Anda di halaman 1dari 6

TEKNOBUGA Volume 7 No.

2 – Desember 2019

Potensi Gulma Babandotan (Ageratum Conyzoides L.) sebagai


Pewarna Alam Kain Katun Primissima Menggunakan Mordan Jeruk
Nipis, Tawas, Kapur Tohor, dan Tunjung

Tri Rohmawati dan Adhi Kusumastuti


Jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang
trirohmawati3@gmail.com, adhi.kusumastuti@gmail.com

Abstract: This research was done to exploit the extract of Ageratum conyzoides leaf as natural dyes on primissima
cotton using Citrus aurantifolia, Al2(SO4)3, Ca(OH)2, and FeSO4 as mordant. Ageratum conyzoides was
extracted using water as solvent in ratio of 1:10 with pre-mordanting method. The results of the dyed fabric
was analyzed using various testing parameter such as rubbing color fastness and washing color fastness
properties.The mordant materials affecting the color shade and the pH affecting the color strength. The color
shade was yellow to dark yellow-green-grey. Color fastness on wet and dry rubbing showed the “good” value,
while the value of color fastness to washing in the category “enough”. Based on the results, it can be
concluded that the extract of Ageratum conyzoides leaf can be used as a natural dyes in primissima cotton
fabric

Keywords: ageratum conyzoide, natural dyes, cotton.

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan ekstrak daun gulma babandotan (Ageratum conyzoides L.)
sebagai zat warna alam pada kain katun primissima menggunakan mordan jeruk nipis (Citrus aurantifolia),
tawas (Al2 (SO4)3), kapur tohor (Ca(OH)2), dan tunjung (FeSO4). Gulma babandotan diekstraksi menggunakan
pelarut air dengan perbandingan 1:10 dengan metode pre-mordanting. Kain hasil pencelupan dianalisa
menggunakan parameter uji ketahanan luntur warna terhadap gosokan dan ketahanan luntur warna terhadap
pencucian. Jenis mordan berpengaruh pada arah warna dan pH larutan berpengaruh pada ketuaan warna. Arah
warna yang dihasilkan adalah warna kuning hingga kuning-hijau abu-abu gelap. Nilai pengujian ketahanan
luntur warna terhadap gosokan secara basah dan kering menghasilkan nilai yang “baik”, sedangkan nilai
ketahanan luntur warna terhadap pencucian menghasilkan kategori “cukup”. Berdasarkan hasil penelitian
dapat disimpulkan bahwa ekstrak gulma babandotan dapat digunakan sebagai zat warna alam pada kain katun
primissima.

Kata kunci: babandotan (ageratum conyzoides L.), zat warna alam, katun.

1 PENDAHULUAN alam merupakan zat warna yang diperoleh dari alam,


terdapat tiga jenis sumber zat warna alam, yaitu
Penggunaan zat warna sangat dibutuhkan untuk berasal dari tumbuhan, hewan, dan mineral
memberikan warna pada suatu produk sehingga dapat (Alemayehu, 2014).
terlihat lebih indah dan menarik. Molekul bahan zat Seiring bertambahnya waktu, penggunaan zat
warna memiliki dua gugus kimia, yaitu gugus warna alam semakin berkurang dan tergeser oleh zat
kromofor yang merupakan gugus yang dapat warna sintetis. Zat warna sintetis lebih sering
menimbulkan warna dan gugus auksokrom digunakan karena bahan-bahan zat warna sintetis
merupakan gugus yang memiliki afinitas terhadap relatif lebih murah dengan proses penggunaannya
serat tekstil (Hernani, et al., 2017). Zat warna terbagi yang lebih mudah dibandingkan zat warna alam. Ada
menjadi dua jenis, yaitu zat warna alam (natural dyes) beberapa alasan lain yang mendukung pemakaian zat
dan zat warna sintetis (synthetic dyes). Zat warna warna sintetis ini lebih dipilih oleh para pengrajin

