuanya impor. Sepertinya tidak ada satu jenis pun kebutuhan kita, terbebas dari barang impor. Bahkan yang diimpor tidak hanya baru tetapi juga barang bekas. Kadang kita berpikir untuk membatasi, bahkan melarang, masuknya barang impor yang sebenarnya bisa kita hasilkan. Kalaupun bisa masuk, kita batasi peredarannya tidak di daerah sentra produksi. Namun siapa yang bisa mengawasi batasbatas tersebut, bahkan sudah menandatangani beberapa traktat tentang kawasan perdagangan bebas, berarti harus membuka pasar seluas-luasnya. Kita sering menginginkan pasar luar negeri dibuka seluas-luasnya, namun di sisis lain kita juga sering bercita-cita membatasi barang impor. Padahal prinsip perdagangan bebas menganut konsep resiprokal, artinya bila pasar Indonesia mambatasi masuknya barang impor dari satu negara maka negara itupun berhak membatasi masuknya barang-barang dari Indonesia. Dengan demikian, pilihan untuk membatasi impor memang dibatasi oleh keinginan kita untuk memperluas ekspor. Membatasi impor dengan regulasi adalah pilihan yang paling efektif, namun hal ini tidak menciptakan iklim persaingan di kalangan produse dalam negeri. Bagaimana langkah terbaik agar kehadiran komoditas impor tidak menyebabkan bangsa kita sangat bergantung pada bangsa lain demi menopang kehidupannya, adalah pertanyaan yang harus dijawab dengan visi ke depan, bukan emosi sesaat.

Kisah jeruk singkawang bisa menjadi potret bahwa produk domestik pun sebenarnya bisa menaklukkan produk impor. Sebelum 2007, pasar jeruk di Kalimantan Barat dikuasai jeruk dari Malaysia. Jeruk dari Kalimantan yang terkenal saat itu, sudah habis oleh penyakit cetrus vein phloem degeneration (CVPD), yang virusnya menyerang dan menghancurkan jeruk lokal. Namun, petani jeruk di Singkawang tidak pernah berhenti berusaha, mereka terus mengembangkan kebun jeruk yang luasnya ribuan hektare.

Penulis pernah mengunjungi satu perkebunan besar jeruk di daerah itu, yang
8

mempekerjakan ratusan tenaga kerja dari Klaten. Di sana tidak hanya perkebunan jeruk tapi juga ada pabrik khusus untuk mengemas jeruk yang siap dikirim ke luar negeri. Setelah tahun 2007, ketika jeruk singkawang mulai panen, secara bertahap tapi pasti, jeruk dari Malaysia mulai menghilang dari pasar-pasar Pontianak dan Singkawang. Keberadaannya digantikan oleh jeruk singkawang, bahkan jeruk dari Kalimantan Barat itu bisa menguasai pasar di Malaysia.

Keberhasilan jeruk singkawang kembali menguasai pasar lokal dan ekspor karena petani mengelola kebun jeruknya secara efisien sehingga harga jualnya pun lebih kompetitif ketimbang jeruk impor. Dengan menggunakan konsep skala ekonomi, kebun jeruk di Singkawang kini telah menjadi sumber perekonomian masyarakat dan berhasil mendongrak pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut. Intinya, barang-barang impor akan keluar dari pasar lokal bila harga produk lokal lebih kompetitif dan kualitasnya selalu terjaga.

