Anda di halaman 1dari 9

Pewarna Alam:

Kulit Buah Mangrove


Kayu Secang

Fiksasi:
Tawas
Kapur
Tunjung

ANALISIS JURNAL
NO ANALISIS
1 Dita Andansari; Eksplorasi Pewarnaan Beberapa Jenis Kain Menggunakan Pewarna
Alami Jolawe Dan Secang Dengan Fiksasi Tawas, Baking Soda Dan Jeruk Nipis.
Jurnal Kreatif. Vol. 4, No. 2, April 2017
(Kayu Secang dan Tawas)
Setelah dilakukan eksperimen pewarnaan beberapa jenis kain (kain katun prima, hero/
eru, mori, katun primis, mori (hulala), titoron, katun Jepang halus (Roberto) dan katun
Jepang sedang Kenter), dengan pewarna alami secang dan jolawe, maka dapat
disimpulkan bahwa :
1 penggunaan fiksator tawas adalah yang paling menghasilkan penyerapan warna
yang baik.
2 Untuk pewarna alami secang, penggunaan fiksator jeruk nipis dan baking soda
kurang direkomendasikan kecuali memerlukan tampilan merah muda ke arah
kecoklatan untuk fiksator jeruk nipis dan merah muda dengan value rendah
untuk fiksator baking soda.
3 Penggunaan pewarna alami jolawe, untuk penggunaan fiksator jeruk nipis dan
baking soda tidak disarankan.
2 Oktavia Dewi Astuti1, Subiyati; Pengaruh Variasi Konsentrasi Mordan Dan Waktu
Fiksasi Pada Pencapan Kain Kapas Dengan Zat Warna Alam Kayu Teger (Cudrania
javanensis). Jurnal Teknika Atw. Vol. 23, 2020
(Fiksasi)
Variasi konsentrasi mordan dan waktu fiksasi pada pencapan kain kapas dengan zat
warna alam kayu teger berpengaruh terhadap nilai perubahan warna dan tidak
berpengaruh terhadap nilai penodaan warna pada uji ketahanan luntur warna terhadap
pencucian dan tidak berpengaruh terhadap nilai penodaan warna pada uji ketahanan
luntur warna terhadap gosokan kering maupun basah.
3 Nurul Nofiyanti1, Ismi Eka Roviani, Rina Dias Agustin; Pemanfaatan Limbah Kelapa
Sawit Sebagai Pewarna Alami Kain Batik Dengan Fiksasi. The Indonesian Journal Of
Health Science. 2018
(Fiksasi)
Hasil uji organoleptik yang paling banyak disukai panelis yaitu sampel dengan kode
618 dengan perlakuan mordanting perendaman 24 jam (M1) menggunakan bahan
fiksator kapur tohor (F1).

Hasil uji warna menggunakan color reader menunjukkan hasil L (lightness) tertinggi
diperoleh pada F2M1 yaitu dengan perlakuan mordanting perendaman 24 jam dan
bahan fiksator jeruk nipis, namun dari semua sampel menunjukkan hasil yang tidak
jauh yaitu berkisar 74-85 yang menunjukkan hasil yang mendekati warna terang
(putih). Nilai Hue dari semua sampel menunjukkan nilai berkisar 132-150 yang
menandakan warna Yellow Green (YG).
4 Sri Maryani, Oom Komalasari, Niken Probowati Nur Rahayu, Tri Novayanti Suswara;
Potensi Pewarna Alami Tekstil Di Kebun Raya Sriwijaya (Studi Pengaruh Air Gambut
Terhadap Kecerahan Warna Dari Tumbuhan Begonia (Begonia Sp.) Dan Seduduk
(Melastoma Malabathricum L.)). Publikasi Penelitian Terapan Dan Kebijakan 3 (1)
(2020) : HLM. 40 – 45
(Fiksasi)
Disimpulkan bahwa kecerahan warna dari pewarna alami yang dihasilkan terhadap
kain dapat diperoleh dengan penggunaan air mineral untuk menghasilkan warna yang
lebih gelap dapat digunakan air gambut. Beberapa jenis tumbuhan koleksi Kebun Raya
Sriwijaya dapat dikembangkan sebagai pewarna alami, terutama jenis tumbuhan yang
belum dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia dan jenis tumbuhan yang memiliki
kandungan pewarna yang kuat seperti pada Begonia (Begonia Sp.) dan Seduduk
(Melastoma malabathricum), dan dengan penambahan air gambut saat proses ekstraksi
di dapatkan warna yang lebih terang. Jenis zat pengikat yang digunakan juga dapat
mempengaruhi kenampakan warna yang dihasilkan sehingga menambah keragaman
warna berbahan alam. Ke depannya perlu dilakukan penelitian uji kandungan senyawa
kimia dari warna-warna hasil sumber tanaman pewarnaBegonia dan Seduduk sehingga
dapat dikembangkan sebagai pewarna alami dalam dunia industri tekstil.
5 Agrippina Wiraningtyas, Ruslan, Ahmad Sandi dan Muh. Nasir; Pewarnaan Benang
Menggunakan Ekstrak Daun Nila (Indogofera). Jurnal Redoks : Jurnal Pendidikan
Kimia dan Terapan. Volume 3 No. 1 Tahun 2020
(Fiksasi)
Berdasarkan hasil tersebut, produk benang yang dicelupkan pada zat warna dari daun
nila (indigofera) menghasilkan warna abu-abu. Setelah dilakukan fiksasi dan pencucian
diperoleh mengalami perubahan warna yaitu menjadi biru keabuan pada fiksasi tawas,
abu kecoklatan pada fiksasi tunjung dan menjadi biru pada fiksasi kapur.
6 Bayu Wirawan D. S., dan M. Alvin; Teknik Pewarnaan Alam Eco Print Daun Ubi
Dengan Penggunaan Fiksator Kapur, Tawas Dan Tunjung. Jurnal Litbang Kota
Pekalongan Vol. 17 TAHUN 2019.
(Fiksasi)
Berdasarkan penelitian ini maka dapat disimpulkan :
1 Pembuatan kain ecoprint dengan daun ubi jalar harus menggunakan zat
pembantu fiksator sebagai zat pengunci warna.
2 Dari hasil penelitian fiksator kapur yang lebih unggul digunakan dalam proses
fiksasi, karena apabila kain dicuci tidak mudah luntur.
7 Djandjang Purwo Sedjati, Zahra Azkia Putri Yantari; Eksperimentasi Kluwih
(Artocarpus Camansi) Sebagai Warna Alam Pada Tekstil. Jurnal Seni Rupa dan
Desain - Volume 24, Nomor 1 Januari - Maret 2021
(Fiksasi)
Hasil eksperimen menunjukkan bahwa bagian-bagian dari pohon Kluwih yaitu daun,
buah, kulit kayu, dan akar mempunyai kandungan pewarna yang berbeda kadar tone
warnanya (tingkat warnanya). Perbedaan itu ditunjukkan dengan hasil dari fiksasinya
sebagai berikut:
1 Daun. Hasil fiksasi dengan tawas, kapur, dan tunjung menunjukkan warna jelas
dari kain tidak dibatik maupun yang dibatik.
2 Akar. Hasil fiksasi tawas dan kapur pada kain yang dibatik tidak memunculkan
warna karena luntur. Hasil fiksasi tunjung pada kain yang dibatik menghasilkan
warna soft. Hasil fiksasi tawas, kapur, dan tunjung pada kain tanpa batik
menghasilkan warna soft.
3 Kulit Buah. Hasil fiksasi dengan tawas, kapur, dan tunjung yang menunjukkan
warna jelas dari kain tidak dibatik maupun yang dibatik.
4 Kulit Kayu. Hasil fiksasi tawas dan kapur pada kain yang dibatik tidak
memunculkan warna karena luntur. Hasil fiksasi tunjung pada kain yang
dibatik menghasilkan warna soft. Fiksasi tawas, kapur, dan tunjung pada kain
tanpa batik menghasilkan warna soft.
5 Ecoprint. Ecoprint dengan fiksasi tawas tidak memunculkan warna dan ecoprint
dengan fiksasi kapur memunculkan warna hijau kehitam-hitaman.
Hasil eksperimen tersebut bagian kulit buah dan daun adalah bagian yang
menghasilkan warna terbaik melalui proses celup. Sedangkan untuk proses ecoprint
hanya bagian daun yang menghasilkan warna terbaik.
8 Sri Rahmawati1, Ruslan, Agrippina Wiraningtyas, Sry Agustina; Ekstraksi Zat Warna
Dari Kulit Buah Manggis (Garcinia Mangostana L) Dan Aplikasinya Pada Benang
Tenun Bima. Jurnal Redoks : Jurnal Pendidikan Kimia dan Ilmu Kimia. Volume 4 No.
01 Tahun 2021
(Fiksasi)
Pada gambar 4. dapat dilihat perubahan warna setelah proses fiksasi. Untuk Kapur
warna benang berubah menjadi cokelat gelap, diaman warna sebelum fiksasi
menggunakan kapur itu berwarna cokelat terang, ini disebapkan dipengaruhi oleh
kandungan senyawa Ca2+ yang bereaksi dengan ekstrak kulit buah manggis sedangkan
untuk tawas berubah menjadi kuning, dipengaruhi oleh senyawa kimia yang terdapat
dalam tawas Al3+ yang bereaksi dengan ekstrak kulit buah manggis (Septiadini &
Muflihati, 2019). Kemudian untuk bahan fiksasi tunjung berubah warna menjadi abu-
abu, hal ini disebabkan kandungan besi yang terdapat dalam tunjung dan adanya proses
oksidasi membuat warna yang dihasilkan pada benang menjadi tua (Fardhyanti dan
Ria, 2015).
9 Herman Sugianto; Analisis Potensi Hutan Mangrove Di Pesisir Pantai Desa Labuhan
Kecamatan Sreseh Kabupaten Sampang Pulau Madura Sebagai Pengembangan Bahan
Dasar Pewarna Alam Pada Karya Kerajinan Kriya Tekstil. PAWIYATAN XXVIII (1)
(2021) 74-82
(Manggrove)
Berdasarkan hasil analisis pada bab IV dengan metode eksperimen dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1 Jenis-jenis pohon mangrove yang terdapat diwilayah pesisir desa Labuhan
dibagi menjadi tiga jenis, yaitu yang pertama Avicennia (api-api), yang kedua
Rhizopora (bakau) dan ketiga Avicennia Marina.
2 Bagian-bagian pohon mangrove yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku
pewarna alam yaitu daun mangrove, bunga, buah, kulit dan akar mangrove.
3 Warna yang dihasilkan setelah proses ekstraksi adalah Avicennia (api-api)
menghasilkan warna coklat kehijauan untuk bagian daun, warna kream dihasil
bagian bunga. Rhizopora (bakau) menghasilkan warna kuning kecoklatan dari
daunnya dan coklat dari bunganya. Avicennia Marina menghasilkan warna
coklat baik dari daun ataupun yang dihasilkan dari bunga.
Warna yang dihasilkan setelah penerapan pada media kain yaitu Avicennia (api-api)
menghasilkan Warna coklat soft, Rhizopora (bakau) menghasilkan warna kuning
kecoklatan untuk daun, sedangkan untuk bunga coklat lebih pekat. Avicennia Marina
menghasilkan warna kuning baik dari daun ataupun yang dihasilkan dari bunga.
10 Yogi Setiawan, Sri Wiratma; Coconut Husk As A Batik Coloring Material. Melayu
Arts and Performance Journal. Vol. 4, No. 1, April 2021
(Fiksasi)
Secara umumnya warna yang dihasilkan Fiksasi tawas akan menjadi warna yang lebih
muda dari warna aslinya setelah pencelupan. Kemudian warna yang dihasilkan Fiksasi
tunjung akan menghasilkan warna paling gelap juga pekat dan warna yang dihasilkan
dari Fiksasi kapur akan menghasilkan warna yang sama akan tetapi memberikan
tambahan warna kekuningan pada kain dan juga dapat naik menjadi warna yang lebih
gelap sedikit dari warna aslinya setelah melui proses pencelupan warna.

Pengolahan sabut kelapa sebagai warna alami dapat dijadikan sebagai pilihan sebab
lebih ramah akan lingkungan. Dan lebihnya lagi setiap penunci dapat menghasilkan
warna yang berbeda-beda. warna yang dihasilkan dari ekstrak sabut kelapa adalah pada
Fiksasi tawas menjadi warna coklat terang, kemudian pada Fiksasi tunjung menjadi
coklat tua dan pada Fiksasi kapur menjadi coklat kekuningan.

Fiksasi yang digunakan memberikan efek yang berbeda pada tingkat kerataan kain,
pada Fiksasi tawas dan Fiksasi kapur akan menghasilkan warna yang rata dan sudah
sanagat baik dan cocok untuk dijadikan alternatif warna lain, warnanya juga tidak ada
yang bercak-bercak tumpukan warna yang pekat ataupun lebih pudar. Sementara pada
Fiksasi tunjung kerataannya tidak bagus karena masih ada bercak-bercak yang terlihat
cukup banyak.
11 Azafilmi Hakiim, Dessy Agustina Sari , Vita Efelina; Pengembangan Potensi
Indigofera Dengan Proses Kombinasi Fermentasi Aerob-Anaerob Sebagai Zat Warna
Alami Batik. Journal Of Chemical Process Engineering. Vol 03 No. 02, November-
2018
(Fiksasi)
Hal ini menunjukkan tawas mampu mengunci warna dan terikat kuat didalam kain
jenis katun polos, sutera polos, sutera batik pada proses fermentasi aerob dan anaerob.
Sedangkan pada kain katun berbasis batik yang menggunakan proses anaerob, dinilai
tidak begitu kuat bersama dengan tawas untuk masuk kedalam serat kain batik. Hal ini
dimungkinkan karena sifat partikel molekul warna anaerob tidak cukup kuat dan hanya
menempel pada permukaannya saja. Sehingga warna mudah terlepas ketika dilakukan
pencucian (Ramadhania dkk, 2013; Pujilestari, 2014).
Fiksasi menggunakan kapur menunjukkan hasil pada kategori rata-rata nilai tinggi. Hal
ini dikarenakan kapur mampu mengikat kuat molekul warna. Menurut Triani (2012),
sifat-sifat fisik kapur adalah berbentuk gumpalan yang tidak teratur, memiliki warna
putih atau putih keabu-abuan, dan kadang-kadang bernoda kekuningan atau
kecokelatan yang disebabkan oleh adanya unsur besi. Penggunaan larutan kapur
sebagai fiksator merupakan penambahan garam-garam klorida atau oksalat dari basa-
basa organik yang dapat meningkatkan afinitas zat warna terhadap selulosa/serat/kain
katun. Artinya, semakin tinggi konsentrasi kapur, tingkat afinitas terhadap selulosa
akan semakin baik (Triani, 2012).

Perlakuan fiksasi menggunakan tunjung, hasil rerata uji I, II, dan III di peroleh hasil
kategori tinggi dan sedang. Hal ini disebabkan bahan fiksasi tunjung terhadap
pencucian berkaitan dengan terjadinya ikatan zat warna yang mampu masuk ke dalam
serat kain secara maksimum dan berikatan kuat dengan serat kain (Sulasminingsih,
2006).
12 Muhamad Afan, Agrippina Wiraningtyas, Sry Agustina dan Ruslan; Pemanfaatan
Ekstrak Daun Sirih Hijau (Piper Betle L.) Sebagai Zat Pewarna Alami (ZPA) Tekstil
Dan Aplikasinya pada Benang Tenun. Jurnal Redoks : Jurnal Pendidikan Kimia dan
Ilmu Kimia. Volume 3 No. 02 Tahun 2020
(Fiksasi)
Perubahan warna yang terjadi pada benang dengan bahan fiksasi tawas dipengaruhi
oleh senyawa kimia yang terdapat dalam tawas yaitu Al3+ yang bereaksi dengan
ekstrak daun sirih hijau sedangkan untuk bahan fiksasi kapur dipengaruhi oleh
kandungan senyawa yang terdapat dalam kapur yaitu Ca2+ yang bereaksi dengan
ekstrak daun sirih hijau (Septiandini & Muflihati, 2019). Kemudian yang
menggunakan bahan fiksasi tunjung dengan variasi waktu pelarut maserasi 1, 2, 3, 4
dan 5 jam warna benang yang dihasilkan yaitu warna abu-abu. Itu disebabkan
kandungan besi yang terdapat dalam tunjung dan adanya proses oksidasi membuat
warna yang dihasilkan pada benang menjadi tua (Fardhyanti dan Ria, 2015).

Hal tersebut mendukung teori dari Titik, (2014) yang mengatakan bahwa proses fiksasi
pada prinsipnya adalah mengkondisikan zat pewarna yang telah terserap dalam waktu
tertentu agar terjadi reaksi antara bahan yang diwarnai dengan zat warna dan bahan
yang digunakan untuk fiksasi. Fiksasi juga salah satu langkah pada proses perendaman
yang bertujuan untuk mengunci dan membangkitkan zat warna.
14 Enur Azizah dan Alex Hartana; Pemanfaatan Daun Harendong (Melastoma
Malabathricum) Sebagai Pewarna Alami Untuk Kain Katun. Dinamika Kerajinan dan
Batik, Vol. 35, No. 1, Juni 2018, 1-8
(Fiksasi)
Warna yang ditimbulkan pada kain katun menggunakan ekstrak daun harendong
dipengaruhi oleh jenis mordan yang digunakan dalam proses fiksasi. Jenis-jenis
mordan yang biasa digunakan dalam proses fiksasi yaitu mordan logam – mordan yang
berasal dari garam logam seperti KAl(SO4)2.I2H2O, Ca(OH)2, FeSO4, CuSO4,
SnCl2, K2CrO7, Na2CO3, CH3COOH, Fe(NO3)3; tanin – myrobolan dan sumac;
mordan minyak – Turkey Red Oil (TRO) (Singh & Srivastava, 2017). Dalam
penelitian ini menggunakan 3 jenis mordan dari kelompok logam kompleks, yaitu
tawas [KAl(SO4)2.I2H2O], kapur sirih (Ca(OH)2) dan tunjung (FeSO4). Ketiga jenis
mordan tersebut dipilih karena banyak digunakan, harganya yang terjangkau, dan
mudah didapat di pasaran (Wijana et.al., 2015). Selain menimbulkan variasi warna
yang beragam, penambahan mordan saat fiksasi juga mengakibatkan kain yang
terwarnai menjadi tahan terhadap pengaruh pencucian dan sinar terang matahari. Hal
tersebut terlihat dari adanya perbedaan ketahanan luntur antara kain yang diberi
penambahan mordan dengan kain yang tidak diberi penambahan mordan (Tabel 1).
Fiksasi merupakan tahapan penting dalam proses pencelupan warna, karena tahapan
tersebut dilakukan untuk membangkitkan dan mengunci warna yang telah dihasilkan
(Prayitno et.al., 2014). Penggunaan mordan dalam proses pewarnaan akan membuat
warna menjadi tidak mudah luntur dan tahan terhadap gosokan (Ruwana, 2008).
15 Titiek Puji lestari dan Irfa’ina Rohana Salma; PENGARUH SUHU EKSTRAKSI
WARNA ALAM KAYU SECANG (Caesalpinia Sappan Linn) DAN GAMBIR
(Uncaria Gambir) TERHADAP KUALITAS WARNA BATIK. Dinamika Kerajinan
dan Batik, Vol. 34, No. 1, Juni 2017, 25-34
(Kayu Secang)
Warna alam kayu secang setelah diaplikasikan pada batik kain katun memberikan
warna coklat kemerahan, semakin tinggi suhu maka warna merah semakin kuat.
Penggunaan suhu 100oC terlihat memberikan arah warna yang paling kuat. Arah
warna berbanding lurus dengan tingkat absorbansi ketuaan warna. Nilai absorbansi zat
warna alam secang berkisar pada nilai 0,3038-2,1921. Penggunaan fiksasi akan
merubah arah warna dimana fiksasi dengan prusi menghasilkan warna coklat keunguan
sedangkan fiksasi dengan tunjung menghasilkan warna ungu kehitaman. Kupri sulfat
atau prusi merupakan senyawa garam yang terdiri dari campuran logam tembaga
dengan asam sulfat panas. Tunjung atau fero sulfat apabila terkena udara akan
teroksidasi dan dapat menyebabkan perubahan menjadi feri sulfat.
16 Yeni Mijaryuningsih, Haryanto; Pengaruh Jenis Mordan Dan Lama Waktu Pencelupan
Terhadap Ketajaman Warna Dan Kelunturan Warna Pada Kain Katun Dengan Zat
Warna Ekstrak Daun Ketapang. Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains &
Teknologi (SNAST) 2021. Yogyakarta, 20 Maret 2021
(Fiksasi)
Berdasarkan hasil observasi dan analisis data tentang pengaruh jenis mordan dan lama
waktu pencelupan terhadap hasil jadi pewarnaan pada kain katun menggunakan ekstrak
daun ketapang dapat disimpulkan bahwa:
1 Jenis mordan sangat berpengaruh terhadap hasil jadi pewarnaan yang ditinjau
dari ketajaman warna dan kelunturan warna. Jenis mordan yang paling baik
sampai yang kurang baik digunakan apabila ditinjau dari ketajaman warna
adalah tunjung, tawas, jeruk nipis, kapur, dan asam asetat. Sedangkan jenis
mordan yang kurang baik dalam mengikat zat warna sampai yang paling baik
dalam mengikat zat warna adalah mordan kapur, asam asetat, jeruk nipis, tawas
dan tunjung.
2 Lama waktu pencelupan sangat berpengaruh terhadap hasil jadi pewarnaan
yang ditinjau dari ketajaman warna dan kelunturan warna. Lama waktu
pencelupan apabila ditinjau dari ketajaman warnanya dari yang tidak mudah
luntur sampai yang sangat mudah luntur adalah selama 75 menit, 60 menit, 45
menit, 30 menit, dan 15 menit. Sedangkan apaila ditinjau dari kelunturan warna
nya dari yang mudah luntur sampai tidak mudah luntur adalah 15 menit, 30
menit, 45 menit, 60 menit, 75 menit. Hal ini karena semakin lama waktu
pencelupan maka warna pada kain katun tidak akan mudah luntur.
17 Asprila Johan Tandepadang, Aldi Hendrawan; Eksplorasi Kulit Kopi Arabika sebagai
Pewarna Alami dengan Fiksasi Tunjung pada Kain Katun dan Rami. e-Proceeding of
Art & Design : Vol.6, No.3 Desember 2019 | Page 4115
(Tunjung)
Dengan demikian dari eksperimen pewarnaan menggunakan zat warna alami dari
limbah kuit kopi arabika, dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan fiksator
berupa tunjung adalah yang paling menghasilkan warna yang baik pada kain katun
ataupun kain rami. Sedangkan untuk pewarna kulit kopi arabika pada kain rami
menghasilkan warna cenderung pucat.
18 Agrippina Wiraningtyas, Ruslan, Ahmad Sandi, Muh. Nasir; Pemberdayaan Kelompok
Tenun Nari-Nari Melalui Pewarnaan Benang Menggunakan Ekstrak Kayu Kuning Dan
Kayu Mahoni. JPM (Jurnal Pemberdayaan Masyarakat). Vol.5 No.2. 2020. 446 – 452
(Fiksasi)
Pelatihan pewarnaan benang dikampung tenun Nari-Nari dapat meningkatkan
pengetahuan masyarakat tentang pembuatan dan pemanfaatan zat warna dalam
pewarnaan benang. Zat warna yang digunakan pada kegiatan ini diekstrak dari kulit
kayu kuning dan kayu mahoni. Produk benang yang dihasilkan pada pewarnaan
menggunakan ekstrak kulit kayu kuning adalah benang dengan variasi warna merah
cerah, hitam dan krem. Sedangkan pada pewarnaan menggunakan ekstrak kulit kayu
mahoni diperoleh benang dengan variasi warna krem dan abu-abu kehitaman.
19 Bayu Wirawan D. S. , Hazbi As Siddiqi. Eksplorasi Warna Alam Menggunakan Kulit
Batang, Akar, Daun Dan Buah Dari Tanaman Mangrove (Rhizopora Stylosa) Sebagai
Pewarna Batik Dengan Penggunaan Fiksator Tawas, Tunjung Dan Kapur. Jurnal
Litbang Kota Pekalongan VOL. 13 TAHUN 2017 73-81
(Mangrove)
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka didapatkan kesimpulan bahwa dari
setiap ekstraksi 4 bagian dari mangrove yaitu kulit batang, akar, daun, dan buah
menghasilkan warna yang berbeda-beda begitu juga setelah proses fiksasi. Ketika
dilakukan fiksasi dengan tunjung warna berubah abu-abu, fiksasi dengan kapur
mengarah ke warna pink/jingga, fiksasi dengan tawas menghasilkan warna jingga.
20
21 Dwi Wiji Lestari, Isnaini, Irfa’ina Rohana Salma, dan Yudi Satria; Bentonit Sebagai
Zat Mordan Dalam Pewarnaan Alami Pada Batik Menggunakan Kayu Secang
(Caesalpinia Sappan Linn.). Dinamika Kerajinan dan Batik, Vol. 35, No. 2, Desember
2018, 95-102
(Kayu Secang)
Pada penelitian ini, digunakan kayu secang (Caesalpinia sappan Linn.) yang selama ini
telah dimanfaatkan sebagai sumber pewarna alam merah pada kain batik. Tanaman
secang diketahui mengandung senyawa brazilin (Ohama & Yumpat, 2014). Menurut
Rosenberg (2008) dalam (Lioe, Adawiyah, & Anggraeni, 2012), brazilin dengan Berat
Molekul (BM) 286 merupakan komponen utama ekstrak secang, namun komponen ini
mudah teroksidasi oleh udara dan cahaya dan menghasilkan brazilein dengan BM 284.
