Anda di halaman 1dari 39

2 maret 1999

Mega Arifin, Mini Embi


Mega Mega Produksi Sutradara Pemain : Teater Ketjil : Embi C. Noer : Cini Goenarwan, Jajang C. Noer, Willem, Ahmad Nugraha

Penata Artistik : Yus A. Ruslan Tempat : Gedung Kesenian Jakarta Waktu : 24-27 Februari 1999

ALUN-ALUN Yogya, pada sebuah malam. Seorang perempuan mengeluh. ''Saya kesepian. Saya sungguh-sungguh kesepian sebagai perempuan. Saya mulai menyangsikan semuanya. Saya sangsi apakah saya ada atau tidak ada," katanya. Di langit bulan bulat. Angin silir. Sepokok beringin tua menghitam oleh usia. Mae, perempuan tua mandul itu, adalah inti dari derita orang kecil yang ditampilkan Arifin C. Noer dalam lakon Mega Mega. Sebuah naskah yang dibuat dramawan itu lebih dari 30 tahun lalu dan dicoba dipentaskan kembali di Gedung Kesenian Jakarta, 24-27 Februari lalu, oleh Teater Ketjil di bawah arahan sutradara Embi C. Noer. Mae memang tidak sendiri. Di sekelilingnya ada Retno, pelacur yang ditinggal suaminya; Panut, pencopet kelas teri; Koyal, pemuda gila yang selalu bermimpi menang lotere; dan Tukijan, pekerja kasar yang mengidam-idamkan menjadi petani kaya. Semuanya, bersama dengan persoalan ekonomi yang menindih, menunjukkan bagaimana hidup bagi orang kecil adalah sebuah labirin impian yang tak berujung. Mae, Retno, Tukijan, Panut, dan Hamung memang mewujudkan citacitanya dalam impian. ''Di sini kita melamun bisa sempurna," kata Hamung. Dan mereka bermimpi tentang lotere yang menang, makan-minum yang tak terbatas, tamasya ke Parangtritis, dan perjalanan ke mega-mega. Dan seperti sudah nasib orang kecil, mimpi akan selalu berakhir dengan kesepian. Sebagai naskah teater, Mega Mega adalah lakon yang legendaris. Ia pernah menyabet anugerah naskah drama terbaik dari Badan Pembina Teater Nasional Indonesia pada 1967. Pementasannya pertama kali pada Juli 1969 di Taman Ismail Marzuki dibanjiri pujian kritikus seni. Dan seperti halnya naskah Arifin lainnya seperti Ozone, Sandek Pemuda Pekerja, atau Interogasi, Mega Mega berhasil mengangkat persoalan sosial masyarakat yang keras dengan subtil. Di sinilah kekuatan Arifin: pertentangan kelas sosial ditampilkan tanpa perlu menjadikan penonton terbakar. Arifin seolah berhasil membungkus Karl Marx dengan puisi-puisi T.S. Eliot dan menghadirkannya ke atas panggung. Dalam Mega Mega dialog tentang bulan, rumput, kabut, dan bau dupa bisa dengan asyik berbaur dengan realitas pahit yang mengekap wong cilik. Pemain memang jadi orang pintar: semua fasih mengeluh dengan bahasa yang puitis dan filosofis. Tapi itu memang ciri naskah drama seniman yang meninggal dunia empat tahun silam itu. Sayangnya, dalam pementasannya pekan lalu, Embi gagal mengangkat keunggulan naskah Arifin

itu. Kegagalan tampak jelas pada aksentuasi vokal para pemain yang lemah, bahkan cenderung datar. Akibatnya, aktor menjadi tak hidup. Kenyataan ini sebetulnya bertentangan dengan spirit yang ditanamkan Arifin pada Teater Ketjil. ''Sutradara boleh mati. Tapi, jika aktor mati, teater juga mati," katanya suatu ketika. Padahal, pemain seperti Jajang C. Noer dan Cini Goenarwan adalah personel lama Teater Ketjil yang sangat paham bagaimana memperlakukan naskah Arifin. Tapi toh keduanya juga tidak tampil maksimal. Pencahayaan, yang sebetulnya bisa dipakai untuk memperkuat adegan, juga ikut-ikutan sekarat. Bloking kikuk. Di satu sisi, kenyataan itu mungkin diniatkan Embi untuk memelihara suasana muram. Batang beringin tua di tengah panggung yang disulap Roedjito dari untaian kain lebar cukup kuat untuk mengesankan komunitas orang kere di tengah alun-alun Yogya. Musik memang sengaja dibikin minim. Semua itu sebetulnya masih bisa tertolong jika saja dialog kuat yang diciptakan Arifin bisa muncul dengan maksimal. Tetapi percakapan kadung lirih sehingga pementasan jadi kehilangan greget. Walhasil, pementasan ini menjadi menarik hanya karena naskah yang kuat. Tidak ada yang istimewa kecuali bahwa penonton bisa bernostalgia dengan lakon Arifin C. Noer, dramawan yang sampai sekarang belum ada tergantikan itu. Arif Zulkifli
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1999/03/02/TER/mbm.19990302.TER93786.id.html

20 April 1999
Merenungi Mimpi Si Pendobrak Zaman

''...Aku akan mati di puncak kejayaanku. Tanpa cinta. Tanpa rindu,"demikian tutur dramawan Bertolt Brecht, seperti dikutip Ronald Hayman dalam Brecht, A Biography. Ini sebuah nada depresi. Tetapi Brecht, seperti juga drama-dramanya, adalah simbol dari pemberontakan dalam nada balada. Puluhan opera dan baladanya adalah serangkaian nyanyian pemberontakan yang menampilkan kritik sosial yang tajam. Dan, tampaknya, itulah sebabnya naskah Brecht selalu menarik hati para dramawan Indonesia, seperti halnya N. Riantiarno, yang dikenal selalu menampilkan kritik sosial melalui pertunjukannya. Opera Ikan Asin disadur dari naskah Brecht yang berjudul asli Die Dreigroschenoper. Naskah yang ditulis dalam bahasa Jerman itu sesungguhnya sebuah drama yang berwarna muram dan pedih. Tetapi, Riantiarnomelalui humor yang kritiskemudian menyulapnya menjadi sebuah operetta yang tetap manis. Bagaimanapun, adalah Riantiarno yang kemudian memasyarakatkan karya-karya Brecht melalui Teater Koma. Lahir di Augsburg, Jerman, dengan nama Eugen Berthold Friedrich Brecht, pada 10 Februari 1898, ia adalah putra pasangan kelas menengah Berthold Friedrich Brecht dan Wilhelmine Friederike Sophie Brezing. Sejak kecil, Brecht sudah menunjukkan tanda-tanda ''pemberontakan". Ia menolak berlatih piano, biola, gitar. Ia melawan aturan-aturan rumah, dogma agama, dan tatanan sosial yang, menurutnya, berbau borjuis. Keluarganya mengenal Brecht kecil sebagai pemimpi yang gemar merenung. Bakat menulisnya sudah cemerlang sejak kecil. Ia sempat melewati hidup yang konvensional sebagai pekerja di rumah sakit tentara pada usia 20 tahunsebelum menjadi seniman besar. Sikap antiborjuisnya makin tegas setelah Perang Dunia I. Ia mulai menulis karya yang menunjukkan warna-warna pemberontakan. Baal (1923), karya pertamanya, menimbulkan heboh pada masa itu karena ia menulis tentang petualangan seksnya melalui Baal, Dewa Kesuburan dalam Alkitab. Brecht memang perayu ulung yang dapat menarik lawan jenisnya dengan cerdik dan elegan, dengan kecupan di punggung tangan. Dua perkawinannyadengan Marianne Zoff dan Helena Weigeldiselingi sekian penyelewengan. Wanita yang sulit ditaklukkan adalah besi berani yang menantang energi dan imajinasinya. Pada 1928, ia memproklamirkan diri sebagai komunis sejati dan tumbuh menjadi sastrawan dan dramawan berhaluan kiri yang paling terkenal pada zamannya. Ia membuat terobosan baru dalam seni pertunjukan teater. Karya-karya epiknyaringan, lugas, mudah dipahamibertentangan dengan gaya berteater Jerman umumnya pada masa itu. Ia menulis puluhan karya sepanjang hidupnya. Die Dreigroschenoper atau Opera Ikan Asin, sebuah opera balada yang ditulis 71 tahun silam, menggambarkan semangat sang pengarang memerangi kemapanan sosial. Satu hal yang nyata diperlihatkan Brecht sepanjang hidupnya adalah kemampuannya merenungi mimpi-mimpi yang jauh melampaui batas zaman: menampilkan sikap antiborjuis yang tegas di tengah lingkungan dan budaya borjuis, dan terus meyakininya sebagai kebenaran. Sebuah sikap yang ternyata tetap aktual satu abad lebih setelah kelahirannyaseperti yang diinterpretasikan Nano Riantiarno dalam Opera Ikan Asin sepanjang dua pekan, April ini. Pada 1933, Brecht dibuang ke Skandinavia. Delapan tahun kemudian, ia diasingkan ke Amerika. Tampaknya, ia bukan sosok yang dicintai tanah airnya. Kewarganegaraannya dicabut, buku-bukunya dibakar, dan ia diasingkan dari pentas teater Jerman. Periode 1937-1941 melahirkan karya-karya terbaiknya, antara lain Mother Courage and Her Children (1940). Delapan tahun kemudian, ia kembali ke tanah airnya. Setahun kemudian, ia meninggal di Berlin Timur. Ia meninggalkan puluhan naskah drama dan sebuah konsep tentang kegetiran hidup rakyat kecil. Hermien Y. Kleden

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1999/04/20/TER/mbm.19990420.TER94741.id.html#

20 April 1999 Profil


Renungan Riantiarno dan Kepahitan Brecht

Malam itu, sembari mengisap rokoknya dalam-dalam, Nano, demikian panggilan akrabnya, menatap panggung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, tempatya berlatih. Di panggung, ada bangunan dari kayu yang menandai set panggung pertunjukan Opera Ikan Asin telah berdiri: kayu-kayu yang membentuk dua rumah kumuh bertingkat dua dan sebuah penjara. Sesekali, Nano memberi instruksi kepada asistennya, Rita Matumona, untuk memperbaiki tata cahaya. Di atas panggung, ada awak Teater Koma yang selama 22 tahun menjadi organ kehidupan kelompok itu: Ratna Riantiarno, Salim Bungsu, dan Idris Pulungan berseliweran mementaskan saduran dari karya Brecht itu, untuk kedua kalinya. Dalam soal tata artistik dan tata cahaya, Nano memang agak "cerewet". Properti panggung, Nano ngotot harus menggunakan prop yang diinginkan. "Saya menyampaikan kepada Ratna, saya tidak mau properti itu hanya terdiri dari imaji saja. Dan saya juga tidak mau efisien dalam pementasan ini. Misalnya saya minta kursi antik, harus ada. Saya minta dibuatkan patung kuda, ya, harus ada," tutur Nano, tegas. Tentu saja ada yang istimewa dalam pementasan Opera Ikan Asin kali ini, selain ongkos produksinya sebesar Rp 150 juta dengan sponsor yang tak terlalu ramai di zaman krisis moneter seperti ini. Hal yang istimewa itu adalah the return of Nano on stage: Nano kembali manggung. Meski dari pementasan dua pekan itu ia hanya akan bermain sebanyak dua kali. Ini sangat istimewa karena pada pertunjukan Opera Ikan Asin pertama pada 1983, Nano bukan hanya menunjukkan dirinya sebagai seorang pimpinan teater yang andal, tapi juga seorang aktor yang sangat luwes dalam menguasai panggung. Dan, pada saat itu, nama Teater Koma mulai menanjak hingga ia menjadi sebuah kelompok teater yang memiliki kedudukan yang unik dalam dunia kesenian di negeri ini. Teater Koma memang fenomenal. Dia lahir dari "rahim" dua ibu, yakni Riantiarno yang berasal dari Teater Populer, pimpinan Teguh Karya; dan Ratna Madjid, yang berasal dari Teater Kecil pimpinan Arifin C. Noer. Teater Koma, sebagai "putra" dari perkawinan kedua tokoh teater iniyang menikah pada 1978, setahun setelah Teater Koma lahirkemudian menjadi buah hati yang melejit bagai meteor di dunia panggung. Bermula dari pementasan Rumah Kertas yang sukses besar dengan penonton "full-house", Nano kemudian melanjutkannya dengan pementasan-pementasan berikutnya, yakni Maaf, maaf, maaf; J.J; Bom Waktu, dan Opera Kecoa, yang segera menggegerkan penonton berduit di Jakarta. Harga karcis yang "wajar" dicatut oleh para pencatut hingga ratusan ribu, tetapi toh penonton bersedia membelinya. Inilah fenomena yang jarang, atau bahkan tak pernah dialami teater lain. Tampaknya Teater Koma menjadi sebuah saluran rasa frustrasi warga Indonesia yang lelah dengan opresi Orde Baru. Pada masa jaya inilah, Teater Koma kemudian mengurus diri menjadi kelompok yang profesional dalam arti manajemen. Artinya, mereka mencoba menggaji awaknya dengan jumlah yang cukup untuk zamannya. Namun, menurut Nano, Teater Koma tetap merupakan teater paguyuban yang tak sepenuhnya menerapkan manajemen modern yang rigid. Nano dan Ratna tidak ingin setiap pemain bermain hanya karena uang. Perbedaan gaji tiap pemain ditentukan oleh kontribusi dalam pertunjukan dan senioritas. Penggajian dilakukan secara terbuka. Di tempat latihandulu di kawasan Setiabudi, kini di Bintaroterdapat sebuah papan putih yang menjelaskan posisi pemasukan dan pengeluaran. "Teater Koma bisa bertahan 22 tahun karena perpaduan antara yang modern dan paguyuban," tutur Nano. Mungkin karena kombinasi itulah,

Teater Koma, yang semula beranggota 12 orang pada 1977, beranggota 200 orang saat ini, ditambah lagi 400 anggota tak tetap. Tentu saja, menjadi anggota Teater Koma tak berarti harus berseliweran di atas panggung. Nano menunjuk Sari Madjid, salah satu pentolan Teater Koma yang kini merangkap sebagai Manajer Panggung Teater Koma, misalnya, yang kini sangat dikenal sebagai manajer yang andal. "Kini, jika orang bertanya siapa stage manager yang paling baik di Indonesia, orang akan menyebut nama Sari Madjid. Dia sekarang sering dipakai oleh pertunjukan dari luar negeri," tutur Nano dengan nada bangga. Kebanggaan itu juga terlihat dari sosok Nano karena kelompoknya mampu bertahan, kompak, tahan banting, meski selama 22 tahun itu banyak dicaci oleh kritikus dan kalangan teater sendiri karena dianggap "berselera rendah", "terlalu verbal", "jorok", atau "vulgar". Tetapi saat Teater Koma mengalami serangkaian pelarangandan yang terbesar adalah peristiwa pelarangan drama Suksesi pada 1990ia tetap dibela oleh para seniman, termasuk mereka yang mencaci pementasannya. Pelarangan demi pelarangan menyebabkan Nano capek. Dia diam, dan untuk waktu yang cukup lama mengumumkan untuk "merenung". Orde Baru saat itu masih centang perenang dengan kukunya, dan Nano berhenti bertapa dan mementaskan drama-drama yang "serius" seperti RSJ atau The Crucible karya Arthur Miller. Opera Ikan Asin, yang disadur dari karya Brecht, memang sebuah pentas ulang, meski kemudian Nano memberikan sentuhan kontekstual dengan memasukkan persoalan bank-bank di masa kini (baca: Kemudian Opera Teater Koma). Tetapi, ia adalah sebuah hasil perenungan seorang Norbertus Riantiarno. Leila S. Chudori dan Arif Zulkifli
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1999/04/20/TER/mbm.19990420.TER94746.id.html

