Anda di halaman 1dari 15

KAJIAN PENGAWETAN NIRA AREN MENGGUNAKAN

KOMBINASI MEDAN LISTRIK TEGANGAN TINGGI DAN


ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA REDESTILASI

Oleh:
REDIKA ARDI KUSUMA
F152130051

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Nira aren merupakan cairan manis hasil penyadapan tangkai bunga tanaman
aren (Arenga pinnata) yang banyak tumbuh di berbagai tempat di Indonesia.
Tanaman aren dapat dipanen dan diambil niranya sepanjang tahun. Menurut
Kepala Bagian Jasa Iptek Puslit kimia LIPI, Dr. Hery Haeruddin, satu hektar tanah
bisa ditanami 75-100 pohon aren. Satu pohon aren mampu menghasilkan hingga
20 liter nira per hari (Dinas Kehutanan Jawa Tengah, 2009). Nira aren tersebut
dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan yang cukup beragam semisal untuk
minuman ringan maupun beralkohol, asam cuka, dan bahan baku produksi gula
merah.
Pemanfaatan nira aren untuk diolah menjadi gula merah menjadi pilihan
utama karena permintaan konsumen terhadap jenis gula ini cenderung meningkat
tiap waktunya. Menurut data tahun 2004 dari Dewan Gula Indonesia
(Burhanuddin, 2005), produksi gula dalam negeri rata-rata sebesar 2,1 juta ton per
tahun, sementara tingkat konsumsi mencapai 2,7 ton. Data tersebut menunjukkan
bahwa usaha budidaya aren untuk produksi gula merupakan sebuah usaha yang
secara ekonomis masih sangat potensial.
Gula merah yang berkualitas diperoleh dari nira yang bermutu dan masih
terjaga kesegarannya. Sayangnya, nira sangat rentan terhadap kerusakan akibat
fermentasi oleh mikroorganisme kontaminan selama penyadapan. Adanya
fermentasi tersebut menyebabkan nira cepat berubah menjadi masam dalam waktu
2 sampai 6 jam usai penyadapan. Nira yang asam akibat proses fermentasi tidak
dapat diolah menjadi gula merah karena sukar mengeras.
Kerusakan nira dapat diantisipasi dengan melakukan pengawetan sehingga
dapat memperpanjang masa simpan atau waktu tunggu nira sebelum diolah lebih
lanjut. Upaya ini dapat dilakukan secara tradisional maupun dengan penambahan
zat aditif. Pengawetan tradisional sering dilakukan oleh para penderes dengan
melakukan pembersihan dan pengasapan wadah penampung nira sebelum
digunakan untuk menyadap. Adanya pengasapan tersebut akan memberikan efek
antimikroba. Upaya lain yang dilakukan adalah menambahkan pengawet alami
seperti kulit pohon manggis, kulit buah manggis muda, daun manggis, akar
kawao, kulit kayu ralu, dan sebagainya. Penderes terbiasa juga mendidihkan nira
hasil sadapan siang hari jika akan diolah keesokan harinya (Maskar, 1990).
Meskipun demikian, pengawetan secara alami tersebut masih belum dapat
mengendalikan kerusakan secara cepat dan sempurna.
Adanya akses dan informasi tentang bahan pengawet kimia (zat aditif)
seperti natrium bisulfit, natrium metabisulfit, serta natrium benzoat menarik
pengrajin untuk menggunakan bahan tersebut ketika penyadapan dan pengolahan
nira. Penggunaan zat aditif meskipun menguntungkan dalam pengawetan nira
namun juga menimbulkan masalah pada penurunan kualitas gula jika digunakan
secara berlebihan. Salah satu efek samping yang paling umum adalah timbulnya
rasa (after taste) yang tidak enak. Selain itu, efek lain penggunaan zat aditif
seperti sulfit dalam makanan adalah dapat mengakibatkan serangan asma, rasa
panas dan gangguan pada daerah abdomen (perut). Hal ini tentu akan menjadi
hambatan dalam pemasaran gula merah sebagai komoditi ekspor.

