10.2009.068 *Mahasiswa, Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 Email : yuaiu_aiu@yahoo.com Telephone : (021) 5694-2061 Fax : (021) 563 1731
PENDAHULUAN Dalam makalah ini saya akan membahas kasus seorang laki-laki berusia 57 tahun datang dengan ke UGD RS dengan keluhan sesak nafas yang memberat dan terus menerus sejak 5 jam yang lalu. Keluhan disertai batuk berdahak warna putih sejak 3 hari yang lalu. Keluhan seperti ini sudah beberapa kali timbul, sejak 3 tahun terakhir pasien sudah merasa nafasnya terasa berat terutama jika beraktifitas berat dan bila sedang demam dan batuk. Riwayat merokok sejak usia 30 tahun sebanyak 1-2 bungkus/hari. Pada pemeriksaan fisik tampak sakit sedang, kesadaran : compos mentis. Pada pemeriksaan tanda vital diperoleh tekanan darah 120/70 mmHg, denyut nadi : 100x/menit, frekuensi nafas :30x/menit, suhu : 36 C, torak pulmo : simetris dalam keadaan statis dinamis, retraksi intercostalid (+), taktil fremitus simetris, perkusi : sonor pada kedua lapang paru, suara nafas whezzing +/+, ronki basah kasar minimal +/+. Laboraturium : Hb : 16g/dL, ht 40%, leukosit : 6500/L, trombosit : 300.000/L. Beberapa penyakit paru yang jelas secara anatomi, memberikan tanda kesulitan pernafasan yang mirip, yaitu terbatasnya jalan udara yang kronis, terutama bertambahnya resistensi terhadap jalan udara saat ekspirasi. Bronkitis dan bronkiolitis menambah resistensi pada jalan udara, karena proses peradangan dan sekret yang menyempitkan jalan udara, sedang pada kerusakan karena emfisema, pada dinding septa tidak hanya mengurangi recoil elastik dari paru, tetapi juga sering disertai penyakit jalan udara kecil. Seringkali sulit secara klinik (bila mungkin) membedakan keadaan ini dan lebih dari itu, mereka sering merasa bahwa klinisi lebih senang menghimpun keadaan ini sebagai PPOK (COPD). Anamnesis 1
1. Keluhan utama (KU) : sesak nafas 2. Riwayat penyakit sekarang (RPS) : 1. Berapa lama pasien merasa sesak napas? Kapan pasien merasa sesak napas: saat istirahat atau aktivitas? 2. Apa yang dilakukan pasien sebelum merasa sulit bernapas? Berapa jauh pasien dapat berjalan? Apakah pasien mengalami keterbatasan olahraga yang progresif? 3. Apakah pasien batuk? Jika ya, adakah sputum, berapa banyak, dan apa warnanya? 4. Apakah terdapat mengi? Jika ya, kapan? 5. Berapa lama pasien mengalami keadaan seburuk ini? Kira-kira apa pemicunya? 6. Apakah pasien mengalami nyeri dada atau sesak napas saat berbaring? 7. Pernahkah pasien mendapat ventilasi? Pernahkan pasien dirawat di rumah sakit? (Jika ya, berapa hasil spirometri dan gas darah awal?) 8. Apakah terdapat penurunan berat badan?
3. Keluhan tambahan (KT) : batuk berdahak warna putih sejak 3 hari yang lalu 4. Riwayat penyakit dulu (RPD) : a. 3 tahun terakhir pasien sudah merasa nafasnya terasa berat terutama jika beraktifitas berat dan bila sedang demam dan batuk. b. Merokok sejak usia 30 tahun sebanyak 1-2 bungkus/ hari faktor resiko penyakit yang diderita sekarang Derajat berat merokok : jumlah rata-rata batang rokok x lama rokok (tahun) 1 bungkus = 12 batang 24x30 = 720 (berat) Ringan : 0-199 Sedang : 200-599 Berat : > 600 Kandungan rokok : Nikotin Racun, adiksi Mempengaruhi otak dalam waktu 10 detik neurotransmitter meningkat perasaan relaks, aman, dan lain-lain Carbon monoksida mengganggu ikatan O 2 dengan Hb Tar Karsinogenik Substansi yang tebal, dan lengket Rokok dihisap tar menempel di silia paru fungsi silia menurun tar dan mukus paru menumpuk tempat pertumbuhan mikroorganisme yang baik dan mempersempit saluran respirasi menyebabkan penurunan elastisitas paru menyebabkan penyakit paru kroniks dan Ca paru Pemeriksaan Fisik 2
Inspeksi Inspeksi dilakukan untuk mengetahui adanya lesi pada dinding dada, kelinan bentuk dada, menilai frekuensi, sifat dan pola pernafasan. 1. Kelainan dinding dada Kelainan-kelainan yang bisa didapatkan pada dinding dada yaitu parut bekas operasi, pelebaran vena-vena superfisial akibat bendungan vena, spider nevi, ginekomastia tumor, luka operasi, retraksi otot-otot interkostal dan lain-lain. 2. Kelainan bentuk dada. Dada yang normal mempunyai diameter latero-lateral yang lebih besar dari diameter anteroposterior. Kelainan bentuk dada yang bisa didapatkan yaitu: - Dada paralitikum dengan ciri-ciri dada kecil, diameter sagital pendek; sela iga sempit, iga lebih miring, angulus costae <90 0 , terdapat pasien dengan malnutrisi. - Dada emfisema (barrel shape) yaitu dada menggembung, diameter anteroposterior lebih besar dari diameter latero-lateral; tulang punggung melengkung (kifosis), angulus costae >90 0 , terdapat pada pasien dengan bronkitis kronis, PPOK. - Kifosis dengan ciri-cirinya kurvatura vertebra melengkung secara berlebihan ke arah anterior. Kelainan ini akan terlihat jelas bila pemeriksaan dilakukan dari arah lateral pasien. - Skoliosis cirinya kurvatura vertebra melengkung secara berlebihan ke arah lateral. Kelainan ini terlihat jelas pada pemeriksaan dari posterior. - Pectus excavatum cirinya dada dengan tulang sternum yang mencekung. - Pectus carinatum (pigeon chest atau dada burung) cirinya dada dengan tulang sternum menonjol ke depan. 3. Frekuensi pernapasan Frekuensi pernapasan normal 14-20 kali per menit. Pernapasan kurang dari 14 kali per menit disebut bradipneu, misalnya akibat pemakaian obat-obat narkotik, kelainan serebral. Pernapasan lebih dari 20 kali per menit disebut takipneu, misalnya pada pneumonia, anksietas, asidosis. 