C. Defisit Perdagangan Terus Membesar Neraca perdagangan (perbandingan ekspor dan impor) produk industri Indonesia menunjukkan posisi defisit yang terus membesar. Direktur Jenderal Kerja Sama Industri Internasional Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Agus Tjahajana mengatakan, penyumbang defisit terbesar dari industri barang modal dan produk konsumsi, misalnya neraca perdagangan produk industri Indonesia dengan Korea Selatan (Korsel). Pada periode 2007-2011, pertumbuhan ekspor produk Indonesia ke Korsel sebesar 14,9 persen. Namun, impor meningkat 39 persen, sedangkan dengan China untuk periode yang sama, pertumbuhan ekspor hanya 19,6 persen, tetapi impornya tumbuh 35,2 persen. Selanjutnya, dengan Jepang pertumbuhan ekspor hanya 7,1 persen, tetapi impor naik 31,3 persen. "Sementara dengan negara-negara di ASEAN, pertumbuhan

ekspor hanya 16 persen, sedangkan pertumbuhan impor mencapai 29,7 persen," kata Agus pada acara workshop Pendalaman Kebijakan Industri di Bandung, akhir pekan lalu. Menurut dia, kondisi ini perlu diwaspadai mengingat Indonesia tidak mungkin membuka akses pasar seluas-luasnya, terutama barang modal dan komponen serta produk konsumsi. Apalagi produk-produk ini akan menjadi tumpuan kemandirian negara di masa mendatang. Dalam hal ini, Indonesia lebih baik mendorong kinerja industri serupa di dalam negeri. Kondisinya juga akan diperparah mengingat sejumlah negara menjadikan Indonesia sebagai pasar. Dampak krisis yang dialami Amerika Serikat dan Eropa akan mendorong negara-negara produsen berusaha meningkatkan akses pasar ke berbagai negara, termasuk Indonesia. "Selain itu, dalam usaha meningkatkan pertumbuhan ekonominya, mereka juga mengajak negara berkembang yang ekonominya lebih kuat melakukan liberalisasi, di antaranya melalui skema kawasan perdagangan bebas secara bilateral, regional, maupun multilateral. Negara maju kerap memasukkan isu berdalih lingkungan, meski sebenarnya isunya terkait pembukaan akses pasar," tutur Agus. Terkait hal ini, Indonesia tidak akan begitu saja mengikuti skema perjanjian perdagangan bebas. Dalam hal ini, Indonesia harus mempelajari manfaat dan dampak yang ditimbulkan dari kerja sama perdagangan yang ditandatangani. Saat ini, rata-rata tarif bea masuk (BM) produk impor ke Indonesia berada dik isaran 6,8 persen atau paling liberal dibanding negara lain. "Negara maju yang memiliki perekonomian lebih kuat malah memiliki rata-rata tarif bea masuk terhadap produk inmpor lebih tinggi dibanding Indonesia. Contohnya rata-rata tarif bea masuk di Korsel sebesar 12,1 persen, Brasil 13,7 persen, China 9,1 persen, dan India 13 persen," ujarnya. Sementara itu, Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Benny Wachjudi mengatakan, defisit perdagangan produk industri makanan dan minuman sepanjang 2011 lalu menembus angka 2,34 miliar dolar AS. Ini merupakan rekor terbesar dalam