20 April 1999
Kemudian Opera Teater Koma

PEMENTASAN yang buruk, kata sebuah buku panduan penyutradaraan, bisa diselamatkan naskah yang bagus. Pementasan yang sukses, dengan naskah jelek, akan tidak memberikan sesuatu yang lebih berharga daripada yang sudah disebut. Itu karena konsep estetika si penulis buku (terbitan New York awal 1960-an) memandang ''sesuatu yang berharga" berhubungan dengan sebuah kearifan besar, kesadaran akan suatu keagungan, baik dari peristiwa seperti yang digerakkan takdir, yang pembangunannya dalam plot membimbing publik memasuki katarsis_yang dalam tragedi didapat lewat pembinaan rasa haru sampai ke puncak. Per naskah, wisdom seperti itu mewujudkan dirinya dalam kalimat-kalimat yang di luar pementasan biasanya lalu menjadi ''mutiara-mutiara hikmah". Contoh mudahnya: karya Shakespeare. Contoh kurang mudah: karya ''realistis" Faulkner, Ibsen, Tennessee Williams, dan siapa lagi. Mereka melibatkan emosi dan merangsang pikiran menawarkan katarsis dan ''kebijaksanaan". Tapi itu ''kuno", kata Grotowsky. Dari tokoh eksperimen 1960-an dalam progresi aktif ini tidak bisa diharapkan toleransinya kepada sikap bergantung pada naskah yang benar ada repetoar. Kemudian aktingyang, sebagai bukan usaha menghidupkan watak, tidak lagi berada dalam kungkungan ''realisme" Stanislavsky dan Boleslavsky. Bisa dipahami, dengan begitu, bila katarsis juga bukan katarsis lewat jalan tradisional. Atau sama sekali bukan katarsis. Dan hanya untuk soal kedua inidan bukan naskah sebagian teater garda depan beroleh sosok gurunya pada Bertolt Brecht, yang salah satu naskahnya dipentaskan Teater Koma dengan apiknya. Brecht (Jerman, 1899-1956) memang tokoh antikatarsis. Dan Teater Koma sangat mengerti. Pementasannya, Threepenny Opera, yang oleh Nano Riantiarno disadur menjadi Opera Ikan Asin, adalah sebuah suguhan yang bukan saja tidak mengundang orang menentukan sikap, tetapi juga tidak menginginkan mereka terlibat secara emosional. Ada sebuah jarakseperti yang kita rasakan di antara kita dan para pelawak, yang diisi keakraban tapi bukan pemihakan. Bedanya, di panggung bukan sekumpulan besar lelucon, melainkan hidup. Hidup yang penuh kasak-kusuk. Hidup para pengemis dan juragan para pengemis. Hidup seorang bandit yang diceritakan baik hati (oleh para pelacur), seorang gadis putri bos pengemis yang jatuh hati kepada si jagoan yang banyak pacar, dan akhirnya ''menikah dengan meriah", di sebuah gudang, dengan hadirin beberapa anak buah dan dengan hadiah barang-barang colongan atau rampasan, seorang komisaris polisi yang korup dan kawan dekat si benggolan, yang selalu berusahadan pernah berhasilmenghalangi penangkapan rekannya itu oleh anak buahnya sendiri, para polisi anak buah yang juga serakah, yang tindakannya menyebabkan lepasnya sang tahanan dari kurungan. Yang berusaha keras agar si jagoan digantung adalah si bos pengemis (pemilik perusahaan Juselormis, ''Juru Selamat Orang Miskin", koordinator semua peminta-minta dengan pemotongan penghasilan mereka) karena kemarahannya kepada percintaan putrinya dengan si begundal tukang todong dan tukang perkosa yang sudah pula punya istri yang lain (kedua istri sempat bertemu, di depan sel sang suami). Lalu ada pelaksanaan hukuman gantung. Tapi juga ada, akhirnya, utusan Gubernur Jenderal (ya, cerita bermain di Batavia zaman Hindia Belanda) yang, dari punggung kuda, di depan tiang gantungan, membacakan pengumuman. Isinya: pengampunan kepada si penjahat, pemberian tunjangan rutin sekian gulden, pengangkatannya sebagai anggota Volksraad, dan hadiah rumah di Depok, Jawa Barat. Mestinya semua itu kritik sosial. Dan mestinya penonton marah: pemerasan orang melarat, korupsi, dan seterusnya. Kritik memang ya. Apalagi tekanan yang diberikan sutradara dan penyadur, Riantiarno, menyesuaikan diri dengan satu perkembangan aktual di Tanah Air. Ini dinyanyikan beramai-ramai oleh si gadis yang, sepeninggal si bajingan yang ditahan, bersama anak buah suaminya mengambil alih perusahaan gelapnya dan bermaksud mendirikan bank. Kita akan menjauhi kejahatan Ya, kita harus mendirikan bank Untuk itu kita perlu uang Apabila masih juga kurang Tak ada salahnya kita mencuri Semua bank didirikan atas asas ini Tapi pengungkapan hidup yang bisa dirasakan berada

di panggung paling-paling sebuah ledekan. Penonton tertawa, gerrr, tertawa berkali-kali. Mestinya pengampunan di saat akhir itu membangkitkan pemberontakan mereka. Tapi tidak. Seperti kata Tukang Celoteh, yang berdiri di luar dan di dalam bangkai: Kisah ini berakhir dengan bahagia Yang ditonton yang baik-baik Orang kaya tak suka cerita yang sedih Dan itu khas Brecht. Jangan jatuh ke dalam emosi atau terperangkapnya dalam sikap. Ini kumpulan ironi. Hidup sebenarnya menggelikan juga, tetapi bukan komedi. Brecht, memang, seperti juga ditulis dalam buku programa, sering memenangkan justru pihak yang jahat. Inilah ''teater obyektif" ituyang juga tanpa sedikit rasa pahit, bahkan seandainya kita mampu menangkap semua kata yang dinyanyikan bersama dengan melodi-melodi datar, yang menjadi penyeling jalan pikiran atau peningkah progresi. Tapi, bila tanpa didengar jelas pun tontonan ini memikat, yang sedang bergerak di panggung adalah sebuah teater dewasa. Dan Brecht memberikan bahan yang pas benar dengan karakter grup yang ringan, cekatan, dan ''antikatarsis", dengan penguasaan medium yang untuk ukuran kita selesai. Di situ kekuatan datang dari dua pihak: naskah dan pemanggungan, yang mana pun yang pantas disebut lebih dulu. Seperti juga ketika mereka mengubah pendekatan terhadap takhayul Opera Ular Putih Cina yang sedianya tragis (1994), teks yang bagus menelurkan hasil yang bulat dan tidak pincang seperti bila kemampuan penguasaan medium disuplai oleh karangan sendiriatau oleh hasil saduran yang terlalu sarat dimuati kehendak kritik sosial, seperti pada sebagian pementasan Teater Koma tahun-tahun lalu. Tapi itu problem umum dunia kesenimanan kita. Bukan masalah struktur atau dramaturgi, untuk teater. Tetapi, yang ditangkap telingahal yang menyebabkan buku penyutradaraan itu (saya lupa penulisnya) bicara tentang ''naskah yang bagus". Pada kita, untuk sebuah grup yang matang, yang mungkin terjadi adalah belum matangnya sikap yang menjadi ibu kandung pelahiran seni, khususnya bila itu dicerminkan oleh kritikyang bisa sangat kocak, namun mentah. Orang boleh saja mempertimbangkan tradisi berpikir kita, sebagai bangsa, yang masih teramat muda dan tanpa kegemaran menukik. Maka yang muncul, dari segi substansi, baru kesimpulan-kesimpulan pertama. Memang, ini problem teater naskah. Syu'bah Asa, Pengamat Teater
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1999/04/20/TER/mbm.19990420.TER94739.id.html

\ 20 Desember 1999
Goethe Hidup-Mati bersama Alam

Dalam karyanya, Finnegans Wake, sastrawan Irlandia, James Joyce, menulis secara parodis bahwa takhta kesusastraan Eropa diduduki oleh triumvirat Daunty, Gouty, dan Shopkeeper. Tentulah

ketiga nama aneh itu hanyalah pelesetan Inggris untuk tiga dewa yang menghuni Olympus sastra Barat: Dante, Goethe, dan Shakespeare. Tahun ini salah satu dari ketiganya, Johann Wolfgang von Goethe, dipestakan oleh dunia, yang merayakan hari ulang tahunnya yang ke-250. Lahir di Frankfurt pada 28 Agustus 1749, dia memperoleh nama Goethe dari ayahnya, Johann Caspar Goethe, sedangkan nama Wolfgang diberikan oleh kakeknya dari pihak ibu, Johann Wolfgang Textor. Sang Ibu, seorang Textor, kemudian lebih dikenal sebagai Katharina Elisabeth, yaitu nama yang dipakainya setelah menikah. Bertumbuh sebagai anak yang amat cerdas, Goethe kemudian menempuh pendidikan hukumnya di Leipzig, yang pada masa itu dikenal sebagai Klein-Paris pada 1765-1768, dan kemudian ia meneruskannya di Strassburg pada 1770-1771. Setelah selesai studinya (dengan gelar licentiat hukum) dia sempat berpraktek singkat sebagai pengacara, tetapi ini lebih merupakan catatan kaki kecil untuk kehidupannya sebagai sastrawan yang membawa Sturm und Drang (badai di alam dan badai dari dalam) yang mengguncang dunia bahkan sampai hari ini. Ketika W.H. Auden dan Elizabeth Mayer menerjemahkan travelog Goethe, Italienische Reise, ke dalam bahasa Inggris, Italian Journey 1786-1788, Auden menulis bahwa untuk orang-orang yang belum pernah mengenal karya sastrawan besar ini, teks travelog tersebut merupakan pengantar yang bagus. Untuk mengisahkan sebuah perjalanan dibutuhkan kemampuan ganda: observasi dan deskripsi, yang dua-duanya dipunyai Goethe sampai pada tingkat yang menakutkan. Dalam sepucuk surat yang ditulisnya pada 1826, Goethe menceritakan seorang pengarang muda yang datang berkonsultasi kepadanya. Setelah percakapan singkat, Goethe mengambil kesimpulan bahwa anak muda itu amat piawai melukiskan pengalaman jiwa, suasana batin, dan gejolak hati serta refleksinya tentang semua itu, tetapi dia ogah-ogahan melukiskan apa yang terhampar di sekitarnya dan yang ada di luar dirinya. Maka, tema yang saya usulkan kepada orang muda ini adalah mendeskripsikan Kota Hamburg, seakan-akan dia baru saja kembali ke kota itu, demikian tulis Goethe. Kepandaian melukiskan detail yang teliti, kerajinan mencatat, dan melejitnya gagasan dan inspirasi adalah tiga hal yang saling memburu dan saling menyabot dalam diri sastrawan ini. Konon, berkali-kali dalam hidupnya dia harus meninggalkan apa yang sedang asyik dikerjakannya untuk mencatat gagasan baru yang tiba-tiba muncul di kepalanya, yang kalau tidak segera dituliskan akan terlupa dan menghilang begitu saja. Goethe mulai menulis Iphigenie pada 1779. Ketika dia akhirnya selesai menuliskan naskah ini, naskah Egmont, yang sudah dimulainya pada 1775, sudah menunggu untuk digarap, dan pada saat yang sama dia merencanakan dua Singspiele. Sambil mengerjakan semua ini, Goethe membuka kembali manuskrip Faust, yang telah ditinggalkannya selama 18 tahun dengan kertas-kertas yang mulai menguning, untuk menambah satu dua adegan baru dalam naskah drama tersebut. Ketika Goethe meninggalkan Roma, dia membawa serta naskah Tasso, yang telah ditinggalkannya selama sembilan tahun, dan menggarapnya selama perjalanan. Goethe suka dan sanggup mengerjakan banyak hal sekaligus sehingga banyak naskahnya

membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk diselesaikan. Werther, sebuah Brief-Roman yang membuat seluruh Jerman menitikkan air mata, diselesaikannya bersama dua naskah teater, Clavigo dan Stella, dari 1772 sampai 1775. Setelah pertemuannya dengan Herder di Strassburg, lahirlah sajak-sajak pertama yang khas Goethe dalam Goetz. Yang paling legendaris tentulah naskah Faust, yang dikerjakannya selama 60 tahun (!) dari 1772 sampai 1831. Sementara itu, dia mulai menuliskan autobiografinya pada 1810, yang diberi judul Dichtung und Wahrheit (Fiksi dan Fakta), yang seluruhnya menjadi enam jilid. Pada 1826, dia mulai menyusun Karya Lengkap-nya (Gesamtwerke), yang sempat diselesaikannya menjadi 40 jilid ketika dia hidup dan kemudian ditambah lagi 20 jilid setelah dia meninggal. Tidak lupa pula dia mengedit suratmenyuratnya dengan penyair Schiller, yang telah memberinya suatu persahabatan yang amat mendalam, subur, dan kreatif. Anehnya, semua ini tidak dilakukannya dalam kesendirian dan kesunyian, tetapi justru berbarengan dengan berbagai kegiatan penelitian ilmiah, pergaulan sosial yang aktif, dan banyak perjalanan ke berbagai pojok Eropa. Ketika masih tinggal di Frankfurt pada 1772-1775, Goethe membuat perjalanan sepanjang Sungai Rhein dan melanjutkannya ke Swiss. Pada 1775, dia diundang oleh Herzog Karl August agar datang dan tinggal di Istana Weimar. Di tempat ini, Goethe menghabiskan 13 tahun masa hidupnya dalam persahabatan dengan bangsawan tersebut dan diberi kepercayaan memangku beberapa jabatan penting. Selama masa itu, dia membuat perjalanan ke Harz, Potsdam, Berlin, dan perjalanan kedua ke Swiss. Perjalanannya ke Italia dimulainya pada 3 September 1786, saat dia meninggalkan Karlsbad pada pagi buta dan tiba di Roma pada 29 Oktober 1786. Di negeri baru ini, dihabiskannya paruh pertama tahun 1787 di Napel dan Sisilia, dan kemudian kembali lagi ke Roma. Pada 1790, dia pergi ke Venesia, Schlesia, dan Galisia. Pada 1792, dia ikut kampanye perang di Prancis, pada 1793 pindah ke Mainz, dan pada 1797 membuat perjalanan ketiga ke Swiss. Dari 1814 sampai 1815, dia membuat perjalanan menyusuri tiga sungai besar: Rhein, Main, dan Neckar. Di antara riuh rendahnya kesibukan itu, tidak dilupakannya penelitian-penelitian ilmiahnya, khususnya dalam bidang ilmu-ilmu alam. Penelitiannya dalam bidang optik telah menghasilkan dua karya, masing-masing Beitraege zu Optik (Sumbangan kepada Ilmu Optik) dalam dua jilid, 1791, dan Farbenlehre (Teori Warna), 1810, yang saat ini tengah dipamerkan di Goethe Institute, Jakarta. Studinya dalam bidang botani menghasilkan buku Metamorphose der Pflanze (Perubahan Bentuk Tumbuh-tumbuhan), 1790, setelah sebelumnya menerbitkan hasil studinya tentang arsitektur Jerman dalam Von Deutscher Baukunst, 1772. Penelitiannya dalam bidang anatomi menghasilkan penemuannya tentang adanya tulang di antara rahang (intermaxillary bone), pada 1784. Minatnya terhadap sejarah dan kesenian mendapatkan buah dalam jurnal yang diterbitkannya, Kunst und Altertum (Seni dan Zaman Antik), 1816-1832. Begitulah, sementara cinta sejati meminta perhatian sebagai syaratnya, cinta Goethe terhadap alam lahir dalam sajaksajaknya. Sedangkan perhatiannya terhadap alam menjelma dalam penelitian-penelitian ilmiahnya. Kehidupan cintanya tidak sepi sekalipun Goethe memulainya relatif terlambat dalam hidupnya. Ketika tinggal di Istana Weimar, dia berkenalan dengan Charlotte von Stein pada 1776, yang memberikannya suatu hubungan yang intim. Pada 1788, dia bertemu dengan Christiane Vulpius, yang baru dinikahinya 18 tahun kemudian. Namun, satu tahun setelah pernikahannya, lahirlah soneta-soneta yang amat indah yang dipersembahkannya untuk Minna Herzlieb, sedangkan dalam Diwan termuat berbagai sajak cinta untuk Marianne von Willemer antara 1813 dan 1815. Istrinya,