4. Jenis pernapasan - Torakal misalnya pada pasien sakit tumor abdomen, peritonitis umum. - Abdominal misalnya pasien PPOK lanjut. - Kombinasi (jenis pernapasan ini terbanyak). Pada perempuan sehat umumnya pernapasan torakal lebih dominan dan disebut torako- abdominal. Sedangkan pada laki-laki sehat, pernapasan abdominal lebih dominan dan disebut abdomino-torakal. Keadaan ini disebabkan bentuk anatomi dada dan perut perempuan berbeda dari laki-laki. Perhatikan juga apakah terdapat pemakaian otot-otot bantu pernapasan misalnya pada pasien tuberkulosis paru lanjut atau PPOK. Di samping itu adakah terlihat bagian dada yang tertinggal dalam pernapasan dan bila ada, keadaan ini menunjukan adanya gangguan pada daerah tersebut. - Jenis pernapasan lain yaitu pursed lips breathing (pernapasan seperti menghembus sesuatu melalui mulut, didapatkan pada pasien PPOK) dan pernapasan cuping hidung, misalnya pada pasien pneumonia. 5. Pola pernapasan - Pernapasan normal: irama pernapasan yang berlangsung secara teratur ditandai dengan adanya fase-fase inspirasi dan ekspirasi yang silih berganti. - Takipnea: napas cepat dan dangkal. - Hiperpnea/hiperventilasi: napas cepat dan dalam. - Pernapasan cheyne stokes: irama pernapasan yang ditandai dengan adanya periode apnea (berhentinya gerakan pernapasan) kemudian disusul periode hiperpnea (pernafasan mula-mula kecil amplitudonya kemudian cepat membesar dan kemudian mengecil lagi). Siklus ini terjadi berulang-ulang. Terdapat pada pasien dengan kerusakan otak, hipoksia kronik. Hal ini terjadi karena terlambatnya reseptor klinis medula otak terhadap pertukaran gas. - Pernapasan biot (ataxic breathing): jenis pernapasan yang tidak teratur baik dalam hal frekuensi maupun amplitudonya. Terdapat pada cedera otak. Bentuk kelainan irama pernapasan tersebut, kadang-kadang dapat ditemukan pada orang normal tapi gemuk (obesitas) atau pada waktu tidur. Keadaan ini basanya merupakan pertanda yang kurang baik. - Sighing respiration: pola pernapasan normal yang diselingi oleh tarikan napas yang dalam. Palpasi Palpasi dinding dada dapat dilakukan pada keadaan statis dan dinamis. 1. Palpasi dalam keadaan statis. Pemeriksaan palpasi yang dilakukan pada keadaan ini adalah: - Pemeriksaan kelenjar getah bening. Kelenjar getah bening yang membesar di daerah supraklavikula dapat memberikan petunjuk adanya proses di daerah paru seperti kanker paru. Pemeriksaan kelenjar getah bening ini dapat diteruskan ke daerah submandibula dan kedua aksila. - Pemeriksaan untuk menentukan posisi mediastinum. Posisi mediastinum dapat ditentukan dengan melakukan pemeriksaan trakea dan apeks jantung. - Pemeriksaan palpasi selanjutnya diteruskan ke daerah dada depan dengan jari tangan untuk mengetahui adanya kelainan dinding dada misalnya tremor, nyeri tekan pada dinding dada, krepitasi akibat emfisema subkutis, dan lain-lain. 2. Palpasi dalam keadaan dinamis. Pada keadaan ini dapat dilakukan pemeriksaan unutk menilai ekspansi paru serta pemeriksaan vokal fremitus. - Pemeriksaan ekspansi paru. Dalam keadaan normal kedua sisi dada harus sama-sama mengembang selama inspirasi biasa maupun dengan inspirasi maksimal. Berkurangnya gerakan pada salah satu sisi menunjukan adanya kelainan pada sisi tersebut. untuk menilai pengembangan paru bagian bawah dilakukan pemeriksaan dengan meletakkan kedua telapak tangan dan ibu jari secara simetris pada masing-masing tepi iga, sedangkan jari-jari lain menjulur sepanjang sisi lateral lengkung iga. Kedua ibu jari harus saling berdekatan/hampir bertemu di garis tengah dan sedikit diangkat ke atas sehingga bergerak bebas saat bernafas. Pada saat pasien menarik napas dalam keadaan kedua ibu jari menjadi tidak simetris dan ini memberikan petunjuk adanya kelainan pada sisi tersebut. - Pemeriksaan vokal fremitus. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara meletakkan kedua telapak tangan pada permukaan dinding dada, kemudian pasien diminta menyebut angka 77 atau 99, sehingga getaran suara yang ditimbulkan akan lebih jelas. Pemeriksaan ini disebut tactile fremitus. Bandingkan secara bertahap tactile fremitus secara bertahap dari atas ke tengah dan seterusnya ke bawah baik pada paru bagian depan maupun belakang. Pada saat pemeriksaan kedua telapak tangan harus disilang secara bergantian. Hasil pemeriksaan fremitus ini dilaporkan ebagai normal, melemah, atau mengeras. Fremitus yang melemah didapatkan pada penyakit empiema, hidrotoraks, atelektasis. Fremitus yang mengeras terjadi karena adanya infiltrat pada parenkim paru (misalnya pada pneumonia, tuberkulosis paru aktif). Perkusi Berdasarkan patogenesisnya, bunyi ketokan yang terdengar dapat bermacam- macam yaitu: - Sonor (resonant): terjadi bila udara dalam paru (alveoli) cukup banyak, terdapat pada paru yang normal - Hipersonor (hiperresonant): terjadi bila udara dalam paru /dada menjadi jauh lebih banyak, misalnya pada emfisema paru, kavitas besar yang letaknya superfisial, pneumotoraks, dan bula yang besar - Redup (dull): bila bagian yang padat lebih banyak daripada udara misalnya adanya infiltrat/konsolidasi Dalam keadaan normal didapatkan hasil perkusi yang sonor pada kedua paru. Auskultasi Auskultasi merupakan pemeriksaan yang paling penting dalam menilai aliran udara melalui sitem trakeobronkial. Suara napas pokok yang normal terdiri dari: - Vesikular: suara napas pokok yang lembut dengan frekuensi rendah di mana fase inspirasi langsung diikuti dengan fase ekspirasi tanpa diselingi jeda, dengan perbandingan 3:1. Dapat didengarkan pada hampir kedua lapangan paru. - Bronkovesikular: suara napas pokok dengan intensitas dan frekuensi yang sedang di mana fase ekspirasi menjadi lebih panjang sehingga hampir menyamai fase inspirasi dan diantaranya kadang-kadang dapat diselingi jeda. Dalam keadaan normal bisa didaptkan pada dinding anterior setinggi sela iga 1 dan 2 serta daerah interskapula. - Bronkial: suara napas pokok yang keras dan berfrekuensi tinggi, di mana fase ekspirasi menjadi lebih panjang dari fase inspirasi dan diantaranya diselingi jeda. Terjadi perubahan kualitas suara sehingga terdengar seperti tiupan dalam tabung. Dalam keadaan normal dapat didengar pada daerah manubrium sterni. - Trakeal: suara napas yang sangat keras dan kasar, dapat