10

tujuh tahun terakhir (2005-2011), di mana tren peningkatan impor rata-rata per tahun mencapai 16,1 persen. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2005-2011, neraca perdagangan produk makanan dan minuman terus mengalami defisit. Jika 2005, total ekspor produk makanan dan minuman Indonesia sebesar 1,13 miliar dolar AS, namun impornya mencapai 1,91 miliar dolar AS atau defisit 775 juta dolar AS. Sementara pada 2006, ekspor sebesar 1,44 miliar dolar AS, tetapi impornya 2,17 dolar AS atau defisit 738 juta dolar AS. Selanjutnya setelah terus meningkat pada 2007-2009, pada 2010 ekspor produk makanan/minuman sebesar 3,21, impor dolar AS, namun impor 4,51 miliar dolar AS atau defisit 1,29 miliar dolar AS. Selanjutnya, pada 2011, ekspor sebesar 4,5 miliar dolar AS dengan impor mencapai 6,85 miliar dolar AS atau defisit 2,34 miliar dolar AS. Produk makanan dan minuman yang selama ini banyak diimpor, di antaranya gula, susu dan produk dari susu, tepung terigu, coklat olahan, minyak nabati, limun, serta kopi instan. Di luar minyak goreng dari sawit, neraca perdagangan produk makanan dan minuman kita selalu defisit. Persoalan ini menjadi perhatian Kemenperin untuk terus melakukan pengembangan industri makanan dan minuman agar bisa bersaing di pasar dalam dan luar negeri. Kemenperin menerapkan beberapa strategi untuk menekan angka impor serta mendongkrak ekspor produk makanan dan minuman. Pemerintah mendorong pelaku industri untuk memanfaatkan sumber pangan lokal sebagai substitusi impor. Selain itu juga terus memperkuat citra merek-merek asli Indonesia. Pemerintah juga terus memperketat pengawasan terhadap produk impor yang tidak sesuai dengan standar serta yang tidak menggunakan lebel bahasa Indonesia agar tidak bisa masuk ke pasar lokal. Seperti bulan-bulan sebelumnya, neraca perdagangan dengan China masih mencatatkan defisit. Pada Januari 2012 defisit neraca perdagangan non migas dengan China defisit US$ 1,174 miliar. Padahal, pada Desember 2011 lalu defisit perdagangan dengan China sempat menciut menjadi hanya US$ 162,9 juta. Defisit perdagangan

11

dengan China pada Januari 2012 juga lebih tinggi ketimbang periode yang sama tahun lalu yang sebesar US$654,9 juta. Satwiko menjelaskan komoditas impor dari China yang cukup besar peningkatannya pada Januari ini adalah kendaraan dan komponen kendaraan, kapas, dan buah-buahan. "Komoditas impor paling tinggi dar China (pada Januari) adalah kapas yang kenaikan impornya mencapai 45,42%," katanya. Selain itu, kata Satwiko komoditas lain yang impornya meningkat cukup besar adalah kendaraan dan bagiannya yang naik 28,86%, dan buah-buahan 33,99% dan bahan kimia organik yang naik 20,12%. Lonjakan impor buah-buahan dari China membuat neraca perdagangan Indonesia-China defisit paling besar dibandingkan negara lainnya, yaitu mencapai US$1,1 miliar pada Januari 2012. Selain China, Indonesia juga mengalami defisit perdagangan dengan Thailand. Berdasarkan data BPS, ekspor non migas Indonesia ke China mencapai US$1,3 miliar. Namun, impor Indonesia dari China justru hampir dua kali lipatnya yaitu US$2,5 miliar pada Januari 2012. Impor non migas Indonesia dari China terbesar adalah kapas yang mencapai 45 persen dari total impor. Diikuti buah-buahan 40 persen, kendaraan dan bagiannya 29 persen, barang-barang organik 20 persen, serta besi dan baja 15,5 persen. Tak hanya China, defisit perdagangan juga terjadi pada kegiatan ekspor-impor dengan Thailand. Impor Indonesia dari Thailand mencapai US$779 juta, sedangkan ekspor Indonesia hanya US$429 juta. Impor Indonesia dari Thailand didominasi oleh gula dan kembang gula sebesar 59,5 persen, diikuti oleh kendaraan 41,03 persen. Walaupun pemerintah telah mengarahkan produsen untuk membuat kendaraan di Indonesia guna diekspor, RI juga mengimpor kendaraan cukup besar, seperti sedansedan kecil dari Thailand.

12

Namun, dari total impor Indonesia Januari 2012 sebesar US$14, 5 miliar, impor bahan baku/penolong memberikan peranan terbesar, yaitu 71,94 persen dengan nilai US$10,4 miliar. Diikuti impor barang modal sebesar 20,38 persen atau US$2,9 miliar dan impor barang konsumsi 7,68 persen atau US$1,1 miliar.

