Anda di halaman 1dari 10

1

INDUSTRIALISASI PERTANIAN, MAU DIBAWA KEMANA PETANI KITA?


Ratya Anindita 1 dan Heriyanto 2

Pendahuluan

Sesudah pemilu berakhir maka sudah saatnya bangsa ini memikirkan masalah pembangunan yang dihadapi. Permasalahan klasik yang utama adalah sektor pertanian. Sektor ini masih menjadi tumpuan sebagian besar masyarakat Indonesia tetapi sebagian besar petani berada dalam berbagai tekanan sehingga sulit berkembang. Kebijaksanaan pemerintah lebih melindungi sektor industri khususnya industri non migas daripada sektor pertanian melalui kebijaksanaan murah pangan sehingga dapat tercipta biaya tenaga kerja yang murah bagi sektor industri. Dampak dari kebijaksanaan ini telah menjadikan sektor pertanian kurang diuntungkan yaitu dengan semakin menurunnya nilai tukar pertanian dibandingkan dengan sektor industri. Turunnya nilai tukar sektor pertanian telah menjadikan petani semakin tidak diuntungkan. Transformasi struktur ekonomi yang mengharapkan terjadi pergeseran peranan sektor pertanian ke sektor industri masih diluar harapan. Peranan PDB sektor pertanian telah menurun dari sebesar 17,8 persen pada tahun 1993 menjadi 14,8 persen pada tahun 1997 dan untuk tahun 1998 tercatat 17,2 persen. Sektor pertanian masih menyerap sebagian besar tenaga kerja, dimana pada saat krisis sektor pertanian masih menyerap 45 persen dari total tenaga kerja nasional (Sudaryanto dkka, 2002). Hal ini berarti pendapatan perkapita di sektor pertanian relatif rendah. Jumlah penduduk miskin ternyata lebih banyak berada di desa sehingga dapat dikategorikan bahwa masyarakat miskin terbanyak adalah
1 2

Dosen Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Brawijaya Peneliti Ekonomi Pertanian, Balitkabi-Malang

petani atau buruh tani. Data menunjukkan bahwa penduduk miskin pada tahun 1999 adalah sebesar 37,5 juta dimana 25,1 juta atau sekitar 70% berada di pedesaan. Masalah ini menjadikan upaya peningkatan pendapatan petani dan membuka kesempatan kerja di pedesaan adalah syarat utama untuk mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia. Hal ini berarti membuka lapangan pekerjaan di pedesaan melalui kegiatan off farm sangat dibutuhkan. Dilema lain dalam pengembangan pertanian di Indonesia adalah ratarata luas garapan yang semakin sempit sehingga tidak mungkin meningkatkan pendapatan petani melalui peningkatan skala usaha. Dari Sensus Pertanian menunjukkan bahwa jumlah petani berlahan sempit dibawah 0,5 ha meningkat dari 6,5 juta rumah tangga pada tahun 1983 menjadi 8,7 juta rumah tangga atau sekitar 48% dari total rumah tangga petani pemilik lahan pada tahun 1993 (Sudaryantoa dkk, 2002). Oleh sebab itu, lahan yang dipegang oleh petani relatif kecil sehingga peningkatan pendapatan petani hanya dapat dilakukan melalui usaha off farm atau diluar usahatani. Kegiatan off farm sebagai tumpuan utama untuk meningkatkan pendapatan petani relatif belum terlaksana dengan baik karena arah strategi pengembangan off farm masih belum menjadi rumusan yang jelas, apakah petani bekerja sebagai buruh atau petani akan mengembangkan usaha lain. Lalu bagaimana pemecahan peningkatan pendapatan petani dan membuka kesempatan kerja di sektor pertanian dan pedesaan. Sektor pertanian dalam hal ini berarti juga masyarakat di desa. Tulisan ini mencoba memberikan solusi dalam rangka pembangunan pertanian yang mampu menjawab permasalahan petani tersebut diatas.

