Anda di halaman 1dari 7

LPPM - UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

EKSPLORASI TUMBUHAN SEKITAR SEBAGAI BAHAN PEWARNA


UNTUK BATIK

FERA RATYANINGRUM
Jurusan Seni Rupa, Universitas Negeri Surabaya, Kampus Lidah Wetan
Surabaya, 60213, Indonesia
feraratyaningrum@unesa.ac.id

IMAM ZAINI
Jurusan Seni Rupa, Universitas Negeri Surabaya, Kampus Lidah Wetan
Surabaya, 60213, Indonesia
imamzaini@unesa.ac.id

Diterima HariTanggal Bulan Tahun


Direvisi Hari Tanggal Bulan Tahun

Abstrak – Warna merupakan salah satu bagian penting pada hampir semua produk. Pada selembar
kain batik, warna berperan utama sebagai daya tarik produk. Zat Warna Alami (ZWA) untuk batik
dapat diperoleh dari bagian-bagian tumbuhan baik akar, daun, buah, bunga, biji, kayu, kulit buah,
kulit kayu, maupun kulit akar. Tidak semua tumbuhan bisa menghasilkan atau mengeluarkan zat
pewarna. Karena itu, perlu dilakukan ujicoba agar dapat mengetahui kandungan zat warna yang
dimiliki. Bahan yang diujicobakan pada penelitian ini adalah bagian akar, batang, dan daun
tumbuhan Sawo, Kersen, Belinjo, Jamblang, Mangga, dan Bakau. Tahapan yang dilakukan meliputi
penyiapan kain dengan mordanting, ekstraksi bahan warna alam dari sumbernya, penyiapan bahan
fiksasi, dan pelaksanaan ujicoba ZWA pada kain. Hasil ujicoba menunjukkan bahwa masing-masing
bahan menghasilkan warna yang berbeda. Kecenderungan yang tampak adalah bahan akar
menghasilkan warna yang lebih tua daripada warna yang dihasilkan oleh batang dan daun. Dari segi
fiksator yang digunakan, fiksasi tunjung mengubah warna menjadi lebih gelap dari sebelumnya,
fiksator tawas tidak mengubah warna, sedangkan fiksator kapur mengubah warna menjadi lebih
muda dari sebelumnya.

Kata Kunci: batik, pewarna alam, tumbuhan.

Abstract - Color is an important part of almost all products. On a piece of batik cloth, color plays a
major role as a product attraction. Natural dyes (ZWA) for batik can be obtained from plant parts
both roots, leaves, fruit, flowers, seeds, wood, fruit peels, bark, and root bark. Not all plants can
produce or remove dyes. Therefore, it is necessary to do a trial in order to find out the dye content
that is owned. The material tested in this study is the roots, stems, and leaves of plants Sawo, Kersen,
Belinjo, Jamblang, Mangga, and Bakau. The steps taken include preparation of cloth with
mordanting, extraction of natural color material from the source, preparation of fixation materials,
and the implementation of ZWA trials on fabric. Test results indicate that each ingredient produces a
different color. The apparent tendency is that the root material produces a color that is older than the
color produced by the stem and leaves. In terms of the fixator used, the tunjung fixation changes the
color to be darker than before, tawas or alum fixator does not change color, while kapur fixator
changes color to be younger than before.
Keywords: batik, natural dyes, plant.