D. Kekayaan Harta Karun Indonesia Harta karun Indonesia di bumi Papua begitu bejibun. mulai dari pertambangan, kehutanan, pertanian, perkebunan, hingga perikanan. Sektor pertambangan yang paling menakjubkan. Di sana ada berbagai jenis tambang yang berlimpah ruah. Ada tembaga, emas, minyak, dan gas. Sayangnya, kekayaan sumber daya alam itu hampir sebagian besar dikuasai perusahaan-perusahaan asing. PT Freeport Indonesia asal Amerika Serikat, misalnya, yang punya hak konsesi mengelola emas dan tembaga di Kabupaten Mimika. Atau PT Rio Tinto Irja asal Inggris yang memiliki konsesi yang sama. Coba bayangkan, saat ini cadangan emas PT Freeport Indonesia senilai Rp 1.329 triliun. Angka ini hampir sama dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012 yang mencapai Rp 1.435 triliun.Angka ini berasal dari cadangan bijih sebanyak 2,6 miliar ton yang siap ditambang. Setelah diolah, setiap 1 ton bijih itu bisa menjadi 2,9 kg tembaga dan 0,93 gram emas. Nah, cadangan 2,6 miliar ton itu jika dihitung secara kasar bisa menghasilkan 2.418 ton emas. Jika harga emas per gram Rp 550 ribu, maka nilai cadangan itu sebesar Rp 1.329 triliun. Mau tahu keuntungannya? Diperkirakan setiap tahun Freeport meraup keuntungan US$ 6 miliar atau Rp 54 triliun. Kalau angka ini benar, coba saja bagi dengan 3,2 juta jiwa penduduk Papua. Hasilnya, masing-masing orang Papua setiap tahun mengantongi Rp 16,8 juta. Itu baru dari satu perusahaan. Belum lagi 24 perusahaan yang bergerak di usaha tambang di Papua. Tapi ironisnya, seperti dikatakan Edo, kebanyakan orang Papua tak menikmatinya. Lihat saja jumlah orang Papua yang berada di bawah garis kemiskinan terus bertambah. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2010
13

jumlahnya 761,62 ribu jiwa, namun Maret 2011 naik menjadi 944,79 ribu jiwa. Ini baru yang di bawah garis kemiskinan, belum yang miskin. Sekali lagi, itu baru satu daerah yang kekayaan tambangnya dikuasai perusahaan-perusahaan asing. Bagaimana di Aceh, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, atau Jawa? Mungkin jumlahnya sudah ratusan perusahaan asing.

Cukup 49% Sejak 40 tahun lalu pemerintah membuka izin seluas-luasnya kepada perusahaan asing untuk mengelola tambang dan migas di Indonesia. Selama itu pula mereka menikmati keuntungan yang berlimpah. Kini, pemerintah mulai berpikir menata kembali penguasaan itu. Diterbitkanlah Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Beleid yang terbit akhir Februari 2012 itu merupakan revisi dari Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010. Asal tahu saja, dalam aturan yang lama, asing hanya wajib menjual saham ke investor lokal sebesar 20% selama lima tahun. Artinya, asing masih berhak memiliki saham perusahaan pertambangan di Indonesia maksimal 80%. Nah, menurut aturan yang baru itu, asing hanya berhak atas 49% saham perusahaan tambang di Indonesia. Selebihnya harus dijual secara bertahap setelah lima tahun berproduksi atau harus tuntas pada tahun ke-10 sejak awal berproduksi. Aturan itu merinci tahapan divestasinya. Ambil contoh, asing memiliki 100% saham perusahaan tambang di Indonesia. Mulai tahun keenam hingga tahun kesepuluh, dia harus menjual 10% saham per tahun hingga tahun kesepuluh jumlah saham yang dilego mencapai 51%. Nah, yang pertama kali mendapatkan hak membeli jatah saham divestasi itu adalah pemerintah pusat. Jika tak sanggup, hak ini beralih ke pemerintah daerah. Bila daerah menyerah, BUMN dan BUMD dipersilakan masuk melalui mekanisme lelang. Kalau tak sanggup juga, investor lokal berhak membeli jatah divestasi itu.

