Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu aplikasi teknik pewarna alami yang saat ini tengah populer yaitu
teknik ecoprint. Ecoprint merupakan suatu proses pengaplikasian secara langsung
pada kain dengan mentransfer warna dan bentuk dari bahan alami (Flint, 2008).
Teknologi ecoprint digunakan untuk menghias permukaan kain degan bahan-
bahan alami dalam berbagai bentuk dan warna (pewarnaan). Hasil dari ecoprint
memiliki ciri khas tersendiri dari teknik pewarnaan dan motif yang menambah
daya tarik produk yang dihasilkan. Hal ini mendorong pengembangan ecoprint
terus dilakukan untuk menghasilkan kualitas pewarnaan yang baik.

Ecoprint dapat menggunakan berbagai jenis daun sebagai bahan utama dalam
pembuatannya. Pada penelitian Fazruza dkk., (2018) disebutkan bahwa jenis daun
jati dapat digunakan sebagai zat pewarna alam pada kain dengan teknik ecoprint
yang menghasilkan warna merah muda keunguan hingga warna kuning
kecoklatan. Hal tersebut didukung oleh Saraswati (2018) yang menyatakan bahwa
daun jati memiliki kandungan antosianin sebagai penghasil pewarna alami berupa
warna merah, ungu atau biru. Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Nuraeni
dkk., (2020) bahwa pengujian pewarnaan dan motif dari beberapa jenis tumbuhan
khususnya bagian daun dihasilkan dengan jati menghasilkan warna merah sampai
ungu tua dengan motif daun dan tulang daun tercetak dengan jelas, akasia
menghasilkan motif daun yang terbentuk dengan warna kuning muda, pada daun
eboni menghasilkan motif jelas dengan warna krem (comsilk), dan daun paku
menghasilkan warna kuning blur dengan motif daun yang kurang jelas. Dalam
penelitian Husna (2016) juga diperoleh bahwa daun kayu putih menghasilkan
warnaa hijau kekuningan dengan motif yang tercetak jelas.

Setiap tumbuhan dapat dijadikan sebagai bahan pewarna kain dengan setiap
tanaman menghasilkan warna yang berbeda. Hasil tersebut tergantung pada
musim, intensitas hujan, udara, dan kualitas tanah (Husna, 2016). Dalam
Saraswati dkk. (2019) hasil ecoprint daun jati akan menghasilkan warna yang
berbeda tergantung dari daerah mana daun itu diperoleh. Hal tersebut disebabkan
karena jenis tanah tempat tumbuh jatinya yang berbeda sehingga menghasilkan
tanin yang berbeda. Maka dari itu diambil beberapa jenis tumbuhan dari KHDTK
Wanagama untuk mengetahui potensi beberapa jenis daunnya sebagai ecoprint.
Kondisi KHDTK Wanagama termasuk kawasan karst yang biasanya gersang dan
kurang air terutama pada musim kemarau didukung dengan kondisi tanah tempat
tersebut yang sebagian besar memiliki ketebalam tanah tipis dan berbatu yang
dapat berpengaruh terhadap proses daur ulang bahan organic tanah untuk
mendukung pertumbuhan tanaman di daerah tersebut. Pertumbuhan tanaman
tersebut juga berpengaruh terhadap kandungan warna daun yang berbeda setiap
berbeda tapak. Penggunaan pewarna alami berbagai jenis tumbuhan dari hutan
akan memberikan nilai tambah. Sehingga, dapat dimanfaatkan bahan tersebut
selain manfaat utama vegetasi hutan itu sendiri. Adanya jenis tumbuhan yang
beragam baik asli maupun hasil eksplorasi nusantara dari KHDTK Wanagama
dapat diteliti lebih lanjut mengenai pewarna alam yang berpotensi untuk
mengetahui jenis-jenis daun yang baik untuk ecoprint. Pemanfaatan daun dari
tumbuhan yang berbeda-beda ini dapat memberikan corak dan warna yang
beraneka ragam pada kain. Corak dan warna yang beragam dari daun sangat
menarik untuk dikembangkan karena cukup diminati oleh masyarakat luas
(Saraswati dkk., 2019). Selain dari jenis daun yang digunakan, hasil pewarnaan
ecoprint juga dipengaruhi oleh bahan fiksasi dan mordant yang digunakan.

Hasil ecoprint memiliki kelemahan pada daya tahan lunturnya yang kurang
stabil sehingga menyebabkan kualitas hasil pewarnaan dapat berkurang. Oleh
karena itu, perlu dilakukan proses fiksasi zat warna untuk memperoleh ketahanan
luntur yang tinggi (Saraswati, 2018). Fungsi dari fiksasi yaitu untuk memperkuat
warna dan mengubah zat warna alam sesuai dengan jenis logam yang mengikat
serta untuk mengunci zat warna yang masuk ke dalam serat. Menurut Pujilestari
(2014), dengan perlakuan fiksasi yang berbeda dapat mempengaruhi arah warna
menjadi berbeda. Jenis fiksasi tawas yang umum digunakan di industri biasanya
menghasilkan warna kuning keemasan sedangkan dengan tunjung menghasilkan
warna yang lebih tua dan cenderung kearah hijau ke abu-abuan. Dalam
Darmawati (2016) kelebihan bahan fiksasi tunjung (FeSO4) mampu mengikat
warna lebih kuat dibandingkan dengan bahan fiksasi tawas yang mempunyai
kekuatan yang lemah. Konsentrasi bahan fiksasi tidak berpengaruh terhadap
kekuatan mengikatnya, tetapi bahan fiksasi tunjung mampu memberikan
intensitas warna lebih gelap daripada tawas ( terang). Bahan fiksasi tunjung
memiliki pengaruh pada ketahanan luntur warna yang kuat terhadap gosokan
dibandingkan dengan bahan tawas yang lemah. Hal ini menyebabkan
diperlukannya penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh bahan fiksasi dari tawas
dan tunjung terhadap hasil ecoprint.

Penelitian mengenai pengaruh jenis bahan fiksasi pada ecoprint terhadap


beberapa jenis daun dan ketahanan luntur warna yang dihasilkan masih terbatas.
Penelitian-penelitian yang ada sebelumnya lebih berfokus pada pengaruh bahan
fiksasi pada pewarnaan kain menggunakan beberapa bahan pewarna alami. Oleh
karena itu, menarik untuk diteliti mengenai ecoprint dari beberapa jenis daun dari
KHDTK Wanagama dalam pengaruh bahan fiksasi yang digunakan serta
pengujian mengenai kualitas hasil ecoprint terhadap ketahanan luntur warnanya
seperti pencucian, gosokan, dan keringat asam. Proses ecoprint pada penelitian ini
akan dilakukan menggunakan metode pengukusan (steam) yang cukup baik
memunculkan warna dan bentuk daun. Melalui pengukusan (steam) untuk
memunculkan bentuk daun dan warna dari bahan alam (tumbuhan). Ecoprint ini
tampil dengan membawa ciri khasnya sendiri, yang tertuang dari segi motif dan
teknik pewarnaannya. Pola yang dibuat dari bahan cetakan alam akan
menampilakn bentuk dan tekstur yang sangat mirip dengan bahan aslinya, dengan
hasil warna yang sesuai dengan kandungan bahan alam itu sendiri. Teknologi
pewarnaan tergolong uni (membutuhkan bantuan panas) yang mudah digunakan
dan ramah lingkungan dengan sifat warna natural dan pastel, sehingga menambah
daya tarik pewarnaan ecoprint. Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui jenis
daun yang dapat digunakan untuk ecoprint dengan jenis bahan fiksasi tertentu
untuk mendapatkan warna dan memiliki ketahanan luntur yang baik.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Mengetahui karakteristik secara fisik dan kandungan kimia warna


beberapa jenis daun sebagai ecoprint.
b. Mengetahui pengaruh jenis bahan fiksasi terhadap hasil ecoprint beberapa
jenis daun.

1.3 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain:
1. Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian lain
terkait dengan penggunaan jenis fiksasi terhadap hasil ecoprint.
2. Ecoprint dengan beberapa jenis daun yang digunakan diharapkan dapat
berkembang dalam pengrajin batik untuk menggunakan daun yang
melimpah di lingkungan sebagai bahan pewarna dan pembentuk motif
alami di masa datang. Hal ini disebabkan pewarna alami dari daun
memberikan hasil pewarnaan dan motif yang unik dan memadai.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Zat Pewarna Alam (ZPA)

Pada dasarnya ada dua jenis pewarna tekstil, sintetis (buatan manusia) dan
alami. Pewarna alami dapat diperoleh dari tumbuhan tingkat tinggi, jamur, dan
hewan. Menurut Her dan Eka (2002), pewarna alam adalah pewarna yang
diperoleh secara langsung maupun tidak langsung dari alam atau tumbuhan.
Setiap tanaman dapat menjadi sumber ZPA karena mengandung pigmen alami.
Potensi ini tergantung pada intensitas warna yang dihasilkan dan sangat
tergantung pada jenis zat pewarna yang ada.

Coloring Matter adalah zat yang menentukan arah warna dalam pewarna
alami dan merupakan senyawa organic yang bergantung pada sumber pewarna
alami. Suatu spesies tumbuhan dapat mengandung lebih dari satu pigmen. Potensi
sumber zat warna alam tergantung pada jenis pewarna yang tesedia (Hasanudin,
2001). Awalnya pewarna alami diekstraksi dari bagian tumbuhan dengan cara
direbus, difementasi atau direndam pada suhu kamar (Lestari dan Suprapto,
2000). Zat warna alami terdapat pada bagian tumbuhan seperti daun, batang, kulit
kayu, bunga, buah, akar, getah, dan lain-lain dengan kadar dan jenis pigmen yang
berbeda-beda ( Lestai Kun, 2002).

