Anda di halaman 1dari 36

II.

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Manajemen Risiko Rantai Pasok Rantai pasok adalah jaringan pasokan dan permintaan yang mencakup pemasok, produsen, pengecer besar dan konsumen akhir, dengan tujuan respon cepat dan kerjasama yang efektif dalam pengendalian kualitas dan penurunan biaya. Istilah manajemen rantai pasok (supply chain management) dipopulerkan sebagai pendekatan manajemen persediaan yang ditekankan pada pasokan bahan baku. Isu ini terus berkembang sebagai kebijakan strategis perusahaan yang menyadari bahwa keunggulan bersaing perlu didukung oleh aliran barang dari pemasok hingga pengguna akhir. Menurut Vorst (2004) manajemen rantai pasok adalah keterpaduan antara perencanaan, koordinasi seluruh proses, dan aktivitas bisnis untuk menghantarkan nilai keutamaan produk kepada konsumen sebagai keseluruhan untuk memenuhi kebutuhan kepuasaan para pihak yang

berkepentingan dalam sistem rantai pasok. Rantai pasok adalah jaringan fisik dan aktivitas yang terkait dengan aliran bahan dan informasi di dalam atau melintasi batas-batas perusahaan. Menurut Indrajit dan Djokopranoto (2003), rantai pasok adalah suatu sistem tempat organisasi menyalurkan produk dan jasanya kepada para konsumennya. Tang (2006) mendefinisikan manajemen rantai pasok sebagai manajemen aliran bahan, informasi, dan finansial melalui sebuah jaringan kerja organisasi (yaitu pemasok, pengolah, penyedia logistik, pedagang

besar/distributor, dan pengecer) yang bertujuan untuk memproduksi dan mengirimkan produk atau jasa untuk pelanggan. Manajemen rantai pasok mencakup koordinasi serta kolaborasi proses dan kegiatan melalui fungsi yang berbeda, seperti pemasaran, penjualan, produksi, perancangan produk, pengadaan, logistik, pembiayaan, dan teknologi informasi dalam jaringan kerja organisasi. Akhir-akhir ini, banyak perusahaan sudah mengkaji bahwa disamping risiko tradisionalnya yang muncul dalam aktifitas bisnisnya, ada risiko baru yang bersumber dari kolaborasi yang ketat dalam jaringan rantai pasok (Giunipero & Eltantawy 2004). Dalam literature, istilah risiko didefinisikan sebagai suatu

ketidakpastian di masa yang akan datang tentang kerugian (Christopher & Peck

2004). Risiko adalah ketidakpastian dari kejadian yang akan datang (Olsson 2002). Risiko berarti kemunculan kemungkinan terjadinya suatu hal yang tidak baik (Borge 2001). Risiko adalah ancaman yang terjadi secara internal atau eksternal akan berpengaruh merugikan pada kemampuan untuk mencapai sasaran dan menimbulkan dampak pada nilai capaian. kemungkinan bahwa sesuatu yang tidak baik akan terjadi atau sesuatu yang jelek akan terjadi (Shimell 2002). Risiko adalah setiap sumber kejadian random yang bisa mempunyai dampak berlawanan terhadap nilai pertanggungjawaban asset bersih suatu perusahaan pada pendapatannya dan atau arus kasnya (Culp & Christopher 2002), sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia, risiko adalah kemungkinan terjadinya peristiwa yang dapat merugikan perusahaan. Dalam terori keputusan tradisional, risiko didefinisikan sebagai variasi pada distribusi hasil potensial, kemungkinan kejadian dan nilainya subjektif. Oleh karena itu, risiko bisa mengindikasikan deviasi positif dan negatif dari hasil yang diharapkan. Akan tetapi, sebuah kajian empiris oleh March dan Shapira

menunjukan bahwa risiko sering menurun pada komponen yang negatif dalam bisnis praktis, sedangkan deviasi positif dianggap sebagai kesempatan atau peluang. Hal yang sama risiko dapat didefinisikan sebagai hasil dari kejadian negatif yang mempunyai kemungkinan terjadi dan menghasilkan sejumlah kerugian (March & Shapira 1987). Definisi risiko menurut Voughan (2008) adalah (1) Risk is the chance of loss (Risiko adalah kans kerugian). Chance of loss berhubungan dengan suatu exposure (keterbukaan) terhadap kemungkinan kerugian. Dalam ilmu statistik, chance dipergunakan untuk menunjukkan tingkat probabilitas akan munculnya situasi tertentu. (2) Risk is the possibility of loss (Risiko adalah kemungkinan kerugian) Istilah possibility berarti bahwa probabilitas sesuatu peristiwa berada diantara nol dan satu. (3) Risk is uncertainty (Risiko adalah ketidakpastian) Uncertainty dapat bersifat subjective dan objective. Subjective uncertainty merupakan penilaian individu terhadap situasi risiko yang didasarkan pada pengetahuan dan sikap individu yang bersangkutan. Risiko rantai pasok dapat didefinisikan sebagai: kerusakan yang dikaji dengan kemungkinan terjadinya disebabkan oleh suatu kejadian dalam sebuah perusahaan, dalam rantai pasok atau lingkungannya menimbulkan pengaruh

10

negatif terhadap proses bisnis pada lebih dari satu perusahaan dalam rantai pasok (Kersten et al. 2007). Bagian pertama dari definisi tersebut menjelaskan dua dimensi yang diperlukan untuk mengkaji risiko: Kemungkinan terjadinya dan penyebab kerusakan. Akan tetapi, berbeda dengan definisi umum dari March dan Shapira pada risiko manajemen, definisi ini tidak mencakup aturan bagaimana kedua dimensi tersebut harus dikombinasikan. Kombinasi dari dimemsi ini sangat bergantung pada tingkah laku individu terhadap risiko. Oleh karena itu sangat berguna bagi pengkaji risiko praktis untuk menggunakan suatu matrik representasi kedua dimensi kemungkinan dan dampaknya. Bagian kedua dari difinisi tersebut berkaitan dengan perbedaan dari risiko rantai pasok dan risiko bisnis umumnya. Oleh karena itu jangkauan risiko yang diperkenalkan yang membedakan antara risiko rantai pasok dengan risiko secara umum. Risiko rantai pasok merupakan risiko yang hanya berpengaruh pada paling sedikit dua perusahaan dalam rantai pasok. Akan tetapi, tidak

dikaitkan apakah sebuah perusahaan dipengaruhi secara langsung ataupun tidak langsung oleh risiko rantai pasok. Jika perusahaan melewatkannya sendiri,

kebanyakan risiko internal pada mitra rantai pasoknya, mitra tersebut terpengaruh secara tidak langsung oleh risiko ini, dimana berkonsekuensi terjadinya kerusakan. Pengaruh ini tidak terbatas pada satu tingkat pada rantai pasok.

Bahkan perusahaan yang hanya terpengaruh secara tidak langsung menyebarkan risiko ini pada anggota lain selanjutnya dalam jaringannya. Perusahaan biasanya tidak dapat menangani risiko rantai pasok tak langsung karena asal usul dari risiko ini diluar dari jangkauan penglihatannya. Fenomena ini yang menyebabkan

meningkatnya portofolio risiko rantai pasok disebut dalam literature sebagai vulnerability (penyebab terjadinya kerusakan). Tingginya kompleksitas dan ketergantungan merupakan karakteristik dari rantai pasok saat ini. Globalisasi, e-bisnis, permintaan mengambang dan

bergesernya philosofi bisnis (seperti outsourcing) merupakan beberapa faktor yang membuat anggota rantai pasok menjadi lebih bergantung terhadap yang lain. Sebagai akibatnya rantai pasok menjadi lebih rentan terhadap gangguan. Jika suatu gangguan terjadi pada salah satu pemain rantai pasok, hal ini akan mengganggu keseluruhan jaringan. Risiko dalam rantai pasok dapat diakibatkan

11

dari suatu perusahaan dalam rantai pasok, atau keterhubungan antar organisasi dalam jaringan pasokan, atau antar jaringan pasokan dan lingkungannya, yang akan menyebabkan kerugian finansial secara menyeluruh atau bahkan mengakibatkan berhentinya kegiatan bisnis. Oleh karena itu perlu pengendalian risiko rantai pasok agar dapat menghindarkan akibat berkelanjutan yang dapat terjadi pada setiap titik dalam jaringan pasokan. Manajemen risiko berarti melakukan tindakan yang disengaja untuk merubah kemungkinan yang lebih disukai atau menambah kemungkinan hasil yang lebih baik dan mengurangi kemungkinan hasil yang lebih jelek (Borge 2001). Manajemen risiko adalah proses yang dilakukan organisasi untuk mencoba memastikan bahwa risiko yang muncul adalah risiko yang diinginkan dan perlu dimunculkan untuk menjalankan bisnis utamanya. Sehingga manajemen risiko adalah proses yang dilakukan perusahaan untuk mengidentifikasi risikonya dan kemudian mengambil suatu tindakan yang diperlukan sebelum atau sesudah untuk mengendalikan deviasi timbulnya risiko nyata dari toleransi awal terhadap risiko tersebut (Culp & Christopher 2002). Sehingga menurut Bredell (2004)

manajemen risiko rantai pasok adalah pendekatan formal dan terstruktur pada seluruh rantai pasok, termasuk mitra rantai pasok dan aktifitas yang bersesuaian dengan tujuan untuk mengenali, mengeksplorasi, menganalisis, mengevaluasi, memperlakukan, mengawasi, meninjau kembali dan mengkomunikasikan risiko rantai pasok yang berhubungan dengan setiap kegiatan rantai pasok, fungsi atau proses sedemikian sehingga memungkinkan perusahaan meminimalisasi kerugian dan memaksimalkan peluang atau kesempatan. Secara umum, proses manajemen risiko rantai pasok terdiri dari identifikasi risiko, analisis risiko, evaluasi risiko dan mitigasi risiko. Identifikasi risiko disarankan sebagai tahapan fundamental dalam proses manajemen risiko (Hallikas et al. 2004; Norrman & Lindroth 2004). Kebanyakan risiko potensial, tidak hanya dalam organisasi tetapi juga antar anggota jaringan pasokan dan antar jaringan pasokan dan lingkungannya harus diidentifikasi. Risiko yang tidak

teridentifikasi dapat menyebabkan kesalahan arah dalam proses manajemen risiko rantai pasok (seperti: pembuatan rencana mitigasi risiko), menimbulkan tidak