1507
1508 Fera Ratyaningrum, Imam Zaini

1. Pendahuluan
Warna dalam produk tekstil merupakan salah satu bagian yang berperan penting sebagai
daya tarik konsumen. Pewarnaan dapat dilakukan dengan menggunakan bahan pewarna
sintetis maupun dengan bahan pewarna alam. Saat ini penggunaan pewarna sintetis lebih
banyak dilakukan karena cenderung lebih mudah prosesnya dan warna yang dihasilkan
lebih beragam. Penggunaan bahan pewarna sintetis cepat atau lambat akan membawa
dampak bagi lingkungan berupa pencemaran terutama pada air dan udara. Di sisi lain,
kain-kain dengan pewarna alami tetap memiliki peminat. John Gillow dan Bryan
Sentance dalam buku World Textiles (2009) mengemukakan, “Meskipun penggunaan
Anilin dan pewarna kimia telah menjadi hal yang lazim, kehalusan warna alami masih
sangat dihargai dan dihidupkan kembali penggunaannya. Di beberapa tempat,
penggunaan pewarna semacam itu mencerminkan keindahan keindahan, prestis, serta
adat istiadat, dan penggunaannya tidak akan bisa digantikan oleh bahan kimia.” Hal ini
berlaku pula pada salah satu produk tekstil yaitu batik.
Pewarna alami untuk batik dapat diperoleh dari bagian-bagian tumbuhan baik akar,
daun, buah, bunga, biji, kayu, kulit buah, kulit kayu, maupun kulit akar. Sewan Susanto
(1980) menuliskan bahwa pada waktu dulu sebelum zat warna sintetik masuk ke
Indonesia maka sebagai bahan pewarna dipakai zat warna dari tumbuhan, diantaranya
adalah warna biru tua atau nila yang diambil dari daun Nila adapun warna coklat diambil
dari bagian kulit pohon sejenis Soga misalnya pohon Tegeran.
Bahan pewarna alami menghasilkan warna dengan nuansa pastel dan tidak mencolok.
Tidak semua tumbuhan bisa menghasilkan atau mengeluarkan zat pewarna. Karena itu,
perlu dilakukan ujicoba agar dapat mengetahui kandungan zat warna yang dimiliki.
Menggunakan bahan pewarna alami berarti memanfaatkan sumber daya alam agar
bernilai potensial karena Indonesia memiliki banyak sekali potensi alam yang belum
termanfaatkan dengan maksimal. Pemakaian bahan alam terutama yang berada di
lingkungan sekitar dan mudah dijumpai sebagai pewarna batik dapat memberi
kemanfaatan yang positif baik dalam segi penjagaan lingkungan dari limbah pewarna
sintetis maupun pengelolaan sumber daya alam.
Pemanfaatan bahan alam dimulai dari uji coba bahan dengan beberapa tahap
penerapan sehingga nantinya dapat dijadikan sebagai acuan pewarnaan dari bahan alam.
Hal ini dilakukan juga oleh mahasiswa yang menempuh konsentrasi Seni Batik di jurusan
Seni Rupa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya. Ujicoba dilakukan
untuk mengetahui warna-warna yang dapat diperoleh dari tumbuhan yang ada di
sekitarnya. Pewarnaan dilakukan beberapa kali dengan tujuan untuk memperoleh
tingkatan warna yang berbeda sehingga dapat dijadikan acuan untuk pewarnaan pada
kain kain batik.

2. Zat Pewarna Alam


Eksplorasi Tumbuhan Sekitar Sebagai Bahan Pewarna Untuk Batik 1509

Zat pewarna alam adalah zat warna atau pigmen yang diperoleh dari tumbuhan, hewan,
atau sumber-sumber mineral. Keuntungan zat warna alami adalah lebih ramah
lingkungan karena tidak beracun dan aman bagi kesehatan. Kelemahan pewarna alami
dalam bentuk cair adalah jika disimpan terlalu lama maka zat warna akan mudah terurai
dan mengeluarkan lendir serta bau yang tidak sedap. Maka dari itu, zat pewarna alami
lebih baik disimpan dalam bentuk serbuk, atau baru disiapkan saat hendak digunakan.
Zat warna alam untuk bahan tekstil pada umumnya diperoleh dari hasil ekstrak
berbagai bagian tumbuhan seperti akar, kayu, daun, biji, ataupun bunga. Tumbuhan yang
biasa digunakan sebagai pewarna batik antara lain daun pohon nila (indofera), kulit
pohon Soga Tingi (Ceriops candolleana arn), kayu Tegeran (Cudraina javanensis),
kunyit (Curcuma), teh (Tea), akar Mengkudu (Morinda citrifelia), kulit Soga Jambal
(Pelthophorum ferruginum), Kesumba (Bixa orelana), daun jambu biji (Psidium
guajava).
Proses pembuatan larutan zat warna alam adalah proses untuk mengambil pigmen
penimbul warna yang berada di dalam tumbuhan baik terdapat pada daun, batang, buah,
bunga, biji, ataupun akar. Tahap-tahap untuk mendapatkan warna alami dari tumbuhan
diantaranya adalah mordanting, ekstraksi, dan fiksasi.