Christiane, meninggal pada 1816, dan baru pada 1823 Goethe berjumpa dengan Ulrike von Levetzow di Marienbad, yang kemudian melahirkan sajak-sajak Marienbader Elegie. Terhadap wanita ini, Goethe mencoba mengerahkan perasaannya sekali lagi, melamarnya, tetapi kemudian ditolak. Goethe diberkati dengan usia yang amat panjang (apalagi untuk zaman itu). Rentang 83 tahun tampaknya masih terlalu singkat untuk genius dengan kemampuan dan energi yang bernyala seperti kepundan gunung api itu. Dia sempat mengalami berbagai peristiwa besar dalam hidupnya. Dia bersahabat dengan Schiller dan Herder, mengenal Beethoven, dan mendapat kesempatan bertemu dengan Kaiser Maria Ludovica dari Austria. Dia mengalami dua kali perang koalisi di Eropa, yang berkobar antara 1792 dan 1797, dan berlanjut antara 1799 dan 1802. Dia sempat menyaksikan berakhirnya Das Heilige Roemische Reich (Kerajaan Roma yang Suci) pada 1803, dan berdirinya Rheinbund (Federasi daerah Sungai Rhein) pada 1806. Dia sempat mengalami akibat serangan Napoleon ke Austria pada 1809, yang menimbulkan perlawanan di Tirol, Spanyol, dan Kalabria. Seterusnya, Napoleon masih bergerak ke Rusia pada 1812, yang kemudian menimbulkan koalisi Rusia, Prusia, Austria untuk menghadapinya. Salah satu akibatnya adalah pertempuran sengit antara kedua pihak, yang kemudian dikenang sebagai Schlacht bei Leipzig (pembantaian di Leipzig), antara 16 Oktober dan 18 Oktober 1813. Monumen mengenang pembantaian ini masih dapat dilihat sampai hari ini di Kota Leipzig. Kehidupan berkeluarga Goethe menghasilkan seorang anak yang lahir pada 1789, dan diberi nama August, sebagai satu-satunya yang bertahan hidup dari lima anak yang lahir. Anaknya ini pun tidak hidup lama karena meninggal pada 1830, dengan meninggalkan dua orang cucu untuk Goethe, yaitu Walter dan Wolfgang. Dua tahun sebelum meninggal, Goethe tua masih terlibat dalam kontroversi Cuvier-Geoffroy dalam Akademi Paris. Setelah merayakan ulang tahun terakhirnya pada 1831, Goethe meninggal di Weimar pada 22 Maret 1832. Dalam sebuah pertemuan yang diadakan di Hamburg pada November 1989, fisikawan dan filosof Carl Friedrich von Weizsaecker mengucapkan sebuah pidato kebudayaan berjudul Deutschland: Schiller und Goethe. Sebuah kalimat pidato ini masih mengendap di hati saya sampai hari ini: Goethe ist eine Natur, Schiller ist ein sittlicher Wille (Goethe adalah sebuah alam, sedangkan Schiller adalah kehendak etis). Schiller melihat manusia bertumbuh dalam sejarah dunia, sedangkan Goethe melihatnya bertumbuh dalam sejarah alam. Alam adalah energi kreatif, dan seni adalah mengubah bentuk dalam alam menjadi bentuk yang dihasilkan sendiri, dan menjadikan bentuk yang telah dihasilkan sebagai bagian alam. Kekuatan Schiller adalah tenaga kehendak. Kekuatan Goethe adalah tenaga alam. Dia bertumbuh bersama sinar matahari, salju musim dingin, dan lenyap bersama dedaunan kuning pada musim rontok. Hidup dan matinya bersama alam. Di salah satu tempat, Goethe menulis tentang apa yang dinamakannya Meisterschaft (tahap mumpuni). Kalau kau berdiri tegak dalam sebuah kereta, dengan empat ekor kuda baru yang mendompak liar melawan tali kekangmu, tapi kau kendalikan tenaga mereka sehingga 16 kaki itu bergerak dalam satu irama membawamu sampai ke tujuan, itulah Meisterschaft. Dalam retrospeksi, dapat dikatakan dengan pasti bahwa kata-kata itu adalah potret diri sang penyair agung ini. Kusir itu adalah Goethe. Kereta itu adalah Goethe. Empat kuda liar itu adalah Goethe. Dan der

Meister adalah juga Goethe. Ignas Kleden, sosiolog, tinggal di Jakarta


http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1999/12/20/LYR/mbm.19991220.LYR98498.id.html

14 Juni 1999
Sebuah Upaya Menafsirkan Seni
ART Dipentaskan oleh Naskah : Studiklub Teater Bandung : Yasmina Reza

Sutradara Tempat

: Wawan Sofwan : Selasar Seni Sunaryo, Bandung

Ini sebuah ide gila. Sang Dokter Serge berniat membeli "taik" berupa sebuah lukisan kontemporer berwarna putih mulus dengan harga luar biasa mahal. Dan Marc, sang arsitek, tak setuju dengan keputusan itu. Keduanya lantas terlibat perang mulut. Kata-kata berubah menjadi senjata untuk saling melukai. Yvan, sang agen kertas, bersikap netral. Ia dengan sikapnya yang penuh common sense senantiasa menunjukkan toleransi. Namun, bagi Marc, "si Teroris Moral"demikian julukan bagi sosok demikian, bagi sejumlah kritikus teater Eropasikap Yvan sama artinya dengan apatisme. Secara tak terelakkan, Yvan tak luput dari kecamuk tersebut. Akhirnya, mereka pun rujuk setelah bersama-sama melangsungkan ritus yang ganjil: Serge mempersilakan Marc menggambar di kanvas putih bercat putih yang menjadi biang sengketa itu. Lantas, Serge dan Marc bersama-sama menghapus kembali jejak spidol yang digoreskan Marc. Selanjutnya, mereka seolah sepakat bahwa lukisan itu bukan cuma putih polos, melainkan sebuah karya yang mengandung aneka warna dan nuansa. "Upacara" ini disaksikan oleh Yvan. Di sini seakan hendak ditegaskan bahwa prinsip dan pandangan hidup bukan kemutlakan, dan apresiasi seni bisa ditumbuhkan. Nilai persahabatan, kendati bisa retak oleh perbedaan prinsip dan pandangan hidup, akhirnya lebih berharga daripada materi atau gengsi. Begitulah kesan yang membekas pada pertautan tiga serangkai Serge, Marc, dan Yvan dalam drama Art. Lakon yang memenangi penghargaan Moliere 1995 itu merupakan karya kelima Yasmina Reza (1957), dramawan Pancis yang karirnya menjulang dalam satu dasawarsa terakhir. Naskah yang dipentaskan oleh Studiklub Teater Bandung (STB) ini mengundang pengunjung yang membeludak di Arena Terbuka Selasar Seni Sunaryo, Bandung, akhir bulan silam. Disutradarai Wawan Sofwan, yang juga memerankan Yvan, pementasan itu berlangsung lancar dan segar. Naskah ini juga pernah dimainkan oleh aktor-aktor besar masa kini (Pierre Arditti, Pierre Vaneck, Fabrice Lucchini, dan juga Jean-Louis Trintignant) di Paris, Zurich, Berlin, dan London. Ia berkisah tentang konflik yang pecah di tengah kekariban, yang menghanyutkan para tokohnya ke arus agresivitas yang konyol, di antara snobisme, dusta, dan kedunguan yang menggelikan. Keistimewaannya, antara lain, lakon ini dibangun oleh variasi pengucapan. Di antara dialog yang menyatakan lapis permukaan watak, sesekali terselip monolog yang justru dimaksudkan sebagai sarana penyibak bagian-bagian tersembunyi dalam pribadi para tokohnya. Semua itu jalin-menjalin seakan hendak menggambarkan karakter kolektif kalangan borjuis yang membaurkan basa-basi dan ekspresi diri yang sejati. Semua itu dilontarkan dengan logika yang komikal, sesekali tebersit nuansa tragis, melalui perdebatan tentang arti seni, media yang sekaligus menjadi cermin multi-interpretatif bagi kemungkinan berintrospeksi. Kemungkinan itu tak hanya berlaku bagi para tokoh fiksi tersebut, tapi juga bagi penonton. Hal itu dimungkinkan lantaran penulis lakon ini dengan cerdik menyusupkan pelbagai problem personal sehari-hari dan remeh-temeh di antara bualan intelektual yang melambung. Mohamad Sunjaya memainkan perannya dengan proporsional untuk menyatakan psikologi Serge yang snob, mementingkan citra diri, setia kawan, sekaligus dihinakan. Kematangan Sunjaya itu cukup mendapat imbangan dari akting Wawan dan Ign. Aktor Arya Sanjaya, yang berhasil menghidupkan Marc yang realistis dan konservatif, yang terkadang sinis dan pemberang. Jika ada yang terasa kurang gereget, itu adalah adegan pertengkaran ketiga sahabat tersebut, akibat terlalu stabilnya proyeksi emosional para pemain. Namun, hal itu tak sampai mengganggu aksi-reaksi para aktor, yang tampak luwes di tengah kebersahajaan tata artistik garapan Sunaryo. Set yang terdiri atas lembaran-lembaran

cermin itu mampu menghadirkan ruang transparan dan reflektif secara sugestif. Dikombinasikan dengan sketsa putih dan elemen lain berwarna hitam, penataan itu seakan hendak menegaskan kembali visi manusia modern tanpa menutup kemungkinan hadirnya beragam imaji. Sitok Srengenge
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1999/06/14/TER/mbm.19990614.TER95408.id.html

07 Juni 1999
Pemilu, Kegilaan, dan Kegagalan
HAMLET MENJELANG PEMILU Teater Sae Naskah : Afrizal Malna Sutradara : Busyra Q.Yoga

Tempat Waktu

: Gedung Kesenian Jakarta : 29-30 Mei 1999

Adakah Hamlet yang bukan pangeran Denmark, dan bukan tokoh rekaan Shakespeare? Teater (neo) Sae punya jawabannya. Dalam pertunjukan Hamlet Menjelang Pemilu, yang kali ini disutradarai oleh Busyra Q. Yoga, Hamlet versi Teater Sae tampil berbeda dengan karakter seorang pangeran peragu yang membayang dalam maskulinitas Lawrence Olivier, Kenneth Brannagh, atau Rendra. Hamlet dalam lakon Afrizal Malna ini lebih mengesankan kepincangan identitas sebuah generasi yang dibohongi. Generasi yang hidup dalam negara transisi, kerajaan yang hendak berubah menjadi republik, dengan pemilu yang direkayasa Raja Baru. Hamlet menyambutnya dengan caranya sendiri, membuat pemilu berlangsung dengan kegilaan. Di situ, Hamlet dicitrakan sebagai tokoh yang punya ketegasan sikap, yang tak hanyut melainkan melawan arus euforia massa. Kegilaan itu akhirnya gagal. Ia dibunuh oleh kekuasaan. Ketegasan Hamlet di situ paradoksal dengan temperamennya yang lembek, feminin, dan gaya bicara seorang ABG (istilah masa kini untuk anak baru gede), bahkan kekanakan. Memasang Wahyu Priadi sebagai Hamlet, dengan akting yang payah dan artikulasi yang belepotan, merupakan kesembronoan yang fatal: karakter sentral lakon ini lenyap ditelan keluasan ruang. Apalagi dramaturgi naskah yang memang lemah tak diimbangi dengan sajian elemen artistik yang memadai. Ini sangat disayangkan karena beberapa tahun lalu Teater Sae punya posisi cukup penting di panggung teater mutakhir Indonesia. Di bawah pengarahan Boedi S. Otong dan berdasar teks Afrizal Malna, kelompok ini berhasil menawarkan "konsep" yang unik. Komunikasi antarperan, atau yang lazim disebut dialog, dilonggarkan dari ketunggalan tema, menjadi sengkarut komentar, diucapkan dengan nada riuh oleh peran-peran yang tanpa identitas. Kata-kata dibebaskan dari bangunan makna yang utuh dan jelas. Pemain leluasa menghidupkan ruang dalam bloking tak lazim, dengan intensitas dan energi tubuh yang menciptakan kolase gerak dan memancarkan histeria. Perkakas rumah tangga dihadirkan sebagai properti yang menautkan dunia imajiner dengan dunia sehari-hari. Sebuah kombinasi estetis yang mengesankan kegilaan, lebih menyentakkan sensasi daripada logika. Keunikan itu seakan tak membekas pada pertunjukan ini. Setelah beberapa tahun vakum dan sejak ditinggalkan sutradara Boedi S. Otong, Teater Sae seperti memulai dari titik nol. Padahal, sebagian pendukung pentas itu adalah orang-orang yang cukup berpengalaman, misalnya Afrizal Malna (penulis naskah dan juru bicara kelompok), Busyra Q. Yoga (sutradara), Sonny Sumarsono dan Iskandar Loedin (artistik), dan Aam Singalayu (musik). Pementasan itu sungguh jauh dari pencapaian artistik Teater Sae sebelumnya. Momen-momen puitis yang berkelindan secara asosiatif dalam penyutradaraan Boedi tak dapat ditemukan lagi. Ini seolah menegaskan bahwa Teater Sae, sebagaimana umumnya teater di Indonesia, masih menjadikan sutradara sebagai pusat orientasi kreatifnya. Mereka sendiri seakan sadar atas kelemahannya. Melalui penjelasan dalam leaflet (yang terkesan apologis), mereka sengaja tak hendak mengulang estetika teater yang pernah digelutinya. Lantaran situasi sosial politik yang berubah oleh reformasi, mereka membutuhkan jawaban atas pertanyaan: "teater seperti apakah yang akan dihadapi?". Dan mereka memilih Hamlet untuk menjawabnya. Namun, Hamlet yang mereka usung bukanlah karya William Shakespeare, juga bukan saduran atau tafsir atas jiwa bahasa simbolis, karakter, dan setting sosial budaya Kerajaan Denmark, yang tentu saja boleh diabaikan. Ini kisah yang dituliskan kembali. Nama Hamlet, juga beberapa nama tokoh lain dan kerangka dasar karya Shakespeare, sekadar

dipinjam untuk mengingatkan bahwa mungkin ada sisi lain yang hidup dalam diri tokoh-tokoh tersebut. Selebihnya adalah upaya merefleksikan kegelisahan sebagai warga negara yang gamang menatap masa depan. Repetisi dialog dan adegan yang kurang memedulikan efektivitas pencitraan menegaskan kemiskinan visi artistik penulis naskah dan sutradara. Keseluruhan lakon sekitar 90 menit itu tak lebih dari serentetan ungkapan verbal dan pengadeganan yang majal. Sebagai sebuah refleksi, daya gugahnya terasa lunglai ketika pada layar diproyeksikan fakta tentang pembantaian massa. Maka, seperti nasib Hamlet yang konyol, kegilaan yang hendak ditawarkan menjelang pemilu hanya menghasilkan sebuah kegagalan. Memprihatinkan. Sitok Srengenge
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1999/06/07/TER/mbm.19990607.TER95268.id.html