Sedangkan menurut klasifikasi jenis pigmennya, ZPA dibagi menjadi empat


kelompok, yaitu:

a. Zat Warna Mordan (Alam)


Sebagian besar ZPA termasuk dalam golongan pewarna mordan alami,
agar ZPA dapat melekat denga baik, maka proses pewarnaan harus
digabung dengan kelompok oksida logam kompleks untuk membentuk
pewarna yang tidak larut. Bahan tekstil yang digunakan sebelum dilakukan
pencelupan dengan zat warna ini perlu dilakukan dengan mordan agar
warna akhir tidak pudar. Contoh kelompok ini adalah Mengkudu, Secang,
Mangga, Jati, Nangka, dan lain-lain.
b. Zat Warna Direk
Zat warna ini melekat pada serat berdasarkan ikatan hidrogen., sehingga
kekuatan lunturnya termasuk rendah dan termasuk warna yang kuat
melekat. Contoh dari kelompok ini adalah kurkumin, yang dttemukan
dalam kunyit. Bahan tekstil yang diwarna dengan pewarna ini tidak perlu
diberi mordan sebelum dicelup.
c. Zat Warna Asama atau Basa
Pewarna ini memiliki kombinasi gugus asam-basa dan cocok untuk
mewarna kain yang berserat sutra atau wol, tetapi tidak memberikan warna
permanen padakapas. Misalnya, pigmen yang mengandung flavonoid
ditemukan dalam bunga Canthomus tinctorius.
d. Zat Warna Bejana
Zat warna yang mewarnai serat mealui proses redoks yang dikenal sebagai
zat warna tertua di dunia dan memiliki ketahanan paling tinggi disbanding
dengan tiga zat pewarna lainnya. Zat warna ini biasanya terdapat pada
daun tom atau tarum (Indigofera) yang banyaj mengandung indikator.

2.1.1 Senyawa Organik Alam (Pigmen Warna)

Menurut Lemmens dan Soetjipto (1992), senyawa-senyawa penyusun


pewarna alam yang biasa disebut sebagai pigmen tumbuhan antara lain klorofil,
karotenoid, flavonois, dan kuinon. Adapun macam-macam senyawa pewarna alam
yang terdapat pada tumbuhan, seperti klorofil (hijau) pada daun; karoten (oranye-
kuning) pada umbi dan daun; likopen (merah) pada bunga dan buah; flavonoid
pada bunga dan akar (kuning); dan antosianin (merah-kuning dan ungu-merah)
pada kayu, buah dan bunga; adapula betaine (kuning-merah) hampir identik
dengan antosianin atau flavonoid pada bit merah, xanton (kuning) pada buah
mangga.
Klorofil adalah istilah umum untuk pigmen tumbuhan yang banyak
tersedia warna hijau, terutama pada daun tumbuhan dan kadang-kadang
digunakan sebagai pewarna pada makanan serta minuman (Lemmens dan
Soetjipto, 1992). Klorofil hijau dapat berubah menjadi cokelat tua atau menjadi
cokelat kehitaman. Klorofil mudah larut dalam air dan memiliki stabilitas termal.

Karotenoid adalah tetraterpenoid C40, sekelompok pigmen larut lemak


yang tersebar luas ditemukan di semua jenis tanaman, dari tumbuhan sederhana
hingga tumbuhan berbunga. Pada tumbuhan, karotenoid memiliki fungsi sebagai
pigmen pembantu untuk fotosintesis dan pewarna untuk bunga dan buah
(Harborne, 1987). Karotenoid secara kimiawi terbentuk dari rantai poliena alifatik
yang tersusun dari unit-unit isoprene. Satuan-satuan ini memiliki berbagai struktur
dan dicirikan oleh warna kuning, jingga, merah, dan ungu. Karotenoid termasuk
pigmen warna tumbuhan yang stabil secara termal.

Flavonoid mencakup semua campuran dengan warna dasar atau struktur


flavan. Subkelompok utama dari flavonoid adalah chalcones, flavonones,
flavonoids, flavanols, anthocyanin (Lemmens dan Soejipto, 1992). Pigmen kuinon
alami datang dalam berbagai warna, dari kuning pucat hingga hampir hitam dan
lebih daru 450 struktur yang diketahui. Pigmen ini biasanya terdapat pada kulit
kayu, akar atau jaringan lain seperti daun (Harborne, 1987).

Antosianin memiliki kandungan zat warna yang dihasilkan berupa warna


merah, ungu, biru, dan kuning. Pigmen ini biasanya terdapat pada bunga dan
buah-buahan, seperti buah anggur, duwet, bunga mawar, kana, rosella, pacar air,
kulit manggis, kulit rambutan, ubi jalar ungu, daun bayam merah, daun jati, dan
lain-lain (Sulistiawati dan Swastika, 2017). Winarno (2004) menyatakan bahwa
antosianin menghasilkan warna merah pada pH rendah (asam), ungu pada pH
tinggi (basa), dan kemudian menjadi biru. Konsentrasi memainkan peran yang
sangat penting dalam menentukan warna. Konsentrasi yang encer antosianin akan
menghasilkan warna biru, dalam kondisi pekat akan menghasilkan warna merah,
sedangkan konsentrasi norma berubah menjadi ungu. Antosianin yang biasanya
berwarna kuning dan dapat larut dalam air akan ditemukan di kulit bawang, teh,
jeruk, serta lemon.

Tanin menrupakan senyawa astringent yang memiliki rasa pahit dari


gugus polifenol. Tannin juga merupakan senyawa phenol yang larut dalam air dan
memiliki berat molekul antara 500 dan 3000 Da. Hasil pewarnaan yang diperoleh
dari tannin menghasilkan warna cokelat atau kecoklatan pada tekstil (Haffida dan
Rahardian, 2017). Pigmen ini ada pada tumbuhan, mudah larut dalam air, dan
memiliki stabilitas termal.

2.2 Mengenal Aneka Daun

Keanekaragaman hayatii Indonesia menawarkan banyak manfaat bagi


kehidupan sehari-hari, seperti eco-printing menggunakan daun. Daun pada
tanaman memiliki potensi besar dalam fashion, khususnya. Daun dapat
memberikan berbagai pola pada kain. Selain polanya, daun juga mengandung
pigmen warna yang berbeda-beda yang membuat unik dari daun tersebut. Setiap
tanaman menghasilkan warna dan pola yang berbeda tergantung pada musim,
intensitas curah hujan, kualitas udara dan tanah tempat tanaman itu tumbuh.
Tanaman segarm kering atau baru saja tumbang akan menghaislkan hasil yang
berbeda. Pola yang dihasilkan akan sangat unit dikarenakan membentuk struktur
tanaman itu sendiri (Larasati, 2019). Jenis daun yang dapat digunakan antara lain:

2.2.1 Akasia
2.2.1.1 Tata Nama Akasia

Taksonomi dari tanaman Acacia mangium menurut Hadiyanto (2001),


sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Diviso : Spermatophytha

Class : Dicotyledoneae

Ordo : Rosales
Familia : Fabaceae

Subfamilia : Mimosoideae

Genus : Acacia

Spesies : Acacia mangium

2.2.1.2 Tempat Tumbuh dan Lokasi Persebaran

Akasia mangium menyesuaikan diri pada berbagai jenis tanah serta


kondisi lingkungan dengan baik. Akasia mangium bisa tumbuh cepat di lokasi
dengan level nutrisi tanah yang rendah (National Research Council (1983) dalam
Krisnawati, dkk. 2011). Jenis Akasia Mangium ini ialah jenis pionir yang bisa
meregenrasi secara alami di lokasi yang telah terganggu. Berdasarkan Eldoma dan
Awang (1999), jenis Akasia Mangium ini umumnya ditemukan di daerah dataran
rendah beriklim tropis yang dicirikan menggunakan periode kemarau yang pendek
selama 4 bulan. Tumbuhan ini bisa tumbuh pada ketinggia 480 - 800 m
menggunakan jumlah curah hujan tahunan pada tempat tumbuh akasia mangium
rata-rata 1.446 - 2.970 mm. Suhu minimum tempat asal akasia mangium berkisar
12-16 °C dan suhu maksimum rata-rata kurang lebih 31-34 °C (Krisnawati,
dkk.,2011). Tumbuhan Akasia Mangium secara alami tumbuh di hutan tropis
lembab di Australia bagia timur Bahari, Kepualauan Maluku dan Papua Nugini
daerah timur Indonesia. Tumbuhan Akasia Mangium pula mulai
dikembangbiakan ke banyak sekali negara, termasuk Indonesia, Malaysia, Papua
Nugini, Bangladesh, China, India, Filipina, Sri Lanka, Thailand, serta Vietnam.

2.2.1.3 Morfologi Daun Akasia

Daun majemuk dimiliki oleh anakan Akasia yang baru berkecambah yang
terdiri dari banyak anak daun mirip dengan Albizia, Leucaena, dan jenis lain
berasal sub-marga Mimosoidae. Setelah beberapa minggu, tangkai daun serat
sumbu utama pada setiap saun beragam akan tumbuh melebar serta berubah
sebagai filodia (daun semu). Filodia berbentuk sederhana dengan tulang daun
pararel serta panjangnya dapat mencapai 25 cm serta lebar 10 cm. Terdapat bunga
Akasia yang tersusun dari banyak bunga kecil berwarna putih atau krem seperti
paku. Ketika mekar, bunga akan menyerupai sikat botol dengan aroma yang
relative harum. Bunga akan berkembang setelah terjadi pembuahan menjadi
poloong-polong hijau lalu berubah menjadi buah masak berwarna cokelat gelap.
Bijinya berwarna hitam mengkilap menggunakan aneka macam variasi bentuk
berbentuk elips, bulat telur, dan longitudinal. Pada biji Akasia melekat pada
pangkal tangkai yang berwarna oranye-merah (Retnowati, 1988).

