Anda di halaman 1dari 17

Makalah

Citra Perawat di Media Massa

Oleh : Diyan Pradana 010016 AS1 S1 Keperawatan SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH BANJARMASIN TAHUN 2012

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang tiada pernah terputus rahmat dan karunia-Nya. Sholawat serta salam teruntuk baginda Nabi dan Rasul kita Muhammad SAW kepada keluarganya, para sahabat, dan sampailah pada kita sebagai pengikutnya. Alhamdulillah berkat bantuan dari semua pihak, akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah mengenai Citra Perawat di Media Massa ini untuk memenuhi salah satu persayaratan pendaftaran keikutsertaan LKMM Nasional VI ILMIKI diselenggarakan di Universitas diponegoro Semarang. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini, masih terdapat banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Dengan demikian, Penulis mangharapkan kritik dan saran dari pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca guna menambah pembendaharaan ilmu pengetahuan. Semoga dengan amal dan usaha kita untuk menggali ilmu pengetahuan di ridhoi dan dimudahkan oleh Allah SWT.

Banjarmasin, 17 Agustus 2012

Penulis

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah Semakin maraknya upaya penurunan citra perawat baik melalui tayangan entertainment, dunia perfilman, maupun media cetak telah menjadikan derajat dan posisi perawat pada tingkatan rendah. Perawat menjadi lebih mudah direndahkan, dilecehkan, dihina dan dieksploitasi. Pornografi sangat merendahkan martabat perawat. Eksploitasi fisik perawat bukan merupakan penghargaan terhadap kecantikan. Hal ini justru membuat potensi intelektual perempuan terabaikan, bahkan membuat profesi perawat dipandang remeh. Citra perawat masih jauh dari harapan insan perawat sendiri. Di mata sebagian masyarakat, perawat masih sering dinilai tidak memiliki ilmu dan tidak mandiri. Penilaian semacam ini bisa disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena ketidak tahuan masyarakat akan tugas perawat. Tugas perawat yang langsung bersentuhan dengan pasien mempengaruhi gambaran tugas secara keseluruhan. Sumber informasi seperti televisi, media massa, radio dan sarana sumber informasi lainya belum menjadi alat yang di optimalkan oleh seluruh Perawat Indonesia dalam semua sektor. Masih sangat jarang kita temui tulisan-tulisan tentang keperawatan masuk dalam Head line News Surat kabar nasional baik yang bersifat berita, informasi dsb. Hal ini harusnya mulai disikapi dengan bijaksana terutama oleh

para Ahli Keperawatan yang harusnya sudah mulai rajin menulis dan memberikan pembelajaran kepada masyarakat tentang profesi keperawatan dan peran sertanya. Bila semakin banyak para Pakar dan ahli keperawatan yang meluangkan waktu untuk membuat tulisan-tulisan dalam media seperti : Surat Kabar, internet, Televisi, radio, pasti ini akan sangat mendukung kampanye nasional penyebaran informasi positif tentang keperawatan sehingga masayarakat paham tentang perawat dan keperawatan. Kalangan intelektual keperawatan (seperti : Mahasiswa, dosen, parktisi) juga harus mampu bersaing dan tidak terkesan GAPTEK (gagap tekhnologi) sehingga kita akan semakin bisa berkiprah dalam segala aspek kehidupan bermasayarakat baik secara Politik, Ekonomi, Sosial ataupun dimensi kehidupan bermasayarakat lainnya. Sebagai seorang perawat sendiri kita harus men-show up ke masyarakat mengenai peran kita yang care terhadap pasien yang tujuannya adalah menunjukkan bahwa kapabilitas seorang perawat sebenarnya adalah lebih professional dari yang dilihat di dalam film-film tersebut atau bahkan berbbalik seratus delapan puluh derajat dari yang diperankan di dalam film tersebut. 1.2 Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum

Setelah penulisan makalah ini penulis memahami Citra perawat di media massa saat ini sedang tidak bagus.
2. Tujuan khusus

Setelah penulisan makalah ini penulis dapat : a. Memahami tentang keperawatan di media masa

b. kurangnya peran perawat di media masa

3. Pandangan masyarakat terhadap profesi keperawatan 4. Adanya stigma negatif yang terjadi diperfilman Indonesia tentang profesi Keperawatan.

