Anda di halaman 1dari 11

ANALISA JURNAL Tugas Pengganti Presensi Tutorial

NAMA : NABILA PUTRI ASTRINI NPM : 0918011065

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2011

I.

Introduction the disease


a. Definisi Asma Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang menyebabkan hiperaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat di dada

terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversible baik dengan atau tanpa pengobatan.

b. Epidemiologi Walaupun mempunyai tingkat fatalitas yang rendah namun jumlah kasusnya cukup banyak ditemukan dalam masyarakat. Badan kesehatan dunia (WHO) memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia menderita asma. Bahkan, jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah hingga mencapai 180.000 orang setiap tahun. Sumber lain menyebutkan bahwa pasien asma sudah mencapai 300 juta orang di seluruh dunia dan terus meningkat selama 20 tahun belakangan ini. Apabila tidak dicegah dan ditangani dengan baik, maka diperkirakan akan tejadi peningkatan prevalensi yang lebih tinggi lagi pada masa yang akan datang serta mengganggu proses tumbuh kembang anak dan kualitas hidup pasien.

c. Patofisiologi Gejala asma yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan manifestasi dari obstruksi bronkus akibat inflamasi kronik dan hiperaktivitas bronkus .

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain Alergen seperti kutu , bulu kucing/anjing dan serbuk sari. Obat-obatan seperti aspirin dan beta bloker Iritan yang berhubungan dengan pekerjaan seperti resin kayu, isosionat. Lingkungan seperti udara dingin, olahraga dan emosi.

Keempat faktor di atas dapat menginduksi respon inflamasi di bronkus dan sekitarnya, berupa infiltrasi sel-sel inflamasi terutama eosinofil dan monosit dalam jumlah besar ke dinding dan lumen bronkus.

Faktor-faktor di atas dapat digolongkan lagi sebagai berikut. Pemicu : alergen dalam ruangan seperti tungau debu rumah, binatang berbulu,

alergen kecoa, jamur, serata pajanan asap rokok. Pemacu : rinovirus, ozon , pemakaian b2 agonis. Pencetus : semua factor pemicu dan pemacu ditambah dengan aktivitas fisik, udara dingin, histamine dan metakolin.

d. Penatalaksanaan Dari patofisiologinya dapat disimpulkan bahwa asma itu tidak bisa diobati secara kausatif hanya bisa dicegah dengan menghindari faktor pencetusnya. Antara orang satu dengan

yang lain berbeda sehingga setiap penderita asma harus diidentifikasi apa pencetus asma untuk dihindari nantinya.

Jikalau penderita tersebut terlanjur mengalami eksaserbasi maka harus diterapi farmakologi sebagai pengobatan simptomatiknya bukan kausatifnya. Dalam pemberian terapinya ini diberikan berdasarkan klasifikasi dari asma dilihat dari berat-ringan gejala.

Asma diklasifikasi atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan (akut) 1. Intermitten 2. Persisten ringan 3. Persisten sedang 4. Persisten berat

Dari setiap derajat keparahan penyakit asma ini penanganannya pun berbeda. Umumnya pengobatan farmakologi yang digunakan berupa agonis Beta 2 yang berfungsi sebagai bronkodilator, lalu kortikosteroid inhalasi yang berfungsi untuk meredakan inflamasi yang menyebabkan obstruksi saluran pernapasan. Selain itu juga kadang ditambahkan mukolitik ekspektoran yang berfungsi untuk mengencerkan dahak sehingga