12

tepatnya atau tidak sesuainya strategi untuk mengendalikan risiko-risiko ini dan hal ini dapat menyebabkan kerugian yang lebih besar. Peningkatan tingkat kebergantungan dan kompleksitas dari jaringan rantai pasok saat ini menjadikan rantai pasok secara keseluruhan saat ini menjadi lebih rentan terhadap gangguan. Setiap gangguan yang terjadi dalam salah satu pemain rantai pasok dapat mempengaruhi jaringan rantai pasok secara keseluruhan seperti berhentinya arus informasi dan sumber daya dari hulu ke hilir dalam rantai pasok dapat menyebabkan ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan. Oleh karena itu risiko dalam rantai pasok dapat didefinisikan sebagai terganggunya arus informasi dan sumberdaya dalam jaringan rantai pasok karena adanya penghentian dan variasi yang tidak pasti (Juttner et al. 2003) dan sumber/faktor dari risiko disebabkan oleh risiko yang tidak dapat diramalkan secara pasti (Niwa 1989). Chapman et al. (2002) menyarankan bahwa risiko dalam rantai pasok dapat terjadi dari internal (relasi antara organisasi dengan jaringan pemasok) dan eksternal (antara jaringan pemasok dengan lingkunganya). Manajemen risiko rantai pasok oleh Chapman et al. (2002) didefinisikan sebagai identifikasi dan manajemen risiko dalam rantai pasok dan risiko ekternalnya melalui pendekatan koordinasi di antara anggota rantai pasok untuk mengurangi terganggunya rantai pasok secara keseluruhan. Manajemen risiko rantai pasok berfokus pada bagaimana memahami dan menanggulangi pengaruh berantai ketika suatu kecelakaan yang besar atau kecil terjadi pada suatu titik dalam jaringan pasokan. Selanjutnya hal yang paling penting adalah memastikan bahwa ketika gangguan terjadi, perusahaan mempunyai kemampuan untuk kembali kepada keadaan normal dan melanjutkan bisnisnya. Dua metode utama untuk mengevaluasi risiko rantai pasok adalah metode evaluasi risiko berdasarkan pendapat pakar dan metode evaluasi risiko secara statistik (Klimov & Merkuryev 2006). Metode evaluasi risiko berdasarkan

pendapat pakar biasanya disebut sebagai model evaluasi risiko kualitatif dan metode evaluasi secara deterministic dan statistic disebut sebagai model evaluasi risiko kuantitatif. Beberapa model evaluasi risiko kualitatif yang telah dilakukan adalah Wu et al. (2006) dan Schoenherr et al. (2008). Kemudian beberapa model kuantitatif manajemen risiko rantai pasok telah juga dikembangkan oleh Nagurney

13

et al. (2005), Xiaohui et al. (2006), Wu et al. (2006) Li et al. (2007) dan Lee (2008). Selain itu telah dikembangkan juga model gabungan antara kualitatif dan kuantitatif seperti yang dilakukan oleh Arisoy (2007) dan Wu dan Olson (2008). Manajemen risiko rantai pasok produk pertanian berbeda dengan manajemen risiko rantai pasok produk manufaktur lainnya karena: (1) produk pertanian bersifat mudah rusak, (2) proses penanaman, pertumbuhan dan pemanenan tergantung pada iklim dan musim, (3) hasil panen memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi, (4) produk pertanian bersifat kamba sehingga produk pertanian sulit untuk ditangani (Austin 1992; Brown 1994). Sehingga manajemen risiko rantai pasok produk pertanian menjadi lebih sulit dari pada produk manufaktur karena beberapa sumber ketidakpastian dan hubungan yang kompleks antara pelaku dalam rantai pasok yang berkaitan dengan karakteristik produknya.

2.1.1. Kerangka Kerja Manajemen Risiko Rantai Pasok Manajemen risiko rantai pasok sudah menjadi kegiatan yang diharuskan dalam manajemen rantai pasok, agar dapat menghindari atau paling tidak mengurangi terjadinya kegagalan berbisnis yang kelihatannya menjadi hal yang sering terjadi dalam era penuh ketidakpastian saat ini. Menurut Hallikas et al. (2004), proses manajemen risiko yang umum terjadi pada suatu perusahaan terdiri dari empat kegiatan utama yaitu identifikasi risiko, pengkajian risiko, pengambilan keputusan dan implementasi pada kegiatan manajemen risiko dan pengawasan risiko. 1. Identifikasi risiko, dengan mengidentifikasi risiko, pengambil keputusan risiko menjadi memahami tentang kejadian atau fenomena yang menyebabkan ketidakpastian. Fokus utama dari identifikasi risiko adalah mengenali ketidakpastian yang akan terjadi agar dapat mengendalikan skenario ini secara proaktif. 2. Pengkajian risiko, Pengkajian risiko dan memprioritaskannya diperlukan agar dapat memilih tindakan manajemen yang sesuai terhadap faktorfaktor risiko yang teridentifikasi berdasarkan situasi dan kondisi perusahaan.

14

3. Keputusan dan implementasi tindakan manajemen risiko, sangat diperlukan untuk menggunakan metode manajemen yang dapat

memastikan pencegahan secara parsial atau total terhadap risiko yang akan terjadi atau pada saat terjadinya kegagalan, dilakukan dengan mengurangi akibatnya terhadap pengoperasian rantai pasok. Metode utama untuk

menanggulangi risiko, seperti dalam literature(Culp & Christopher 2002; IRM 2003; Chapman et al. 2002) adalah: a) Menghidari risiko, secara intuisi cara untuk menghindari risiko yang utama adalah tidak mengambil tindakan yang akan berpotensi terjadinya risiko yang dimaksud. b) Mitigasi atau eliminasi risiko, hal ini sering disebut sebagai pendekatan yang baik; sebagai contoh, bisa tidaknya suatu rancangan sistem direvisi agar supaya dapat mengurangi atau mengeliminasi kemungkinan terjadinya risiko tertentu atau konsekuensi yang ditimbulkan jika terjadi. Sebaliknya apakah risiko dapat dieliminasi dengan mempertahankan rancangan yang sama tetapi menggunakan penyelesaian lain yang mungkin, seperti dalam kasus pemilihan pemasok. c) Pengalihan risiko, Sebuah prinsip yang umum dari strategi menajemen risiko yang efektif adalah bahwa risiko harus

didistribusikan jika mungkin pada semua pihak agar dapat dilakukan pengaturan dengan baik. Sebagai tindakan ekstrim risiko dapat

dialihkan pada perusahaan asuransi, dengan membayar premi yang berkaitan dengan kemungkinan terjadinya risiko tersebut, dengan melakukan kontrak untuk menyediakan konpensasi terhadap seluruh pelaku yang terpengaruh oleh risiko. d) Penyerapan dan pengumpulan risiko, Ketika risiko (tidak dapat dijustifikasi secara ekonomi) tidak dapat dieliminasi, dialihkan dan dihindari, maka harus diserap. Dalam suatu rantai pasok, hal ini tidak selalu disarankan hanya sebuah perusahaan tertentu untuk menanggung semua risiko yang terserap. Risiko dapat dikurangi dengan melalui mekanisme pengumpulan (pooling) kemungkinan melalui partisipasi

15

dalam sebuah konsursium dari kontraktor, ketika dua atau lebih anggota dapat melakukan pengendalian parsial terhadap kejadian dan akibat dari risiko. 4. Pengawasan risiko, Perusahaan dan lingkungannya tidaklah statik, dan oleh karenanya juga status risiko akan berubah. Faktor-faktor risiko yang dikenali harus dimonitor untuk mengidentifikasi potensi meningkatnya kecenderungan dari kemungkinan dan konsekuensinya. Sebagai akibatnya faktor risiko penting yang baru bisa muncul. Menurut Pinto (2006), proses manajemen risiko yang lebih rinci dapat ditunjukkan pada Gambar 1, yang merupakan kontribusi dari IRM (2003) dan NSW (2005).
Tujuan strategis dan visi perusahaan Pelaporan dan konsultasi eksternal 1. Menemukan kontek 2. Analisa Risiko 3. Evaluasi Risiko 4. Perlakuan Risiko

Gambar 1 Kerangka kerja manajemen risiko rantai pasok (Pinto 2006) Model ini menunjuk semua aspek yang berkaitan dengan manajemen risiko, dari pengkajian risiko sampai pada perlakuan risiko dan komunikasi, diantaranya dengan pangawasan dan tahap konsultasi, yang berinteraksi dengan tahapan lainnya agar supaya dapat mengidentifikasi potensi peningkatan kecenderungan dari faktor risiko yang sudah dikenali dan faktor risiko baru yang signifikan. Elemen yang mendominasi seluruh model ini direpresentasikan sebagai tujuan strategis dan visi perusahaan, yang mengarahkan semua bagian dari blok proses. Setiap keputusan melibatkan sebuah risiko dan keberhasilannya tidak hanya dihasilkan oleh keberutungan (paling tidak dalam jangka waktu panjang): setiap bisnis dalam perusahaan mengandung risiko, oleh karenanya risiko muncul

Pengawasan Risiko

Pelaporan dan konsultasi internal

16

sebagai isu kunci strategis yang berperan dalam perusahaan modern. Kerangka tool manajemen risiko berdasarkan kerangka kerja ini dapat diperlihatkan pada Gambar 2.

