Anda di halaman 1dari 6

PENDAHULUAN

Potensi sumber daya alam indonesia sangat


melimpah merupakan faktor pendukung dalam
pemanfaatan zat warna alam. Salah satu di
antaranya adalah getah pohon pisang. Produk tekstil
menggunakan zat warna kimia sudah dibatasi
karena berbahaya, dan tidak ramah lingkungan.
Untuk menggantikan zat warna kimia, penggunaan
zat warna alam banyak diminati karena lebih murah,
mudah diperoleh, aman, warna yang dihasilkan
sangat khas dan etnik, sehingga memiliki nilai jual
yang tinggi. Jika getah pohon pisang menempel
pada pakaian, maka tidak dapat dihilangkan dengan
deterjen dengan kualitas unggul sekalipun. Padahal,
dibidang kesehatan, getah pohon pisang dapat
digunakan sebagai pengobatan alternatif. Bila
anggota tubuh terkena goresan benda tajam dengan
luka yang terlalu dalam dan berdarah, jika luka
tersebut diolesi getah pohon pisang maka akan
mengering sehingga tidak dapat kemasukan kuman
dan virus yang dapat menyebabkan infeksi.
Getah pohon pisang mengandung senyawa
tanin yang merupakan pigmen yang memberikan
warna coklat. Zat warna alami biasanya digunakan
langsung dalam bentuk ekstrak dari sumbernya,
baik dalam bentuk ekstrak cair pekat maupun
dalam bentuk serbuk. Dalam penelitian ini getah
pohon pisang diolah sebagai pewarna alami dalam
bentuk ekstrak cair pekat sehingga akan lebih
mudah dalam penggunaan dan penyimpanannya.
Kemudian ekstrak zat warna yang dihasilkan diuji
melalui pewarnaan pada kain dan pengujian tahan
luntur warna dalam alat spectofotometer.

Penelitian ini bertujuan untuk mengekstrak
senyawa tanin yang terkandung di dalam getah
pohon pisang untuk digunakan sebagai zat warna
tekstil. Penelitian dilakukan untuk mengetahui
perbedaan kualitas warna kain katun dan kain sutera
yang dicelup pada zat warna alam dari getah pohon
pisang. Kualitas warna kain katun dan sutera diukur
dengan cara mengetahui ketahanan luntur dari kain
yang telah dicelup ke dalam zat warna dengan
menggunakan larutan fixer (pengunci warna) yang
diuji dengan alat spectofotometer.