Komponen brazilein inilah yang menghasilkan warna merah. Struktur brazilin dan
brazilein ditunjukkan dalam Gambar 1.
22
23 Heni Irawati, Novi Luthfiyana, Imra, Triyana Wijayanti, Andi Izza Naafilah, Sari
Wulan; Aplikasi Pewarnaan Bahan Alam Mangrove Pada Kain Batik Sebagai
Diversifikasi Usaha Masyarakat. DINAMISIA: Jurnal Pengabdian Kepada
Masyarakat. Vol. 4, No. 2 Juni 2020,, Hal. 285-292
(Mangrove)
Aplikasi pewarnaan bahan alam mangrove pada kain batik yang telah dilakukan oleh
masyarakat Kelurahan Gunung Lingkas Kecamatan Tarakan Timur Kota Tarakan
sangat memberikan manfaat dalam menggali potensi sumberdaya alam kawasan pesisir
Kota Tarakan. Kegiatan ini juga dapat meningkatkan taraf ekonomi masyarakat
setempat jika dikelola dengan baik.
24 Lutfianna Fatma Dewi, Delianis Pringgenies, Ali Ridlo. Pemanfaatan Mangrove
Rhizophora mucronata Sebagai Pewarna Alami Kain Katun. Journal of Marine
Research Vol.7, No.2 Mei 2018, pp. 79-88
(Mangrove)
Serasah daun, kulit kayu, dan limbah propagul dari R. mucronata menghasilkan
pewarna alami berwarna cokelat. Warna cokelat ekstrak pewarna alami R. mucronata
merupakan jenis tanin terkondensasi yang terdiri dari gugus hidroksil, karbonil, dan
kromofor. Senyawa yang terkandung adalah polifenol dan flavonoid. Kualitas
pewarnaan pada kain hasil pencelupan dengan pewarna alami R. mucronata berkisar
antara 3 (cukup) hingga 4 (baik) dan telah memenuhi standar SNI.
25 Delianis Pringgenies, Ervia Yudiati, Ria Azizah Tri Nuraeni, Endang Sri Susilo.
Pemberdayaan Kelompok Wanita Nelayan Pesisir Pantai dengan Aplikasi Teknologi
Pewarna Alam Limbah Mangrove Jadi Batik di Mangkang Kecamatan Tugu
Semarang. Jurnal Panrita Abdi, 2017, Volume 1, Issue 2.
(Mangrove dan Fiksasi)
Pewarna alam dari daun, kulit akan mendapatkan hasil yang bervariasi. Hasil tersebut
dapat divariasi warnanya tergantung dari fixaxernya. Fixaxi tunjung menghasilkan
warna yang lebih gelap, fixaxi kapur mendapatkan warna yang lebih muda sedang
fixaxi tawas mendapatkan warna sedang antara fixai tawas dan fixaxi. Informasi yang
ditemukan dapat dijadikan bahan untuk produk batik selanjutnya. Kini telah dibangun
galeri batik limbah mangrove “Wijaya Kusuma” yang berlokasi di desa Mangunhardjo.
26 Paryanto, Ade Dwi Utama, Fauzia Rahmadita dan Rafindra Trisna. Pengambilan Zat
Warna Alami Dari Buah Mangrove Spesies Rhizopora Mucronata Secara Ekstraksi
Padat-Cair Batch Tiga Tahap Dalam Skala Pilot Plant. Momentum, Vol. 13, No. 2,
Oktober 2017, Hal. 5-10
(Mangrove)
Zat pewarna alami dari buah mangrove jenis Rhizopora mucronata yang diperoleh
melalui ekstraksi batch tiga tahap ini dalam bentuk konsentrat tinggi dengan
konsentrasi sebesar 1662 ppm dan volume ekstrak 5,23 Liter. Absorbansi maksium
yaitu 0,541 terjadi pada panjang gelombang 675 nm.

Anda mungkin juga menyukai