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Profesi Perawat Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi dari pengertian perawat tersebut dapat artikan bahwa seorang dapat dikatakan sebagai perawat dan mempunyai tanggung jawab sebagai perawat manakala yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa dirinya telah menyelesaikan pendidikan perawat baik diluar maupun didalam negeri yang biasanya dibuktikan dengan ijazah atau surat tanda tamat belajar. Dengan kata lain orang disebut perawat bukan dari keahlian turun temurun, malainkan dengan memalui jenjang pendidikan perawat.( Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1239/MenKes/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat pada pasal 1 ayat 1). Munas VII Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) di Manado, Juli 2005, mendefinisikan perawat sebagai seorang yang lulus pendidikan formal dalam bidang keperawatan yang program pendidikannya disahkan oleh pemerintah. Sedangkan menurut PP Nomor 32 Tahun 1996, perawat dan bidan adalah tenaga keperawatan yang merupakan salah satu dari 7 tenaga kesehatan yang diakui di Indonesia.

Tugas Managerial Pendidikan formal perawat cukup beragam. Mulai dari SMK Keperawatan, D3, bahkan sampai S3 (doktoral bidang keperawatan). Lingkup kerjanya pun tidak hanya di rumah sakit tetapi juga di masyarakat atau tugas nonklinis seperti tugas managerial di kantor Dinkes. Selain sebagai profesional klinis, perawat memiliki keahlian sebagai pengajar, manager, dan peneliti. Di rumah sakit besar, perawat klinis memiliki keahlian spesialisasi seperti bedah, penyakit dalam, penyakit jiwa dan sebagainya. 2.2 Pengertian Media Massa Media massa adalah alat-alat dalam komunikasi yang bisa menyebarkan pesan secara serempak, cepat kepada audience yang luas dan heterogen. Kelebihan media massa dibanding dengan jenis komunikasi lain adalah ia bisa mengatasi hambatan ruang dan waktu. Bahkan media massa mampu menyebarkan pesan hampir seketika pada waktu yang tak terbatas (Nurudin, 2007). Media massa memberikan informasi tentang perubahan, bagaimana hal itu bekerja dan hasil yang dicapai atau yang akan dicapai. Fungsi utama media massa adalah untuk memberikan informasi pada kepentingan yang menyebarluas dan mengiklankan produk. Ciri khas dari media massa yaitu tidak ditujukan pada kontak perseorangan, mudah didapatkan, isi merupakan hal umum dan merupakan komunikasi satu arah. Peran utama yang diharapkan dihubungkan dengan perubahan adalah sebagai pengetahuan pertama. Media massa merupakan jenis sumber informasi yang disenangi oleh petani pada tahap kesadaran dan minat dalam proses adopsi inovasi.

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Peran Perawat di Media Masa Perawat adalah pembantu dokter. Kalimat ini memang tak pernah terucap pada pertemuan resmi atau rakor antar tenaga kesehatan di manapun. Juga tidak pernah diakui oleh perawat sendiri. Dokter pun tidak pernah mengungkapkan secara verbal. Pernyataan ini hanya rekayasa penulis untuk menggambarkan betapa masih kurangnya penghargaan atas profesi perawat di mata sebagian masyarakat. Simak saja adegan di sinetron. Peran perawat digambarkan masih sebatas membantu tugas dokter. Berdiri di samping dokter yang memeriksa pasien, sambil memegang kartu data pasien. Kemudian dokter memerintahkan sesuatu kepada perawat, lalu pergi keluar kamar periksa.

3.2 Citra Negatif di Perfilman Pada Sosok Perawat Akhir akhir ini, dunia perfilman Indonesia mengeluarkan film yang menjatuhkan profesi perawat di negeri sendiri. dengan adanya tayangan film Suster Ngesot, Suster Keramas, Suster N, dan masih banyak lagi judul film yang memakai kata suster, membuat banyak kontroversi di berbagai

