PENDAHULUAN
Salah satu aplikasi teknik pewarna alami yang saat ini tengah populer yaitu
teknik ecoprint. Ecoprint merupakan suatu proses pengaplikasian secara langsung
pada kain dengan mentransfer warna dan bentuk dari bahan alami (Flint, 2008).
Teknologi ecoprint digunakan untuk menghias permukaan kain degan bahan-
bahan alami dalam berbagai bentuk dan warna (pewarnaan). Hasil dari ecoprint
memiliki ciri khas tersendiri dari teknik pewarnaan dan motif yang menambah
daya tarik produk yang dihasilkan. Hal ini mendorong pengembangan ecoprint
terus dilakukan untuk menghasilkan kualitas pewarnaan yang baik.
Ecoprint dapat menggunakan berbagai jenis daun sebagai bahan utama dalam
pembuatannya. Pada penelitian Fazruza dkk., (2018) disebutkan bahwa jenis daun
jati dapat digunakan sebagai zat pewarna alam pada kain dengan teknik ecoprint
yang menghasilkan warna merah muda keunguan hingga warna kuning
kecoklatan. Hal tersebut didukung oleh Saraswati (2018) yang menyatakan bahwa
daun jati memiliki kandungan antosianin sebagai penghasil pewarna alami berupa
warna merah, ungu atau biru. Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Nuraeni
dkk., (2020) bahwa pengujian pewarnaan dan motif dari beberapa jenis tumbuhan
khususnya bagian daun dihasilkan dengan jati menghasilkan warna merah sampai
ungu tua dengan motif daun dan tulang daun tercetak dengan jelas, akasia
menghasilkan motif daun yang terbentuk dengan warna kuning muda, pada daun
eboni menghasilkan motif jelas dengan warna krem (comsilk), dan daun paku
menghasilkan warna kuning blur dengan motif daun yang kurang jelas. Dalam
penelitian Husna (2016) juga diperoleh bahwa daun kayu putih menghasilkan
warnaa hijau kekuningan dengan motif yang tercetak jelas.
Setiap tumbuhan dapat dijadikan sebagai bahan pewarna kain dengan setiap
tanaman menghasilkan warna yang berbeda. Hasil tersebut tergantung pada
musim, intensitas hujan, udara, dan kualitas tanah (Husna, 2016). Dalam
Saraswati dkk. (2019) hasil ecoprint daun jati akan menghasilkan warna yang
berbeda tergantung dari daerah mana daun itu diperoleh. Hal tersebut disebabkan
karena jenis tanah tempat tumbuh jatinya yang berbeda sehingga menghasilkan
tanin yang berbeda. Maka dari itu diambil beberapa jenis tumbuhan dari KHDTK
Wanagama untuk mengetahui potensi beberapa jenis daunnya sebagai ecoprint.
Kondisi KHDTK Wanagama termasuk kawasan karst yang biasanya gersang dan
kurang air terutama pada musim kemarau didukung dengan kondisi tanah tempat
tersebut yang sebagian besar memiliki ketebalam tanah tipis dan berbatu yang
dapat berpengaruh terhadap proses daur ulang bahan organic tanah untuk
mendukung pertumbuhan tanaman di daerah tersebut. Pertumbuhan tanaman
tersebut juga berpengaruh terhadap kandungan warna daun yang berbeda setiap
berbeda tapak. Penggunaan pewarna alami berbagai jenis tumbuhan dari hutan
akan memberikan nilai tambah. Sehingga, dapat dimanfaatkan bahan tersebut
selain manfaat utama vegetasi hutan itu sendiri. Adanya jenis tumbuhan yang
beragam baik asli maupun hasil eksplorasi nusantara dari KHDTK Wanagama
dapat diteliti lebih lanjut mengenai pewarna alam yang berpotensi untuk
mengetahui jenis-jenis daun yang baik untuk ecoprint. Pemanfaatan daun dari
tumbuhan yang berbeda-beda ini dapat memberikan corak dan warna yang
beraneka ragam pada kain. Corak dan warna yang beragam dari daun sangat
menarik untuk dikembangkan karena cukup diminati oleh masyarakat luas
(Saraswati dkk., 2019). Selain dari jenis daun yang digunakan, hasil pewarnaan
ecoprint juga dipengaruhi oleh bahan fiksasi dan mordant yang digunakan.