30 November 1999 Teater Tetas


Menggugat atau Memperkuat Mitologi

BAYI DI ALIRAN SUNGAI Oleh Tempat : Teater Tetas : Gedung Kesenian Jakarta

Naskah/Sutradara : Ags. Arya Dipayana

Dipati Karna mempunyai segala hal yang dibutuhkan untuk menjadi seorang hero. Dia adalah kesatria sejati, bernurani, cakap, cerdas, tapi ia memilih berdiri di pihak Kurawa, pihak yang sudah "ditakdirkan" menjadi "jahat". Dialah tokoh paling kontroversial dalam epos Mahabharata, yang keluar dari stereotipe penokohan "orang besar" karena secara sadar Karna mengabaikan kesempatan menjadi pahlawan. Padahal, para dewa penguasa takdir memilih Pandawa sebagai pihak yang "benar", dan Bharatayudha atau peperangan bani Bharata sejak awal dirancang untuk kemenangan Pandawa. Lagipula, Pandawa adalah saudara-saudara Karna yang sama-sama lahir dari rahim Dewi Kunti. Pilihan "si baik" untuk berdiri di pihak "si jahat", pilihan otentik pribadi bebas yang mempunyai pandangan subyektif sendiri mengenai nilai-nilai. Itulah yang hendak ditampilkan Teater Tetas melalui Bayi di Aliran Sungai, yang naskah dan penyutradaraannya digarap Ags. Arya Dipayana. Pertunjukan dibuka dengan adegan yang sangat menjanjikan. Tiga kelompok manusia bergerak dari dan ke tiga arah yang berbeda: ada gambaran tentang rakyat kebanyakan dari adegan ini. Kerja keras, siap mengabdi, dan rela berkorban. Tapi kisahnya tak pernah muncul karena para pujangga dan ahli sejarah lebih tertarik oleh para tokoh besar pegang peran dalam peristiwa-peristiwa besar. Sesudah adegan awal itu, barisan "rakyat" lalu berubah fungsi menjadi elemen konfigurasi pembangun situasi dramatis. Adegan bagus lain mengemuka selepas solilokui pendek Kunti (Renny Djayusman) yang melintas dari tepi ke tepi sambil menjuntaikan kain putih panjang yang ditinggalkannya melintang di panggung, bersama adegan Karna dan kedua orang tua angkatnya. Lalu rahasia riwayat Karna dibuka: seorang bayi dalam keranjang yang dihanyutkan sungai. Kain putih berubah fungsi menjadi sungai yang mengalirkan sebuah keranjang di atasnya. Keranjang diambil, jadilah peralatan dramatis yang membawa kita pada semacam kilas balik singkat. Sayang, bangunan-bangunan adegan yang menggali imajinasi semacam itu tidak dikembangkan lebih jauh. Para aktor, sesudah bagian pembuka, dikembalikan pada fungsi standarnya sebagai pemeran yang berdialog atau tanpa dialog. Rakyat kebanyakan ternyata juga tidak punya tempat dalam lakon ini. Pertunjukan juga agak diganggu oleh penataan musik dan penataan adegan. Tata musik (Ono Cahyo), kendati enak di telinga, sangatlah enteng bak musik kabaret-kabaret ringan. Akibatnya, pertunjukan dijauhkan dari kedalaman masalah. Lalu tata adegan menemui kesulitan besar dalam hal kelancaran. Begitu banyak pergantian adegan, begitu terbata-bata proses mengalirkannya. Bayi di Aliran Sungai secara umum tak berhasil membebaskan diri dari karakterisasi baku pewayangan yang sebenarnya hendak didobraknya: tetap hitam putih. Baik dari penokohan, dialog, pengembangan masalah, maupun perwujudannya di panggung oleh para pemerannya, Bayi di Aliran Sungai tampil kontradiktif dengan niatnya semula: ia bukannya menggugat mitologisasi kepahlawanan Pandawa, melainkan justru memperkuatnya. Pandawa tetap saja tampil sebagai kaum yang terus-menerus diperdaya oleh Kurawa. Sedangkan kaum Kurawa tetap saja dimunculkan sebagai manusia-manusia bengis yang tak punya hati. Solilokui Duryudana (Didi Hasyim), yang diupayakan memberi gambaran lain tentang Kurawa, malah muncul sebagai pidato pembelaan diri yang memperparah gambaran kaum Kurawa. Adapun Karna (Basukila Daeng Nyonyo) muncul sebagai sosok yang dibakar kecemburuan sosialyang juga tak tergarap baikdan kasar. Adegan penolakan Karna terhadap bujukan ibunya, Kunti,

menampilkan tokoh ini sebagai seorang anak durhaka tak tahu adat. Lalu Kunti malah tampak sebagai sosok korban yang mengalami nasib tragis, padahal maunya Kunti dimunculkan sebagai sosok ibu tak bertanggung jawab penebar benih kepedihan. Tampaknya, lakon ini perlu memangkas banyak adegan untuk membuatnya tak jadi sekadar versi ringkas dari cerita baku Bharatayudha. Sebaiknya, sang sutradara berkonsentrasi pada upaya mengeksplorasi kerumitan persoalan subyektif Karna di hadapan ide-ide moral, darma, persaudaraan, dan nilai-nilai "obyektif" lainnya. Lebih penting lagi seandainya lakon ini mampu menjelmakan para tokoh sebagai manusia konkret, bukan sebagai "gambar besar" dan mesin penyampai ide belaka. Ging Ginanjar
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1999/11/30/TER/mbm.19991130.TER98244.id.html

15 November 1999
Keluguan dalam Kekayaan Eksplorasi

BULAN DAN KRUPUK Oleh : Laskar Panggung Bandung

Naskah/sutradara : Yusef Muldiyana Tempat : Graha Bhakti Budaya, 10 November 1999

TAK ada tenaga yang tersisa pada pasangan suami istri Jalu dan Ipah. Bahkan, untuk meneruskan perjuangan paling minimal sebagai kaum miskinbertahan hidupmereka tak mampu. Padahal, bayi yang barusan dilahirkan Ipah punya hak atas nasib yang lebih berpengharapan. Maka, bagai Musa, sang jabang bayi dihanyutkan ke sungai. "Biar dia bertualang sendiri dan menemukan kisah sendiri." Bersama-sama, Jalu dan Ipah menyodorkan sang bayi suci lurus ke depan. Sunyi. Seorang berbalut lumpur memasuki panggung dengan tarian bertempo lambat. Ternyata, ia sang sungai, sang arus air (ditarikan dengan baik oleh Dedi Dablo): diambilnya sang bayi, digendongnya, dan dibawanya pergi. Tanpa diduga, bayi yang dicitrakan dengan gulungan kain putih itu dientakkan ke belakang, dan kain putih itu pun merentang jauh dengan satu ujung di tangan sang sungai yang terus menyeretnya, dalam tarian lambat bergerak menjauh, hingga lenyap. Ah, adegan yang menggetarkan. Imajinatif, penuh daya ungkap. Bulan dan Krupuk, yang dipentaskan Laskar Panggung Bandung, pekan silam, di Graha Bhakti Budaya TIM, adalah memang pementasan yang penuh eksplorasi, dan kaya akan idiom panggung. Naskah, pemeranan, penataan adegan, hingga musik memperlihatkan diri sebagai penerus gaya teater mendiang Arifin C. Noer. Yusef Muldiyana, penulis naskah dan sutradaranya, memang pernah berguru di Teater Ketjil selama beberapa tahun. Sebagaimana tradisi teater Arifin, pusat perbincangan adalah nasib kaum miskin kota yang mati-matian berjuang untuk bertahan hidup, habis-habisan bermimpi, dan akhirnya secara tragis terlibas oleh kekuasaan "takdir" atau apalah. Sebagaimana tradisi teater Arifin pula, Bulan dan Krupuk mengembangkan cara fabel ala teater Bertolt Brecht (1898-1956): puitis, pedih, pahit, tapi juga lucu, menggairahkan, jahil, dan sudah tentu kritis. Adegan-adegan saling bersusulan, bahkan berlompatan, dengan keliaran yang sering tak terduga. Panggung bukan saja jadi ruang dialog dan laku, tapi juga ruang yang naif, tapi segar, jernih. Misalnya, serombongan sosok bertopeng memperkenalkan diri sebagai hujan, lalu menari, dengan kocak, sambil memainkan perlengkapan dari bahan dedaunan keringdan memang berbunyi seperti cucuran air hujan. Lalu banjir memusnahkan segalanya, termasuk impian Ipah dan Jalu. Tanpa pretensi politik yang terlalu tinggi, drama ini berhasil menyentil. Jalu tidur pulas, Ipah sia-sia membangunkannya. Tapi Jalu terbangun ketika terdengar riuh bunyi bebek yang melintas bersama penggembalanya: bebek-bebek itu berseragam Korpri. Lain waktu, pasangan kita itu ketakutan oleh seekor anjing galak. Dan sang anjing ganas yang terus menggonggong itu ditampilkan dalam seragam TNI. Kejutan menyangkut pengadeganan dan penciptaan situasi seperti tak kunjung habis. Tetapi ada beberapa ganjalan di sana-sini. Misalnya para pemain yang umumnya masih membutuhkan waktu untuk tampil lebih matang, kendati sejumlah di antaranya menunjukkan bakat baik. Ria Ellysa Mifelsa memainkan Ipah dengan semangat hampir tak terbatas. Perempuan ini adalah sebuah janji indah untuk dunia pemeranan. Dua masalah lain menyangkut naskah dan penyutradaraan. Pertama, Yusef masih tergoda untuk menambahkan muatan simbolis yang sama sekali tak perlu. Misalnya onggokan bendera merah putih raksasa yang dua kali dipakai sebagai "rahim" lahirnya Jalu. Masalah kedua, Yusef belum berhasil mengelola kompleksitas dan tragedi permasalahan Jalu-Ipah. Akibatnya, dari segi tematis, pertunjukan ini belum sampai pada kedalaman. Ging Ginanjar

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1999/11/15/TER/mbm.19991115.TER97914.id.html

01 November 1999 Kereta Kencana


Penegasan Mutu Seorang Empu

td bgcolor=#EEEEEE valign=top>Sutradara

KERETA KENCANA : Pemain Rendra : Rendra dan Ken Zuraida Bengkel Teater Rendra Gedung Kesenian Jakarta

Produksi : Tempat :

PERSEMBAHAN apakah yang paling layak diberikan oleh seorang aktor dan sutradara? Rendra mempersembahkan pertunjukan yang bagus untuk menghormati Umar Kayam, tokoh yang berjasa menemukan bakat keaktoran dan penyutradaraannya. Repertoar yang dipilihnya adalah Kereta Kencana, lakon yang ditulis Rendra pada 1962 sebagai saduran bebas atas Les Chaises karya Eugene Ionesco. Pada 1997, lakon itu dipentaskan di Jakarta dan Kuala Lumpur, dan pada 1999 ini pun telah dimainkan di Surabaya dan Solo. Sebagai persembahan, Rendra menyadari, pementasan yang dilangsungkan di Gedung Kesenian Jakarta pada 20-24 Oktober 1999 itu bukanlah sebuah himne atau elegi. Kereta Kencana dimaknainya sebagai lagu kecil, sebuah perumpamaan, selingan doa sehari-hari, atau sebuah renungan ala kadarnya dalam menghadapi laju sang Waktu yang melanda peradaban bangsa kita yang terpuruk di akhir abad ke-20 ini. Ia berkisah tentang senja kala kehidupan dua orang gaek, kakek 700 tahun dan nenek 697 tahun, sebagai sepasang burung dara yang berbahagia sekaligus merana. Keduanya menyadari bahwa kematian segera menjelang. Sebuah kereta kencana yang ditarik sepuluh kuda satu warna akan menjemput pasangan itu. Ya, bila bulan telah luput dari pandangan mata, angin musim gugur menampari pepohonan, dan dedaunan rebah berpusingan. Dan mereka pun menunggu. Si Kakek merana lantaran merasa hidupnya belum cukup bermakna. Si Nenek menghiburnya dengan cara mengenang puncak masa silam yang gemilang. Tatkala si Kakek dicekam kesepian lantaran sadar tak punya keturunan, si Nenek lantas berilusi mempunyai seorang anak manis dalam gendongan, yang mendorong keduanya serta-merta berlagak sebagai sepasang orang tua sedang menimang anaknya. Ilusi itu pun terus berkembang. Pintu diketuk orang. Dan ketika pintu dibuka, ternyata mereka kedatangan Presiden Prancis. Di depan tamu agung itu, si Kakek memaparkan kejayaannya sebagai profesor di sebuah universitas ternama. Lantas, menyusul tamu-tamu lain: jenderal, model, dan juga ratu, perdana menteri, dan para pemimpin pemerintahan berbagai negeri. (Pada bagian ini, Rendra menyelipkan humor yang segar. Dikatakannya bahwa Presiden Indonesia juga datang, bukan sekadar bertandang, melainkan untuk mencari tambahan utang.) Mereka semua minta dianggap sebagai anak. Maka, orang tua itu pun terharuia menangisbahwa pada usianya yang ke-700 akhirnya ia diperkenankan punya anak hebat sebanyak itu. Keharuan itu pupus saat kembali terdengar ketukan pada pintu. Ketika pintu dibuka, memancarlah secercah cahaya gilang-gemilang Duta Mahakaisar! Tamu itu meminta tuan rumah mengajukan permohonan terakhir. Saat itu, langit mendung dan bulan luput dari pandangan mata. Sepasang manusia renta itu pun mengenang keindahan masa remaja untuk terakhir kalinya. Si Kakek membaca sajak Hueska karya John Conford, dan dibalas si Nenek dengan sajak Nicolas Guillen, Dongeng bagi Kanak-Kanak Antillas. Kemudian: suara derap kaki kuda dan derit kereta. Sepasang orang tua itu roboh berpelukan, tidur abadi, tepat ketika lonceng berdentang 12 kali. Melalui pementasan itu, banyak penonton berpendapat bahwa Rendra sekali lagi menegaskan posisinya sebagai seorang empu teater modern Indonesia. Pertunjukan berdurasi 90 menit itu tak hanya meng-garisbawahi kepiawaiannya sebagai sutradara. Sebagai aktor, ia tetap tampil penuh pukau. Pola retardasi yang ia terap-kan untuk menghidupkan tokoh Henri (kakek 700 tahun) terasa mengena, mengingatkan kita pada kecenderungan umum orang lanjut usia yang kekanak-kanakan. Ketuaan dan sikap kekanakannya

hadir penuh kewajaran. Proyeksi gerak dan suara dinyatakan dalam takaran yang proporsional. Penghayatan gagasan yang kemudian diwujudkan melalui tindakan yang plastis dan variatif menyebabkan seluruh adegan serasa berjiwa. Ketika dengan gerak-gerik kecil yang lentur Rendra menggambarkan pagi hari, serta-merta imajinasi kita bagai dituntun menikmati embusan angin segar; bunga-bunga dan kupu-kupu berkejaran dan bercinta. Sebagai pemeran Nenek, Ken Zuraida berhasil memberikan imbangan dalam menjaga intensitas permainan. Bahkan, dalam beberapa adegan, ketika keduanya mesti bernyanyi, Ida terkesan lebih fasih dibandingkan dengan Rendra. Jikapun ada yang patut disayangkan, itu hanyalah suaranya yang tak sepenuhnya konsisten, terkadang lepas dari citra ketuaan. Harmoni pertunjukan itu terwujud antara lain juga karena dukungan tata artistiknya: tata panggung, rias, dan kostum rancangan Ken Zuraida, musik ciptaan Dewo, tata suara Kazuo Pontoh, dan tata cahaya Jose Rizal Manua. Secara keseluruhan, sajian Bengkel Teater kali ini lebih sempurna dibandingkan dengan pertunjukan repertoar yang sama di Taman Ismail Marzuki dua tahun silam. Sitok Srengenge
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1999/11/01/TER/mbm.19991101.TER97619.id.html