2.2.1.4 Kandungan Pigmen Warna Daun Akasia

Tumbuhan yang mempunyai kadar tannin yang tinggi salah satunya yaitu
akasia berkisar antara 15-50% berasal dari bobot kering (Pandiangan, 2017). Daun
Akasia terdapat kandungan polifenol alam berupa tannin, saponin, serta kadar
selulosa tinggi (Hasfita, 2017) dan flavonoid yang merupakan senyawa.
Kandungan ini memiliki gugus –OH terikat yang bisa mengikat logam berat
melalui pertukaran ion (Hasfita, 2011). Pada Penelitian sebelumnya melalui
metode uji skrining fitokimia, ekstrak daun Akasia mengandung senyawa
alkaloid, flavonoid, steroid/triterpenoid, saponin, dan fenolik (Setyaningrum et al.,
2017).

2.2.2 Jati
2.2.2.1 Tata Nama Jati

Taksonomi dari tanaman Jati menurut Herbarium (2011), sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Diviso : Spermatopytha

Class : Dicotyledoneae

Ordo : Lamiales

Familia : Lamiaceae

Genus : Tectona
Spesies : Tectona grandis L.f.

2.2.2.2 Tempat Tumbuh dan Lokasi Persebaran

Jati adalah pohon lonjong, berdaun besar yang menumpahkan dan


menghasilkan kayu berkualitas tinggi selama musim kemarau. Tanaman Jati dapat
tumbuh pada suhu 27-36 °C dan curah hujan 1.500-2.000 mm/tahun, serta dapat
tumbuh di dataran endah dan dataran tinggi pada ketinggian 800 m, pada tanah
alluvial dengan pH 4,5-7. Berisi banyak kapur dan musim kemarau nyata 3-5
bulan tidak akan tergenang oleh banjir.

Sebaran Jati paling banyak tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
hingga 650 meter di atas permukaan laut. Wilayah Blora, Grobogan, dan Pati
merupakan wilayah dengan persebaran Jati yang paling luas dan terluas,
menghasilkan Jati kualitas terbaik di tanah kapur Kabupaten Blora di Jawa
Tengah. Selain itu, menyebar di Bali, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara dan
Sumbawa (Saraswati et al., 2019).

2.2.2.3 Morfologi Daun Jati

Daun Jati umumnya berbentuk bulat telur terbalik dan besar dengan
permukaan daun yang berbulu halus dan mempunyai rambut kelenjar di
permukaan bawah. Daun Jati muda memiliki warna kemerahan dan akan
mengeluarkan getah berwarna merah darah apabila diremas. Daun Jati tua
berwarna hijau tua keabu-abuan sedangkan daun muda berwarna hijau kecoklatan.
Ukuran daun Jati bisa mencapai sekitar 60-70 cm atau lebih. Daunnya terletak
saling berhadapan dan Daun Jati banyak digunakan dalam kemasan makanan,
terutama di Yogakarta dan Jawa Timur. Daun Jati juga dapat digunakan membuat
ecoprint karena pola dan warna yang unik. Ungu dan merah akan dihasilkan dari
ekstrak daun Jati. Hasil ecoprint daun Jati akan menghasilkan warna yang
berbeda-beda tergantung dari daerah asal daun. Hal ini mungkin disebabkan oleh
perbedaan jenis tanah tempat Jati tumbuh, sehingga menghasilkan penyamakan
yang berbeda (Saraswati et al., 2019).
2.2.2.4 Kandungan Pigmen Warna Daun Jati

Pewarna alami seperti antosianin dan karotenoid yang terkandung dalam


daun Jati dapat digunakan sebagai pewarna tekstil (Baharuddin et al., 2015).
Dalam Juniar Saraswati dan Sulandjari (2018), kandungan antosianin
menghasilkan warna merah, ungu, atau biru. Daun Jati merupakan bagian dari
tanaman berkayu yang berkualitas tinggi, salah satunya digunakan sebagai bahan
ecoprint. Menggunakan pucuk daun Jati muda lebih berwarna dibandingkan daun
Jati tua. Hal ini disebabkan kandungan antosianin yang lebih tinggi (Kembaren et
al., 2014).

2.2.3 Paku
2.2.3.1 Tata Nama Paku

Taksonomi dari tanaman Paku menurut Ernawati dkk., (2018) sebagai


berikut:

Kingdom : Plantae

Diviso : Pteridophyta

Class : Pteridopsida

Ordo : Polypodiales

Familia : Dryopteridaceae

Genus : Nephrolepis

Spesies : Nephrolepis exaltata / Nephrolepis Dentata

2.2.3.2 Tempat Tumbuh dan Lokasi Persebaran

Paku ini tumbuh di tanah yang lembab, bebatuan, dan beriklim tropis.
Habitat tanaman Paku ini adalah terrestrial dan epifit. Tanah tempat tumbuh
tanaman Paku-pakuan ini bersifat masam, dengan pH tanah 6,18 dan suhu
lingkungan sekitar 28-31 °C, yang berarti suhu tempat tumbuh tanaman Paku
relatif normal. Biasanya ditemukan di dataran rendah dan pegunungan, hanya di
tempat yang lembab dan teduh. Tanaman ini berlimpah di hutan yang kurang
kering, hutan rumput dan pinggiran hutan (Ernawati et al., 2018). Tanaman Paku
lebih melimbah di pegunungan daripada di dataran rendah. Beberapa faktor
lingkungan seperti kelembaban yang tinggi, kadar air yang tinggi, adanya kabut
dan curah hujan yang tinggi dapat mempengaruhi jumlah tanaman paku yang
tumbuh (Sastrapradja et al., 1980).

2.2.3.3 Morfologi Daun Paku

Dalam Triyanti dkk. (2021), paku-pakuan (Nephrolepis exaltata) memiliki


acuminate tebal, daun majemuk, daun lanset, pangkal daun tumpul, batang
berwarna cokelat, dan rimpang tegak. Daun tua berwarna hijau tua, daun muda
bewarna cokeltar tua, duri menyirip, daun berhadapan, tersebar luas, beraneka
raga, dan sering digunakan sebagai tanaman hias. Tanaman ini tumbuh subur dan
biasanya ditemukan di daerah beriklim lembab dan tropis.

Manfaat tanaman Paku bagi alam dalam menjaga ekosistem hutan antara
lain pembentukan tanah, perlindungan tanah dari erosi, dan membantu proses
pelapkan seresah hutan. Masyarakat Indonesia telah mengenal dan memanfaatkan
berbagai tanaman paku sebagai tanaman hias, tanaman konservasi, pypykk hijau,
dan bahan obat (Arini dan Julianus, 2012).

2.2.3.4 Kandungan Pigmen Warna Daun Paku

Kandungan pigmen daun Paku dari pengujian fitokimia tanaman Paku


menunjukkan bahwa ekstrak etanolik daun Paku mengandung flavonoid. Pigmen
yang terlihat pada daun Paku sebagian besar bewarna kuning, sehingga
mengandung senyawa flavonoid. Proses ekstraksi flavonoid dilakukan dengan
perebusan etanol untuk menghindari oksidasi enzimatis (Harborne, 1987).

2.2.4 Kayu Putih


2.2.4.1 Tata Nama Kayu Putih
Taksonomi dari tanaman Kayu Putih menurut Craven dan Barlow (1997)
dalam Kartikawati dkk., (2014), sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Diviso : Spermatophyta

Class : Dicotyledoneae

Ordo : Myrtales

Familia : Myrtaceae

Genus : Melaleuca

Spesies : Melaleuca cajuputi

2.2.4.2 Tempat Tumbuh dan Lokasi Persebaran

Daerah di bawah 4.000 m di atas permukaan laut adalah daerah terbaik untuk
menanam kayu putih. sebaran kayu putih di Indonesia umumnya terdapat dalam
bentuk hutan alam dan perkebunan. Hutan kayu putih alami terbesar di Maluku
(Pulau Biru, Seram, Nusa Laut dan Ambon), Bali, Nusa Tenggara Timur,
Sulawesi Tenggara, dan Irian Barat, sedangkan perkebunan tersebar di Jawa
Timur (Kediri, Ponorogo, dan Madiun), Jawa Tengah (Solo dan Gundih),
Yogyakarta dan Jawa Barat (Banten, Sukabumi, Bogor, Indramayu, dan
Majalengka) (Kasmudjo, 1992).

2.2.4.3 Morfologi Daun Kayu Putih

Eucalyptus memiliki daun yang sempit dan tipis dengan permukaan rata
dan batang pendek dengan lebar 0,5-1 inchi di antara daun dan panjang sekitar 2-4
inchi. Sebagian besar daun Kayu Putih memiliki warna kuncup daun yang
beragam, yaitu merah, putih, dan kuning. Ketika diremas, daunnya mengeluarkan
aroma khas karena mengandung minyak atsiri (Kasmudjo, 1992).
Daun kayu utih berwarna hijau, tepi daun rata dan kusam, serta daun
berbulu. Setiap helai daun memiliki 5-7 tulang daun, hampr sejajar dengan
panjang 3-11 mm. Bunga kayu putih berbentuk granular, sebagian besar tersebar
di ujung cabang dan ketiak daun. Bunga kayu putih adalah biseksual, dengan
kelopak kecil dan mahkota. Buahnya berbentuk kapsul, pecah-pecah, dengan kulit
keirng yang terbuka untuk melepaskan biji saat matang (Kartikawati, 2014).

2.2.4.4 Kandungan Pigmen Warna Daun Kayu Putih

Tanaman kayu putih pada uji fitokimia menunjukkan kandungan pigmen


wara berupa flavonoid dan tannin. Menurut Joen (2020), ekstrak daun kayu putih
mengandung senyawa flavonoid dan tannin pada pigmen warna yang
dikandungnya. Menurut hasil penelitian Setyowati dkk., (2019) ekstrak etanol
daun kayu putih positif mengandung tannin dan polifenol karena adanya bercak
hijau dan keabu-abuan kehitaman setelah disemprot dengan FeCl3.

2.2.5 Eboni
2.2.5.1 Tata Nama Eboni

Taksonomi dari tanaman Eboni menurut Samingan (1982), sebagai


berikut:

Kingdom : Plantae

Diviso : Spermatophyta

Class : Dicotyledoneae

Ordo : Ebenales

Familia : Ebenaceae

Genus : Diospyros

Spesies : Diospyros celebica Bakh.