didengarkan pada daerah trakea. - Amforik: suara napas yang didapatkan bila terdapat kavitas besar yang letaknya perifer dan berhubungan dengan bronkus, terdengar seperti tiupan dalam botol kosong. Dalam keadaan normal suara napas vesikular yang berasal dari alveoli dapat didengar pada hampir seluruh lapangan paru. Sebaliknya suara napas bronkial tidak akan terdengar karena getaran suara yang berasal dari bronkus tersebut tidak dapat dihantarkan ke dinding dada karena dihambat oleh udara yang terdapat dalam alveoli. Dalam keadaan abnormal misalnya pneumonia di mana alveoli terisi infiltrat maka udara di dalamnya akan berkurang atau menghilang. Infiltrat yang merupakan penghantar getaran suara yang baik akan menghantarkan suara bronkial sampai ke dinding dada sehinggadapat terdengar sebagai suara napas bronkovesikular (bila hanya sebagian alveoli yang terisi infiltrat) atau bronkial (bila seluruh alveoli terisi infiltrat). Suara nafas tambahan terdiri dari: - Ronki basah (crakels atau rales): suara nafas yang terputus-putus, bersifat nonmusical, dan biasanya terdengar pada saat inspirasi akibat udara yang melewati cairan dalam saluran napas. Ronki basah lebih lanjut dibagi menjadi ronki basah halus dan kasar tergantung besarnya bronkus yang terkena. Ronki basah halus terjadi karena adanya cairan pada bronkiolus, sedangkannyang halus lagi berasal dari alveoli yang disebut krepitasi, akibat terbukanya alveoli pada akhir inspirasi. Krepitasi terutama dapat didengar fibrosis paru. Sifat ronki basah ini dapat bersifat nyaring (bila ada infiltrat misalnya pada pneumonia) ataupun tidak nyaring (pada edema paru). - Rongki kering: suara napas kontinyu, yang bersifat musical, dengan frekuensi yang relatif rendah, terjadi karena udara mengalir melalui saluran napas yang menyempit, misalnya akibat adanya sekret yang kental. Wheezing adalah ronki kering yang frekuensinya tinggi dan panjang yang biasanya terdengar pada serangan asma. - Bunyi gesekan pleura (pleural friction rub): terjadi karena pleura parietal dan viseral yang meradang saling bergesekan satu dengan yang lainnya. Pleura yang meradang akan menebal atau menjadi kasar. Bunyi gesekan ini terdengar pada akhir inspirasi dan awal ekspirasi. - Hippocrates succussion: suara cairan pada rongga dada yang terdengar bila pasien digoyang-goyangkan. Biasanya didaptkan pada pasien dengan hidropneumotoraks. - Pneumothorax click: bunyi yang bersifat ritmik dan sinkron dengan saat kontraksi jantung, terjadi bila didapatkan adanya udara di antara kedua lapisan pleura yang menyelimuti jantung. 5
Pada pasien PPOK pada pemeriksaan fisik: - Pasien biasanya tampak kurus dengan barel shaped chest (diameter anteroposterior dada meningkat). - Fremitus taktil dada berkurang atau tidak ada. - Perkusi dada hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati lebih rendah, pekak jantung berkurang. - Suara nafas berkurang dengan ekspirasi memanjang. Pemeriksaan Penunjang 3 Pemeriksaan Rutin Faal paru Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP -Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP ( % ). Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 % -VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. -Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20% Uji bronkodilator -Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter. -Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml - Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil Darah rutin Hb, Ht, leukosit Radiologi Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain Pada emfisema terlihat gambaran : - Hiperinflasi - Hiperlusen - Ruang retrosternal melebar - Diafragma mendatar Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance) Pada bronkitis kronik : Normal Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
Pemeriksaan tidak Rutin Faal paru - Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat - DLCO menurun pada emfisema - Raw meningkat pada bronkitis kronik - Sgaw meningkat - Variabiliti Harian APE kurang dari 20 % Uji latih kardiopulmoner - Sepeda statis (ergocycle) - Jentera (treadmill) - Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal Uji provokasi bronkus Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan
Uji coba kortikosteroid Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu peningkatan VEP 1 pasca bronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid
Analisis gas darah Terutama untuk menilai : - Gagal napas kronik stabil - Gagal napas akut pada gagal napas kronik Radiologi - CT - Scan resolusi tinggi -Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos - Scan ventilasi perfusi Mengetahui fungsi respirasi paru
Elektrokardiografi Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.
Ekokardiografi Menilai fungsi jantung kanan Bakteriologi Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
Kadar alfa-1 antitripsin Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.
Bronkitis kronik 1. Pemeriksaan analisa gas darah: hipoksia dengan hiperkapnia. 2. Rontgen dada: pembesaran jantung dengan diafragma normal/mendatar. 3. Pemeriksaan fungsi paru: Penurunan kapasitas vital (VC) dan volume ekspirasi kuat (FEV), peningkatan volume residual (RV), kapasitas paru total (TLC) normal atau sedikit meningkat. 4. Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit: dapat sedikit meningkat. Emfisema 1. Rontgen dada: hiperinflasi, pendataran diafragma, pelebaran interkosta dan jantung normal. 2. Fungsi pulmonari (terutama spirometri) : peningkatan TLC dan RV, penurunan VC dan FEV. Diagnosis Kerja Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. 3
Bronkitis kronik - Kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. 3 Emfisema - Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronik juga memperlihatkan tanda- tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria PPOK.