23 Februari 1999
Gremengan Wong Cilik Menjelang Pemilu
Mengeja Kidung Gendari (Togog, Bilung Mbedah Tumpeng Duryudana Teater Utan Kayu, Jakarta, 12-13 Februari 1999 Produksi : Komunitas Wayang Nggremeng Solo

Dalang Sinden Pemain

: Slamet Gundono : Muriah Budiarti : Jliteng Suparman, Darno, Dwi Jaya, Joko Priyono, Martha Widyawati, dan lain-lain

Di Negeri Astina, Bilung sedang keranjingan bicara. Mengenakan seragam Korpri, ia berceloteh mengomentari semua peristiwa dengan suara yang tinggi-meninggi. Dosa para atasannya, yang menyebabkan kebangkrutan negara, didaftarkan satu per satu. Ia begitu bersemangat karena telah sekian puluh tahun mulutnya terbungkam. Maklum, sebagai pegawai negeri lapis bawah, apalah daya seorang Bilung. Namun kegairahan Bilung ini membuat sang kakak, Togog, tak senang, apalagi ia berprofesi sama. "Dulu, kamu makan dari mana? Dulu, pantat saja kamu jilat," kata Togog. Ganti Bilung yang tidak terima atas sikap Togog, yang dianggapnya sok bijak. Tak ayal, keduanya berkelahi seru. Sementara itu, di Padang Kurusetra, menjelang perang Baratayudha usai, Raja Astina, Duryudana, menyesali peruntungannya. "Aku sangat kaya dan berkuasa. Namun, mengapa tak ada yang mencintaiku?" Lakon Mengeja Kidung Gendari (Togog, Bilung Mbedah Tumpeng Duryudana) oleh Komunitas Wayang Nggremeng Solo memang sarat dengan potret sosial mutakhir. Nggremeng, berasal dari bahasa Jawa, lebih berarti menggumam atau membicarakan sesuatu dengan samar-samar, campuran antara menggerutu dan bisik-bisik mendamba. Bila potret sosial lekat, itu tak lain karena kesenian ini memang lahir dari kegelisahan para seniman atas kemalangan beruntun yang diderita negeri ini. Bagi Slamet dan kawan-kawannya yang tinggal di Solo, kerusuhan Mei 1998 yang membuat Kota Solo dimakan api adalah puncaknya. Para seniman menjadi gagap: mengapa massa tiba-tiba bisa begitu brutal? "Jangan-jangan, kesenian tradisional yang ada selama ini, termasuk wayang kulit, terpisah dari realitas masyarakat," kata Slamet Gundono, dalang lakon ini. Maka Slamet beserta rekannya bersepakat manggung agar denyut kehidupan di Solo berputar. Pilihannya adalah pertunjukan yang sederhana tapi tidak berjarak dengan persoalan publik. "Kembalinya wayang sebagai media kritik itu sesuatu yang mutlak, karena wayang kulit selama Orde Baru betul-betul ditelikung," ujar Slamet, yang beberapa kali mengalami pelarangan pementasan karena tak sudi mengikuti program "kuningisasi" para dalang. Kesederhanaan dalam wayang nggremeng diwujudkan dengan absennya peran gamelan dan kelir. Sebagai gantinya, para niyaga berolah mulut menirukan bunyi gamelan. Sekalipun terlihat asal bunyi, perlu "dicurigai" bahwa musik ini ditata cermat karena hasilnya sungguh asyik. Pemilihan bahasa Jawa dialek Tegal juga membuat bunyi yang terdengar makin berwarna. Kontribusi dialek ini tidak berhenti pada bunyi saja. Sebab, kelompok itu bisa membawakan dialek ini dalam bahasa sastra. Cerita mengalir lewat penuturan dalang dan para pemain. Di beberapa bagian, pemain juga berperan sebagai dalang sehingga terkadang mereka seolah menggunakan teknik bercerita berbingkai. Di sini, aksi panggung Jliteng Suparman, yang memerankan Bilung, patut dipuji. Di panggung, mereka menghadirkan tiga realitas. Pertama, realitas wayang yang berkaitan dengan cerita dalam wayang purwa, seperti saat-saat akhir Duryudana. Kedua, realitas kontekstual seperti

persoalan sosial politik terkini. Realitas kedua inilah yang dimanfaatkan pertunjukan wayang nggremeng itu untuk menggulirkan pendidikan bagi publik menjelang pemilihan umum. Inti pesan yang digagas bersama Yayasan Lontar adalah jangan ragu menentukan pilihan. Selain itu, perbedaan pendapat tidak perlu dihadapi dengan rasa permusuhan. Realitas ketiga adalah realitas makanan karena persoalan sehari-hari tak lepas dari urusan isi perut. Hasilnya unik, makanan berupa jajan pasar hadir sebagai media pentingdisantap, dilemparkan ke pemain lain, sekaligus menjadi materi obrolan yang seru. Tafsir atas sosok Duryudana juga menarik. Menurut Slamet, tak ada seorang pun yang terlahir menjadi jahat. Lingkunganlah yang membuatnya demikian. Sayangnya, dengan menyebut masa kekuasaan Duryudana yang 32 tahun, kelompok ini tergelincir untuk menggiring asosiasi penonton bahwa raja lalim itu adalah Soeharto, bekas presiden Indonesia. Klise, karena beberapa pertunjukan lain telah melakukannya. Yusi A. Pareanom
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1999/02/23/TER/mbm.19990223.TER93688.id.html

09 Februari 1999
Shakespeare dalam Bahasa Asia

Sebuah panggung seni rupa. Bak geladak kelongpanggung tempat memancingpanggung itu terbuat dari papan-papan hitam tersusun renggang. Sorot lampu warna-warni yang disiramkan ke sekujur tubuh panggung mampu memberikan imaji yang beragam: sebuah lembah yang dingin, malam yang pucat, padang gersang, atau sinar pagi yang berpendar dari balik sela papan panggung. Dengan permukaan yang agak melengkung dan sebuah panggung hitam lain yang memotong tegak

lurus, tata artistik, serta tata lampu yang memburaikan siraman sinar yang puitis, Teater Tanah Airku akhir pekan silam bagai menyajikan sebuah pertunjukan seni rupa dalam Lear. Inilah naskah adaptasi dari lakon King Lear karya sastrawan terkemuka William Shakespeare. Pementasan ini menjadi sangat istimewa bukan hanya karena ia karya Shakespeare. Ia menjadi akbar karena inilah pertama kalinya di Jakarta diselenggarakan acara yang merupakan kolaborasi seniman enam negara dengan menggunakan enam bahasa AsiaJepang, Cina, Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Singapuradalam satu panggung. Keseriusan menggarap Lear oleh sutradara asal Singapura, Ong Keng Sen, memang luar biasa. Ceritanya bermula ketika Japan Foundation Asia Centre meminta sutradara muda itu mementaskan sebuah karya Shakespeare. Ternyata pilihan itu tak salah. Ong yang baru berumur 36 tahun itu berpengalaman menggarap The Flying Circus Project, sebuah proyek kesenian yang melibatkan artis dari beberapa negara Asia. Ong kemudian memilih King Lear dengan alasan karya ini mengandung konflik yang luas. "Bukan hanya konflik antara ayah dan anak, tapi juga konflik di dalam negara," tutur Ong kepada Tempo. Ong juga mendapatkan ide tentang lintas budaya ketika ia masih mempelajari interculturism di New York, tempat ia pertama kali menyaksikan pertunjukan Mahabharata karya Peter Brook, yang melibatkan pemain dari berbagai negara. Ketika menyaksikan drama tersebut, Ong berpikir bagaimana caranya agar artis Asia melakukan pertunjukan semacam itu. Maka, untuk adaptasi naskah King Lear, Ong memilih Rio Kishida, penulis drama asal Jepang. Ong mengaku memilih seorang penulis skenario perempuan, salah satu sebabnya, agar ia juga memperkaya apa yang "hilang" dalam naskah asli Shakespeare: sosok ibu. Dan harapannya, Kishida akan bisa memberikan perspektif perempuan dalam menambahkan sosok ibumeski hanya sebagai bayanganyang menurut Ong sangat penting dalam kultur Asia. Maka, selama 15 bulan, Kishida mengaduk-aduk naskah King Lear sembari berdiskusi intens dengan Ong. Naskah, misalnya, tidak hanya dibuat sebagai narasi, tapi juga dikembangkan dalam story board seperti dalam proses pembuatan film. Hasilnya, Lear memang berbeda dengan versi asalnya. Naskah asli Shakespeare, yang terdiri atas lima babak (setiap babak terdiri atas lima sampai tujuh adegan), diperas Kishida menjadi hanya 17 adegan dengan durasi pementasan dua jam. Judul King Lear kemudian dipendekkan menjadi Lear saja. Tentu saja, seperti yang diutarakan Danarto (baca boks: Teater Tari Lear), di tangan Ong, pementasan Lear kemudian menjadi sebuah kisah yang lain. Kompleksitas intrik istana Shakespeare menjadi kisah yang lebih linier dan sederhana. Jumlah tiga putri Lear (Goneril, Regan, dan Cordelia) diringkas menjadi dua orang: si Sulung (yang keji dan penuh racun) dan si Bungsu (yang suci bagai malaikat). Para menantu Lear, serta Edmund dan Edgar, yang juga terlibat dalam seluruh jaringan intrik the war of the crownperebutan takhta ala Shakespearedihapus dan diringkas semua menjadi percintaan antara Putri Sulung dan seorang abdi (diperankan oleh aktor Singapura, Gani Abdul Karim) yang dengan ganas membunuh siapa saja yang mengancam takhta sang Putri. Belakangan, sang Abdi pun dibunuh atas perintah sang Putri karena ia mulai mengancam kedudukan Putri. Perombakan naskah, yang memang dilakukan secara besar-besaran, ternyata bukan hanya pada plot naskah, tapi terlebih pada teks. Kedahsyatan naskah-naskah drama Shakespeare, selain pada temanya yang universal, tentu saja pada teksnya yang puitis yang hampir tak tertandingi oleh sastrawan sejagat ini. Lalu, bagaimana

jiwa Shakespeare bisa tertangkap dengan pertunjukan yang memiliki unsur gerak dan visual yang lebih dominan dibandingkan dengan kata? Bagaimana sutradara Ong Keng bisa menjalin enam bahasa yang berbeda dan menjahitnya menjadi satu drama yang utuh? Pada akhirnya, bahasa dan kata-katameski sang Putri Sulung mengatakan "kata-kata adalah senjata"menjadi faktor yang tidak terlalu penting. Pementasan dengan enam bahasa campur aduk itu menunjukkan bahwa kisah Shakespearebetapapun sudah diadaptasi secara bebas adalah bahasa universal. Selain menjalin enam bahasa, Ong menggunakan musik dan tata artistik dari keenam negara. Ong bekerja sama dengan Rahayu Supanggah (gamelan Jawa), Piterman (musik Minangkabau), dan Junko Handa (biwa, alat musik sejenis kecapi asal Jepang). Persiapan menuju pementasan tersebut dilakukan selama tiga bulan. Ong memanggil Rahayu Supanggah, Boi Sakti, dan pemain dari negara lain untuk berkumpul di Singapura untuk menyatukan pemahaman mengenai kebudayaan masing-masing. Latihan selanjutnya dilakukan di negara masing-masing dengan beberapa kali pertemuan di Hong Kong, Jepang, dan Singapura. Di mata Rahayu dan Boi, profesionalisme Ong memang tidak diragukan. Keduanya diberi kebebasan untuk mengekspresikan diri. Ong hanya memberikan kerangka umum. Selebihnya, detail musik diserahkan kepada musisi Indonesia itu. Koreografi Boi yang menggunakan pencak Minang sebagai dasar, misalnya, dipakai Ong untuk memperkuat peran Abdi dan prajurit. "Ong juga memberikan beberapa adegan lain untuk saya garap, misalnya idiom gerak adegan pembunuhan," ujar Boi. Kendala bahasa di antara mereka dijembatani dengan menggunakan penerjemah. Tidak hanya dalam adegan, keseriusan penataan panggung menjadi daya tarik lain Lear. Perancang panggung asal Singapura, Justin Hill, membentangkan layar-layar lebar sebagai latar panggung dari kain-kain tradisional yang dikumpulkannya dari beberapa daerah. Sekilas, pentas ini memang menjadi ajang kebudayaan Asia yang utuh. Pementasan yang berlangsung pertama kali di Jepang (September 1997) dan selanjutnya di Hong Kong, Singapura, Indonesia, dan terakhir di Australia ini tengah dinegosiasikan untuk tampil di Eropa. Dan tentu saja itu akan memakan biaya yang tidak kecil. Japan Foundation Asia Centre, lembaga semipemerintah yang berpusat di Tokyo, yang merupakan promotor Lear, mengeluarkan tidak kurang dari 300 juta yen atau setara dengan Rp 33,6 miliar lebih. Ini baru sebagian. Di tiap negara, pementasan ini masih mendapat pasokan dana dari sponsor lokal. Di Indonesia, dukungan itu datang dari Japan Foundation Jakarta. Jumlah itu memang agak bikin risi, apalagi di negara yang tengah dilanda krisis. Tapi mungkin pertunjukan semacam inibetapapun mahal ongkosnyamenjadi sebuah sanctuary, tempat jiwa ini berlindung dari riuh rendahnya negeri ini. LSC, Arif Zulkifli, I G.G. Maha S. Adi, Wenseslaus Manggut
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1999/02/09/TER/mbm.19990209.TER93501.id.html