Penentuan konteks Interface interaktif dan kolaboratif

Identifikasi Risiko

Pengetahuan risiko awal (Repository) Pengukuran kualitatif dan kuantitatif Sistem penunjang keputusan Rencana mitigasi risiko

Analisa Risiko

Evaluasi Risiko

Perlakuan Risiko

Gambar 2 Kerangka tools manajemen risiko rantai pasok (NSW 2005)

Penentuan dan penemuan kontek, Tujuan dari tahapan ini adalah untuk mendefinisikan: (1) kontek internal untuk memastikan bahwa semua elemen penting diperhatikan dan untuk memastikan bahwa keputusan risiko selalu mendukung tujuan umum dari perusahaan; (2) kontek eksternal (seperti pasar, pesaing, peraturan pemerintah) untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, kesempatan dan ancaman (SWOT); (3) Obyek bisnis dari proses manajemen risiko (seperti pengenalan produk baru, pemilihan pemasok baru) dan parameter lain yang sesuai (seperti lingkup waktu, kebutuhan sumberdaya, peran dan tanggung jawab); (4) Kriteria risiko untuk menentukan tingkat penerimaan risiko pada kejadian dan aktifitas tertentu. Secara rinci penjelasan dari setiap tahapan yang diperlihatkan pada Gambar 1 dapat dilihat pada Tabel 1.

Proyek tim yang berfokus pada risiko

Model risiko dan mekanisme Query

17

Tabel 1 Detail kerangka kerja manajemen risiko rantai pasok (Pinto 2006) No Tahapan 1. Penentuan kontek Keterangan 1. Kontek internal: tujuan umum perusahaan dalam mendukung keputusan risiko 2. Kontek eksternal: pasar, pesaing, peraturan politik diidentifikasi: dengan SWOT 3. Objek bisnis dari proses manajemen risiko: (pengenalan produk baru, pemilihan pemasok baru) yang berkaitan dengan parameter: waktu, sumber daya, peran dan tanggung jawab 4. Kriteria risiko untuk melihat tingkat penerimaan risiko untuk aktifitas dan kejadian tertentu 1. Tujuan dari tahap ini: identifikasi, penjelasan dan estimasi risiko, agar dapat memilih tindakan manajemen pada faktor risiko yang teridentifikasi. 2. Cara melakukan identifikasi untuk menjawab pertanyaan: a. Apa yang dapat terjadi b. Bagaimana hal ini dapat terjadi c. Mengapa hal ini dapat terjadi 3. Deskripsi risiko bertujuan untuk: menjelaskan struktur risiko, memfasilitasi komunikasi dan penjelasan analisis kelompok 4. Estimasi risiko dapat dilakukan secara kuantitatif, semi kuantitatif atau kualitatif dalam bentuk kemungkinan terjadi dan konsekuensi yang mungkin. 1. Tahapan ini melakukan perbandingan ukuran risiko dengan kritaria risiko yang ditetapkan. 2. Tujuan dari tahap ini adalah untuk memutuskan apakah risiko dapat diterima atau memerlukan perlakuan khusus. 3. Suatu risiko dapat diterima dengan beberapa alasan seperti biaya perlakuan melebihi keuntungan, risiko tingkat rendah, tidak terdapat metode perlakuan 1. Tahapan ini akan mengambil tindakan jika pada tahap sebelumnya risiko tidak dapat diterima 2. Tujuan dari tahap ini adalah mengidentifikasi pilihan alternatif untuk mengurangi konsekuensi atau untuk mengurangi kemungkinan akibat dari risiko 3. Strategi yang biasa dilakukan adalah: pengalihan risiko, mengambil risiko, penurunan risiko dan eliminasi risiko.

2.

Analisis Risiko

Evaluasi risiko

Perlakuan risiko

Rajamani et al. (2006) secara konseptual mengusulkan bahwa kerangka kerja manajemen risiko mengikuti struktur tradisional dari hierarki strategis, taktis dan operasional, dan diorganisasikan dalam lingkup proses yang berfokus pada

18

perancangan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Secara rinci kerangka kerja manajemen risiko rantai pasok tersebut dapat diperlihatkan pada Gambar 3. Metode kuantitatif yang digunakan dalam manajemen risiko rantai pasok dengan kerangka kerja yang diperlihatkan pada Gambar 3 dapat dijabarkan sebagaimana terlihat pada Tabel 2.
Pendefinisian Tujuan Manajemen Risiko Rantai Pasok Penentuan Risiko-Risko Yang Akan Ditangani Dalam Rantai Langkah strategis Langkah Operasional Langkah Taktis Pendefinisian Team Organisasi Yang Menangani Melakukan Analisa SWOT Terhadap Risiko Rantai Pasok Merancang Rantai Pasok Yang Tepat Dengan Profil Risiko

Mengidentifikasi Titik-Titik Kegagalan Pada Jaringan Rantai Membuat Prioritas Titik-Titk Kegagalan Rantai Mengidentifikasi Alternative Tindakan Pada Setiap Titik Merangking Daftar Alternative Dan Membuat Mendefisinisikan Kriteria Peringatan Risiko

Mendeteksi Kegagalan Rantai Pasok Dan Menangkap Kejadiaannya Mengkomunikasikan Kejadian Risiko Dan Dampaknya Berkolaborasi Dalam Membuat Rencana Eliminasi Perbaikan Terus Menerus

Gambar 3 Kerangka kerja manajemen risiko rantai pasok (Rajamani et al. 2006)

19

Tabel 2 Detail kerangka kerja manajemen risiko rantai pasok (Rajamani et al. 2006) Kegiatan 1. Pendefinisian Tujuan Manajemen Risiko Rantai Pasok 2. Penentuan Risiko-Risko Yang Akan Ditangani Dalam Rantai Pasok 3. Pendefinisian Team Organisasi Yang Menangani Risiko 4. Melakukan Analisa SWOT Terhadap Risiko Rantai Pasok 5. Merancang Rantai Pasok Yang Tepat Dengan Profil Risiko 6. Mengidentifikasi TitikTitik Kegagalan Pada Jaringan Rantai Pasok 7. Membuat Prioritas TitikTitk Kegagalan Rantai Pasok 8. Mengidentifikasi Alternatif Tindakan Pada Setiap Titik Kegagalan 9. Merangking Daftar Alternative Dan Membuat Databasenya 10. Mendefisinisikan Kriteria Peringatan Risiko output Profile risiko Metode Interview Quisioner dan diskusi

Disain (Strategis

Bagan organisasi risiko dan peran, tanggungjawab Analisis SWOT

SWOT

Rencana (Taktis)

Struktur jaringan rantai pasok optimal Daftar kategori titik kegagalan Rangking kegagalan

Simulasi, model matematis dan probabilistik. Brainstorming, diagram sebab akibat titik AHP

Daftar kategori Brainstorming alternatif dan FMEA Rangking alternatif, database risiko Kriteria peringatan risiko, Proses pendefinisian peringatan AHP, MS Project, MS excel Mekanisme peringatan risiko (alert)

Pelaksanaan (operasional)

11. Mendeteksi Kegagalan Rantai Pasok Dan Menangkap Kejadiaannya 12. Mengkomunikasikan Kejadian Risiko Dan Dampaknya 13. Berkolaborasi Dalam Membuat Rencana Eliminasi Risiko 14. Perbaikan Terus Menerus

Knowledge base manajemen risiko e-mail, telepon

Groupware

20

Identifikasi dan pengelompokan risiko yang terjadi dalam suatu rantai pasok tergantung pada subject bisnis atau sudut pandang yang dihadapi oleh pengambil keputusan. Sebagai contoh berdasarkan Clouse dan Busch (Klimov & Merkuryev 2006) mengkategorikan risiko rantai pasok menjadi 5 yaitu risiko strategi, risiko permintaan, risiko pasar, risiko implementasi dan risiko kinerja. Adapun Chisthoper dan Peck (2003) mengkategorikan risiko rantai pasok sebagai risiko permintaan, risiko pasokan, risiko lingkungan, risiko pengendalian dan risiko proses. Sumber risiko proses adalah terjadinya ganguan pada proses

transportasi, komunikasi dan infrastruktur lainnya, sedangkan risiko pengendalian berkaitan dengan bagaimana organisasi mengendalikan proses tersebut seperti kuantitas pesanan, ukuran kapasitas dan kebijakan stok yang aman. Adapun risiko pasokan adalah potensi gangguan arus barang dan arus informasi akibat dari organisasi pemasok (hulu). Kemudian risiko permintaan adalah potensi gangguan arus barang, arus informasi dan arus kas yang diakibatkan oleh organisasi hilir dalam jaringan rantai pasok. Risiko lingkungan adalah dampak dari kejadian lingkungan yang mempengaruhi jaringan hulu dan hilir serta lokasinya yang diakibatkan oleh kejadian alam, sosial budaya, teknologi dan kebijakan pemerintah. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Xiaohui et al. (2006). Lebih detail lagi Schoenherr et al. (2008) telah mengidentifikasi risiko yang dijadikan faktor-faktor untuk memilih tempat offshore dengan AHP pada suatu industri sebanyak tujuh belas (17) macam yaitu risiko komplain standarisasi, risiko kualitas produk, risiko biaya produksi, risiko biaya persaingan, risiko permintaan, risiko pemenuhan pasokan, risiko penggudangan, risiko ketepatan waktu kirim, risiko ketepatan budget pengiriman, risiko pemenuhan pesanan, risiko salah mitra, risiko jarak, risiko pemasok, risiko manajemen pemasok, risiko rekayasa dan inovasi, risiko transportasi, risiko bencana, dan risiko produk asing.