2.2.5.2 Tempat Tumbuh dan Lokasi Persebaran

Tanaman eboni perlu tumbuh di daerah dengan iklim CD (curah hujan


tahunan 1.500 mm), 400 m di atas permukaan laut dengan jenis tanah berkapur,
berpasir, liat dan berbatu (Gintings (1990) dalam Allo, (2002)). Sebaran tanaman
eboni tumbuh secara alami di pulau Sulawesi yang termasuk dalam wilayah
Wallace terutama di Poso, Donggala, dan Parigi (Sulawesi Tengah), Kabupaten
Gowa, Maros, Barru, Provinsi Gorontalo, Sidrap, Mamuju, dan Luwu (Sulawesi
Selatan) (Hendromono dan Allo, 2008). Penyebaran tanaman eboni mulai
menyebar ke seluruh Jawa, Maluku, Kalimantan, sebagian Nusa Tenggara dan
Irian Jaya bagian Barat.

2.2.5.3 Morfologi Daun Eboni

Daun Eboni sederhana, dengan posisi daun berseling dan memanjang.


Daunnya runcing, berwarna hijau tua, mengkilat di bagian atas, dan abu-abu di
bagian bawah. Apbila disentuk maka akan terasa sedikit bulu-bulu halus di bagian
permukaan. Warna daun tua eboni hijau tua dan warna daun muda eboni lebih
kearah hijau muda.

2.2.5.4 Kandungan Pigmen Warna Daun Eboni

Dalam penelitian Kartini et al. (2018), hasil analisis fitokimia ekstrak daun
eboni menunjukkan bahwa daun eboni mengandung senyawa flavonoid, fenol,
saponin, alkaloid, dan tannin. Kandungan warna dari flavonoid yang dihasilkan
adalah oranye, merah, atau kuning. Kandungan warna dapat dilihat dari senyawa
tannin yang berwarna biru tua atau hitam.

2.3 Ecoprint

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan tanah yang subur dan sumber
daya alam yag melimpah. Ketersediaan bahan alam yang dimiliki oleh negara
mampu mendukung perkembangan produk tekstil yang salah satunya dapat
digunakan untuk pewarna alam. Pewarna alam sudah tidak asing lagi di kancah
tekstil Indonesia. Ektraksi bagian tumbuhan seperti daun, batang, bunga, akar,
buah, dan biji merupakan salah satu cara untuk mendapatkan pewarna alami.
Seiring berjalannya waktu, teknologi pewarna alami telah mengembangkan
banyak penemuan baru, salah satunya adalah teknologi ecoprint.

Dunia fashion khususnya tekstil berkembang mengikuti tren yang ada. Banyak
inovasi desain yang telah digunakan untuk mencapai hasil yang baik, menarik,
dan unik. Salah satunya adalah teknoloi pencetakan ramah lingkungan dari alam
yang sedang dikembangkan. Teknologi ecoprint awalnya dikembangkan di Flint,
Indiana. Dimulai dengan teknologi eco-dyeing yang kemudian menjadi teknologi
eco-printing. Ecoprint berasal dari kata “eco” dan “print”, “ eco” berasal daro kata
ekosistem yang berarti dari alam, dan “print” berarti cetak. Dalam Flint (2008),
ecoprint adalah proses mentransfer warna dan bentuk ke kain melalui kontak
langsung antara kain dan daun. Dalam hal ini, Flint menerapkannya dengan
menempelkan tanaman berpigmen warna ke kain serat alami, lalu merebus atau
mengukusnya di wajan besar. Hasil proses memasak ecoprint menghasilkan pola
dan warna yang tidak terduga, sehingga unik pada teknologi ecoprint (Saraswatiet
al., 2019).

Pembuatan ecoprint menggunakan teknik dengan mentransfer pola warna dan


bentuk ke kain dan daun melalui kontak langsung. Setiap tanaman berpotensu
menggunakan teknologi eco-printing sebagai pewarna. Hasil yang didapat dari
proses pewarnaan tentunya juga bervariasi, tergantung dari jenis tanaman yang
digunakan, musim, intensitas curah hujan, kualitas udara, dan tanah. Kondisi daun
juga sangat mempengaruhi hasil pewarnaan. Misalnya daun yang masih segar,
daun yang sudah kering, daun yang baru gugur akan memberikan hasil yang
sangat berbeda. Dalam Irianingsih (2018), eco-printing adalah pemindahan pola
(bentuk) daun dan bunga ke permukaan berbagai kain yang telah diberi perlakuan
untuk menghilangkan lilin dan kotoran halus dari kain sehingga warna dapat
dengan mudah diserap. Hal ini dilakukan dengan menggunakan tanaman yang
sangat sensitive terhadap panas, karena merupakan faktor penting dalam
mengekstraksi pigmen, terutama pada daun (Saptutyningsih dan Wardani, 2019).
Jika daun atau bunga diatur sedemikian rupa, warna dan tandanya tidak dapat
diprediksi, itulah yang membuat ecoprint menjadi unik. Terkadang daun yang
muncul tidak sama dengan warna aslinya. Daun Jati muda dengan cabang ungu
akan menghasilkan warna ungu kemerahan yang intens bahkan bewarna ungu
merah muda. Daun ketapang, jeruk dan mangga biasnaya berwarna kuning. Faktor
unik lainnya adalah dari jenis daun yang sama yang dikumpulkan dari lokasi yang
berbeda juga akan mempengaruhi warna yang dihasilkan. jenis kain dan bahan
mordan serta proses pengikatan juga mempengaruhi hasil akhir (Irianingsih,
2018). Perbedaan hasil warna biasanya terjadi pada saat pembuatan ecoprint
menggunakan teknik perebusan dan pengukusan, karena dengan teknik pounding
(pukul) warna daun diperoleh langsung dari proses pencetakan dengan latar
belakang kain putih.

Menurut Sumanungkalit (2020), ecoprint dapat dilakukan dengan beberapa


cara, yaitu merebus kain, ditumbuk, dan dikukus. Ketiga teknik ini dapat
dilakukan di laboratorium dan dapat dilakukan di dapur rumah dengan peralatan
yang sesuai.

a. Teknik Pounding

Teknik pounding juga dikenal sebagai teknik pukul. Prosesnya hampir sam
adengan teknik ecoprint pada umumnya, yaitu mengoleskan mordan pada kain
dan menyiapkan tanaman sebagai bahan utama ecoprint. Pada teknik pukul,
proses pemindahan bentuk dan warna tanaman ke kain dilakukan dengan cara
menempelkan tanaman pada kain yang dilektakkan di atas permukaan datar.
Teknik pukul adalah teknik yang paling mudah karena hanya melibatkan
penempatan daun atau bunga pada selembar kain dan memukulkannya dengan
palu. Metode pencelupan dengan pemukulan atau pounding ini yaitu
dilakukan dengan mengenakan benda keras ke permukaan bahan tekstil di
mana sumber warna (tanaman) disusun seusia yang diinginkan. Metode
pewarnaanya adalah dengan mengaduk bahan tekstil dan sumber warna
menjadi satu, dilapisi kertas dan plastik.
b. Teknik Merebus (Boiling)

Teknik boiling dilakukan dengan cara kain diregangkan sehingga posisi


kain rata dengan alasnya dan tanaman kemudian disematkan atau diletakkan di
atas kain. Kemdian tutup kain yang telah ditempelkan bagian tanaman dengan
plastik, gulung rapat dengan tabung, dan ikat dengan benang atau tali. Kain
tersebut kemudian diebus selama 1 – 2 jam.

c. Teknik Mengukus (Steaming)

Teknik pengukusan pada ecoprint hampir sama dengan teknik perebusan,


hanya saja kain tidka direbus melainkan dikukus, sehingga posisi kain tidak
langsung terendam air. Teknologi uap menggunakan uap dan panas untuk
mentransfer warna dan bentuk tanaman ke kain. Steaming adalah teknik yang
dilakukan dengan cara dikukus. Selama proses pengukusan ini, terjadi reaksi
antara sumber pewarna (tumbuhan), uap panas dan bahan pengikat untuk
mempercepat proses perpindahan warna pada tekstil. Teknik ini cukup rumit
karena membutuhkan bahan yang cukup banyak seperti pipa, steamer, cuka,
dan lain-lain.

2.3.1 Prinsip Pewarnaan dengan Pewarna Alam

Dalam proses pewarnaan batik atau pencetakan ecoprint menggunakan


pewarna alami untuk memperoleh warna permanen, ada beberapa hal yang
menjadi prinsip atau yang perlu diperhatikan:

2.3.1.1 Proses Mordanting

Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, mordan berarti zat pewarna yang
mengikat agar tidak larut air atau uap air. Dalam proses ecoprint, mordan
digunakan untuk membantu proses penyerapan pewarna alami pada kain, selain
itu mordan juga mempengaruhi warna ecoprint (Maheasy, 2013). Proses
pembuatan mordan dapat dilakukan dengan 3 cara (Choiriyah, 2008), yaitu:
a. Pre-mordant, yaitu media direndam dalam larutan mordan sebelun
dilakukan proses pencetakan. Tujuan dari pre-mordan adalah untuk
mengatur peresapan zat logam ke kain sehingga dapat secara optimal
mengikat zat kimia yang diberikan pada kain.
b. Modan Simultan, yaitu proses pencelupan media kain ke dalam larutan
mordan yang telah dicampur dengan pewarna.
c. Post-Mordan atau Mordan Akhir, yaitu media yang dilakan mordan setelah
proses pewarnaan.

Mordanting merupakan perawatan media yang dirancang untuk


menghilangkan kotoran dari media dan berfungsi untuk membuka pori-pori atau
serat sehingga zat warna dapat terserap secara optimal ke dalam pori-pori. Selain
kemampuannya untuk meningkatkan penyerapan warna, juga membantu
menghasilkan keseragaman dan kejernihan warna yang baik. Pemberian mordan
juga dapat meningkatkan ketahanan luntur warna dan menghasilkan pola warna
yang berbeda tergantung jenis mordan yang digunakan (Ismal, 2016). Jenis
mordan yang digunakan untuk pewarnaan alami sangat dapat menggunakan
tawas, kapur, soda abu, maupun zat besi.