Hasil ecoprint memiliki kelemahan pada daya tahan lunturnya yang kurang
stabil sehingga menyebabkan kualitas hasil pewarnaan dapat berkurang. Oleh
karena itu, perlu dilakukan proses fiksasi zat warna untuk memperoleh ketahanan
luntur yang tinggi (Saraswati, 2018). Fungsi dari fiksasi yaitu untuk memperkuat
warna dan mengubah zat warna alam sesuai dengan jenis logam yang mengikat
serta untuk mengunci zat warna yang masuk ke dalam serat. Menurut Pujilestari
(2014), dengan perlakuan fiksasi yang berbeda dapat mempengaruhi arah warna
menjadi berbeda. Jenis fiksasi tawas yang umum digunakan di industri biasanya
menghasilkan warna kuning keemasan sedangkan dengan tunjung menghasilkan
warna yang lebih tua dan cenderung kearah hijau ke abu-abuan. Dalam
Darmawati (2016) kelebihan bahan fiksasi tunjung (FeSO4) mampu mengikat
warna lebih kuat dibandingkan dengan bahan fiksasi tawas yang mempunyai
kekuatan yang lemah. Konsentrasi bahan fiksasi tidak berpengaruh terhadap
kekuatan mengikatnya, tetapi bahan fiksasi tunjung mampu memberikan
intensitas warna lebih gelap daripada tawas ( terang). Bahan fiksasi tunjung
memiliki pengaruh pada ketahanan luntur warna yang kuat terhadap gosokan
dibandingkan dengan bahan tawas yang lemah. Hal ini menyebabkan
diperlukannya penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh bahan fiksasi dari tawas
dan tunjung terhadap hasil ecoprint.
TINJAUAN PUSTAKA
Pada dasarnya ada dua jenis pewarna tekstil, sintetis (buatan manusia) dan
alami. Pewarna alami dapat diperoleh dari tumbuhan tingkat tinggi, jamur, dan
hewan. Menurut Her dan Eka (2002), pewarna alam adalah pewarna yang
diperoleh secara langsung maupun tidak langsung dari alam atau tumbuhan.
Setiap tanaman dapat menjadi sumber ZPA karena mengandung pigmen alami.
Potensi ini tergantung pada intensitas warna yang dihasilkan dan sangat
tergantung pada jenis zat pewarna yang ada.
Coloring Matter adalah zat yang menentukan arah warna dalam pewarna
alami dan merupakan senyawa organic yang bergantung pada sumber pewarna
alami. Suatu spesies tumbuhan dapat mengandung lebih dari satu pigmen. Potensi
sumber zat warna alam tergantung pada jenis pewarna yang tesedia (Hasanudin,
2001). Awalnya pewarna alami diekstraksi dari bagian tumbuhan dengan cara
direbus, difementasi atau direndam pada suhu kamar (Lestari dan Suprapto,
2000). Zat warna alami terdapat pada bagian tumbuhan seperti daun, batang, kulit
kayu, bunga, buah, akar, getah, dan lain-lain dengan kadar dan jenis pigmen yang
berbeda-beda ( Lestai Kun, 2002).
