Anda di halaman 1dari 9

Sejarah Dan Unsur Teater

Nama : Inge Aprina


Nim : 2233230005

SENI PERTUNJUKAN

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2024
1. SEJARAH TEATER BARAT

a. Asal Mula Teater Barat


Teater berasal dari kata Yunani, “theatron” yang artinya tempat atau gedung
pertunjukan yang terbentuk dari kata “theaomai” yang berarti melihat. Dengan
demikian pada awal mulanya teater diartikan sebagai gedung tempat menyaksikan
pertunjukan (seeing place). Teater dapat dikatakan sebagai manifestasi dari aktivitas
naluriah, seperti misalnya, anak-anak bermain sebagai dokter dan pasien, ayah dan
ibu, bermain perang- perangan, dan lain sebagainya. Selain itu, teater merupakan
manifestasi pembentukan strata sosial kemanusiaan yang berhubungan dengan
masalah ritual. Misalnya, upacara adat maupun upacara kenegaraan. Teater selalu
dikaitkan dengan kata drama yang berasal dari kata Yunani Kuno “draomai” yang
berarti bertindak atau berbuat dan “drame” yang berasal dari kata Perancis yang
diambil oleh Diderot dan Beaumarchaid untuk menjelaskan lakon-lakon mereka
tentang kehidupan kelas menengah. Kata “drama” juga dianggap telah ada sejak era
Mesir Kuno (4000-1580 SM), sebelum era Yunani Kuno (800-277 SM).

WS Rendra dalam Seni Drama Untuk Remaja (1993: 86), menyebutkan bahwa naskah
teater tertua di dunia yang pernah ditemukan ditulis seorang pendeta Mesir, I Kher-
nefert, di zaman peradaban Mesir Kuno kira-kira 2000 tahun sebelum tarikh Masehi. I
Kher-nefert menulis naskah tersebut untuk sebuah pertunjukan teater ritual di kota
Abydos, sehingga terkenal sebagai Naskah Abydos yang menceritakan pertarungan
antara dewa buruk dan dewa baik.

b. Zaman Yunani
Tempat pertunjukan teater Yunani pertama yang permanen dibangun sekitar 2300
tahun yang lalu. Teater ini dibangun tanpa atap dalam bentuk setengah lingkaran
dengan tempat duduk penonton melengkung dan berundak-undak yang disebut
amphitheater.

Ciri-ciri khusus pertunjukan teater pada masa Yunani Kuno adalah:

 Pertunjukan dilakukan di amphitheater.


 Sudah menggunakan naskah lakon.
 Seluruh pemainnya pria bahkan peran wanitanya dimainkan pria dan memakai
topeng karena setiap pemain memerankan lebih dari satu tokoh.
 Cerita yang dimainkan adalah tragedi yang membuat penonton tegang, takut,
dan kasihan serta cerita komedi yang lucu, kasar dan sering mengeritik
tokoh terkenal pada waktu itu.
 Selain pemeran utama juga ada pemain khusus untuk kelompok koor
(penyanyi), penari, dan narator (pemain yang menceritakan jalannya
pertunjukan).

Pengarang teater Yunani Klasik, yaitu:

 Aeschylus (525-SM). Dialah yang pertama kali mengenalkan tokoh


prontagonis dan antagonis sehingga mampu menghidupkan peran. Karyanya
yang terkenal adalah Trilogi Oresteia yang terdiri dari Agamennon , The
Libatian Beavers, dan The Furies.
 Shopocles (496-406 SM) dengan karya yang terkenal adalah Oedipus The
King, Oedipus at Colonus, Antigone.
 Euripides (484-406 SM) dengan karya-karyanya antara lain Medea,
Hyppolitus, The Troyan Woman, Cyclops.
 Aristophanes (448-380 SM) penulis naskah drama komedi. Dengan karyanya
yang terkenal adalah Lysistrata, The Wasps, The Clouds, The Frogs, The
Birds.
 Manander (349-291 SM.). Manander menghilangkan koor dan menggantinya
dengan berbagai watak. Misalnya watak orang tua yang baik, budak yang
licik, anak yang jujur, pelacur yang kurang ajar, tentara yang sombong dan
sebagainya. Karya Manander juga berpengaruh kuat pada Zaman Romawi
Klasik dan drama komedi Zaman Renaissance dan Elizabethan.