Kendala Pengembangan Pertanian di Indonesia Posisi petani ternyata tidak diuntungkan dengan adanya perdagangan bebas. Harga dan kualitas produk petani kalah bersaing sehingga upaya untuk meningkatkan keunggulan kompetitif bagi petani adalah syarat mutlak untuk menghadapi persaingan. Secara hipotetis pengaruh perdagangan bebas terhadap usaha pertanian di Indonesia disajikan di Gambar 1. Misalkan; D0 adalah kurva permintaan awal , S0 adalah kurva penawaran awal dan S1 adalah kuva penawaran akibat penerapan teknologi dan perdaganga bebas. Kondisi keseimbangan awal terjadi pada harga di H0 dan kuantum produk di q0. Penerapan teknologi dan masuknya produk dari luar negeri akan meningkatkan jumlah penawaran total di pasar domestic. Kondisi ini dapat

dilihat dari pergeseran kurva S0 ke S1. Keseimbangan baru akan terjadi di titik E1, dengan harga di pasar domestic turun dari H0 ke H1 dan jumlah produk yang ditawarkan meningkat dari q0 ke q1.
Harga dalam negeri (Rp/satuan)

S0

H0 H1

S1

D0 0 Jumlah (q/satuan waktu)

q0

q1

Gambar 1. Dampak penerapan teknologi dan perdagangan bebas terhadap harga komoditas di pasar domestic (Heriyanto dan Anindita, 1997)

Pendapatan/ satuan nilai uang dan waktu (M)

I2
B

L Z E2

E1

X1

M1 > M2

X2 M2/Hx M1/Hx

Barang dan jasa/ satuan fisik dan waktu (X)

Gambar 2. Dampak penurunan harga jual produk terhadap tingkat kesejahteraan pengusaha kecil atau petani (Diadopsi dari Miller dalam Heriyanto, 2003) Penurunan harga produk di pasar domestik ini tentunya akan berdampak terjadinya penurunan tingkat kesejahteraan petani (produsen bahan baku), sehingga tingkat kemampuan daya belinya menjadi turun. Secara teoritis kondisi tersebut dapat dijelaskan pada Gambar 2. Berdasarkan kerangka teori tersebut diatas, maka tingkat kesejahteraan petani dapat ditingkatkan apabila petani mendapatkan sumber pendapatan lain, terutama yang berasal dari off farm karena dengan adanya kendala pengaruh persaingan maka pendapatan petani dari on farm relatif terbatas apalagi skala usaha terutama luas lahan juga terbatas. Model Pengembangan Industrialisasi Pertanian Industrialisasi pertanian adalah mengkaitkan langsung antara petani dan pengusaha melalui integrasi produksi, prosesing dan penjualan sehingga produksi dapat didorong sesuai kebutuhan pasar secara langsung (China Daily, 2002). Definisi ini masih terbatas bahwa petani sebagai penyedia bahan baku dan pengusaha sebagai pengolah dan pemasar. Definisi yang menarik dari industrialisasi pertanian ditunjukkan oleh Council on Food, Agricultural and Resource Economics, Amerika, dimana industrialisasi pertanian berarti semakin meningkatnya konsolidasi usahatani dan konsolidasi ke arah koordinasi vertikal (kontrak dan integrasi) di berbagai tingkat sistem agribisnis (food and fiber system). Sehingga industrialisasi pertanian adalah merubah sistim pertanian tradisional menjadi sistem pertanian baru, dalam hal ini agriculture value added /pertanian nilai tambah yang memungkinkan sistim baru ini menjadikan usaha pertanian akan lebih kompetitif di pasar global, lebih efisen, lebih responsif terhadap permintaan konsumen, kurang tergantung pada bantuan pemerintah dan mampu lebih cepat mengadopsi tehnologi baru. Dengan model agriculture value added petani dapat menciptakan produk value added. Produk value added adalah (1) perubahan keadaan atau bentuk fisik dari suatu produk (misalnya gabah menjadi beras atau strawberries menjadi jam); (2) produksi dari suatu produk dalam suatu cara yang meningkatkan nilainya, seperti ditunjukkan melalui suatu rencana bisnis (a bisnis plan) dan (3) pemisahan fisik dari produk atau komoditi pertanian yang menghasilkan peningkatan nilai dari komoditi atau produk tersebut.

