Anda di halaman 1dari 4

Inertial Navigation System (INS) - Sistem Navigasi Inersial

Sistem navigasi inersial adalah sistem navigasi berbasiskan seperangkat sensor yang
dikenal dengan nama sensor inersial (inertial sensor), yaitu accelerometer dan gyroscope/gyro.
Accelerometer mengukur gerak translasi dan gyro mengukur gerak rotasi dari platform
di mana sensor ini dipasang. Untuk mengukur gerak benda lengkap pada 6 derajat kebebasan
(degree-of-freedom/DOF: 3 translasi dan 3 rotasi), dibutuhkan sepasang triad accelerometer
dan triad gyroscope.
Dalam satu paket, gabungan sensor ini dikenal dengan istilah inertial measurement unit (IMU).
Berdasarkan cara penginderaannya (sensing characteristic) ada 2 jenis pemasangan IMU:
stable-platform system dan strapdown system.
Stable-platform system menggunakan prinsip rigidity-in-space atau kekekalan momentum
sudut. IMU pada stable-platform system tidak berubah orientasinya terhadap kerangka inersial
(misalnya bumi - abaikan revolusi bumi) walaupun kendaraan di mana sensor ini dipasang
berubah orientasi nya (misalnya melakukan gerakan pitch, yaw ataupun roll). Karena sulitnya
perawatan (lubrikasi, dll) dan besarnya ukuran dan putaran sensor yang diperlukan untuk
membuat stable-platform, walaupun sangat akurat, sudah sangat jarang digunakan (terutama
untuk weight-sensitive application seperti pesawat terbang). Tapi sistem ini masih sering
ditemukan pada kapal laut dan submarine (kapal selam).
Strapdown system berlawanan dengan stable-platform system karena sensor ini ikut berputar
dengan kendaraan di mana sensornya dipasang. Dengan demikian, sensor pada strapdown
system selalu mengukur rotasi dan translasi pada kerangka kendaraan.
Gyroscope adalah sensor yang digunakan untuk mengukur rotasi. Berdasarkan jenis
output-nya, ada 2 jenis gyroscope: rate-integrating gyro dan rate gyro.
Rate-integrating gyro mengeluarkan perubahan sudut (menghitung seberapa banyak kendaraan
sudah berputar), dan rate gyro menghitung seberapa cepat kendaraan berputar. Kedua-duanya
menghitung rotasi kendaraan. Berdasarkan cara mengukur rotasi, ada beberapa kategori gyro:
mechanical gyro (menggunakan flywheel, sudah tidak populer), ring laser gyro (RLG - dominasi
oleh Honeywell), fiber optic gyro (FOG - dominasi Northrop Grumann, dulu Litton),
MEMS/Solid-state gyro. Harga gyro mulai dari puluhan ribu dollar sampai satu dollar per axis,
semuanya tergantung akurasi yang dibutuhkan.
Accelerometer sebenarnya salah nama. Accelerometer tidak mengukur akselerasi/percepatan,
tetapi mengukur specific force atau gaya per satuan massa. Ini perlu diingat karena setiap
benda mengalami percepatan gravitasi bumi walaupun tidak bergerak sama sekali;
accelerometer mengukur juga percepatan gravitasi bumi sehingga dalam kalkulasinya, gravitasi
adalah komponen yang harus dikompensasi. Dalam sistem navigasi inersial, accelerometer
umumnya jauh lebih murah dibandingkan gyro karena perkembangannya juga jauh lebih cepat
daripada teknologi gyro.
Sistem navigasi inersial (INS) adalah suatu sistem yang terdiri dari sensor inersial (IMU)
dan seperangkat komputer yang menghitung posisi, kecepatan (groundspeed), dan orientasi
(attitude) dari kendaraan (misalnya pesawat terbang). INS menggunakan prinsip hukum kedua
Newton untuk menghitung ketiga besaran tersebut. Artinya, kecepatan diperoleh dengan
menghitung integral dari percepatan, posisi dihitung dengan menghitung integral kecepatan.
Karena pada dasarnya proses menghitung integral adalah proses penjumlahan, error yang
sangat kecil akan terakumulasi menjadi besar setelah melakukan proses ini untuk jangka waktu
yang sangat panjang.
Berdasarkan tingkat akurasinya, berikut ini adalah klasifikasi inertial navigation system:
1. Strategic grade. Dipakai di pesawat luar angkasa ataupun submarine, error < 100 ft
setelah 1 jam.
2. Navigation grade. Dipakai di pesawat komersial, error < 1 nm setelah 1 jam.
3. Tactical grade. Dipakai di missile, smart weapon, error < 10 nm setelah 1 jam.
4. Automotive/consumer grade. Sensor murah, dipakai di mobil, robot, dll, error pada level
100 nm setelah 1 jam.
Oleh karena proses integral memerlukan initial conditions (nilai awal), setiap sistem yang
menggunakan tenologi inersial dimulai dengan fase yang dikenal sebagai alignment. Proses ini
memasukkan nilai awal untuk posisi, kecepatan dan orientasi dari pesawat. Pada proses
alignment ini, biasanya pesawat dalam kondisi statik (diam) sehingga nilai untuk kecepatan
awal adalah nol.
Nilai awal untuk lokasi didapat dari gate, koordinat yang sudah di-survey. Proses penentuan
orientasi awal dibagi menjadi 2 tahap: levelling dan gyrocompassing.
Levelling menggunakan accelerometer untuk menentukan posisi level (datar terhadap horizon)
dengan menggunakan komponen gravitasi. Proses levelling menghitung pitch dan roll pesawat.
Gyrocompassing menggunakan komponen rotasi bumi untuk menghitung true heading dari
pesawat. Hanya INS dengan tactical grade ke atas yang bisa melakukan proses gyrocompassing.
Proses alignment dibagi menjadi 2 yang dikenal sebagai: coarse alignment dan fine alignment
(kurang lebih sekitar 15 menit). Fine alignment menggunakan filter untuk menghitung orientasi
pesawat dengan akurat.
GPS di bidang penerbangan.