c. Zaman Romawi
Setelah tahun 200 Sebelum Masehi kegiatan kesenian beralih dari Yunani ke Roma,
begitu juga Teater. Teater Romawi menjadi penting, karena pengaruhnya kelak pada
Zaman Renaissance. Teater pertama kali dipertunjukkan di kota Roma pada tahun 240
SM.
kebaruan dalam penggarapan dan penikmatan yang asli dimiliki oleh masyarakat
Romawi dengan ciri-ciri sebagai berikut:.
 Koor tidak lagi berfungsi mengisi setiap adegan.
 Musik menjadi pelengkap seluruh adegan. Tidak hanya menjadi tema cerita
tetapi juga menjadi ilustrasi cerita.
 Tema berkisar pada masalah hidup kesenjangan golongan menengah.
 Karakteristik tokoh tergantung kelas yaitu orang tua yang bermasalah dengan
anak-anaknya atau kekayaan, anak muda yang melawan kekuasaan orang tua
dan lain sebagainya.
 Seluruh adegan terjadi di rumah, di jalan, dan di halaman.

Bentuk-bentuk pertunjukan yang terkenal di Zaman Romawi klasik adalah sebagai


berikut:

a) Tragedi:
• Plot terdiri dari 5 babak dengan struktur cerita yang terperinci jelas.
• Adegan berlangsung dalam ketegangan tinggi.
• Dialog ditulis dalam bentuk sajak.
• Tema cerita seputar hubungan antara alam kemanusiaan dan alam gaib.
• Menggunakan teknik monolog untuk mengungkapkan isi hati tokoh-
tokoh penting.
b) Farce Pendek:
• Selalu menggunakan tokoh yang sama dan sangat tipikal, seperti badut
tolol (Maccus), tokoh serakah (Bucco), dan tokoh yang mudah ditipu
(Pappus).
• Plot cerita berupa tipuan-tipuan dan hasutan-hasutan yang dilakukan
para badut, dengan musik dan tari menjadi unsur penting.
• Latar cerita seringkali dalam suasana alam pedesaan.

c) Mime:
• Adegan-adegan lucu, singkat, dan improvisasi.
• Tokoh wanita dimainkan oleh pemain wanita tanpa topeng.
• Cerita-cerita yang dibawakan berkisar pada perzinahan, penentangan
terhadap sakramen, dan upacara gereja.
• Teater Romawi mengalami penurunan setelah transisi dari Republik ke
Kekaisaran pada tahun 27 SM, dan lenyap setelah serangan bangsa
Barbar serta kebangkitan kekuasaan gereja, dengan pertunjukan
terakhir di Roma terjadi pada tahun 533.