Gambar 1. Bronkitis kronik dan emfisema
Gambar 2. Perbedaan keadaan paru pada keadaan normal dan PPOK
Klasifikasi : Stage Gejala Klinis Faal Paru Stage I : ringan Batuk kronik + produksi sputum ada tapi tidak selalu, pasien tidak menyadari bahwa faal paru turun FEV 1 / FVC < 0,7 FEV 1 80 % predicted Stage II : sedang SOB saat aktivitas, batuk + produksi sputum kadang terjadi, pasien mulai mencari bantuan medis FEV 1 / FVC < 0,7 50% FEV 1 80 % predicted Stage III : berat Sesak makin parah, penurunan aktivitas, fatigue, eksaserbasi berulang yang berdampak pada QOL pasien FEV 1 / FVC < 0,7 30%FEV 1 50% predicted Stage IV : sangat berat Gejala diatas + gejala gagal jantung kanan, QOL pasien memburuk FEV 1 / FVC < 0,7
FEV 1 < 30% predicted atau FEV 1 < 50% predicted + gagal nafas kronik
Diagnosis Banding
1. Asma Bronkial Asma adalah gangguan peradangan kronik di saluran napas yang menyebabkan serangan kronik di saluran napas yang menyebabkan serangan berulang mengi, sesak, dada terasa tertekan danbatuk terutama malam atau dini hari. Gejala-gejala ini biasanya disebabkan bronkokonstriksi yang luas tetapi bervariasi dan pembatasan aliran udara yang paling tidak sebagian bersifat reversibel, baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Diduga bahwa peradangan menyebabkan peningkatan responsivitas saluran napas (bronkospasme) terhadap berbagai rangsangan. sebagian dari rangsangan tersebut tidak atau sedikit menimbulkan efek pada bukan pengidap asma dengan saluran napas normal. Banyak sel berperan dalam respon peradangan terutama: eosinofil, sel mast, makrofag, limfosit T, neutrofil an sel epitel. Macam- macam asma: Asma nonatopik. Kelompok besar kedua adalah varian asma non-atopik atau non-reaginik yang umumnya dipicu infeksi saluran napas. Virus (misal rinovirus, virus parainfluenza) merupakan provokator tersering, bukan bakteri. Riwayat penyakit serupa dalam keluarga jarang dijumpai, kadar IgE serum normal dan tidak ada alergi lainnya. Pada para pasien ini, hasil uji kulit biasanya negatif dan meskipun hipersensitivitas terhadap antigen mikroba mungkin berperan, teori-teori yang kini berlaku lebih menekankan pada hiperiritabilitas saluran bronkus. Diduga bahwa peradangan mukosa saluran napas dipicu oleh virus menurunkan ambang reseptor vagus subepitel terhadap iritan. Polutan udara yang terhirup, misalnya sulfur dioksida, ozon dan nitrogen dioksida juga mungkin ikut serta dalam peradangan kronik dan hiper- reaktivitas saluran napas yang dijumpai pada sebagian kasus. Asma imbas obat. Beberapa obat dapat memicu asma. Asma peka aspirin adalah tipe yang jarang, tetapi terjadi pada pasien dengan rinitis berulang dan polip hidung. Orang-orang ini sangat peka terhadap aspirin dosis rendah dan mereka tidak saja mengalami serangan asma tetapi juga urtikaria. Aspirin mungkin memicu asma pada pasien ini dengan menghambat jalur siklooksigenase metabolisme asam arakidonat tanpa memengaruhi rute lipoksigenase sehingga keseimbangan miring ke arah pengeluaran bronkokonstriktor leukotrien. Asma akibat kerja. Bentuk asma ini dirangsang oleh uap (resin epoksi, plastik), debu organik dan kimiawi (kayu, katun dan platinum), gas (toluen) dan bahan kimia lainnya (formaldehida dan produk penisilin). Untuk memicu serangan hanya diperlukan sejumlah kecil bahan kimia dan serangan biasanya terjadi setelah pajangan berulang. Mekanisme yang mendasari bervariasi sesuai rangsangan dan mencakup reaksi tipe I, pembebasan langsung bahan- bahan bronkokonstriktif dan juga respon hipersensitivitas yang asalnya tidak diketahui. Patologi Jalan napas memiliki otot polos hipertrofi yang berkontraksi selama serangan, menyebabkan bronkokonstriksi. Di samping itu,terdapat hipertrofi kelenjar mukosa, edema dinding bronkial dan infiltrasi ekstensif oleh eosinofil dan limfosit. Mukus bertambah jumlahnya dan abnormal; menjadi kental, kenyal dan bergerak lambat. Pada kasus yang berat, banyak jalan napas tersumbat oleh sumbatan mukus, mungkin sebagian dibatukkan dalam sputum. Sputum tersebut khasnya sedikit dan putih. Fibrosis subepitel lazim terlihat pada asma kronis dan merupakan bagian dari proses yang disebut remodeling. Pada asma tanpa komplikasi, tidak ada kerusakan dinding alveolar dan tiada sekresi bronkial purulen yang banyak. Kadang-kadang, berlimpahnya eosinofil dalam sputum memberi gambaran purulen, yang mungkin keliru di hubungkan dengan infeksi. Patogenesis Perkembangan cepat sedang dibuat dalam masalah ini dan pernyataan berikut pasti akan dimodifikasi. Dua gambaran yang tampaknya lazim pada semua penderita asma adalah hiperesponsivitas jalan napas dan inflamasi jalan napas. Penelitian menunjukkan bahwa hiperesponsivitas terjadi akibat inflamasi dan beberapa penelitian yakin bahwa inflamasi jalan napas bertanggung jawab untuk semua ciri yang menyertai asma, meliputi peningkatan responsivitas jalan napas, edema jalan napas, hipersekresi mukus dan infiltrasi sel inflamasi. Namun, mungkin ada kelainan fundamental pada otot polos jalan napas atau pengaturan tonus jalan napas pada beberapa pasien. Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa asma dimulai sejak masa kanak- kanak pada sebagian besar kasus dan diatesis alergi sering berperan penting. Namun, faktor lingkungan tampaknya penting dan mungkin bertanggung jawab untuk peningkatan prevalensi dan keparahan asma dalam 20-40 tahun terakhir di negara barat yang maju dan modern. Pajanan yang sering terhadap infeksi tipikal masa kanak-kanak dan lingkungan terkontaminasi feses yang sering dihubungkan dengan insidens asma yang lebih rendah. Observasi ini dan lainnya telah menimbulkan hipotesis higiene yang menyatakan bahwa anak pada stadium kritis perkembangan respon imun yang tidak sering terpajan agen infeksi anak tipikal mungkin lebih sering mengalami diatesis alergi dan asma. Hipotesis lain juga telah diajukan untuk menjelaskan peningkatan prevalensi meliputi obesitas, latihan fisik yang buruk dan pajanan terhadap polutan. Pemicu perkembangan inflamasi jalan napas tidak selalu dapat dikenal. Pada beberapa kasus pemicunya dikenal baik, seperti beberapa antigen pada penderita asma alergika. Namun, pada beberapa tipe asma yang lain seperti asma yang diinduksi latihan atau asma setelah infeksi viral saluran napas, pemicunya tidak dikenal. Polutan atmosferik, terutama partikel submikronik dalam asap knalpot kendaraan bermotor juga mungkin berperan. Tipe sel inflamasi atau mediator inflamasi tunggal saja tampaknya tidak dapat bertanggung jawab untuk semua manifestasi pada asm. Eosinofil, sel mast, neutrofil, makrofag dan basofil semuanya terlibat. Ada juga bukti bahwa sel non-inflamasi, temasuk sel epitel jalan napas dan sel neural terutama dari saraf peptidergik berperan pada inflamasi tersebut. Beberapa peneliti percaya bahwa eosinofil memiliki peran efektor utama pada kebanyakan kasus asma. Juga ada bukti bahwa limfosit terutama sel T ikut teribat karena mereka berespon terhadap antigen spesifik dan juga mereka berperan sebagai modulator fungsi sel inflamasi. Banyak mediator inflamasi yang telah dikenal pada asma. Sitokin mungkin penting, khususnya yang berhubungan dengan Th-2, pengaktifan sel T pembantu. Sitokin ini meliputi intraleukin IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13. Dipercaya bahwa sitokin ini paling tidak turut bertanggung jawab untuk membantu inflamasi dan fungsi sel imun dan untuk menyongkong respons inflamasi jalan napas. Mediator inflamasi lain yang mungkin berperan terutama pada bronkokonstriksi akut, meliputi metabolit asam arakidonat seperti leukotrien dan prostaglandin, faktor pengaktif-trombosit (PAF), neuropeptida, jenis oksigen reaktif, kinin, histamin dan adenosin. Asma juga memiliki komponen genetik. Penelitian populasi menunjukkan bahwa asma adalah gangguan genetik kompleks dengan komponen lingkungan dan genetik. Komponen genetik tersebut bukan merupakan ciri gen tunggal tetapi poligenik. Hubungan asma dengan berbagai lokus kromosom melalui analisis linkage telah ditunjukkan. Gambaran Klinis Asma umumnya dimulai semasa anak-anak, tetapi dapat terjadi pada usia berapa pun. Pasien mungkin memiliki riwayat yang menunjukkan atopi, termasuk rinitis alergika, eksema atau urtikaria dan mungkin menghubungkan serangan asma dengan alergen spesifik misalnya semacam rumput-rumputan atau kucing. Pasien seperti itu dikatakan menderita asma alergika. Banyak pasien seperti demikian yang mengalami peningkatan IgE serum total, peningkatan IgE spesifik dan eosinofilia darah tepi. Jika tidak ada riwayat umum tentang alergi dan tidak ada alergen eksternal yang dapat dikenal digunakan istilah asma non-alergika. Pada semua penderita asma, terdapat hipereakktivitas seluruh jalan napas yang menyebabkan gejala akibat iritan non-spesifik seperti asap, udara dingin atau olahraga. Hipereaktivitas (atau hiper-responsivitas) jalan napas dapat diuji dengan memajankan pasien terhadap inhalasi metakolin atau histamin yang konsentrasinya semakin bertambah dan mengukur FEV 1 (atau resistensi jalan napas). Konsentrasi yang menghasilkan penurunan FEV 1 sebesar 20% dikenal sebagai PC 20 (konsentrasi provokatif 20). Serangan dapat terjadi setelah olahraga, terutama saat hawa dingin. Konsumsi aspirin adalah penyebab pada beberapa individu karena inhibisi jalur siklooksigenase. Hal ini mungkin memiliki komponen genetik. Di antara serangan, pasien mungkin tidak menunjukkan gejala walaupun inflamasi menetap. Faktor psikologis sangat penting Selama serangan, pasien mungkin mengalami dispnea, ortopnea dan ansietas yang berat. Otot napas tambahan menjadi aktif. Paru mengalami hiperinflasi dan rongki nyaring terdengar di semua lapangan. Nadi menjadi cepat dan mungkin terdapat pulsus paradoksikus (tekanan sistolik dan nadi yang sangat menurun sewaktu inspirasi). Sputum sedikit dan kental. Foto toraks menunjukkan hiperinflasi, tetapi selain itu normal. Status asmatikus menunjukkan serangan yang terus-menerus selama berjam- jam atau bahkan berhari-hari tanpa remisi walaupun dengan terapi bronkodilator. Sering kali terdapat tanda kelelahan, dehidrasi dan takikardia yang jelas. Dada mungkin menjadi senyap, tetapi membahayakan dan diperlukan segera penatalaksanaan yang lengkap. Kelainan Radiologi Secara klinik, tanda wheezing dan gejala batuk-batuk ditemukan pada penderita. Tergantung pada berat ringannya penyakit, gambaran radiologi yang tampak merupakan kelainan akibat komplikasi yang terjadi. Gambaran tersebut antara lain toraks yang emfisem dengan atau tanpa adanya daerah konsolidasi, mungkin akibat infeksi atau oleh karena atelektasis subsegmental, kadang-kadang terjadi pneumomediastinum. Pengobatan Obat bronkoaktif: obat yang membalikkan atau mencegah bronkokonstriksi berperan penting dalam penatalaksanaan penderita asma. Obat ini juga berguna pada penderita bronkitis kronik yang mengalami beberapa obstruksi jalan napas reversibel. (1) Agonis -Adrenergik: reseptor -adrenergik ada dua tipe yakni reseptor 1