Perumusan Masalah
Nira yang disadap tanpa disertai upaya pengawetan mempunyai pH dibawah
5. Pengkristalan sukrosa sebagai prinsip produksi gula merah padat hanya dapat
dilakukan pada pH diatas 5,5. Penambahan pengawet sintetis seperti asam dan
garam benzoat serta senyawa golongan sulfit yang umum digunakan penderes
menyebabkan gula yang dihasilkan kurang disukai bahkan ditolak oleh konsumen
khususnya konsumen luar negeri. Penambahan kapur untuk menetralkan
keasaman nira yang sudah terlanjur asam mengakibatkan perubahan rasa pada
gula yang dihasilkan. Oleh karena itu, upaya pencegahan menurunnya pH dengan
menghambat pertumbuhan mikroorganisme kontaminan perlu dilakukan secara
lebih efektif dan aman. Upaya tersebut dapat dilakukan baik dengan teknik
pengawetan selama penyadapan maupun setelahnya.
Asap cair redestilasi merupakan hasil penyulingan ulang asap cair sehingga
lebih murni dan jernih kenampakannya. Asap cair sendiri merupakan hasil
kondensasi asap yang memiliki aktivitas antimikroba, tidak mengandung zat
karsinogenik, dan merupakan ingredient yang terbukti aman. Penggunaan bahan
ini untuk pengawetan nira pernah diteliti oleh Rusbana (2010) dan teruji mampu
mempertahankan kesegaran nira selama 6 jam dari 12 jam pengukuran dengan
konsentrasi 1%. Hasil ini dinilai masih dapat ditingkatkan jika dikombinasikan
dengan teknik lain.
Pengombinasian dengan teknik pemanasan pada nira dihindari karena suhu
yang tinggi dapat memicu makin cepatnya reaksi hidrolisis sukrosa sehingga nira
sukar mengkristal. Adanya reaksi tersebut justru menyebabkan nira harus segera
diolah. Oleh karena itu diperlukan suatu teknik non-thermal yang berpotensi
mengawetkan nira secara berkelanjutan.
Medan pulsa listrik tegangan tinggi (High Pulsed Electric Field) merupakan
salah satu teknik inaktivasi non-thermal mikroba yang telah dikenal luas dalam
proses dekontaminasi minuman. Berdasarkan penelitian Suheri (2012),
penggunaan HPEF dengan jarak eletroda 3 mm, kuat medan 31,67 kV/cm, lebar
pulsa 50s, dan frekuensi 15 Hz mampu mereduksi bakteri dalam susu yang
jenisnya sama pada nira (Staphylococcus aureus) hingga 36,58%. Penerapan
pemberian asap cair tempurung kelapa redestilasi yang dikombinasikan dengan
medan pulsa listrik tegangan tinggi pada taraf tertentu diharapkan dapat lebih
mengawetkan nira dan berpotensi memaksimalkan mutu gula aren hasil olahannya
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah mengkaji penggunaan asap cair
tempurung kelapa redestilasi yang dikombinasikan dengan medan pulsa listrik
tegangan tinggi sebagai metode pengawetan nira yang lebih aman, efektif, dan
terkontrol. Sebagai tambahan, tujuan khusus penelitian ini meliputi (1)
mengevaluasi keefektifan penggunaan asap cair redestilasi dan medan pulsa listrik
tegangan tinggi secara terpisah dan potensi pengombinasian keduanya sebagai
metode pengawetan nira aren, (2) menguji aktivitas antimikroba asap cair
redestilasi yang dikombinasikan dengan medan pulsa listrk tegangan tinggi pada
bakteri gram positif, bakteri gram negatif, serta bakteri asam laktat (BAL) asal
nira, dan (3) menentukan taraf kombinasi asap cair redestilasi dan medan pulsa

listrik tegangan tinggi yang mampu mempertahankan mutu nira selama


penyadapan (12 jam) dan penyimpanan (12 jam).
Manfaat Penelitian
Hasil dari kajian ini nantinya dapat dimanfaatkan sebagai salah satu pilihan
solusi dalam pengawetan nira aren oleh masyarakat, khususnya pengrajin gula
merah. Kajian juga dapat menjadi informasi ilmiah mengenai penggunaan asap
cair redestilasi dan kombinasinya dengan teknologi medan pulsa listrik tegangan
tinggi sebagai pengawet untuk komoditi pangan lain.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Komposisi Nira Aren dan Kerusakannya
Nira dalam keadaan segar tidak berwarna dan terasa manis. Analisis terbatas
komposisi nira aren oleh Sukriya (1982) menunjukkan bahwa nira aren dengan pH
7 mengandung protein rata-rata 0,26%, sukrosa 10,87%, gula pereduksi 0,13%,
vitamin C 1,5%, dan total asam 0,025 % (dalam bentuk asam asetat). Komposisi
lain diteliti oleh Ardi (1991) menggunakan analisis proksimat yang hasilnya
disajikan pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Hasil analisis proksimat nira aren
Komponen
Air
Sukrosa
Gula
pereduksi
Protein
Lemak
Abu

