Anda di halaman 1dari 14

PROPOSAL PENELITIAN

Pengeringan Ekstrak Pekat Limbah Kayu Merbau (Instia bijuga)


menjadi Serbuk Pewarna Alami

Disusun Oleh:
Willy Dinata
(19/439732/TK/48462)
Sandrina Christine Michelin Silalahi
(19/440874/TK/48668)

DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2021
DAFTAR ISI

I. JUDUL
Judul dari penelitian ini adalah “Pengeringan Ekstrak Pekat Limbah Kayu
Merbau (Instia bijuga) Hasil Evaporator menjadi Pasta atau Serbuk Pewarna Alami”.

II. LATAR BELAKANG


Perkembangan pesat dalam industri sandang telah mengakibatkan lonjakan
penggunaan pewarna sintetis. Proses pewarnaan bahan tekstil menggunakan zat warna
sintetis dapat menimbulkan banyak masalah lingkungan karena sebagian besar
pewarna sintetis mengandung polutan berupa logam berat yang berbahaya pula bagi
kesehatan manusia. Di antaranya, tembaga (Cu), nikel (Ni), krom (Cr), raksa (Hg),
serta kobalt (Co) (Sugiyana, 2003). Pada akhirnya, limbah pewarna sintetis yang
dibuang ke perairan umum dapat mencemari lingkungan, terutama lingkungan
perairan. Menurut Kant (2012), bercampurnya limbah pewarna sintetis dengan
material koloid seperti perairan bisa meningkatkan kekeruhan dan mencegah
masuknya sinar matahari ke dalam air. Akibatnya, kualitas perairan akan menurun
sehingga berpotensi menimbulkan kematian makhluk hidup yang tinggal di dalamnya
(Widjajanti, dkk., 2011). Oleh sebab itu, dibutuhkan alternatif pewarna yang bersifat
ramah lingkungan, tidak toksik, serta dapat terdegradasi oleh lingkungan
(biodegradable) yaitu pewarna alami.
Sebagian besar pewarna alami yang digunakan untuk bahan tekstil diperoleh
melalui hasil ekstraksi bagian-bagian tumbuhan, seperti daun, bunga, kayu, batang,
buah, maupun biji (Suirta, dkk., 2016). Dalam hal ini, hampir semua bagian yang
terdapat pada tumbuhan mengandung zat pewarna yang bisa dimanfaatkan sebagai
pewarna alami, baik secara langsung maupun harus dikombinasikan lagi dengan
produk-produk lain yang berbahan dasar kimia (Setiawan, 2003).
Beraneka macam tumbuhan pewarna alami yang berpotensi sebagai bahan
baku penghasil zat warna alami perlu untuk dieksplorasi. Ketersediaan yang
melimpah, mudah diperbaharui (renewable), dan pengaplikasian yang mudah
membuat pewarna alami sangatlah menjanjikan untuk dijadikan sebagai salah satu
komoditi khas Indonesia untuk menghadapi persaingan pasar dalam negeri maupun
luar negeri. Berbagai tanaman sudah banyak diteliti dan digunakan sebagai pewarna
alami, misalnya indigofera, kayu tegeran, dan sebagainya. Di samping itu, tanaman
lain yang juga mempunyai potensi besar sebagai penghasil zat warna alami adalah
kayu merbau (Hakim, dkk., 1999).
Merbau merupakan tanaman pohon penghasil kayu kertas berkualitas tinggi
yang mempunyai tekstur kasar dan merata. Arah serat kayu yang dimiliki merbau
didominasi oleh garis lurus yang berpadu serta mengkilap. Kayu merbau seringkali
dimanfaatkan untuk konstruksi massa, seperti balok, tiang, bantalan, papan, sampai
pintu pada bangunan perumahan dan jembatan karena sifatnya yang kuat dan awet
(Martawijaya, dkk., 1989). Selanjutnya, kayu merbau bisa dipakai pula untuk kayu
perkapalan (gading-gading dan dek), mebel, lantai, panil, juga barang bubutan. Tidak
hanya itu, kayu merbau juga sangat cocok untuk diaplikasikan pada lantai parket
karena memberikan kesan indah sekaligus alami. Kayu merbau mempunyai
kandungan zat warna ekstraktif berupa tanin yang tinggi. Tanin merupakan senyawa
polifenol yang terdiri atas gugus-gugus hidroksil yang memiliki pasangan elektron
bebas sehingga mampu membentuk kompleks dengan logam yang menyediakan
orbital kosong (Dalzell dan Kerven, 1998).
Sebelum digunakan, zat warna alami berbahan kayu merbau harus melalui
proses ekstraksi terlebih dahulu. Proses ekstraksi umumnya dilaksanakan dengan
Soxhlet, perebusan, atau dengan alat seperti ekstraktor. Tingkat kontras pewarna juga
dipengaruhi oleh proses ekstraksi dan pelarut yang sesuai dengan sifat zat warna yang
akan diekstrak sehingga tanin yang akan diekstrak bisa terlarut di dalamnya
(Andayani, 2020). Maka dari itu, ekstrak zat warna alami yang masih dalam fase cair
ini perlu dipekatkan melalui evaporasi. Namun, ekstrak pekat pewarna alami tidak
stabil dan tidak akan tahan apabila disimpan dalam jangak waktu yang lama, serta
dinilai kurang efisien dalam penyimpanannya. Oleh sebab itu, diperlukan proses yang
mampu mempertahankan kestabilan sekaligus memperpanjang umur simpan ekstrak
pewarna alami hasil evaporasi yaitu melalui pengeringan. Proses pengeringan mampu
memperpanjang umur simpan pewarna alami dengan cara mengurangi kadar airnya.
Dalam hal ini, ekstrak pekat hasil evaporasi akan dikeringkan sampai menjadi serbuk
menggunakan alat pengering, salah satunya adalah oven (Padmitasari dan Novitasari,
2010).

Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan penelitian tentang proses


pengeringan ekstrak pekat limbah kayu merbau (Instia bijuga) hasil evaporator
menjadi serbuk pewarna alami untuk dapat mengetahui waktu dan suhu optimum
pengeringan, serta kadar tanin pada serbuk pewarna yang dihasilkan dari proses
pengeringan.

III. TUJUAN
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pengaruh suhu pengeringan terhadap kadar tanin dalam proses
pengeringan ekstrak pekat limbah kayu merbau (Instia bijuga) menggunakan oven
2. Mengetahui pengaruh waktu pengeringan terhadap kadar tanin dalam proses
pengeringan ekstrak pekat limbah kayu merbau (Instia bijuga) menggunakan oven
3. Mengetahui kondisi optimum proses pengeringan ekstrak pekat limbah kayu
merbau (Instia bijuga)

IV. TINJAUAN PUSTAKA


A. Pewarna Alami
Pewarna alami merupakan pewarna yang diekstrak dari tumbuhan, hewan,
ataupun mikroorganisme yang tersedia di alam. Bahan yang paling sering
diekstrak untuk diolah menjadi pewarna alami adalah tumbuhan. Beberapa jenis
tanaman yang dijadikan pewarna alami memiliki sifat medicinal. Contohnya
adalah pigmen warna tanaman seperti anthocyanins dan karotenoid yang memiliki
sifat antioksidan dan antiinflamasi.
Pewarna alami tidak mengandung bahan kimia yang berbahaya dan bersifat
biodegradable atau bisa terurai secara alami oleh lingkungan sehingga tidak
membahayakan ekosistem. Jika dibandingkan dengan pewarna sintetis, pewarna
alami cenderung lebih mudah untuk pudar sehingga diperlukan fiksatif seperti
alum, garam dapur, dan cuka. Kain yang diwarnai dengan pewarna alami bersifat
delicate dan sensitif terhadap matahari sehingga perlu diperhatikan saat mencuci
dan mengeringkan.
B. Kayu merbau (Instia bijuga)
Pohon Merbau (Instia bijuga), yang disebut juga sebagai kayu besi oleh
masyarakat Papua, dapat menghasilkan kayu merbau yang bersifat
multifungsional. Kayu ini dapat dimanfaatkan sebagai balok, jembatan, lantai, dan
kayu perkapalan. Kayu ini tidak mudah busuk apabila tidak berkontak dengan
tanah dan bersifat lebih kuat jika dibandingkan dengan kayu jati (Soeriaegara dan
Lemmens, 1994). Kayu Merbau memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan telah
dimanfaatkan secara lokal serta diekspor ke luar daerah. Keistimewaan dari kayu
merbau ini adalah kayu ini mengandung zat tanin dalam kadar yang sangat tinggi.
Apabila kayu terpapar dengan udara yang lembab ataupun air, zat tanin dapat
berdifusi ke bagian permukaan kayu dan membuat daerah sekitar kayu menjadi
berwarna coklat. Oleh karena itu, zat tanin pada limbah kayu merbau dapat
dimanfaatkan sebagai pewarna alami.

C. Tanin
Tanin merupakan biomolekul polifenolik yang bersifat water-soluble. Zat
tanin dapat diekstrak dari kayu Merbau dengan menggunakan solven air. Zat ini
dapat dimanfaatkan menjadi pewarna alami. Pewarna alami tanin lebih optimum
digunakan dengan alum agar dapat menghasilkan warna yang lebih gelap pada
kain. Pada percobaan ini, hasil ekstraksi tanin yang telah dievaporasi akan
dikeringkan pada kondisi optimal sehingga menjadi sebuah produk pasta atau
serbuk yang nantinya dapat dipasarkan secara luas..

D. Pengeringan
Pengeringan (drying) merupakan suatu proses untuk mengurangi kadar air
dalam suatu benda atau sampel dengan cara menggunakan energi panas untuk
menguapkan kandungan air. Kandungan air yang terdapat pada sampel akan
mengalami perpindahan massa dari bahan ke udara. Hal tersebut terjadi karena
adanya transfer panas antara sampel dengan lingkungan dalam aliran udara
pengering.
Beberapa faktor yang mempengaruhi pengeringan, antara lain:
1. Udara Pengering
a. Suhu
Semakin tinggi suhu udara pengering, maka akan semakin cepat
sampel dikeringkan.
b. Kelembaban Udara
Kelembaban udara dapat mempengaruhi proses perpindahan uap air
dari sisi keseimbangan udara-uap dengan sampel yang ingin
dikeringkan.
c. Kecepatan Volumetrik Udara Pengering
Kecepatan udara pengering yang semakin tinggi dapat menyebabkan
koefisien perpindahan panas menjadi semakin tinggi. Hal ini
disebabkan oleh terjadinya peningkatan perpindahan panas.
2. Sifat Bahan
a. Ukuran Bahan
Luas permukaan sampel berpengaruh terhadap kecepatan
pengeringan. Saat terjadi proses pengeringan, terdapat luas yang
menerima transfer panas ketika berkontak dengan udara pengering.
b. Kadar Air Awal
Kadar awal air pada sampel dapat mempengaruhi lamanya proses
pengeringan. Semakin tinggi kadar air dalam sampel maka akan
semakin lama proses pengeringannya.
c. Teknann Parsial Air dalam Bahan
Semakin tinggi kelembaban udara, maka perbedaan tekanan uap air
di dalam dan luar sampel akan semakin rendah. Hal ini dapat
menghambat proses perpindahan massa air dari sampel ke udara
sehingga laju pengeringan menjadi lebih lama.

Adapun proses pengeringan melibatkan tiga tahapan yaitu initial period,


constant-rate period, dan falling-rate drying period.
Gambar I. Grafik Tahapan Proses Pengeringan

1. Initial Period (A-B)


Tahapan ini juga sering disebut dengan warm-up period dimana
panas sensibel ditransferkan pada sampel dan air yang terkandung
didalamnya. Kecepatan pengeringan masih mengalami penyesuaian
sehingga dapat meningkat ketika suhu sampel lebih rendah dari suhu
sistem dan dapat menurun ketika suhu sampel lebih tinggi dari suhu
sistem pada dryer.
2. Constant-rate Period (B-C)
Kecepatan pengeringan pada tahapan ini bersifat konstan. Proses
penguapan terjadi pada kecepatan yang konstan karena hanya terjadi
sedikit perubahan pada laju pengeringan. Pada kondisi ini, sampel
bersifat jenuh oleh air dan kelembaban bertahan pada permukaan
sampel. Koefisien perpindahan panas dan massa dapat ditentukan pada
tahapan ini.
3. Falling-rate Period (C-D dan D-E)
Pada tahapan ini terdapat dua bagian, yaitu first falling rate period
dan second falling rate period. First falling rate period terjadi secara
linier karena kadar air pada sampel sudah cukup rendah sehingga
semakin sedikit air yang teruapkan. Second falling rate period terjadi
secara tidak menentu karena kadar air pada sampel sudah sangat rendah.
Pada tahapan ini, difusi kelembaban dari bagian dalam solid ke bagian
luar menjadi faktor pembatas yang dapat mereduksi kecepatan
pengeringan.
V. METODOLOGI
A. Alat

Keterangan:
1. Oven
2. Tombol pengatur suhu
3. Tombol pengatur api
4. Tombol pengatur waktu
5. Rak
6. Sampel ekstrak pekat
limbah kayu merbau
7. Petri dish

Gambar II. Rangkaian Alat Drying (Oven)

Keterangan:
1. Statif
2. Buret 50 mL
3. Klem
4. Kran buret
5. Labu Erlenmeyer 100 mL

Gambar III. Rangkaian Alat Volumetri

B. Bahan
1. Aquadest
2. Asam indigokarmin
3. Asam oksalat 2H2O (C2H2O4.2H2O)
4. Asam sulfat (H2SO4)
5. Ekstrak pekat limbah kayu merbau (Instia bijuga)
6. Kalium permanganat (KMnO4)
7. Larutan FeCl3 1%

C. Cara Kerja
1. Pengeringan (drying)
a. Penimbangan berat mula-mula
Petri dish kosong ditimbang dengan neraca analitis digital, kemudian
diukur dimensinya dengan penggaris, dan diberi label. Sampel ekstrak
pekat hasil evaporator diambil menggunakan pipet volume, kemudian
diletakkan ke dalam Petri dish sampai ketinggian 1 cm. Sampel diratakan
hingga menutupi seluruh permukaan dasar Petri dish. Petri dish yang
sudah berisi sampel ditimbang menggunakan neraca analitis digital dan
dicatat massanya.

b. Pengeringan tahap awal


Oven dihubungkan terlebih dahulu dengan sumber listrik. Api oven diatur
menjadi api atas bawah dengan blower. Suhu oven diatur dengan variasi
sebesar 60, 70, 80 oC, kemudian oven dibiarkan beberapa menit hingga
memanas. Petri dish berisi sampel dimasukkan ke dalam oven. Waktu
pengeringan oven diatur dengan variasi sebesar 10, 15, 20 menit.

c. Pengeringan tahap akhir


Petri dish berisi sampel yang sudah melalui proses pengeringan dapat
dikeluarkan dari oven, kemudian didinginkan. Oven dimatikan dengan
mengatur tombol function ke arah OFF dan kabel dicabut dari sumber
listrik. Petri dish berisi sampel hasil pengeringan ditimbang menggunakan
neraca analitis digital dan dicatat massanya.

2. Analisis Volumetri (Permanganometri)


a. Pembuatan larutan baku primer asam oksalat
Sebanyak 0,7 gram asam oksalat 2H2O ditimbang dengan botol timbang,
kemudian dilarutkan dalam aquadest. Larutan dituang ke dalam labu ukur
100 mL dan aquadest ditambahkan sampai tanda batas. Larutan di dalam
labu ukur digojog hingga homogen.

b. Pembuatan larutan KMnO4


Sebanyak 0,32 gram KMnO4 diambil dengan gelas arloji, kemudian
dilarutkan dengan 100 mL aquadest di dalam gelas beker. Larutan
dipanaskan selama 15 menit dan didiamkan selama sehari semalam pada
suhu kamar. Larutan disaring dan dimasukkan ke dalam labu ukur 250 mL,
kemudian aquadest ditambahkan sampai tanda batas.

c. Standardisasi larutan KMnO4 dengan asam oksalat 0,1N


Sebanyak 10 mL larutan asam oksalat 2H2O diambil dengan pipet volume,
kemudian dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 100 mL dan
ditambahkan larutan H2SO4 4N sebanyak 10 mL. Campuran dipanaskan
sampai suhu 70 oC, kemudian dititrasi dengan larutan KMnO4 0,1N. Titrasi
dihentikan apabila terjadi perubahan warna dari tidak berwarna (bening)
menjadi merah muda. Titrasi diulangi sebanyak 5 kali dan volume KMnO 4
yang digunakan dicatat.

d. Pembuatan indikator asam indigo sulfonat


Sebanyak 1 gram asam indigokarmin dimasukkan ke dalam gelas ukur 100
mL, kemudian dilarutkan dengan H2SO4 pekat sebanyak 25 mL. Sebanyak
25 mL H2SO4 pekat ditambahkan kembali dan campuran diencerkan
dengan aquadest sebanyak 1000 mL.

e. Penetapan kadar tanin dengan KMnO4


Sebanyak 0,2 gram ekstrak pekat limbah kayu merbau hasil pengeringan
dimasukkan ke dalam gelas beker, kemudian aquadest ditambahkan
sebanyak 5 mL. Larutan dipanaskan sampai mendidih selama 30 menit
sambil diaduk, kemudian didiamkan selama 5 menit. Larutan disaring ke
dalam labu ukur 25 mL untuk memperoleh filtrat. Ampas yang tertinggal
dicampurkan lagi dengan aquadest mendidih dan dimasukkan ke dalam
labu ukur yang sama. Penyarian dilakukan beberapa kali sampai residu
tidak lagi berwarna biru hitam jika direaksikan dengan 3 tetes FeCl3 1%.
Larutan didinginkan dan aquadest ditambahkan ke dalam labu ukur
sampai tanda batas. Sebanyak 2,5 mL larutan diambil dan dimasukkan ke
dalam labu Erlenmeyer 100 mL, kemudian ditambahkan aquadest
sebanyak 75 mL dan indikator asam indigo sulfonat sebanyak 2,5 mL.
Larutan dititrasi dengan KMnO4 sampai terjadi perubahan warna dari biru
tua menjadi kuning keemasan. Titrasi diulangi sebanyak 5 kali dan volume
KMnO4 yang digunakan dicatat.

f. Penyiapan dan pengukuran titrasi blangko


Sebanyak 75 mL aquadest dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 100
mL, kemudian indikator asam indigo sulfonat sebanyak 2,5 mL
ditambahkan ke dalamnya. Larutan dititrasi dengan KMnO4 sampai terjadi
perubahan warna dari biru tua menjadi kuning keemasan. Titrasi diulangi
sebanyak 5 kali dan volume KMnO4 yang digunakan dicatat.

D. Variabel
1. Variabel bebas
Variabel bebas pada penelitian ini yaitu suhu pengeringan (60, 70, 80 oC) dan
waktu pengeringan (10, 15, 20 menit).

2. Variabel kontrol
Variabel kontrol pada penelitian ini adalah kecepatan udara panas, tekanan
operasi, luas permukaan transfer, dan ketinggian ekstrak.

3. Variabel terikat
Variabel kontrol pada penelitian ini adalah kadar air, kadar tanin, dan suhu
pengarangan.

E. Analisis Data
1. Penentuan kandungan air dalam sampel (X)
W st −W s 0
x=
W s 0−W 0
dengan,
x = kandungan air dalam sampel (gram H2O/gram padatan kering)
Wst = berat sampel + wadah pada waktu t (gram)
Ws0 = berat sampel kering + wadah (gram)
W0 = berat wadah kosong (gram)

2. Penentuan kecepatan pengeringan (N)


Didekati dengan diferensial numerik:
W s 0 ( x ¿ ¿ i+1−x i)
N i →i +1= ¿
A Δt
dengan,
Ws0 = berat sampel kering (gram)
A = luas permukaan pengeringan efektif (cm2)
xi = kadar air dalam padatan saat ti (gram H2O/gram padatan kering)
xi+1 = kadar air dalam padatan saat ti+1 (gram H2O/gram padatan kering)
Δt = interval waktu (menit)

3. Penentuan normalitas asam oksalat


m 1000
N asam oksalat= x x ekivalen
Mr V
dengan,
Nasam oksalat = normalitas asam oksalat (N)
m = massa asam oksalat (gram)
Mr = berat molekul asam oksalat
V = volume pelarut (L)

4. Penentuan normalitas KMnO4


V asam oksalat x N asam oksalat
N KMnO =4
V KMn O 4

dengan,
NKMnO4 = normalitas KMnO4 (N)
VKMnO4 = volume KMnO4 (L)
Vasam oksalat = volume asam oksalat (L)

5. Penentuan normalitas larutan rata-rata


ΣN
N rata−rata =
n

dengan,
Nrata-rata = normalitas larutan rata-rata (N)
ΣN = jumlah normalitas data hasil percobaan (N)
n = banyak data

6. Penentuan kadar tanin


(V ¿ ¿ 1−V 2) x N KMnO x Mr KMnO x a
% Tanin=FP 4 4
x 100 % ¿
W

dengan,
FP = faktor pengenceran (25/2,5 mL)
V1 = volume KMnO4 yang digunakan untuk titrasi sampel (mL)
V2 = volume KMnO4 yang digunakan untuk titrasi blanko (mL)
a = kesetaraan tanin terhadap KMnO4, di mana 1 mL KMnO4
0,1N setara dengan 0,004157 gram tanin
W = massa sampel yang ditimbang (gram)

DAFTAR PUSTAKA

Amelia, F. R. (2015) ‘Penentuan Jenis Tanin dan Penetapan Kadar Tanin dari Buah Bungur
Muda (Lagerstroemia speciosa Pers.) secara Spektrofotometri dan Permanganometri’, Jurnal
Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, 4 (2), pp. 1-20.

Andayani, I. G. A. S., Sulastri, S., Hananto, D. A., dan Sriasih, M. (2020) ‘Ekstrak Daun Jati
(Tectona Grandis) Alternatif Pewarna pada Penghitungan Jumlah dan Viabilitas Sel Kultur
Dibandingkan dengan Pewarna Tryphan Blue’, Jurnal Ilmiah Biologi, 8 (2), pp. 205-211.

Dalzell, S. dan Kerven, G.L. (1998) ‘A Rapid Method for the Measurement of Leucana spp.
Proantocyanidins by the Proantocyanidins (Butanol/HCl) Assay’, Journal of the Science of
Food and Agriculture, 78 (3), pp. 405-416.
Hakim, E. H., Sjamsul, A.A. Lukman, M., Yang Maolana, S., dan Didi, M. (1999) ‘Zat
Warna Alami: Retrospek dan Prospek’, Seminar: Bangkitnya Warna-Warna Alam (Maret
1999).

Kant, R. (2012) ‘Textile Dyeing Industry an Environmental Hazard’, Journal Natural


Science, 4(1), pp. 22-26. doi: 10.4236/ns.2012 .41004.

Martawijdaya, A., dkk. (1989) ‘Atlas Kayu Indonesia Jilid II’, Departemen Kehutanan,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

Padmitasari, A. dan Novitasari, K. A. D. (2010) ‘Laporan Tugas Akhir Pembuatan Serbuk


Zat Warna Alami Tekstil dari Daun Jati dengan Metode Spray Dryer’, (Maret 2010).

Sugiyana, D. (2003) ‘Pencemaran Logam Berat pada Limbah Industri Tekstil dan Alternatif
Material Penyerap Ekonomis’, Arena Tekstil No. 39/II/2003.

Soerianegara, I. dan Lemmens, R. H. M. J. (1994) ‘Plant Resources of South-East Asia No.


5(1). Timber trees: Major Commercial Timber’, Prosea Publisher, Bogor Indonesia.

Suirta, I. W., Widihati, I. A. G., dan Negara, I. P. E. K. S. (2016) ‘Pemanfaatan Limbah


Serbuk Kayu Merbau (Instia Spp.) sebagai Pewarna Kain Katun dengan Penambahan Kapur
Sirih’, Jurnal Kimia, 10 (2), pp. 175-180.

Widjajanti, E., Regina T. P., dan Utomo, M. P. (2011) ‘Pola Adsorpsi Zeolit Terhadap
Pewarna Azo Metil Merah dan Metil Jingga’, Prosiding Seminar Nasional Penelitian
(Agustus 2012).

Anda mungkin juga menyukai