terdapat di jantung dan tempat lain dan stimulasinya meningkatkan denyut jantung dan kekuatan kontraksi otot jantung. Stimulasi resptor 2 merelaksasi otot polos bronki, pembuluh darah dan uterus. Agonis adrenergik selektif- 2 yang parsial atau komplet kini telah menggantikan seluruh agonis nonselektif. Obat yang tersedia meliputi metaproterenol, albuterol, terbutalin dan pirbuterol. Agen ini memiliki masa kerja yang sedang. Agen kerja lama sepertinformoterol dan salmeterol juga tersedia. Semua obat ini berikatan dengan reseptor 2 dalam paru dan langsung merelaksasi otot polos jalan napas dengan meningkatkan aktivitas adenil siklase sehingga meningkatkan cAMP intraseluler. Mereka juga berpengaruh pada edema jalan napas dan inflamasi jalan napas. Efek anti-inflamasinya diperantarai oleh inhibisi langsung fungsi sel inflamasi melalui ikatannya pada reseptor 2 pada permukaan sel. Obat ini diberikan melalui aerosol, sebaiknya dengan inhaler dosis terukur atau nebulizer. Belum lama ini, timbul kekhawatiran mengenai kemungkinan takifilaksis, khususnya mengenai kemampuan obat untuk membalikkan bronkokonstriksi yang diinduksi ketika disgunakan secara teratur. Panduan yang ada mencadangkan bentuk kerja-cepat untuk penggunaan darurat. (2) Kortikosteroid: kortikosteroid tampaknya memiliki dua fungsi berbeda yakni menghambat respons inflamasi/imun dan menambah ekspresi atau fungsi reseptor . Kortikosteroid inhalasi kini semakin sering digunakan dalam penatalaksanaan penderita asma dan panduan yang telah ada menyarankannya untuk semua bentuk asma kecuali yang paling ringan. Namun, pasien dengan gejala minimal yang mudah dikendalikan dengan agonis 2 intermiten tidak memerlukan kortikosteroid. Tersedia kortikosteroid inhalasi (ICS) yang sangat beraneka ragam dan dengan pemakaian yang sesuai, menghasilkan absorpsi kortikosteroid sistemik minimal hampir tanpa efek samping yang serius. Kandidiasis oral dan pada tingkat yang lebih ringan, disfonia dapat terjadi akibat kortikosteroid inhalasi. Kortikosteroid oral hanya diindikasikan pada pasien yang tidak berespons baik dengan terapi agresif lainnya. (3) Antileukotrien: obat antileukotrien termasuk antagonis reseptor leukotrien dan inhibitor 5-lipoksigenase harus dipertimbangkan dala penatalaksanaan jangka panjang asma. Obat oral ini memberi perbaikan jangka panjang yang cukup baik pada spirometri, responsivitas jalan napas dan kualitas hidup. Namun, hanya sekitar 50% pasien yang memberi respons yang menguntungkan. Obat ini mungkin sangat efektif pada asma sensitif terhadap aspirin dengan leukotrien yang tampaknya berperan penting. (4) Methylxanthine: mekanisme kerja methylxanthine seperti teophylline dan aminophylline belum pasti. Mereka memiliki sifat anti-inflamasi sedang dan juga merupakan bronkodilator walaupun hanya seperempat potensi agonis 2 . Dosis terapeutiknya dekat dengan dosis toksik tetapi mereka masih berguna dalam penatalaksanaan asma kronik. Pengukuran kadarnya dalam darah membantu mencari dosis yang tepat. Aminophylline kadang kala diberikan melalui intravena pada serangan asma berat walaupun kegunaannya masih dipertanyakan. (5) Antikolinergik: terdapat bukti kemungkinan peran sistem saraf parasimpatis dalam reaksi asma. Namun, antikolinergik hanya memiliki efek bronkodilator sedang dan hanya pada sebagian penderita asma. Sebaliknya, pasien dengan penyakit paru obstruksif kronis dengan bronkokonstriksi reversibel berespons lebih konsisten dan antikolinergik bermanfaat disini. Ipratropium bromide adalah satu-satunya obat yang kini tersedia dan harus diberikan sebagai aerosol. (6) Cromolin dan Nedocromil: walaupun kedua obat ini tidak berhubungan menurut struktur, tampaknya mereka memiliki mekanisme kerja yang mirip. Awalnya mereka dikira stabilisator sel mast tetapi kini ternyata diketahui mereka memiliki efek yang berkisaran luas. Mereka bukan bronkodilator langsung tetapidiperkirakan bekerja dengan menyekat inflamasi jalan napas. Hanya beberapa pasien yang memberi respons, tetapi ketika obat ini efektif, mereka dapat menurunkan keparahan penyakit dengan hampir tanpa efek samping dan sering digunakan sebelum ICS pada anak. 2. Bronkiektasis Definisi : pelebaran menetap bronkus dan bronkiolus akibat kerusakan otot dan jaringan elastic penunjang, yang disebabkan oleh atau berkaitan dengan infeksi nekrotikans kronik. Pelebaran atau dilatasi bronkus local dan permanen sebagai akibat kerusakan struktur dinding. Prevalensi : pada anak-anak akibat infeksi berulang saluran pernafasan bawah. Faktor predisposisi : merokok, polusi udara, kelainan kongenital Etiologi : a. Sebagian gejala sisa infeksi paru Pertusis pada anak Pneumonia Tuberculosis paru b. Obstruksi bronkus oleh benda asing atau tumor atau obstruksi bronkus karena kelenjar