2.2.1 Akasia
2.2.1.1 Tata Nama Akasia
Kingdom : Plantae
Diviso : Spermatophytha
Class : Dicotyledoneae
Ordo : Rosales
Familia : Fabaceae
Subfamilia : Mimosoideae
Genus : Acacia
Daun majemuk dimiliki oleh anakan Akasia yang baru berkecambah yang
terdiri dari banyak anak daun mirip dengan Albizia, Leucaena, dan jenis lain
berasal sub-marga Mimosoidae. Setelah beberapa minggu, tangkai daun serat
sumbu utama pada setiap saun beragam akan tumbuh melebar serta berubah
sebagai filodia (daun semu). Filodia berbentuk sederhana dengan tulang daun
pararel serta panjangnya dapat mencapai 25 cm serta lebar 10 cm. Terdapat bunga
Akasia yang tersusun dari banyak bunga kecil berwarna putih atau krem seperti
paku. Ketika mekar, bunga akan menyerupai sikat botol dengan aroma yang
relative harum. Bunga akan berkembang setelah terjadi pembuahan menjadi
poloong-polong hijau lalu berubah menjadi buah masak berwarna cokelat gelap.
Bijinya berwarna hitam mengkilap menggunakan aneka macam variasi bentuk
berbentuk elips, bulat telur, dan longitudinal. Pada biji Akasia melekat pada
pangkal tangkai yang berwarna oranye-merah (Retnowati, 1988).
Tumbuhan yang mempunyai kadar tannin yang tinggi salah satunya yaitu
akasia berkisar antara 15-50% berasal dari bobot kering (Pandiangan, 2017). Daun
Akasia terdapat kandungan polifenol alam berupa tannin, saponin, serta kadar
selulosa tinggi (Hasfita, 2017) dan flavonoid yang merupakan senyawa.
Kandungan ini memiliki gugus –OH terikat yang bisa mengikat logam berat
melalui pertukaran ion (Hasfita, 2011). Pada Penelitian sebelumnya melalui
metode uji skrining fitokimia, ekstrak daun Akasia mengandung senyawa
alkaloid, flavonoid, steroid/triterpenoid, saponin, dan fenolik (Setyaningrum et al.,
2017).
2.2.2 Jati
2.2.2.1 Tata Nama Jati
Kingdom : Plantae
Diviso : Spermatopytha
Class : Dicotyledoneae
Ordo : Lamiales
Familia : Lamiaceae
Genus : Tectona
Spesies : Tectona grandis L.f.
Sebaran Jati paling banyak tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
hingga 650 meter di atas permukaan laut. Wilayah Blora, Grobogan, dan Pati
merupakan wilayah dengan persebaran Jati yang paling luas dan terluas,
menghasilkan Jati kualitas terbaik di tanah kapur Kabupaten Blora di Jawa
Tengah. Selain itu, menyebar di Bali, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara dan
Sumbawa (Saraswati et al., 2019).
Daun Jati umumnya berbentuk bulat telur terbalik dan besar dengan
permukaan daun yang berbulu halus dan mempunyai rambut kelenjar di
permukaan bawah. Daun Jati muda memiliki warna kemerahan dan akan
mengeluarkan getah berwarna merah darah apabila diremas. Daun Jati tua
berwarna hijau tua keabu-abuan sedangkan daun muda berwarna hijau kecoklatan.
Ukuran daun Jati bisa mencapai sekitar 60-70 cm atau lebih. Daunnya terletak
saling berhadapan dan Daun Jati banyak digunakan dalam kemasan makanan,
terutama di Yogakarta dan Jawa Timur. Daun Jati juga dapat digunakan membuat
ecoprint karena pola dan warna yang unik. Ungu dan merah akan dihasilkan dari
ekstrak daun Jati. Hasil ecoprint daun Jati akan menghasilkan warna yang
berbeda-beda tergantung dari daerah asal daun. Hal ini mungkin disebabkan oleh
perbedaan jenis tanah tempat Jati tumbuh, sehingga menghasilkan penyamakan
yang berbeda (Saraswati et al., 2019).
2.2.2.4 Kandungan Pigmen Warna Daun Jati
2.2.3 Paku
2.2.3.1 Tata Nama Paku
Kingdom : Plantae
Diviso : Pteridophyta
Class : Pteridopsida
Ordo : Polypodiales
Familia : Dryopteridaceae
Genus : Nephrolepis
Paku ini tumbuh di tanah yang lembab, bebatuan, dan beriklim tropis.