2.1.2. Evaluasi Risiko Rantai Pasok Dua metode utama untuk mengukur risiko rantai pasok adalah metode pengukuran risiko berdasarkan pendapat pakar dan metode pengukuran risiko secara statistik (Klimov & Merkuryev 2006). Menurut Agarwal (2005), telah lama suatu perusahaan mendefisnisikan, memprioritaskan, memitigasi dan

21

mengaudit risiko dengan bantuan pakar dengan pendekatan pengukuran secara subyektif, sedangkan pengukuran dengan pendekatan statistik terbukti lebih bersifat obyektif dan lebih efektif dengan kerangka kerja berdasarkan simulasi dari probabilitas kejadian risiko dan dampak risiko sebagai variabelnya. Pengukuran risiko secara statistik biasanya berdasarkan pada nilai rata-rata, tingkat simpangan, tingkat probabilitas, koefisien risiko dan skala risiko, sehingga muncul suatu nilai ukuran Value at Risk (VaR) pada pengukuran risiko keuangan, dalam penggudangan terdapat nilai IaR (Inventory at Risk), dan DaR (Demand at Risk) sebagai pendekatan yang serupa (Sodhi 2004). Value at Risk (VaR) biasanya digunakan untuk mengukur risiko suatu investasi yang sudah diketahui distribusi probabilitasnya adalah normal. Dengan mengetahui nilai risiko (value at risk) suatu investasi maka investor dengan mudah dapat memperkirakan kemungkinan nilai risiko yang akan ditanggung jika suatu kejadian yang tidak diinginkan terjadi dengan tingkat kepercayaan tertentu. Untuk menghitung value at risk (VaT) digunakan rumus sebagai berikut:
VaT = V0 1 + e

(1) (2)

+ r = 1.65 *

Dimana: Vo = Nilai investasi awal

= Perkiraan nilai simpangan baku investasi


= Perkiraan nilai rata-rata investasi

Selain itu Risiko finansial dapat dinilai dengan menggunakan (1) distribusi probabilitas yaitu model yang menghubungkan berbagai probabilitas terhadap masing-masing hasil tertentu, (2) analisa sensitifitas yaitu pendekatan yang menggunakan beberapa kemungkinan taksiran pendapatan untuk mengetahui variabilitas hasil dengan mengestimasi tingkat pengembalian dari aktiva atau tingkat keuntungan yang diperoleh yang bersifat pesimistik, yang diharapkan dan optimistic (Sunjaya dan Barlian 2001 dalam Santoso 2005). Risiko suatu aktiva dapat diukur secara kuantitatif dengan menggunakan standar deviasi dan koefisien variasi. Standar deviasi merupakan indikator yang

22

paling umum dari risiko suatu aktiva. Nilai tingkat keuntungan yang diharapkan dihitung dengan rumus:

= E Pr E i i
i =1

(3)

Dimana: = Nilai keuntungan yang diharapkan E i = Nilai keuntungan pada tahun ke -1 Pr i = Probabilitas dari kejadian hasil tahun ke-1 n = Jumlah hasil yang dipertimbangkan Standar deviasi dari nilai Keuntungan e dinyatakan dengan rumus:

e =
Dimana:

Ei E
i =1

Pri

(4)

= Nilai keuntungan yang diharapkan E i = Nilai keuntungan pada tahun ke -1 Pr i = Probabilitas dari kejadian hasil tahun ke-1 n = Jumlah hasil yang dipertimbangkan.

e = Standar deviasi dari nilai keuntungan.


Koefisien variasi yaitu pengukuran dispersi relatif untuk membandingkan risiko dari aktiva dengan berbagai harapan tingkat keuntungan yang berbeda. Semakin tinggi koefisien variasi, maka semakin besar tingkat risikonya. Koefisien variasi dihitung dengan rumus: CV = Dimana: CV = Koefisien variasi = Nilai keuntungan yang diharapkan

e
E (5)

e = Standar deviasi dari nilai keuntungan


Model evaluasi risiko rantai pasok yang diusulkan Neureuther dan Kenyon (2008), untuk mengetahui risiko yang berkaitan dengan kegagalan rantai pasok dalam menghasilkan produk yang dijanjikan, struktur dari rantai pasok tersebut

23

beserta dengan produk bagiannya dalam struktur perlu dievaluasi. Nilai risiko ini disebut sebagai konsekuensi risiko () yang dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: (6) Dimana: waktu yang diperlukan suatu rantai pasok untuk menggantikan suatu sub-produk atau, waktu yang diperlukan untuk menangani ganguan dari suatu arus produk, dan mengembalikan pada kondisi penjadwalan normal dengan tingkat kualitas yang sama. = Waktu dari suatu sub-produk gagal diselesaikan sebelum rantai pasok menderita kerugian pada suatu titik kritis pada pelayanan pasarnya. = Konsekuensi risiko dari suatu produk dalam rantai pasok. Dalam kajian ini, nilai konsekuensi dapat diklasifikasikan sebagai vital, dibutuhkan, diperlukan dan diinginkan (Tabel 3). Sebuah konsekuensi bernilai penting (vital) diberikan pada sub-produk jika tidak terdapat pengganti pada barang ini, jika barang tersebut tidak ada maka rantai pasok tidak dapat menghasilkan produk yang dimaksud. Konsekuensi bernilai dibutuhkan diberikan pada sub-produk, jika pengganti dari produk tersebut sukar diperoleh. Suatu konsekuensi bernilai diperlukan (necessary) diberikan pada sub-produk yang mempunyai penggantinya, tetapi penggunaannya akan mengurangi fungsionalitas dan kualitas dari produk yang dihasilkan rantai pasok. Penggunaan dari barang substitusi dari produk dapat menimbulkan perancangan ulang terhadap rantai pasok produk atau jasa tersebut. Suatu nilai konsekuensi diinginkan (desired) diberikan pada sub-produk dimana pengantian dari barang atau penggunaannya tidak memerlukan perancangan ulang atau mengurangi fungsionalitas atau kualitas dari produk yang dihasilkan rantai pasok. Tabel 3 Nilai konsekuensi risiko konsekuensi Penting Dibutuhkan Diperlukan Diinginkan keterangan Tidak tergantikan Tidak mudah digantikan Mudah digantikan Mudah digantikan 1,0 0,6 0,3 0,1

24

Kemudian model yang diusulkan untuk mengukur indek risiko rantai pasok pada setiap tingkatan pelaku adalah:
n xi )) RI x = x x 1 (1 P(s i =1

(7)

Dimana: RI x = Indek risiko rantai pasok tingkat ke-x. Konsekuensi dari rantai pasok yang harus ditanggung pelaku pada tingkat ke-x ketika produk gagal dipasok. = Persentase nilai tambah yang diberikan oleh pelaku rantai pasok pada tingkat ke-x = Probabilitas kegagalan komponen ke-i dari pelaku tingkat ke-x. Nilai indek risiko berada pada nilai antara nol dan satu. Indeks risiko bernilai nol jika pelaku rantai pasok tidak mempunyai risiko sama sekali, sedangkan nilai risiko sama dengan satu artinya pelaku rantai pasok tersebut sangat berperan dalam kelancaran rantai pasok, atau jika terjadi masalah pada tingkatan ini maka rantai pasok secara keseluruhan akan terganggu. Hasil perhitungan dari model ini dengan digabung dengan perhitungan value at risk kemudian digunakan untuk menilai biaya risiko yang terjadi dan dijadikan sebagai input model optimasi keuntungan. Kemudian model optimasi keuntungan dengan pertimbangan minimisasi risiko pada setiap tingkatan rantai pasok menggunakan model modifikasi dari Nagurney et al. (2005) yaitu: Max Z = dengan kedala: Q i 0, 1 i n

Qi Pi Fx Ci Qi Rx (Q )
i =1 i =1

(8)

F
x =1 n i =1 i

F C

(9)

C Q
Dimana:

(10)

Q i = Jumlah unit produksi P i = Harga jual produk F x = Investasi per kegiatan proyek

25

C i = Biaya penanganan setiap unit produk R x (Q) = Estimasi biaya menanggung risiko F = Total investasi yang disediakan C = Biaya operasional yang dianggarkan. Dalam model optimasi ini, semua unit dikonversi ke nilai finansial agar memudahkan perhitungan untuk mengoptimalkan keuntungan dengan kriteria jamak (maksimumkan profit dan minimumkan risiko) dikonversi menjadi fungsi optimasi dengan kriteria tunggal (maksimumkan keuntungan).

2.1.3. Pengendalian Risiko Rantai Pasok secara Bersama Sebuah alat manajemen risiko rantai pasok telah diusulkan oleh Harland et al. (2003). Alat ini dimulai dengan pemetaan jaringan pasokan, kemudian mengidentifikasi risiko dan lokasinya pada saat ini, penilaian terhadap risiko, penanganan risiko, membuat strategi penanganan risiko kolaboratif, dan akhirnya, menerapkan strategi risiko jaringan pasokan. Dari alat ini dapat ditemukan bahwa suatu strategi untuk mengelola risiko rantai pasok adalah membentuk sebuah kolaborasi. Untuk membentuk kolaborasi untuk setiap stakeholder rantai pasok dibutuhkan suatu mekanisme untuk mengurangi adanya konflik kepentingan. negosiasi antar stakeholder merupakan hal yang biasa digunakan untuk menghasilkan kesepakatan terhadap konflik. Beberapa penelitian dalam pengembangan negosiasi antara lain adalah: Moon et al. (2009) telah mengkaji negosiasi bilateral formal dalam kontrak pasokan diantara pembeli dan penjual dengan pendapatan dan biaya yang tidak pasti. Mekanisme negosiasi dengan teknologi fuzzy untuk mengotomatisasi proses B2B telah disajikan oleh Rau et al. (2009). Keuntungan dari logika fuzzy untuk mengembangkan mekanisme negosiasi berdasarkan gabungan antara konsep negosiasi kooperatif dan kompetitif telah dikaji oleh Jain dan Deshmukh (2009). Cheng et al. (2006) telah mengkaji negosiasi otomatis pada pasar elektrik (e-market) dengan fungsi utilitas menggunakan agen cerdas otonom. Dalam arti luas, stakeholder dapat dianggap sebagai individu atau kelompok yang memiliki kepentingan atau kepedulian di bidang isu tertentu. Ada berbagai pemangku kepentingan potensial yang dapat sebagai pemerintah atau