TINJAUAN PUSTAKA
Pisang termasuk tanaman dalam family
Musceceae. Pisang adalah tanaman buah berupa
herba yang berasal dari kawasan Asia tenggara
(termasuk Indonesia). Tanaman ini kemudian
menyebar ke Afrika (Madagaskar), Amerika Selatan,
dan Amerika Tengah (Pudjatmoko, 2004).
Getah pisang mengandung tanin dan asam
galat. Tanin merupakan pigmen pewarna alami
berupa zat pewarna coklat. Tanin disebut juga asam
tanah (C
4
H
10
O
9
) dan merupakan kelompok senyawa
nabati yang bersifat asam, aromatik, dan memberi
rasa kesat. Membentuk larutan biru tua atau hitam
dengan larutan ferri, larutannya dalam basa
menyerap (bereaksi) dengan oksigen (Pudjatmoko,
2004).
Pengambilan zat warna alami dilakukan
dengan proses ekstraksi. Ekstraksi merupakan
proses pemisahan suatu komponen dari suatu bahan
yang terdiri dari 2 atau lebih komponen dengan
jalan melarutkan salah satu komponen dengan
pelarut yang sesuai (Kwartiningsih.dkk, 2009).
Semakin tinggi suhu operasi maka zat warna
yang diperoleh semakin banyak. Hal ini disebabkan
karena dengan kenaikan suhu maka kelarutan zat
warna juga meningkat karena banyak zat warna
yang dapat terlarut dalam pelarut, sehingga dari
beberapa variasi suhu yang telah dicoba maka suhu
optimal 70
o
C (Kwartiningsih.dkk, 2009).
Proses pewarnaan tekstil secara sederhana
meliputi mordanting, pewarnaan, fiksasi, dan
pengeringan. Mondarting adalah perlakuan awal
pada kain yang akan diwarnai agar lemak, minyak,
kanji, dan kotoran yang tertinggal pada proses
penurunan dapat dihilangkan. Dalam proses ini kain
dimasukkan dalam larutan tawas yang akan
dipanaskan sampai mendidih. Proses pewarnaan
dilakukan dengan pencelupan kain pada zat warna.
Proses fiksasi adalah proses mengunci warna kain.
Proses ini dapat dilakukan dengan air atau tawas
(Fitrihana, 2007).
Pada pencelupan bahan tekstil dengan zat
warna alam dibutuhkan proses fiksasi yaitu proses
penguncian warna setelah bahan dicelup dengan zat
warna alam agar memiliki ketahanan luntur yang
baik. Ada 3 jenis larutan fixer yang biasa dilakukan
yaitu tunjung (FeSO
4
), tawas (Al
2
(SO
4
)
3
), dan kapur
(CaCO
3
). Untuk itu sebelum melakukan pencelupan
kita perlu menyiapkan larutan fixer terlebih dahulu
dengan cara melarutkan 50 gram kapur dalam tiap
liter air yang digunakan, biarkan mengendap dan
ambil larutan beningnya (Fitrihana, 2007).
Zat warna adalah bahan pewarna yang
mudah larut dalam air, atau dilarutkan dalam air,
serta mempunyai daya tarik terhadap serat. Zat
warna dipilih menurut jenis bahan yang akan
dicelup, ketahanan, dan warna yang diinginkan.
Ada beberapa indikator kualitas hasil
pencelupan antara lain (Kusumawati, 2008):
1. Ketuaan Warna
Ketuaan warna hasil celup akan diperoleh
jika pada saat proses pencelupan zat warna masuk
ke dalam bahan secara maksimal. Oleh karena itu,
ketuaan warna dipengaruhi oleh daya serap kain,
kesesuaian jenis zat warna dengan jenis kain.
Ketuaan warna dipengaruhi oleh
perbandingan larutan (Rasyid Djufri 1976:121),
yaitu perbandingan antara jumlah larutan dengan
bahan tekstil yang dicelup. Warna tua diperoleh
pada perbandingan larutan yang rendah, dimana zat
warna yang terserap lebih besar daripada yang
terlepas dalam larutan.
2. Ketahanan Luntur Warna
Luntur dapat diartikan sebagai peristiwa
berkurangnya zat warna atau hilangnya warna (Tim
Bahasa Pustaka Agung Harapan 2003:374).
Terlepasnya zat warna dalam pencucian
mengakibatkan kapasitas warna kain meupun motif
berkurang. Kain yang tahan luntur adalah kain yang
awet warnanya dan suhu untuk menentukan kualitas
warna dilakukan pengujian ketahanan luntur (colour
hardness).
Ada beberapa macam ketahanan luntur,
yaitu ketahanan luntur terhadap sinar, pencucian,
gosokan, penyetrikaan. Nilai ketahanan luntur ini
tergantung sifat dari serat, zat warna, dan end use
dari bahan tekstilnya (Wibowo Moerdoko
1975:151).
Pengujian tahan luntur warna dilakukan
dengan mengamati adanya perubahan warna asli
dari contoh uji, menggunakan standar skala abu-abu
(grey scale) untuk menilai perubahan warna contoh
uji, dan standar skala penandaan (staining scale)
untuk menilai penandaan warna pada kain putih
(Wibowo Moerdoko 1975:152).
Dalam pengujian ketahanan luntur ini bahan
tekstil direndam larutan sabun dan dikenai gerakan-
gerakan mekanik. Bila ikatan antara zat warna dan
serat kuat, warna pada bahan tidak luntur. Setelah
pencucian, air pencucian menjadi berwarna. Hal ini
karena selama proses penyabunan berjalan zat
warna yang hanya menempel pada permukaan serat
atau yang masuk kedalam serat dengan tidak
sempurna akan lepas dari bahan tekstil. Zat warna
yang lepas ini bila masih aktif akan melunturi bahan
tekstil lain yang ada dalam larutan pencuci. Banyak
sedikitnya zat warna yang mampu melunturi
ditunjukkan oleh staining scale (SS, skala
penandaan). Sedangkan perubahan warna sebelum
dan sesudah pencucian ditunjukkan oleh grey scale
(GS, skala abu-abu). Kuat lemahnya warna pada
bahan atau ikatan serat dan zat warna dipengaruhi
oleh ketetapan suasana fiksasi dan posisi molekul
zat warna yang ada dalam serat (Hasanudin.dkk,
2001).
METODOLOGI PENELITIAN
Bahan baku yang digunakan adalah getah
pohon pisang dari batang pohon pisang kepok.
Bahan baku diambil dari daerah Klaten, Jawa
Tengah. Bahan pembantu yang digunakan untuk
pewarnaan dan uji tahan luntur terhadap pencucian
adalah Tunjung (FeSO
4
), Tawas (Al
2
(SO
4
)
3
),
Natrium karbonat/soda abu (Na
2
CO
3
), Kapur tohor
(CaCO
3
), detergent, kain katun putih dan kain sutera
putih, dan akuades.
Proses ekstraksi dilakukan dengan merebus
batang pohon pisang yang telah dipotong-potong
sebanyak 500 gram dan menambahkan air dengan
perbandingan pelepah pisang dan air 1:10. Cairan
zat pewarna yang dihasilkan selanjutnya diuji
melalui proses pewarnaan pada kain yang meliputi
proses mondarting , pewarnaan, fiksasi, dan
pengeringan. Kualitas warna kain diukur dengan
cara mengetahui ketahanan luntur dari kain yang
telah dicelup ke dalam zat warna dengan
menggunakan larutan fixer (pengunci warna)
dengan variasi waktu fiksasi yaitu 5 menit, 10 menit,
dan 15 menit. Larutan fixer yang digunakan adalah
larutan FeSO
4
, larutan Al
2
(SO
4
)
3
, dan larutan
CaCO
3
. Zat warna yang dihasilkan dianalisis
spektofotometri.


HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari penelitian yang telah dilakukan,
didapatkan data absorbansi zat warna dari getah
pohon pisang kepok sebagai berikut:
Tabel 1. Data Absorbansi Zat Warna Pada
Kain Katun Dari Getah Pohon
Pisang
Larutan
Fixer
Waktu Fiksasi
5
Menit
10
Menit
15
Menit
FeSO
4
0,107 0,022 0,021
Al
2
(SO
4
)
3
0,006 0,004 0,002
CaCO
3
0,026 0,012 0,006


Tabel 2. Data Absorbansi Zat Warna Pada
Kain Sutera Dari Getah Pohon
Pisang
Larutan
Fixer
Waktu Fiksasi
5
Menit
10
Menit
15
Menit
FeSO
4
0,013 0,011 0,010
Al
2
(SO
4
)
3
0,022 0,019 0,012
CaCO
3
0,008 0,007 0,005

Pada penelitian ini digunakan bahan getah
pohon pisang sebagai zat warna pada kain katun dan
kain sutra. Dan juga digunakan larutan fixer untuk
mengetahui ketahanan luntur dari zat warna. Pada
proses pencelupan bahan tekstil dengan zat warna
alam dibutuhkan proses fiksasi (fixer) yaitu proses
penguncian warna setelah bahan dicelup dengan zat
warna alam agar warna memiliki ketahanan luntur
yang baik. Ada 3 jenis larutan fixer yang biasa
digunakan yaitu FeSO
4,
Al
2
(SO
4
)
3,
dan CaCO
3
.
Analisis yang digunakan dalam penelitian
ini adalah analisis spektofotometri dimana analisis
ini dapat dipakai untuk mengukur panjang
gelombang zat warna. Prinsip penyerapan cahaya
oleh larutan berwarna dapat pula digunakan
terhadap permukaan kain atau kertas berwarna.
Dalam hal ini cahaya yang diamati bukanlah cahaya
yang ditransmisikan dari sumber cahaya secara
langsung seperti pada larutan berwarna. Tetapi yang
teramati adalah cahaya yang direfleksikan oleh
permukaan berwarna ke segala arah dan
intensitasnya telah berkurang dibandingkan dengan
cahaya dari sumber cahaya asalnya. Salah satu
fungsi terpenting dari spektofotometer dalam bidang
tekstil adalah mengukur kurva reflektasi terhadap
bahan. Kemudian kurva reflektansi tersebut
dikonversikan ke persamaan Kubelka-Munk.
Persamaan Kubelka-Munk yang umumnya
digunakan adalah:



Dimana:
K = koefisien penyerapan cahaya
S = koefisien penghamburan cahaya
R = cahaya yang dipantulkan (reflektansi)


Grafik 1. Grafik Hubungan Waktu Fiksasi
dengan Ketahanan Luntur (K/S) pada
Kain Katun.

Grafik 2. Grafik Hubungan Waktu Fiksasi
dengan Ketahanan Luntur (K/S) pada
Kain Katun

Dari grafik 1 dan 2 dapat diketahui bahwa semakin
lama waktu fiksasi kain katun pada larutan fixer
maka nilai ketahanan lunturnya (K/S) semakin
tinggi, hal ini dikarenakan semakin lama kain katun
dicelupkan pada larutan fixer, maka zat warna yang
terlepas semakin berkurang sehingga zat warna
yang menempel pada kain katun akan semakin kuat
dan warna kain akan semakin tua. Larutan zat warna
terfiksasi terbaik digunakan pada kain katun adalah
larutan Al
2
(SO
4
)
3
dengan waktu pencelupan 15
menit menghasilkan nilai 24999. Sedangkan untuk
kain sutera yang paling baik adalah larutan CaCO
3

dengan waktu pecelupan 15 menit menghasilkan
nilai ketahanan luntur 9999.
KESIMPULAN
Dari penelitian yang telah dilakukan dapat
disimpulkan bahwa larutan fixer yang paling baik
digunakan untuk kain katun adalah larutan
Al2(SO4)3 dengan waktu fiksasi 15 menit,
sedangkan untuk kain sutera larutan fixer yang
paling baik digunakan adalah larutan CaCO3
dengan waktu fiksasi 15 menit.
DAFTAR PUSTAKA
Djufri, Rasyid. 1976. Teknologi Pengelantangan,
Pencelupan, dan Pengecapan. Bandung :
Institut Teknologi Tekstil.
Fitrihana, N. 2007. Teknik Eksplorasi Zat Warna
Alam Dari Tanaman di Sekitar Kita Untuk
Pencelupan Bahan Tekstil,.
www.batikyogya.com.
Kusumawati, dkk. 2008. Pemanfaatan Daun
Tembakau Untuk Pewarnaan Kain Sutra
dengan Mordan Jeruk Nipis. Semarang:
UNNES Press.



0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
0 10 20
K
/
S

Waktu Fiksasi (menit)
KAIN KATUN
fixer FeSO4
fixer
Al2(SO4)3
fixer CaCO3
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
0 20 40
K
/
S

waktu Fiksasi (menit)
KAIN SUTERA
fixer FeSO4
fixer
Al2(SO4)3
fixer CaCO3
Kwartiningsih, E., Setyawardani, DA., Wiyatno, A.,
dan Triyono, A. 2009. Zat Warna Alami
Tekstil dari Kulit Buah Manggis. Jurnal
Ilmiah Teknik Kimia Equilibrium, ISSN :
1412-9124.
Hasanudin, dkk. 2001. Penelitian Penerapan Zat
Warna Alam dan Kombinasinya pada
Produk Batik dan Tekstil Kerajinan
Yogyakarta. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik.
Moerdoko, W. 1975. Evaluasi Tekstil
Bagian Kimia. Bandung : Institut
Teknologi Tekstil.
Pudjatmoko, H.A. 2004. Kamus Kimia.
Balai Pustaka. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai