Anda di halaman 1dari 12

Jurnal Mina Laut Indonesia

Vol. 01 No. 01

(133 144)

ISSN : 2303-3959

Pertumbuhan Spons (Stylotella aurantium) yang Ditransplantasi pada Berbagai Kedalaman


Growth of Sponge (Stylotella aurantium) Transplantated at Different Depth Muhammad Asro *), Yusnaini**), dan Halili ***) Program Studi Budidaya Perairan FPIK Universitas Haluoleo Kampus Hijau Bumi Tridarma Kendari 93232
e-mail: muhammad_asro@yahoo.com *), yusyusnaini@ymail.com **), dan halili_99@yahoo.com ***)

Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pertumbuhan, kelangsungan hidup dan morfologi spons (Stylotella aurantium) yang ditransplantasi pada berbagai kedalaman. Serta menentukan kedalaman yang baik untuk transplantasi spons (S. aurantium). Penelitian ini dilaksanakan selama 90 hari, mulai dari tanggal 3 Juli sampai pada tanggal 1 Oktober 2011. Penelitian ini bertempat di perairan Dusun Baho Desa Labuan Beropa Kecamatan Laonti Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara. Penelitian ini menggunakan perlakuan terhadap kedalaman, dimana perlakuan A adalah 3 m, perlakuan B adalah 6 m, dan perlakuan C adalah 9 m. Variabel yang diamati yaitu pertumbuhan mutlak (PM), laju pertumbuhan spesifik (LPS), sintasan (SR), morfologi dan kualitas air. Hasil penelitian menunjukan rata-rata PM dalam setiap perlakuan adalah nilai tertinggi pada perlakuan A dengan rata-rata PM 46,721 cm3 disusul dengan perlakuan B dengan nilai rata-rata PM 33,917 cm3 sedangkan nilai terkecil dari rata-rata PM dalam perlakuan terlihat pada perlakuan C dengan rata-rata PM 18,30 cm3, Untuk rata rata LPS dalam setiap perlakuan kedalaman dengan nilai tertinggi adalah pada perlakuan A 1,363% , selanjutnya pada perlakuan B 1,093%, dan pada perlakuan C 0,748%. Tingkat kelangsungan hidup pada perlakuan A adalah 100%, perlakuan B mempunyai tingkat kelangsungan hidup 100%. Pada perlakuan C tingkat kelangsungan hidupnya adalah 91,67%. Kajian ini membuktikan bahwa kedalaman 3 m adalah kedalaman terbaik untuk transplantasi sponge Stylotella aurantium. Kata Kunci: Spons, transplantasi spons, Stylotella aurantium, kedalaman

Abstract
The purpose of this study was to determine absolutely growth, survival rate and sponge morphology (Stylotella aurantium) transplanted at different depths. It also was to determine suitable depth for sponge (Stylotella aurantium) transplantation. This study was conducted for 90 days, July to October, 2011. It used 3 treatments on different depth i.e. treatment of A at 3 m, treatment of B at 6 m, and treatment C at 9 m. Variables Observed were Absolutely Growth (AG), Specific Growth Rate (SGR), Survival Rate (SR), morphology and water quality. Results showed that the highest AG in each treatment was on treatment of A with an average of 46,721 cm3 followed by treatment of B and C with average 33,917 cm3 and 18,30 cm3 respectively. The highest of SGR was 1,363% in treatment of A, followed by treatment of B and C 1,093% and 0,748% respectively. Survival rate in treatment of A and B was 100%, while treatment of C was 91,67%. This study proven that depth water of 3 m was the best depth for sponge transplantation of Stylotella aurantium. Key words: Sponge, sponge transplantation, Stylotella aurantium, depth

Pendahuluan Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki wilayah laut yang sangat luas dan memiliki sumber daya alam hayati laut yang besar. Salah satu sumber daya alam tersebut adalah ekosistem terumbu karang. Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu karang terdapat berbagai jenis karang, ikan, moluska, krustasea, algae, lamun serta porifera.
Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU

Porifera yang dalam bahasa latin, porus artinya pori sedangkan fer artinya membawa. Porifera merupakan hewan multiseluler atau metazoa dimana fungsi organ dan jaringannya masih sangat sederhana. Oleh karena itu hewan ini memiliki ciri dimana tubuhnya berpori seperti busa atau spons sehingga porifera disebut juga sebagai hewan spons. Spons hidup menetap pada suatu habitat pasir, batu-batuan atau juga pada karang-karang mati di laut. Berkaitan dengan pemanfaatannya, spons menghasilkan senyawa bioaktif yang mempunyai
133