Sesungguhnya prinsip teknologi yang digunakan GPS ini sudah exist cukup lama di bidang
penerbangan. Prinsipnya persis sama dengan DME (Distance Measuring Equipment), oleh
komunitas yang bergerak di bidang navigasi, dikenal dengan istilah rho-rho
ranging atau distance-distance ranging. Dan seperti DME system, GPS operation adalah line-of-
sight operation yang artinya apabila anda tidak dapat melihat pemancar sinyalnya (DME atau
Satelit GPS), entah karena terhalang tembok ataupun karena bumi itu bulat, kita tidak bisa
menggunakan sinyalnya.

Karena letak DME station di permukaan bumi (yang bulat), hal ini membuat DME sangat
terbatas jangkauan operasionalnya. Selain itu, karena perhitungan distance dengan DME
menggunakan sistem interogasi, kapasitas nya juga terbatas.

Lahirnya GPS yang ditempatkan di angkasa dibandingkan stasiun DME yang ada di darat,
memungkinkan jangkauan global untuk penentuan posisi. Selain itu, akurasi GPS juga
memungkinkan untuk mencapai apa yang dikenal sebagai RNP (Required Navigation
Performance). Lahirnya GPS telah membuka suatu wawasan baru untuk dunia aviasi, akurasi
selama enroute dan approach juga lebih terjamin.

GPS vs INS

Dalam dunia navigasi, kita kenal 2 metode untuk menentukan lokasi user: position
fixing dan dead reckoning. Contoh position fixing system adalah GPS, DME, VOR, etc.
Contoh dead reckoning adalah pemetaan, timing dan INS.