26

non-pemerintah, masing-masing mengejar kepentingan baik untuk kelompoknya secara lokal, skala nasional atau global. Dialog interaktif dalam pengambilan keputusan secara bersama merupakan kesempatan untuk membawa keberagaman pemangku kepentingan bersama-sama untuk berdiskusi atau penyelesaian masalah. Stakeholder dialog memberdayakan pihak-pihak yang terlibat dan berusaha untuk mendamaikan dan mengintegrasikan beragam kepentingan untuk mencapai kesepakatan atau konsensus. Cuppen, et al. (2010) menggunakan

stakeholder dialog untuk menyelesaikan permasalahan ekologi dan lingkungan yang kompleks. Welp, et al. (2006) mengkaji stakeholder dialog untuk mengembangkan ilmu pengetahuan terhadap permasalahan perubahan global dalam kerangka keberlanjutan ilmu pengetahuan. Utilitas merupakan bagian pendapat dari pembuat kebijakan atau indeks kuantitatif dari tanggapan terhadap nilai keuntungan atau kerugian yang diakibatkan oleh kasus yang berisiko. Dalam banyak hal, tingkat preferensi seseorang dapat dipetakan ke nilai utilitas, dimana utilitas yang lebih tinggi berarti preferensinya lebih besar (Wilkes 2008). Penggunaan teori utilitas untuk mengatasi konflik kepentingan antara pihak-pihak yang bersengketa telah dilakukan oleh beberapa studi. Tamura (2002) membangun sebuah fungsi duaatribut disutility terhadap dua kelompok pengambil keputusan yang bertentangan dalam perencanaan sebuah megakota yang aman dan terpercaya. Yang dan Qiu, (2005) mengembangkan suatu model yang berdasarkan risiko utilitas yang diharapkan untuk membentuk model pengambilan keputusan berdasarkan risiko. Ding et al. (2010) telah mengusulkan model analitik yang menggabungkan dua perilaku fungsi utilitas yaitu kualitas dan harga ditinjau dari penilaian relatif terhadap pilihan konsumen. Resolusi konflik untuk membuat keputusan bersama atau kelompok telah banyak dijelaskan oleh beberapa makalah, tetapi resolusi konflik dalam pengambilan keputusan manajemen risiko rantai pasok belum banyak dikaji. Penelitian ini mengkaji mekanisme penentuan harga komoditas pertanian menggunakan pendekatan stakeholder dialog untuk mencapai resolusi konflik kepentingan berdasarkan menyeimbangkan risiko rantai pasok menggunakan optimasi fungsi utilitas risiko fuzzy.

27

2.2.

Komoditas Jagung Salah satu komoditas pertanian yang mempunyai posisi sangat strategis

dalam kehidupan masyarakat Indonesia adalah komoditas jagung.

Bagi

masyarakat Indonesia, jagung merupakan sumber karbohidrat kedua setelah beras, dan merupakan bahan baku utama industri pakan ternak yang akhir-akhir ini permintaannya meningkat pesat, seiring dengan semakin pesatnya perkembangan industri ternak. Selain itu jagung juga merupakan bahan baku industri makanan dan industri olahan lainnya. Hampir seluruh bagian dari tanaman jagung mempunyai potensi nilai ekonomis (Gambar 4).
Pakan Daun Kompos Pakan Kulit Kelobot Kompos Industri rokok Jagung muda Pangan Pakan Grit Pangan

Pohon Jagung

Pakan Buah Jagung Jagung pipilan Tepung Minyak Kulit Ari Pangan Bahan Baku Industri Bahan Baku Industri Pangan Pati Rambut Pakan Pulp Tongkol Kompos Pulp Batang Bahan bakar Bahan bakar Dextrin Bahan Kimia lain Etanol

Gambar 4 Pohon industri jagung (Suryana & Hermanto 2006)

28

Biji jagung pipilan, sebagai produk utamanya merupakan bahan baku utama (50%) industri pakan, selain dapat dikonsumsi langsung dan sebagai bahan baku industri pangan. Daun, batang, kelobot, tongkolnya dapat dipakai sebagai pakan ternak dan pemanfaatannya lainnya. Demikian juga halnya dengan bagian lainnya jika dikelola dengan baik berpotensi mempunyai nilai ekonomi yang cukup menarik. Kebutuhan jagung di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun dan telah mencapai angka 11,676 juta ton pada tahun 2003 (meningkat sebesar 4,28%/tahun selama kurun waktu 1990-2003). Pada tahun yang sama produksi dalam negeri baru mencapai 10,888 juta ton, sehingga masih diperlukan impor sebesar 1,346 juta ton (11,52% dari total kebutuhan jagung). Peningkatan kebutuhan jagung tersebut terutama dipacu oleh meningkatnya kebutuhan industri pakan yang telah mencapai pangsa sebesar 40,29% dari total kebutuhan jagung nasional pada tahun 2004 atau meningkat sebesar 5,76%/tahun (Suryana & Hermanto 2006). Permintaan jagung untuk industri, terutama industri pakan, telah mendorong peningkatan harga jagung di dalam negeri maupun di pasar international. Harga jagung di pasar dunia pada tahun 2004 adalah 111,8 dolar AS/ton, turun menjadi 98,7 dolar AS pada tahun 2005, naik menjadi 121,9 dolar AS pada tahun 2006 dan mencapai 160,9 dolar AS pada periode Januari-Agustus 2007. Harga jagung diperkirakan akan terus meningkat karena meningkatnya permintaan untuk industri etanol sebagai bahan bakar nabati (BBN). Harga perdagangan internasional jagung pada bulan Juni 2007 mencapai 165,2 dolar AS/ton dan turun menjadi 151,2 dolar AS/ton pada bulan Agustus 2007 (World Bank 2007). Berdasar perkiraan yang disimulasikan oleh IFPRI (2006) dengan berbagai skenario pertumbuhan biofuel, harga jagung diperkirakan dapat meningkat 20-41% pada tahun 2010 dan 2020, dibandingkan dengan harga pada tahun 2007. Kenaikan harga jagung akan mempengaruhi ketahanan pangan dan industri pakan, dan tentunya juga mempengaruhi pendapatan petani (Kasryno et al. 2008). Pusat produksi jagung dewasa ini antara lain adalah jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, dan Sulawesi Selatan. Jawa Timur merupakan produsen

jagung utama dengan rata-rata pangsa produksi per tahun 33,99 persen atau 3,322

29

juta ton. Selanjutnya diikuti oleh jawa Tengah dengan pangsa produksi rata-rata 17,76 persen per tahun atau 1,707 juta ton. Propinsi Lampung menempati posisi ketiga dengan pangsa produksi 10,20 persen per tahun atau 1005 ribu ton. Sulawesi Selatan menempati urutan ke empat dengan pangsa 7,31 persen per tahun atau 698,80 ribu ton. Pertumbuhan produksi tertinggi dicapai oleh propinsi Jawa timur dan Lampung, yaitu masing-masing sebesar 10,62 persen dan 17,19 persen per tahun, seperti terlihat pada Tabel 4. Tabel 4 Produksi jagung di daerah sentra produksi
Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Rerata Lampung (000 ton) 1111,83 1176,49 1120,35 1122,67 989,32 1087,75 1216,95 1439,00 1183,98 1346,82 1351,62 1005,40 (%) 11,05 12,78 11,99 12,01 10,25 9,99 10,84 11,49 10,20 10,14 9,74 10,20 Jawa Tengah (000 ton) 1781,85 1525,28 1633,82 1553,92 1505,71 1926,24 1836,23 2191,26 1856,02 2233,99 2355,62 1707,18 (%) 17,71 16,57 17,48 16,62 15,60 17,69 16,36 17,50 15,99 16,81 16,97 17,76 Jawa Timur (000 ton) 3765,14 3150,87 3389,95 3529,97 3692,15 4181,55 4133,76 4398,50 4011,18 4252,18 4415,98 3322,75 (%) 37,43 34,23 36,28 37,77 38,24 38,41 36,83 35,12 34,55 32,00 31,81 33,99 Sulawesi Selatan (000 ton) 916,50 652,22 579,83 515,41 661,01 650,83 674,72 705,99 696,08 969,31 967,29 698,80 (%) 9,11 7,09 6,20 5,51 6,85 5,98 6,01 5,64 6,00 7,30 6,97 7,31 Indonesia (000 ton) 10058,61 9204,04 9344,83 9347,19 9654,11 10886,44 11225,24 12523,89 11609,46 13286,17 13883,19 9718,13

Sumber: BPS (1998-2008)

Peningkatan produksi jagung di Indonesia belum diikuti oleh penanganan pascapanen yang baik. Petani kurang mendapatkan informasi tentang kegiatan panen dan pascapanen yang dapat mengurangi biaya dan menekan susut mutu jagung. Karena itu, petani di beberapa wilayah pengembangan jagung masih belum merasakan nilai tambah dengan meningkatnya kualitas produk biji jagung (Firmansyah 2006). Selama kurun waktu 1998-2008 rata-rata produktifitas usaha tani jagung Indonesia baru mencapai 31,63 ku/ha, dengan tingkat pertumbuhan 3,43 persen per tahun. Sementara di sentra-sentra produksi jagung, pada umumnya

produktifitas usaha tani jagung hampir berimbang, sebagaimana disajikan dalam

30

Tabel 5. Nampak dalam tabel tersebut bahwa produktifitas tertinggi dicapai oleh usaha tani jagung di jawa Timur, yaitu sebesar 28,23 ku/ha, sedangkan yang terendah terjadi di Sulawesi Selatan, yaitu 24,89 ku/ha. Sementara produktifitas usaha tani jagung jawa tengah dan lampung masing-masing mencapai 28,17 ku/ha dan 27,27 ku/ha. Namun bila dilihat dari pertumbuhan produktifitasnya, ternyata paling pesat pertumbuhannya justru di alami oleh petani Sulawesi Selatan, yaitu sebesar 6,01 persen per tahun, yang kemudian diikuti oleh propinsi Lampung dengan pertumbuhan sebesar 3,55 persen/tahun. Keadaaan ini mungkin

disebabkan oleh selain jawa Timur merupakan daerah tradisionil produsen jagung, juga telah banyak berkembang perusahaan pembibitan jagung, baik jagung komposit maupun jagung hibrida, sehingga persediaan benih jagung unggul relatif lebih banyak.

