Membuat Kompos New
Membuat Kompos New
embuatan kompos ada berbagai cara, tetapi semua cara terse- but mempunyai konsep dasar yang sama. Konsep dasar ini dapat juga disebut pembuatan kompos secara umum sehingga cara pembuatan ini perlu diketahui agar dalam memodifikasi cara pembuatan kompos tidak terjadi kesalahan.
Dalam pembuatan kompos, waktu yang diperlukan umumnya sekitar 34 bulan. Namun, waktu ini dapat dipercepat menjadi 46 minggu dengan diberinya tambahan atau aktivator bagi bak- teri pengurai. Proses pengomposan yang hanya memerlukan waktu singkat ini juga dijelaskan dalam bab ini menggunakan aktivator Stardec dan Fix-Up Plus.
Pupuk kandang dapat dipergunakan untuk mempercepat pengomposan bahan organik lainnya
.Selain hanya ditumpuk di atas tanah, bahan-bahan organik dapat ditumpuk dalam bak penampung. Bak ini bisa beraneka ragam modelnya tergantung kebutuhan dan dana yang ada. Apa pun mo- delnya, bak penampungan harus mempunyai ventilasi yang baik sehingga udara
dapat keluar masuk dengan bebas. Aliran udara yang tidak lancar dapat menyebabkan pengomposan berjalan dengan tidak sempurna. Salah satu model bak yang praktis dan murah adalah seperti boks bayi dengan daya tampung sekitar 1m3. Bahan yang dibutuhkan dalam pembuatan bak ini seperti papan, bambu, kawat ram, dan paku. Dalam pembuatan bak yang terpenting adalah adanya ventilasi. Ventilasi tersebut dapat dibuat dengan memasang kawat ram atau papan-papan yang dirangkai diberi jarak.
Sebagaimana diketahui, bahan-bahan kompos perlu dibalik. Untuk memudahkan pembalikan, sisi-sisi bak dicopot dan dipasang kembali di sebelah timbunan. Ke dalam bak baru yang kosong tersebut timbunan kompos dimasukkan sehingga bagian atas akan menjadi bagian bawah.
1) Penyusunan tumpukan Bahan kompos ditumpuk di atas bilah-bilah bambu atau kayu. Se- lama 12 hari diper- ciki air sampai lem- bap, tetapi tidak becek.
2) Pemantauan suhu dan kelembapan tumpukan Dari hari ke-4 hingga ke-40, tumpukan dijaga agar suhunya 4565 C dan kelembapannya sekitar 50%. Secara sederhana, kelembapan dapat diukur dengan cara memasukkan tongkat kayu ke dalam tumpukan kompos, lalu mengeluarkannya.
Bila tongkat kering, berarti ke- lembapannya kurang sehing- ga perlu dibalik dan disiram. Bila tongkat basah (lembap) berarti kelembapannya te- lah sesuai. Namun, bila tongkat terlalu basah maka kelembapannya terlalu ting- gi sehingga perlu segera dibalik. Cara mengukur lainnya dengan memegang bahan kompos. Kelembapan ideal ditan- dai dengan bahan yang basah, tetapi tidak ada air yang menetes. Adapun suhu diukur dengan cara memasukkan tanagan ke dalam tumpukan kompos. Suhu 4565 C ditandai dengan rasa hangat.
3) Pembalikan dan penyiraman Pembalikan tumpukan dilakukan jika terjadi salah satu atau beberapa keadaan berikut. Suhu tumpukan di atas 65 C atau di bawah 45 C, tumpukan terlalu basah atau terlalu kering. Apabila suhu masih 45 60 C dan kelembapan 50%, tumpukan kompos belum waktunya dibalik.
4)
Pematangan
Hari ke-45, biasanya tumpukan telah mema- suki masa pematangan. Kompos yang matang ditandai dengan suhu tumpukan yang menu- run mendekati suhu ruang, tidak berbau bu- suk, bentuk fisik me- nyerupai tanah dan berwarna kehitam-hitaman. Pematangan ini bisa berlangsung selama 14 hari. Selama itu tetap dilakukan pemantauan suhu dan kelembapan tumpukan serta bila perlu dilakukan pembalikan.
