Petani Indonesia mayoritas dikategorikan sebagai peasant. Peasant diartikan oleh Eric
R. Wolf sebagai petani pedesaan, sebagai orang desa yang bercocok tanam di pedesaan Tidak
didalam ruangan-ruangan tertutup (greenhouse) di tengah-tengah kota.1
Kalau dahulu ketika kita ingin membeli buah-buahan ke pasar tradisional dan hanya
terdapat beberapa jenis buahan lokal hasil petani lokal. Namun, di era globalisasi saat ini kita
dapat membeli buah-buahan dengan berbagai macam jenis lokal maupun impor, karena buah-
1
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/67663/Chapter%20II.pdf?sequence=3&isAllowed=y,
diakses pada 25 September 2018, 22:57
buahan yang diimpor dari luar negeri sudah beredar di pasar dan harganya pun tidak jauh
berbeda dengan buah-buahan lokal. Hal seperti ini merupakan salah satu gambaran
bagaimana pertanian dalam negeri sudah mulai memasuki era pasar bebas.
Indonesia meratifikasi WTO pada tahun 1994, sehingga Indonesia harus tunduk pada
aturan WTO. Aturan WTO mengikat secara hukum atau legally binding, sehingga
pelanggaran aturan bisa berimplikasi pada sangsi perdagangan. Selain terikat pada aturan
WTO, Indonesia juga terikat pada kesepakatan aturan perdagangan tingkat regional dalam hal
ini ASEAN. Pada tahun 1992, ASEAN menyepakati pembentukan kawasan perdagangan
bebas ASEAN, atau ASEAN Free Trade Area (AFTA). AFTA memiliki prinsip sama dengan
WTO yaitu promosi pasar bebas.
Dapat digambarkan kondisi petani Indonesia diantaranya: (1) tidak memiliki lahan
yang luas sehingga menghasilakan produk dalam kuantitas yang sedikit, (2) kondisi petani
poin pertama diperparah dengan berbagai kebijakan pemerintah yang terkesan tidak berpihak
kepada petani kecil, seperti industrialisasi serta pencabutan subsidi bahan pertanian, (3)petani
dihadapkan pada raksasa globalisasi berupa perdagangan bebas yang menuntut petani harus
bersaing dengan produk-produk luar negeri, selain itu biaya produksi yang tinggi tidak
diimbangi dengan harga jual yang tinggi pula.