mempermudah pengeluaran dahak yang menyebabkan obstruksi pada saluran pernapasan juga. Sebenarnya terdapat obat-obat lain yang juga dipakai untuk terapi asma yaitu berasal dari golongan antikolinergik, xantin, antagonis leukotrin. Dalam pemilihan obat dibutuhkan banyak pertimbangan terkait bahwa asma ini diobati secara simptomatik yang berarti gejala harus dikendalikan seumur hidupnya. Ada beberapa orang yang hanya membutuhkan obat hanya ketika serangan. Namun ada pula yang membutuhkan konsumsi obat secara rutin tergantung dari berat-ringan asmanya. Berikut ini pemilihan terapi farmakologi berdasarkan derajat asma. Asma intermitten Dapat/bila perlu diobati dengan suatu beta-2-mimetikum yang bekerja singkat sebagai monoterapi. Misalnya salbutamol atau terbutalin (1-2 inhalasi/ minggu). Asma persisten ringan a. Perlu diobati dengan obat yang menekan peradangan di saluran pernapasan yakni kortikosteroid inhalasi seperti beklometason, flutikason atau budesonida dalam dosis rendah (200-800 mcg/hari). b. Bila perlu dikombinasi dengan salbutamol atau terbutalin sampai 3-4 inhalasi/hari atau dengan obat pencegah berupa nedocromil dan kromogilat, juga per inhalasi. Asma persisten sedang Dapat ditanggulangi dengan dosis kortikosteroid yang lebih tinggi (800-1200 mcg/hari) dan dikombinasi dengan beta-2-mimetikum atau antikolinergik (ipratropium) sebagai bronkodilator. Asma persisten berat Walaupun penggunaan inhalasi kortikosteroid (ICS) dalam dosis cukup tinggi, tetapi pada malam hari masih timbul sesak napas. Dalam hal ini dapat diberikan

beta-2-mimetikum kerja panjang sebagai inhalasi (salmeterol dan formeterol). Bila perlu pengobatan dapat dikombinasi dengan teofilin dalam bentuk slowrelease.

II.

Critical Appraise
Dari jurnal yang berjudul Step-up Therapy for Children with Uncontrolled Asthma Receiving Inhaled Corticosteroids, didapatkan hasil bahwa respon yang berbeda pada 161 dari 165 pasien yang dievaluasi setelah menggunakan pengobatan yang berbeda selama 16 minggu (penjelasan lebih lengkapnya bisa dilihat pada lampiran jurnal pada poin metode penelitiannya). Setelah diberikan pengobatan tambahan pada anak dengan asma tak terkontrol padahal telah mendapat terapi kortikosteroid inhalasi dosis rendah dua kali sehari, didapatkan hasil bahwa respon terbaik dalam terapi tambahan pada anak tersebut adalah LABA (Long Acting Beta Agonist) dalam pengontrolan serangan asma dibanding dengan efek obat tambahan yang lain pada sampel yang berbeda yaitu LTRA (Leukotriene Reseptors Antagonist ) dan ICS (Inhaled Corticosteroid ) dengan dosis tambahan.

Efek kontrol serangan asma oleh LABA dibanding dengan terapi tambahan LTRA memiliki presentase perbandingan 52 % :34 % sedangkan perbandingan respon baik dalam terapi antara obat tambahan terapi LABA dengan ICS memiliki presentase 54 % : 32 % dimana dari data tersebut dilihat bahwa efek terapi tambahan ICS dan LTRA hampir sama.

Hal di atas dapat disimpulkan bahwa obat tambahan dalam terapi untuk pengontrolan asma pada anak itu adalah LABA (Long Acting Beta Agonist).

Dari hasil jurnal yang diungkapkan secara singkat di atas, mungkin akan dibahas mengenai baik tidaknya obat tambahan tersebut dipandang dari aspek kesehatan lain. Sebelum membahas lebih jauh, mungkin akan diawali dengan mekanisme kerja obat ketiga jenis tersebut.

1. Agonis-beta-adrenergik Mekanisme kerja dari obat ini adalah dengan menstimulasi reseptor beta 2 yang banyak terdapat di trakea dan bronki yang menyebabkan aktivasi dari adenilat siklase yang berfungsi mengubah ATP menjadi cAMP. Peningkatan kadar cAMP di dalam sel menghasilkan efek bronkodilatasi dan penghambatan pelepasan mediator oleh mast cell.