5)
Pengayakan kompos Tujuan dilakukan pengayakan yaitu agar memperoleh ukuran kompos sesuasi yang dikehendaki, memilah bahan yang belum terkomposkan secara sempurna, dan mengendalikan mutu kompos.
6) Pengemasan dan penyimpanan Kompos yang sudah disaring, dikemas ke dalam kantung atau karung. Setelah itu disimpan di tempat yang kering dan aman, atau diletakkan di atas papan.
B. Kompos Praktis I
Bahan yang digunakan dalam pembuatan kompos ini yaitu ba han organik sisa-sisa pertanian, misalnya jerami, tongkol batang jagung, rumput, dan kotoran ternak yang telah dibasahi. Bahan organik tersebut (kecuali kotoran ternak) dipotongpotong sehingga berukuran kecil. Bahan-bahan tersebut (kecuali kotoran ternak) ditumpuk dengan rumput di bagian atas. Tumpukan ini dibuat setebal 15 cm. Di atasnya, ditaruh kotoran ternak yang telah dibasahi. Di atas tumpukan tersebut diberi tumpulan lagi dengan susunan lapisan yang sama. Hal ini dilakukan terus hingga tumpukan mencapai keting- gian 1,2 m. Kelembapan di dalam tumpukan bahan harus dijaga agar tetap lembap, tetapi tidak becek. Jika pengomposan berlangsung baik, hingga 34 minggu akan terjadi kenaikan suhu. Setelah itu, suhu akan menurun. Itulah
saatnya kompos perlu dibalik. Untuk mengetahui apakah terjadi kenaikan suhu, gunakan tongkat kayu yang kering dan halus. Tusuk- kan ke dalam tumpukan kompos dan biarkan sekitar 10 menit. Lalu tarik tongkat tersebut. Jika terasa lembap dan hangat, berarti proses pengomposan berjalan normal dan baik. Jika tongkat itu kering, segera siramkan air ke dalam kompos. Jika tongkat dingin, berarti pengomposan gagal, maka harus diulang kembali pembuatannya. Setelah sebulan dari terjadi penurunan suhu tersebut, kompos sudah siap dipakai.
C. Kompos Praktis II
Cara ini sejatinya mirip dengan pembuatan kompos praktis pertama, tetapi ada penyesuaian dalam hal bahan kompos, tempat pengomposan, dan volume kompos. Bahan-bahan organik yang akan dikomposkan seperti jerami, daun-daunan, sisa sayuran, sampah dapur, dan sampah kota. Seperti cara pengomposan yang lain, bahan-bahan organik tersebut perlu dipotong-potong untuk mempercepat proses pengomposan. Proses pembusukan juga bisa dipercepat dengan penambahan pupuk, bisa pupuk kandang atau pupuk buatan. Tempat pengomposan harus teduh, misalnya di bawah atap. Dasar atau landasannya agak diperkeras, jika perlu digunakan ubin. Tempat pengomposan semacam ini bisa berupa lubang atau di atas tanah. Adapun volume (panjang, lebar, tinggi) timbunan kompos disesuaikan dengan tempatnya. Cara pembuatan kompos dimulai dari menimbun bahan organik secara bertahap. Tiap Tnari bahan ditimbun setinggi maksimal sekitar 30 cm. Di atasnya, lalu ditaburi pupuk, kemudian diberi lapisan tanah dengan ketinggian sekitar 35 cm, tetapi sebelumnya, timbunan bahan disiram dengan air hingga cukup basah. Pada hari berikutnya, di atas tanah itu ditimbuni lagi dengan bahan kompos, lalu tanah lagi. Demikian seterusnya hingga diperoleh timbunan setinggi 1,21,5 m. Seluruh pekerjaan penimbunan tidak boleh lebih dari 10 hari. Penutupan tanah dilakukan tidak hanya di atas tumpukan bahan kompos, tetapi juga di bagian samping. Hal ini dilakukan untuk menghindarkan kompos dari kekeringan. Alterna- tif lain ialah menutup tumpukan bahan dengan lembaran plastik. Hal yang terpenting dalam pengomposan adalah menjaga kelembapan. Caranya dengan mengaduk atau membalik sehingga bagian luar masuk ke dalam dan sebaliknya. Pada umumnya, penga- dukan dilakukan sekali seminggu. Agar kelembapan tidak terlalu tinggi, kompos harus terlindung dari air hujan yang berlebihan. Sekitar umur sebulan, kompos sudah matang. Tandanya, berwarna agak cokelat kehitam-hitaman. Pengomposan yang terlalu panas akan menghasilkan kompos yang berwarna hitam. Makin hitam, berarti pengomposan makin panas.