Dead reckoning adalah suatu cara penentuan lokasi user dengan menggunakan informasi
tentang posisi awal dan kecepatan (atau percepatan). Contoh paling sederhana adalah apabila
kita tahu bahwa pesawat kita bermula dari Soekarno-Hatta di koordinat sekian, dengan
mengetahui kecepatan dan arah terbang kita (dan menggunakan informasi angin), kita bisa
menghitung posisi pesawat tersebut setelah sekian menit terbang.

Dalam pesawat ada yang disebut sebagai INS - Inertial Navigation System. System ini terdiri dari
2 komponen sensor utama, akselerometer dan gyroscope. Akselerometer mengukur
percepatan gerak pesawat dan gyroscope menentukan rotasi pesawat (nose up/down, roll
left/right, yaw left/right).

Walaupun INS self-contained (artinya dapat digunakan tanpa ada bantuan dari alat eksternal -
bandingkan dengan GPS yang membutuhkan satelit), tetapi akurasinya sangat rendah.
Bayangkan ketika anda tidak mengetahui posisi awal anda dengan sangat akurat (misalnya anda
awalnya sebenarnya berada di Halim tapi anda mengira anda ada di Soekarno-Hatta), atau anda
tidak mengetahui arah terbang anda dengan akurat (misalnya anda kira anda terbang di
heading 090 sementara sebenarnya anda terbang di heading 089), setelah 1 jam terbang,
perkiraan anda tentang di mana anda berada bisa melenceng jauh dengan kenyataannya.

INS yang ada di pesawat walaupun sangat akurat, setelah 1 jam terbang juga memiliki error
yang cukup significant. Harga INS yang ada di pesawat, satu set sistemnya bisa mencapai harga
ratusan juta rupiah, dan di setiap pesawat punya beberapa set sistem ini
untuk redundancy (umumnya 3).

Lahirnya GPS system dapat membantu untuk mempertahankan akurasi solusi navigasi yang
dihasilkan. Hal ini dapat digambarkan demikian. Misalnya anda mengira anda terbang di
heading 089 padahal anda terbang di heading 090. Setelah 1 jam terbang anda bakal mengira
anda di satu tempat yang berbeda dengan tempat anda sebenarnya berada. Namun, dengan
adanya GPS, anda bisa membandingkan posisi yang diberikan GPS dan posisi yang anda ukur
dengan dead reckoning, kemudian mungkin anda bisa mengambil rata-ratanya (ingat GPS juga
tidak error-free: ada level akurasi nya).

Kalau GPS memang sedemikian baik, mengapa masih memiliki berbagai system lain?
Bukankah itu buang-buang duit saja (mis. untuk maintenance)?

Walaupun GPS sangat baik, namun GPS tidak fault-free dan tidak error-free. GPS signal sudah
terbukti sangat mudah untuk diacak (signal jamming).

Selain itu, penggunaan GPS juga hanya bisa untuk low bandwidth system. GPS receiver pada
umumnya memberikan solusi navigasi (misalnya posisi) setiap 1 detik. Apabila kita
menginginkan informasi posisi kita setiap 0.0001 detik misalnya, ini tidak bisa diberikan oleh
GPS. Pesawat yang bermaneuver (misalnya akrobatik) adalah contoh system dengan high
bandwidth. Kalau kita menginginkan detail dari posisi pesawat tersebut sampai ke 0.0001 detik
misalnya, GPS tidak bisa memberikan informasi tersebut. Berbeda dengan INS, INS dapat
memberikan informasi posisi untuk system dengan high bandwidth. Hal ini menyebabkan
integrasi antara INS dan GPS sangat menguntungkan. INS dapat memberikan informasi dengan
cepat dan GPS dapat mempertahankan akurasi solusi tersebut.

Ada berbagai macam aplikasi dari GPS, misalnya differential positioning, dll. Semoga thread ini
bisa jadi tempat diskusi untuk memperdalam pengetahuan tentang GPS.

Anda mungkin juga menyukai