Kandungan (%)
85
12,67
0,28
0,19
0,14
0,06

Komposisi nira aren yang berbeda-beda selain disebabkan oleh perbedaan


pohon dan daerah tempat tumbuh juga dikarenakan adanya perubahan mutu
sebelum dianalisis, metode analisis yang digunakan, serta faktor-faktor lainnya
(Sukriya, 1982). Meskipun demikian, kandungan sukrosa pada nira umumnya
berkisar 10%. Menurut James dan Chen (1985), kandungan sukrosa pada nira
tersebut tidak cukup untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme, bahkan
merupakan media yang baik untuk petumbuhan mikroorganisme jika nira
dibiarkan beberapa waktu.
Bila nira dibiarkan tanpa ada usaha pengawetan maka akan timbul
perubahan susunan kimianya yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme
(enzim invertase) terhadap kandungan sukrosa (Sardjono, 1983). Goutara dan
Wijandi (1985) menyatakan bahwa pada umumnya nira yang mengalami
kerusakan ditandai dengan rasanya yang asam, berbuih dan berlendir. Kerusakan
ini terjadi karena aktivitas mikroba kontaminan yang memfermentasi gula yang
terdapat pada nira. Kurangnya kebersihan tanaman, tempat penyadap, keberadaan
serangga, dan kondisi cuaca menjadi penyebab munculnya kontaminasi tersebut.
Perubahan sifat nira akibat fermentasi mulai tampak satu sampai dua jam
setelah dikumpulkan. Perubahan yang terjadi berupa penuruan pH dan
peningkatan kadar alkohol. Organisme yang bertanggung jawab dalam perubahan
nira adalah S.cerevisiae dan Schizosaccharomyces pombe dari golongan khamir
dan Lactobacillus plantarum serta Leuconostoc mesenteroides dari golongan
bakteri. Jika fermentasi dibiarkan terus lebih dari 96 jam maka nira akan berubah
menjadi cuka (vinegar). Selama 24 jam penyimpanan, pH nira akan berubah dari
7,4-6,8 menjadi 5,5 dan kandungan alkohol juga meningkat menjadi 1,5-2,1%.
Selama 72 jam, kadar alkohol dapat mencapai 4,5%-5,2% dan pH 4,0. Senyawa

asam organik yang biasanya terdapat pada nira asam ini adalah asam laktat, asam
asetat, dan asam tartarat (Battcock dan Azam-Ali, 1998).
Agar diperoleh gula merah yang baik, kering, berwarna kekuningan, keras,
dan padat (tidak lembek) sebaiknya pH nira sebelum diolah berkisar antara 5,56,5. Diluar kisaran itu gula sukar untuk mengkristal (BALITKA, 1989).
Upaya-Upaya Pengawetan Nira
Penurunan pH nira akibat fermentasi menyebabkan kadar sukrosa menurun
dan kandungan gula pereduksi meningkat. Perubahan psikokimia akibat
fermentasi pada akhirnya mempengaruhi mutu gula yang dihasilkan. Nira yang
telah asam karena fermentasi tidak dapat diolah menjadi gula merah yang padat.
Hal ini mendorong petani penderes melakukan berbagai upaya pengawetan untuk
menjaga mutu nira agar tetap terjaga kesegarannya. Selain pengawetan secara
tidak langsung dengan mengasapi lodong, petani penderes juga melakukan upaya
pengawetan yang sifatnya tradisional.
Pengawetan tradisional yang dilakukan diantaranya dengan menambahkan
potongan atau irisan kulit batang kayu manggis, kayu ralu, kayu kesambi, akar
kawao, kulit buah manggis muda, daun manggis, dan sebagainya. Penggunaan
pengawet tradisional ini belum efektif karena setelah penyadapan, petani penderes
biasa menambahkan air kapur untuk menetralkan nira yang sudah sedikit asam.
Penambahan bahan tambahan ini akan menurunkan kualitas gula merah.
Penelitian mengenai pengawetan nira telah banyak dilakukan. Kusumah
(1992) dan Mansyur (1992) menggunakan natrium metabisulfit dan kapur.
Penggunaan natrium metabisulfit dengan konsentrasi 70 sampai 100 ppm serta
kapur 500 ppm dapat digunakan untuk mengawetkan nira aren dan nipah.
Widyaningsih (1985) menggunakan natrium metabisulfit, kapur, dan toluene
masing-masing sebanyak 0,10% sebagai pengawet. Natrium meta bisulfit efektif
digunakan dalam pengawetan nira dan mampu menghambat reaksi pencoklatan.
Penggunaan kapur lebih berpengaruh pada warna gula merah dimana warna gula
yang dihasilkan menjadi lebih gelap.
Hasil penelitian ini beberapa telah banyak diadopsi oleh masyarakat
termasuk penggunaan zat aditif. Sayangnya, pengaplikasian pada gula merah yang
dihasilkan justru banyak tertolak dari pasar (terutama ekspor) karena penggunaan
zat aditif yang digunakan tidak disukai bahkan dihindari oleh konsumen luar
negeri yang lebih memperhatikan aspek kemanan dan kesehatan. Oleh karena itu
perlu dilakukan upaya pengawetan lain yang lebih efektif dan lebih terjamin dari
segi keamanan pangan.
Aliudin (2009) dan Iskandar (1997) menerangkan bahwa kegiatan
pengasapan lodong atau memuput telah biasa dilakukan oleh penderes untuk
mengurangi atau membunuh mikroba. Terinspirasi dari hal tersebut, Rusbana
(2010) menggunakan asap cair yang disuling ulang untuk pengawetan nira.
Penambahan asap cair dilakukan saat awal penyadapan dimana dengan
konsentrasi 1 % terbukti mampu menjaga kesegaran nira selama 6 jam usai nira
dikumpulkan.
Keamanan asap cair tempurung kelapa juga telah diteliti Zuraida (2008)
dimana asap cair dari tempurung kelapa dinyatakan aman untuk dikonsumsi
karena berdasarkan uji toksisitas menunjukkan bahwa nilai LD50 (konsentrasi

tunggal bahan sebagai ransum yang menyebabkan 50% populasi hewan percobaan
mati) lebih besar dari 15.000 mg/kg berat badan mencit. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah RI Nomor 74 Tahun 2001, suatu dengan nilai LD50 lebih besar dari
15.000 mg/kg berat badan hewan uji, maka zat/ senyawa/ bahan kimia
dikategorikan sebagai bahan yang tidak toksik dan aman untuk digunakan dalam
pangan.
Teknologi Medan Pulsa Listrik Tegangan Tinggi
Metode medan pulsa listrik tegangan tinggi (High pulse electric field) atau
yang biasa disingkat HPEF adalah metode nontermal dalam pengawetan pangan
menggunakan kuat medan listrik untuk menginaktivasi mikroba dan
mengakibatkan pengaruh yang minimal terhadap kualitas bahan pangan. Metode
ini dapat digunakan pada produk cair maupun semi cair (Ramaswamy, 2009).
Castro (1993) menyatakan inaktivasi mikroorganisme dengan medan pulsa
listik disebabkan oleh ketidakstabilan membran sel atau eletroporasi. Destabilisasi
membran sel tersebut diawali dari terjadinya peningkatan permeabilitas membran
sel diikuti dengan penggelembungan dinding sel yang memicu terjadinya
kerapuhan sel. Adanya pengaruh medan listrik yang kontinyu akan menyebabkan
sifat kerusakan pada dinding sel tersebut permanen.
Pemakaian teknologi HPEF untuk bahan pangan cair telah banyak diteliti.
Caminiti (2011) memakai teknik medan pulsa listrik sebesar 34 kV/cm pada
pengawetan sari apel dan terbukti mampu menginaktivasi bakteri tanpa merusak
karakteristik warna dan senyawa fenol yang terkandung. Sobrino (2006) juga
melakukan percobaan HPEF pada pada pasteurisasi susu yang telah diinokulasi
dengan Staphylococcus aureus. Inaktivasi maksimum sebesar 4,5 log siklus
dicapai dengan menggunakan 150 pulsa, waktu 8s, dan tegangan 35 kV/cm.
Penggunaan cara tersebut secara signifikan mempengaruhi jumlah populasi
bakteri tanpa merubah kandungan lemak dalam susu.
Teknologi HPEF dinilai cocok diaplikasikan pada nira karena tidak
menyebabkan kenaikan suhu yang tinggi. Suhu yang tinggi akibat pemanasan
dapat mempercepat reaksi hidrolisis sukrosa menjadi fruktosa dan glukosa. Reaksi
hidrolisis (reaksi inversi) sukrosa dapat terjadi secara spontan pada kondisi asam
(Wang, 2004). Tingginya kadar keasaman dan kadar glukosa maupun fruktosa
dalam nira akan menghambat terjadinya proses pengkristalan sukrosa (Laos,
2007).
Pemakaian asap cair tempurung kelapa redestilasi yang dikombinasikan
dengan medan pulsa listrik tegangan tinggi belum pernah dilakukan sebelumnya.
Pengombinasian keduanya diharapkan menjadi alternatif pengawetan nira yang
lebih efektif dalam mempertahankan mutu kesegaran dan lebih terjamin dari segi
keamanan pangan.

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian direncanakan berlangsung pada bulan Juli sampai September
2014. Lokasi penelitian berada di Laboratorium Terpadu Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan, Laboratorium Mikrobiologi dan Kimia Pangan SEAFAST
Center, serta Laboratorium Technopark Institut Pertanian Bogor. Aplikasi
lapangan dilakukan di Desa Cibogo, Kecamatan Cigombong, Bogor.
Bahan
Bahan-bahan yang dalam penelitian ini meliputi asap cair tempurung kelapa,
nira aren, dan bahan-bahan pengujian mikrobiologi. Asap cair tempurung kelapa
diperoleh dari CV Wulung Prima, Desa Cihideung Udik Ciampea, Bogor. Nira
aren segar yang akan diuji diambil dari penderes di Desa Cibogo, Kecamatan
Cigombong, Kabupaten Bogor. Bahan-bahan untuk pengujian mikrobiologi
diantaranya berupa Natrium Agar (NA), Nutrient Broth (NB), MRSA, MRSB,
PDA, PDB, dan Plate Count Agar (PCA). Kultur murni berupa Staphylococcus
aureus dan Pseudomonas aeruginosa diperoleh dari Laboratorium SEAFAST
Center IPB, sedangkan bakteri asam laktat yang merupakan isolat dari nira aren.
Alat
Seperangkat alat HPEF diperlukan dengan lebar, tinggi, dan jarak antar
elektroda berturut-turut sebesar 15 mm, 60 mm, dan 3 mm dengan kuat medan
listrik 31,67 kV/cm yang berada di Laboratorium Terpadu, Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB. Pengukuran tegangan, frekuensi,
dan bentuk pulsa dilakukan dengan menggunakan osiloskop merk Atten tipe ADS
1022 C, sedangkan pengukuran arus listrik menggunakan multimeter Sanwa
DMM CD 771. Destilator dibutuhkan untuk menyuling ulang asap cair sedangkan
spektrofotometer dibutuhkan untuk analisis kimianya. Peralatan untuk analisa
mikrobiologi yang digunakan meliputi autoclave, inkubator, cawan petri,
erlenmeyer, tabung reaksi, pipet mikro, bunsen, ose, dan sebagainya.
Tahapan Penelitian dan Prosedur Pengujian
Tahap penelitian yang dilakukan dalam kajian ini dapat disarikan dalam
diagram alur penelitian pada Gambar 1 berikut ini