peranan sebagai bahan anti biotik, anti jamur, anti tumor, dll. Selain itu senyawa bioaktif spons ini juga dapat dimanfaatkan sebagai hiasan akuarium, alat mandi, indikator biologi pemantauan pencemaran laut, terutama logam berat dan pestisida (Rani dan Haris, 2004 dalam Aswan 2007). Spons merupakan salah satu komponen biota penyusun terumbu karang yang mempunyai beberapa senyawa yang terkandung di dalamnya dimana persentase bioaktifnya lebih besar dibanding dengan senyawa-senyawa yang dihasilkan oleh tumbuhan darat (Muniarsih dan Rachmaniar, 1999). Untuk melestarikan pemanfaatan spons, perlu upaya eksplorasi terutama yang berhubungan dengan pengembangan budidayanya. Pengembangan budidaya ini diarahkan untuk memperbanyak spons dalam hal memenuhi permintaan pasar sebagai hiasan dan persediaan bahan baku obat untuk kebutuhan farmasi maupun untuk kebutuhan restocking pada kawasan terumbu karang yang rusak. Salah satu langkah alternatif ke arah tersebut adalah pengembangan budidaya melalui metode transplantasi. Transplantasi spons pada umumnya di Sulawesi Tenggara belum banyak dilakukan, hal ini dikarenakan pemanfaatan spons belum diketahui oleh sebagian besar masyarakatnya. Sedangkan peneliti pada daerah lain telah banyak mengkaji tentang kandungan bioaktif spons terutama pada kelas demospongiae serta permintaan industri hiasan akuarium yang semakin meningkat. Oleh karena itu pengkajian spons terkait pertumbuhan berdasarkan kedalaman perairan sangat diperlukan dalam

metode transplantasi, untuk itu perlu dilakukan penelitian. Metode Penelitian 1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama 90 hari, mulai dari tanggal 3 Juli sampai pada tanggal 1 Oktober 2011. Penelitian ini bertempat di perairan Dusun Baho Desa Labuan Beropa Kecamatan Laonti Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara. 2. Prosedur Penelitian a. Penentuan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian yang dipilih sebagai lokasi penelitian adalah perairan pantai Dusun Baho Desa Labuan Beropa Kecamatan Laonti Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara. Untuk menentukan stasiun pangamatan ini perlu mempertimbangkan yaitu transportasi, kualitas dan kuantitas perairan, ketersediaan bibit tidak jauh dari pengambilan bibit, dan daerah tersebut telah di survey sebelum ditentukan sebagai lokasi penelitian serta kedalaman pada surut terendah yaitu 1 sampai 3 m. Setelah lokasi memenuhi syarat untuk dilakukan transplantasi, maka lokasi tersebut ditandai dengan menggunakan GPS, hal ini untuk memudahkan dalam mencari lokasi tersebut, serta kedalaman yang dipakai yaitu 3, 6 dan 9 m. Hal ini mengacu pada pernyataan Suharsono 1995 dalam Suharyanto 2008 yang menyatakan bahwa kisaran kedalaman ini dipilih karena pertumbuhan dan komunitas optimum terumbu karang dan spons adalah kedalaman 3 sampai 10 m.

Gambar 1. Kedalaman ( perlakuan ) transplantasi spons.

134
Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU

b. Penentuan Organisme Uji Organisme uji yang dipilih pada penelitian ini adalah spons dari jenis Stylotella aurantium dengan berdasarkan keadaan

morfologi induk yang besar dan sehat serta berwarna cerah yaitu untuk menandakan bahwa induk tersebut sehat dan baik untuk dijadikan bibit spons uji.

Gambar 2. Spons jenis Stylotella aurantium. c. Penyediaan Wadah Transplantasi Menurut Aswan (2007) spons yang ditransplantasikan dapat melekat dengan baik pada substrat beton dan jaring. Wadah transplantasi yang dipilih pada penelitian ini yaitu substrat yang terbuat dari beton/batako yang berbentuk persegi panjang kemudian dibagi menjadi dua bagian bentuk persegi dengan ukuran 20 cm x 20 cm x 9 cm, lalu diikatkan tali yang saling menyilang pada kedua bagian sisi batako untuk tempat mengikat organisme uji (S. aurantium). Bentuk ini dibuat agar media transplantasi tidak mudah berpindah dari tempatnya meskipun lokasi penelitian berarus kencang. Substrat transplantasi digambarkan sebagai berikut :

Gambar 4. Ukuran substrat transplantasi

Gambar 3. Substrat transplantasi yang diikatkan dengan tali. d. Pemasangan Bibit Penelitian transplantasi spons ini dilakukan dengan metode pencangkokan S. aurantium, kemudian diikatkan pada media atau substrat yang telah tersedia. Pemotongan bibit dari induk asalnya diambil pada lokasi yang tidak terlalu jauh dari lokasi penelitian yaitu 1 km. Bibit diambil dengan cara dipotong pada bagian pangkal spons dengan menggunakan pisau. Setelah dilakukan pengambilan maka bibit dikumpulkan kedalam wadah ember yang berisi air laut. Setelah bibit terkumpul maka dilakukan pemotongan kembali untuk ukuran besaran bibit yang dipakai. Ukuran bibit yang digunakan adalah panjang 3 cm, tinggi 3 cm, dan lebar 2 cm. Bentuk dan ukuran dapat dilihat pada gambar berikut.

135
Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU

Gambar 4. Bentuk dan ukuran pemotongan bibit spons uji. Pemasangan bibit semuanya dilakukan di dalam air untuk menghindari spons laut dari stres akibat perubahan fisika kimia perairan. Bibit diikatkan ke tali yang telah tersedia pada wadah transplantasi yaitu dengan menggunakan tali tie (tali plastik).