133
TEKNOBUGA Volume 7 No. 2 – Desember 2019

batik menurut Mahreni (2016) adalah banyaknya petani jika tumbuh di daerah sekitar persawahan atau
ketersediaan zat warna sintetis di pasaran dalam perkebunan. Babandotan mengandung zat seperti
bentuk bubuk yang siap digunakan, variasi warna dari alkaloid, flavonoid, dan tannin (Amadi, et al., 2012).
zat warna sintetis yang tak terbatas, dan hasil Zat warna alam yang berasal dari tumbuhan
pewarnaan yang tidak mudah luntur, serta dapat membutuhkan suatu zat pembantu untuk dapat
menghasilkan warna yang cerah. mewarnai serat kain, yang berfungsi sebagai
Penggunaan zat warna sintetis yang berlebihan pembangkit dan pengikat warna yang disebut dengan
dapat menimbulkan efek yang negatif bagi mordan seperti alumunium, tembaga, besi, kromium,
lingkungan, apabila limbahnya dibuang ke sekitaran dan timah (Yusuf, et al., 2016). Penyerapan zat warna
sungai tanpa pengelolaan yang baik dan benar. alam ke dalam serat membutuhkan tahapan dan
Haqiqi, et al. (2018) mengatakan bahwa jika limbah langkah sampai dicapainya proses kesetimbangan,
zat warna sintetis mengalir ke dalam tanah, maka dari proses zat warna menempel di permukaan serat/
akan dapat menyebabkan pencemaran lingkungan, adsorpsi, kemudian berdifusi menuju sentral serat
terlebih dapat merusak ekosistem tanah, karena sampai terjadi kesetimbangan/ penetrasi (Failisnur
bakteri tanah tidak mampu mendegradasi bahan dan Sofyan, 2016). Mordan berfungsi sebagai
kimia tersebut, serta dapat membahayakan manusia pembentuk jembatan kimia antara zat warna alam
karena limbah tersebut bersifat karsinogenik beracun dengan serat kain sehingga afinitas zat warna
yang dapat menyebabkan penyakit kanker kulit. meningkat terhadap serat (Atika dan Salma, 2017).
Ada dua cara yang dapat dilakukan dalam Penggunaan mordan pada zat warna alam dapat
menanggulangi masalah lingkungan yang memunculkan arah warna dengan intensitas warna
diakibatkan oleh zat warna sintetis menurut Tripathi, yang berbeda sesuai dengan jenis mordan dan variasi
et al. (2015) sebagaimana yang dikatakannya adalah konsentrasinya, serta variasi lamanya pencelupan,
bahwa selain upaya untuk membangun tempat- dan jenis bahan kain yang digunakan.
tempat yang khusus untuk mengelola limbah zat Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti ingin
warna sintetis, solusi alternatif lainnya adalah dengan berpartisipasi dalam penelitian mengenai pemecahan
menggunakan zat warna yang ramah lingkungan, rekor MURI Universitas Negeri Semarang tentang