Dalam komposter tersebut akan bermunculan belatung yang mungkin bisa menimbulkan rasa jijik. Belatung muncul dari sampah- sampah organik yang mengalami pembusukan. Kehadiran belatung itu justru dinantikan karena tugasnya melahap sampah dapur. Supaya belatung tidak berkeliaran maka tutup tong harus dijaga dalam keadaan rapat. Dewasa ini, komposter sudah diproduksi dan tersedia di pasaran. Alat ini dirancang demikian rupa sehingga bisa dipasang dengan mudah di halaman rumah. Kapasitasnya 100 liter atau sekitar 200 kg sampah. Selama dalam proses, sampah itu juga tidak mengeluarkan bau karena alat itu dilengkapi pipa-pipa vertikal yang dipadati dengan kerikil di sekitarnya untuk mencegah keluarnya gas yang terjadi selama proses pengomposan. Penempatan komposter ini harus hati-hati, tidak boleh terlalu dekat dengan sumur yang dangkal karena bisa tercemar. Alat ini juga tidak bisa diterapkan pada daerah yang permukaan air tanah- nya tinggi dan pada rumah-rumah yang tidak memiliki halaman sebab setiap komposter membutuhkan lahan sekitar 1 m2. Namun, kelemahan ini bisa diatasi, misalnya dibuat secara bersama atau komunal.
F. Kompos Tinja
Mendengar kata tinja, yang terbayang adalah rasa jijik. Tapi jika diolah secara baik, tinja bisa menjadi kompos yang bermutu. Pemanfaatan tinja menjadi kompos ini sebenarnya sudah dikenal lama. Misalnya di India, hotel-hotel secara cermat menampung kotoran manusia, kemudian dikirimkan ke tempat pengolahan tinja untuk selanjutnya diolah menjadi pupuk. Proses serupa juga dilakukan di Tiongkok dan Singapura. Di Indonesia juga sudah ada pengolahan tinja. Misalnya di Magelang, Jawa Tengah, mulai sekitar akhir 1996, tinja justru diandalkan bisa menjadi sebagian sumber pendapatan asli daerah karena dapat dijual dalam bentuk kompos. Pengomposan tinja dilakukan di Instalasi Pengolah Limbah Tinja (IPTL) yang menempati lahan seluas 0,5 hektar. Sebenarnya, IPTL tersebut mampu mengolah tinja 20,50 m3 tiap hari atau setara dengan 560 kg kompos tiap hari. Namun, sekitar akhir 1996, dengan jumlah penduduk Magelang sekitar 116.000 jiwa hanya dapat menghasilkan timbunan tinja 13,98 m3 tiap hari karena tidak semua tinja bisa diolah. Proses pengomposan tinja dilakukan lewat kolam-kolam oksi- dasi sederhana. Kolam ini ditata berjajar untuk memudahkan pengolahan dan menekan biaya operasi. Urutannya dimulai dari bak penampung atau penyaring berukuran 2 x 2 x 2 ( m ) , kolam anaerobik I dan II ukuran 30,8 x 7 x 3 (m), kolam fakultatif ukuran 23,6 x 7 x 3 (m), serta kolam maturisasi dan tempat pengering lumpur. Kompos tinja pada dasarnya merupakan hasil proses fisik, biokimia, dan bakteriologis sama seperti pengolahan kompos dari kotoran hewan yang sudah lama dikenal. Secara sederhana, berikut ini proses pengomposannya. 