2.3.1.2 Proses Fiksasi

Menurut Lestari (2002) dalam Masyitoh dan Ernawati (2019), fiksasi


adalah proses yang dirancag untuk memperkuat pewarna alami sehingga dapat
diwarnai tanpa memudar. Setiap proses fiksasi atau mordan akan mempengaruhi
hasil akhir. Generator warna (fiksatif) dirancag untuk mempelajari arah warna
agar tidak mudah pudar. Selain memperkuat ikatan, garam logam juga dapat
mengubah orientasi zat warna alam tergantung pada jenis garam logam yang
mengikat zat warna alam. Bahan fiksatif yang dapat digunakan adalah tawas
(Al2(SO4)3.KSO4.2H2O), kapur (CaO), dan tunjung (FeSO4.7H2O).
Kebanyakan pewarna alam, tawas memberikan arah warna berdasarkan warna
aslinya, tunjung memberikan warna yang lebih gelap atau gelap, dan kapur
memberikan warna yang berlawanan dengan warna aslinya.
Tawas (Al2(SO4)3. KSO4.2H2O) adalah Kristal putih yang tidak berasa
dan tidak berbau. Tawas akan larut dalam air dan larutan asam dari serat serta
tidak larut dalam alkohol. Tawas memiliki berat jenis 1,75 dan titik leleh sebesar
92 °C. Ketika difiksasi dengan tawas, biasanya menghsilkan warna yang sama
seperti sebelum penguncian, tetapi juga data menghasilkan warna yang lebih
terang dari sebelum penguncian.

Kapur (CaO) memiliki bentuk yang tidak beraturan dan berwarna putih
atau keputihan. Kapur memiliki berat jenis 3,40 dengan titik leleh 2572 °C dan
titik didih 2850 °C. Larutan encer kapur tohot bening digunakan untuk mengikat
warna tanaman Soga (Susanto, 1974). Fiksasi kapur dapat menghasilkan warna
akhir di atas satu tingkat atau menghasilkan warna yang sedang.

Tunjung (FeSO4.7H2O) memiliki bentuk Kristal besar atau halus dengan


warna biru-hijau muda. Tunjung memiliki berat jenis 1,85 dengan titik leleh 64 °C
dan menghilangkan semua uap air pada 300 °C. Tunjung bersifat higroskopis,
toksisitas rendah, tidak larut dalam alkohol dan dapat dimurnikan dengan
rekristalisasi (Suleman et al., 2000). Fiksasi dengan tunjung biasanya akan
menghasilkan warna akhir yang cenderung lebih gelap atau dari lebih gelap
menjadi kehitaman.

2.4 Kromatografi

Kromatografi merupakan istilah teknik pemisahan tertentu. Metode ini


diusulkan pada tahun 1903 oleh Tswett, yang menggunakannya untuk pemisahan
senyawa berwarna, nama kromatografi diambil dari senyawa berwarna. Tswett
menggunakan elusi pertama untuk memisahkan pigmen daun karena warna yang
cepat berhubungan dengan posisinya dalam kolom. Kolom yang digunakan
dikemas dengan Kalsium Karbonat padat dan dielusi dengan pelarut organic untuk
memisahkan sebagai pita berwarna pada kolom. Keterbatasan pada senyawa tidak
berwarna dan sebagian besar pemisahan kromatografi sekarang dicadangkan
untuk senyawa tidak berwarna. Lokasi senyawa yang tidak berwarna juga dapat
dilihat karena fluoresensinya di bawah sinar UV (Sastrohamidjojo, 1985).
2.4.1 Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi Lapis Tipis atau KLT (Thin Layer Chromatography (TLC))


adalah metode analisis yang digunakan untuk memisahkan campuran senyawa
secara cepat. Metode ini termasuk dalam kromatografi cair – padat dan dengan
prinsip pemisahan pelat, KLT didasarkan pada adsopsi senyawa pada fase diam
dan fase gerak. Pemisahan dapat terjadi karena adanya perbedaan kepolaran antar
senyawa dalam campuran fase diam dan fase gerak. Perbedaan polaritas ini
menyebabkan pemisahan yang diamati melalui munculnya noda atau noda dengan
nilai Rf yang berbeda berdasarkan kecepatan migrasi masing-masing senyawa
(Leba, 2017).

Diantara senyawa tak berwarna, cara termudah adalah mengamati dengan


sinar UV. Beberapa senyawa organik memancarkan atau berfluoresensi ketika
disinari dengan sinar ultraviolet gelombang pendek (254 nm) atau gelombang
panjang (366 nm), apabila dengan caa tersebut tidak dapat terdeteksi, dapat dicoba
dengan menyemprotkan pereaksi yang membuat bercak tersebut tampak.

a. Fase Diam (Lapisan Penyerap)


Fase diam adalah lapisan tipis yang terdiri dari bahan padat yang
ditumpangkan pada permukaan penyangga datar, biasanya terbuat dari
kaca tetapi dapat juga dibua dari pelat polimer atau logam. Lapisan
menempel ke permukaan dengan bantuan pengikat (biasanya kalsium
sulfat atau pati). Dua sifat penting dari fase diam adalah ukuran patikel dan
homogenitas, karena adhesi pada penyangga sangat bergantung pada
kedua sifat ini.
b. Fase Gerak (Pelarut Pengembang)
Fase gerak adalah media transport yang terdiri dari satu atau lebih pelarut
dan jika sistem pelarut multi-komponen diperlukan, itu harus menjadi
campuran paling sederhana hingga tiga komponen. Pemisahan senyawa
organik selalu menggunakan pelarut campuran. Tujuan penggunaan
pelarut campuran adalah untuk mendapatkan pemisahan senyawa yang
baik. kombinasi pelarut didasarkan pada polaritas masing-masing pelarut
untuk mendapatkan sistem pengembang yang sesuai. Pelarut pengembang
yang digunakan dalam kormatografi lapis tipis meliputi n-heksana, karbon
tetraklorida, benzene, kloroform,dietil eter, etil asetat, piridin, aseton,
etanol, methanol, dan air.

Dibandingkan dengan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dan


kromatografi gas (KG), KLT memiliki beberapa keunggulan (Rohman, 2009),
yaitu:

a. KLT memberikan fleksibilitas yang lebih besar dalam pemilihan fase


gerak.
b. Berbagai teknik pemisahan yang dioptimalkan dapat dilakukan pada TLC
untuk ekspansi dua dimensi, ekspansi hierarkis, pemidaian absorbansi, dan
lain-lain.
c. Proses kromatografi mudah diikuti dan ddapat dihentikan kapan saja.
d. Semua komponen dalam sampel dapat dideteksi.

2.5 Uji Kualitas Pewarnaan Ecoprint

Uji kualitas pewarnaan kain antara lain ada uji ketahanan luntur warna dan
nama warna. Pengujia dilakukan setela selutuh proses selesai dikerjakan.

2.5.1 Uji Ketahanan Luntur Warna

Pengujian dilakukan setelah seluruh proses selesai dan uji tahan luntur
warna dilakukan untuk mengetahui kualitas kain. Nilai tahan luntur warna
tergantung pada sifat serat, penggunaan pewarna dan jenis bahan tekstil. Hasil uji
tahan luntur warna biasanya dievaluasi dengan pengamatan visual. Menurut
Wibowo (1973), penilaian visual dapat dilakukan dengan membandingkan
perubahan warna yang terjadi dengan perubahan warna standar. Tahan luntur
warna terhadap pencucian penggosokan, dan keringat tergantung pad akekuatan
ikatan yang terjadi anatar serta dan pewarna. Dalam Sulaiman dkk., (2000)
menunjukkan bahwa fikastif berupa larutan kapur dan larutan tawas serta larutan
tunjung yang mengikat ion dari Al3+ tawas, Fe2+ dari larutan tunjung, dan Ca2+
dari larutan kapur menjadi tannin pada serat. Pengikatan menyebabkan molekul
pewarna alami untuk mengikat dan menjadi leih besar dalam serat. Hal ini dapat
menyebabkan kesulitas bagi molekul pewarna alami untuk keluar dari pori-pori
serat atau untuk meningkatkan ketahanan luntur.

Tahan luntur warna dinilai dengan membandingkan perubahan warna yang


terjadi pada sampel dengan perubahan warna standar. Skala perubahan warna
yang dimaksud adalah skala pewarnaan standar untuk menilai perubahan warna
noa pada kain putih (staining scale) dan standar skala abu-abu (grey scale) utnuk
menilai perubahan warna. Dalam studi Azizah (2018), grey scale dan staining
scale digunakan untuk mengevaluasi perubahan warna dalam uji tahan luntur
warna terhadap pencucian, keringat, penggosokan, penyetrikaan, sinar matahari,
bahan kimia, air laut, dan lain-lain. Penilaian stnadar perubahan warna
berdasarkan skala abu-abu (grey scale) dan skala penodaan warna (staining scale)
ditunjukkan pada Tabel 1 dan 2 dibawah ini (Moerdko et al., 1975).

a. Staining Scale
Staining scale merupakan penilaian mengenai penodaan warna terhadap
kain putih, dimana terdapat perbedaan deskripsi dan representasi nilai
skala penodaan warna. Penilaian tersebut dinyatakan dalam nilai
kekhromatikan adam sama dengan skala abu-abu (grey scale), tetapi
besarnya perbedaan warna berbeda.

