Anda di halaman 1dari 24

Modul 6

Supply Chain Risk Management


Definisi Manajemen Risiko Dan
Manajemen Risiko Pada Rantai Pasok

Risiko dapat disebut sebagai suatu cara sistematis yang berhadapan dengan potensi terjadinya
kejadian. Risiko diasumsikan sebagai suatu ketidakpastian yang dihubungkan dengan peramalan
manapun dengan potensi terjadinya suatu kejadian.
Menurut (Beck, 1992), ada tiga komponen utama dalam risiko, yakni:
1) Kejadian (event)
2) Probabilitas dari kejadian (probabaility of occurance)
3) Dampak dari kejadian tersebut (impact)
Risiko dalam rantai pasok dapat dikategorikan menjadi 2 tipe yaitu (Waters, 2007) :
1.Risiko internal
Risiko ini umumnya terjadi pada kegiatan operational seperti terlambatnya pengiriman, kekurangan stock barang,
risiko finansial dan lain sebagainya dimana risiko-risiko tersebut umumnya dapat dikontrol oleh manajer. Contohnya
apabila mengalami risiko dari pihak supplier, maka multi-sourcing adalah salah satu solusi yang diterapkan sehingga
manajer memiliki cadangan supply meskipun salah satu supplier mengalami gangguan.
2. Risiko eksternal
Risiko eksternal merupakan risiko yang datang dari lingkungan luar rantai pasok dan berada diluar kontrol dari
manajemen seperti kejadian bencana alam, perang, aksi terorisme, permasalahan dengan partner dagang dan lain
sebagainya. Dalam menyikapi risiko eksternal ini, manajer tidak dapat megubah risiko, namun manajer dapat
mendesain suatu kondisi yang dapat meminimalkan dampak dari risiko tersebut.
Water (2007) mengklasifikasikan integrasi dalam supply chain risk management menjadi 5 level sebagai
berikut:
1. Level 1: tidak ada manajemen risiko yang secara signifikan diterapkan oleh stakeholder dalam
keseluruhan rantai pasok
2. Level 2 : beberapa penerapan manajemen risiko yang dasar diterapkan di dalam aktivitas logistik yang
terpisah di dalam beberapa organisasi
3. Level 3 : manajemen risiko diterapkan untuk fungsi logistik yang luas namun penerapan tersebut masih
dalam organisasi yang berbeda (belum ada integrasi antar organisasi)
4. Level 4 : penerapan manajemen risiko menjadi lebih luas dan terkoordinasi sepanjang rantai pasok
dengan mengikutsertakan peran supplier tingkat pertama dan customer
5. Level 5 : penerapan manajemen risiko diperluas ke rantai pasok yang lebih luas
Terdapat 6 gangguan dasar dalam rantai pasok yaitu (Xanthopoulos et al.,
2011):
1. Gangguan pada aktivitas pasokan
2. Gangguan pada aktivitas transportasi
3. Gangguan pada fasilitas
4. Gangguan pada aliran komunikasi
5. Gangguan pada permintaan
6. Gangguan pada angkutan barang
Risiko dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tipe sebagai berikut (Christopher and Peck, 2004; Manuj and
Mentzer, 2008):
1. Risiko suplai (supply risk)  potensi terjadinya variasi biaya, waktu, kualitas dan variasi lainnya dalam aktivitas
inbound supply sehingga berpengaruh pada kemampuan perusahaan dalam memenuhi kebutuhan konsumen.
2. Risiko permintaan (demand risk) potensi terjadinya variasi pada aliran outbound perusahaan yang dapat
berpengaruh terhadap pesanan customer seperti volume barang kirim, intensitas pengiriman dan lain sebagainya
3. Risiko operasional (operational risk).  variasi yang berpotensi dialami oleh internal perusahaan sehingga
mempengaruhi kemampuan internal perusahaan kaitannya dengan proses produksi seperti dalam hal
kemampuan memperoleh profit, menjaga kualitas, tepat waktu dan lain sebagainya.
4. Risiko keamanan (security risk)  berdampak cukup luas bagi perusahaan; merupakan kejadian yang
berpotensi terjadi akibat terjadinya aktivitas yang berkaitan dengan ancaman terhadap sumber daya manusia,
integritas operasi dan sistem informasi perusahaan sehingga hal terebut memberikan kerugian bagi perusahaan.
Standar Dalam Manajemen Risiko