1) Tinja dicampur dengan air, lalu dimasukkan ke bak penampung. Kemudian dilakukan proses penyaringan untuk memastikan hanya cairan tinja dan tinja murni yang bakal diproses. Sisa-sisa sampah yang lain, dibuang. Pada tahap ini, baunya memang menyengat, tetapi cuma sehari. 2) Cairan dan tinja terpilih lalu dimasukkan ke kolam anaerob yang kedap air. Tahap ini merupakan proses perombakan bahan organik oleh bakteri anaerobik. Pada tahap ini, terjadi penurunan tingkat pencemaran tinja yang dapat dilihat dari turun- nya BOD (biological oxygen demand) dari 2.800 mg/1 menjadi 700 mg/1. Proses ini memakan waktu 18 hari. 3) 4) Upaya penurunan BOD berlanjut di kolam anaerobik II. Dalam waktu 11 hari, BOD larutan tinja itu turun menjadi 175 mg/1. Proses selanjutnya dilakukan di kolam fakultatif. Pada tahap ini, larutan tinja itu sudah cukup "bersih" dan "segar". Dalam kondisi ini memungkinkan tumbuhnya ganggang hijau yang mengha- silkan oksigen. Dengan demikian, kondisi air limbah itu makin membaik dengan BOD 43 mg/1. 5) Tahap selanjutnya adalah mematangkan tinja di kolam maturi- sasi. Proses ini memakan waktu 10 hari. Dilakukan penambahan kapur sebagai upaya menetralkan cairan yang sudah berbentuk bubur tinja. Pada tahap ini, proses anaerobik masih berlang- sung. Saat itu juga terjadi pemusnahan mikroorganisme patogen yang biasa bercokol di air kotor dengan BOD tinggi. 6) Sisa-sisa bahan organik eks-tinja diendapkan. Endapan tersebut dimasukkan ke kolam pengering dengan tinggi endapan dijaga maksimal 25 cm. Limbah cair yang aman dapat dibuang ke sungai. Setelah sekitar 150 hari, barulah kompos yang terbentuk siap dimanfaatkan untuk menyuburkan berbagai tanaman.
G. Kompos BIPIK
Kompos BIPIK adalah kompos yang dihasilkan oleh Bimbingan dan Pengembangan Industri Kecil (BIPIK). Bahan utama kompos ini adalah campuran sampah kota, kotoran hewan, belerang, dan ragi kompos. Adapun peralatan yang digunakan yaitu @ @ @ @ @ @ @ 1 gilingan belerang dengan kapasitas 60 kg tiap jam, 3 ayakan ukuran 1 x 2 m'\ 1 buah tromel pencampur dengan kapasitas 150 kg tiap jam, 1 timbangan kapasitas 300 kg, 4 kereta sorong atau alat angkut, 1 roller beton garis tengah 0,6 m dan panjang 1,5 m, serta peralatan lain-lain.
kETERANGAN: 1. Pembusukan sampah 2. Ayakan 3 tingkat 3. Pengeringan 4 Gudang bahan dan penolong
100 m
5. 6. 7. 8. 9.
Gilingan belerang Pencampuran tromel Gudang produk Kantor Pengantongan dan penimbangan
Selain peralatan produksi, pembuatan kompos ini juga merrierlukan lahan sekitar 10.000 m2. Lahan itu di antaranya dipergunakan untuk ruang kantor 9 m2 , ruang pengolahan 39 m2, , gudang bahan baku dan bahan pendukung 35 m2, , gudang produk 57 m2, dan lantai pengeringan terbuka 375m2. . Adapun lahan sekitar 9.845 m2 diperlukan untuk tempat penimbunan sampah, pembusukan, lapangan terbuka, dan jalan.
Pengolahan dari sampah hingga menjadi kompos akan selalu melalui tahap-tahap persiapan, proses pembusukan, pengeringan, pengayakan, pencampuran, dan pengepakan.