Tabel 1. Penilaian Perubahan Warna pada Standar Staining Scale

Evaluasi
Nilai Perbedaan Toleransi
Tahan
No Ketahanan Warna Standar Kerja
Luntur
Luntur Warna (CD) (CD)
Warna
1 5 0,0 0,0 Baik Sekali
2 4-5 2,0 ± 0,3 Baik
3 4 4,0 ± 0,3 Baik
4 3-4 5,6 ± 0,4 Cukup Baik
5 3 8,0 ± 0,5 Cukup
6 2-3 11,3 ± 0,7 Kurang
7 2 16,0 ± 1,0 Kurang
8 1-2 22,6 ± 1,5 Jelek
9 1 32,6 ± 2,0 Jelek
Keterangan: CD = Color Difference

b. Grey Scale
Pada pengujian grey scale, menurut standar perubahan wana yang
dijelaskan oleh grey scale, dilakukan dengan membandingkan perbedaan
antara sampel yang diuji dan sampel asli diikuti evaluasi tahan luntur
warna dan perubahan warna yang sesuai dilakukan. Hall tersebut
dinyatakan dalam rumus nilai kekhromatikan adam yang tercantum dalam
tabel berikut:

Tabel 2. Penilaian Perubahan Warna pada Stadar Gray Scale

Evaluasi
Nilai Perbedaan Toleransi
Tahan
No Ketahanan Warna Standar Kerja
Luntur
Luntur Warna (CD) (CD)
Warna
1 5 0,0 0,0 Baik Sekali
2 4-5 0,8 ± 0,2 Baik
3 4 1,5 ± 0,2 Baik
4 3-4 2,1 ± 0,2 Cukup Baik
5 3 3,0 ± 0,2 Cukup
6 2-3 4,2 ± 0,3 Kurang
7 2 6,0 ± 0,5 Kurang
8 1-2 8,5 ± 0,7 Jelek
9 1 12,0 ± 1,0 Jelek
Keterangan: CD = Color Difference
2.5.2 Nama Warna

Setiap tanaman menghasilkan warna yang berbeda, tergantung pada


pigmen tanaman (zat yang menentukan warna). Dengan membandingkan hasil
pewarnaan kain menggunakan NADIN 2021 (Natural Dyes Indexation), warna
yang dihasilkan dapat diketahui nama warnanya. Pembanding hasil pewarnaan
dapat dilakukan secara visual baik melalui sampel asli atau melalui gambar
digital.
BAB III

HIPOTESIS DAN RANCANGAN PERCOBAAN

3.1 Hipotesis

Penelitian ini memiliki hipotesis sebagai berikut:

1. Penggunaan beberapa jenis daun dengan kandungan kimia warna yang


beragam diduga memberikan karakteristik secara fisik sebagai ecoprint.
2. Perbedaan bahan fiksasi (tawas dan tunjung) diduga akan mempengaruhi
kualitas pewarnaan kain hasil ecoprint yang berbeda.

3.2 Rancangan Percobaan

Rancangan penelitian yang digunakan pada analisis karakteristik dan kualitas


pewarnaan kain yaitu rancangan acak lengkap yang disusun secara factorial
dengan dua faktor yaitu jenis daun dan bahan fiksasi. Jenis daun terdiri dari 5 aras
dan bahan fiksasi terdiri dari 2 aras. Perbedaan faktor jenis daun dan bahan fiksasi
menghasilkan 10 kombinasi sampel dengan tiga kali ulangan yang diambil dari
satu bagian sampel yang sama untuk setiap perlakuan sehingga total keseluruhan
sampel berjumlah 10 x 3 = 30 sampel. Berikut rincian faktor dan aras yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu:

a. Jenis Daun
1. D1 = Akasia (Acacia mangium)
2. D2 = Jati (Tectona grandis)
3. D3 = Paku (Nephrolepis dentate)
4. D4 = Kayu Putih (Melaleuca leucadendron)
5. D5 = Eboni (Diospyros celebica)
b. Bahan Fiksasi
1. F1 = Tawas dengan konsentrasi 15 gr/liter
2. F2 = Tunjung dengan konsentrasi 15 gr/liter
Tabel 3.1. Rancangan Acak Lengkap Percobaan Faktorial
Ulangan
Jenis Daun Zat Fiksasi
1 2 3
F1 D1F1(1) D1F1(2) D1F1(3)
D1
F2 D1F2(1) D1F2(2) D1F2(3)
F1 D2F1(1) D2F1(2) D2F1(3)
D2
F2 D2F2(1) D2F2(2) D2F2(3)
F1 D3F1(1) D3F1(2) D3F1(3)
D3
F2 D3F2(1) D3F2(2) D3F2(3)
F1 D4F1(1) D4F1(2) D4F1(3)
D4
F2 D4F2(1) D4F2(2) D4F2(3)
F1 D5F1(1) D5F1(2) D5F1(3)
D5
F2 D5F2(1) D5F2(2) D5F2(3)

3.3 Parameter Penelitian

Parameter yang diuji pada penelitian ini yaitu:

3.3.1 Karakteristik Pewarna Daun meliputi:


a. Karakteristik daun secara fisik
b. Kandungan pigmen warna daun
3.3.2 Kualitas Pewarnaan Daun meliputi:
a. Arah warna
b. Ketahanan warna kain
1. Ketahanan terhadap pencucian 40 °C
Nilai Perubahan Warna (grey scale) dan Nilai Penodaan Warna
(staining scale)
2. Ketahanan terhadap keringat asam
Nilai Perubahan Warna (grey scale) dan Nilai Penodaan Warna
(staining scale)
3. Ketahanan terhadap gosokan
Nilai Perubahan Warna (grey scale)
3.4 Analisis Hasil
3.4.1 Karakteristik Pewarna Daun

Parameter pengujian karakteristik pewarna daun berupa karakteristik


secara fisik daun (bentuk, permukaan daun dan tulang daun) dan kandungan
warna terhadap daun yang digunakan sebagai ecoprint dianalisis metode
deskriptif eksploratif. Data hasil pengujian kandungan warna lebih mengarah pada
data kualitatif sehingga dianalisis menggunakan metode deskriptif eksploratif.

3.4.2 Kualitas Pewarnaan Kain

Data yang diperoleh dari hasil pengujian kualitas pewarnaan kain berupa
ketahanan warna kain ( ketahanan terhadap pencucian 40°C, ketahanan terhadap
keringat asam, dan ketahanan terhadap gosokan) dan uji arah warna, kemudian
dikelompokkan menjadi beberapa kelas (Moerdoko et al, 1975), yaitu:

1. Jelek :1
2. Kurang : 2-3, 2
3. Cukup :3
4. Cukup Baik : 3-4
5. Baik : 4-5, 4
6. Baik Sekali :5

Hasil pengujian arah warna dilakukan secara kualitatif, kemudian di


transformasi menjadi data deskriptif eksploratif. Pada pengujian ketahanan warna
tidak dilakukan analisis varian menggunakan two-way ANOVA melainkan uji
non-parametrik yang dilakukan dengan independent sample T-Test untuk
mengetahui ada atau tidaknya perbedaan signifikan terhadap pengaruh jenis bahan
fiksasi pada ecoprint beberapa jenis daun. Apabila nilai Sig. >0,05 maka hasil
menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata dan apabila nilai Sig. <0,05 maka
hasil menunjukkan nilai yang berbeda nyata maupun berbeda sangat nyata.
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakn pada bulan Februari 2022 sampai Mei 2022 di
Laboratorium Hasil Hutan Non kayu, Departemen Teknologi Hasil Hutan,
Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Fakultas Farmasi, dan Balai Besar
Kerajinan dan Batik Yogyakarta

4.2 Bahan dan Alat Penelitian


4.2.1 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu:

a. Bahan untuk Ekstraksi:


1) Daun tanaman Akasia (Acacia mangium), Jati (Tectona grandis), Paku
(Nephrolepis dentate), Kayu Putih (Melaleuca leucadendron), dan Eboni
(Diospyros celebica) segar yang sudah tua kecuali pada daun Jati diambil
daun yang muda. Hal tersebut dikarenakan daun yang tua lebih
mengeluarkan pigmen warna yang lebih jelas dibandingkan dengan daun
muda terkecuali pada daun jati. Pemetikan daun pada petak 13 di KHDTK
Wanagama. Dibutuhkan sekitar 100 gram untuk satu sampel.
2) Aquades
b. Bahan untuk pengujian KLT (Kandungan Pigmen Warna):
1) Silika Gel 60 F254
2) Etik Asetat
3) Asam Formiat
4) Asam Asetat Glassial
5) Air
6) Pelarut n-heksan
7) Sitroborat
8) Ferri Klorida (FeCl3)
c. Bahan Scouring:
1) Kain katun prima sebanyak 3 m2 dibeli di toko bahan batik di Jalan
Ngasem.
2) TRO dibeli di toko bahan batik di Jalan Ngasem.
3) Soda Abu dibeli di toko bahan batik di Jalan Ngasem.
d. Bahan Pre-Mordant:
1) Tawas dibeli di toko bahan batik di Jalan Ngasem.
2) Soda Abu dibeli di toko bahan batik di Jalan Ngasem.
e. Bahan Pemordanan:
1) Tawas dibeli di toko bahan batik di Jalan Ngasem.
2) Cuka dibeli di toko bahan batik di Jalan Ngasem.
3) Soda Abu dibeli di toko bahan batik di Jalan Ngasem.
4) Kapur dibeli di toko bahan batik di Jalan Ngasem.
f. Bahan untuk Pengukusan Ecoprint:
1) Plastik dibeli di toko plastik.
2) Tunjung dibeli di toko bahan batik di Jalan Ngasem.
3) Daun 5 jenis yang dipetik di KHDTK Wanagama.
g. Bahan untuk Fiksasi:
1) Tawas dibeli di toko bahan batik di Jalan Ngasem.
2) Tunjung dibeli di toko bahan batik di Jalan Ngasem.
3) Lerak dibeli di toko bahan batik di Jalan Ngasem.
h. Bahan Pengujian Kualitas Pewarnaan Kain:
1. Pengujian ketahanan warna kain terhadap keringat asam:
a) Natrium chloride. Diperoleh di Balai Besar Kerajinan dan Batik
Yogyakarta.
b) Asam laktat. Diperoleh di Balai Besar Kerajinan dan Batik Yogyakarta.
c) Dinatrium ortofosfat non hidrat. Diperoleh di Balai Besar Kerajinan Batik
Yogyakarta
d) Air Suling. Diperoleh di Balai Besar Kerajinan dan Batik Yogyakarta.
e) Kain wol. Diperoleh di Balai Besar Kerajinan dan Batik Yogyakarta
2. Pengujian ketahanan warna terhadap pencucian 40°C:
a) Natrium hipoklorit untuk membuat larutan uji tahan luntur warna terhadap
pencucian pada kain. Diperoleh di Balai Besar Kerajinan dan Batik
Yogyakarta.
b) Natrium meta silikat untuk membuat larutan uji tahan luntur warna
terhadap pencucian pada kain. Diperoleh di Balai Besar Kerajinan dan
Batik Yogyakarta.
c) Larutan asam asetat 28%, untuk membuat larutan uji tahan luntur warna
terhadap pencucian pada kain. Diperoleh di Balai Besar Kerajinan dan
Batik Yogyakarta.
d) Sabun dengan syarat – syarat :
i. Air dan zat-zat menguap maksimum 10% pada suhu 105℃.
ii. Jumlah alkali bebas, zat-zat tidak larut dalam alkohol, dan natrium
chlorida maksimum 6%.
iii. Alkali bebas sebagai NaOH maksimum 0,2%.
iv. Zat tidak larut air sebanyak 1,0%.
v. Kadar sabun non hidratmaksimum 85%.
3. Pengujian Ketahanan Warna terhadap gosokan:
a) Kain ecoprint yang sudah jadi.
b) ISO Crocking Cloth.
4. Bahan untuk Pengujian Arah Warna:
a) Kain ecoprint yang sudah jadi.
b) NADIN 2021 (Natural Dyes Indexation).