Habitat tanaman Paku ini adalah terrestrial dan epifit. Tanah tempat tumbuh
tanaman Paku-pakuan ini bersifat masam, dengan pH tanah 6,18 dan suhu
lingkungan sekitar 28-31 °C, yang berarti suhu tempat tumbuh tanaman Paku
relatif normal. Biasanya ditemukan di dataran rendah dan pegunungan, hanya di
tempat yang lembab dan teduh. Tanaman ini berlimpah di hutan yang kurang
kering, hutan rumput dan pinggiran hutan (Ernawati et al., 2018). Tanaman Paku
lebih melimbah di pegunungan daripada di dataran rendah. Beberapa faktor
lingkungan seperti kelembaban yang tinggi, kadar air yang tinggi, adanya kabut
dan curah hujan yang tinggi dapat mempengaruhi jumlah tanaman paku yang
tumbuh (Sastrapradja et al., 1980).
Manfaat tanaman Paku bagi alam dalam menjaga ekosistem hutan antara
lain pembentukan tanah, perlindungan tanah dari erosi, dan membantu proses
pelapkan seresah hutan. Masyarakat Indonesia telah mengenal dan memanfaatkan
berbagai tanaman paku sebagai tanaman hias, tanaman konservasi, pypykk hijau,
dan bahan obat (Arini dan Julianus, 2012).
Kingdom : Plantae
Diviso : Spermatophyta
Class : Dicotyledoneae
Ordo : Myrtales
Familia : Myrtaceae
Genus : Melaleuca
Daerah di bawah 4.000 m di atas permukaan laut adalah daerah terbaik untuk
menanam kayu putih. sebaran kayu putih di Indonesia umumnya terdapat dalam
bentuk hutan alam dan perkebunan. Hutan kayu putih alami terbesar di Maluku
(Pulau Biru, Seram, Nusa Laut dan Ambon), Bali, Nusa Tenggara Timur,
Sulawesi Tenggara, dan Irian Barat, sedangkan perkebunan tersebar di Jawa
Timur (Kediri, Ponorogo, dan Madiun), Jawa Tengah (Solo dan Gundih),
Yogyakarta dan Jawa Barat (Banten, Sukabumi, Bogor, Indramayu, dan
Majalengka) (Kasmudjo, 1992).
Eucalyptus memiliki daun yang sempit dan tipis dengan permukaan rata
dan batang pendek dengan lebar 0,5-1 inchi di antara daun dan panjang sekitar 2-4
inchi. Sebagian besar daun Kayu Putih memiliki warna kuncup daun yang
beragam, yaitu merah, putih, dan kuning. Ketika diremas, daunnya mengeluarkan
aroma khas karena mengandung minyak atsiri (Kasmudjo, 1992).
Daun kayu utih berwarna hijau, tepi daun rata dan kusam, serta daun
berbulu. Setiap helai daun memiliki 5-7 tulang daun, hampr sejajar dengan
panjang 3-11 mm. Bunga kayu putih berbentuk granular, sebagian besar tersebar
di ujung cabang dan ketiak daun. Bunga kayu putih adalah biseksual, dengan
kelopak kecil dan mahkota. Buahnya berbentuk kapsul, pecah-pecah, dengan kulit
keirng yang terbuka untuk melepaskan biji saat matang (Kartikawati, 2014).
2.2.5 Eboni
2.2.5.1 Tata Nama Eboni
Kingdom : Plantae
Diviso : Spermatophyta
Class : Dicotyledoneae
Ordo : Ebenales
Familia : Ebenaceae
Genus : Diospyros
Dalam penelitian Kartini et al. (2018), hasil analisis fitokimia ekstrak daun
eboni menunjukkan bahwa daun eboni mengandung senyawa flavonoid, fenol,
saponin, alkaloid, dan tannin. Kandungan warna dari flavonoid yang dihasilkan
adalah oranye, merah, atau kuning. Kandungan warna dapat dilihat dari senyawa
tannin yang berwarna biru tua atau hitam.