yaitu dengan menghidupkan kembali zat warna alam, pembuatan batik menggunakan zat warna alam dari
karena merupakan zat warna yang memenuhi standar 51 jenis gulma, yang beberapa diantaranya belum
kualitas dan aman bagi lingkungan. diteliti hingga mencapai kualitas hasil pencelupan.
Pada umumnya, zat warna alam dapat diperoleh Setelah melakukan pra-eksperimen sebanyak 4 kali,
dengan memanfaatkan tumbuh-tumbuhan karena yaitu mengenai percobaan penerapan teknik
mengandung zat warna. Potensi ini ditentukan oleh mordanting yang tepat serta ketepatan penggunaan
intensitas warna yang dihasilkan dan sangat daun segar atau kering. Peneliti ingin berpartisipasi
tergantung kepekaannya dalam fungsinya sebagai dengan mengambil judul “Potensi Gulma
indikator titrasi asam basa (Setiawan, et al., 2015), Babandotan (Ageratum conyzoides L.) sebagai
salah satu dari beberapa hal positif dari zat warna Pewarna Alam Kain Katun Primissima Menggunakan
alam adalah sifatnya yang biodegradable yang tidak Mordan Jeruk Nipis, Tawas, Kapur Tohor, dan
beracun serta ramah lingkungan (Arora, et al., 2017). Tunjung”, dengan tujuan untuk mengetahui kualitas
Gulma sebagai salah satu jenis tumbuhan dapat warna yang dihasilkan melalui uji ketahanan luntur
dimanfaatkan sebagai zat warna alam, hal ini terbukti warna terhadap gosokan dan uji ketahanan luntur
dengan adanya pemecahan rekor oleh Museum Rekor warna terhadap pencucian.
Dunia Indonesia (MURI) pada tahun 2016 di
Universitas Negeri Semarang mengenai pembuatan
batik dengan pewarna dari jenis gulma terbanyak. 2 METODE
Gulma merupakan jenis tumbuhan yang dapat
mengganggu tumbuhan lain serta dapat merugikan Jenis dan desain penelitian yang digunakan dalam
manusia, seperti gulma babandotan. Babandotan penelitian ini adalah eksperimen. Sugiyono (2017)
(Ageratum conyzoides L.) merupakan tumbuhan liar mengatakan bahwa metode penelitian eksperimen
yang biasa tumbuh secara berkelompok di pinggir adalah suatu metode penelitian yang digunakan untuk
jalan, pekarangan, ladang, sawah, pinggir sungai, dan mencari pengaruh suatu perlakuan tertentu terhadap
daerah yang banyak semak belukar. Gulma yang lainnya dalam kondisi yang terkendalikan.
babandotan memiliki pertumbuhan yang sangat Metode ini berfungsi untuk mengetahui dan menguji
cepat, sehingga akan sangat mengganggu tumbuhan
keefektifan dari variabel-variabel yang digunakan
lain yang ada disekitarnya, serta dapat merugikan pada eksperimen. Teknik pengumpulan data yang