4.2.2 Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

a. Alat untuk Ekstraksi Zat Warna:


1) Panci sedang untuk mengekstrak bahan dengan pelarut.
2) Pengaduk untuk mengaduk esktrak secara berkala.
3) Kompor listrik untuk memanaskan ekstrak.
4) Alat untuk pengujian kandungan pigmen warna daun (KLT):
b. Alat untuk pengujian KLT:
1) Eksikator
2) Silika Gel GF 254
3) Densitometer
4) Mikropipet
5) Neraca analitik
6) Elenmeyer
7) Gelas beaker
8) Pengaduk kaca
9) Corong kaca
10) Laboratory UV Chamber
c. Alat untuk Scouring:
1) Ember untuk tempat perendaman.
2) Pengaduk untuk mencampurkan larutan dan air.
d. Alat untuk pre-mordant:
1) Ember untuk tempat perendaman.
2) Pengaduk untuk mencampurkan larutan dan air.
3) Timbangan untuk menakar berat larutan.
e. Alat untuk mordanting:
1) Ember untuk tempat perendaman.
2) Pengaduk untuk mencampurkan larutan dan air.
f. Alat untuk pengukusan ecoprint:
1) Kukusan untuk mengukus ecoprint.
2) Pipa Kayu ukuran panjang 30 cm untuk menggulung kain ecoprint.
3) Benang Kasur dibeli ditoko bangunan untuk mengikat kain.
4) Isolasi Bening dibeli di toko alat tulis.
g. Alat untuk fiksasi:
1) Ember untuk tempat perendaman.
h. Alat untuk pengujian kualitas warna kain:
i. Alat pengujian ketahanan terhadap keringat asam:
a. AATC Prespirationtester, alat ini tersedia di Balai Besar Kerajinan
Batik Yogyakarta.
b. Kertas saring ukuran 40 x 30 cm, sebagai alas contoh uji yang telah
dicelup larutan keringat asam, berfungsi untuk memeras dan
meratakan larutan.
c. Gelas piala 500 ml dan pengaduk yang ujungnya pipih.
d. Gray Scale JIS L 0804 dan Staining Scale JIS L 0805, keduanya
diproduksi oleh Japan Colour Research Institute. Alat ini tersedia di
Balai Besar Kerajinan dan Batik Yogyakarta.
e. Lempeng – lempeng plastik berukuran 20 x 15 cm.
f. Tungku pengering listrik merek Memmert, T 40 mikro 770245, 220 V,
2200 W, 220 C, milik Balai Besar Kerajinan dan Batik Yogyakarta.
ii. Alat pengujian ketahanan terhadap pencucian 40°C
a. Linitest untuk memutarkan bejana yang tertutup dalam pemanas air
yang suhunya dapat dikendalikan secara termostatik dengan kecepatan
42 putaran/menit. Alat ini dilengkapi dengan bejana – bejana dan
kelereng – kelereng baja tahan karat merek Original Hanau 0829,
maksimum 2 KW, 220 V, milik Balai Besar Kerajinan dan Batik
Yogyakarta.
b. Setrika listrik merek Crown.
c. Gray Scale JIS L 0804 dan Staining Scale JIS L 0805. Keduanya
diproduksi oleh Japan Colour Research Institute, milik Balai Besar
Kerajinan dan Batik Yogyakarta.
d. Termometer 100℃.
iii. Alat pengujian ketahanan terhadap gosokan
a. Crockmeter.
b. Kain penggosok (wol) ukuran 5x5 cm.
c. Staining scale.

4.3 Prosedur Penelitian


4.3.1 Persiapan Bahan Baku
Daun diambil dari KHDTK Wanagama. Sampel daun diambil di petak 13
dengan pengambilan daun yang tua kecuali daun jati untuk menghindari adanya
faktor lain yang berpengaruh terhadap hasil penelitian. Daun yang digunakan
merupakan daun yang segar. Setelah itu, daun di grinder untuk diperoleh serbuk
daunnya. Masing-masing perlakuan daun tersebut memiliki 1 kali ulangan dengan
berat sebesar 100 gram.

4.3.2 Ekstraksi Perebusan dengan Aqudes

Ekstraksi kandungan warna daun menggunakan cara ekstraksi perebusan


dengan pelarut aquades yang dilakukan dengan cara:

1) Daun ( Jati, Akasia, Kayu Putih, Eboni,dan Paku) disiapkan kemudian


diptong-potong untuk memudahkan dalam pencacahan. Masing-masing
daun di grinder untuk diperoleh serbuknya.
2) Daun yang sudah di grinder dengan aquades direbus sampai mendidih
dengan suhu perebusan ±100°C selama 1 jam.Perbandingan antara daun
dengan aquades yaitu 1:10 (100 gram serbuk daun untuk 1000 ml air).
Hasil rebusan daun dalam aquades kemudian di dinginkan.
3) Larutan rebusan daun kemudian disaring untuk memisahkan hasil
ekstraksi dengan bahan yang diekstrak.
4) Setelah disaring kemudian dilakukan sentrifuse selama 5 menit dengan
kecepatan 6.000 rpm/menit.
5) Dihasilkan filtrat warna. Filtrat warna tersebut disimpan ditempat tertutup,
tidak terkena sinar matahari secara langsung, dan pada suhu yang relative
rendah untuk menghindari terjadinya kerusakan senyawa kimia dalam
larutan. Selain itu,larutan pewarna dengan pelarut aquades diusahakan
untuk tidak disimpan terlalu lama karena akan memicu tumbuhnya jamur
dan kapang sehingga merusak zat warna yang terkandung didalamnya.
4.3.3 Pengujian Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Pengujian kromatografi lapis tipis dilakukan dengan menganalisis di
bawah sinar UV 254 dan sinar UV 366 untuk mengetahui kandungan
warna berupa Flavonoid, Tanin, dan Klorofil. Berikut langkah-langkah
yang dilakukan:
1) Menyiapkan fase diam berupa silica gel 60 F254 dan pembuatan fase
gerak (eluen) pada skrining fitokimia berupa:
a. Flavonoid, menggunakan perbandingan larutan etil asetat:asam
formiat:asam asetat glassial:air (100:11:11:24)
b. Tanin, menggunakan perbandingan larutan etil asetatLasam
formiat:aseton:air (6:1.5:2:0.5)
c. Klorofil, menggunaka perbandingan larutan heksan:etil asetat (7:3)
2) Pembuatan kromatogram dengan jarak 1 cm dari ujung bawah dan 1
cm dari ujung atas. Pada garis awal dibuat spot dan ditotolkan larutan
pigmen sebesar 3μL sampelpada fase diam silica gel 60 F254.
3) Dielusi dengan fase gerak yang sudah ditentukan hingga jarak
pengembangan 8.2 cm. Pembanding yang digunakan yaitu larutan
Sitroborat untuk flavonoid dan FeCl3 untuk tannin.
4) Kemudian dikeringkan dan diamati dibawah sinar tampak, UV 254,
UV 365 lalu dianalisis dengan Densitometer..
4.3.4 Proses Ecoprint
4.3.4.1 Proses Scouring

Proses scouring dilakukan pada kain katun prima dengan luas 3 m2 dalam
8 liter air, maka dibutuhkan TRO dan soda abu masing-masing sebanyak…

Proses Scouring dilakukan dengan:

1. Menyiapkan bahan dan alat yang digunakan untuk proses scouring.


2. Menyiapkan TRO dan soda abu dalam 8 liter air.
3. Masukkan kain pada karutan scouring dan rendam selama 30 menit, lalu
kain diangkat dan cuci bilas.
4.3.4.2 Proses Pre-Mordanting

Proses pre mordanting dilakukan setelah proses scouring yang


membutuhkan tawas dan soda abu masing-masing sebanyak…..

Proses pre mordanting dilakukan dengan:

1. Menyiapkan bahan dan alat pre mordanting.


2. Menyiapkan tawas dan soda abu, sebelum itu cairkan tawas ke dalam air
suhu 100°C untuk mencairkannya lalu campurkan tawas dan soda abu ke
dalam 3 liter air.
3. Masukkan kain scouring ke dalam larutan pre mordanr dan rendam kain
tersebut selama 3 hari. Kemudian angkat dan bilah hingga bersih.
4. Lalu,dikering anginkan ditempat teduh jangan terkena cahaya matahari
langsung.
4.3.4.3 Proses Mordanting

Proses mordanting dilakukan setelah proses pre mordanting yang


membutuhkan tawas, cuka, dan soda abu masing-masing sebanyak….