2.3 Ecoprint
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan tanah yang subur dan sumber
daya alam yag melimpah. Ketersediaan bahan alam yang dimiliki oleh negara
mampu mendukung perkembangan produk tekstil yang salah satunya dapat
digunakan untuk pewarna alam. Pewarna alam sudah tidak asing lagi di kancah
tekstil Indonesia. Ektraksi bagian tumbuhan seperti daun, batang, bunga, akar,
buah, dan biji merupakan salah satu cara untuk mendapatkan pewarna alami.
Seiring berjalannya waktu, teknologi pewarna alami telah mengembangkan
banyak penemuan baru, salah satunya adalah teknologi ecoprint.
Dunia fashion khususnya tekstil berkembang mengikuti tren yang ada. Banyak
inovasi desain yang telah digunakan untuk mencapai hasil yang baik, menarik,
dan unik. Salah satunya adalah teknoloi pencetakan ramah lingkungan dari alam
yang sedang dikembangkan. Teknologi ecoprint awalnya dikembangkan di Flint,
Indiana. Dimulai dengan teknologi eco-dyeing yang kemudian menjadi teknologi
eco-printing. Ecoprint berasal dari kata “eco” dan “print”, “ eco” berasal daro kata
ekosistem yang berarti dari alam, dan “print” berarti cetak. Dalam Flint (2008),
ecoprint adalah proses mentransfer warna dan bentuk ke kain melalui kontak
langsung antara kain dan daun. Dalam hal ini, Flint menerapkannya dengan
menempelkan tanaman berpigmen warna ke kain serat alami, lalu merebus atau
mengukusnya di wajan besar. Hasil proses memasak ecoprint menghasilkan pola
dan warna yang tidak terduga, sehingga unik pada teknologi ecoprint (Saraswatiet
al., 2019).
a. Teknik Pounding
Teknik pounding juga dikenal sebagai teknik pukul. Prosesnya hampir sam
adengan teknik ecoprint pada umumnya, yaitu mengoleskan mordan pada kain
dan menyiapkan tanaman sebagai bahan utama ecoprint. Pada teknik pukul,
proses pemindahan bentuk dan warna tanaman ke kain dilakukan dengan cara
menempelkan tanaman pada kain yang dilektakkan di atas permukaan datar.
Teknik pukul adalah teknik yang paling mudah karena hanya melibatkan
penempatan daun atau bunga pada selembar kain dan memukulkannya dengan
palu. Metode pencelupan dengan pemukulan atau pounding ini yaitu
dilakukan dengan mengenakan benda keras ke permukaan bahan tekstil di
mana sumber warna (tanaman) disusun seusia yang diinginkan. Metode
pewarnaanya adalah dengan mengaduk bahan tekstil dan sumber warna
menjadi satu, dilapisi kertas dan plastik.
b. Teknik Merebus (Boiling)
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, mordan berarti zat pewarna yang
mengikat agar tidak larut air atau uap air. Dalam proses ecoprint, mordan
digunakan untuk membantu proses penyerapan pewarna alami pada kain, selain
itu mordan juga mempengaruhi warna ecoprint (Maheasy, 2013). Proses
pembuatan mordan dapat dilakukan dengan 3 cara (Choiriyah, 2008), yaitu:
a. Pre-mordant, yaitu media direndam dalam larutan mordan sebelun
dilakukan proses pencetakan. Tujuan dari pre-mordan adalah untuk
mengatur peresapan zat logam ke kain sehingga dapat secara optimal
mengikat zat kimia yang diberikan pada kain.
b. Modan Simultan, yaitu proses pencelupan media kain ke dalam larutan
mordan yang telah dicampur dengan pewarna.
c. Post-Mordan atau Mordan Akhir, yaitu media yang dilakan mordan setelah
proses pewarnaan.
Kapur (CaO) memiliki bentuk yang tidak beraturan dan berwarna putih
atau keputihan. Kapur memiliki berat jenis 3,40 dengan titik leleh 2572 °C dan
titik didih 2850 °C. Larutan encer kapur tohot bening digunakan untuk mengikat
warna tanaman Soga (Susanto, 1974). Fiksasi kapur dapat menghasilkan warna
akhir di atas satu tingkat atau menghasilkan warna yang sedang.