Tabel 5 Produktifitas usaha tani jagung di daerah sentra produksi Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Rerata Lampung (Ku/Ha) 29,66 29,42 29,3 29,68 30,91 32,88 33,36 34,96 35,59 36,4 36,53 32,61 Jawa Jawa Sulawesi Indonesia Tengah Timur Selatan (Ku/Ha) (Ku/Ha) (Ku/Ha) (Ku/Ha) 27,49 27,92 27,1 26,43 28,04 27,82 27,04 26,63 28,08 28,96 25,9 27,01 29,38 31,08 26,85 28,45 30,4 35,39 32,1 30,88 34,4 35,76 30,44 32,42 35,2 36,21 34,36 33,44 36,75 36,47 34,18 34,54 37,27 36,49 33,73 34,7 39,12 36,86 36,97 36,61 40,31 37,01 36,35 36,83 33,31 33,63 31,37 31,63

Sumber : BPS (1998-2008)

Produktivitas jagung di Indonesia masih sangat rendah, baru mencapai 3,47 t/ha pada tahun 2006, namun cenderung meningkat dengan laju 3,38% per tahun. Masih rendahnya produktivitas menggambarkan bahwa penerapan teknologi produksi jagung belum optimal. Dalam periode 1990 - 2006, produksi jagung rata-rata 9,1 juta ton dengan laju peningkatan 4,17% per tahun.

31

Terindikasi bahwa peningkatkan produksi jagung di Indonesia lebih ditentukan oleh perbaikan produktivitas daripada peningkatan luas panen (laju peningkatan 0,96%) (Zubachtirodin et al. 2007). Selanjutnya jika dibandingkan dengan negara produsen jagung lainnya, usaha tani jagung di Indonesia masih ketinggalan jauh, dibandingkan negara produsen utama jagung yaitu Amerika, Argentina dan MEE. Produktifitas usaha tani jagung Indonesia baru mencapai setengahnya, bahkan dibandingkan dengan Amerika Serikat, baru mencapai sepertiganya (Tabel 6). Selama periode 19982008, rata-rata produktifitas usaha tani jagung Indonesia baru mencapai 3,21 ton/ha, sementara Amerika Serikat, Argentina dan MEE masing-masing telah mencapai 8,84 ton/ha, 6,28 ton/ha dan 5,92 ton/ha. Rata-rata produktifitas jagung dunia mencapai 4,53 ton/ha, jadi sedikit lebih tinggi dibanding Indonesia.

Tabel 6 Produktifitas jagung di beberapa negara produsen jagung dunia Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Rerata Produktifitas (ton/ha) Amerika Argentina MEE Serikat 8,44 6,08 5,63 8,40 5,37 6,28 8,59 5,43 5,09 8,67 5,45 6,16 8,16 6,52 6,24 8,92 6,48 5,03 9,00 6,50 6,04 9,12 6,71 6,12 8,97 6,30 5,88 9,31 6,66 6,20 9,66 7,56 6,48 8,84 6,28 5,92

Dunia 4,42 4,38 4,27 4,42 4,37 4,47 4,59 4,65 4,65 4,76 4,81 4,53

Indonesia 2,65 2,66 2,77 2,85 3,09 3,25 3,34 3,45 3,47 3,66 4,08 3,21

Sumber: USDA (2008)

Peluang peningkatan produksi jagung dalam negeri masih terbuka lebar, baik melalui peningkatan produktivitas karena masih lebarnya perbedaan produktivitas di tingkat petani (3,1 t/ha) dengan di tingkat penelitian (4,5-8,0 t/ha), maupun perluasan areal tanam, terutama pada lahan kering di luar Jawa (Subandi 2004). Sekitar 65% jagung ditanam pada lahan kering pada musim

32

hujan, sehingga pengeringan tongkol jagung sangat bergantung pada sinar matahari. Panen pada musim hujan menyebabkan kadar air jagung cukup tinggi. Kondisi demikian menyebabkan tumbuhnya cendawan Aspergillus sp. yang memproduksi aflatoksin. Untuk mencegah menurunnya mutu biji, jagung tongkol yang dipanen segera dikeringkan Ananto et al. (2005). Penundaan proses pengeringan jagung tongkol menyebabkan kerusakan biji jagung. Semakin lama penundaan proses pengeringan, semakin besar kerusakan biji jagung. Kadar air jagung pada saat dipipil berpengaruh terhadap butir utuh, butir pecah, dan kotoran, terutama pada saat pemipilan dengan mesin pemipil (corn sheller). Makin rendah kadar air, makin tinggi persentase butir utuh, dan makin tinggi persentase kotoran (Ananto et al. 2005). Pemipilan pada saat kadar air jagung tinggi menyebabkan persentase biji pecah tinggi pula. Hasil pengujian di Kediri menggunakan tiga mesin pemipil jagung buatan lokal menunjukkan tingkat kerusakan biji di atas 15% bila pemipilan dilakukan pada kadar air 32,5-35% bb (Tastra et al. 1990). Sekitar 65% pertanaman jagung diusahakan pada lahan kering pada musim hujan, sehingga pada saat panen kadar air biji jagung masih cukup tinggi. Kondisi ini kondusif bagi pertumbuhan cendawan yang menghasilkan mikotoksin pada biji jagung. Syarat umum bagi produk jagung untuk pakan maupun untuk pangan, ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI). Syarat umum:
Bebas hama dan penyakit Bebas bau busuk, asam, atau bau asing lainnya Bebas bahan kimia: insektisida dan fungisida Suhu normal

Syarat Khusus:
Kadar air maksimum (mutu I < 14%, mutu II 14%, mutu III 15%, dan mutu IV 1517%) Butir rusak (mutu I < 2%, mutu II 4%, mutu III 6%, dan mutu IV 8%) Warna lain maksimum (mutu I < 2%, mutu II 3%, mutu III 7%, dan mutu IV 10%) Butir pecah maksimum (mutu I < 1%, mutu II 1%, mutu III 2%, dan mutu IV > 2%) Kadar aflatoksin tidak lebih dari 30 ppb.

33

2.2.1. Tata Niaga Jagung Tiga komponen utama yang mendukung tataniaga jagung adalah produsen, pedagang, dan konsumen. Petani sebagai produsen perlu didukung oleh paket teknologi dan lembaga penyedia sarana produksi yang mampu menyediakan secara lima tepat (tepat waktu, jenis, ukuran, tempat, dan harga). Anjuran paket teknologi jagung sesungguhnya telah disadari manfaatnya oleh petani, yaitu untuk meningkatkan produksi, namun belum sepenuhnya diterapkan karena terbentur masalah pendanaan. Konsekuensinya, produksi belum optimal, baik jumlah maupun mutu, sehingga akan mempersulit pemasaran hasil, terutama untuk tujuan ekspor. Hal lain yang dihadapi petani dalam pemasaran produksi adalah belum dapat menjual langsung kepada pedagang besar (eksportir), PUSKUD, atau pedagang lainnya di kota provinsi (Gambar 5). Petani umumnya menjual hasil jagung hanya ke pedagang pengumpul atau ke pasar (pedagang penyalur kota atau pengecer di pasar umum). Dengan demikian, harga yang diterima petani relatif rendah dan fluktuatif. Keadaan ini kurang menguntungkan bagi petani, sebab tidak adanya jaminan harga yang layak (Sarasutha et al. 2007).

Gambar 5 Alur tataniaga jagung (Sarasutha et al. 2007) Hasil jagung petani, bila dilihat dari distribusinya, sudah mengarah kepada pasar (market oriented). Sebagian besar produksi dijual dan hanya sebagian yang disimpan untuk konsumsi dan benih pada musim tanam berikutnya. Faktor yang mendorong petani untuk menjual cepat hasil jagungnya antara lain adalah: (1) mereka memerlukan uang tunai untuk membayar bunga dan angsuran pokok kredit, (2) memenuhi kebutuhan keluarga, dan (3) keharusan membayar PBB.

34

Berdasarkan data perkembangan harga jagung, pada bulan SeptemberNovember merupakan puncak harga jual tertinggi. Pada bulan SeptemberDesember, kebutuhan (konsumsi) lebih besar dibanding produksi, yang menyebabkan harga jagung naik. Periode tersebut merupakan puncak paceklik, sehingga harga jagung tinggi. Dalam periode Januari-April, produksi lebih tinggi dari kebutuhan sehingga terjadi kelebihan produksi, yang menyebabkan harga jagung cenderung rendah (Nadjamuddin & Noor 1997). Pola tanam jagung di Indonesia secara garis besar dapat diperlihatkan pada Gambar 6.