Proses permordanan dilakukan dengan:

1. Menyiapkan bahan dan alat yang dibutuhkan.


2. Melarutkan tawas, cuka, dan soda abu ke dalam 2 liter air.
3. Merendam kain pre mordant selama 15 menit ke dalam larutan mordan
yang sudah dibuat.
4. Setelah itu menyiapkan larutan kapur 1 sdm dengan 3 liter air (untuk 20
meter kain).
5. Masukkan kain mordanting laludiremas-remas selama 5 menit.
6. Bilas hingga bersih dan peras hingga atus.
4.3.4.4 Proses Pengukusan Ecoprint

Proses pengukusan (steaming) ecoprint dilakukan sebagai berikut:


1. Kain yang sudah di mordanting, peras hingga atus dan diletakkan di atas
plastik.
2. Menyusun daun sesuai selera dan kreasi dengan memposisikan tulang
daun berada di bawah.
3. Kemudian mempersiapkan larutan tunjung sebanyak 0.5 sdm tunjung/2
liter air.
4. Kain blanket yang sudah discouring dimasukkan ke dalam larutan tunjung
dan remas-remas hingga merata, lalu angkat peras hingga atus.
5. Kemudian tutup kain yang ada daun menggunakan kain blanket (ukuran
kain blanket kurang lebih sama dengan ukuran kain utama). Tutup dengan
plastik, lalu dipadatkan dengan ditekan.
6. Selanjutnya, gulung ketat dengan bantuan pipa dan ikat kencang kemudian
kukus hingga 2 jam.
7. Setelah proses ecoprint selesai biarkan bundelan ecoprint dingin lalu buka
dan singkirkan daun dengan menjemur di tempat teduh selama 7 hari lalu
dicuci agar mendapatkan warna fiksasi.
4.3.4.5 Proses Fiksasi

Proses Fiksasi dilakukan dengan tunjung dan tawas sebanyak 15


gram/liter. Pada penelitian ini tawas dan tunjung yang digunakan sebanyak 30
gram dalam 2 liter air.

Proses fiksasi dilakukan dengan:

1. Menyiapkan bahan dan alat untuk fiksasi.


2. Melarutkan tunjung dan tawas pada masing-masing 2 liter air.
3. Kemudian dicampur dan kain hasil ecoprint dicelup beberapa kali.
4. Setelah itu dikering anginkan dan kemudian dicuci dengan lerak dan bilas
hingga bersih.
5. Setelah proses fikasi selesai, jemur kain di tempat teduh hingga kering.
4.3.5 Pengujian Kualitas Pewarnaan Kain
4.3.5.1 Pengujian Arah Warna
Pengujian arah warna dilakukan pada sampel kain dan membandingkan
warna yang dihasilkan dengan warna yang terdapat pada NADIN 2021 (Natural
Dye Indexation) yang terdapat pada web https://warnaalam.batik.go.id/.

4.3.5.2 Pengujian Ketahanan Luntur Warna terhadap Keringat Asam

Pengujian ketahanan luntur warna terhadap keringat asam dilakukan pada


sampel kain berukuran 6 x 6 cm dengan tahapana sebagai berikut:

1. Kain ecoprint direndam dan diaduk-aduk dalam larutan keringat buatan


bersifat asam selama 15 – 30 menit untuk mendapatkan pembahasan
sempurna.
2. Kain ecoprint diperas sehingga beratnya menjadi 2,5 – 3 kali berat kain
semula. Kain tersebut kemudian diletakkan diantara 2 lempeng kaca dan
dipasang pada perspiration tester serta diberi tekanan sebesar 10 pound
(60 g/cm2).
3. Kain yang telah terpasang pada perspiration tester kemudian dimasukkan
ke dalam oven dan dipanaskan pada suhu 38±1°C selama 6 jam. Hasil dari
pengujian tersebut kemudian dievaluasi penodaan warnanya dengan
staining scale dan evaluasi perubahan warna dengan gray scale. Uji
ketahanan luntur warna terhadap kerigat asam dilakukan berdasarkan
standar SNI ISO 105-E04:2015.

Tabel 4.1. Standar Penilaian Warna pada Gray Scale dan Staining Scale

Perbedaan
Nilai Tahan Evaluasi
Warna (Color
Luntur Tahan Luntur
Difference)
5 0 Baik sekali
4–5 0,8 Baik
4 1,5 Baik
3–4 2,1 Cukup baik
3 3,0 Cukup
2–3 4,2 Kurang
2 6,0 Kurang
1–2 8,5 Jelek
1 12,0 Jelek
(Sumber: Moerdoko et al, 1975).

4.3.5.3 Pengujian Ketahanan Luntur Warna terhadap Pencucian 40 °C

Pengujian ketahanan luntur warna terhadap pencucian 40°C dilakukan


pada sampel berukuran 5x10 cm dengan tahapan sebagai berikut:

1. Memasukan 200 ml larutan yang mengandung 0,05% volume sabun dan


10 buah kelereng baja tahan karat ke dalam bejana, kemudian ditutup dan
dipanaskan pada suhu 40°C.
2. Bejana diletakkan dalam mesin lintiest dengan penutup menghadap keluar.
3. Pemanasan pendahuluan dilakukan selama kurang lebih 2 menit.
4. Mesin litiest dihentikan dan kain dalam bejana dikeluarkan. Kain tersebut
kemudian dicuci dengan air pada suhu 40°C sebanyak dua kali. Setelah
itu, kain diperas dan dikeringkan menggunakan setrika.
5. Kain ecoprint kemudian diasamkan menggunakan laruta asam asetat
0.014% selama satu menit pada suhu 27°C. Setelah itu kain dicuci kembali
dengan air pada suhu 27°C selama satu menit.
6. Kain ecoprint dikeringkan dengan menggunakan setrika pada suhu135°C -
150°C. Setelah itu dilakukan evaluasi penodaan warna dengan staining
scale dan evaluasi perubahan warna dengan gray scale. Ketahanan luntur
warna terhadap pencucian 40°C dilakukan berdasarkan standar SNI ISO
105-C06: 2010

Tabel 4.2. Satndar Penilaian Warna pada Gray Scale dan Staining Scale

Perbedaan
Nilai Tahan Evaluasi
Warna (Color
Luntur Tahan Luntur
Difference)
5 0 Baik sekali
4-5 0,8 Baik
4 1,5 Baik
3-4 2,1 Cukup baik
3 3,0 Cukup
2-3 4,2 Kurang
2 6,0 Kurang
1-2 8,5 Jelek
1 12,0 Jelek
(Sumber: Moerdoko et al., 1975)

4.3.5.4 Pengujian Ketahanan Luntur Warna terhadap Gosokan

Pengujian ketahanan luntur warna terhadap gosokan dilakukan pada


sampel kain berukuran 5 x 14 cm dengan tahapan sebagai berikut:

1. Menentukan bagian sampel kain yang mewakili seluruh warna.


2. Merentangkan sampel kain pada crockmeter dengan posisi anyaman
diagonal terhadap arah gosokan.
3. Crocking cloth dipasang pada batang atau jari penggosok.
4. Kemudian alat dijalankan 10 kali maju-mundur ( 20 kali gosokan).
5. Lakukan pengujian sebanyak tiga kali pada bagian yang berbeda.
6. Setelah itu evaluasi penodaan pada crocking cloth menggunakan gray
scale. Ketahanan luntur warna terhadap gosokan dilakukan berdasarkan
standar SNI ISO 105-X12:2016.

Tabel 4.3. Satndar Penilaian Warna pada Gray Scale dan Staining Scale
Perbedaan
Nilai Tahan Evaluasi
Warna (Color (Sumber: Moerdoko et
Luntur Tahan Luntur
Difference) al., 1975)
5 0 Baik sekali
4.3.6 Bagan Alur
4-5 0,8 Baik
Penelitian
4 1,5 Baik
Gambar 4.1.
3-4 2,1 Cukup baik
Bagan Alur
3 3,0 Cukup
Penelitian
2-3 4,2 Kurang
BAB V
2 6,0 Kurang
HASIL
1-2 8,5 Jelek
PENELITIAN DAN
1 12,0 Jelek
ANALISIS

5.1. Karakteristik Pewarna Daun


Karakteristik pewarna dari daun dilakukan pengamatan terhadap
karakteristik daun secara fisik dan pengujian kandungan pigmen warna
daun menggunakan skrining fitokimia KLT. Hasil pengamatan dan
pengujian tersebut kemudian dianalisis secara deskriptif
5.1.1 Karakteristik daun secara fisik
5.1.2 Kandungan pigmen warna daun

5.2. Kualitas Pewarnaan Daun


Hasil dari pengujian kualitas pewarnaan daun dibedakan menjadi dua
pengujian, yaitu arah warna dan ketahanan warna kain.
5.2.1 Arah Warna
Pengujian arah warna dilakukan dengan membandingkan warna
kain hasil ecoprint dengam indeks warna pada NADIN 2021
(Natural Dye Indexation) yang menghasilkan warna yang disajikan
pada Tabel ….
5.2.2 Ketahanan warna Kain
Pengujian ketahanan warna kain dilakukan dengan tiga pengujian
yaitu pengujian ketahanan warna kian terhadap pencucian 40°C,
ketahanan warna kain terhadap keringat asam, dan ketahanan
warna kain terhadap gosokan. Hasil pengujian tersebut kemudian
dianalisis menggunakan analisis parametrik t-test apabila tidak
memenuhi asumsinya maka dilanjutkan analisis menggunakan
analisis non-parametrik Mann Whitney U-Test.
5.2.2.1 Ketahanan Warna Kain terhadap Pencucian 40°C
5.2.2.2 Ketahanan Warna Kain terhadap Keringat Asam
5.2.2.3 Ketahanan Warna Kain Terhadap Gosokan

Anda mungkin juga menyukai