14

Keinginan pemerintah itu, kata Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, agar Indonesia bisa mengolah kekayaan alamnya sendiri. Sebab, bahan tambang kan hukumnya pasti habis, katanya. Persoalannya, cukup tidak duit pemerintah untuk membeli 51% saham perusahaan tambang asing yang jumlahnya ratusan itu? Bayangkan, 1% saham Freeport saja nilainya Rp 8 triliun. Kalikan saja kalau 51% saham yang harus dibeli. Itu baru Freeport. Belum lagi PT Newmont Nusa Tenggara, PT Rio Tinto, PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum), dan lain-lain. Selain persoalan dana, pemerintah juga bakal menghadapi tantangan keras dari pengusaha tambang asing. Umumnya mereka menolak ketentuan baru itu. Aturan baru itu sulit terealisasi, kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertambangan Indonesia, Tony Wenas. Sebab, katanya, perusahaan tambang asing akan bersandar pada perjanjian kontrak karya ataupun izin usaha pertambangan yang sudah mereka sepakati sebelumnya dengan pemerintah. Ini pula yang dikatakan juru bicara PT Freeport Indonesia, Ramdhani Sirait. Jadi, tanpa ada pembicaraan dengan pemerintah, Freeport tampaknya tetap berpegang pada kontrak karya yang sudah disepakati. Bisa jadi, aturan divestasi 51% saham itu tak akan memengaruhi Freeport. Saat ini, sebanyak 90,64% saham Freeport Indonesia dikuasai perusahaan asal Amerika Serikat, Freeport McMoRan, termasuk di dalamnya 9,36% dikuasai lewat anak usahanya PT Indocopper Investama. Sementara sisanya, 9,36% dipegang Pemerintah Indonesia. Belakangan tersiar kabar, Freeport sedang mengaji opsi melepas 9,36% saham di Bursa Efek Indonesia. Jangan Takut Tapi, pemerintah tak bakal mundur oleh perlawanan yang dilakukan perusahaan tambang asing. Direktur Jenderal Mineral Batubara Kementerian ESDM Thamrin Sihite mengatakan, keberadaan Peraturan Pemerintah itu sudah tegas yakni berlaku untuk perusahaan yang baru mendapatkan izin usaha pertambangan (IUP) dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) serta perusahaan yang melakukan perpanjangan setelah Peraturan Pemerintah itu diundangkan. Menurut Thamrin, pemegang IUPK lama tidak
15

serta merta bisa lolos dari peraturan ini. Misalnya Freeport, untuk divestasinya akan dimasukkan ke dalam poin renegosiasi, katanya. Hanya saja banyak yang khawatir jika pemerintah memaksa perusahaan tambang asing melepas 51% sahamnya, mereka bisa menyeret Indonesia ke badan arbitraseinternasional. Alasannya, mereka berpegang pada isi kontrak karya. Tapi, kata pengamat perminyakan Kurtubi, itu tak jadi masalah selama pemerintah konsisten dengan kebijakan yang telah ditetapkan. Siapkan saja jajaran kuasa hukum yang andal. Lempar saja argumen yang dapat meyakinkan hakim, ujar Kurtubi kepada. Seperti halnya Kurtubi, anggota Komisi XI DPR, Arif Budimanta mengatakan, jika pemerintah konsisten pada keputusannya, rakyat pasti mendukung. Enggak apa-apa dibawa ke badan arbitrase. Kenapa mesti takut. Kita negara berdaulat. Siapkan saja pengacara-pengacara tangguh, kata Ariefyang dihubungi secara terpisah. Anggota Komisi VII DPR, Satya Yudha, melihat, peraturan pemerintah itu harus dimaknai sebagai kebangkitan industri pertambangan nasional. Satya betul. Soalnya, selama sekitar 40 tahun sejak izin usaha pertambangan dibuka bagi perusahaan asing, mereka sudah menikmati keuntungan yang berlimpah. Belakangan ini, malah, perusahaan tambang asing, terutama China dan India, makin agresif mencari sumber daya batubara. Mereka menguasai tambang-tambang kecil dengan membiayai perusahaan-perusahaan tambang lokal yang kesulitan pendanaan. Mereka mencari batubara sebagai pengganti minyak di luar negeri, sementara cadangan migas dan tambangnya disimpan. Data yang dirilis British Petroleum Statistical Review bisa bikin kepala tambah pusing. Bayangkan, Indonesia yang hanya memiliki cadangan batubara terbukti 4,3 miliar ton atau 0,5% dari total cadangan batubara dunia harus menjadi pemasok utama batubara untuk China. Padahal China punya cadangan batubara terbukti 114,5 miliar ton atau setara 13,9% dari total cadangan batubara dunia. Dengan rata-rata produksi 340 juta ton per tahun--sekitar 240 juta ton diekspor--cadangan terbukti batubara Indonesia