09 Februari 1999

Teater Tari Lear

ORANG tua itu membopong jenazah putri bungsunya diiringi suasana gamelan yang sendu. Berjalan terseok dengan hati yang luka, ia menyusuri suatu dataran di pinggir jurang yang dalam. Kabut dan asap yang mengepul dari jurang yang dalam itu mengalun ke angkasa, mempertegas tragedi yang hadir untuk menelan siapa saja. Adegan itu mengingatkan ketika Raja Lear membopong jenazah Cordelia, putri bungsunya, yang dibunuh Edmund, yang hampir pasti merebut kekuasaan Britania, dalam tragedi Raja Lear karya Shakespeare. Itulah salah satu adegan dari pertunjukan Lear versi Asia dari Raja Lear karya William Shakespeare, yang didukung oleh enam negara: Jepang, Cina, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Sebagai suatu pertunjukan yang (sangat) mencuatkan atmosfer teater tradisi Jepang, Lear muncul di panggung sebagai kekuatan teater tari. Tampil dalam 17 adegan, meski pertunjukan ini disebut "versi", penonton lebih menikmatinya sebagai pertunjukan yang diilhami oleh naskah Shakespeare itu, sehingga tidak perlu mencari-cari peran Lear, Goneril, Regan, Cordelia, Edmund, ataupun Tumenggung Gloucester dan Adipati Albany. Adegan-adegan tampil silih berganti dalam editing yang cepat sehingga tidak menimbulkan kebosanan sekalipun para pemainnya sering melakukan gerak lambat. Yang dapat dicatat adalah jalinan gerak tari dalam silat Minang yang energetik karya Boi G. Sakti, yang mendominasi tontonan ini, sehingga pertunjukan Lear ini dapat disebut teater tari. Ada tiga orang prajurit yang hampir selalu hadir di tiap adegan sebagai pengawal. Dalam gerak yang cepat, keras, runcing, dan tajam, mereka meloncat, meluncur, berguling, menangkis, memukul, dan menusuk. Di antara adegan tersebut, tubuh itu melompat ke dada temannya yang ditangkap dalam suatu keterpaduan gerak, sehingga menjadi sebuah komposisi tari kontemporer yang sedap dipandang. Aksi Boi G. Sakti yang sakti ini tampak antara lain dalam adegan yang menampilkan pembunuhan atas Putri Bungsu oleh Putri Sulung yang dilakukan abdinya, yang menjadi adegan ritual yang ritmis. Si Abdi menarik dengan keras hiasan kepala si Bungsu, yang putih memanjang bagai kuncir, sampai si korban tercekik menggelepar-gelepar di lantai. Adegan lain muncul: Putri Sulung membunuh sang Abdi setelah keduanya terlibat asmara. Maka muncul bayangan Putri Sulung menusuk sang Abdi. Korban pun terguling-guling tewas ditingkahi tiga prajurit itu, yang meloncat berlari ke belakang menembus tabir gelap yang tiba-tiba menutup pemandangan. Gerak "silat" yang cepat yang sering membantingkan badan ke lantai dalam kelenturan tubuh yang terolah dipadu dengan "gerak Noh" yang lamban, anggun, dan agung sungguh menjelma menjadi adegan yang subtil dan sublim. Rasanya pertunjukan ini mencerahkan. Naskah yang ditulis Rio Kishida (Jepang) itu menampilkan tokoh antara lain Lelaki Tua (juga sebagai Ibu), Putri Sulung, Putri Bungsu, Badut, Bujang, Pembantu Setia, Bayangan Ibu, Ibu-Ibu Bumi, dan Tiga Bayangan Putri Sulung: Ambisi, si Tak Terduga, dan Kekenesan. Dikemas dalam tata busana, tata rias, tata panggung, tata musik, tata suara, dan tata lampu yang dipadu dengan tata gerak, tontonan ini utuh muncul di panggung sebagai ekspresi perwujudan jiwa yang bebas, yang tak terbebani oleh kaidahkaidah seni tradisi yang dibawa oleh pendukungnya masing-masing. Sebenarnya, tontonan ini sebuah cerita baru (yang seolah tak ada hubungannya dengan Raja Lear karya Shakespeare): seorang ayah dibunuh putri sulungnya, untuk merebut takhta kekuasaannya. Pertunjukan ini menampilkan adegan-adegan dengan para pemainnya menggunakan bahasa ibu masing-masing (Jepang, Cina, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia). Penonton

menyadari, tak perlu lagi cerita (meski ada teks terjemahan dialog di dinding): sebuah teater tari yang memikat untuk dirasakan, tak perlu dimengerti. Wahyu tari yang jatuh di tangan Gusmiati Suid (dalam karyanya Api dalam Sekam) semakin membentangkan khazanah seni tradisi yang bukan main luasnya. Semua ini disediakan oleh haribaan Indonesia, diwarisi oleh Boi G. Sakti dan Rahayu Supanggah (dengan komposisi gamelan barunya), yang tampak besar sumbangannya dalam pertunjukan ini. Gamelan itu tingkahmeningkah dengan keyboard serta biwa oleh Junko Handa dalam arahan Mark Chan dan Supanggah, yang menyatukan suasana dalam tiap adegan yang dikumandangkan. Tata panggung yang spektakuler dalam kemiringan lantai untuk kenikmatan mata penonton dikerjakan oleh Justin Hill dari Australia. Tangan Hill menciptakan balairung, padang belantara, istana putri, daerah pertempuran, serta lembah dan jurang. Tata panggung menghadirkan kain lebar dan panjang yang naik turun secara sugestif, dipadu tata lampu oleh Shin Inokuchi (Jepang) yang menembus dari bawah ke atas, yang menciptakan baris-baris cahaya memanjang dari lembah yang menerangi angkasa bagai stalaktit dan stalagmit. Tata lampu ini telah menjadi jiwa pertunjukan. Tak boleh dilupakan, tata busananya, yang sebagian besar diilhami oleh teater tradisional Jepang, dikerjakan oleh Koji Hamai, yang menciptakan pertunjukan dengan atmosfer Jepang. Dalam latihan Lear selama dua tahun, Ong Keng Sensutradara Singapura 36 tahun yang jempolan itumerekrut aktor Noh, Noahiko Umewaka, untuk berperan sebagai Lelaki Tua, dan aktor Opera Beijing, Jiang Qihu, untuk memainkan Putri Sulung. Karya ini sudah dipentaskan di Jepang pada September 1997 silam dan direncanakan akan dipertunjukkan di Hong Kong dan Singapura pada awal 1999. Setelah di Jakarta, rombongan ini akan berpentas di Perth, Australia. Danarto (cerpenis, perupa, dan pengamat teater)
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1999/02/09/TER/mbm.19990209.TER93502.id.html

01 Februari 1999
Main-Main, tapi kok Serius
Tumirah Sang Mucikari Sutradara : Renny Djajoesman Skenario : Seno Gumira Ajidarma Penata Musik : Fariz R.M. Pemain : Renny Djajoesman, Budi Setiono, Ria Probo, Andi

Produksi

Bersama : Teater Yuka

"Tumirah namaku. Germo pekerjaanku. Sudah tua aku sebenarnya. Empat puluh tahun.... Dan aku sudah pensiun sejak beberapa tahun lalu.... Tidak ada lagi yang bisa kukerjakan sekarang selain jadi germo.... Yeah. Dunia selalu membutuhkan pelacur. Profesi yang tertua, kata orang. Aku bukan ahli sejarah, tapi aku setuju, selama manusia lahir masih dengan alat kelamin, pelacuran akan tetap ada." PANGGUNG gelap. Cahaya masuk remang-remang. Tumirah, sang muncikari, berkumpul dengan pelacur-pelacur anak asuhnya di sebuah rumah bordil di pinggir hutan. Ornamen panggung yang warna-warni tapi suram menunjukkan sebuah dunia hitam. Lakon Tumirah Sang Mucikari garapan sutradara Renny Djajoesman di Gedung Kesenian Jakarta, Jumat pekan lalu, memang bercerita tentang perjalanan hidup seorang germo. Sehari-hari ia mengasuh pelacur-pelacur yang melayani nafsu tentara pemerintah dan gerilyawan yang bertempur di sebuah hutan. Nasib malang datang, serombongan ninja mengobrak-abrik rumah bordilnya. Para pelacur diperkosa. Suasana jadi kacau karena para ninja tak pernah bisa dikenali. Suasana jadi saling curiga. Dan ketika seseorang berpakaian hitam ditemukan, masyarakat yang sedang marah semakin mendidih. Mereka mengeksekusi para ninja. Belakangan, setelah ninja itu remuk, mereka baru sadar bahwa mereka salah pukul. Mayat itu ternyata adalah Sukab, pelanggan tetap rumah bordil dan pacar Tumirah. Para ninja tertawa. Politik adu domba telah mengalahkan akal sehat. Kemarahan telah menafikan cinta. Sebagai sebuah cerita, lakon Tumirah Sang Mucikari tidak istimewa. Seno Gumira Ajidarma, penulis skenario, dipesan Renny untuk membuat naskah yang akan dipentaskan untuk merayakan ulang tahun ke-40 penyanyi itu. Seno mencicil naskahnya. Pertama-tama sebulan lalu. Sisanya baru ia rampungkan saat libur Lebaran. Walhasil, ini memang proyek kebut-kebutan. Tapi bukan cuma karena soal itu kalau pementasan ini terkesan kurang marem. Seno dalam naskahnya ingin mengetengahkan persoalan serius dengan cara main-main. Ada pemerkosaan massal, ada pembunuhan misterius, ada ninja, ada politik adu domba. Ini memang ciri Seno yang terutama tampil dalam cerpen-cerpennya dalam beberapa tahun terakhir. Wakil Pemimpin Redaksi majalah Jakarta-Jakarta itu ingin menjadikan cerpen, juga sastra secara keseluruhan, sebagai bentuk lain dari penyampaian fakta. Ketika berita tidak bisa bicara, sastra yang harus menggantikannya, itu yang juga pernah disampaikannya melalui kumpulan eseinya, Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara. Namun Renny mengolah guyonan Seno ini dengan main-main yang serba tanggung. Ia tidak serius bermain-main. Akibatnya, pengadeganan jadi kagok. Ada celetukan pelacur yang sarkastis dan menggelitik, tapi tiba-tiba Tumirah bangkit dengan pidato-pidato filosofis. Potongan adegan Tumirah diinterogasi intel, yang lucu dan ringan, yang dalam naskah digunakan Seno sebagai penutup pementasan, justru dipindah Renny ke bagian tengah. Seno ingin menutup pementasan dengan ringan, lucu. Tapi, di tangan Renny, penutupan jadi terlalu serius. Tentu saja ''kesalahan" tidak bisa hanya dilimpahkan pada interpretasi Renny terhadap naskah. Di lain pihak, Seno sendiri tampak tidak mulus mengaduk ''keseriusan fakta" dan ''ketidakseriusan

fiksi" dalam naskah teater, seperti yangdengan apikdilakukannya pada medium cerpen. Bagaimanapun, medium cerpen dan teater punya karakter yang berbeda. Dan Seno gagal menyiasati perbedaan ini. Dalam hal kualitas pemain, pementasan ini tidak menunjukkan adanya aktor yang menonjol. Renny menjadi pusat pertunjukan, selain karena ia pemain utama, juga karena ia seolah memainkan dirinya sendiri. Vokal Renny yang kita temukan di panggung adalah vokal dirinya sehari-hari: cempreng, keras, dan menusuk. Ria Purbo, yang bermain sebagai pelacur bernama Lastri, berhasil membawakan peran dengan ringan. Yongki Dracula, yang memerankan intel, bisa dengan enteng mengocok perut penonton seperti dalam pentas Srimulat. Musik garapan Fariz R.M. mampu memberi aksentuasi adegan. Panggung garapan Roedjito, meski sederhana, bisa menunjang elemen estetis, terutama setelah digabung dengan permainan lampu dari depan dan belakang panggung. Sebagai sebuah usaha berkesenian, apa yang dilakukan Renny dan kawan-kawan memang sudah lumayan. Tetapi akan lebih bagus lagi jika mereka bersedia untuk lebih serius bermain-main. Arif Zulkifli
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1999/02/01/TER/mbm.19990201.TER93425.id.html

30 Maret 1999
Pembebasan Albee di Kebun Binatang
Kebun Binatang Naskah Produksi Sutradara Penerjemah naskah Pemain Tempat dan waktu : Edward Albee : Teater IKJ : Eka D. Sitorus : Eka D. Sitorus : Jerry Octavianus, O'im Said : Teater Utan Kayu, 19-20 Maret 1999

DUA lelaki terdampar di sebuah taman di pusat kota: seorang eksekutif 40-an tahun dan seorang pria tak terurus bersepatu dekil. Yang eksekutif berjas wol, menggunakan kacamata berbingkai

tebal, dan mengisap cangklong. Yang lain sangat lesu dengan kaus butut yang ditutup kemeja tak dikancing. Sebuah bangku taman, daun yang terserak. Peter, lelaki berjas wol itu, datang dari sebuah dunia yang tertib. Ia menikah, punya dua anak perempuan, memelihara perkutut dan seekor kucing. Saban akhir pekan, ia duduk di taman melepaskan lelah dari kesehariannya sebagai pegawai bergaji tinggi di sebuah perusahaan penerbitan. Jerry, lelaki lainnya, adalah tubuh yang gelisah. Ia datang dari keluarga yang remuk. Ibunya lari dari keluarga ketika ia berusia 10 tahun. Ayahnya melakukan perjalanan zina ketika Jerry masih ingusan. Ia adalah sosok tanpa format. Dua orang dari dunia yang sama-sama asing dan sebuah debat eksistensial yang bergemuruh itulah yang ditampilkan Edward Albee melalui naskah Kebun Binatang yang dipentaskan di Teater Utan Kayu, Jumat dua pekan lalu, di bawah garapan sutradara muda Eka D. Sitorus. Sebuah naskah yang dibikin Albee, seorang penulis drama absurd, yang menulis naskah itu hanya dalam tiga minggu menyimpan renungan yang panjang. Melalui percakapan dan debat yang tak berkesudahan itu, Albee memang ingin mengejek konvensi umum yang diterapkan tokoh Peter. Bagi Albee, keteraturan, keluarga, dan moralitas merupakan sekat-sekat dan batasan terhadap keluasan. Dan bagi Jerry, Peter adalah tokoh yang gugup yang tak mampu mengekspresikan dirinya serta menjalankan hidup dalam sebuah garis yang linier. "Kau seseorang yang sangat manis, memiliki sifat tak berdosa yang patut dicemburui," kata Jerry mengejek. Sedangkan Peter memandang Jerry dengan sorot waswas. Di matanya, percakapan Jerry hanyalah monolog panjang yang asing. Jerry adalah seseorang yang tak hendak berbincang. Ia hanya mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Di taman itu, Albee telah menjadikan keduanya pada dua wacana yang lepas. Tapi ini tak berarti sutradara urakan yang kini mengajar di School of Theater Universitas Houston itu tidak memihak. Albee sengaja membiarkan Peter dalam situasi tidak paham dan sibuk mencari-cari posisi sosial dalam perdebatan. Albee melukiskan Peter sebagai wakil dari golongan mapan yang percaya bahwa realitas sesungguhnya dan dia bisa didudukkan dalam kotak-kotak kategori yang runtun. Dalam sebuah dialog, ketika Peter ingin memastikan apakah Jerry tinggal di bilangan Cempakaputihini tentu daerah yang diciptakan begitu saja oleh Eka D. SitorusJerry menyergap, "Apa sebenarnya yang ingin kaulakukan? Membuat semuanya rapi? Memberi sistem kategori yang sudah usang pada semua ini?" Inilah sebuah ejekan Albee terhadap kecenderungan kuantifikasi dan dengan demikian juga berarti ejekan terhadap penyempitan. Dan meski argumen ini bukan sesuatu yang baruKebun Binatang toh juga bukan naskah barudalam sebuah dunia yang mengagungkan takaran, apa yang disampaikan Albee jadi terasa kontekstual. Pembenaman Albee terhadap tokoh Peter bahkan memuncak di akhir adegan. Peter yang lurus ternyata gagal tepatnya tidak beranimempertahankan kelaziman yang dipercayainya itu. Ketika Jerry memaksa Peter meyerahkan bangku taman, Peter kalah. "Bela dirimu, bangsat! Pertahankan bangkumu. Pertahankan burung perkututmu. Pertahankan anak gadismu," teriak Jerry. Inilah puncak argumentasi Albee membela "kekacauan" itu. Meski Jerry akhirnya mati tertikam pisaunya sendiri, Albee belum berhenti. Dengan sarkastis ia terus mengejek dunia luar yang lazim, yang sublim dalam tubuh Peter. Peter yang gugup dihardik suara Jerry yang mulai parau dimakan sekarat. Kalimat-kalimat tajam tapi cerdas meluncur dari mulut Jerry yang berludah, "Cepatlah pergi. Perkututmu sedang mempersiapkan makan malamkucing sedang mempersiapkan meja." Kebun Binatang adalah naskah absurd yang menawan. Pertunjukan satu jam itu dipenuhi oleh kalimatkalimat profan dan "berbau busuk". Tapi Albee adalah kejujuran. Ia mengejek normalitas dan mengajak orang memandang dunia dari "mata" yang lainseperti ketika Pak Guru Keating dalam film Dead Poet Society berdiri di atas meja dan berseru, "Mari melihat dunia dari sudut yang lain!" Eka D. Sitorus cukup apik menggarap naskah "gelap" ini, kecuali ia terlalu memaksakan kontekstualisasi suasana. Nama-nama jalan yang diganti dengan jalan-jalan di Jakarta tidak diikuti

oleh penerjemahan naskah dengan bahasa yang cair. Akibatnya, permainan Jerry Octavianus (Jerry) dan O'im Said (Peter), yang sebenarnya liat, menjadi kagok karena tertimbun dialog terjemahan Eka yang mengikat dan kaku. Pertentangan dua ego dalam sebuah debat psikososial yang sesungguhnya asyik mendadak aneh karena penonton seperti dipaksa mengira-ngira padanan dialog itu dalam bahasa Inggrissemata-mata untuk bisa menangkap pasti tentang apa yang hendak disampaikan Albee. Di luar itu, kita menemukan keruwetan yang memikat. Albee meneror mental semua orang yang berpandangan lurus, tapi ia tidak terjebak untuk menjadi nenek tua yang nyinyir. Simbolisasi terhadap pandangan-pandangan politiknya digarap dengan pas. Penonton dipaksa berefleksi: bahwa dunia yang teduh, pohon yang rindang, dan kicau burung di taman yang cerah sesungguhnya bisa menjadi ancaman bagi keberlangsungan kehidupan. Albee seperti mengingatkan kita pada sebuah syair dari kelompok The Beatles: "Karena langit itu biru, aku menangis." Arif Zulkifli
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1999/03/30/TER/mbm.19990330.TER94254.id.html