2.1. Mordanting
Mordanting adalah proses pengolahan kain dengan cara direbus dengan garam logam
tertentu agar warna dapat terserap dan terikat kuat pada kain. Bahan untuk mordanting
adalah alum/tawas. Bahan tekstil yang hendak diwarna dengan bahan pewarna alami
perlu diproses mordanting terlebih dahulu, kecuali jika bahan pewarna alam yang akan
digunakan adalah daun tom/nila/indigofera. Senyawa mordan mampu mengikat warna
sehingga tidak mudah luntur. Sebelum dimordan, kain katun perlu direndam dalam
larutan detergen bubuk selama semalam agar lapisan kanji lepas dari kain. Hal ini tidak
dilakukan pada kain sutra.

2.2. Ekstraksi
Proses ekstraksi yaitu proses pengambilan pigmen zat warna alam dari sumbernya. Proses
ektraksi dilakukan dengan merebus menggunakan air. Untuk memperoleh ekstrak warna,
perebusan dilakukan selama beberapa waktu hingga volume air berkurang dari
sebelumnya. Dalam ujicoba ini, ekstraksi dilakukan terhadap daun, batang, dan akar
tumbuhan Belinjo, Ceres, Sawo, Mangga, Bakau, dan Jamblang.

2.3. Fiksasi
Proses Fiksasi (Fixer) yaitu proses penguncian warna setelah kain diwarna dengan zat
warna alam. Fiksasi diperlukan untuk memperkuat ikatan ZWA yang sudah terikat oleh
serat kain, juga untuk mengubah arah warna sesuai dengan garam logam yang digunakan.
Bahan untuk fiksasi adalah tawas atau alum, kapur, dan tunjung. Sebelum digunakan,
bahan-bahan tersebut dilarutkan dengan air dan didiamkan hingga sisa bahan mengendap
1510 Fera Ratyaningrum, Imam Zaini

di bagian dasar wadah yang digunakan. Cairan bening di bagian atas endapanlah yang
digunakan untuk fiksasi.

3. Metode
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dan dilakukan dalam upaya mengetahui
hasil warna dari perlakukan yang diterapkan pada beberapa bahan pewarna alam yang
telah dipilih. Peneliti mengamati, mencatat, dan mendokumentasikan hal-hal yang dapat
digunakan sebagai data penelitian. Prosedur yang dilakukan meliputi dari melakukan
kajian pustaka terhadap sumber-sumber tertulis tentang pewarna alami, observasi
terhadap ragam tumbuhan sekitar yang berpotensi untuk dijadikan bahan ujicoba,
melakukan eksperimen dengan bahan yang telah dipilih, dan mengolah data hasil
penelitian.
Teknik pengumpulan data meliputi observasi, dokumentasi, dan studi literatur.
Sedangkan analisis data dilakukan melalui reduksi data, penyajian data, dan verifikasi
data. Untuk memperoleh data yang valid, dilakukan pengecekan dengan triangulasi data
yaitu dengan membandingkan dan mengecek balik suatu informasi yang diperoleh dari
proses pengumpulan dan analisis data.

4. Hasil dan Pembahasan


Tanaman yang digunakan dalam penelitian merupakan tanaman yang mudah ditemui
dilingkungan sekitar. Terdapat 6 jenis tumbuhan yaitu (1) pohon sawo, (2) pohon kersen,
(3) pohon belinjo, (4) pohon jamblang, (5) pohon mangga, dan (6) pohon bakau. Masing-
masing melalui ekstraksi bagian akar, kulit batang, dan daun. Untuk mendapatan hasil
pewarnaan alam pada kain maka proses yang dilakukan meliputi penyiapan kain dengan
melakukan mordanting, menyiapkan pewarna atau melakukan ekstraksi zat warna alam
dari sumbernya, menyiapkan larutan fiksator, dan melakukan ujicoba bahan yang telah
dipilih. Langkah-langkah tersebut diuraikan sebagai berikut.