kalangan, khususnya di profesi perawat itu sendiri. Tidak hanya perawat saja yang resah bahkan masyarakat pun juga risih dan resah ketika mengetahui isi dari film tersebut. Pada film Suster Ngesot dan Suster N merupakan film horor yang menceritakan tentang kisah hantu Suster Ngesot, dimana hantu ini adalah seorang perawat dari jaman pendudukan Belanda di sebuah vila pinggiran kota Bandung. Ketika dibuat film ini, membuat paradigma masyarakat mengenai sudut pandang dari perawat menjadi seperti hantu yang menakutkan dan mengerikan terutama perawat yang bekerja di rumah sakit. Berbeda halnya dengan film Suster Keramas, dimana di film ini merupakan film horor yang dibalut dengan komedi porno. Dalam film ini, di bintangi oleh artis porno asal Jepang, Rin Sakuragi yang konon ia telah merilis 20 film porno. Film tersebut bahkan tidak layak ditonton masyarakat, sebab hanya memamerkan aurat wanita. Pada film ini membuat paradigma perawat menjadi tercemar dan membuat rusaknya budi pekerti dan ahlak bangsa indonesia. Paradigma mayarakat mengenai profesi perawat ini akan menjadi lebih buruk lagi disamping kalau perawat itu menakutkan dan mengerikan, tetapi juga pornografi. Hal ini membuat profesi keperawatan menjadi jelek dimata masyarakat. Pemutaran film tersebut di bioskop membuat masyarakat Indonesia, MUI, dan profesi perawat pun merasa resah. Perawat merasa bahwa profesinya dilecehkan. Profesi perawat tidak seperti apa yang diceritakan di dalam film tersebut. Pemunculan film tersebut justru akan menjatuhkan citra perawat di bidang perfilman Indonesia, selain itu membuat profesi menjadi sebuah hal yang menyeramkan dan mengerikan di kalangan masayarakat. Padahal perawat adalah sebuah profesi yang profesional dan sangat mulia. Tugas perawat yaitu perawatan penyakit, pendidikan kesehatan, pengobatan dan koordinasi atau bermitra dengan profesi lain. Setelah Pemutaran film yang berjudul Suster Keramas ini mengundang banyak sekali kontroversi di masyarakat. Banyak sekali aksi mahasiswa khususnya mahasiswa keperawatan menolak untuk pemutaran film tersebut di

bioskop-bioskop.

Mereka

mendesak

DPR

segera

merekomendasikan

pencabutan izin edar film tersebut karena dinilai menampilkan adegan porno yang sangat mendiskreditkan profesi perawat. Lantas apakah dengan aksi ini semuanya akan berakhir, Pada bab selanjutnya kami akan membahas solusi yang bisa diterapkan untuk menghadapi isu tersebut. Melihat realita yang ada, sebagai perawat Indonesia tentunya tidak mau tinggal diam ketika profesinya disalahgunakan sebagai judul film yang mengundang citra buruk di masyarakat. Sebelum lebih jauh memberikan gagasan tentang masalah ini ada baiknya jika mengetahui undang-undang di bidang perfilman atau entertainment. Pada UU NO.8 tahun 1992 di sebutkan pada pasal 13 ayat 2 Kebebasan berkarya dalam pembuatan film sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan sesuai dengan arah dan tujuan penyelenggaraan perfilman dengan memperhatikan kode etik dan nilai-nilai keagamaan yang berlaku di Indonesia. Di dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa tujuan

penyelenggaraan perfilman dengan memperhatikan kode etik dan nilai-nilai keagamaan yang berlaku di Indonesia. Tetapi kenyataannya apa yang ada dalam film Suster Keramas tersebut jelas-jelas menyimpang dengan ajaran Islam, yang terdapat dalam Firman Allah : Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, Dan suatu jalan yang buruk. (QS.: 17. Al Isra: 32)

3.3 Turunnya Citra Perawat di Mata Masyarakat Melewati Media Masa Semakin maraknya upaya penurunan citra perawat baik melalui tayangan entertainment, dunia perfilman, maupun media cetak telah menjadikan derajat dan posisi perawat pada tingkatan rendah. Perawat menjadi lebih mudah