Gambar 6 Areal tanam dan panen bulanan jagung di Indonesia (Suryana & Hermanto 2006) Dari Gambar 6 terlihat bahwa pola tanam jagung tidak merata sepanjang tahun sehingga kemungkinan terjadinya anjlok harga sangat tinggi pada musim panen raya. Oleh karena itu perlu adanya penjadwalan tanam jagung agar diperoleh kestabilan harga dan kuntinuitas produk. Penerapan inovasi teknologi di tingkat petani masih beragam, bergantung pada orientasi produksi (subsisten, semi komersial, komersial), kondisi kesuburan tanah, risiko yang dihadapi, dan kemampuan petani membeli atau mengakses sarana produksi. Penyebaran penggunaan varietas pada tahun 2005 adalah 22% hibrida, dan selebihnya komposit (unggul dan lokal). Angka ini masih di bawah Thailand yang telah menggunakan benih jagung hibrida hingga 98%, sedangkan Filipina sudah menggunakan benih hibrida 65%. Masih mahalnya benih hibrida dan pertimbangan risiko yang dihadapi, cukup banyak petani yang menanam

35

benih hibrida turunan (F2). Pemakaian benih hibrida merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan produksi jagung (Sarasutha et al. 2007). Untuk mengatasi masalah yang dihadapi, petani perlu didorong untuk memanfaatkan peluang yang ada, di antaranya meningkatkan produktivitas, nilai tambah produksi melalui pengelolaan hasil, dan menempuh alur pemasaran yang pendek, bahkan diupayakan untuk berhubungan langsung dengan industri pangan dan pakan (Yonekura 1995). Alur pemasaran/tataniaga turut menentukan pendapatan petani. Semakin panjang alur tataniaga dari produsen ke konsumen akhir semakin menurun pendapatan yang diperoleh produsen. Untuk memenuhi permintaan industri pengolahan pakan dan makanan, terjadi alur tataniaga jagung antarprovinsi yaitu dari provinsi surplus ke provinsi yang mengalami kekurangan. Pemasaran hasil jagung melibatkan banyak pihak. Karena itu perlu dilibatkan pihak-pihak terkait dalam merumuskan program, mulai dari proses produksi sampai pemasaran. Program tersebut menurut Bahtiar et al. (2002) mencakup: (1) sosialisasi teknologi penyimpanan yang dapat diterapkan petani untuk menghindari ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan, (2) penyediaan sarana produksi (KUD, PT. Pertani, Perum Sang Hyang Seri) secara tepat (tepat jumlah dan jenis, tepat mutu, dan tepat harga dan lokasi), (3) penyediaan kredit usahatani untuk komoditas jagung (BRI), dan (4) penyerapan hasil berdasarkan standar mutu hasil (jaminan harga dari pemerintah/swasta).

2.2.2. Rantai Pasok Jagung Jaringan rantai pasok produk/komoditi jagung terdiri dari produser (petani/gapoktan), collector (pedagang pengumpul tingkat desa, kecamatan, kabupaten dan propinsi), processor (industri pakan, industri makanan, dan industri lainya seperti etanol), retailer (pengecer besar dan kecil) dan konsumen (peternak unggas), sebagai jaringan rantai pasok total produk/komoditi jagung menurut Vorst (2006) dapat diperlihatkan pada Gambar 7. Dalam rantai pasok tersebut risiko yang sering dihadapi petani/gapoktan jagung adalah penggunaan varietas jagung yang masih menggunakan varietas lokal yang mempunyai tingkat produktifitas rendah, penanganan paska panen yang kurang baik sehingga menurunkan kualitas dan jadwal tanan yang tidak tepat

36

sehingga pada waktu panen raya harga jagung merosot tajam serta gagal panen karena lahan puso (Kasryno 2006).
Producer Collector Importir Petani/ Gapoktan Pedagang pengumpul Pedagang pengumpul Processor Industri pakan Industri Makanan Eksportir Retailer Consumer

Pengecer Konsumen Pengecer

Petani/ Gapoktan

Pengecer

Konsumen

Gambar 7 Jaringan rantai pasok total produk/komoditi jagung Adapun risiko yang sering dihadapi oleh pedagang pengumpul atau kolektor adalah rendahnya mutu jagung karena kebanyakan jagung dipanen pada musim penghujan sehingga proses pengeringannya tidak sempurna dan menyebabkan tumbuhnya jamur. Disamping itu risiko yang dihadapi adalah biaya penyimpanan dan pengeringan tambahan untuk mendapatkan kualitas yang sesuai standard (Kusumaningrum 2008). Adapun dari sisi distributor risiko yang akan dihadapi terutama adalah risiko turunnya kualitas jagung karena penyimpanan dan risiko karena pengangkutan disamping kendala transportasi dan distribusi ke pihak konsumen yaitu industri pakan dan industri pangan. Adapun risiko yang dihadapi pihak prosesor (agroindustri) adalah ketidakpastian pasokan bahan baku sehingga kapasitas produksi tidak tercapai untuk mendapatkan efisiensi produksi yang tinggi. Disamping itu risiko yang dihadapi adalah ketidakpastian harga bahan baku.

2.3.

Sistem Penunjang Keputusan Cerdas Marimin (2007) menyatakan bahwa Decision Support System (DSS)

bermanfaat membantu pengambilan keputusan secara interaktif. Menurut Lucas (1993), DSS sebagai model dari sekumpulan prosedur untuk melakukan

37

pengolahan data dengan tujuan membantu manajer dalam pembuatan keputusan spesifik. Penerapan DSS akan berhasil jika sistem tersebut sederhana dan mudah digunakan, mudah melakukan pengawasan, mudah melakukan adaptasi terhadap perubahan lingkungan dan mudah melakukan kegiatan komunikasi dengan berbagai entiti. Menurut Keen dan Morton (1978), tujuan dari Sistem Penunjang Keputusan adalah membantu para pengambil keputusan dalam menyeleksi kriteria untuk proses pengambilan yang pada umumnya bersifat semi struktural. Sifat ini berarti adanya kemampuan untuk menyelaraskan keputusan struktural dengan penilaian yang bersifat subyektif dari masing-masing struktural. Sistem ini hanya membantu dalam proses pengambilan keputusan, keputusan terakhir tetap berada ditangan para pengambil keputusan. Teknik pengambilan keputusan ini dikembangkan hanya untuk meningkatkan efektifitas dalam proses pengambilan keputusan. Efektifitas yang dimaksud mencakup pada identifikasi dari apa yang harus dilakukan dan menjamin bahwa kriteria yang kemudian dipilih adalah relevan dengan tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Eriyatno (1999), Sistem Penunjang Keputusan (SPK) adalah pendekatan secara sistematis dalam menentukan teknologi ilmiah yang tepat dalam mengambil keputusan. SPK juga merupakan konsep spesifik dengan menghubungkan sistem informasi terkomputerisasi dimana penggunanya yaitu para pengambil keputusan sehingga terciptanya keoptimalan dalam pengambilan keputusan. Karakterisasi pokok yang melandasi teknik sistem penunjang keputusan yaitu: 1. Interaksi langsung antara komputer dengan pengambil keputusan 2. Adanya dukungan menyeluruh (holistik) dari keputusan bertahap berganda 3. Suatu sintesa dari konsep yang diambil dari berbagai bidang antara lain ilmu komputer, ilmu sistem, psikologi, ilmu manajemen, dan intelejensi buatan 4. Mempunyai kemampuan aditif terhadap perubahan kondisi dan

kemampuan berevolusi menuju sistem yang lebih bermanfaat. Intelligent decision support system (IDSS) merupakan pengembangan dari sistem penunjang keputusan dengan menggunakan pengetahuan (aturan-aturan tentang sifat dan unsur suatu masalah) seperti fuzzy systems, neural networks, dan

38

genetic algorithms / algoritma genetik (Sadly 2007). Menurut Dhar dan Stein (1997), Sistem Penunjang Keputusan Cerdas merupakan sebuah Sistem Penunjang Keputusan yang menggunakan teknik-teknik yang muncul di bidang intelijensi buatan (Artificial Intelligent) seperti: seperti fuzzy systems, neural networks, machine learning, dan genetic algorithms (algoritma genetik). Tujuannya adalah untuk membantu pengguna dalam mengakses, menampilkan, memahami, serta memanipulasi data secara lebih cepat dan mudah untuk membantunya dalam mengambil keputusan. Disamping itu sistem penunjang keputusan intelijen adalah sistem pendukung keputusan yang dalam membuat alternatif keputusannya menggunakan berbagai teknik yaitu penelitian operasional lanjut dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence), system engineering serta soft computing yang terdiri dari fuzzy system, neural network, dan genetic algorithm (Goenawan 2007). Sehingga dengan sistem penunjang keputusan cerdas dapat digunakan untuk membuat keputusan yang optimal dengan pendekatan kemampuan belajar dan kemampuan penalaran sebuah sistem serta kemampuan beralasan dalam memilih solusi sebagaimana yang dilakukan oleh seorang pakar dalam membuat keputusan sehingga akan diperoleh solusi yang efektif dan konsisten. Menurut Phillips-Wren et al. (2009) struktur sistem pendukung keputusan cerdas dapat digambarkan sebagai diagram input, proses dan output, dimana input sistem terdiri dari sub-sistem data base, sub-sistem model base dan dan sub-sistem knowledge base. Proses sistem terdiri dari sub-sistem organisasi input, sub-sistem strukturisasi permasalahan dan sub-sistem simulasi keadaan serta penentuan solusi terbaik. Output dari sistem pendukung keputusan cerdas berupa laporan solusi, dampak dari peramalan input dan rekomendasi keputusan beserta saran dan penjelasan dampaknya. Poses input output ini mempunyai umpan balik untuk mendapatkan solusi optimal dalam membuat rekomendasi keputusan yang efektif dan efisien sebagaimana dapat diperlihatkan pada Gambar 8.

39
Input unpan balik

Basis Basis Data: Data: Data terkait Data terkait keputusan keputusan
Basis pengetahuan: Pengetahuan terkait masalah

Mengorganisasikan input permasalahan

Status dan bentuk pelaporan

Strukturisasi permasalahan keputusan

Input dan hasil peramalan

Basis Model:
Model keputusan Metode solusi

Simulasi kebijakan dan keadaan

Keputusan yang direkomendasikan

Penentuan solusi terbaik

Penjelasan hasil dan saran

Teknologi Komputer

Pembuat Keputusan

Output unpan balik

Input

Proses

Output

Gambar 8 Struktur model sistem pendukung keputusan cerdas (Phillips-Wren et al. 2009) Suatu Sistem Penunjang Keputusan Cerdas diukur berdasarkan tingkat kecerdasannya yang disebut sebagai Tingkat Kerapatan Kecerdasan (Intelligence Density). Tingkat kerapatan kecerdasan merupakan perbandingan antara tingkat kepuasan yang dihasilkan dalam proses pengambilan keputusan dengan jumlah waktu analisis yang dihabiskan seorang pembuat keputusan. Misalnya, seorang pembuat keputusan secara konsisten membuat keputusan dengan kualitas yang sama setelah memeriksa sumber A selama 3 menit dan sumber B selama 30 menit. Maka sumber A dikatakan memiliki 10 kali tingkat kerapatan kecerdasan

40

dibandingkan sumber B (Dhar & Stein 1997). Sehingga Sistem Penunjang Keputusan Cerdas yang baik adalah sistem yang mampu mengasilkan keluaran yang dapat membantu pengambil keputusan menentukan keputusan dengan cepat tanpa mengurangi kualitas keputusan, atau dapat meningkatkan kualitas keputusan dalam rentang waktu yang sama.