. Gambar 5. Bibit yang dipasang pada substrat transplantasi. e. Perawatan Hewan Uji Perawatan spons (S. aurantium) yang ditransplantasi dilakukan dengan membersihkan spesimen beserta media dari gangguan alga yang tumbuh pada wadah transplantasi dan kotoran lain yang terbawa arus. Frekuensi pengontrolan terbagi atas tiga bagian yaitu minggu pertama sampai minggu kedua, minggu ketiga sampai minggu keempat, dan minggu kelima sampai selesai. Pada minggu pertama sampai minggu kedua pengontrolan dilakukan setiap hari, karena pada masa ini merupakan masa yang paling riskan kematian pada organisme transplantasi. Pengontrolan pada minggu ketiga sampai minggu keempat dilakukan dalam satu minggu satu kali, hal ini dikarenakan pada masa ini spons laut belum bisa mempertahankan diri sepenuhnya dari faktor lingkungan yang mengganggu karena masih melakukan proses penyembuhan luka potongan. Pada minggu kelima sampai selesai dilakukan pengontrolan 15 hari sekali karena pada masa ini spons laut sudah sembuh dari luka irisan dan mampu mempertahankan diri dari faktor lingkungan, pembersihan ini menggunakan kain atau sikat halus untuk menghindari spesimen terlepas dari substrat. f. Teknik Pengukuran dan Pengambilan Data Pengukuran pertumbuhan bibit dilakukan setiap 15 hari selama 90 hari penelitian agar perkembangan spons terlihat nyata dan dapat terukur, pengukuran menggunakan jangka sorong (kaliper ketelitian
Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU

0,01 mm). Param yang diukur adalah panjang, tinggi dan lebar spons (volume) karena S. aurantium mempunyai bentuk pertumbuhan menyerupai gumpalan tidak beraturan. Variabel yang diamati adalah pertumbuhan mutlak (PM), Laju Pertumbuhan Spesifik (LPS), Sintasan (SR), Morfologi dan Kualitas Air dengan menggunakan rumus berikut : 1. Pertumbuhan mutlak (PM) yang mengacu pada pertambahan panjang, tinggi dan lebar (volume) dari spons laut S. aurantium dengan menggunakan rumus Effendie (1997). PM = Vt Vo dimana : PM = Pertumbuhan mutlak spons uji; Vt = Pertambahan volume rata-rata pada akhir penelitian; Vo = Volume pada awal penelitian. 2. Laju Pertumbuhan Spesifik (LPS) yang mengacu pada perubahan panjang, tinggi dan lebar (volume) pada jangka waktu tertentu dengan menggunakan rumus Effendie (1997). LPS = (Vt Vo) x 100% t dimana : LPS = Laju pertumbuhan spesifik (%); Vt = Pertumbuhan volume pada waktu t (cm); Vo = Volume pada awal penelitian (cm); t = Periode waktu (hari).
136

3. Sintasan SR = Nt x 100 (%) No dimana : SR = Kelangsungan hidup; Nt = Jumlah indiidu yang hidup selama penelitian; No = Jumlah individu pada awal penelitian. 4. Parameter kualitas air seperti suhu, salinitas, kecepatan arus, kecerahan, diukur dengan menggunakan alat yang spesifik thermom, salinom/handrefraktom, layangan arus, dan secchi disk. Pengukuran untuk variabel param lingkungan ini dilakukan dengan ulangan sebanyak tiga kali yaitu setiap 30 hari. g. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan

Acak Kelompok (RAK) menurut Gasperz (1994) sebagai berikut: Yi = + i + i dimana : Yi = Variabel yang diukur; = Pengaruh rata-rata (umum); i = Pengaruh perlakuan; i = Pengaruh unit eksperimen dalam kelompok ke i ; i = 1,2,3. Perlakuan yang digunakan adalah tiga kedalaman yaitu 3, 6 dan 9 m. Jumlah individu dalam satu perlakuan adalah 12 sehingga jumlah total individu percobaan berjumlah 36. Adapun perlakuan yang dimaksud adalah sebagai berikut : Perlakuan A = kedalaman 3 m Perlakuan B = kedalaman 6 m Perlakuan C = kedalaman 9 m

Gambar 6. Posisi pengacakan wadah transplantasi. h. Analisis Data Untuk mengetahui laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup spons (S. aurantium) terutama Pertumbuhan Mutlak (PM), Laju Pertumbuhan Spesifik (LPS) pada volume spons laut S. aurantium, kelangsungan hidup dilakukan analisis keragaman (ANOVA). Semua analisis terhadap peubah sebagaimana yang telah diuraikan, diprosesnya secara komputasi dengan bantuan perangkat lunak (software) SPSS. Hasil 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Desa Labuan Beropa. Secara administratif Desa Labuan Beropa merupakan wilayah yang masuk dalam Kecamatan Laonti Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Secara geografis desa ini memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut : Utara : Berhadapan dengan Pulau Hari; Selatan : Berbatasan dengan Desa Labuan Beropa; Barat : Berbatasan dengan Teluk Moramo; Timur : Berbatasan dengan Selat Wawonii . Desa Labuan Beropa terdiri dari tiga dusun yaitu Dusun I Kasuha, Dusun II Labuan Beropa, dan III Dusun Baho. Untuk lokasi penelitian transplantasi dilakukan di perairan yang masuk dalam wilayah dusun baho. Titik koordinat lokasi penelitian S : 4o 3' 30" / E: 122o 47' 43". Desa Labuan Beropa sebagaimana pantai tropik lainnya mengalami dua kali pergantian musim yaitu musim barat dan musim timur. Penempatan lokasi penelitian di Desa Labuan Beropa tentunya memperhatikan beberapa pertimbangan dimana terlebih dahulu dilakukan survey awal. Beberapa pertimbangan yang diperhatikan yaitu terhindar dari berbagai macam pencemaran yang disebabkan oleh limbah baik itu limbah rumah tangga, kimia dan industri.
137
Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU

Sumber pengambilan bibit spons tidak terlalu jauh. Mudah dijangkau dengan transportasi laut. Memilki kondisi perairan yang sesuai dengan kondisi tempat pengambilan bibit spons. Adanya dukungan masyarakat setempat terutama dari segi keamanan. Selain itu, lokasi penelitian cukup jauh dari pemukiman warga. 2. Pertumbuhan Mutlak (PM) Berdasarkan hasil pengamatan pertumbuhan mutlak selama penelitian dengan perlakuan terhadap kedalaman, pertumbuhan mutlak tertinggi diperoleh pada kedalaman 3 m kelompok 2 dan diikuti dengan kelompok 4. Pertumbuhan mutlak terendah terdapat pada

kedalaman 9 m kelompok 2 dan pada kelompok 3. Pada kedalaman 3 m kelompok yang mempunyai pertumbuhan mutlak tertinggi terdapat pada kelompok 2, sedangkan pada pada urutan terendah pada peralakuannya yaitu kelompok 3. Selanjutnya pada kedalaman 6 m pertumbuhan mutlak tertinggi berada pada kelompok 1, sedangkan kelompok 3 merupakan urutan nilai terendah dalam perlakuannya. Kemudian pada kedalaman 9 m pada kelompok 1 menujukan nilai rata rata tertinggi pada perlakuannya, sedangkan pada kelompok 3 menunjukan nilai rata-rata pertumbuhan mutlak terendah dalam perlakuannya.

Tabel 2. Volume rata-rata pertumbuhan mutlak transplantasi spons laut S. aurantium pada kedalaman berbeda dengan waktu penelitian selama 90 hari Rata-rata pertumbuhan mutlak (cm3) hari keKedalaman Kelompok (m) t0 t 15 t 30 t 45 t 60 t 75 t 90 PM (Ulangan) 1 18 21,36 26,66 33,71 42,25 52,82 64,72 46,72 2 18 21,58 26,80 34,34 42,96 54,14 65,45 47,45 3 3 18 20,24 25,73 32,39 41,25 52,17 64,12 46,12 4 18 21,80 27,01 34,81 43,34 53,02 65,19 47,19 rata-rata 18 21,36 26,66 33,71 42,25 52,82 64,72 46,72 1 18 20,85 25,76 32,51 39,34 48,57 57,56 39,56 2 18 21,18 25,83 30,32 38,77 44,67 56,51 38,51 6 3 18 19,96 24,34 28,84 33,58 33,92 43,49 25,49 4 18 19,86 23,93 28,65 32,81 40,94 50,11 32,11 rata-rata 18 20,46 24,97 30,08 36,12 42,02 51,92 33,92 1 18 18,92 22,79 25,82 28,69 34,80 42,33 24,33 2 18 19,32 22,18 25,79 28,69 27,14 32,32 14,32 9 3 18 20,19 22,41 24,55 26,89 30,52 29,33 11,33 4 18 20,99 22,98 26,43 29,09 35,31 41,25 23,25 rata-rata 18 19,85 22,59 25,65 28,34 31,94 36,31 18,31 Sementara untuk rata-rata PM dalam setiap perlakuan sesuai Tabel 2, nilai tertinggi pada kedalaman 3 m dengan rata-rata PM 46,721 cm3 disusul dengan kedalaman 6 m dengan nilai rata-rata PM 33,9172 cm3 sedangkan nilai terkecil dari rata-rata PM dalam perlakuan terlihat pada kedalaman 9 m dengan rata-rata PM 18,3026 cm3, sehingga dapat digambarkan dalam histogram rata-rata pertumbuhan mutlak sebagai berikut :

138
Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU

Pertumbuhan Mutlak (cm3)

60 50 40 30 20 10 0 33 M 66 M 99 M c a b

Kedalaman (m (m) Kedalaman ) Gambar 7. Histogram Pertumbuhan Mutlak transplantasi spons laut S. aurantium pada kedalaman yang berbeda. 3. Laju Pertumbuhan Spesifik (LPS) Laju Pertumbuhan Spesifik (LPS) transplantasi spons laut S. aurantium pada kedalaman yang berbeda dengan waktu penelitian selama 3 bulan dapat dilihat pada Tabel 3 berikut :