16

akan habis dalam 20 tahun. Jika ini dibiarkan, Indonesia terancam menjadi importir minyak sekaligus batubara. Di sektor migas, tak kurang mengerikan. Dari total 225 blok migas yang dikelola kontraktor kontrak kerja sama non-Pertamina, 120 blok dioperasikan perusahaan asing, hanya 28 blok yang dioperasikan perusahaan nasional, serta sekitar 77 blok dioperasikan perusahaan gabungan asing dan lokal. Dominasi asing pada sektor migas dan pertambangan itu, dengan penguasaan wilayah kerja dari Sabang di barat sampai Papua di timur Nusantara, membuat kedaulatan negara dan bangsa rawan. Maka, tak ada yang salah bila pemerintah memaksa asing melepaskan 51% sahamnya di perusahaan tambang.

17

BAB III PENUTUP

1. Kesimpulan Arus barang yang kian bebas pada era liberalisasi perdagangan menuntut konsumen lebih jeli dan teliti. Kalau mereka ceroboh memilih produk, tidak hanya kerugian materi yang harus diderita, tetapi keamanan dan keselamatan mereka juga ikut terancam. Fakta masih beredarnya produk-produk yang tidak layak, sebagaimana dirilis Kementerian Perdagangan, tentunya membuat kita miris. Banyak produk yang beredar tidak mengikuti kaidah Standar Nasional Indonesia (SNI). Padahal, SNI dibuat sebagai standar minimal kelayakan produk. Dari ribuan produk, baru 83 produk atau baru sekitar 1 persen yang diwajibkan memenuhi ketentuan SNI. Pelanggaran lainnya soal labelisasi dan manual bahasa Indonesia. Di Singapura, penerapan standar nasional sudah mencapai 60-70 persen. Tidak hanya itu, puluhan juta alat ukur yang digunakan dalam transaksi perdagangan ternyata belum terjamin ketepatannya. Barang-barang tidak layak tersebut telah beredar luas dan tidak mungkin semuanya teridentifikasi petugas. Artinya, konsumenlah yang harus berperan aktif. Karena itu, tuntutan menjadi konsumen cerdas sangatlah penting. Bagaimana caranya untuk bisa menjadi konsumen cerdas? Pertama, teliti sebelum membeli. Konsumen tidak perlu takut untuk bertanya atau memperoleh informasi langsung dari pelaku usaha. Kedua, memperhatikan label, manual kartu garansi, dan masa kedaluwarsa. Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) merilis, sepanjang tahun ini disita 1.133 jenis produk pangan ilegal karena tidak terdaftar di Badan POM. Nilai ekonomi produk pangan ilegal tersebut mencapai Rp 1,7 miliar. Sebanyak 99,9 produk pangan tersebut merupakan pangan impor ilegal. Terkait dengan ketentuan label, baru 103 jenis produk yang diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia.