1) Persiapan bahan baku Bahan-bahan anorganik seperti logam, kaca, plastik, maupun baterai dipisahkan dari bahan-bahan organik. 2) Proses pembusukan Sampah bahan organik ditumpuk berlapis-lapis di atas tanah dengan ukuran 5 m x 2 m. Setiap lapis dengan tinggi 45 cm diberi kotoran hewan setinggi 5 cm. Lapisan ini dibuat berlapis-lapis hingga tingginya mencapai 2 m. Untuk mempercepat proses pembusukan, pada tiap lapisan ditaburkan ragi kompos. Setelah 1 bulan, tumpukan sampah dibalik. Pembalikan ini diulang lagi bila udara dalam tumpukan mulai berkurang. Demikian seterusnya sampai proses pembusukan selesai dan sampah berubah menjadi pupuk kompos. Proses pembusukan tersebut berlangsung selama 6 bulan ini. 3) Pengeringan Pupuk kompos yang sudah jadi dimasukkan dalam karung goni. Tiap karung yang berisi sekitar 100 kg diangkut dengan kereta sorong ke lantai pengeringan. Di lantai semen ini, kompos diserakkan agar memperoleh sinar matahari sampai kadar airnya tinggal 10%. Pupuk yang sudah kering ini selanjutnya digilas
dengan roller beton agar butiran-butiran kasar dalam kompos menjadi tepung halus. 4) Pengayakan Kompos kering yang terbentuk belum semuanya menjadi tepung sehingga perlu diayak. Dengan demikian akan diperoleh kompos dengan kehalusan 100 mesh. 5) Pencampuran Tepung kompos masih dicampur dengan belerang halus (keha- lusannya 100 mesh). Tiap 1 ton kompos dicampur dengan 10 kg belerang. Belerang ini akan berfungsi menyehatkan ta- naman sebab di dalam tanah sebagian belerang diubah menjadi senyawa yang dapat diserap oleh tanaman. Perubahan itu dilakukan oleh mikroba-mikroba di dalam tanah.
6) Pengepakan Tepung kompos yang telah dicampur tepung belerang dimasukkan dalam karung goni dengan berat 10 kg, 25 kg, atau 50 kg. Kompos ini telah memenuhi persyaratan karena berwarna hitam, mengandung unsur hara utama 2,3%, mengandung C (karbon) organik 40,2%, dan pH-nya 7,2.
Ketiga tahap pengomposan tersebut masing-masing memer- lukan wakti 1 minggu untuk tahap I, 3 minggu untuk tahap II, dan 1 minggu untuk tahap III. Dengan demikian, total waktu yang diperlukan untuk pengomposan sekitar 5 minggu. Adapun langkah- langkah tiap tahap sebagai berikut.
1)
Tahap I Bahan kotoran ternak disiapkan dengan kelembapan sekitar 60%. Bila terlalu becek atau kelembapannya lebih dari 60%
maka kotoran ternak didiamkan beberapa waktu hingga mencapai kelembapan yang diinginkan. Namun, bila kotoran ternak terlalu kering maka perlu disiram air agar kelembapannya naik. Setelah kelembapan mencapai 60%, kotoran ternak ditambah dengan serbuk gergaji, Stardec, urea, dan SP-36, lalu dicampur hingga rata. Diam- kan bahan ini selama 1 minggu.
2)
Tahap II Bahan di tahap I dibalik dengan cara dipindahkan ke bak yang lain. Pada saat pembalikan ini, dilakukan juga penambahan
abu dan kalsit. Proses yang berlangsung sekitar 3 minggu ini perlu dijaga kelembapan dan suhunya dengan cara pembalikan.
3)
Tahap III Pada tahap yang terakhir ini, bahan kompos akan mengalami penstabilan, yaitu suhu mulai turun ke suhu normal dan
bahan sudah berbentuk remah. Kondisi ini menandakan bahwa bahan kompos telah menjadi kompos sehingga sudah dapat digunakan untuk pupuk. Apabila kompos yang dibuat dalam jumlah banyak maka perlu dilakukan penyaringan dan pengemasan sehingga dapat disimpan.
cacing (khususnya Lumbricus rubrelus) bisa dimanfaatkan untuk mengatasi soal sampah.