Gambar 1. Skema Alur Penelitian


Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan mengenai keefektifan penggunaan asap cair
redestilasi dan medan listrik tegangan tinggi sebagai pengawet nira dilakukan
untuk mengevaluasi apakah pengombinasian keduanya berpotensi lebih baik
dalam mengawetkan nira. Penelitian ini diawali dengan uji kontak asap cair
tempurung kelapa hasil penyulingan ulang terhadap kultur campuran
mikroorganisme yang diambil langsung dari nira. Konsentrasi asap cair redestilasi
yang digunakan pada pengujian adalah sebesar 0,80%, 1,0%, dan 1,5% (v/v)
mengacu pada hasil penelitian Rusbana (2010) yang memilih konsentrasi 1%
sebagai konsentrasi terbaik. Selain itu, uji mikroorganisme juga dilakukan secara
terpisah pada perlakuan medan listrik tegangan tinggi dengan taraf frekuensi 10,
15, dan 20 Hz yang mengacu pada penelitian Suheri (2012) dimana pada frekuensi
15 Hz diperoleh nilai reduksi terbesar terhadap bakteri dalam susu kambing. Total
mikroba kemudian diukur setelah 24 jam.
Pengujian selanjutnya berupa uji pengawetan nira selama 12 jam
penyimpanan dengan penggunaan asap cair redestilasi sebesar 0,80%, 1,0%, dan
1,5% (v/v). Pengujian dilakukan dengan cara melakukan penyadapan secara
langsung menggunakan wadah penampung nira yang telah diberi asap cair
redestilasi dengan volume sedemikian rupa sehingga ketika waktu penyadapan
mencapai satu jam diperoleh nira dengan konsentrasi asap cair redestilasi yang
diinginkan tersebut (0,8%, 1,0%, dan 1,5%). Setelah satu jam penyadapan
dilakukan, nira yang telah mengandung asap cair ini diukur pH-nya dan dicatat

sebagai pH pada jam ke-0. Nira kemudian dibawa ke laboratorium menggunakan


botol steril dan disegel menggunakan parafilm. Setelah sampai di laboratorium,
nira ditampung dalam wadah terbuka pada suhu ruang dan diukur pH-nya setiap
jam selama 12 jam. Selain itu, pada konsentrasi yang sama juga dilakukan
penyadapan nira selama 12 jam dengan masa simpan 1 jam usai dikumpulkan.
Nira kemudian diolah menjadi gula merah untuk dilihat mutu visualnya.
Pengujian yang hampir sama juga dilakukan pada perlakuan medan listrik
tegangan tinggi. Pengujian dilakukan dengan cara melakukan penyadapan secara
langsung menggunakan wadah penampung selama satu jam tanpa pemberian
bahan pengawet. Setelah satu jam penyadapan, nira diukur pH-nya dan dicatat
sebagai pH pada jam ke-0. Nira kemudian dibawa ke laboratorium menggunakan
botol steril dan disegel menggunakan parafilm. Setelah sampai di laboratorium,
nira terlebih dahulu dikenai kejut medan listrik memakai alat HPEF dengan
variasi 10 Hz, 15 Hz, dan 20 Hz. Nira hasil pemrosesan kemudian ditampung
dalam wadah terbuka pada suhu ruang dan diukur pH-nya setiap jam selama 12
jam. Dengan cara yang sama, penyadapan dilakukan selama 12 jam dilanjutkan
dengan pemberian kejut medan listrik dan penyimpanan 1 jam. Nira hasil
pemrosesan ini kemudian diolah menjadi gula merah untuk dilihat mutu
visualnya.
Uji Aktivitas Antimikroba
Uji aktivitas mikroba dilakukan dengan mencari nilai MIC (Minimum
Inhibitory Concentration) asap cair redestilasi yang telah dikombinasikan dengan
medan listrik tegangan tinggi dengan taraf-taraf tertentu terhadap bakteri uji.
Kultur murni yang digunakan adalah Staphylococcus aureus mewakili bakteri
patogen gram positif yang mungkin mengkontaminasi nira akibat kebersihan yang
kurang baik selama penyadapan. Pseudomonas aeruginosa mewakili bakteri
pembusuk gram negatif, sedangkan bakteri asam laktat (BAL) yang diisolasi dari
nira merupakan bakteri perusak nira dari kelompok gram positif
Prosedur Persiapan Kultur Mikroba
Kultur bakteri (Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa) dalam
agar miring diambil satu ose dan diinokulasikan dalam 10 ml Nutrient Broth
(NB), kemudian diinkubasikan pada suhu 37oC selama 24 jam. Setelah inkubasi
selama 24 jam, bakteri siap digunakan untuk uji kontak.
Kultur BAL diperoleh dengan melakukan isolasi langsung dari nira dengan
menggunakan metode cawan tuang. Isolasi diawali dengan melakukan plating 1
ml nira pada cawan menggunakan media MRSA yang ditambahi CaCO3.
Penambahan CaCO3 dalam media MRSA menyebabkan terbentuknya halo pada
wilayah sekitar koloni yang diduga sebagai BAL. Setelah dilakukan plating,
cawan dengan agar yang telah memadat diinkubasi terbalik pada suhu 37oC
selama 48 jam. Koloni yang terpisah dan memperlihatkan zona halo pada wilayah
disekitarnya dipilih untuk diisolasi. Koloni tersebut diambil secara aseptis
menggunakan ose dan dimasukkan ke dalam media MRSB dan diinkubasi pada
suhu 37oC selama 24 jam. Kultur yang berusia 24 jam ini di uji pewarnaan Gram

dan uji katalase. Kultur yang memberikan warna ungu (indikator gram positif)
dan katalase negatif sudah dapat dijadikan sebagai isolat BAL asal nira.
Prosedur Penentuan MIC dengan Metode Kontak
Penentuan MIC dengan metode kontak pada prinsipnya dilakukan dengan
cara menumbuhkan mikroorganisme pada media (nira) yang sudah ditambah
senyawa antimikroba (asap cair) pada konsentrasi tertentu. Satu seri tabung diisi
dengan media pertumbuhan. Pada setiap tabung ditambahkan senyawa
antimikroba dengan konsentrasi yang berbeda. Selanjutnya pada setiap tabung
diinokulasikan mikroorganisme uji dengan jumlah yang sama (106 CFU/ml).
Semua seri tabung uji diinkubasikan dengan menggunakan shaker pada suhu
ruang selama 24 jam dengan kecepatan 150 rpm. MIC merupakan konsentrasi
terendah yang mampu menurunkan jumlah mikroba uji menjadi 90% dari jumlah
bakteri kontrol (tanpa penerapan asap cair maupun medan listrik pada media)
setelah dikontakkan selama 24 jam.
Konsentrasi uji untuk S.aureus dan P. aeruginosa secara berturut turut
adalah 0,18% 0,22%(v/v) dan 0,20% - 0,24%(v/v) serta dikombinasikan
bersama pemberian medan listrik ke media uji dengan kisaran frekuensi
berdasarkan penelitian pendahuluan. Konsentrasi asap cair redestilasi ini dirujuk
dari Rusbana (2010) yang menggunakan asap cair redestilasi untuk pengawetan
nira. Konsentrasi uji untuk BAL asal nira adalah 0,50% - 30,00%(v/v).
Penghitungan nilai MIC ditentukan dengan persen penghambatan dengan
persamaan :
% penghambatan 100% [( Nt / No) x100%]
dimana Nt adalah jumlah mikroba setelah dikontakkan selama 24 jam dan No
adalah jumlah mikroba pada kontrol setelah dikontakkan selama 24 jam.
Apilkasi Kombinasi Asap Cair Redestilasi dan HPEF untuk Pengawetan
Aplikasi asap cair redestilasi dilakukan dengan melakukan suatu simulasi di
laboratorium. Simulasi pertama dilakukan untuk menentukan konsentrasi berapa
yang akan diujikan pada tahap simulasi penyadapan dengan melihat perubahan
nilai pH setelah penyadapan, total mikroba, serta aplikasi langsung dalam
pembuatan gula merah. Simulasi kedua dilakukan untuk melihat proses perubahan
pH dan perkembangan jumlah mikroba pada nira selama penyadapan. Simulasi
pertama dilakukan dengan cara melakukan penyadapan secara langsung
menggunakan wadah penampung nira yang telah diberi asap cair dengan volume
tertentu. Asap cair yang ditambahkan adalah sebanyak sedemikian rupa sehingga
pada waktu penyadapan selama satu jam diperoleh konsentrasi yang diinginkan (2
sampai 10 kali MIC). Setelah satu jam penyadapan dilakukan, nira yang telah
mengandung asap cair ini diambil diukur pH-nya dan dicatat sebagai pH pada jam
ke- nol. Nira kemudian dibawa ke laboratorium menggunakan botol steril dan
disegel menggunakan parafilm. Setelah sampai di laboratorium, nira diberi
perlakuan HPEF dengan taraf frekuensi sesuai hasil analisis sebelumnya. Nira
kemudian ditampung ke dalam wadah terbuka pada suhu ruang. Penghitungan