27 April 1999
Renungan Riantiarno dan Kepahitan Brecht

Malam itu, sembari mengisap rokoknya dalam-dalam, Nano, demikian panggilan akrabnya, menatap panggung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, tempatya berlatih. Di panggung, ada bangunan dari kayu yang menandai set panggung pertunjukan Opera Ikan Asin telah berdiri: kayu-kayu yang membentuk dua rumah kumuh bertingkat dua dan sebuah penjara. Sesekali, Nano memberi instruksi kepada asistennya, Rita Matumona, untuk memperbaiki tata cahaya. Di atas panggung, ada awak Teater Koma yang selama 22 tahun menjadi organ kehidupan kelompok itu: Ratna Riantiarno, Salim Bungsu, dan Idris Pulungan berseliweran mementaskan saduran dari karya Brecht itu, untuk kedua kalinya. Dalam soal tata artistik dan tata cahaya, Nano memang agak "cerewet". Properti panggung, Nano ngotot harus menggunakan prop yang diinginkan. "Saya menyampaikan kepada Ratna, saya tidak mau properti itu hanya terdiri dari imaji saja. Dan saya juga tidak mau efisien dalam pementasan ini. Misalnya saya minta kursi antik, harus ada. Saya minta dibuatkan patung kuda, ya, harus ada," tutur Nano, tegas. Tentu saja ada yang istimewa dalam pementasan Opera Ikan Asin kali ini, selain ongkos produksinya sebesar Rp 150 juta dengan sponsor yang tak terlalu ramai di zaman krisis moneter seperti ini. Hal yang istimewa itu adalah the return of Nano on stage: Nano kembali manggung.

Meski dari pementasan dua pekan itu ia hanya akan bermain sebanyak dua kali. Ini sangat istimewa karena pada pertunjukan Opera Ikan Asin pertama pada 1983, Nano bukan hanya menunjukkan dirinya sebagai seorang pimpinan teater yang andal, tapi juga seorang aktor yang sangat luwes dalam menguasai panggung. Dan, pada saat itu, nama Teater Koma mulai menanjak hingga ia menjadi sebuah kelompok teater yang memiliki kedudukan yang unik dalam dunia kesenian di negeri ini. Teater Koma memang fenomenal. Dia lahir dari "rahim" dua ibu, yakni Riantiarno yang berasal dari Teater Populer, pimpinan Teguh Karya; dan Ratna Madjid, yang berasal dari Teater Kecil pimpinan Arifin C. Noer. Teater Koma, sebagai "putra" dari perkawinan kedua tokoh teater ini yang menikah pada 1978, setahun setelah Teater Koma lahirkemudian menjadi buah hati yang melejit bagai meteor di dunia panggung. Bermula dari pementasan Rumah Kertas yang sukses besar dengan penonton "full-house", Nano kemudian melanjutkannya dengan pementasanpementasan berikutnya, yakni Maaf, maaf, maaf; J.J; Bom Waktu, dan Opera Kecoa, yang segera menggegerkan penonton berduit di Jakarta. Harga karcis yang "wajar" dicatut oleh para pencatut hingga ratusan ribu, tetapi toh penonton bersedia membelinya. Inilah fenomena yang jarang, atau bahkan tak pernah dialami teater lain. Tampaknya Teater Koma menjadi sebuah saluran rasa frustrasi warga Indonesia yang lelah dengan opresi Orde Baru. Pada masa jaya inilah, Teater Koma kemudian mengurus diri menjadi kelompok yang profesional dalam arti manajemen. Artinya, mereka mencoba menggaji awaknya dengan jumlah yang cukup untuk zamannya. Namun, menurut Nano, Teater Koma tetap merupakan teater paguyuban yang tak sepenuhnya menerapkan manajemen modern yang rigid. Nano dan Ratna tidak ingin setiap pemain bermain hanya karena uang. Perbedaan gaji tiap pemain ditentukan oleh kontribusi dalam pertunjukan dan senioritas. Penggajian dilakukan secara terbuka. Di tempat latihandulu di kawasan Setiabudi, kini di Bintaroterdapat sebuah papan putih yang menjelaskan posisi pemasukan dan pengeluaran. "Teater Koma bisa bertahan 22 tahun karena perpaduan antara yang modern dan paguyuban," tutur Nano. Mungkin karena kombinasi itulah, Teater Koma, yang semula beranggota 12 orang pada 1977, beranggota 200 orang saat ini, ditambah lagi 400 anggota tak tetap. Tentu saja, menjadi anggota Teater Koma tak berarti harus berseliweran di atas panggung. Nano menunjuk Sari Madjid, salah satu pentolan Teater Koma yang kini merangkap sebagai Manajer Panggung Teater Koma, misalnya, yang kini sangat dikenal sebagai manajer yang andal. "Kini, jika orang bertanya siapa stage manager yang paling baik di Indonesia, orang akan menyebut nama Sari Madjid. Dia sekarang sering dipakai oleh pertunjukan dari luar negeri," tutur Nano dengan nada bangga. Kebanggaan itu juga terlihat dari sosok Nano karena kelompoknya mampu bertahan, kompak, tahan banting, meski selama 22 tahun itu banyak dicaci oleh kritikus dan kalangan teater sendiri karena dianggap "berselera rendah", "terlalu verbal", "jorok", atau "vulgar". Tetapi saat Teater Koma mengalami serangkaian pelarangandan yang terbesar adalah peristiwa pelarangan drama Suksesi pada 1990ia tetap dibela oleh para seniman, termasuk mereka yang mencaci pementasannya. Pelarangan demi pelarangan menyebabkan Nano capek. Dia diam, dan untuk waktu yang cukup lama mengumumkan untuk "merenung". Orde Baru saat itu masih centang perenang dengan kukunya, dan Nano berhenti bertapa dan mementaskan drama-drama yang "serius" seperti RSJ atau The Crucible karya Arthur Miller. Opera Ikan Asin, yang disadur dari karya Brecht, memang sebuah pentas ulang, meski kemudian Nano memberikan sentuhan kontekstual dengan memasukkan persoalan bank-bank di masa kini

(baca: Kemudian Opera Teater Koma). Tetapi, ia adalah sebuah hasil perenungan seorang Norbertus Riantiarno. Leila S. Chudori dan Arif Zulkifli
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1999/04/27/TER/mbm.19990427.TER94819.id.html

20 April 1999
Kemudian Opera Teater Koma

PEMENTASAN yang buruk, kata sebuah buku panduan penyutradaraan, bisa diselamatkan naskah yang bagus. Pementasan yang sukses, dengan naskah jelek, akan tidak memberikan sesuatu yang lebih berharga daripada yang sudah disebut. Itu karena konsep estetika si penulis buku (terbitan New York awal 1960-an) memandang ''sesuatu yang berharga" berhubungan dengan sebuah kearifan besar, kesadaran akan suatu keagungan, baik dari peristiwa seperti yang digerakkan takdir, yang pembangunannya dalam plot membimbing publik memasuki katarsis_yang dalam tragedi didapat lewat pembinaan rasa haru sampai ke puncak. Per naskah, wisdom seperti itu mewujudkan dirinya dalam kalimat-kalimat yang di luar pementasan biasanya lalu menjadi ''mutiara-mutiara hikmah". Contoh mudahnya: karya Shakespeare. Contoh kurang mudah: karya ''realistis" Faulkner, Ibsen, Tennessee Williams, dan siapa lagi. Mereka melibatkan emosi dan merangsang pikiran menawarkan katarsis dan ''kebijaksanaan". Tapi itu ''kuno", kata Grotowsky. Dari tokoh eksperimen 1960-an dalam progresi aktif ini tidak bisa diharapkan toleransinya kepada sikap bergantung pada naskah yang benar ada repetoar. Kemudian aktingyang, sebagai bukan usaha menghidupkan watak, tidak lagi berada dalam kungkungan ''realisme" Stanislavsky dan Boleslavsky. Bisa dipahami, dengan begitu, bila katarsis juga bukan katarsis lewat jalan tradisional. Atau sama sekali bukan katarsis. Dan hanya untuk soal kedua inidan bukan naskah sebagian teater garda depan beroleh sosok gurunya pada Bertolt Brecht, yang salah satu naskahnya dipentaskan Teater Koma dengan apiknya. Brecht (Jerman, 1899-1956) memang tokoh antikatarsis. Dan Teater Koma sangat mengerti. Pementasannya, Threepenny Opera, yang oleh Nano Riantiarno disadur menjadi Opera Ikan Asin, adalah sebuah suguhan yang bukan saja tidak mengundang orang menentukan sikap, tetapi juga tidak menginginkan mereka terlibat secara emosional. Ada sebuah jarakseperti yang kita rasakan di antara kita dan para pelawak, yang diisi keakraban tapi bukan pemihakan. Bedanya, di panggung bukan sekumpulan besar lelucon, melainkan hidup. Hidup yang penuh kasak-kusuk. Hidup para pengemis dan juragan para

pengemis. Hidup seorang bandit yang diceritakan baik hati (oleh para pelacur), seorang gadis putri bos pengemis yang jatuh hati kepada si jagoan yang banyak pacar, dan akhirnya ''menikah dengan meriah", di sebuah gudang, dengan hadirin beberapa anak buah dan dengan hadiah barang-barang colongan atau rampasan, seorang komisaris polisi yang korup dan kawan dekat si benggolan, yang selalu berusahadan pernah berhasilmenghalangi penangkapan rekannya itu oleh anak buahnya sendiri, para polisi anak buah yang juga serakah, yang tindakannya menyebabkan lepasnya sang tahanan dari kurungan. Yang berusaha keras agar si jagoan digantung adalah si bos pengemis (pemilik perusahaan Juselormis, ''Juru Selamat Orang Miskin", koordinator semua peminta-minta dengan pemotongan penghasilan mereka) karena kemarahannya kepada percintaan putrinya dengan si begundal tukang todong dan tukang perkosa yang sudah pula punya istri yang lain (kedua istri sempat bertemu, di depan sel sang suami). Lalu ada pelaksanaan hukuman gantung. Tapi juga ada, akhirnya, utusan Gubernur Jenderal (ya, cerita bermain di Batavia zaman Hindia Belanda) yang, dari punggung kuda, di depan tiang gantungan, membacakan pengumuman. Isinya: pengampunan kepada si penjahat, pemberian tunjangan rutin sekian gulden, pengangkatannya sebagai anggota Volksraad, dan hadiah rumah di Depok, Jawa Barat. Mestinya semua itu kritik sosial. Dan mestinya penonton marah: pemerasan orang melarat, korupsi, dan seterusnya. Kritik memang ya. Apalagi tekanan yang diberikan sutradara dan penyadur, Riantiarno, menyesuaikan diri dengan satu perkembangan aktual di Tanah Air. Ini dinyanyikan beramai-ramai oleh si gadis yang, sepeninggal si bajingan yang ditahan, bersama anak buah suaminya mengambil alih perusahaan gelapnya dan bermaksud mendirikan bank. Kita akan menjauhi kejahatan Ya, kita harus mendirikan bank Untuk itu kita perlu uang Apabila masih juga kurang Tak ada salahnya kita mencuri Semua bank didirikan atas asas ini Tapi pengungkapan hidup yang bisa dirasakan berada di panggung paling-paling sebuah ledekan. Penonton tertawa, gerrr, tertawa berkali-kali. Mestinya pengampunan di saat akhir itu membangkitkan pemberontakan mereka. Tapi tidak. Seperti kata Tukang Celoteh, yang berdiri di luar dan di dalam bangkai: Kisah ini berakhir dengan bahagia Yang ditonton yang baik-baik Orang kaya tak suka cerita yang sedih Dan itu khas Brecht. Jangan jatuh ke dalam emosi atau terperangkapnya dalam sikap. Ini kumpulan ironi. Hidup sebenarnya menggelikan juga, tetapi bukan komedi. Brecht, memang, seperti juga ditulis dalam buku programa, sering memenangkan justru pihak yang jahat. Inilah ''teater obyektif" ituyang juga tanpa sedikit rasa pahit, bahkan seandainya kita mampu menangkap semua kata yang dinyanyikan bersama dengan melodi-melodi datar, yang menjadi penyeling jalan pikiran atau peningkah progresi. Tapi, bila tanpa didengar jelas pun tontonan ini memikat, yang sedang bergerak di panggung adalah sebuah teater dewasa. Dan Brecht memberikan bahan yang pas benar dengan karakter grup yang ringan, cekatan, dan ''antikatarsis", dengan penguasaan medium yang untuk ukuran kita selesai. Di situ kekuatan datang dari dua pihak: naskah dan pemanggungan, yang mana pun yang pantas disebut lebih dulu. Seperti juga ketika mereka mengubah pendekatan terhadap takhayul Opera Ular Putih Cina yang sedianya tragis (1994), teks yang bagus menelurkan hasil yang bulat dan tidak pincang seperti bila kemampuan penguasaan medium disuplai oleh karangan sendiriatau oleh hasil saduran yang terlalu sarat dimuati kehendak kritik sosial, seperti pada sebagian pementasan Teater Koma tahun-tahun lalu. Tapi itu problem umum dunia kesenimanan kita. Bukan masalah struktur atau dramaturgi, untuk teater. Tetapi, yang ditangkap telingahal yang menyebabkan buku penyutradaraan itu (saya lupa penulisnya) bicara tentang ''naskah yang bagus". Pada kita, untuk sebuah grup yang matang, yang mungkin terjadi adalah belum matangnya sikap yang menjadi ibu kandung pelahiran seni, khususnya bila itu dicerminkan oleh kritikyang bisa sangat kocak, namun mentah. Orang boleh saja mempertimbangkan tradisi berpikir kita, sebagai bangsa, yang masih teramat muda dan tanpa kegemaran menukik. Maka yang muncul, dari

segi substansi, baru kesimpulan-kesimpulan pertama. Memang, ini problem teater naskah. Syu'bah Asa, Pengamat Teater
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1999/04/20/TER/mbm.19990420.TER94739.id.html

13 April 1999
Hidup yang Muram Bersama Beckett
Produksi Naskah Penerjemah Sutradara Pemain : Teater Garasi Yogyakarta : Samuel Beckett : Yudi A. Tajudin : Landung R. Simatupang : Yudi A. Tajudin, Whani Hari Darmawan, Kusworo Bayu Aji, Erythrina Baskorowati : Teater Utan Kayu, 9-10 April 1999