2.4 Kromatografi
Uji kualitas pewarnaan kain antara lain ada uji ketahanan luntur warna dan
nama warna. Pengujia dilakukan setela selutuh proses selesai dikerjakan.
Pengujian dilakukan setelah seluruh proses selesai dan uji tahan luntur
warna dilakukan untuk mengetahui kualitas kain. Nilai tahan luntur warna
tergantung pada sifat serat, penggunaan pewarna dan jenis bahan tekstil. Hasil uji
tahan luntur warna biasanya dievaluasi dengan pengamatan visual. Menurut
Wibowo (1973), penilaian visual dapat dilakukan dengan membandingkan
perubahan warna yang terjadi dengan perubahan warna standar. Tahan luntur
warna terhadap pencucian penggosokan, dan keringat tergantung pad akekuatan
ikatan yang terjadi anatar serta dan pewarna. Dalam Sulaiman dkk., (2000)
menunjukkan bahwa fikastif berupa larutan kapur dan larutan tawas serta larutan
tunjung yang mengikat ion dari Al3+ tawas, Fe2+ dari larutan tunjung, dan Ca2+
dari larutan kapur menjadi tannin pada serat. Pengikatan menyebabkan molekul
pewarna alami untuk mengikat dan menjadi leih besar dalam serat. Hal ini dapat
menyebabkan kesulitas bagi molekul pewarna alami untuk keluar dari pori-pori
serat atau untuk meningkatkan ketahanan luntur.
a. Staining Scale
Staining scale merupakan penilaian mengenai penodaan warna terhadap
kain putih, dimana terdapat perbedaan deskripsi dan representasi nilai
skala penodaan warna. Penilaian tersebut dinyatakan dalam nilai
kekhromatikan adam sama dengan skala abu-abu (grey scale), tetapi
besarnya perbedaan warna berbeda.
Evaluasi
Nilai Perbedaan Toleransi
Tahan
No Ketahanan Warna Standar Kerja
Luntur
Luntur Warna (CD) (CD)
Warna
1 5 0,0 0,0 Baik Sekali
2 4-5 2,0 ± 0,3 Baik
3 4 4,0 ± 0,3 Baik
4 3-4 5,6 ± 0,4 Cukup Baik
5 3 8,0 ± 0,5 Cukup
6 2-3 11,3 ± 0,7 Kurang
7 2 16,0 ± 1,0 Kurang
8 1-2 22,6 ± 1,5 Jelek
9 1 32,6 ± 2,0 Jelek
Keterangan: CD = Color Difference
b. Grey Scale
Pada pengujian grey scale, menurut standar perubahan wana yang
dijelaskan oleh grey scale, dilakukan dengan membandingkan perbedaan
antara sampel yang diuji dan sampel asli diikuti evaluasi tahan luntur
warna dan perubahan warna yang sesuai dilakukan. Hall tersebut
dinyatakan dalam rumus nilai kekhromatikan adam yang tercantum dalam
tabel berikut:
Evaluasi
Nilai Perbedaan Toleransi
Tahan
No Ketahanan Warna Standar Kerja
Luntur
Luntur Warna (CD) (CD)
Warna
1 5 0,0 0,0 Baik Sekali
2 4-5 0,8 ± 0,2 Baik
3 4 1,5 ± 0,2 Baik
4 3-4 2,1 ± 0,2 Cukup Baik
5 3 3,0 ± 0,2 Cukup
6 2-3 4,2 ± 0,3 Kurang
7 2 6,0 ± 0,5 Kurang
8 1-2 8,5 ± 0,7 Jelek
9 1 12,0 ± 1,0 Jelek
