Anda di halaman 1dari 21

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Batik sudah lama dikenal sebagai karya bangsa Indonesia. Proses batik pula
dikenal sebagai pewarnaan kain serat alami dengan menggunakan teknik celup
rintang. Bagian kain menjadi bercorak karena pada waktu dicelupkan dalam cairan
warna, terdapat bagian yang sengaja dirintangi. Bagian kain yang dirintangi itulah
yang menimbulkan corak motif batik.
Teknik pewarnaan sintetis/kimia menggeser teknik pewarnaan alami karena
proses pengerjaan jauh lebih mudah, dan warna yang dihasilkan lebih beragam.
Media kain yang digunakan pada awalnya adalah kain katun, karena pada dasarnya
warna-warna alami hanya dapat terserap sempurna pada bahan baku serat alami.
Seiring bergesernya waktu, kebutuhan kain batik semakin meningkat, dan produksi
kain batik yang menggunakan bahan pewarna sintetis/kimia juga meningkat.
Penggunanaan warna alam memiliki banyak kelemahan, namun demikian
banyak hal yang menjadi keraguan bila kita terus menggunakan bahan warna sintetis.
Karena warna sintetispun memiliki sejumlah kelemahan. Limbah warna sintetis
membahayakan kesehatan manusia. Bila perajin atau perusahaan batik membuang
sembarang limbah warna sitetis, secara tidak langsung meracuni lingkungan.
Zat warna alam untuk bahan tekstil pada umumnya diperoleh dari hasil
ekstrak berbagai bagian tumbuhan seperti akar, kayu, daun, biji ataupun bunga.
Pengrajin-pengrajin batik telah banyak mengenal tumbuhan-tumbuhan yang dapat
mewarnai bahan tekstil beberapa diantaranya adalah daun pohon nila (indigofera),
kulit buah manggis (Garnicia mangostana L), kayu tegeran (Cudraina javanensis),
kunyit (Curcuma), teh (The), akar mengkudu (Morinda citrifelia), kulit soga jambal
2

(Pelthophorum ferruginum), kesumba (Bixa orelana), daun jambu biji (Psidium


guajava).
Populasi tanaman per hektar mencapai 200 pohon, dengan hasil 20 ton. Hasil
panen ini akan meningkat terus sejalan dengan penambahan umur tanaman. Tanaman
manggis umur puluhan tahun di Indonesia, mampu menghasilkan panen sampai 500
kg per pohon per tahun tanpa perawatan. Sentra manggis di Indonesia antara lain di
Kab. Kerinci (Jambi), pulau Belitung, Kab. Pandeglang (Banten), Kab. Ciamis
(Jabar), Kab. Banyumas (Jateng), Kab. Kulonprogo (DIY) dan Kab. Lumajang
(Jatim). Namun tanaman manggis rakyat dengan populasi terbatas, tersebar di seluruh
Sumatera dan Jawa secara merata. Selain dikonsumsi buahnya, kulit buah manggis
juga dapat diolah menjadi pewarna alami batik. Penelitian yang pernah dilakukan
menggunakan campuran pelarut etanol dengan berbagai macam asam (asam sitrat,
asam astat, dan asam tatrat).
Berdasarkan uraian di atas, maka saya tertarik untuk membuat pewarna alami
dari tanaman kulit buah manggis sebagai bahan pengganti pewarna sintetis untuk
batik dengan variabel yang dipelajari meliputi pemungutan zat warna merah dari kulit
buah manggis dengan variabel konsentrasi pelarut etanol dan perbandingan bahan dan
pelarut

I.2 Tujuan

1. Mengetahui kondisi optimum ekstrasi antosianin dari kulit buah manggis


2. Mengetahui pengaruh konsentrasi etanol yang digunakan terhadap
rendemen yang diperoleh
3. Mengetahui pengaruh perbandingan bahan dan pelarut terhadap rendemen
yang diperoleh
3

I.3 Tinjauan Pustaka

I.3.1 Batik
Batik (atau kata Batik) berasal dari bahasa Jawa “amba” yang berarti menulis
dan “titik”. Kata batik merujuk pada kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan
“malam” (wax) yang diaplikasikan ke atas kain, sehingga menahan masuknya bahan
pewarna (dye), atau dalam Bahasa Inggrisnya “wax-resist dyeing”. (Kusumaningtyas,
2012).
Batik merupakan salah satu kerajinan yang mempunyai nilai seni tinggi dan
menjadi budaya Indonesia yang terkenal sampai ke berbagai negara dan diakui
UNESCO. Diantara berbagai jenis batik, batik alam merupakan jenis batik yang
berkualitas tinggi, dan banyak diminati wisatawan baik domestik maupun wisatawan
mancanegara. Hal itu dikarenakan batik alam diproduksi dengan pewarna alami dan
memberikan kesan tersendiri sebab pewarna alami menyebabkan limbah yang
dihasilkan ramah lingkungan dan aman untuk kesehatan karena zat-zat yang
terkandung dalam pewarna alami dapat mudah terurai sehingga tidak menimbulkan
polusi, bahkan warna batik yang dihasilkan pewarna alam dapat bertahan sampai
puluhan tahun. Namun, keunggulan batik alam tersebut tidak didukung kondisi saat
ini. Kendala yang dialami oleh pengrajin batik alam adalah mereka sulit untuk bisa
memenuhi permintaan secara cepat karena batik alam memerlukan waktu yang lama
dalam proses pembuatannya dan ketersediaaan bahan baku pewarna alam masih
sangat minim. Bahan pewarnanya didapat dengan cara mengekstrak bagian-bagian
dari tumbuhan penghasil celup, seperti batang, kulit kayu, daun, akar-akatran, bunga,
biji-bijian, buah-buahan, dan getah pohon. (Anissa Saraswati dkk, 2010)
Batik merupakan salah satu produk sandang yang berkembang pesat di
Indonesia. Pada umumnya batik digunakan untuk kain jarik, kemeja, seprei, taplak
meja, dan barang kerajinan lainnya. Mengingat bahwa jenis produk batik ini sangat
dipengaruhi oleh selera konsumen dan perubahan waktu maupun model, maka
perkembangan industri batik di Indonesia juga mengalami perkembangan yang cepat,
baik menyangkut rancangan, penampilan, corak, dan kegunaanya, disesuaikan dengan
permintaan dan keunikan produk, peluang usaha di bidang industri batik masih
terbuka luas dan sangat menguntungkan. Pemasaran batik selain untuk konsumsi
lokal juga telah menembus pasar luar negeri.
4

Proses pembutan batik menggunakan bahan pewarna, baik zat warna nabati
maupun zat warna buatan. Zat warna nabati berasal dari daun, kulit kayu, pokok
kayu, akar pohon, atau umbi. Contoh pewarna nabati misalnya daun nila untuk warna
biru atau biru-hitam, akar pohon mengkudu untuk warna merah, kayu tengeran atau
kunyit untuk warna kuning, kulit kayu tingi untuk merah-cokelat, dan kayu soga.
(Kusumaningtyas,2012)
Batik tulis tradisional mempunyai corak/motif klasik yang beraneka ragam,
sehingga mendapat daya tarik tersendiri khususnya bagi masyarakat jawa. Ditinjau
dari segi historis-arkeologis corak batik tradisional sudah sejak zaman kerajaan
Hindu-Budha di Jawa. Batik tulis dibuat dengan cara konvensional yang diwariskan
secara turun-temurun dengan menggunakan bahan pewarna alami yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan. (Murtiningsih 1992).
I.3.2 Tumbuhan Sebagai Bahan Pewarna Alami
Pewarna nabati adalah bahan pewarna yang berasal dari tumbuhan. Pewarna
tersebut dapat diperoleh dari berbagai bagian tumbuhan misalnya akar, rimpang,
pepagan, kayu, daun, buah, biji, bunga dan kepala putik. Fungsi bahan yang
dimanfaatkan sebagai pewarna di dalam bagian tumbuhan bergantung pada struktur
kimia dan letaknya pada tumbuhan. Bahan-bahan ini diekstrak dengan cara
fermentasi, direbus atau secara kimiawi. (Lemmens dan Wulijarni- Soetjipto, 1999).
Tumbuhan pewarna alami dapat diartikan sebagai tumbuhan yang secara
keseluruhan maupun salah satu bagiannya baik batang, kulit, buah, bunga maupun
daunnya dapat menghasilkan suatu zat warna tertentu setelah melalui proses
perebusan, penghancuran, maupun proses lainnya. Pada umumya zat warna diperoleh
dari tumbuhan yang diambil dari hutan atau segaja ditanam, digunakan untuk
mewarnai ukiran, patung, makanan, anyaman, tenunan serta kerajinan (Sutarno,
2001).
Secara umum zat warna alam terbentuk dari kombonasi tiga unsur yakni
karbon, hydrogen, dan oksigen. Tetapi ada zat warna yang mengandung unsur lain
seperti nitrogen pada indigo dan oksigen pada klorofil. Selain itu kandungan dari
pewarna tumbuhan antara lain antosianin, bixin, morindin, dan lain-lain. (Subagiyo,
2008).
5

Bahan tekstil yang diwarnai dengan zat warna alam adalah bahan-bahan yang
berasal dari serat alam seperti sutera, wol dan kapas (katun). Bahan-bahan dari serat
sintetis seperti polyester, nilon dan lainnya tidak memiliki afinitas atau daya tarik.
terhadap zat warna alam sehingga bahan-bahan ini sulit terwarnai dengan zat
warna alam. Bahan dari sutera pada umumnya memiliki afinitas paling bagus
terhadap zat warna alam dibandingkan dengan bahan dari kapas (Darma, 2010)

I.3.3 Manggis
Manggis merupakan salah satu buah yang digemari oleh masyarakat
Indonesia. Tanaman manggis berasal dari hutan tropis yang teduh di kawasan Asia
Tenggara, yaitu hutan belantara Indonesia atau Malaysia. Dari Asia Tenggara,
tanaman ini menyebar ke daerah Amerika Tengah dan daerah tropis lainnya seperti
Filipina, Papua New Guinea, Kamboja, Thailand, Srilanka, Madagaskar, Honduras,
Brazil dan Australia Utara. Manggis merupakan salah satu buah unggulan Indonesia
yang memiliki peluang ekspor cukup menjanjikan. Dari tahun ke tahun permintaan
manggis meningkat seiring dengan kebutuhan konsumen terhadap buah yang
mendapat julukan ratu buah (Queen of Fruits). Ekspor manggis dari Indonesia
mengalami peningkatan seiring dengan kebutuhan buah manggis dunia terutama
Hongkong, Singapura, dan Inggris. Pada tahun 1999, volume ekspor 4.743.493 kg
dengan nilai ekspor 3.887.816 US$ dan tahun 2000 volume ekspor mencapai
7.182.098 kg dengan nilai ekspor 5.885.038 US$ (Prihatman, 2000; ICUC, 2003
dalam Agung Endro Nugroho).
Di Indonesia manggis mempunyai berbagai macam nama lokal seperti
manggu (Jawa Barat), manggus (Lampung), Manggusto (Sulawesi Utara), manggista
(Sumatera Barat). Pohon manggis dapat tumbuh di dataran rendah sampai di
ketinggian di bawah 1.000 m dpl. Pertumbuhan terbaik dicapai pada daerah dengan
ketinggian di bawah 500-600 m dpl. Pusat penanaman pohon manggis adalah
Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Jawa Barat (Jasinga, Ciamis, Wanayasa),
Sumatera Barat, Sumatera Utara, Riau, Jawa Timur dan Sulawesi Utara (Prihatman,
2000,ICUC,2003)
6

Tanaman manggis dalam tatanama tumbuhan atau sistematika (taksonomi)


tumbuhan diklasifikasikan seperti yang tersaji pada tabel 2.1

Table 2.1 Klasifikasi Manggis

Klasifikasi Keterangan
Kingdom Plantae
Divisi Spermatophyta
Klas Dicotyledon
Ordo Guttiferanales
Famili Guttiferae
Genus Garnicia
Spesies Garnicia mangostana L.
(Juanda dan Cahyono, 2004).

Produk utama manggis adalah buahnya. Buah manggis memiliki perpaduan


warna yang indah dan citarasa yang khas, yakni perpaduan rasa manis, asam, dan
sepet yang tidak dimiliki oleh rasa buah-buahan lain
Buah manggis layak dipetik apabila kulit buah sudah berwarna merah
kehijauan sampai merah kekuningan. Lambat laun buah tersebut akan mencapai
kematangannya dengan memperlihatkan warna ungu kemerahan atau merah
kehitaman.

Gambar I.1 buah manggis (Gracinia mangostana L)


7

Manggis yang dipanen pada saat hujan akan menyebabkan kulit buah menjadi
keras membatu. Gambar 2.1 merupakan gambar manggis yang sudah matang.
Sebaiknya buah dipanen saat udara teduh tetapi kering. Buah manggis dipanen
apabila sudah terbentuk warna ungu.
Kulit buah manggis dapat dijadikan bahan baku untuk pewarna alami karena
kulit buahnya mengandung dua senyawa alkaloid, serta lateks kering buah manggis
mengandung sejumlah pigmen yang berasal dari dua metabolit, yaitu mangosteen dan
β-mangosteen yang jika diekstraksi dapat menghasilkan bahan pewarna alami berupa
antosianin yang menghasilkan warna merah, ungu dan biru.

I.3.4 Antosianin
Keberadaan senyawa antosianin pada ubi jalar yaitu pigmen yang terdapat pada
ubi jalar ungu atau merah dapat berfungsi sebagai komponen pangan sehat dan paling
lengkap. Pigmen antosianin pada ubi jalar lebih tinggi konsentrasinya dan lebih stabil
bila dibandingkan dengan antosianin dari kubis dan jagung merah.
Antosianin (bahasa inggris: anthocyanin, dari gabungan kata Yunani: anthos =
“ bunga” , dan cyanos = “biru”) adalah pigmen larut air yang secara alami terdapat
pada berbagai jenis tumbuhan. Sesuai namanya, pigmen ini memberikan warna pada
bunga, buah, dan daun tumbuhan hijau, dan telah banyak digunakan sebagi pewarna
alami pada berbagai pada berbagai produk pangan dan berbagai aplikai lainnya.
Antosianin merupakan sub-tipe senyawa organik dari keluarga flavonoid.
Beberapa senyawa antosianin yang paling banyak ditemukan adalah pelargonidin,
peonidin, sianidin, malvidin, petunidin, dan delfinidin.
Kestabilan antosianin dipengaruhi oleh pH, oksigen, sulfur dioksida (SO2),
protein, dan enzim. Warna yang ditimbulkan oleh antosianin tergantung pada tingkat
keasaman lingkungannya. Pigmen ini dapat dijadikan sebagai indikator pH. Pada pH
1 warna yang ditunjukkan adalah merah, pH 4 biru kemerahan, pH 6 ungu, pH 8
biru, pH 12 hijau. Untuk mendapatkan warna yang diinginkan, antosianin harus
disimpan menggunakan larutan buffer dengan pH yang sesuai. Saat terlarut di dalam
suatu larutan campuran, antosianin akan teroksidasi perlahan-lahan. Antosianin akan
hilang warnanya apabila bereaksi dengan sulfur dioksida. Reaksi perubahan warna
tersebut bersifat reversible sehingga hanya dengan memanaskan SO2 maka akan
seperti semula. Antosianin yang bereaksi dengan protein akan membentuk uap dan
8

endapan. Penggunaan beberapa enzim dalam pengolahan makanan yang


mengandung antosianin dapat mengakibatkan kandungan antosianin di dalamnya
hilang atau berkurang. Hal ini sebagian disebabkan oleh enzim glukoamilase yang
ada
Hasil Penelitian Pusat Penelitian dan Pengmbangan Tanaman Pangan Balitbang
Pertanian menunjukkan antosianin bermanfaat bagi kesehatan tubuh karena dapat
berfungsi sebagai antioksidan, antihipertensi, dan pencegahan gangguan fungsi hati,
jantung koroner, kanker, dan penyakit-penyakit degenerative, seperti arteosklerosis.
Antosianin juga mampu menghalangi laju perusakan sel radikal bebas akibat nikotin,
polusi udara, dan bahan kimia lainnya. Antosianin berperan dalam mencegah
terjadinya penuaan, kemerosotan daya ingat dan kepikunan, polyp, asam urat
penderita asam lambung. Selain itu, antosianin juga memiliki kemampuan
menurunkan kadar gula darah (antihiperglisemik). Total kandungan antosianin
bervariasi pada setiap tanaman dan berkisar antara 20 mg/100 g sampai 600 mg/ 100g
berat basah. Total kandungan antosianin ubi jalar ungu adalah 519 mg/ 100g berat
basah ( Mulkan Hambali dkk, 2014)

I.3.5 Stabilitas Antosianin


Antosianin secara umum mempunyai stabilitas yang rendah. Pada pemanasan
yang tinggi, kestabilan dan ketahanan zat warna antosianin akan berubah dan
mengakibatkan kerusakan. Selain mempengaruhi warna antosianin, pH juga
mempengaruhi stabilitasnya, dimana dalam suasana asam akan berwarna merah dan
suasana basa berwarna biru. Antosianin lebih stabil dalam suasana asam
dibandingkan dalam suasana alkalis ataupun netral. Zat warna ini tidak stabil dengan
adanya oksigen dan asam askorbat. Asam askorbat kadang melindungi antosianin
tetapi ketika antosianin menyerap oksigen, asam askorbat akan menghalangi
terjadinya oksidasi. Pada kasus lain, jika enzim menyerang asam askorbat yang akan
menghasilkan hidrogen peroksida yang mengoksidasi, sehingga antosianin
mengalami perubahan warna. (Mulkan Hambali dkk, 2014)
Warna pigmen antosianin merah, biru, violet, dan biasanya dijumpai pada
bunga, buah-buahan dan sayur-sayuran. Dalam tanaman terdapat dalam bentuk
glikosida yaitu membentuk ester dengan monosakarida (glukosa, galaktosa, ramnosa
dan kadang-kadang pentosa). Sewaktu pemanasan dalam asam mineral pekat,
9

antosianin pecah menjadi antosianidin dan gula. Pada pH rendah (asam) pigmen ini
berwarna merah dan pada pH tinggi berubah menjadi violet dan kemudian menjadi
biru. Pada umumnya, zat-zat warna distabilkan dengan penambahan larutan buffer
yang sesuai. Jika zat warna tersebut memiliki pH sekitar 4 maka perlu ditambahkan
larutan buffer asetat, demikian pula zat warna yang memiliki pH yang berbeda maka
harus dilakukan penyesuaian larutan buffer. Warna merah bunga mawar dan biru
pada bunga jagung terdiri dari pigmen yang sama yaitu sianin. Perbedaannya adalah
bila pada bunga mawar pigmennya berupa garam asam sedangkan pada bunga jagung
berupa garam netral. Konsentrasi pigmen juga sangat berperan dalam menentukan
warna. Pada konsentrasi yang encer antosianin berwarna biru, sebaliknya pada
konsentrasi pekat berwarna merah dan konsentrasi biasa berwarna ungu. Adanya
tanin akan banyak mengubah warna antosianin. Dalam pengolahan sayur-sayuran
adanya antosianin dan keasaman larutan banyak menentukan warna produk tersebut.
Misalnya pada pemasakan bit atau kubis merah. Bila air pemasaknya mempunyai pH
8 atau lebih (dengan penambahan soda) maka warna menjadi kelabu violet tetapi bila
ditambahkan cuka warna akan mejadi merah terang kembali. Tetapi jarang makanan
mempunyai pH yang sangat tinggi. Dengan ion logam, antosianin membentuk
senyawa kompleks yang berwarna abu-abu violet. Karena itu pada pengalengan
bahan yang mengandung antosianin, kalengnya perlu mendapat lapisan khusus
(lacquer) (Mulkan Hambali dkk, 2014)

Gambar I.2 Struktur inti antosianin (Harborne, 1987)

Gambar 2.2 menunjukan struktur inti atom antosianin. Antosianin pada


tumbuhan dibagi menjadi dua golongan yaitu antosianin terkondensasi (antosianin
katekin) dan antosianin terhidrolisiskan (antosianin galat). Antosianin terhidrolisis
mengandung ikatan ester yang dapat terhidrolisis jika di didihkan dalam asam klorida
10

encer. Bagian alkohol dari ester ini biasanya berupa gula yaitu glukosa. Antosianin
terhidrolisis biasanya berupa senyawa amorf, higroskopis, berwarna coklat kuning
yang larut dalam air membentuk larutan koloid, antosianin mudah diperoleh dalam
bentuk kristal. Antosianin terhidrolisis juga larut dalam pelarut organik yang polar
tetapi tidak larut dalam pelarut organik non polar misalnya kloroform dan benzena
(Robinson,1995 dalam Noviardi Rangga Nanda, 2013)
Antosianin terhidrolisis merupakan molekul dengan poliol (umumnya dalam
glukosa) sebagai pusatnya. Gugus hidroksi pada karbohidrat sebagian atau semuanya
teresterifikasi dengan gugus karboksil pada asam gallat (galloantosianin) atau asam
gallat (ellagiantosianin), antosianin terhidrolisis sedikit dalam tanaman (Giner-
Chivez, 2001 dalam Noviardi Rangga Nanda, 2013).
Antosianin terkondensasi banyak terdapat dalam paku-pakuan dan
angiospermae terutama pada jenis tumbuhan berkayu. Antosianin terkondensasi atau
flavolan secara biosintesis terbentuk dengan cara kondensasi katekin tunggal
(galokatekin) yang membentuk senyawa dimer dan kemudian oligomer yang lebih
tinggi. Nama lain untuk antosianin terkondensasi adalah protoantosianidin (Harborne,
1984 dalam Noviardi Rangga Nanda, 2013)

I.3.5 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan suatu proses pemisahan kandungan senyawa kimia dari
jaringan tumbuhan ataupun hewan dengan menggunakan penyari tertentu. Ekstrak
adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan cara mengekstraksi zat aktif dengan
menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut
diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian, hingga
memenuhi baku yang ditetapkan Depkes (RI, 1995)
Ekstraksi bertujuan untuk menarik semua komponen kimia yang terdapat
dalam simplisia. Ekstraksi didasarkan pada perpindahan massa komponen zat padat
ke dalam pelarut dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka,
kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut. Proses pengekstraksian komponen
kimia dalam sel tanaman yaitu pelarut organik akan menembus dinding sel dan
masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dalam
pelarut organik di luar sel, maka larutan terpekat akan berdifusi keluar sel dan proses
ini akan berulang terus sampai terjadi keseimbangan antara konsentras cairan zat
11

aktif di dalam dan di luar sel. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi laju ekstraksi
adalah tipe persiapan sampel, waktu ekstraksi, kuantitas pelarut, suhu pelarut, dan
tipe pelarut (Depkes RI, 1995)
Ekstraksi antosianin dapat dilakukan dengan beberapa jenis solven, seperti air,
etanol, metanol, tetapi yang paling efektif adalah dengan menggunakan metanol yang
diasamkan dengan HCl. Tetapi karena sifat toksik dari metanol biasanya dalam sistem
pangan digunakan air atau etanol yang diasamkan dengan HCl. Suhu dan pH
berpengaruh terhadap efisiensi ekstraksi antosianin dan koefisien difusinya, semakin
rendah pH maka koefisien distribusi semakin tinggi, demikian juga semakin tinggi
temperaturnya. Tetapi antosianin merupakan senyawa fenolik yang labil dan mudah
rusak akibat pemanasan, sehingga berakibat pada penurunan biaoktivitasannya.
Pengaruh suhu menjadi tidak signifikan dengan penambahan HCl pada pelarut yang
digunakan untuk ekstraksi, karena pengaruh HCl lebih besar daripada pengaruh suhu.
Penggunaan HCl 1% dalam ekstraksi antosianin akan menyebabkan hidrasi sebagian
hingga total antosianin yang terasitilasi sehingga akan mempengaruhi absorbsinya.
(Perry,1999).

I.4 Batasan Masalah


1. Kulit buah manggis kering yang berukuran kecil dengan ukuran yang seragam
2. kecepatan pengadukan pada ekstraksi dengan kecepatan pengadukan yang tetap
3. Ekstraksi dilakukan dalam labu leher tiga dengan pelarut etanol dan aquadest
4. kondisi operasi ekstraksi maksimum pada 100 ⁰C
5. Zat warna akan rusak pada suhu 95 ⁰C
I.5 Hipotesa
1. Zat warna dalam kandungan kulit buah manggis dapat larut dalam pelarut
etanol dan aquadest.
2. Semakin lama waktu ekstraksi maka konsentrasi pewarna dalam solvent
semakin besar.
3. Semakin tinggi suhu ekstraksi maka kadar antosianin yang diperoleh semakin
kecil.
4. Semakin lama waktu ekstraksi maka kadar antosianin yang diperoleh semakin
tinggi.
12

BAB II
Metodologi Penelitian

II.1 Alat
1. Timbangan Analitik
2. Water bath
3. piset
4. Beaker glass
5. Erlenmeyer
6. Statif dan klem
7. Gelas ukur
8. Corong kaca
9. Gelas arloji
10. Pengaduk kaca
11. Spatula
12. Pipet tetes
13. Labu alas datar
14. Kondensor
15. Pompa
16. Cawan porselen
17. Oven
18. Labu takar
19. Kain
II.2 Bahan
1. Kulit buah manggis
2. Aquades
3. Etanol
13

II.3 Rangkaian Alat

Gambar II.3 rangkaian alat

II.4 Cara Kerja


II.4.1 Ekstraksi Kulit Buah Manggis Dengan Variasi Pelarut
Mengeringkan kulit buah manggis hingga kering. Kemudian
dihancurkan dan diblender hingga menjadi serbuk. Serbuk kulit buah manggis
diekstraksi dengan pelarut etanol. Perbandingan bahan dan pelarut 1:10 gr/ml.
Ekstraksi dijalankan pada suhu 950C dan di hentikan sampai sudah tidak ada
zat pewarna yang yang larut pada etanol. Larutan hasil pemisahan dari serbuk
kulit buah manggis diuapkan pada suhu 1200C untuk menghilangkan pelarut.
Mengitung rendemen yang di peroleh. Meakukan langkah yang sama dari 1-4
untuk pelarut aquades, etanol 30%, dan etanol 70%.
14

II.4.2 Ekstraksi Kulit Buah Manggis Dengan Perbedaan Perbandingan Berat


Bahan/Pelarut
Mengeringkan kulit buah manggis hingga kering. Kemudian
dihancurkan dan diblender hingga menjadi serbuk. Serbuk kulit buah manggis
𝑚
diekstraksi dengan pelarut etanol. Perbandingan bahan dan pelarut 1:10 ,
𝑣
𝑚 𝑚
1:15 , dan 1: 5 . Ekstraksi dijalankan pada suhu 950C dan di hentikan
𝑣 𝑣

sampai sudah tidak ada zat pewarna yang yang larut pada etanol.
Mengeringkan hasil ekstraksi hingga pekat. Mengambil sampel zat warna dari
𝑚 𝑚 𝑚
masing-masing hasil ekstraksi 1:10 , 1:15 dan 1: 5 . Menguapkan sisa
𝑣 𝑣 𝑣

zat warna pada suhu 1200C untuk menghilangkan pelarut. Lalu menghitung
rendemen yang di peroleh.

II.5 Diagram Alir


Ekstraksi Kulit Buah Manggis Dengan Variasi Pelarut

Kulit buah manggis


Dikeringkan
Dihancurkan
Diblender

Serbuk

Diekstraksi dengan konsentrasi pelarut


(97%, 70%, 30%) pada suhu 950C
sampai tidak berwarna

Hasil ekstraksi
Recovery pelarut

Rendemen basah

Dioven hingga kering


Rendemen kering
15

Ekstraksi Kulit Buah Manggis Dengan Perbandingan Bahan


Dan Pelarut

Kulit buah manggis


Dikeringkan
Dihancurkan
Diblender

Serbuk

Diekstraksi dengan perbandingan bahan


dengan pelarut (1:5, 1:10, 1:15) m/v pada
suhu 950C sampai tidak berwarna

Hasil ekstraksi
Recovery pelarut

Rendemen basah

Dioven hingga kering


Rendemen kering
16

DAFTAR PUSTAKA

Francis, F. J. (1982). Analysis of Anathocyanins. Academi Press, New York

ICUC, 2003, Fruit to the Future Mangosteen, Factsheet, No 8, International Centre


for Underutilized Crops

Kusumaningtyas, R, 2009. Perlindungan Hak Cipta atas Motif Batik sebagai


Warisan Budaya Bangsa, Semarang: UNDIP

Lemmens, R. H. M. J. dan N. Wulijarni - Soetjipto. 1999. Sumber Daya Nabati Asia


Tenggara No. 3 : Tumbuh-tumbuhan Penghasil Warna dan Tanin. Bogor:
Prosea.

Lemmens, R. H. M. J. and Soetjipto N. W, editors. 1992. Dye and Tannin Producing


Plants. Bogor: Prosea.

Murtiningsih, T. 1992. Peranan Tumbuhan dalam Perawatan Batik Tulis Tradisional


Prosiding Seminar Etnobotani. Bogor: Balitbang Botani.

Nugroho, A.E, 2011. Manggis: Dari Kulit yang Terbuang Menjadi Kandidat Suatu
Obat. Yogyakarta: UGM

Perry, R. H. (1999). Perry's Chemical Engineer's Handbook (7 th ed.). New York:


McGraw Hill Company

Prihatman, K., 2000, Manggis (Garcinia mangostana L.), Kantor Deputi Menegristek
Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
BPP Teknologi, Jakarta

RI, D. K. (1995). Materia Medika Indonesia (Vol. VI). Jakarta: Depkes RI.

Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Bandung: ITB

Saraswati, Anissa, dkk, 2010. Kulit Manggis sebagai Pewarna Batik Alami.
Yogyakarta: UNY

Treyball, R. (1980). Mass Transfer Operations. New York: McGraw-Hill Book


Company.
17
18
19

).
20

.
21

Anda mungkin juga menyukai