Tabel 3. Volume rata-rata Laju Pertumbuhan Spesifik (LPS) transplantasi spons laut S. aurantium pada kedalaman yang berbeda dengan waktu penelitian selama 90 hari Laju pertumbuhan spsifik (%) pada hari keKedalaman Kelompok LPS (m) (Ulangan) t 15 t 30 t 45 t 60 t 75 t 90 1 1,296 1,374 1,377 1,400 1,424 1,422 1,382 2 1,217 1,335 1,446 1,461 1,479 1,445 1,397 3 3 0,785 1,198 1,314 1,392 1,429 1,422 1,256 4 1,285 1,362 1,477 1,475 1,451 1,440 1,415 rata-rata 1,146 1,317 1,403 1,432 1,446 1,432 1,363 1 0,986 1,203 1,323 1,312 1,332 1,300 1,242 2 1,091 1,211 1,166 1,287 1,219 1,279 1,209 6 3 0,693 1,011 1,053 1,044 0,848 0,985 0,939 4 0,658 0,954 1,038 1,005 1,102 1,144 0,984 rata-rata 0,857 1,095 1,145 1,162 1,125 1,177 1,093 1 0,332 0,789 0,805 0,780 0,883 0,955 0,757 2 0,473 0,698 0,802 0,780 0,549 0,652 0,659 9 3 0,770 0,733 0,692 0,671 0,707 0,544 0,686 4 1,029 0,818 0,857 0,803 0,903 0,926 0,889 rata-rata 0,651 0,759 0,789 0,759 0,760 0,769 0,748 Dari pengamatan keseluruhan rata-rata LPS selama 3 bulan menunjukan peningkatan laju pertumbuhan spesifik, dengan kisaran laju pertumbuhan spesifik dari hari ke 15 hingga hari ke 90. Rata rata pertumbuhan tertinggi didapatkan pada kedalaman 3 m kelompok 2 di t75, setelah itu disusul dengan kedalaman 3 m kelompok 4 di t-45, LPS terendah berada pada kedalaman 9 m pada kelompok 1 di t-15. Untuk rata rata LPS dalam setiap perlakuan kedalaman sesuai Tabel 3, pada
Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU

kedalaman 3 m nilai tertinggi terdapat pada kelompok 4 disusul dengan kelompok 2, kemudian disusul oleh kelompok 1, dan nilai terkecil dari rata-rata LPS kedalaman 3 m terlihat pada kelompok 3. Selanjutnya pada kedalaman 6 m nilai LPS tertinggi berada pada kelompok 1, kemudian diurutan kedua berada pada kelompok 2 dan selanjutnya kelompok 4 kemudian yang terakhir berada pada kelompok 3. Pada kedalaman 9 m rata-rata LPS tertinggi berada pada kelompok 4, kelompok 1 berada
139

pada urutan kedua, selanjutnya urutan ketiga berada pada kelompok 3 dan kelompok 2 berada pada urutan terakhir. Laju Pertumbuhan Spesifik memberikan pengaruh yang nyata terhadap kedalaman 3, 6,

dan 9 m pada hari ke 15, 30, 45, 60, 75 dan hari ke 90 sehingga dapat dilihat pada grafik rata-rata laju pertumbuhan spesifik sebagai berikut :

2.00 1.50 A 3 1.00 0.50 0.00 t 15 t 30 t 45 t 60 t 75 t 90 B 6 C 9

Gambar 8. Histogram Laju Pertumbuhan Spesifik (LPS) transplantasi spons laut S. aurantium pada kedalaman yang berbeda. 4. Sintasan (SR) Hasil pengamatan total spons laut S. aurantium yang hidup selama penelitian dengan mengunakan metode transplantasi pada kedalaman berbeda dapat dilihat pada Tabel 4 berikut :

Tabel 4. Hasil pengamatan total spons laut S. aurantium yang hidup selama penelitian dengan metode transplantasi pada kedalaman berbeda Jumlah individu yang hidup pada hari keKedalaman SR (%) (m) t0 t 15 t 30 t 45 t 60 t 75 t 90 3 6 9 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 11 100 100 91,67

Kelangsungan hidup pada hari terakhir pengamatan pada kedalaman 3 m kelompok 1 tidak terdapat spons S. aurantium yang mati, begitupula dengan kelompok 2, 3 dan 4. Pada kedalaman 6 m juga tidak terdapat kematian spons laut pada semua kelompok. Sedangkan pada kedalaman 9 m terdapat 1 individu yang mati pada kelompok 3, akan tetapi pada

kelompok lainnya tidak terdapat individu yang mati sehingga seluruh jumlah individu pada kedalaman 9 m berkurang 1 individu spons laut. Hasil pengamatan spons laut S.aurantium yang hidup selama penelitian pada masing-masing perlakuan berdasarkan kelompok dapat di presentasekan pada histogram di bawah ini.

140
Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU

Kedalaman (m) Gambar 9. Histogram kelangsungan hidup (SR) transplantasi spons laut S. perlakuan selama penelitian. Berdasarkan gambar di atas, pada kedalaman 3 m, tingkat kelangsungan hidupnya adalah 100%, pada kedalaman 6 m mempunyai tingkat kelangsungan hidup 100%, sedangkan pada kedalaman 9 m tingkat kelangsungan hidup hanya mencapai 91,67%. 5. Morfologi Spons S. aurantium Transplantasi spons S. aurantium dengan perlakuan terhadap kedalaman memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan morfologi spons. Pertumbuhan spons yang baik aurantium pada setiap

dapat dilihat dengan tumbuhnya osculum pada badan spons yang ditransplantasi. Berikut ini adalah morfologi spons pada saat penurunan awal dan pada akhir penelitian. Pada gambar dapat terlihat bahwa saat penurunan awal (t 0) osculum belum tampak karena badan spons mengalami pemotongan. Selanjutnya pada hari terakhir penelitian (t 90) osculum telah tampak dan begitu nyata hal ini mengindikasikan bahwa spons yang ditransplantasi telah hidup tumbuh dan berkembang.