d. Abad Pertengahan
Pada abad ke-1400 dan 1500, kota-kota di Eropa sering menggelar drama untuk
merayakan hari-hari besar umat Kristen. Drama-drama ini mengambil cerita-cerita
Alkitab dan dipentaskan di atas kereta yang disebut pageant, yang kemudian ditarik
keliling kota. Pertunjukan jalan dan prosesi warna-warni juga diadakan di berbagai
tempat untuk merayakan peristiwa keagamaan.
Pemain drama pageant menggunakan ruang di bawah kereta untuk menyimpan
peralatan, yang digunakan untuk efek khusus seperti menurunkan aktor dari atas
panggung. Mereka memainkan satu adegan dari kisah Alkitab, kemudian bergerak
lagi, sementara aktor lain dari pageant lain mengambil alih untuk adegan berikutnya.
Para pemain pageant seringkali berasal dari kalangan perajin lokal yang menunjukkan
keahlian mereka dalam adegan yang mereka mainkan.
Ciri-ciri teater abad Pertengahan adalah sebagai berikut:
a) Drama dimainkan oleh aktor-aktor yang dididik di universitas, sehingga drama
seringkali berkaitan dengan masalah filsafat dan agama.
b) Aktor bermain di panggung yang dapat dibawa berkeliling di atas kereta,
menjadikan pertunjukan dapat dilakukan di berbagai lokasi.
c) Cerita dalam drama seringkali mencakup tema kepahlawanan yang dikombinasikan
dengan cerita percintaan.
d) Pertunjukan drama dilakukan di tempat umum dengan memungut bayaran dari
penonton.
e) Drama-drama pada masa ini tidak memiliki nama pengarang yang jelas.

e. Renaissance
Sejarah abad 15 dan 16 ditandai oleh penemuan-penemuan penting seperti mesin,
kompas, dan mesin cetak. Muncul semangat baru untuk menggali kebudayaan Yunani
dan Romawi klasik, yang dikenal sebagai semangat Renaissance, berasal dari kata
"renaitre" yang artinya kelahiran kembali manusia untuk mendapatkan semangat
hidup baru. Ada tiga jenis drama yang dikembangkan pada masa ini, yaitu tragedi,
komedi, dan pastoral yang mengisahkan percintaan antara dewa-dewa dan gembala di
pedesaan.
Ciri-ciri teater Zaman Renaissance meliputi:
• Naskah lakon meniru teater Yunani klasik.
• Cerita bertema mitologi atau kehidupan sehari-hari.
• Tata busana dan dekorasi yang inovatif.
• Pelaksanaan teater diatur oleh kerajaan atau universitas.
• Penggunaan panggung proscenium
2. TEATER INDONESIA

a. Teater Daera Indonesia


Teater daerah di Indonesia mengambil cerita dari tradisi mulut ke mulut sebagai sumber
utama cerita dan ekspresi. Ini membedakan teater daerah (tradisional) dari teater modern,
meskipun kemudian teater daerah juga terpengaruh oleh teater modern, dengan naskah-
naskahnya kadang diambil dari teater modern. Teater daerah diidentifikasi sebagai seni
pertunjukan yang mencerminkan ciri khas daerah tertentu.
Teater tradisional adalah teater yang turun temurun diajarkan dari generasi ke generasi,
seperti wayang kulit dan wayang orang di Jawa dan Bali. Ada juga teater rakyat yang
berkembang di luar istana. Sejarahnya dimulai sebelum zaman Hindu, saat unsur-unsur
teater digunakan dalam upacara ritual, dan kemudian berkembang menjadi seni
pertunjukan yang terlepas dari kaitannya dengan upacara.
Teater daerah baru adalah teater yang relatif baru dalam kelahirannya, seperti drama gong
dan sandiwara radio, dengan proses dan kondisi lahirnya yang bervariasi di setiap daerah.
Pementasannya dilakukan di tengah masyarakat dengan gaya presentasional yang
menyesuaikan diri dengan penonton, ditandai oleh suasana tontonan, paduan aspek
pendukung, dan cara pengungkapan pelaku yang berbeda dengan teater modern atau Barat.
Teater daerah memadukan berbagai unsur seni pertunjukan dan memperhatikan keinginan
penonton dalam pementasannya, menciptakan hubungan yang dekat dan interaktif antara
pemain dan penonton.