18

Ketiga, pastikan produk sesuai dengan SNI. Sepanjang tahun ini, Kementerian Perdagangan menyita 28 produk yang tidak memenuhi SNI. Beberapa jenis produk yang wajib SNI adalah tepung terigu, kipas angin, ban mobil, kompor gas, baja tulangan beton, kakao bubuk, dan air minum dalam kemasan. Keempat, beli sesuai dengan kebutuhan, bukan keinginan. Konsumen harus menjadi konsumen cerdas dalam menyikapi berbagai tawaran diskon yang menggiurkan dari pusat-pusat perbelanjaan. Tidak semua produk yang dijajakan benar-benar dibutuhkan. Kementerian Perdagangan berencana menyelidiki tawaran diskon yang kian marak. Apakah memang benar ada potongan harga, atau jangan-jangan hanya akalakalan si penjual. Kelima, tegakkan hak dan kewajiban Anda selaku konsumen. Jika konsumen merasa produk yang dibeli tidak sesuai dan merugikan kepentingannya, konsumen bisa menempuh langkah advokasi. Sayangnya, hasil survei yang dilakukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menunjukkan hanya 35,8 persen yang paham bahwa konsumen memiliki hak atas advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa. Hanya 11,3 persen mengetahui bahwa hak tersebut dijamin undang-undang. Artinya, masih sedikit konsumen yang paham akan hak-haknya. Hal ini menjadi celah bagi peredaran barang tak layak. Ketentuan soal perlindungan konsumen sebenarnya sudah banyak. Selain Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, setidaknya masih ada lima UU lagi yang juga mengatur perlindungan konsumen. Sebut saja UU No 5/1984 tentang Perindustrian dan UU No 7/1996 tentang Pangan. Namun, aturanaturan tersebut belum efektif melindungi konsumen. Semakin banyak konsumen yang kritis, secara otomatis peredaran barangbarang tidak layak berkurang dengan sendirinya. Konsumen cerdas juga lebih mencintai produk dalam negeri ketimbang produk impor. Gerakan mencintai dan membeli produk lokal menjadi benteng terakhir di tengah derasnya aliran barang-barang impor. Dengan mengabaikan produk impor, industri dalam negeri akan tumbuh dan pengangguran pun semakin berkurang.
19

2. Saran Dari kesimpulan di atas, maka penyusun menyarankan beberapa hal sebagai berikut: 1) Perlunya kesadaran untuk mencintai produk Indonesia. 2) Konsumen diharapkan tidak hanya tergiur oleh harga murah tapi harus melihat kualitas barang yang dibelinya. 3) Perlunya adanya pengenalan terhadap produk-produk unggulan buatan lokal agar membuat konsumen tertarik. 4) Perlunya pemerintah melakukan pembatasan atas barang-barang impor yang masuk ke Indonesia.

20

DAFTAR ISI Arsyad, Lincoln. Pengantar Ekonomi Mikro, Edisi 3. Yogyakarta: BPFE UGM, 1993. Prasetyantoko, A. Arsitektur Baru Ekonomi Global. Jakarta: Gramedia, 2001. Kian, Kwik, Gie. Kebijakan Ekonomi Politik dan Hilangnya Nalar. Jakarta: Kompas, 2006. Jugiyanto. Teori Portofolio dan Analisis Investasi. Yogyakarta: BPFE UGM,1998. Kuncoro, Mudrajad. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 1997. Andrian. Defisit Perdagangan Industri Terus Membesar.Suara Karya, 19 Maret 2012, hal.13. Kekayaan Indonesia. Majalah InilahReview, No. 29, 19 Maret 2012.
http://m.suaramerdeka.com/bb/bblauncher/SMLauncher.jad

www.suarapembaruan.com/home/kadin...barang-impor/19972

21

Anda mungkin juga menyukai