Tabel 5. Kondisi morfologi spons pada awal penelitian dan pada akhir penelitian.

Pada penurunan awal morfologi spons terlihat hasil irisan yang rata pada badan spons. Kemudian pada hari ke 15 sudah terdapat sebuah osculum yang tumbuh di badan spons. Pada
Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU

pengamatan hari ke 30 osculum yang tumbuh bertambah banyak jumlahnya. Kejadian ini berlanjut dengan makin bertambahnya hari maka semakin bertambah pula jumlah osculum yang
141

tumbuh pada badan spons. Hal ini di perkuat dengan Duckworth dan Battershill, 2003 yang mengindikasikan bahwa spons yang mempunyai osculum maka spons tersebut dapat dikatakan tumbuh dan berkembang karena osculum berfungsi sebagai saluran pencernaan dimana osculum merupakan tempat pembuangan hasil sisa makanan spons.

6. Parameter Kualitas Air Hasil pengamatan kualitas air selama penelitian hanya dilakukan sebanyak 4 kali pengambilan data. Sedangkan parameter kualitas air yang diukur selama penelitian meliputi suhu, kadar garam (salinitas), kecerahan dan kecepatan arus, adapun hasilnya dapat dilihat pada Tabel 6 sebagai berikut ini.

Tabel 6. Nilai hasil pengukuran parameter kualitas air selama penelitian Waktu Pengamatan (Hari ke-) No. Parameter Satuan t0 t 30 t 60 1 (C) Suhu 28 28 27 2 (ppt) Salinitas 31 32 32 3 (%) Kecerahan 100% 100% 100% 4 (m/det) Kec. Arus 0,111 0,108 0,123 Pembahasan Spons laut dapat hidup di berbagai habitat seperti pasir, karang mati, batu serta pada media apapun yang mempunyai struktur keras. Pada substrat beton spons laut dapat melekat dengan baik karena struktur substrat yang keras dan kasar sehingga memudahkan spons untuk melekat pada media tersebut oleh karena itu spons dikatakan bersifat sesil yang artinya melekat dan menetap pada suatu substrat Romimohtarto dan Juwana (2001). Apabila spons sudah melekat pada suatu substrat maka spons tersebut tidak akan berpindah tempat lagi dan pada substrat tersebut spons akan tumbuh. Spons laut S. aurantium yang ditransplantasi pada kedalaman berbeda dikelompokan berdasarkan perlakuan kedalaman. Perlakuan A ditempatkan pada kedalaman 3 m sedangkan pada perlakuan B ditempatkan pada kedalaman 6 m, dan perlakuan C ditempatkan pada kedalaman 9 m. Kedalaman menunjukkan bahwa secara morfometrik dan morfologi memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata terhadap pertumbuhan spons S. aurantium (P > 0,05), hal ini dapat didefenisikan bahwa ketiga kedalaman tersebut mempengaruhi pertumbuhan mutlak, laju pertumbuhan spesifik, tingkat kelangsungan hidup dan keadaan morfologi spons S. aurantium yang ditransplantasi dengan kedalaman yang berbeda. Pengamatan secara statistik menunjukan pertumbuhan mutlak yang berbeda dari masingmasing kedalaman, rata rata pertumbuhan mutlak terbaik terdapat pada kedalaman 3 m dengan total nilai rata rata pertumbuhan mutlak 46,721 cm3, sedangkan pada urutan kedua yaitu pada kedalaman 6 m dengan total nilai rata rata
Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU

t 90 27 33 100% 0,127

pertumbuhan adalah 33,917 cm3, serta urutan terendah teredapat pada kedalaman 9 m dengan total nilai rata rata pertumbuhan mutlak hanya mencapai 18,306 cm3. Hal ini diduga bahwa kedalaman masih mempengaruhi tingkat pertumbuhan spons dimana spons masih memerlukan intensitas cahaya untuk tumbuh dan berkembang, Hoffmann et.al (2003). Selain memerlukan intensitas cahaya yang cukup, spons juga memerlukan makanan yang terbawa oleh arus laut untuk dapat tumbuh dan berkembang. Penetrasi cahaya matahari yang optimum memicu pertumbuhan (pembelahan sel) dan metabolisme alga mikrosimbion. Metabolisme yang intensif akan menghasilkan buangan (sekresi) metabolis yang dapat dimanfaatkan kembali oleh inangnya (spons) untuk proses metabolisme (Haris 2005). Menurut Haris (2005) mikroalga simbion spons mengandung pigmen yang bisa melindungi permukaan spons dari kerusakan DNA akibat radiasi UV-B. De Caralt et.al (2003) menyatakan bahwa dengan tercapainya beberapa kebutuhan spons untuk hidup maka pertumbuhan spons akan berjalan baik, hal ini dapat diketahui dengan melihat hasil perhitungan laju pertumbuhan spesifik (LPS) spons yang ditransplantasi pada kedalaman berbeda yaitu pada kedalaman 3 m dengan total rata rata laju pertumbuhannya adalah 1,363%, pada kedalaman 6 m 1,093%, sedangkan pada kedalaman 9 m total rata rata laju pertumbuhannya yaitu 0,748%. Dengan melihat hasil perhitungan pertumbuhan spons S. aurantium di atas, pertumbuhan terbaik untuk transplantasi spons berdasarkan kedalaman adalah kedalaman 3 m,
142