Waktu dan tempat

SEBUAH kamar dalam rumah tua, mungkin gudang atau kapal Nabi Nuh yang terapung. Dinding ruang berwarna pucat: dua jendela kaca, sebuah lukisan yang dipasang terbalik. Kursi kayu beroda kecil di ujung kaki-kakinya teronggok di tengah ruangan. Di depannya berdiri dua tong usang berselimut seprai tipis. Di ruang hampir tanpa spirit itulah Hamm tertidurdan juga hidup. Lelaki tua lusuh itu dilayani oleh Clov, pria lain yang mengabdi pada Hamm sejak kecil. Clov adalah indra bagi Hamm, yang lumpuh dan buta. Clov hidup dan bergerak berdasarkan tiupan peluit Hamm, yang meminta ini dan itu. Lalu masih ada Nagg dan Nell, orang tua Hamm, yang ''disimpannya" dalam dua tong usang tadi. Keduanya kurus dan tak berdaya. Suasana murung dan relasi Hamm, Clov, Nagg, dan Nell itulah yang dibangun Samuel Beckett dalam lakon Endgame, yang dipentaskan Teater Garasi di Teater Utan Kayu, Jumat pekan lalu. Namun, tidak seperti dalam teater realis, Beckett menyajikan relasi yang tak lazim. Hamm dan Clov menjalin hubungan saling ketergantungan. Hamm membutuhkan Clov sebagai indra, Clov membutuhkan ruang fisik yang diperolehnya dari Hamm. Nagg dan Nell saling membutuhkan untuk mengusir sepi. Namun relasi-relasi itu bagi Beckett bukan soal yang penting betul. Kesemuanya adalah perangkat untuk menggambarkan posisi manusia, yang di mata pelopor teater absurd itu seperti tanpa asa, sepi dan terasing. Hamm dan Clov mungkin saling mengejek tapi sesungguhnya keduanya sepakat bahwa dunia yang mereka tempati adalah udara dalam kubah hitam tanpa sinar apalagi harapan. ''Apa yang kau lihat?" tanya Hamm kepada Clov, yang memandang keluar jendela dengan teropong. ''Kosong..., kosong, kosong...," jawab Clov. Dan ketika Clov mengarahkan teropongnya ke laut, ia lagi-lagi hanya menemukan ketakberadaan. Clov meringis. ''Semuanya hilang," katanya. Camar, ombak, juga matahari telah menyingkir. ''Dan horizon? Tak ada sesuatu di horizon?" tanya Hamm lagi. ''Apa yang ada di horizon...? Cuma gelap dari kutub ke kutub." Beckett memang membangun dialog yang mengiris. Ia seperti tidak ingin menyisakan optimisme dalam pentas sepanjang hampir dua jam itu. Di luar manusia, apakah alam atau Tuhan, semua tak bersahabat. ''Alam telah melupakan kita," tutur Hamm. ''Tak ada lagi alam," ujar Clov. Pada akhir pertunjukan, Beckett memutus relasi antartokoh yang dibangunnya. Clov pergi meninggalkan Hamm. Nagg dan Nell terbenam dalam tongnya. Dan Hamm kembali mengutuk hidup yang dijalaninya. Dan dengan

demikian, hidup bagi Hamm adalah permainan yang harus secepatnya diakhiri. Endgame, seperti karya Beckett yang lain, Menunggu Godot, adalah karya teater yang tidak dimulai dari gagasan. Beckett memulainya dari perangkat dasar teater: benda, warna, bunyi, gerak, dan sunyi. Karena itu di pentas ini kita tak akan menemukan wacana, melainkan ungkapan. Bentrokan antartokoh bukanlah merupakan debat diskursif seperti kita temukan pada karya-karya Edward Albee. Kesemuanya lebih merupakan semburan perasaan Beckett ketimbang pertarungan ide. Tapi di sinilah kelebihanan Beckett: ia jadi bebas pretensi. Dan di tangan Teater Garasi, lakon yang pertama kali dipentaskan di Prancis tahun 1957 ini benar-benar muncul sebagai cerita yang fatalistik. Terasa berat, tapi itulah Beckett. Konteks Eropa tidak dihapus. Suasana panggung dan pemain adalah imajinasi telanjang Beckett yang dibiarkan hidup apa adanya. Tanpa adaptasi, pertunjukan ini mungkin asing, tapi tetap asyik. Daya tahan pemain sempurna, intonasi dan pengadeganan efisien dalam Teater Utan Kayu yang sempit. Aksentuasi mengental terutama dengan casting dan tata rias yang kuat hasil garapan Retno Ratih Damayanti dan kawan-kawan. Ini memang pentas yang berhasil. Paling tidak menyadarkan penonton bahwa manusia sesungguhnya adalah makhluk yang terasing. Arif Zulkifli
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1999/04/13/TER/mbm.19990413.TER94623.id.html

31 Mei 1999
'A Cappella' untuk Sinta
SINTA OBONG Tempat Waktu Produksi Dalang : Pusat Kebudayaan Prancis, Jakarta : 21 Mei 1999 : Eksotika Karmawibhangga : Sujiwo Tejo

Pemusik/Pemain : Bujel Dipuro, Buce Baria, Rudy Wanandar

Sinta adalah kemalangan ganda. Permaisuri Sri Rama ini tampaknya memang tak bisa lari dari ketidakberuntungan. Membaktikan dirinya untuk ikut sang suami yang terbuang ke hutan, titisan Dewi Widowati ini akhirnya diculik oleh Rahwana, Raja Alengka. Dalam mitologi India, istri adalah shakti alias daya hidup bagi sang suami. Kehilangan istri sama saja dengan kehilangan kehidupan. Tak mengherankan bila Sri Rama bersedia bersusah payah merebut sang istri kembali. Namun, ternyata shakti bagi Rama berhenti sebatas simbol. Ketika berhasil membebaskan Sinta, ia meragukan kesucian sang istri. Bukan saja Sinta harus menjalani pembakaran untuk membuktikan dirinya tak terjamah, setelah tahun-tahun berlalu pun sang suami tetap ragu. Akhirnya, Sinta memilih untuk kembali ke pelukan bunda pertiwi dengan menghilang di antara tanah yang terbelah. Ironis, karena ketika Sinta masih di Alengka, dalam lakon Sinta Obong yang dimainkan Sujiwo

Tejo dan kawan-kawan, Rahwana justru mengguyurnya dengan rasa cinta. Rahwana tak menjamahnya karena ia ingin Sinta rela bersentuhan semata demi cinta. Dan, menurut Tejo, sebetulnya Sinta juga terpikat oleh Rahwana yang gentle. Itu tafsir yang agak "subversif" memang. Tapi, bagaimanapun tafsir Tejo, ternyata yang tampil dari pentas ini: tak ada (lelaki) yang mencintai Sinta dengan tulus. Cinta Rama hanya di permukaan, sementara cinta Rahwana adalah cinta yang serakah, cinta yang menuntut imbal balik. Bagaimana dengan Tejo? Tampaknya, sang dalang juga tak mencintai Sinta. Ia tak memberi Sinta kesempatan untuk mengekspresikan apa yang sebenarnya ia rasakan. "Terus terang, saya tak sanggup memilihkan kata-kata untuk Sinta. Pasti ada yang kurang," kata Tejo. Sebagai ganti, Sinta berlagu Nadian. Boleh jadi ini memang kilah Tejo. Namun, secara keseluruhan, Sinta Obong tampil lumayan memikat. Pertunjukan yang dikemas dalam format Wayang Garingan itu juga menyajikan fragmen Frekuensi Dalang Kerusuhan serta lagu-lagu yang dibawakan secara a cappella. Wayang Garingan memang satu bentuk baru seni pertunjukan. Ide dasarnya akan mengingatkan penonton pada wayang gemblung, yang memungkinkan para pemusik berperan ganda sebagai aktor. Yang membedakannya dengan pertunjukan wayang orang atau wayang kulit, a cappella menggantikan fungsi gamelan. Sepintas, format ini mirip Wayang Gremeng yang dibawakan kelompok Slamet Gundono dari Solo. Tapi, selain "pemusik" pada Wayang Gremeng berlagu menirukan bunyi gamelan, paduan suaranya betul-betul menjalankan fungsinya sebagai penyanyi. Menurut Tejo, penggunaan a cappella ini diilhami pengalamannya ketika masih menjadi wartawan. Dari liputannya di berbagai daerah seperti Nias dan Irian, a cappella asli pribumi ternyata tak kalah yahud. Alasan lain, pemasukan a cappella dan pemusik yang duduk di kursi dengan barisan yang teratur adalah untuk "mengejek" pertunjukan musik klasik yang serba serius. Dengan aneka sajian yang ditawarkan, menonton Wayang Garingan bisa diibaratkan dengan memasuki pusat jajan serba ada. Dari aneka suguhan itu, paduan suara a cappella memang menjadi sajian yang paling sedap. Tejo bersama Bujel, Buce, dan Rudy menggarap lagu-lagu itu dengan cermat. Lagu Yesterday milik The Beatles dengan mulus disambung dengan lagu Ilir-ilir ataupun Praon. Lagu-lagu Jawa dari kawasan Blambangan sampai Banyumasan juga mengalir nikmat. Sayangnya, menu yang lain tampil kurang menggigit. Fragmen Dalang Kerusuhan bahkan boleh dibilang sajian basi yang terus-menerus disuguhkan. Memang maksud sang sutradara baik, yaitu untuk memberikan jam terbang bagi anggota kelompoknya yang relatif masih baru dalam berkesenian. Namun, untuk tampil dalam pertunjukan yang sarat dengan atmosfer seni tradisi, seorang aktor harus benar-benar memiliki spontanitas yang segar. Dalam pertunjukan malam itu, spontanitas yang muncul adalah "spontanitas" yang direkayasa. Selain itu, sentilan yang tanggung terhadap kejadian aktual juga membuat pertunjukan melebar tanpa fokus. Akibatnya, yang membuat Wayang Garingan menarikuntuk sementara inihanya satu: sajian a cappella. Yusi A. Pareanom
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1999/05/31/TER/mbm.19990531.TER95062.id.html

24 Mei 1999
Boneka-Boneka Gundul Misterius
Flamingo Bar Teater Figur Tubingen Di Teater Utankayu, 14 dan 15 Mei, 1999

CERITANYA berawal dari boneka yang memakai kostum burung merak, yang namanya menjadi lakon teater boneka ini, Flamingo Bar. Ia mula-mula menggelantung. Lalu turun ke lantai, tengkurap. Ia diam membisu seribu bahasa, bak pertapa. Ia tak makan, tak minum, tidak mendesah, lebih tampak tidur. Sekali-kali ia bangun dan berjalan. Sebentar. Lalu berhenti lagi untuk membisu. Kemudian, muncullah beberapa boneka menggodanya. Tapi ia tidak tergoda sedikit pun, sampai pertunjukan usai setelah tergelar sekitar 55 menit. Para penggoda itu ada boneka kembar penari kipas, boneka pemain akrobat, boneka nasar (burung pemakan bangkai), boneka "Drag Queen" tua (pemain kabaret?), juga boneka malaikat pelindung yang kecil, sebesar telapak tangan, dan jangan lupa boneka angsa persis mainan kanak-kanak, yang biasa kita jumpai di supermarket . Sebagai dalang, sewaktu memainkan boneka-bonekanya, Frank Soehnle tidak menyembunyikan badannya dari penonton. Bahkan, Soehnle ikut terjun sebagai aktor. Sudah tentu, terjadi interaksi antara Soehnle dan boneka-bonekanya. Dan di sinilah pertunjukan ini memikat. Ketika menggoda sang Flamingo Bar, Soehnle memangku boneka "Drag Queen" tua sambil meminjamkan kakinya, yang berbulu dan memakai sepatu perempuan. Adegan ini paling memikat karena lucu, fantastis, dan aneh. Si Drag Queen tua melenggang-lenggok, berusaha betul gerakan erotisnya bisa mendongkel ketabahan hati Flamingo Bar. Si Queen juga menyingkap bajunya untuk memperlihatkan betisnya. Ya ampun, betis si Soehnle! Penonton pun "gerr". Tapi, tunggu dulu. Ada pertanyaan khusus dari anak-anak untuk Om Soehnle: "Kenapa penonton tertawa karena boneka menyingkap betisnya?" Pertanyaan ini wajar, meski sehari-harinya sang anak biasa melihat ibunya memakai rok supermini. Bung Soehnle tidak bercerita lurus. Terpotong-potong. Begitulah, satu per satu adegan bermunculan, yang sebagian berdiri sendiri-sendiri. Muncullah nasar yang tinggi meliuk-liuk. Alhamdulillah, boneka ini bisa mudah bermetamorfosis: kadang tampak sebagai penari, kadang sebagai burung pemakan bangkai yang ganas, yang menyeret si bisu, seperti mau di-"kremus"-nya. Kali lain, Soehnle dengan anjingnya nonton opera Barbier von Sevilla dan Tosca. Ternyata, anjing bermoncong runcing ini bisa mengikuti jalan ceritanya. Anjing itu manggut-manggut, gelenggeleng, termangu, kaget, atau sedih. Pada adegan yang menyenangkan, ekor anjing itu ber-kipitkipit. Bahkan, pada adegan yang mengharukan, anjing itu terempas jatuh pingsan, yang membuat Soehnle cemas. Perlu dicatat, sejumlah adegan mengharuskan Pak Dalang berlatih keras. Pada adegan dua penari kembar kipas, gemulai para penari entah lari ke mana. Juga, saat pemain akrobat nongol, gerak

akrobatiknya tidak mengesankan. Namun, secara keseluruhan, Soehnle sudah berhasil mengembuskan nyawa ke dalam boneka-bonekanya. Soehnle memainkan seluruh bonekanya sendirian di atas lantai seukuran kira-kira dua kali dua meter. Kali ini, Soehnle dan Karin Ersching, teknisinya, berproduksi bersama Teater Rudimentar untuk Teater Boneka Stuttgart. Mereka sudah unjuk kebolehan di Hanoi, Bangkok, Kuala Lumpur, Singapura, dan Jakarta. Harus dicatat, tata lampu ciamik. Lebih-lebih tata musiknya, yahud banget. Terkesan kebanyakan menggunakan perkusi, grup Rat'n'X, dengan personel Johannes Frisch dan S.K.W. Mertin, perlu diacungi jempol. (Hayo, siapa kemarin nyuri ngrekam?) Kesempurnaan boneka-bonekanya memang terjaga. Soehnle memimpin sendiri pembuatannya. Ruas-ruas jari-jemari tangan boneka, misalnya, dibuat persis jemari manusia sehingga bisa digerakkan dengan pasti waktu mencengkeram, menadah, maupun memberi tabik. Tapi, Bung Soehnle jangan girang dulu. Kali ini terlontar pertanyaan dari penonton tua. Kenapa, sih, seluruh bonekanya gundul? Kalau gundulnya Sinead O'Connor, atau de la Pena, sih, oke banget. Apa yang menarik dari boneka-boneka gundul, tua, dan cemberut, kecuali menampakkan wajah yang aneh, misterius, dan kadang seram? Dan boneka-boneka itu harus diekspresikan sebagai perempuan sensual, atau pemuda ganteng, atau penari yang memikat. Inilah kesenjangan budaya pertama bagi penonton Timur yang bisa dicatat dari pementasan itu. Para penontonorang tua dan kanak-kanakmemang bisa tertawa menyaksikan adegan-adegan yang lucu. Tapi terasa, tawa mereka terhenti ketika menyadari yang dihadapi adalah bonekaboneka yang cukup seram untuk suatu bentuk teater boneka yang selama ini dikenal. Sehingga, Flamingo Bar, bisa-bisa ditanggapi penonton tua sebagai cerita horor. Danarto
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1999/05/24/TER/mbm.19990524.TER95144.id.html

Anda mungkin juga menyukai