mikroba dilakukan dengan metode BAM (2001). Nira yang telah diproses
kemudian diolah menjadi gula merah untuk dievaluasi.
Simulasi kedua adalah simulasi penyadapan. Nira untuk simulasi diperoleh
dari nira segar yang disterilisasi pada suhu 1210C selama 15 menit menggunakan
autoclave. Wadah penampung yang biasa digunakan petani untuk menyadap
diberi asap cair dengan jumlah tertentu. Setiap jam selama 12 jam dilakukan
pengisian nira hasil sterilisasi sebanyak 25 ml kedalam wadah penampung berisi
asap cair dan diukur perubahan pH-nya baik sebelum diberi tambahan nira
maupun sesudahnya. Setelah 12 jam simulasi dilakukan, nira kemudian dikenai
perlakuan HPEF dengan variasi taraf frekuensi untuk kemudian disimpan selama
1 jam.
Prosedur Analisis Total Mikroba (BAM, 2001)
Satu mililiter sampel dipipet dari pengenceran yang dikehendaki ke dalam
cawan petri. Sebanyak 12-15 ml media dituang ke dalam cawan petri dan segera
setelah penuangan agar, cawan petri kemudian digerakkan secara hati-hati untuk
menyebarkan sel-sel mikroba secara merata, yaitu dengan gerakkan seperti angka
delapan. Setelah agar membeku, cawan di inkubasi dengan posisi terbalik pada
suhu 35 0C selama 48 jam. Setelah inkubasi, jumlah koloni yang tumbuh pada
cawan dihitung berdasarkan metode Bacteriological Analytical Manual (BAM).
Proses perhitungan total bakteri dilakukan dengan berbagai ketentuan
berdasarkan BAM (2001), meliputi (1) untuk cawan yang normal berisi 25-250
koloni maka semua koloni dihitung termasuk titik yang berukuran kecil.
Pengenceran dan jumlah koloni semua dicatat untuk setiap cawan dan total bakteri
mengikuti persamaan:
C
N
[1xn1 0,1xn2 ]xd
dimana N adalah total bakteri, C adalah jumlah total seluruh bakteri, n1 dan
n2 adalah jumlah cawan pada pengenceran pertama dan kedua, dan d adalah
tingkat pengenceran, (2) cawan yang berisi lebih dari 250 koloni dicatat sebagai
TBUD (Terlalu Banyak Untuk Dihitung). Jika tidak ada koloni yang tumbuh
maka ditulis kurang dari 1 kali pengenceran terendah.
Pembuatan Gula Merah dengan Menggunakan Taraf Kombinasi Asap Cair
Redestilasi dan HPEF Terpilih
Tahap akhir dari penelitian adalah aplikasi asap cair secara langsung dalam
proses penyadapan nira dengan konsentrasi asap cair redestilasi terpilih yang
diikuti penerapan HPEF taraf terpilih untuk kemudian diolah menjadi gula merah.
Rasa gula yang dihasilkan kemudian diuji secara organoleptik dan warna gula
diuji menggunakan Chromameter.

Prosedur Uji Organoleptik


Uji organoleptik dilakukan dengan pengujian hedonik oleh 30 panelis tak
terlatih terhadap produk gula merah hasil pengolahan sampel nira. Pengujian
berlangsung dengan menyajikan gula merah yang telah diberi kode tertentu
dimana panelis diminta untuk memberikan penilaian pada lembar nilai yang telah
disediakan. Pengukuran skala hedonik menggunakan skala angka satu sampai
tujuh dengan tingkat kesukaan terdiri dari: sangat suka, agak suka, suka, netral,
agak tidak suka, tidak suka, sangat tidak suka. Penilaian lainnya adalah dari segi
aroma dimana panelis diminta untuk memberikan ada tidaknya aroma asing yang
dirasakan pada saat menguji sampel.
Prosedur Uji Warna
Uji warna dilakukan untuk menentukan apakah penggunaan asap cair
redistilasi yang dikombinasikan dengan HPEF sebagai pengawet mempengaruhi
penampakan akhir. Alat yang digunakan berupa Chromameter CR300. Angka
hasil pemotretan oleh Chromameter CR300 adalah nilai tristimulus untuk
mengukur warna yang dipantulkan oleh suatu permukaan dalam nilai L
(kecerahan), a (merah/hijau), dan b (kuning/biru). Perbedaan warna (E)
dibandingkan dengan kontrol tanpa perlakuan dan dihitung menggunakan
persamaan berikut: E (L2 a 2 b 2 ) .
Analisis Statistik
Uji aktivitas anti bakteri dilakukan menggunakan rancangan acak lengkap
faktorial (RAL faktorial). Perubahan pH dan jumlah mikroba serta perubahan pH
pada simulasi penyadapan diuji menggunakan RAL faktorial in time untuk
melihat pengaruh waktu, perlakuan asap cair, dan HPEF. Uji organoleptik
dianalisis menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Untuk
mempermudah pengujian digunakan software SAS untuk analisis sidik ragam
(ANOVA) dan uji lanjut Duncan pada tingkat kepercayaan 95%.