sebab pada kedalaman ini spons masih bisa mendapatkan makanan dan intensitas cahaya serta oksigen yang banyak sehingga spons dapat tumbuh serta berkembang dengan baik. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Pong-Masak (2003) menyatakan bahwa kecerahan merupakan faktor pembatas dalam menentukan sumber energi dan memberikan masukan bahan makanan bagi kehidupan organisme yang berada pada ekosistem terumbu karang. Spons laut menyukai lingkungan perairan yang jernih, dimana cahaya matahari bisa menembus dasar perairan yang dibutuhkan oleh spons. Selain cahaya yang cukup, arus juga sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan organisme laut khususnya pada spons. Arus yang baik dapat memberikan makanan untuk spons sebab pola makan spons hanya mengharapkan dari besaran masuknya kadar air ke dalam tubuh spons agar spons dapat menyaring bahan makanan yang terkandung dalam perairan. Hal ini di perkuat dengan pernyataan Muniarsih dan Rachmaniar (1999) bahwa spons memperoleh makananya dengan cara menyaring partikelpertikel makanan yang terbawa arus melewati tubuhnya. Makanan diperoleh dengan cara mengalirkan air melalui ostia (ostium) ke dalam spongiosel. Arus berperan sangat penting dalam proses penyediaan makanan bagi spons yang merupakan filter feeder. Menurut Tomascik et al. (1997) arus bermanfaat untuk memindahkan nutrien, larva dan sedimen. Kemudian Duckworth et al. 1997 juga menyatakan bahwa arus juga berguna untuk menghalau dan membersihkan sampah serta sedimen yang menutupi fragmen sehingga spons dapat tumbuh lebih baik. Selanjutnya, salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan spons adalah suhu perairan. Kisaran suhu yang didapatkan pada lokasi penelitian 27 280C. Kisaran suhu ini sangat cocok untuk pertumbuhan spons laut, sebagaimana yang dikemukakan oleh Zairion (1992) Kisaran suhu yang layak bagi lingkungan hidup spons laut berkisar antara 24 30oC, kurang dari 24oC akan menyebabkan tingkat kelangsungan hidup (survival rate) dan pertumbuhan spons laut terganggu, sedangkan suhu yang optimal untuk pertumbuhan spons laut berkisar antara 28oC dan suhu maksimal 30oC. Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang penting bagi kehidupan dan penyebaran organisme. Suhu mempengaruhi baik aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme perairan (De Rosa et.al, 2003). Sebaran salinitas yang terukur pada lokasi penelitian dimana pengukuran salinitas dilakukan 4 kali yaitu pada awal penelitian t-0, tJurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU

30, t-60 dan t-90 menunjukkan variasi yang seragam dengan salinitas 31 33 ppt. Hal ini disebabkan karena tidak adanya pengaruh air tawar seperti adanya muara sungai yang dapat mempengaruhi nilai salinitas pada kondisi perairan, selain itu kondisi cuaca yang stabil dimana curah hujan yang stabil sehingga pengenceran air laut yang dapat merubah nilai salinitas tidak terjadi nilai salinitas pada lokasi penelitian ini mendukung pertumbuhan spons laut S. aurantium yang ditransplantasi. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Samidjan (1993), mengemukakan bahwa perubahan salinitas dapat mempengaruhi sifat-sifat fungsional dan struktur organisme laut melalui perubahan osmosa, konsentrasi perimbangan cairan, koefisien absorbsi dan kejernihan gas-gas terlarut. Spons dapat mentolerir salinitas minimal 22 ppt dan salinitas optimum berkisar antara 30 33 ppt serta batas maksimal salinitas air laut yang dapat ditolerir untuk kehidupan spons laut sekitar 34 ppt. Meskipun organisme laut mampu beradaptasi dengan kondisi tersebut, namun perubahan salinitas dengan cepat dapat mempengaruhi sistem osmoregulasi. Bagaimanapun organisme yang hidup di daerah estuari atau daerah dangkal dapat beradaptasi dengan perubahan tersebut, sebagian besar hewan laut lain termasuk spons sangat sensitif dengan perubahan salinitas. Millan (1996) menyatakan, budidaya spons tidak dapat dilakukan di laut yang dekat dengan sungai atau danau karena air tawar dan payau akan membunuh spons. Berdasarkan pengamatan Millan (1996) penurunan salinitas sangat membahayakan spons. Dengan terpenuhinya kebutuhan spons terhadap kualitas perairan, maka spons dapat tumbuh dengan baik. Spons S. aurantium dapat dikatakan tumbuh apabila pada badan spons terdapat saluran pembuangan yang dinamakan osculum. Terbentuknya osculum yaitu untuk menyempurnakan morfologi spons, dimana osculum berfungsi sebagai salah satu saluran sistem pencernaan pada spons. Spons memperoleh makan dengan cara menyaring air melalui dinding badan spons kemudian disalurkan ke seluruh tubuh spons dan kemudian sisa makan akan dibuang pada saluran pembuangan terakhir yaitu osculum. Hal ini sesuai dengan pernyataan Muniarsih dan Rachmaniar (1999), bahwa makanan porifera berupa plankton atau bahan organik yang masuk bersama aliran air melewati pori. Selanjutnya pernyataan Meroz-Fine et.al (2005) menyatakan bahwa porifera tidak memiliki sistem saluran pencernaan makanan yang sempurna. Sistem pencernaannya
143