Beberapa Teater Daerah di Indonesia:

1) Longser: Teater daerah dari Jawa Barat yang menggabungkan tari, nyanyi, dan
lawak. Pertunjukan dimulai dengan tarian para penari wanita (ronggeng), diikuti
dengan adegan lawak oleh pelawak atau badut yang memimpin rombongan.
Pertunjukan mencakup adegan-adegan jenaka seperti tari Cikeruhan, Langlayangan,
dan lainnya, dengan badut sebagai perajut cerita utama. Pertunjukan ini sering
melibatkan penonton dalam tarian berpasangan dengan ronggeng.
2) Lenong: Teater daerah Jakarta dengan cerita dari cerita rakyat dan tokoh jago silat.
Musiknya diiringi oleh gamelan gambang kromong yang dipengaruhi oleh musik
Cina. Pertunjukan biasa dimulai dengan tarian Betawi dan menggunakan bahasa
Betawi atau Indonesia dengan dialek Betawi. Pertunjukan cenderung komedi
dengan interaksi yang dekat antara pemain dan penonton.
3) Wayang Orang: Pertunjukan tradisional dengan model wayang kulit yang
dilakonkan orang, berkembang di dalam benteng istana. Terdapat dua gaya utama,
yaitu gaya Yogyakarta dan Surakarta. Pertunjukan ini melibatkan ratusan pemain
dalam satu lakon dan memiliki struktur yang mirip dengan wayang kulit, dengan
lakon dari epos Mahabarata dan Ramayana.
4) Ketoprak: Seni rakyat yang berkembang di tengah masyarakat dan sering diboyong
ke pendapa istana. Terdapat tiga periode perkembangan besar, dimulai dari alat
musik lesung hingga gamelan. Sumber ceritanya bervariasi dan terbuka terhadap
pengaruh seni baru, seperti seni teater Barat.
5) Ludruk: Seni teater daerah yang membawakan cerita dengan gerak laku realistik
dan fokus pada dialog dan banyolan. Awalnya dimainkan oleh pria dengan peran-
peran wanita juga dimainkan oleh pria, namun sekarang juga banyak wanita yang
memainkan peran wanita dalam pertunjukan ini.

b. Teater Masa Transisi


Teater masa transisi merujuk pada periode di mana teater daerah/tradisional mengalami
perubahan karena pengaruh budaya lain. Kelompok teater yang masih tradisional tetapi
memasukkan unsur teknik teater Barat disebut teater bangsawan. Perkenalan
masyarakat Indonesia dengan teater non-tradisi dimulai sejak pendirian Komedie
Stamboel di Surabaya pada tahun 1891. Sastra lakon mulai dikenal dengan
diperkenalkannya lakon pertama yang ditulis oleh orang Belanda F.Wiggers pada tahun
1901. Istilah sandiwara populer pada masa itu, sedangkan istilah teater baru dikenal
setelah Zaman Kemerdekaan.

c. Teater Indonesia Tahun 1920-an dan 1930-an


Teater pada masa kesusasteraan angkatan Pujangga Baru di Indonesia memiliki arti
penting dalam konteks kesusasteraan meskipun belum memiliki signifikansi dalam
sejarah teater modern. Naskah-naskah drama pada periode ini masih menekankan unsur
sastra dan sulit untuk dipentaskan secara langsung. Drama-drama Pujangga Baru
mencerminkan tekanan kaum intelektual terhadap penindasan pemerintahan Belanda
pada tahun 1930-an.
Beberapa contoh naskah drama pada masa ini adalah:
• "Bebasari" karya Rustam Efendi (1926), yang menjadi pelopor semangat kebangsaan
dengan mengisahkan perjuangan tokoh Bujangga membebaskan puteri Bebasari dari
Rahwana.
• "Kertajaya" (1932) dan "Sandyakalaning Majapahit" (1933) karya Sanusi Pane dan
Muhammad Yamin.
• Adaptasi dari novel "Swasta Setahun di Bedahulu" oleh I Gusti Nyoman Panji Tisna
oleh Armijn Pane.
• "Ken Arok dan Ken Dedes" (1934) karya Muhammad Yamin.
• "Si Bachil" yang merupakan saduran dari karya Molliere oleh Nur Sutan Iskandar.
• "Keris Mpu Gandring" karya Imam Supardi.
• "Nyai Blorong" karya Dr. Satiman Wirjosandjojo.
• "Hantu" karya Mr. Singgih.
Lakon-lakon ini menyoroti tema-tema kebangsaan, persoalan, harapan, dan misi untuk
mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Para penulisnya adalah cendekiawan Indonesia
yang menggunakan bahasa Indonesia dan berperan dalam perjuangan kemerdekaan.
Bahkan, Ir Soekarno, Presiden pertama Indonesia, juga aktif menulis dan
menyutradarai teater pada masa itu.