Berdasarkan definisi tersebut, maka hasil perubahan keadaan fisik atau cara yang memproduksi dan memisahkan produk atau komoditi pertanian, berbasis kepada keinginan pelanggan/konsumen terhadap komoditi atau produk yang diperluas sehingga proporsi besar dari penerimaan diperoleh dari pemasaran, prosessing atau pemisahan fisik yang dibuat produsen terhadap komoditi atau produk tersebut (the U.S. Department of Agriculture, Rural Business -- Cooperative Service) Berdasarkan definisi-definisi tersebut diatas, kesimpulan dari industrialisasi pertanian atau sering disebut juga sebagai pertanian nilai tambah atau agriculture value added, adalah menjadikan petani ikut ambil bagian dalam subsistem agribisnis, diluar usahatani, disajikan di gambar 3. Model perluasan kegiatan petani akibat industrialisasi disajikan di gambar berikut:

Subsistem Sarana Produksi

Subsistem Usahatani

Subsistem Agroindustri

Subsistem Pemasaran

Kegiatan Tambahan

Kegiatan Utama

Kegiatan Tambahan

Gambar 3. Kegiatan Tambahan Petani Akibat Industrialisasi Pertanian

Mengapa model pengembangan industrialisasi pertanian akan lebih kompetitif karena tuntutan industrialisasi diperhatikan dari dua sisi yaitu penawaran dan permintaan. Industrialisasi pertanian/agribisnis mempunyai tuntutan dari sisi permintaan dan sisi penawaran dalam disajikan di gambar 4. Pada gambar 4. menunjukkan bahwa proses industrialisasi mempunyai tuntutan dari sisi permintaan dan sisi penawaran. Kegiatan ini dalam sistim permintaan terutama berkaitan dengan pengembangan usaha ke arah integrasi vertikal sedangkan kegiatan dari sisi penawaran dapat menyesuaikan dengan tuntutan permintaan atau konsumen. Oleh sebab itu, sinkronisasi sisi penawaran dan permintaan adalah syarat tercapainya industrialisasi pertanian (Shaffner, 1998). Pada sisi penawaran pada proses industrialisasi diperlukan berbagai rekayasa seperti bioteknologi dan lain lain yang dapat meningkatkan produksi sebagai bahan baku yang disesuaikan dengan sisi permintaan.

Sedangkan dari sisi permintaan, industrialisasi secara terus menerus menyesuaikan dengan tuntutan konsumen. Apabila petani ikut dalam subsistem agribisnis lain, terutama menghadapi pemasaran maka petani diharapkan akan terbiasa menghadapai persaingan. Persaingan dapat dikalahkan oleh petani apabila petani dapat memproduksi produk yang unik. Petani dapat membuat produk yang unik atau yang lebih diinginkan konsumen apabila petani sudah terbiasa menghadapi keinginan pasar. Sehingga keterkaitan produksi dan pemasaran sudah tidak terpisahkan dalam sistim produksi dalam industrialisasi pertanian. Hal ini berarti kebijaksanaan pembangunan pertanian sudah selayaknya tidak saja berorientasi kepada produksi tetapi juga pada pemasaran sehingga konsep pembangunan pertanian kearah pengembangan sistim agribisnis. DEMAND FOR INDUSTRIALIZATION
Discriminating Discriminating consumers consumers Food health and Food health and safety safety

Customized products For niche market

Customized raw
.material

Quality audit trial

Identity-preserved production .of agricultural raw materials

Agricultural products tailored to the needs of buyers


Biotechnology Information .technology Structural change in agricultural Organization innovation .production

SUPPLY OF INDUSTRIALIZATION Gambar 4. Supply of and demand for Industrialization (Shroeder dan Mayodo dalam Shaffner, 1998) Berdasarkan uraian diatas, maka ada dua hal yang perlu diperhatikan dimasa yang akan datang dalam pembangunan pertanian, yaitu: (Anindita, 2003) 1. Perlu mendesign industrialisasi pertanian yaitu merubah pertanian yang traditional (melimpah dan tidak terdiferensiasi/undifferentiated) kearah sistim produksi yang lebih terintegrasi secara vertical