limfa pada tuberculosis paru sewaktu masih anak-anak. c. Ateletaksis d. Kelainan kongenital Sindrom kartagener yang terdiri dari trias : Bronkiektasis Sinusitis Dekstro kardi/ situs inversus Klasifikasi : Berdasarkan kelainan anatomis : Silindris seluruh bronkus melebar Varicose dolatasi bersifat ireguler karena ada bagian yang mengalami konstriksi Sakuler dilatasi semakin melebar di perifer sehingga bronkiolus terminalis seperti balon. Pathogenesis : Gambaran Klinik : Batuk hebat persisten, semakin berat jika pasien berubah posisi. Pengeluaran sputum mukopurulen, berbau busuk dan 50 % penderita ditemukan bercak-bercak darah. Tampak kurus, asthenia, anoreksia. Panas akibat infeksi sekunder Sesak nafas apabila stagnasi sputum, yang luas pada saluran nafas dan peradangan akut. Foeter ex ore memberikan efek psikologi yang kurang baik. Tanda fisik : Kurang gizi Anemi Dispneu Kadang-kadang sinosis dan sering didapatkan jari tubuh pada tangan dan kaki Ronki basah persisten pada lobus inferior paru Laboratorium : Tidak khas Hb dapat rendah (anemia) bisa juga tinggi bila ada polisitemia sekunder akibat insufisiensi paru Leukositosis (bila ada infeksi sekunder) Pemeriksaan radiologi : 1. Foto thorax PA dan lateral : Tampak infiltrat pada paru bagian basal dengan daerah radiolusen yang multiple menyerupai sarang lebah. 2. Bronkografi : Diagnosis pasti untuk bronkiektasis, dengan memasukan bahan kontras ke dalam saluran pernafasan yang nantinya akan tampak kelainan ektasis. Uji faal paru : Hampir sama dengan penyakit lain FVC sedikit turun FEV 1 / FVC bervariasi (obstruksi dengan derajat bervariasi) Kapasitas difusi turun Hipoksemi ringan Diagnosis : Tampak pelebaran bronkus pada pemeriksaan bronkografi / CT scan. Terapi : a. Konservatif : Mengobati penyakit dasar Drinase postural Penggunaan antibiotika yang tepat dan segera Mukolitik dan ekspektoran, terutama bila sputum kental sehingga sukar dikeluarkan/dibatukan b. Suportif : Memperbaiki keadaan umum Psikoterapi agar tidak menarik diri dari lingkungan c. Pembedahan : Paling ideal dilakukan reseksi pada bagian yang sakit Indikasi : batuk darah berulang, proses ektasis yang local/soliter Kontraindikasi : pada bronkoektasis yang difuse, faal paru yang jelek 3. Bronkitis Kronik Bronkhitis kronis adalah kelainan yang ditandai oleh pembentukan lendir berlebihan dalam bronkhi dan dimanifestasikan oleh batuk kronis dan pembentukan sputum selama minimal 3 bulan per tahun untuk setidaknya 2 tahun yang berturut-turut. Sputum yang dihasilkan pada bronkhitis kronis mungkin mukoid atau mukopurulen. 5
Gambar 3. Bronkitis Bronkitis ini sangat erat berhubungan dengan emfisema tetapi biasanya didefinisikan sebagai abnormalitas yang mencakup sekresi mukus berlebihan dan inflamasi bronkial, sedangkan emfisema melibatkan degenerasi parenkim alveolar. Bronkitis dapat menimbulkan hal berikut: 1) peningkatan tahanan jalan napas dengan atau tanpa perubahan emfisema; 2) gagal jantung kanan (cor pulmonale); 3) displasia sel epitel pernapasan, yang dapat berubah menjadi keganasan. Manifestasi klinis mencakup sianosis, produksi sputum berlebihan, derajat hiperinflasi ringan, hiperkapnia nyata, dan hipoksemia berat. 6
4. Empysema Emfisema adalah keadaan paru yang ditandai oleh pembesaran abnormal menetap ruang udara di sebelah distal bronkiolus terminalis, disertai kerusakan dindingnya tanpa fibrosis yang nyata.
Gambar 4. Emfisema Emfisema adalah penyakit obstruktif kronis dengan karakteristik penurunan elastisitas paru dan luas permukaan alveolus berkurang akibat destruksi dinding alveolus dan pelebaran ruang distal udara ke bronkiolus terminal. Kerusakan dapat terbatas hanya di bagian sentral lobus, dalam hal ini yang paling terpengaruh adalah integritas dinding bronkiolus, atau dapat mengenai paru secara keseluruhan, yang menyebabkan kerusakan bronkus dan alveolus.
Hilangnya elastisitas paru dapat memengaruhi alveolus dan bronkus. Elastisitas berkurang akibat destruksi serabut elastik dan kolagen yang terdapat di seluruh paru dari produk yang dihasilkan dengan mengaktivasi makrofag alveolus. Penyebab pasti emfisema masih belum jelas, tetapi lebih dari 80% kasus, penyakit biasnya muncul setelah bertahun-tahun merokok. 7 Emfisema diklasifikasikan berdasarkan distribusi anatomiknya di dalam lobulus. Ingat, lobulus merupakan satu kelompok asinus, unit pernapasan terminal yang mengandung alveolus. Terdapat empat tipe utama, yaitu (1) sentriasinus (2)parasinus, (3) paraseptum, dan (4) irregular. Dari keempatnya, hanya dua pertama yang menyebabkan hambatan saluran napas secara signifikan. 8 Pada emfisema ditemukan manifestasi klinis Dispnea dengan awitan tersembunyi
1. Riwayat perokok kretek, batuk kronis, mengi, sesak napas, dan takipnea, diperburuk dengan infeksi pernapasan 2. Latihan ringan menimbulkan dispnea dan keletihan 3. Pada inspeksi, dada tong akibat udara terjebak, kehilangan massa otot, dan pernapasan dengan bibir. 4. Pada auskultasi, bunyi napas hilang disertai krakles, ronki, dan perpanjangan ekspirasi. 5. Hiperresonan pada perkusi, dan menurun pada fremitus. 6. Anoreksia, penurunan berat badan, dan kelemahan. 7. Hipoksemia dan hiperkapnia tahap lanjut 8. Rekasi inflamasi dan infeksi akibat penumpukan sekresi.