berlangsung secara intraseluler. Makanan masuk ke dalam sel leher (koanosit). Di dalam sel tersebut berlangsung proses pencernaan makanan. Selanjutnya zat makanan diedarkan oleh sel-sel amoeboid ke seluruh tubuh. Porifera memiliki sistem saluran air, mulai dari pori tubuh (ostia) dan berakhir pada lubang keluar yang disebut osculum. Saluran air tersebut berfungsi sebagai alat untuk melewatkan bahan makanan dari luar ke dalam tubuh dan zatzat sisa metabolisme ke luar tubuh (Valisano et.al, 2006). Simpulan Berdasarkan hasil pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan tentang penelitian ini yaitu perlakuan kedalaman memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan spons S. aurantium dan kedalaman yang baik untuk pertumbuhan spons S. aurantium yang ditransplantasi adalah kedalaman 3 m. Persantunan Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Ir. Yusnaini, DEA dan Ir. Halili, M.Sc, serta Alm. Ibu Darmi, S.Pi.,M.Si atas bimbingannya selama penelitian dan penyususan skripsi. Daftar Pustaka
Aswan. 2007. Pengaruh Substrat yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Sponge Callyspongeia aerizusa dengan Metode Transplantasi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Haluoleo. Kendari. 45 hal. De Caralt S., Agell G., Uriz M.J. 2003. Long-term Culture of Sponge Explants : Conditions Enhancing Survival and Growth and Assessment of Bioactivity. Biomolecular Engineering, 20 : 339347. De Rosa, S., De Caro, S., Iodice, C., Tommonaro, G., Stefanov, K., Popov, S. 2003. Development in Primary Cell Culture of Demosponges. Journal Biotechnology, 100 : 119125. Duckworth, A.R., Battershill, C.N. 2003. Sponge Aquaculture for the Production of Biologically Active Metabolites : the Influence of Farming Protocols and Environment. Aquaculture, 221 : 311329. Duckworth, A.R., Battershill, C.N., Bergquist, P.R. 1997. Influence of Explant Procedures and Environmental Factors on Culture Success of Three Sponges. Aquaculture, 156 : 251267. Effendie, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 305 hal. Gasperz, V. 1994. Metode Rancangan Percobaan. Armico. Bandung. 328 hal.

Haris, A. 2005. Pertumbuhan, Sintasan, Perkembangan Gamet dan Bioaktivitas Ekstrak dan Fraksi Spons Schmidt yang Ditransplantasi pada Lingkungan Berbeda. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 164 hal. Hoffmann, F., Rapp, H.T., Zoller, T., Reitner, J. 2003. Growth and Regeneration in Cultivated Fragments of the Boreal Deep Water Sponge Geodia barretti Bowerbank (Geodiidae,Tetractinellida, emospongiae). Journal of Biotechnology 100 : 109118. Millan, M. 1996. Starting a Successful Commercial Sponge Aquaculture Farm. CTSA Publication. Hawaii. http://aquanic .org/publicat/usda_rac/efs/ctsa/ 120.pdf. 19p. Meroz-Fine E., Shefer S., Ilan M. 2005. Changes in Morphology and Physiology of an East Mediterranean Sponge in Different Habitats. Marine Biology. International Journal on Life in Oceans and Coastal Waters, 147(1) : 243250. Muniarsih, T., Rachmaniar, R. 1999. Isolasi Substansi Bioaktif Antimikroba dari Sponge Asal Pulau Pari Kepulauan Seribu. Prosidings Seminar Bioteknologi Kelautan Indonesia I 98. Jakarta 1415 Oktober 1998: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jakarta. hal. 15 -158. Pong-Masak, P.R. 2003. Studi Budidaya Sponge (Auletta sp.) Secara Transplantasi pada Substrat Berbeda. Maritek 3 (1) : hal. 1 - 9. Rani, C., Haris, A. 2004. Metode Transplantasi Sponge Laut Aaptos aaptos Dengan Teknik Fragmentasi Di Daerah Terumbu Karang Pulau Barranglompo Makassar. Karya Ilmiah Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan Universitas Hasanuddin. Makassar Torani. 185 hal. Romimohtarto, K., Juwana, S. 2001. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Djambatan. Jakarta. 540 hal. Samidjan, I. 1993. Peranan Simbiosis Mutualisme Antara Anemon Laut (Stichodctyla gigantean) dan Ikan Klon (Amphiprion percula) terhadap kelansungan hidup dan pertumbuhannya. Thesis. Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor. 184 hal. Tomascik, T., Mah, A.J., Nontji, A., Moosa, M.K. 1997. The Ecology of the Indonesian Sea. Periplus Edition. 1378 p. Valisano, L., Bavestrello, G., Giovine, M., Arillo, A., Cerrano, C. 2006. A Seasonal Production of Primmorphs from the Marine Sponge Petrosia ficiformis (Poiret, 1789) and New Culturing Approaches. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 337 : 171 177. Zairion, 1992. Distribusi dan Preferensi Habitat Komunitas Udang Penaeida Muda Pada Beberapa Muara sungai Di Pantai Utara Jawa Barat. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. 73 hal.

144
Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU

Anda mungkin juga menyukai