(agriculture-value added) sehingga produksi pertanian sesuai dengan kebutuhan specific konsumen/pelanggan dipasar. 2. Perbaikan sistim produksi perlu diikuti dengan perbaikan sistim pemasaran. Sistim pemasaran mempunyai peranan yang sama pentingnya dengan sistim produksi. Implikasi Terhadap Kebijaksanaan Pertanian Dalam upaya peningkatan kegiatan off farm, industrialisasi pertanian mempunyai kaitan erat. Industrialisasi pertanian bukan berarti mekanisasi pertanian atau sistim pertanian yang modern tetapi industrialisasi pertanian lebih mengarah optimalisasi kepada kegiatan usahatani. Memang modernisasi pertanian dibutuhkan tetapi penambahan kegiatan petani menjadi unsur pokok. Kegiatan usahatani dapat diarahkan untuk meningkatkan nilai tambah atau efisiensi melalui upaya keikutsertaan petani untuk memegang satu atau lebih subsistem agribisnis lain. Beberapa contoh menarik adanya kelompok tani di Nganjuk, Jawa Timur yang secara bersama membuat pupuk organik yang berarti petani telah berupaya menurunkan biaya pupuk yang pada akhirnya meningkatkan efisiensi. Contoh lain adalah upaya petani untuk mengolah hasil usahataninya untuk menjadi produk akhir yang disukai konsumen. Pembangunan pertanian yang berwawasan agribisnis ternyata belum menjadikan petani menjadi lebih baik. Konsep pembangunan pertanian yang berwawasan agribisnis telah mengenyampingkan keberpihakan terhadap petani. Hal ini karena agroindustri yang mendukung sektor pertanian berada diluar usaha petani. Dari sisi industri hilir, petani adalah pasar yang potensial bagi industri tersebut sedangkan dari sisi industri hilir, petani hanya berperan sebagai pemasok. Sebagai contoh pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR), pemerintah mengharapkan adanya hubungan serasi antara petani plasma dan inti dimana dilakukan melalui penetapan harga pembelian kepada petani (Sudaryanto dkkb, 2002). Walaupun penetapan harga diupayakan secara obyektif tetapi posisi petani akan sulit berkembang dengan adanya ketergantungan dengan pihak inti. Petani seharusnya lebih banyak dilibatkan dalam integrasi vertikal sehingga mereka lebih mampu menghadapi pasar. Kasus pabrik gula merupakan contoh industrialisasi yang kurang menguntungkan petani karena petani tidak terlibat dalam sistim pengolahan gula yang pada akhirnya mengakibatkan ketergantungan petani pada pabrik gula yang tidak menguntungkan bagi petani. Mengacu pada kondisi pertanian yang semakin kurang menguntungkan dan alternatif kegiatan off farm sebagai upaya pemecahan maka pembangunan pertanian perlu diarahkan melalui pengembangan agribisnis yang mengarah kepada agriculture value added, dimana usahatani sebagai kegiatan inti dan sub sistem agribisnis sebagai kegiatan tambahan.

Kendala dari kebijaksanaan ini adalah masih belum terbentuknya Departemen Agribisnis yang menanganinya karena selama ini Departemen Pertanian hanya membina pertanian tradisional yaitu bagaimana produksi pertanian meningkat tanpa bertanggung jawab terhadap situasi dan keinginan pasar. Ada alasan kuat bahwa model pembangunan pertanian ini akan mampu meningkatkan pendapatan petani, yaitu (1) dengan ikutnya petani ke dalam salahsatu subsistim agribisnis berarti akan menambah nilai tambah dari usahatani yang dilakukan; (2) dengan terintegrasinya subsistim usahatani dengan subsistim lain, maka keterpaduan antara subsistim dalam agribisnis akan menjadi lebih sinkron yang pada akhirnya peningkatan efisiensi dan kesesuaian produk pertanian dengan kebutuhan pasar/konsumen akan lebih baik. Harapan dari model industrialisasi pertanian ini adalah: Dengan berkembangnya agriculture value added, maka petani mempunyai kesempatan menjadi bagian dari sistim agribisnis dalam menciptakan deferensiasi produk untuk mendapatkan nilai tambah sehingga petani tidak tergantung pada harga pasar komoditi tersebut. Hal ini dapat dilakukan karena petani akan lebih banyak melakukan kemitraan yang mengarah kepada peningkatan nilai tambah. Dengan berkembangnya sistim agriculture value added, maka peningkatan produksi pertanian mempunyai strategi yang jelas dalam upaya peningkatan efisiensi dan memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen karena produk pertanian sudah tidak lagi hanya sebagai komoditi. Karena agriculture value added adalah menciptakan integrasi vertikal maka prosessing dan pemasaran menjadi berkembang di tingkat petani hingga konsumen. Hal ini tentunya menciptakan sistim produksi yang berorientasi terhadap pasar dan konsumen. Mendorong timbulnya investasi baru di bidang agroindustri Apabila industrialisasi ini berkembang di dalam negeri maka secara tidak langsung telah mempersiapkan petani untuk bersaing di pasar global.