d. Teater Indonesia Tahun 1940-an


Pada masa penjajahan Jepang, unsur kesenian dan kebudayaan di Indonesia diarahkan
untuk mendukung pemerintahan totaliter Jepang. Meskipun demikian, tokoh-tokoh
seperti Anjar Asmara dan Kamajaya memiliki visi untuk mendirikan Pusat Kesenian
Indonesia yang bertujuan menciptakan pembaharuan kesenian yang sesuai dengan
perkembangan zaman. Inisiatif ini menghasilkan pembentukan Badan Pusat Kesenian
Indonesia pada tanggal 6 Oktober 1942 di rumah Bung Karno, dengan Sanusi Pane
sebagai Ketua.
Badan ini berusaha menciptakan kesenian baru yang menggabungkan elemen-elemen
dari kesenian daerah menuju kesenian Indonesia baru. Namun, upaya ini mengalami
hambatan dari propaganda Jepang, terutama melalui Djawa Eiga Kosy’ yang bertujuan
menghambat langkah Badan Pusat Kesenian Indonesia dengan membuka sekolah tonil
dan drama sebagai corong propaganda.
Pada masa pendudukan Jepang, rombongan sandiwara profesional menjadi populer
karena pemerintah penjajahan Jepang menekan kesenian yang berasal dari budaya
Barat. Rombongan seperti Bintang Surabaya, Dewi Mada, Mis Ribut, Tjahaya Asia,
dan lainnya mulai berkembang dengan mementaskan cerita dalam bahasa Indonesia,
Jawa, maupun Sunda.
Di tengah situasi sulit itu, Anjar Asmara, Ratna Asmara, dan Kama Jaya mendirikan
rombongan sandiwara angkatan muda Matahari pada tanggal 6 April 1943. Mereka
menyajikan hiburan berupa tari-tarian sebelum lakon sandiwara dimulai. Meskipun
awalnya penyajian mereka dianggap kaku, rombongan ini akhirnya mengikuti selera
penonton dengan lakon-lakon seperti Musim Bunga di Slabintana, Nusa Penida, Solo di
Waktu Malam, dan lainnya.
Pada akhir masa pendudukan Jepang, muncul rombongan sandiwara yang melahirkan
karya sastra yang berarti seperti Penggemar Maya (1944) pimpinan Usmar Ismail.
Mereka menegaskan nasionalisme, humanisme, dan agama dalam karya-karya mereka,
menjadikan teater bukan hanya sebagai hiburan tetapi juga sebagai ekspresi
kebudayaan dan seni serius. Hal ini menjadi awal pengembangan teater nasional di
Indonesia dan memunculkan Akademi Teater Nasional Indonesia di Jakarta.

3. Unsur Pokok Teater


Vsevolod Meyerhold dalam Huxley (1996: 264) mengungkapkan bahwa teater modern
terdiri dari empat unsur utama: penulis/lakon, sutradara, pemain, dan penonton.
Penulis/lakon menciptakan lakon, sutradara mengarahkan pertunjukan, pemain
memerankan karakter, dan penonton merupakan bagian penting dari aktivitas pertunjukan
teater. Tanpa penonton, sebuah pertunjukan tidak dapat disebut sebagai pementasan teater.
Selanjutnya, keempat unsur utama teater tersebut akan dijelaskan secara lebih rinci di
bawah ini, dengan fokus khusus pada pembahasan mengenai lakon.