direndahkan, dilecehkan, dihina dan dieksploitasi. Pornografi sangat merendahkan martabat perawat. Eksploitasi fisik perawat bukan merupakan penghargaan terhadap kecantikan. Hal ini justru membuat potensi intelektual perempuan terabaikan, bahkan membuat profesi perawat dipandang remeh. Menyikapi hal tersebut, apakah tugas lembaga sensor perfilman di Indonesia, Apakah mereka hanya sebuah nama, Dalam RUU Perfilman, keberadaan lembaga sensor ini tetap ada. jika tak ada lembaga sensor pastilah makin bertaburan adegan-adegan tersebut! Pendapat kedua, sensor tetap dibutuhkan, tapi untuk pemotongan nantinya dilakukan sendiri oleh sineas-setelah berdiskusi dengan lembaga sensor. Terkait dengan pemutaran film yang membuat citra perawat menurun tersebut, lembaga sensor belum bisa berkerja secara maksimal. Dari sisi pemerintah sebagai regulator dan fasilitator, wajib menyiapkan seperangkat peraturan yang memperhatikan barbagai aspek dan kepentingan. Transparansi, keadilan serta kepentingan nasional menjadi tolak ukur utamanya. Industri film dituntut untuk dapat menghasilkan film yang berkualitas dengan tetap menjaga kaidah-kaidah norma hokum dan kemasyarakatan yang berlaku.Mengenai pemutaran film yang membuat citra perawat menurun ini, sebenarnya di dalam undang-undang tentang perfilman tersebut sudah dijelaskan pada pasal 36. Melihat kondisi seperti ini, sebagai kaum perawat kami mempunyai beberapa solusi untuk menanggapi kasus pencemaran nama profesi keperawatan tersebut. Adapun diantaranya adalah sebagai berikut : Pemerintah segera mengesahkan UU Keperawatan agar keperawatan Indonesia mendapatkan perlindungan hukum. Dilihat dari sudut Hukum, rancangan UU ini nantinya dapat menjadi payung hukum perawat Indonesia dalam menjalankan praktik profesinya. Namun sampai sejauh ini, rancangan UU keperawatan tersebut belum menjadi agenda yang harus disahkan oleh

Anggota DPR RI yang sebentar lagi akan lengser. Apakah perawat Indonesia harus menunggu dan menunggu lagi kepastian DPR untuk mengesahkannya. Padahal RUU tentang Praktik Perawat telah menjadi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2005-2009.

3.4 Inovasi Kedepan Perawat Dalam Media Masa Sebagai seorang perawat sendiri kita harus men-show up ke masyarakat mengenai peran kita yang care terhadap pasien yang tujuannya adalah menunjukkan bahwa kapabilitas seorang perawat sebenarnya adalah lebih professional dari yang dilihat di dalam film-film tersebut atau bahkan berbbalik seratus delapan puluh derajat dari yang diperankan di dalam film tersebut. Dari dunia perfilman sendiri, lembaga sensor harus lebih selektif ketika ada film yang masuk sehingga hal-hal yang berbau pornografi dapat dihindari untuk ditayangkan. Tindakan komersialisasi terhadap profesi keperawatan itu boleh dilakukan. Hal ini dilakukan untuk memperkenalkan bahwa profesi perawat itu juga bisa berkarya di bidang perfilman dan tidak dianggap remeh oleh profesi yang lain. Namun, yang disayangkan adalah entertainment terlalu memberikan warna yang berlebihan terhadap profesi keperawatan. Misalnya saja pada film Suster Keramas atau yang lainnya. Perawat bukan seperti yang digambarkan pada film tersebut. Pekerjaan perawat sungguh mulia dari apa yang ditayangkan pada film tersebut. Dengan adanya film-film tersebut mengakibatkan citra perawat di masyarakat menjadi menurun dan dampaknya adalah sebagian orang menganggap bahwa profesi perawat itu seperti apa yang ada di dalam cerita film tersebut.