4.1. Mordanting
Mordanting yang merupakan tahap pengolahan kain sebelum dikenai pewarna alami,
dilakukan dengan tahapan:
 Merendam kain katun pada larutan 2gr perliter deterjen bubuk atau TRO (Turkey Red
Oil). Perendaman dilakukan minimal 12 jam, kemudian dicuci dan dianginkan.
 Merebus kain dalam 17 liter air yang mengandung 100 gram tawas lalu dibiarkan
pada suhu 600 C selama 1 jam. Kemudian api dikecilkan dan kain dibiarkan tetap
dalam rendaman hingga 12 jam.
 Kain diangkat, dicuci bersih, dan dikeringkan, diseterika, dan siap untuk proses
selanjutnya.
Eksplorasi Tumbuhan Sekitar Sebagai Bahan Pewarna Untuk Batik 1511

4.2. Ekstraksi
Ekstraksi atau pengambilan zat warna alami dari sumbernya dilakukan dengan langkah-
langkah sebagai berikut.
 Bahan (daun, batang, akar) dipotong-potong menjadi bagian yang relatif kecil.
 Bahan dibersihkan lalu dicuci sampai bersih lalu ditiriskan.
 Bahan ditimbang sesuai takaran yaitu 100gr perliter air.
 Bahan dimasukkan ke dalam panci yang bercat kemudian diberi air sesuai ukuran
bahan yang tekah ditimbang sebelumnya.
 Bahan direbus dengan api sedang hingga air surut sampai 50% atau lebih.
 Air hasil ekstraksi diperiksa dengan cara diteteskan pada air jernih dalam wadah yang
lain. Jika ekstraksi terlihat menggumpal dan tidak langsung larut pada air bening,
berarti ektraksi sudah bisa digunakan.
 Ekstraksi didiamkan hingga menjadi hangat atau dingin lalu disaring untuk
memisahkan dengan ampasnya.
 Ektraksi bisa langsung digunakan.
Pada ujicoba yang dilakukan ini, hasil ekstraksi dari batang dan akar disimpan hingga
beberapa hari sedangkan ekstraksi dari daun langsung digunakan dan tidak diinapkan.
Proses selanjutnya adalah menyiapkan fiksator.

4.3. Fiksasi
Fiksator yang digunakan pada ujicoba ini adalah tawas, kapur, dan tunjung. Adapun resep
untuk pembuatannya yaitu sebagai berikut.
(a) Tawas [KA1(SO4)2]
Komposisi tawas yang digunakan adalah 50 gram perliter air biasa. Untuk
memudahkan pelarutan maka tawas yang berupa bongkahan sedikit ditumbuk
kemudian dipanaskan dengan sedikit sambil diaduk. Setelah tawas larut dalam air
kemudian dicampurkan dengan air dingin sebanyak komposisi yang digunakan.
Larutan kemudian diendapkan minimal 12 jam untuk bisa diambil dan digunakan
bagian beningnya.
(b) Kapur [Ca(OH)2]
Larutan kapur dibuat dengan komposisi 70 gram perliter air biasa. Karena kapur
berbentuk serbuk jadi mudah larut dan tidak perlu dipanaskan. Larutan dibiarkan
hingga mengendap dan cairan beling bagian atas yang digunakan.
(c) Tunjung (FeSO4)
Tunjung bentuknya berupa bongkahan berwarna hijau lumut muda kekuningan.
Meskipun berbentuk bongkahan namun tunjung dilarutkan dalam air dengan diaduk.
Komposisi yang digunakan adalah 30 gram perliter air biasa. Setelah tercampur rata,
larutan kemudian didiamkan hingga mengendap. Air endapan tunjung warnanya
jernih kecoklatan sehingga mudah dibedakan dengan larutan tawas maupun kapur.
1512 Fera Ratyaningrum, Imam Zaini