Keterangan: CD = Color Difference
2.5.2 Nama Warna
3.1 Hipotesis
a. Jenis Daun
1. D1 = Akasia (Acacia mangium)
2. D2 = Jati (Tectona grandis)
3. D3 = Paku (Nephrolepis dentate)
4. D4 = Kayu Putih (Melaleuca leucadendron)
5. D5 = Eboni (Diospyros celebica)
b. Bahan Fiksasi
1. F1 = Tawas dengan konsentrasi 15 gr/liter
2. F2 = Tunjung dengan konsentrasi 15 gr/liter
Tabel 3.1. Rancangan Acak Lengkap Percobaan Faktorial
Ulangan
Jenis Daun Zat Fiksasi
1 2 3
F1 D1F1(1) D1F1(2) D1F1(3)
D1
F2 D1F2(1) D1F2(2) D1F2(3)
F1 D2F1(1) D2F1(2) D2F1(3)
D2
F2 D2F2(1) D2F2(2) D2F2(3)
F1 D3F1(1) D3F1(2) D3F1(3)
D3
F2 D3F2(1) D3F2(2) D3F2(3)
F1 D4F1(1) D4F1(2) D4F1(3)
D4
F2 D4F2(1) D4F2(2) D4F2(3)
F1 D5F1(1) D5F1(2) D5F1(3)
D5
F2 D5F2(1) D5F2(2) D5F2(3)
Data yang diperoleh dari hasil pengujian kualitas pewarnaan kain berupa
ketahanan warna kain ( ketahanan terhadap pencucian 40°C, ketahanan terhadap
keringat asam, dan ketahanan terhadap gosokan) dan uji arah warna, kemudian
dikelompokkan menjadi beberapa kelas (Moerdoko et al, 1975), yaitu:
1. Jelek :1
2. Kurang : 2-3, 2
3. Cukup :3
4. Cukup Baik : 3-4
5. Baik : 4-5, 4
6. Baik Sekali :5
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakn pada bulan Februari 2022 sampai Mei 2022 di
Laboratorium Hasil Hutan Non kayu, Departemen Teknologi Hasil Hutan,
Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Fakultas Farmasi, dan Balai Besar
Kerajinan dan Batik Yogyakarta
Proses scouring dilakukan pada kain katun prima dengan luas 3 m2 dalam
8 liter air, maka dibutuhkan TRO dan soda abu masing-masing sebanyak…
Tabel 4.1. Standar Penilaian Warna pada Gray Scale dan Staining Scale
Perbedaan
Nilai Tahan Evaluasi
Warna (Color
Luntur Tahan Luntur
Difference)
5 0 Baik sekali
4–5 0,8 Baik
4 1,5 Baik
3–4 2,1 Cukup baik
3 3,0 Cukup
2–3 4,2 Kurang
2 6,0 Kurang
1–2 8,5 Jelek
1 12,0 Jelek
(Sumber: Moerdoko et al, 1975).
Tabel 4.2. Satndar Penilaian Warna pada Gray Scale dan Staining Scale
Perbedaan
Nilai Tahan Evaluasi
Warna (Color
Luntur Tahan Luntur
Difference)
5 0 Baik sekali
4-5 0,8 Baik
4 1,5 Baik
3-4 2,1 Cukup baik
3 3,0 Cukup
2-3 4,2 Kurang
2 6,0 Kurang
1-2 8,5 Jelek
1 12,0 Jelek
(Sumber: Moerdoko et al., 1975)
Tabel 4.3. Satndar Penilaian Warna pada Gray Scale dan Staining Scale
Perbedaan
Nilai Tahan Evaluasi
Warna (Color (Sumber: Moerdoko et
Luntur Tahan Luntur
Difference) al., 1975)
5 0 Baik sekali
4.3.6 Bagan Alur
4-5 0,8 Baik
Penelitian
4 1,5 Baik
Gambar 4.1.
3-4 2,1 Cukup baik
Bagan Alur
3 3,0 Cukup
Penelitian
2-3 4,2 Kurang
BAB V
2 6,0 Kurang
HASIL
1-2 8,5 Jelek
PENELITIAN DAN
1 12,0 Jelek
ANALISIS