Berikut beberapa standar manajemen risiko yang dapat digunakan:


a. SOLVENCY II:2012 (Standar manajemen risiko yang digunakan untuk perusahaan asuransi)
b. ISO 31000:2009 (Standar yang berisi prinsip dan pedoman dalam penerapan manajemen risiko)
c. OCEG “Red Book” 2.0:2009 (Model GRC Capability)
d. BS 31100:2008 (Kode dalam praktik manajemen risiko)
e. AS/NZS 4360:2004 (Manajemen risiko yang umumnya digunakan untuk sektor riil)
f. COSO:2004 (Enterprise Risk Management – Integrated Framework yang umumnya digunakan untuk
sektor riil dan finansial)
g. FERMA: 2002 (A Risk Management Standard)
Tahapan manajemen risiko berdasarkan ISO 31000:2009
Tahapan manajemen risiko berdasarkan AS/NZS 4360: 2004
Tahapan manajemen risiko berdasarkan COSO ERM 2004
Terdapat berbagai cara untuk mengidentifikasi risiko. Cara paling mudah untuk mengidentifikasi risiko yang
mungkin terjadi adalah dengan menganalisis melalui kejadian yang lampau. Beberapa alat yang dapat
digunakan untuk menganalisis kejadian lampau tersebut adalah (Waters, 2007):
 Five whys  menanyakan secara berulang penyebab terjadinya suatu event dan kemungkinan hal
tersebut terjadi kembali
 Diagram sebab akibat (Cause and effect diagram)/ fish bone diagram/ishikawa diagram  berisi analisis
sebab akibat dari suatu kejadian sehingga diperoleh akan permasalahannya
 Analisis pareto  dapat menunjukkan bahwa 80% risiko berasal dari 20% sebab. Penggunaan tools ini
mempermudah dalam mengidentifiFkasi risiko mana yang paling berpeluang untuk terjadi lagi.
 Checklists
RAPID AGRICULTURAL SUPPLY CHAIN RISK
ASSESSMENT (RapAgRisk)

RapAgRisk merupakan suatu metode manajemen risiko yang digunakan pada industri
agricultural. Menurut Jaffe (2010), tujuan utama dari RapAgRisk adalah untuk membantu para
pemain rantai pasok memahami risiko yang ada pada komoditas hasil pertanian dan meningkatkan
strategi manajemen risiko yang akan diterapkan pada komoditas pertanian. RapAgRisk menyediakan
pendekatan seluruh sistem mulai dari mengidentifikasi risiko, menentukan tingkat keparahan, potensi
kehilangan, dan pilihan untuk manajemen risiko baik oleh peserta rantai pasokan (individual atau
kolektif) atau oleh pihak ketiga (misalnya, pemerintah).
Tabel Kategori risiko
utama pada rantai
pasok pertanian
STRATEGI DALAM SUPPLY CHAIN RISK
MANAGEMENT

Strategi supply chain management memiliki tiga tujuan yaitu:


a. Cost reduction, dimana strategi yang dijalankan harus dapat meminimalkan biaya logistik. Misalnya
dengan memilih alat atau model transportasi penggudangan, standard dan layanan yang dapat
meminimalkan biaya.
b. Capital reduction, dimana strategi yang digunakan bertujuan untuk meminimalkan tingkat investasi di
dalam strategi logistik. Strategi ini dapat menghasilkan biaya variabel yang lebih tinggi daripada strategi
lain yang membutuhkan level lebih tinggi, tetapi pada saat pengembalian investasi diharapkan dapat
meningkat.
c. Service improvement, dimana aspek pelayanan harus selalu diperbaiki. Walaupun terjadi kenaikan pada
biaya, tetapi ditutupi oleh naiknya level dari logistik pelayanan konsumen dan meningkatnya
pendapatan.
Manuj dan Mentzer (2008) mengelompokkan strategi dalam menangani risiko menjadi enam strategi sebagai berikut:
1. Penundaan (postponement)
Melakukan penundaan terhadap penggunaan sumber daya sehingga proses menjadi lebih fleksibel dan menunda biaya
yang harus dikeluarkan. Strategi ini dapat dilakukan untuk kasus seperti standardisasi, penggunaan produk yang sama
(commonality), dan modular design untuk menunda proses diferensiasi produk.
2. Spekulasi (speculation). Strategi ini merupakan kebalikan dari strategi postponement yang juga dikenal dengan sebutan
pengambilan risiko yang selektif
3. Hedging. Memiliki pemasok dan fasilitas yang tersebar secara global sehingga strategi ini dapat mengurangi dampak dari
risiko
4. Control/share/transfer. Strategi melalui penerapan integrasi vertikal (vertical integration), kontrak dan kesepakatan
5. Sekuritas atau keamanan. Strategi ini meliputi penanganan terhadap keamanan sistem informasi, pelanggaran terhadap
angkutan barang, terorisme, vandalisme, kejahatan, dan sabotase
6. Menghindar (avoidance). Menghindari kondisi yang memiliki risiko seperti menunda untuk masuk ke pasar atau
segmen yang baru atau hanya terjun dalam pasar dengan tingkat ketidakpastian (uncertainty) yang rendah.
Praktik just in time (JIT) merupakan praktik pengelolaan persediaan yang meminimalkan atau
bahkan meniadakan persediaan untuk meningkatkan efisiensi. Pada dasarnya JIT adalah konsep
“pull”, di mana permintaan pada akhir aliran menarik produk terhadap pasar dan di belakang aliran
produk-produk komponen juga ditentukan oleh permintaan yang sama. Hal ini bertentangan secara
tradisional dengan sistem “push” di mana produk diproduksi atau dirakit dalam batch untuk
mengantisipasi permintaan dan diposisikan dalam rantai pasokan sebagai buffer antara berbagai fungsi
dan entitas (Christopher, 2011).
Matrix Matching Products with
Supply Chain (Fisher, 1997)
Struktur Biaya Logistik

Tabel
Komponen
Biaya
Logistik
Profit Margin

Rasio profit margin adalah selisih antara net sales dengan operating expenses (harga
pokok penjualan + biaya adminitrasi ditambah biaya umum), selisih mana dinyatakan
dalam persentase dari net sales. Gross margin ratio adalah merupakan rasio atau
perimbangan antara gross profit (laba kotor) yang diperoleh perusahaan dengan tingkat
penjualan yang dicapai pada periode yang sama (munawir, 2001).
Menurut Simamora (1999) rasio profit margin dapat dibedakan
menjadi empat macam sebagai berikut.
•Gross Profit Margin Ratio
•Net Profit Margin Ratio
•Operating Profit Margin Ratio
•Operating ratio
Value Chain Analysis

Menurut Pearce et al. (2009) istilah rantai nilai (value chain) digambarkan sebagai cara untuk
memandang suatu perusahaan sebagai rantai aktivitas yang mengubah input menjadi output yang bernilai
bagi pelanggan. Nilai bagi pelanggan berasal dari tiga sumber dasar: aktivitas yang membedakan produk,
aktivitas yang menurunkan biaya produk dan aktivitas yang dapat segera memenuhi kebutuhan
pelanggan. Analisis rantai nilai (value chain analysis—VCA) berupaya memahami bagaimana suatu bisnis
menciptakan nilai bagi pelanggan dengan memeriksa kontribusi dari aktivitas-aktivitas yang berbeda
dalam bisnis terhadap nilai tersebut.
Value Chain Analysis

Aktivitas dalam perusahaan menjadi dua kategori umum (Hitt, 2005):


A. Aktivitas Primer (primary activities) yaitu aktivitas yang berkaitan dengan penciptaan fisik produk,
penjualannya dan distribusinya ke para pembeli, dan servis setelah adanya penjualan.
B. Aktivitas Pendukung (support activities) yaitu aktivitas yang membantu perusahaan secara keseluruhan
dengan menyediakan dukungan yang diperlukan bagi berlangsungnya aktivitas-aktivitas primer dilakukan
secara berkelanjutan.
Value Chain Analysis

Analisis value chain mempunyai tiga tahapan yaitu:


1.Mengidentifikasi aktivitas Value Chain
2.Mengidentifikasi Cost driver
3.Mengembangkan Keunggulan Kompetitif

Kategori rantai nilai terdiri dari:


1. Hierarchical/Vertical Value Chains (Supplier-Driven)
2. Captive/Directed Value Chains (Buyer-Driven)
3. Relational Value Chains
Modular atau Balanced Value Chains
4. Market Driven Value Chains
Thank You

Anda mungkin juga menyukai