Seandainya kebijaksanaan ini dilakukan tentunya tidak dapat sekaligus diterapkan untuk semua komoditi pertanian tetapi diperlukan perencanaan terhadap komoditi-komoditi potensial yang dapat dikembangkan ke dalam suatu sistim agribisnis atau pertanian baru yaitu agriculture value added dan Departemen Pertanian perlu di perbanyak tugas dan fungsinya sebagai Departemen Agribisnis.

Penutup

Kondisi petani yang semakin sulit akibat berbagai tekanan seperti murah pangan, beban sektor pertanian yang masih besar, penguasaan luas lahan yang semakin sempit dan persaingan global menyebabkan alternatif peningkatan pendapatan petani terbatas. Alternatif peningkatan pendapatan petani melalui kegiatan off farm mengarah kepada industrialisasi pertanian, dimana perlunya merubah pertanian tradisional menjadi agriculture value added. Usaha pertanian ini (agriculture value added) akan lebih terintegrasi secara vertical dan lebih responsive terhadap perubahan permintaan konsumen sehingga usaha pertanian tanaman pangan menjadi lebih kompetitif dan lebih efisien di pasar global, kurang tergantung terhadap bantuan pemerintah dan cepat mengadopsi tehnologi baru. Model ini dapat dilakukan apabila upaya peningkatan produksi diikuti dengan upaya pengembangan produk sesuai dengan tuntutan konsumen. Berkaitan dengan hal tersebut, pengembangan kegiatan petani mempunyai peranan penting tidak saja bagaimana sistim produksi terkait dengan sistim pemasaran tetapi juga sistim sarana produksi terkait dengan sistim produksi. Hal ini bermuara pada peningkatan efisiensi dan produksi sesuai dengan tuntutan pasar. Berkaitan dengan kebijaksanaan industrialisasi pertanian maka perlu memperbanyak tugas dan fungsi Departemen Pertanian menjadi Departemen Agribisnis. Oleh sebab itu angan-angan berbagai ahli yang menginginkan perubahan tugas dan fungsi Departemen Pertanian menjadi Departemen Agribisnis perlu segera diwujudkan.

Daftar Pustaka Anindita, R, 2003. Manajemen Pemasaran Agribisnis Tanaman Pangan, Makalah disampaikan pada Diklat Pengembangan Agrobisnis Berwawasan Lingkungan Khusus Padi Bagi Penyuluh Pertanian, tanggal 8 22 Desember 2003. Pemerintah Kabupaten Lamongan China Daily, 2002. Speeding up Agro Industrialization, 2002-05-14 Crawford, 1997. Agricultural and Food Marketing Management, FAO Heriyanto, 2004. Pengembangan Industri Tepung Ubijalar Dalam Upaya Merubah Status Komoditas Inferior Menjadi Unggulan Di Era Perdagangan Bebas: Studi kasus di daerah Jawa Timur, Makalah disampaikan pada Seminar di BALITKABI tangal 11 September 2003 sebagai syarat kenaikan jenjang fungsional. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. Heriyanto dan R Anindita, 1996. Kesempatan dan Tantangan Pembangunan Agribisnis Ubijalar untuk Meningkatkan Persaingan: Studi Kasus di Jawa Timur. Paper disajikan Konggres Perhepi di Bali, Augustus 1996 Sudaryanto,T; Erwidodo dan Benny Rachman, 2002. Perseptif Pembangunan Ekonomi Pedesaan Dalam Era Globalisasi dalam Analisis Kebijaksanaan: Paradigma Pembangunan dan Kebijaksanaan

10

Pengembangan Agro Industri oleh Tahlim Sudaryanto dkk. Monograph series No.21 Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian-Badan Litbang Pertanian Sudaryanto, T; Prajogo U H; Sri Hery S dan Erma S, 2002. Perkembangan kebijaksanaan Harga dan Perdagangan Komoditi Pertanian dalam Analisis Kebijaksanaan: Paradigma Pembangunan dan Kebijaksanaan Pengembangan Agro Industri oleh Tahlim Sudaryanto dkk. Monograph series No.21 Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian-Badan Litbang Pertanian Schaffner, Schroder dan Earle, 1998. Food Marketing: An International Prespective. McGraw-Hill. Holly Born, 2001. Key too Success in Agriculture Value-Added. A publication of Southern Sustainable Agriculture Working Group and The National Center for Appropriate Technologys ATTRA Project, the National Center for Appropriate Technology under a grant from the Rural Business-Cooperative Service, U.S. Department of Agriculture.

Anda mungkin juga menyukai