Dengan vermikasi yang baik akan mampu mengurangi sekitar 50% produk sampah setiap harinya. Prinsip vermikasi sama dengan pembuatan kompos, hanya saja di sini proses pengomposan dibantu oleh cacing untuk mempercepat penguraian. Pupuk atau kompos yang dihasilkan umumnya bagus kualitasnya, selain murah dan mu- dah pembuatannya. Sampah organik yang akan dikomposkan ditumpuk, lalu di atasnya diberi lapisan pupuk kandang. Untuk menciptakan pH (keasaman) netral, tambahkan kapur 1 : 100 bahan organik. Bahan- bahan tersebut disiram air agar lembap. Setelah 4 hari, kompos diaduk rata. Selanjutnya, setiap 3 hari sekali dilakukan pembalikan. Lima belas hari kemudian, kompos dianginanginkan selama 6 hari. Dengan demikian, bahan kompos sudah siap ditanami cacing. Agar mudah diurai, bahan kompos dicacah dan dibasahi lebih dulu. Setelah itu, diberi cacing. Benih cacing yang sehat berukuran 715 cm dan diameter 46 mm. Dalam sehari (24 jam), cacing ini akan makan sebanyak berat tubuhnya. Jadi, 1 kg cacing akan makan sampah seberat 1 kg sehari dengan hasil 400 g kotoran. Makin ba- nyak cacing, makin cepat proses pembuatan kascingnya. Proses penguraian sampah dengan bantuan cacing tidak menim- bulkan bau dan lalat. Setelah 16 hari, selain sampah menjadi kompos, juga dihasilkan kascing alias kotoran cacing. Kascing ini mem- punyai nilai ekonomis yang lebih tinggi dibanding kompos. Kascing kini tersedia di pasaran dan harganya relatif murah. Walaupun demikian, sampai saat belum banyak petani atau pengu- saha pertanian yang menggunakan kascing, mereka masih memilih pupuk kimia. Padahal, pupuk kimia memberikan dampak yang ku- rang menguntungkan juga, yaitu tanah menjadi keras.
Sekitar 23 minggu, bahan kompos telah menjadi kompos dengan ciri-ciri: bahan telah gembur, berwarna hitam, dan tidak berbau busuk. Dengan kondisi seperti ini, bahan telah dapat digunakan untuk menyuburkan tanah.
N. Kompos Azolla
Penggalakan kembali ke bahan organik cukup gencar dikampaye- kan para ahli. Di Lombok, misalnya, Dr. Ir. Parman, ahli Fitopato- logi, menganjurkan penggunaan azolla (tanaman paku air) untuk menyuburkan tanah. Azolla ini cukup ditebarkan di sawah irigasi dan setelah berkembang biak, dibenamkan ke dalam tanah saat air dikeringkan. Di lahan kering, azolla digarap di tempat lain dan dijadikan kompos terlebih dahulu, sebelum digunakan. Pembuatan kompos azolla sebenarnya tidak berbeda dengan pembuatan kompos yang lain. Tempat yang digunakan sebaiknya tidak tergenang air dan ternaungi. Adapun bahannya, selain azolla sendiri, juga diberi tambahan kapur atau abu (untuk menaikkan pH), pupuk kandang, dan tanah. Untuk mempercepat pengom- posan, dapat pula ditambah urea atau ZA. Cara pembuatan kompos azolla sebagai berikut. Azolla ditumpuk dengan tinggi sekitar 1 m, kemudian di atasnya diberi kapur atau abu setebal 6 cm. Lalu, di atasnya dilapis dengan tanah dan pupuk kandang setebal 4 cm. Bila memalai urea atau ZA, pupuk ini ditabur di atas tanah dan pupuk kandang. Kelembapan bahan kompos ini perlu dijaga sekitar 60%. Apabila kelembapannya kurang dari 60%, tumpukan azolla dapat disiram air hingga mencapai kelembapan ideal. Pembalikan juga dilakukan setiap 7 hari agar proses pengomposan berlangsung secara merata.
Azolla dapat digunakan dengan cara ditebar di sawah atau dijadikan kompos teriebih dahulu
Sekitar 22,5 bulan, kompos azolla ini telah masak yang ditan- dai dengan warna kehitaman dan tidak berbau. Dengan demikian, kompos ini telah dapat digunakan. Tujuan utama penggunaan azolla adalah memberdayakan pe- tani agar lebih banyak menggunakan sumber daya lokal. Dengan demikian, ketergantungan pada bahan buatan pabrik atau hasil impor bisa dikurangi dan yang terpenting tak terjadi pencemaran akibat digunakannya bahan kimiawi. Tidak adanya pencemaran memungkinkan petani untuk melakukan usaha tani terpadu, misalnya mina padi. Pemakaian pupuk azolla dan pupuk kandang ternyata dapat meningkatkan hasil gabah kering panen (GKP). Tanaman padi yang dipupuk dengan pupuk buatan sesuai rekomendasi dapat menghasil- kan 5,4 ton GKP, sedangkan bila dipupuk 10 ton pupuk kandang dan 2 ton azolla, dapat dihasilkan 6,06 ton GKP.
***