DAFTAR PUSTAKA
Aliudin. 2009. Efisiensi Ekonomi dan Nilai Tambah Gula Aren Cetak serta
Implikasinya terhadap Kontribusi Pendapatan Rumah Tangga Pengrajin.
(Studi Kasus di Kabupaten Lebak, Banten). [Disertasi]. Program Pascasarjana,
Universitas Padjadjaran. Bandung.
Ardi, Yosef. 1991. Pengaruh Bahan Pengawet dan Metode Penguapan Nira
Terhadap Mutu Gula Aren Cair dari Nira Aren. [Skripsi] Fakultas Teknologi
Pertanian IPB. Bogor.
[BAM] Bacteriological Analytical Manual. 2001. Di dalam Sylviana, 2008.
Prevalensi Cemaran S.typhimurium pada Potongan Karkas Ayam dan
Efektivitas Ekstrak Daun Sirih (Pipper betle, Linn.) sebagai Larutan Sanitiser
Alami. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor.
BALITKA. 1989. Potensi Nira Tanaman Palma Sebagai Pemasok Gula NonTebu. Laporan Bulanan Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 7:1.
Battcock M, Azam-Ali S. 1998. Fermented fruits and vegetables: A global
perspective. FAO's Agricultural Services Bulletin series. http://www.fao.org/
docrep/x0560e/x0560e00.htm (19 Agustus 2009).
Burhanuddin, R. 2005. Prospek Pengembangan usaha koperasi dalam produksi
gula aren. Jakarta.
Caminiti, I.M., F. Noci, D.J. Morgan, dkk (2011). The effect of pulsed electric
elds, ultraviolet light or ighintensity light pulses in combination with
manothermosonication on selected physico-chemical andsensory attributes of
an orange and carrot juice blend. Journal of food and bioproducts processing
90 (2012). 442448.
Castro AJ, Barbosa-Cnovas GV, Swanson BG. 1993. Microbial inactivation of
foods by pulsed electric fields. J Food Proc Pr 17:47-73.
Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah. 2009. Budidaya dan Potensi
Pengembangan Tanaman Aren, Semarang.
Goutara, Wijandi S. 1985. Dasar Pengolahan Gula I. Agro Industri Press. Jurusan
Teknologi Hasil Pertanian. FATEMETA, IPB. Bogor.
Iskandar A. 1991. Memperlajari Penambahan Pengawet, Pemanasan, dan
Penyimpanan terhadap Mutu Gula Semut Aren . Laporan Penelitian. Institut
Pertanian Bogor.
James CP, Chen M. 1985. Cane Sugar Handbook. John Willey and Sons. New
York.
Kusumah RD. 1992. Mempelajari Pengaruh Penambahan Bahan Pengawet Pada
Nira Aren terhadap Mutu Gula Merah, Gula Semut, Sirup Nira, dan Gula
Putih yang Dihasilkan. [Skripsi]. Fateta, IPB. Bogor.
Laos, AK, Kirs E, Kikkas CA, Paalme DT. 2007. Crystallization of The Saturated
Sucrose Solution in the Presence Of Fructose, Glucose, and Corn Syrup. Di
dalam: Proseeding of European Congres of Chemical Engineering (ECCE-6).
Copenhagen, 16 20 September 2007. hlm :231-237.
Maskar, N. M., R.B. Maliangkay, dan H. Kembuan. 1990. Pengaruh Perlakuan
Pada Penampung Terhadap Mutu Nira Aren. Jurnal Penelitian Kelapa. Balai
Penelitian Kelapa, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen
Pertanian. Manado.

Mansyur BAA. 1992. Mempelajari Pengaruh Penambahan Bahan Pengawet


terhadap Daya Simpan Nira Nipah . [Skripsi]. Fateta, IPB. Bogor.
Ramaswamy R, Jin T, Balasubramaniam VM, Zhang H. 2005. Pulsed Electric
Field Processing: Fact Sheet for Food Processors. Department of Food
Science and Technology. College of Food, Agricultural, and Environmental
Sciences. Ohio State University.
Rusbana, T.B. (2010). Kajian Pengawetan nira menggunakan Asap Cair
Tempurung Kelapa. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor.
Sardjono, T. W., A.B. Enie dan Gh. B. Tjiptadi. 1983. Pembinaan dan
Pengembangan Pengrajin Gula Kelapa di Kabupaten Blitar. BBIHP. Bogor.
Sarjono, Dachlan MA. 1988. Penelitian Pemecahan Fermentasi pada
Penyadapan Nira Aren Sebagai Bahan Baku Pembuatan Gula Merah. Warta
BBI Hasil Pertanian. 2: 55-58.
Sobrino, A., R. Raybaudi, dan O. Martin. 2006. High Intensity Pulsed Electric
Field Variables Affecting Stephylococcus aureus Inoculated in Milk. J. Dairy
Science. 89: 3739-3748.
Suheri, K.F. 2012. Aplikasi Ultraviolet dan High Pulsed Electric Field (HPEF)
Terhadap Reduksi Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Escherichia coli
ATCC 25922 Pada Susu Kambing. [Skripsi]. Fakultas Peternakan IPB. Bogor.
Sukriya, D.H. 1982. Beberapa Usaha Pengawetan Nira Aren. Fakultas Teknologi
Pertanian IPB. Bogor.
Wang NS. 2004. Enzyme Kinetic of Invertase Via Initial Rate Determination.
Departement of Chemical Engineering. University of Mar.
Widyaningsih A, Nasution MZ, Hardjo S. 1985. Mempelajari Pengaruh Jenis
Pengawet dan Bahan Pembungkus terhadap Mutu Gula Kelapa. Buletin
Penelitian Teknologi Industri. 2(1) : 6-15.
Zuraida, I. 2008. Kajian Penggunaan Asap Cair Tempurung Kelapa terhadap
Daya Awet Bakso Ikan. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor.

Anda mungkin juga menyukai