Setelah kain, ekstrak warna alam, dan bahan fiksasi sudah siap, tahap selanjutnya
adalah melakukan ujicoba terhadap bahan yang sudah disiapkan. Untuk memudahkan
dalam pemilahan bahan maka kain dicanting sebagai pembatas bidang kotak-kotak.
Pewarnaan dilakukan dengan cara dikuaskan. Masing-masing ekstrak daun, batang, dan
akar dikuaskan sebanyak 5 hingga 10 kali. Secara umum warna yang dihasilkan baik dari
ekstrak daun, batang, maupun akar, tidak jauh berbeda yaitu hijau pucat, hijau
kekuningan, dan hijau kecoklatan.
Kain yang telah selesai diwarna selanjutnya ditunggu hingga kering kemudian
dilakukan fiksasi dengan cara dikuaskan menggunakan kuas besar. Setelah didiamkan
selama 3 menit, kain dicuci hingga benar-benar bersih. Terjadi perubahan warna yang
cukup drastis antara sebelum difiksasi dengan setelah difiksasi.
Hasil ujicoba bahan pewarna alam yang telah dilakukan disajikan pada tabel berikut.
Secara urut dari kiri ke kanan, fiksator yang digunakan adalah tawas, kapur, dan tunjung.

Tabel 1. Hasil ujicoba bahan yang bersumber dari akar, batang, dan daun tumbuhan

Hasil Warna
No Pohon
Akar Batang Daun

1
Sawo

2 Bakau

3 Belinjo

4 Mangga

5 Keres
Eksplorasi Tumbuhan Sekitar Sebagai Bahan Pewarna Untuk Batik 1513

Jamblang
6

5. Kesimpulan
Sebagai upaya mengangkat kembali penggunaan zat warna alam untuk batik maka
eksplorasi sumber-sumber zat warna alam perlu terus dilakukan mengingat potensi
sumber daya alam Indonesia demikian melimpah. Sumber zat warna alam digunakan
dalam penelitian ini yang berupa batang, akar, dan daun sawo, bakau, belinjo, mangga,
keres, dan jamblang, telah menunjukkan bahwa masing-masing menunjukkan hasil warna
yang berbeda. Kecenderungan yang tampak adalah bahan akar menghasilkan warna yang
lebih tua daripada warna yang dihasilkan oleh batang dan daun. Dari segi fiksator yang
digunakan, fiksasi tunjung mengubah warna menjadi lebih gelap dari sebelumnya,
fiksator tawas tidak mengubah warna, sedangkan fiksator kapur mengubah warna
menjadi lebih muda dari sebelumnya.

Daftar Pustaka

Balai Besar Kerajinan dan Batik Yogyakarta. 2011. Penelitian Penerapan Warna Alam dan
Kombinasinya pada Produk Batik dan Kerajinan. Yogyakarta: BBKB.
Balai Besar Kerajinan dan Batik Yogyakarta. 2015. Handout Pewarna Alami untuk Batik.
Yogyakarta: BBKB.
Edleson, Mary J dan Sudarmadji J.H Dsmais. (1990). Sekaring Jagad Ngayogyakarta Hadiningrat.
Jakarta: Himpunan Wastraprema.
Kusrianto, Adi. (2013). Batik (Filosofi, Motif, dan Kegunaan). Yogyakarta: CV. Andi Offset.
Kurniawati, Budi Defri. (2015). Eksperimen Buah Cengkeh Untuk Pewarna Kain (Skripsi).
Surabaya, Unesa.
Putra, Nusa. (2012). Research and Development Penelitian dan Pengembangan: Suatu Pengantar.
Jakarta: Raja Grafindo Perkasa.
Putri, Rizki Amalia. (2017). Ujicoba Penggunaan Daun Sirih Gading sebagai Bahan Pewarna
Alami pada kain Katun (Skripsi). Surabaya, Unesa.
Setyosari, P. (2010). Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan. Prenada Media Group.
Jakarta.
Sugiyono, (2008). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Alfabeta: Bandung.
Suheryanto, Dwi. (2017). Natural Dyes: Ensiklopedi Zat Warna Alami dari Tumbuhan untuk
Industri Batik. Yogyakarta: CV. Andi Offset.
Susanto, Sewan. (1980). Seni Kerajinan Batik Indonesia. Yogyakarta: Balai Besar Kerajinan dan
Batik.

Anda mungkin juga menyukai