134
TEKNOBUGA Volume 7 No. 2 – Desember 2019

digunakan dalam penelitian ini adalah metode mordan jeruk nipis, tawas, kapur tohor, dan tunjung.
dokumentasi dan uji laboratorium. Teknik analisis Adapun data hasil penelitian mengenai kualitas
data yang digunakan adalah analisis deskriptif tersebut adalah sebagai berikut:
kuantitatif, yang berfungsi untuk menganalisis data
dengan cara mendeskripsikan data berupa angka
tunggal yang telah terkumpul.
Variabel independen dalam penelitian ini adalah
mordan jeruk nipis (Citrus aurantifolia), tawas
(Al2(SO4)3), kapur tohor (Ca(OH)2), dan tunjung
(FeSO4) dengan konsentrasi mordan yang digunakan
50g/l, sedangkan variabel dependen adalah ketahanan
luntur warna terhadap gosokan yang meliputi
gosokan secara basah dan kering, serta ketahanan
luntur warna terhadap pencucian yang terdiri dari
pencucian terhadap sabun dan penodaan warna
terhadap kain putih.
Pengekstraksian gulma babandotan dilakukan
dengan menggunakan perbandingan air 1:10 dengan
teknik perebusan. Pencelupan dilakukan pada jenis
kain katun primissima dengan frekuensi pencelupan
sebanyak 20 kali selama 30 menit untuk setiap
pencelupan. Teknik mordanting yang digunakan
adalah pre-mordanting (mordan awal).
Pengujian ketahanan luntur warna terhadap
gosokan dilakukan menggunakan alat uji
Crockmeter, yaitu dengan mengoperasikan alat
tersebut sehingga dapat menggosok kain uji hingga
10 kali gosokan. Pembandingan dilakukan dengan
membandingkan kain yang dinodai pada alat dengan
kain putih, kemudian kain hasil uji gosokan
dianalaisa menggunakan staining scale. Gambar 1. Katalog Warna Hasil Pencelupan Ekstrak
Standar penilaian hasil pengujian tahan luntur Gulma Babandotan
warna terhadap pencucian yaitu menggunakan
standar skala abu-abu (Grey scale) dan standar skala Jika melihat dari katalog warna yang ditunjukkan
penodaan (Staining scale). Standar skala abu-abu pada gambar 1, menunjukkan bahwa sampel
terdiri dari 9 pasang lempeng standar abu-abu yang perlakuan mordan jeruk nipis mengarah pada warna
digunakan untuk menilai perubahan warna pada uji mengarah pada warna kuning menuju putih/ pudar
tahan luntur warna dengan menentukan tingkat dengan nama Oat. Perlakuan mordan tawas mengarah
perbedaan atau kekontrasan warna dari tingkat pada warna kuning menuju putih dengan hasil warna
terendah hingga tingkat tertinggi. Standar skala yang lebih cerah dan lebih tajam dari perlakuan
penodaan terdiri dari sepasang lempeng standar putih mordan jeruk nipis dengan nama warna Sand.
dan 8 lempeng standar abu-abu yang digunakan untuk Perlakuan mordan kapur tohor mengarah pada warna
menilai penodaan warna pada kain putih yang kuning-hijau menuju abu-abu dengan nama warna
digunakan pada pengujian ketahanan luntur warna, Hazelnut, dan perlakuan mordan tunjung mengarah
dengan cara menentukan tingkat perbedaan warna pada warna kuning-hijau keabu-abuan menuju hitam,
dari tingkat terendah sampai tingkat tertinggi. dengan nama Dark Green Olive.
Berdasarkan hasil arah warna menunjukkan
bahwa gulma babandotan dapat digunakan sebagai
3 HASIL DAN PEMBAHASAN bahan zat warna alam dengan menghasilkan variasi
warna yang berbeda dari beberapa jenis mordan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas terhadap kain katun primissima. Hal tersebut
ketahahan luntur warna yang dihasilkan dari didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
pencelupan zat warna ekstrak gulma babandotan Marnoto, et al. (2012) yang menyatakan bahwa
terhadap kain katun primissima menggunakan jenis tumbuhan putri malu (Mimosa pudica) sebagai salah

135
TEKNOBUGA Volume 7 No. 2 – Desember 2019

satu jenis gulma dapat digunakan sebagai pewarna (staining scale) dalam satuan CD (colour difference).
alami untuk meningkatkan nilai ekonomis sekaligus Uji ketahanan luntur warna terhadap gosokan
sebagai alternatif sumber bahan zat warna alam. dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui keadaan
Penelitian yang dilakukan oleh Mahfudloh dan nilai tahan luntur warna pada kain hasil pencelupan
Islamiyati (2018) menunjukkan bahwa daun gulma menggunakan ekstrak gulma babandotan dengan alat
eceng gondok menghasilkan warna kuning-krem uji Crockmeter. Terdapat dua jenis hasil pengujian
kecoklatan pada hasil pencelupan terhadap kain ketahanan luntur warna terhadap gosokan yaitu
katun. secara basah dan kering. Hasil data nilai ketahanan
Hasil Uji Ketahanan Luntur Warna Terhadap luntur warna terhadap gosokan dapat dilihat pada
Gosokan tabel 3.1.
Hasil pengujian ketahanan luntur warna terhadap
gosokan dapat dilihat dari nilai penodaan warna

Tabel 1. Hail Nilai Uji Ketahanan Luntur Warna Terhadap Gosokan


Kering Basah
Staining Staining
Nilai Scale Kategori Nilai Scale Kategori
(CD) (CD)
4-5 0.2 Baik 4-5 0.2 Baik
Mordan
4-5 0.2 Baik 4-5 0.2 Baik
Jeruk Nipis
4-5 0.2 Baik 4-5 0.2 Baik
4-5 0.2 Baik 4 4.0 Baik
Mordan
4-5 0.2 Baik 4 4.0 Baik
Tawas
4-5 0.2 Baik 4 4.0 Baik
4-5 0.2 Baik 3-4 5.6 Cukup Baik
Mordan
4-5 0.2 Baik 3-4 5.6 Cukup Baik
Kapur Tohor
4-5 0.2 Baik 3-4 5.6 Cukup Baik
3-4 5.6 Cukup Baik 3 8.0 Cukup
Mordan
3-4 5.6 Cukup Baik 3 8.0 Cukup
Tunjung
3-4 5.6 Cukup Baik 3 8.0 Cukup
Berdasarkan data yang ditunjukkan tabel 3 terlihat perlakuan mordan tunjung. Hal ini sesuai dengan
bahwa pada gosokan secara kering, perlakuan mordan hasil penelitian yang dilakukan oleh Anzani, et al.
jeruk nipis, tawas, dan kapur tohor memiliki nilai 4-5 (2016) menyatakan bahwa kualitas ketahanan luntur
berkategori “baik” dengan nilai colour difference 0.2, terhadap gosokan baik secara basah maupun secara
sedangkan perlakuan mordan tunjung memiliki nilai kering memperlihatkan hasil bahwa perlakuan
dibawahnya yaitu bernilai 3-4 dan nilai colour mordan tawas memiliki kualitas tahan luntur yang
difference 5.6 dengan kategori “cukup baik”. lebih baik dibandingkan dengan perlakuan kapur
Nilai ketahanan luntur warna terhadap gosokan tohor.
secara basah, nilai tertinggi terjadi pada perlakuan Hasil Uji Ketahanan Luntur Warna Terhadap
mordan jeruk nipis yaitu dengan nilai 4-5 berkategori Pencucian
“baik” dengan nilai colour difference 0.2, untuk Uji ketahanan luntur warna terhadap pencucian
perlakuan mordan tawas menghasilkan kategori dimaksudkan untuk mengukur tingkat kelunturan
“baik” dengan nilai 4 dan colour difference 4.0, warna pada bahan kain putih dan kain berwarna jika
perlakuan mordan kapur tohor dengan nilai 3-4 kain tersebut mendapat perlakuan berupa pencucian.
berkategori “cukup baik” dengan nilai colour Pengujian dilakukan dengan cara mencuci dengan
difference 5.6, dan perlakuan mordan tunjung suhu 40-50 oC. Hasil nilai uji ketahanan luntur
menghasilkan kategori “cukup” dengan memiliki terhadap pencucian dan penodaan kain putih dapat
nilai 3 dan nilai colour difference 8.0. dilihat pada tabel 3.2.
Pada uraian tersebut dapat diketahui bahwa
ketahanan luntur warna terhadap gosokan yang paling
baik terdapat pada perlakuan mordan jeruk nipis dan
mordan tawas, sedangkan untuk nilai ketahanan
luntur warna dengan nilai paling rendah adalah pada

136
TEKNOBUGA Volume 7 No. 2 – Desember 2019

Tabel 2. Hasil Nilai Uji Ketahanan Luntur Warna Terhadap Pencucian


Ketahanan Luntur Warna Ketahanan Luntur Warna
terhadap Pencucian S abun terhadap Penodaan Kain Putih
Grey Scale Staining Scale
Nilai Kategori Nilai Kategori
(CD) (CD)
3 3.0 Cukup 4 4.0 Baik
Mordan
3 3.0 Cukup 4 4.0 Baik
Jeruk Nipis
3 3.0 Cukup 4 4.0 Baik
2 6.0 Kurang 3 8.0 Cukup
Mordan
2 6.0 Kurang 3 8.0 Cukup
Tawas
2 6.0 Kurang 3-4 5.6 Cukup Baik
2-3 4.2 Kurang 3 8.0 Cukup
Mordan
2-3 4.2 Kurang 3 8.0 Cukup
Kapur Tohor
2-3 4.2 Kurang 3 8.0 Cukup
2-3 4.2 Kurang 2-3 11.0 Kurang
Mordan
2 6.0 Kurang 2-3 11.0 Kurang
Tunjung
2-3 4.2 Kurang 2-3 11.0 Kurang
Berdasarkan data nilai ketahanan luntur warna penelitian ini, perlakuan mordan tawas memiliki
terhadap pencucian sabun pada tabel 4 menunjukkan kualitas ketahanan luntur warna terhadap pencucian
bahwa pencelupan kain katun primissima dengan yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan
ekstrak gulma babandotan dengan perlakuan mordan mordan kapur tohor dan tunjung. Namun, pada
jeruk nipis menghasilkan nilai 3 berkategori “cukup” penelitian ini kualitas paling baik terdapat pada
dengan nilai CD 3.0, sedangkan untuk perlakuan perlakuan mordan jeruk nipis, yaitu memiliki kualitas
mordan tawas memiliki nilai 2 dengan nilai CD 6.0, satu tingkat lebih baik dari perlakuan mordan tawas.
kapur tohor dan tunjung bernilai 2-3 dengan nilai CD
4.2 berkategori ketahanan luntur yang “kurang”.
Nilai ketahanan luntur warna terhadap penodaan 4 SIMPULAN
kain putih dengan sampel perlakuan mordan jeruk
nipis memiliki nilai tertinggi yaitu dengan nilai 4 Hasil analisis data dan pembahasan hasil penelitian
yang berkategori “baik” dengan nilai CD 4.0, untuk mengenai Potensi Gulma Babandotan (Ageratum
mordan tawas dan kapur tohor memiliki nilai rerata 3 conyzoide L.) sebagai Pewarna Alam Kain Katun
dengan CD 8.0 sehingga menunjukkan “kategori Primissima menggunakan Mordan Jeruk Nipis,
cukup”, sedangkan untuk mordan tunjung memiliki Tawas, Kapur Tohor dan Tunjung, dapat ditarik
nilai 2-3 dengan nilai CD 11.0 yang dengan kategori kesimpulan bahwa gulma babandotan (Ageratum
“kurang”. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa conyzoides L.) dapat digunakan sebagai zat warna
sampel perlakuan jeruk nipis memiliki hasil tahan
alam pada kain katun primissima. Arah warna yang
luntur yang lebih baik dibandingkan dengan dihasilkan pada perlakuan mordan jeruk nipis yaitu
perlakuan mordan yang lainnya, sedangkan nilai
kuning pudar atau Oat, mordan tawas yaitu kuning
tahan luntur dengan nilai paling rendah adalah lebih tajam atau Sand, mordan kapur tohor yaitu
perlakuan mordan tunjung. Hal ini sesuai dengan
kuning-hijau-abu-abu atau Hazelnut, dan mordan
Ratih et al. (2016) yang mengatakan bahwa salah satu
tunjung adalah Dark Green Olive. Kualitas ketahanan
faktor pembatas zat warna alam adalah luntur warna terhadap gosokan secara kering dan
kemampuannya yang kurang dalam mewarnai kain basah yang dihasilkan pada perlakuan mordan jeruk
serta bersifat tidak tahan terhadap garam yang dipakai
nipis dan tawas menghasilkan kategori “baik”,
dalam pencucian sehingga warna pada kain mudah perlakuan mordan kapur tohor menghasilkan kategori
mengalami kelunturan. “baik” untuk gosokan secara kering dan kategori
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian “cukup baik” untuk gosokan secara basah, serta
yang dilakukan oleh Anzani, et al. (2016), Pujilestari perlakuan mordan tunjung menghasilkan kategori
(2014) bahwa hasil kualitas dari ketahanan luntur “cukup baik” untuk gosokan secara kering dan
warna terhadap pencucian dan penodaan warna kategori “cukup” untuk gosokan secara basah.
menunjukkan hasil perlakuan mordan tawas memiliki Kualitas ketahanan luntur warna terhadap pencucian
kualitas yang lebih baik dibandingakan dengan sabun dan penodaan warna pada kain putih yang
mordan kapur tohor dan tunjung. Jika dilihat pada

137
TEKNOBUGA Volume 7 No. 2 – Desember 2019

dihasilkan pada perlakuan mordan jeruk nipis Ratih, Y. W., P. B. Santosa, dan E. Muryani. 2016.
menghasilkan kategori “cukup” dan “baik”, Pengaruh Limbah Industri Batik Menggunakan Pewarna
perlakuan mordan tawas dan kapur tohor Alami dari Desa Wukirsari terhadap Viabilitas Bakteri
menghasilkan kategori “kurang” dan “cukup”, serta Tanah. Jurnal Eksergi, 8(2).
perlakuan mordan tunjung menghasilkan kategori Setiawan, M. A. W., E. K. Nugroho, dan L. N. Lestario.
“kurang” untuk kedua aspek tersebut. 2015. Ekstraksi Betasianin dari Kulit Umbi Bit (Beta
vulgaris) sebagai Pewarna Alami. Jurnal Ilmu
Pertanian, 27(1&2).
Sugiyono. 2017. Metode Penelitian Pendidikan. Edisi
DAFTAR PUSTAKA Kedua puluh lima. Bandung: Alfabeta.
Tripathi, G., M. K. Yadav, P. Padhyay, dan S. Mishra.
Alemayehu, T. dan Z. Teklemariam. 2014. Application of 2015. Natural Dyes with Future Aspects in Dyeing of
Natural Dyes on Textile: A Review. International Textiles: A Research Article. International Journal of
Jurnal of Research – Granthaalayah, 2(2). PharmTech Research, 8(1).
Amadi, B. A., M. K. C. Duru, dan E. N. Agomuo. 2012. Yusuf, M., F. Mohammad, dan M. Shabbir. 2016. Eco-
Chemical Profiles of Leaf, Stem, Root and Flower of Friendly and Effective Dyeing Of Wool with
Ageratum conyzoides. International Journal of Plant Anthraquinone Colorants Extracted from Rubia
Science and Research, 2(4). Cordifolia Roots: Optimization, Colorimetric and
Anzani, S. D., Wignyanto, M. H. Pulungan, dan S. R. Lutfi. Fastness Assay. International Journal of King Saud
2016. Pewarna Alami Daun Sirsak (Annona Muricata University – Science, 29.
L.) untuk Kain Mori Primissima (Kajian: Jenis dan
Konsentrasi Fiksasi). Jurnal Teknologi dan Manajemen
Agroindustri, 5(3).
Arora, J., P. Agarwal, dan G. Gupta. 2017. Rainbow of
Natural Dyes on Textiles Using Plants Extracts:
Sustainable and Eco-friendly Processes. International
Journal of Green and Sustainable Chemistry, 7.
Atika, V. dan I. R. Salma. 2017. Kualitas Pewarnaan
Ekstrak Kayu Tegeran (Cudrania javanensis) Pada
Batik. Jurnal Dinamika Kerajinan dan Batik, 34(1).
Failisnur dan Sofyan. 2016. Pengaruh Suhu dan Lama
Pencelupan Benang Katun Pada Pewarnaan Alami
Dengan Ekstrak Gambir (Uncaria gambir Roxb). Jurnal
Litbang Industri, 6(1).
Haqiqi, A. K., M .P. Aji, dan A. Yuliyanto. 2018. Ekstraksi
Daun Pepaya (Carica papaya L.) sebagai Zat Warna
Alami Pada Kain Batik. Jurnal Ilmu Pengetahuan Alam,
1(1).
Hernani, Risfaheri, dan T. Hidayat. 2017. Ekstraksi dan
Aplikasi Pewarna Alami Kayu Secang dan Jambal
dengan Beberapa Jenis Pelarut. Jurnal Dinamika
Kerajinan dan Batik, 34(2).
Mahfudloh, E. dan D. A. Islamiyati. 2018. Pemanfaatan
Gulma Eceng Gondok sebagai Zat Pewarna Alami Pada
Proses Pencelupan Kain Katun Primissima. Jurnal
Kajen, 2(1).
Mahreni. 2016. Batik Warna Alami. Yogyakarta.
eprints.upnyk.ac.id
Marnoto, T., G. Haryono, D. Gustinah, dan F. A. Putra.
2012. Ekstraksi Tannin sebagai Bahan Pewarna Alami
dari Tanaman Putri Malu (Mimosa pudica)
Menggunakan Pelarut Organik. Jurnal Reaktor, 14(1).
Pujilestari, T. 2014. Pengaruh Ekstraksi Zat Warna Alam
dan Fiksasi Terhadap Ketahanan Luntur Warna Pada
Kain Batik Katun. Jurnal Dinamika Kerajinan dan
Batik, 31(1).

138

Anda mungkin juga menyukai