A. Penulis / Lakon
Penulis atau pengarang lakon adalah elemen penting dalam seni teater karena mereka
menciptakan cerita yang disebut sebagai lakon. Lakon ini merupakan bahan dasar
ekspresi artistik di atas panggung dan semua aspek pertunjukan teater bergantung pada
isi cerita dalam lakon tersebut. Sebagai karya tulis, lakon memiliki struktur dramatik
khusus yang membedakannya dari jenis karya sastra lainnya.
a. Struktur Dramatik
Struktur dramatik lakon adalah bagian integral dari plot, terdiri dari serangkaian
peristiwa yang saling terkait mulai dari awal hingga akhir cerita. Ini mencakup
elemen-elemen seperti eksposisi (pengenalan), komplikasi, klimaks, resolusi
(bagian penurunan aksi), dan kesimpulan. Teori dramatik Aristotelian
mengidentifikasi elemen-elemen ini sebagai bagian dari struktur dramatik.
Penyusunan struktur dramatik bisa bervariasi antara satu lakon dengan yang lain
tergantung pada tujuan atau misi pengarang saat menuliskannya.
b. Tipe Lakon
Mary McTigue menjelaskan bahwa secara mendasar, lakon teater dibagi menjadi
lima jenis utama: drama, tragedi, komedi, satir, dan melodrama. Meskipun dalam
teater modern atau kontemporer sering terjadi perpaduan beberapa tipe menjadi
satu, seperti drama-tragedi, tragi-komedi, atau komedi-satir, namun dasar dari
pembagian tersebut tetap mengacu pada lima tipe tersebut.

4. Sutradara
Sutradara adalah tokoh kedua dalam proses menciptakan karya teater setelah penulis lakon.
Tugasnya meliputi mempelajari lakon, merancang konsep pementasan, dan mengarahkan
para aktor sesuai dengan konsep tersebut berdasarkan naskah lakon. Meskipun peran
sutradara sangat penting dalam teater modern, ia muncul belakangan saat industri teater
sudah mulai berkembang.
a. Sejarah Sutradara
Dalam terminologi Yunani sutradara (director) disebut didaskalos yang berarti guru dan
pada abad pertengahan di seluruh Eropa istilah yang digunakan untuk seorang sutradara
dapat diartikan sebagai master. Istilah sutradara seperti yang dipahami dewasa ini
baru muncul pada jaman Geroge II. Seorang bangsawan (duke) dari Saxe-Meiningen
yang memimpin sebuah grup teater dan menyelenggarakan pementasan keliling Eropa
pada akhir tahun 1870-1880. Dengan banyaknya jumlah pentas yang harus dilakukan,
maka kehadiran seorang sutradara yang mampu mengatur dan mengharmonisasikan
keseluruhan unsur artistik pementasan dibutuhkan. Meskipun demikian, produksi
pementasan teater Saxe-Meiningen masih mengutamakan kerja bersama antar pemain
yang dengan giat berlatih untuk meningkatkan kemampuan berakting mereka (Cohen,
1994: 440).
Model penyutradaraan seperti yang dilakukan oleh George II diteruskan pada masa
lahir dan berkembangnya gaya realisme. Andre Antoine di Perancis dengan Teater
Libre serta Stansilavsky di Rusia adalah dua sutradara berbakat yang mulai
menekankan idealisme dalam setiap produksinya. Max Reinhart mengembangkan
penyutradaraan dengan mengorganisasi proses latihan para aktor dalam waktu yang
panjang.