2.4.

Penelitian Terdahulu dan Posisi Penelitian Permintaan konsumen telah berubah secara signifikan dalam beberapa

dekade terakhir.

Mereka meminta kepada pasar untuk menyediakan produk

dengan variasi yang lebih banyak dan waktu yang lebih cepat, sementara harga yang kompetitif dan barang yang berkualitas menjadi persyaratan dasar agar supaya dapat berkompetisi di pasar. Kecenderungan ini memaksa perusahaan untuk meresponnya dengan produk yang berharga lebih rendah, kualitas yang lebih baik dan waktu penyediaan yang lebih cepat. Agar supaya dapat

memenangkan kompetisi ini, perusahaan tidak hanya berfokus pada peningkatan proses organisasi di dalam tetapi juga harus memperhatikan jaringannya secara keseluruhan, mulai dari pemasok sampai pada konsumennya (Pujawan 2005). Identifikasi risiko dalam jaringan rantai pasok secara keseluruhan bukanlah pekerjaan yang mudah berkaitan dengan kompleksitasnya dan ukuran dari jaringan. Penggunaan sistem berbasis pengetahuan telah diaplikasikan dalam manajemen risiko rantai pasok (Karningsih et al. 2007). Beberapa penelitian yang berkaitan dengan identifikasi risiko rantai pasok secara umum adalah Zsidisin (2003); Harland et al. (2003); Cavinato (2004); Christopher dan Peck (2004); Wu et al. (2006). Tetapi hanya terdapat sedikit penelitian yang mendiskusikan risiko tiap tingkatan rantai pasok. Risiko tiap tingkatan rantai pasok perlu diidentifikasi dan dievaluasi, karena adanya risiko tersebut bisa memunculkan risiko lain dalam jaringan rantai pasok ataupun dalam tingkatan itu sendiri. Masih sedikit penelitian yang berkaitan dengan integrasi risiko manajemen kedalam skenario jaringan rantai pasok. Nagurney et al. (2005), menjelaskan suatu mekanisme optimisasi risiko dengan keuntungan dalam transaksi elektronik dan fisik berkaitan dengan model jaringan rantai pasok yang dipengaruhi oleh risiko pada sisi permintaan dan risiko pada sisi pasokan. Wu et al. (2006)

41

menjelaskan model risiko pada jaringan supplier inbound dalam memilih pemasok dengan kendala risiko menggunakan AHP. Hallikas et al. (2002)

melakukan analisis dan pengkajian risiko secara detail jaringan rantai pasok dengan lingkungannya menggunakan studi kasus dyadic. Kull dan Closs (2008) mengevaluasi risiko akibat kegagalan rantai pasokan dengan simulasi

penggudangan. Wu et al. (2006) mengembangkan sistem pemilihan pemasok dengan pertimbangan risiko menggunakan AHP. Hal yang serupa dilakukan oleh Schoenherr et al. (2008) yang membuat sistem pemilihan lokasi pemasok bahan baku dengan pertimbangan risiko. Wu dan Olson (2008), mengevaluasi risiko rantai pasok dengan menggunakan beberapa metode pengambilan keputusan kelompok seperti Data envelopment Analysis (DEA), Multiobjectives

Programming (MOP), untuk membuat trade of dalam kendala biaya, mutu dan waktu pengiriman. Beberapa peneliti lain melakukan manajemen risiko yang dengan pembagian informasi yang seimbang dan transparansi dalam jaringan rantai pasok seperti ayng dilakukan oleh Xiaohui et al. (2006), menganalisis risiko perusahaan dengan pendekatan pembagian informasi, risiko dalam pengendalian

penggudangan dalam jaringan rantai pasok perusahaan. Demirkan dan Cheng (2008), mengkaji penggunaan strategi yang berbeda untuk mengoptimalkan tingkat risiko dan pembagian informasi dalam layanan rantai pasok. Kersten et al. (2007) mengusulkan metode manajemen risiko dengan transparasi informasi menggunakan teknologi informasi sebagai alatnya. Adapun beberapa penelitian manajemen risiko rantai pasok produk pertanian adalah: Jaffee et al. (2008) membuat kerangka kerja manajemen risiko produk pertanian dan teknik aplikasinya secara singkat. Diersen dan Garcia

(1998) telah melakukan penelitian risiko harga terhadap perubahan nilai pasokan kedelai yang akan datang. Agiwal & Mohtadi (2008) memodelkan metode

mitigasi risiko rantai pasok produk makanan untuk mengoptimumkan biaya yang harus dikeluarkan untuk mengantisipasi risiko kualitas. Diaz dan Hansel (2007) yang memodelkan pembagian risiko dalam pembiayaan agri-bisnis antara petani, agroindustri dan lembaga keuangan dengan berbagai skenario.

42

Penelitian tentang rancang bangun sistem pendukung pengambilan keputusan cerdas dalam agroindustri yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu adalah: Suprihatini (2003) merancang bangun Sistem Manajemen Ahli Techno-Marketing yang terdiri dari sistem pakar penentuan saran perbaikan proses produksi dan pelayanan purna jual teh, model analisa trend, model comparative performance index, model analisis daya saing, model quality function deployment. Santoso (2005) mengembangkan SPK M-RISK untuk

manajemen risiko pengembangan agroindustri buah-buahan. Model tersebut terdiri atas enam model utama, yaitu model penentuan produk olahan unggulan, model analisis risiko, model kelayakan finansial, model risiko finansial, madel manajemen risiko dan model manajemen pengendalian. Kusnandar (2006)

merancang bangun model pengembangan industri kecil jamu dalam bentuk sistem manajemen ahli yanag diberi nama Sains-Jamu. Model terdiri dari sub model pengadaan bahan baku, sub model struktur pengembangan, sub model sumber permodalan, sub model kelembagaan usaha, sub model kelayakan finansial dan sub model sistem pakar strategi bauran pemasaran. Haris (2006) mengkaji model aliansi strategis sistem agroindustri Crumb Rubber. Model tersebut dirancang dalam sistem manajemen ahli yang menempatkan pengusaha agroindustri dan petani sebagai pelaku utama dengan dukungan kelembagaan ekonomi dan kelembagaan pendukung lainnya. Tetapi penelitian pemodelan sistem pendukung keputusan cerdas dalam manajemen risiko rantai pasok produk pertanian belum banyak dilakukan. Kebaharuan dari penelitian ini dapat ditinjau dari beberapa aspek, misalnya dari aspek metodologi, komoditas, jenis risiko, tujuan dan model manajemen risiko rantai pasok yang dapat dilihat pada Lampiran 1. Penelitian pemodelan evaluasi risiko kualitatif pada produk manufaktur telah dilakukan oleh Wu et al. (2006) dan Schoenherr et al. (2008), sedangkan beberapa model kuantitatif manajemen risiko rantai pasok telah juga dikembangkan oleh Nagurney et al. (2005), Xiaohui et al. (2006), Wu et al. (2006), Li et al. (2007) dan Lee (2008). Selain itu telah dikembangkan juga model gabungan antara kualitatif dan kuantitatif seperti yang dilakukan oleh Arisoy (2007) dan Wu dan Olson (2008). Sistem penunjang pengambilan keputusan (SPK) yang ada selama ini didasarkan

43

pada pemodelan konvesional (operation research dan teknik pendukung hard system methodology lainnya), dalam penelitian ini akan dikembangkan sistem pendukung keputusan cerdas dengan menggunakan pendekatan soft sistem metodologi dan soft computing supaya lebih sesuai dengan sifat permasalahan pengambilan keputusan nyata dalam membuat mekanisme penyeimbangan risiko. Kebanyakan pengembangan sistem manajemen risiko rantai pasok dilakukan dengan pendekatan hard system (misalnya simulasi dan sistem dinamik) dalam penelitian ini akan dikembakan dengan pendekatan soft system. Manajemen risiko rantai pasok (SCM) selama ini lebih banyak dikembangkan dalam bidang manufaktur yang mempunyai sifat tingkat kerusakan sangat rendah, sedangkan dalam penelitian ini akan dikembangkan sistem manajemen risiko rantai pasok pada produk pertanian yang mempunyai karakterisktik mudah rusak dan musiman. Selama ini sistem manajemen risiko rantai pasok hanya

dikembangkan secara parsial atau sektoral, sedangkan dalam penelitian ini akan dikembangkan sistem manajemen risiko rantai pasok yang terintegrasi dengan membuat suatu sistem penunjang pengambilan keputusan cerdas yang dapat digunakan berdasarkan tingkatan peran pelaku dalam rantai pasok sehingga keputusan yang diperoleh mempunyai tingkat validitas yang lebih tinggi. Disamping itu kebaruan penelitian ini juga dapat dipandang dari segi komoditas produk rantai pasok yang dikaji, karena selama ini belum terdapat model manajemen risiko rantai pasok produk pertanian tanaman pangan yang dapat digunakan untuk membantu stakeholder seperti petani, pengepul, distributor dan agroindustri dalam melakukan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan proses bisnisnya dengan memperhatikan risiko rantai pasok, sehingga diperoleh suatu tindakan yang efektif dan efisien dalam penanganan terhadap risiko yang mungkin akan terjadi, sehingga tercipta suatu sistem yang dapat digunakan oleh banyak pengguna, berbagai tingkatan rantai pasok untuk melakukan pengendalian risiko baik secara individu ataupun secara kelompok.

Anda mungkin juga menyukai