Setelah mengetahui fenomena tersebut maka kami mencoba untuk merekomendasikan gagasan tentang kebijakan pemerintah dalam melindungi profesi keperawatan. Seharusnya pemerintah segera mensahkan UndangUndang Keperawatan agar perawat mendapat payung hukum yang jelas ketika menjalankan tugasnya. Media massalah salah satunya cara cepat untuk mengembalikan citra perawat, dengan berbagai tayangan yang dibuat menggambarkan persatuan perawat dan mempublikasikan salah satunya ilmiki dan himadika keberbagai media massa seperti pergerakan maupun hasil kegiatannya. Dan juga ppni dan institusi keperawatan yang bertanggung jawab agar bisa mempublikasikan peran perawat yang sebenarnya didaerahnya masing-masing diseluruh tanah air. Karena perawat orang yang berperan banyak dalam kesembuhan pasien yang selalu berada disamping pasien selama 24 jam setiap hari. Sejarah perawat juga bisa diangkat dalam perfilman agar masyarakat bisa mengetahui sejarah maupun tugas dan tanggung jawab perawat yang sungguh berat dan mulia. Semoga dengan adanya teguran liwat perfilman tersebut insan perawat ditanah air tergerak hatinya untuk melakukan perubahan dan bagaimana memajukan dunia keperawatan agar masyarakat di Indonesia bisa tau bahwa profesi keperawatan adalah tugas mulia. 3.5 Menanggapi dampak negatif yang sedang terjadi Menanggapi berbagai dampak negatif dari pembuatan dan penayangan film-film horor yang secara tidak langsung melibatkan nama profesi keperawatan tersebut, sebagai seseorang yang memiliki kepekaaan dan kepedulian terhadap pandangan masyarakat tentang masa depan profesi keperawatan, mari kita bersama-sama bergerak untuk mengembalikan citra nama perawat Indonesia melalui gerakan anti komersialisme keperawatan dalam bidang entertainment. Jadi, maksudnya bukan berarti profesi keperawatan tidak boleh dilibatkan dalam bidang entertainment, tetapi apapun yang disajikan dan ditampilkan harus sesuai dengan konsep dasar

tugas dan peran perawat yang sebenarnya sesuai dengan kode etik perawat, sehingga menampilkan pesan pendidikan kepada masyarakat yang mampu membangun arah perkembangan profesi keperawatan itu sendiri sekaligus sebagai media open mind bagi masyarakat. Sampai saat ini dari hasil survei, baru ada satu stasiun televisi yang menampilkan profesi keperawatan sebagai profesi yang sangat mulia, dari banyak film-film yang ditampilkan di pertelevisian Indonesia. Film tersebut tidak hanya menggambarkan betapa sulitnya menjalankan peran sebagai seorang perawat, duka-cita yang harus dilewati sampai harus mengorbankan diri sendiri demi menjalankan tugas dan peran. Dan betapa mirisnya ternyata film tersebut bukanlah hasil garapan dari produksi perfilman Indonesia.

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan Sudah bisa kita simak dari pembahasan diatas bahwasanya citra perawat di media masa dalam keadaan kurang baik, peran kita sebagai calon profesi keperawatanlah yang harus mengubah citra tersebut, kita harus bisa membuktikan bahwa profesi keperawatan tidak seperti yang ada di media massa. UU Keperawatan seharusnya bisa mengatur standar kompetensi, peran, dan fungsi perawat dalam tim kesehatan serta hubungan perawat dengan institusi atau pihak lain. Dengan UU ini perawat juga akan dilindungi dari tuntutan hukum. Dan bisa menuntut kepada siapapun yang merusak citra perawat.

4.2 Saran Sudah saatnya para ahli keperawatan, Kalangan intelektual keperawatan seperti: Mahasiswa, dosen dan parktisi rajin menulis dan memberikan pembelajaran kepada masyarakat tentang profesi keperawatan dan peran sertanya. Bila semakin banyak para Pakar dan ahli keperawatan yang meluangkan waktu untuk membuat tulisan-tulisan dalam media seperti : Surat Kabar, internet, Televisi, radio, pasti ini akan sangat mendukung kampanye

nasional penyebaran informasi positif tentang keperawatan sehingga masayarakat paham tentang perawat dan keperawatan. Sebagai seorang perawat sendiri kita harus men-show up ke masyarakat mengenai peran kita yang care terhadap pasien yang tujuannya adalah menunjukkan bahwa kapabilitas seorang perawat sebenarnya adalah lebih professional dari yang dilihat di dalam film-film tersebut atau bahkan berbalik seratus delapan puluh derajat dari yang diperankan di dalam film tersebut.

Daftar Pustaka

www.nursingworld. Canon. 2005. New Horizons for Collaborative Partnership. http://chairulums.wordpress.com/2009/06/30/hubungan-perawat-dokter/ Ismani, Nila.2001. Etika Keperawatan. Jakarta: Widia Medika www. Kompas.com/kompas-cetak/ 2001. Diskusi Era Baru: Perawat Ingin Jadi Mitra Dokter. http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/2060385-pengertian-mediamassa/#ixzz23fcwdihv

Anda mungkin juga menyukai