b. Tugas Sutradara
1) Menentukan Lakon: Sutradara memilih lakon yang akan dimainkan, baik yang
sudah ada maupun yang baru diciptakan.
2) Menganalisis Lakon: Sutradara menganalisis lakon untuk memahami cerita
secara mendalam, sehingga konsep pertunjukan dapat terbentuk.
3) Memilih Pemain: Sutradara memilih pemain yang tepat sesuai dengan karakter
dan kualifikasi yang dibutuhkan dalam lakon.
4) Menentukan Bentuk dan Gaya Pementasan: Sutradara menentukan bentuk
pementasan (improvisatoris, berdasarkan naskah, dll.) dan gaya pementasan
(realis, surrealis, simbolis, dll.).
5) Merancang Blocking: Sutradara merancang cara mengatur pemain di atas
panggung (blocking) agar pertunjukan berjalan lancar dan dapat dipahami oleh
penonton.
6) Melaksanakan Latihan-latihan: Sutradara membimbing para aktor dalam proses
latihan untuk mencapai hasil terbaik dalam pertunjukan.
7) Melaksanakan Pementasan: Pada saat pementasan berlangsung, tanggung jawab
utama sutradara telah selesai, dan ia menjadi penonton yang menikmati hasil
karyanya.

c. Tipe Sutradara
a. Terdapat empat tipe sutradara yang dikenali dalam penyutradaraannya:
b. Sutradara Konseptor: Menentukan pokok penafsiran dan memberikan konsep
kepada pemain dan pekerja artistik lainnya. Tetap terikat pada konsep awal
namun membiarkan kreativitas mereka berkembang.
c. Sutradara Diktator: Menginginkan pemain mengikuti citra dirinya tanpa konsep
penafsiran dua arah. Sangat detail dan perfeksionis, tidak mentolerir kesalahan
kecil, dan semua harus sesuai dengan keinginannya.
d. Sutradara Koordinator: Mengkoordinasikan pemain dan unsur lainnya sesuai
dengan konsep pokoknya. Lebih sebagai pengawas yang memastikan semua
bekerja sesuai tugasnya, meskipun membuka kemungkinan untuk perubahan
konsep.
e. Sutradara Paternalis: Bertindak sebagai guru yang mengasuh batin para
anggota, sering dianggap sebagai pusat pengetahuan artistik teater. Banyak
ditemui di Indonesia dan memahami baik proses produksi maupun kejiwaan
para pendukung pementasan.

5. Pemain
Aktor, juga dikenal sebagai pemain teater, adalah orang yang melakukan aksi dalam
pementasan teater. Mereka memiliki peran penting dalam menyampaikan pesan pengarang
dan konsep sutradara kepada penonton. Dalam sejarah teater, aktor sudah ada sebelum
sutradara lahir. Mereka berlatih bersama untuk memperankan peran sesuai dengan naskah
cerita, dan saat ini, mereka mendapatkan tempat yang penting dan memiliki kelas tersendiri
dalam pementasan teater.
Tugas utama seorang aktor adalah menghidupkan tokoh dalam naskah lakon menjadi sosok
yang nyata di atas panggung. Ini membutuhkan kerja keras, disiplin tinggi, dan penguasaan
terhadap aspek jasmani, rohani, dan intelektual. Aktor juga harus memiliki metode kerja
yang baik, seperti menghapal dengan cepat dan tepat, memahami akting sebagai aksi dan
reaksi, relaksasi, dan memahami konflik serta kontras dalam peran yang dimainkan.
Kesuksesan sebuah pertunjukan seringkali bergantung pada kecakapan dan dedikasi
seorang aktor.

6. Penonton
Proses terakhir dalam menciptakan karya teater adalah pementasan yang melibatkan
interaksi dua arah antara aksi di atas panggung dan penonton. Penonton tidak hanya pasif,
mereka aktif dalam merespons pementasan dan memiliki beragam motivasi untuk
menonton, seperti kepuasan, pengalaman, pengetahuan, dan emosi. Penonton merupakan
kelompok manusia yang peka dan aktif, mereka datang ke teater untuk memenuhi berbagai
kebutuhan dan mendapatkan pengalaman yang mendalam melalui dunia ilusi dan imajinasi
yang ditawarkan oleh pementasan teater.

Anda mungkin juga menyukai