Penggunaannya semula sebagai monoterapi kontinu, yang ternyata secara berangsur memperburuk fungsi paru, karena tidak menanggulangi peradangan dan peningkatan kepekaaan bagi alergen pada pasien alergis. Oleh karena itu sejak beberapa tahun yang lalu hanya digunakan untuk melawan serangan dan sebagai pemeliharaan dalam kombinasi dengan zat anti radang yaitu kortikosteroid inhalasi.

Dengan diperkenalkannya obat beta-2-agonis kerja panjang (LABA) seperti salmeterol dan formoterol, senyawa ini lebih berperan pada asma. Kombinasinya dengan kortikosteroid inhalasi bersifat komplementer karena bekerja pada system yang berlainan. Kombinasinya juga bekerja sinergistis berdasarkan daya kerjanya yang positif terhadap masing-masing reseptor.

Dari penjelasan di atas maka tidak aneh bahwa ternyata penambahan obat dalam terapi anak dengan asma tak terkontrol padahal telah mengonsumsi ICS secara teratur 2 kali sehari memberikan efek terapi yang baik karena efek kerjanya saling menguatkan dan memang ternyata kombinasi keduanya digunakan untuk tujuan terapi pemeliharaan asma.

Lalu mari dilihat dari dosis yang diberikan. Pada penelitian dalam jurnal ini digunakan 100 mcg flutikason dikombinasi dengan 50 mcg LABA sebanyak dua kali sehari memang memiliki respon baik dalam pengobatan namun apakah dosisnya sudah seharusnya flutikason dalam terapi asma persisten ringan membutuhkan terapi dengan dosis rendah yaitu 200- 800 mcg / hari. Sedangkan

dalam terapi pada asma persisten sedang dibutuhkan dosis ICS (flutikason) lebih tinggi yaitu 800-1200 mcg. Dalam menentukan benar atau tidak mari kembali ke sampel yang digunakan yaitu anak dengan asma tak terkontrol dimana anak tersebut sudah mengonsumsi fluticasone sebanyak 100 mcg, dua kali sehari. Secara tidak langsung berarti sampel yang digunakan adalah anak dengan derajat asma persisten ringan yang harus diterapi dengan ICS ternyata tak berespon baik dan harus dicarikan obat kombinasi yang tepat untuk mengontrol asmanya apakah dengan kombinasi LABA, LTRA atau menambah dosisnya. Hal ini berarti bila ICS nya akan dikombinasi dengan LABA maka dosis ICS nya tepat karena anak tersebut menggunakan 200 mcg/ hari. Sedangkan dosis LABA(salmeterol) , pada anak di atas 4 tahun itu, 2 kali sehari 50 mcg. Hal ini berarti penggunaan dosis dalam penelitian sudah sesuai karena sampel yang digunakan anak usia 6-17 tahun. 2. LTRA (Leukotriene Reseptor Antagonist) Mekanisme kerja obatnya menghalangi reseptor leukotrin ini (reseptor LTC 4/D4) untuk berikatan dengan leukotrin yang berefek menimbulkan bronkokonstriksi dan sekresi mucus. Contoh obatnya adalah montelukast, zafirlukast dan pranlukast

Obat ini efektif untuk mengobati asma yang sensitive aspirin. Obat jenis ini memperbaiki fungsi paru pada penderita asma ringan dan sedang tetapi memiliki manfaat pada asma yang sangat berat.

Dari penjelasan di atas memang obat LTRA ini juga memiliki efek terapi pada asma namun untuk respon terbaiknya tidak karena kombinasi antara LTRA dengan ICSnya tidak ada efek saling menguatkan, maka tidak aneh jika kombinasi dengan respon terbaik bukan jatuh dipilihan dengan LTRA.

Pada dosis kombinasi ICS dengan LTRA yang digunakan dalam penelitian adalah 100 mcg flutikason (2 kali sehari) + 5 atau 10 mg LTRA (1 kali sehari). Dari dosis ini harus dianalisis apakah dosis sudah sesuai atau belum. Bila belum ,

mungkin inilah penyebab kombinasi LTRA dengan ICS memiliki respon pengobatan yang lebih rendah efeknya dari LABA. Dosis LTRA dengan contoh zafirlukast adalah 2 dd 20 mg pada anak usia 7-12 tahun. Sedangkan untuk montelukast, dosis pemeliharaan : > 15 tahun ,1 tablet kunyah (10 mg); anak-anak 6-14 tahun 5 mg.

Dari hal di atas bisa dianalisis bahwa bila obat LTRA yang digunakan adalah zafirlukast maka sudah pasti dosis tidak tepat dan mungkin inilah salah satu alas an mengapa responnya kalah dengan kombinasi LABA. Namun bila obat yang dipakai adalah montelukast maka dosis sudah tepat , berarti alasan mengapa respon terapi dengan kombinasi LTRA kurang, kerjanya tidak ada efek saling menguatkan. memang karena mekanisme

3. Kortikosteroid Obat golongan ini memiliki efek anti inflamasi karena berfungsi seperti halnya hormone kortisol dalam mensupresi system imun tubuh agar tidak berespon secara berlebihan. Obat ini mengurangi jumlah eosinofil dan aktivasi serta aktivitas makrofag dan limfosit.

Sediaan obat ini ada yang inhalasi (beklometason, flutikason, budesonid), oral (prednisone, prednisolon) dan IV (hidrokortison, metilprednison). Kortikosteroid inhalasi merupakan pilihan terapi asma jangka panjang, karena efeknya yang lokal sehingga memperkecil efek samping yang ditimbulkan dibanding dengan pemberian oral dan IV. Efek samping yang signifikan berupa kanididasis oral dan suara serak. Selain itu ada efek samping yang paling harus diperhatikan terutama untuk anak-anak yaitu efeknya pada retardasi pertumbuhan anak dengan penggunaan inhalasi kortikosteroid jangka panjang.

Dari penjelasan di atas dapat dianalisis bahwa pemilihan terapi pada penelitian berupa ICS itu sudah tepat. Lalu, analisisnya mengenai efek sampingnya namun tetap digunakan dalam terapi adalah karena dalam prinsip terapi harus

dipertimbangkan prioritas pengobatan. Bila memang tidak ada obat yang dapat digunakan lagi dalam terapi yang sifatnya harus maka efek samping yang tidak seberapa dibanding efek yang ditimbulkan bila terapi tidak dilakukan, maka terapi harus dilanjutkan.

Dari penjelasan di atas dapat dianalisis bahwa sebenarnya mengapa penggunaan ICS dengan penambahan dosis tidak memberikan respon lebih baik dari LABA dan LTRA karena mekanisme kerja dari kombinasi LABA dan LTRA itu tidak hanya dari satu system, hal ini beda dengan ICS dengan penambahan dosis yang hanya mempengaruhi satu arah dalam mekanime kerjanya sehingga efeknya tidak lebih baik dari kombinasi dua obat lainnya.

Daftar Pustaka

Davey,Patrick.2006.At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga Medical Series Sukandar,Elin Yulinah, Retnosari Andrajati, dkk.2009. ISO Farmakoterapi. Jakarta: PT ISFI Penerbitan Tjay,Tan Hoan dan Kirana Rahardja.2010. Obat-Obat Penting. Jakarta: Elex Media Komputindo Www.njem.org diakses pada 17 Desember 2011 Ward,Jeremy P.T, Jane Ward, dkk.2008.At a Glance Sistem Respirasi Edisi Kedua.Jakarta: Erlangga Medical Series

Anda mungkin juga menyukai