5. Congestive Heart Failure (CHF) 9
Definisi : Gagal jantung sering disebut juga gagal jantung kongestif (CHF) adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap nutrien dan oksigen. Mekanisme yang mendasar tentang gagal jantung termasuk kerusakan sifat kontraktil dari jantung, yang mengarah pada curah jantung kurang dari normal. Kondisi umum yang mendasari termasuk aterosklerosis, hipertensi atrial, dan penyakit inflamasi atau degeneratif otot jantung. Sejumlah faktor sistemik dapat menunjang perkembangan dan keparahan dari gagal jantung. Peningkatan laju metabolic (misalnya: demam, koma, tiroktoksikosis), hipoksia dan anemia membutuhkan suatu peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen. Etiologi Di negara negara berkembang , penyebab tersering adalah : 1. Kelainan otot jantung menyebabkan penurunan kontraktilitas jantung. Hal yg mendasari penyebab kelainan fungsi otot mencakup atero sclerosis koroner, hipertensi arterial dan degeneratif atau inflamasi. 2. Penyakit arteri koroner yang menimbulkan infark miokard dan tidak berfungsinya miokardium (kardiomiopati iskemik) karena terganggunya aliran darah keotot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis akibat penumpukan as. Laktat. Infark miokard biasanya mendahului terjadinya gagal jantung. Penyebab paling sering adalah kardiomiopati alkoholik, miokarditis viral (termasuk infeksi HIV) dan kardiomiopati dilatasi tanpa penyebab pasti (kardiomiopati idiopatik). 3. Hipertensi Sistemik / pulmonal (peningkatan afterload), meningkatka beban kerja jantung mengakibatkan hipertropi serabut otot jantung. Efek tersebut (hipertropi miokard) dianggap sebagai kompensasi karena meningkatkan kontraktilitas jantung, karena alas an yg tidak jelas hipertropi otot jantung dapat berfungsi secara normal, akhirnya terjadi gagal jantung. 4. Peradangan dan penyakit myocardium degeneratif gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun. 5. Penyakit jantung lain. Mekanisme yang biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah melalui jantung (mis; stenosis katup semilunair), ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah (mis; tamponade pericardium, perikarditis konstriktif, atau stenosis katup AV), atau pengosongan jantung abnormal (mis; insuf katup AV). Peningkatan mendadak afterload akibat meningkatnya tekanan darah sistemik (hipertensi Maligna) dapat menyebabkan gagal jantung meskipun tidak ada hipertropi miokardial. 6. Faktor sistemik : demam, tirotoksikosis, hipoksia, anemia ini memerlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia dan anemia dapat menurunkan suplai oksigen kejantung. Asidosis (respiratorik / metabolic) dan abnormalitas elektrolit dapat menurunkan kontraktilitas jantung. Disritmia jantung akan terjadi dengan sendirinya secara sekunder akibat gagal jantung menurunkan efisiensi keseluruhan fungsi jantung. Patofisiologi Jika terjadi gagal jantung, tubuh mengalami beberapa adaptasi baik pada jantung dan secara sistemik. Jika stroke volume kedua ventrikel berkurang oleh karena penekanan kontraktilitas atau afterload yang sangat meningkat, maka volume dan tekanan pada akhir diastolik dalam kedua ruang jantung akan meningkat. Ini akan meningkatkan panjang serabut miokardium akhir diastolik, menimbulkan waktu sistolik menjadi singkat. Jika kondisi ini berlangsung lama, terjadi dilatasi ventrikel . Cardiac output pada saat istirahat masih bisa baik tapi, tapi peningkatan tekanan diastolik yang berlangsung lama /kronik akan dijalarkan ke kedua atrium dan sirkulasi pulmoner dan sirkulasi sitemik. Akhirnya tekanan kapiler akan meningkat yang akan menyebabkan transudasi cairan dan timbul edema paru atau edema sistemik.penurunan cardiac output, terutama jika berkaitan dengan penurunan tekanan arterial atau penurunan perfusi ginjal, akan mengaktivasi beberapa sistem saraf dan humoral. Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis akan memacu kontraksi miokardium, frekuensi denyut jantung dan vena ; perubahan yang terkhir ini akan meningkatkan volume darah sentral.yang selanjutnya meningkatkan preload. Meskipun adaptasi adaptasi ini dirancang untuk meningkatkan cardiac output, adaptasi itu sendiri dapat mengganggu tubuh. Oleh karena itu , takikardi dan peningkatan kontraktilitas miokardium dapat memacu terjadinya iskemia pada pasien pasien dengan penyakit arteri koroner sebelumnya dan peningkatan preload dapat memperburuk kongesti pulmoner. Aktivasi sitem saraf simpatis juga akan meningkatkan resistensi perifer ;adaptasi ini dirancang untuk mempertahankan perfusi ke organ organ vital, tetapi jika aktivasi ini sangat meningkatmalah akan menurunkan aliran ke ginjal dan jaringan. Resitensi vaskuler perifer dapat juga merupakan determinan utama afterload ventrikel, sehingga aktivitas simpatis berlebihan dapat meningkatkan fungsi jantung itu sendiri. Salah satu efek penting penurunan cardiac output adalah penurunan aliran darah ginjal dan penurunan kecepatan filtrasi glomerolus, yang akan menimbulkan retensi sodium dan cairan. Sitem rennin angiotensin - aldosteron juga akan teraktivasi, menimbulkan peningkatan resitensi vaskuler perifer selanjutnta dan penigkatan afterload ventrikel kiri sebagaimana retensi sodium dan cairan. Gagal jantung berhubungan dengan peningkatan kadar arginin vasopresin dalam sirkulasi yang meningkat, yang juga bersifat vasokontriktor dan penghambat ekskresi cairan. Pada gagal jantung terjadi peningkatan peptida natriuretik atrial akibat peningkatan tekanan atrium, yang menunjukan bahwa disini terjadi resistensi terhadap efek natriuretik dan vasodilator. Gagal jantung pada masalah utama kerusakan dan kekakuan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan curah jantung normal masih dapat dipertahankan. Volume sekuncup, jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi tergantung pada tiga faktor : 1. Preload : jumlah darah yang mengisi pada jantung berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut jantung. 2. Kontraktilitas: mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada tingkat sel dan b/d perubahan panjang regangan serabut jantung 3. Afterload : mengacu pada besarnya tekanan ventrikel yg harus dihasilkan untuk memompa darah melawan perbedaan tekanan yg ditimbulkan oleh tekanan arteriole. Manifestasi Klinik 1. Peningkatan volume intravaskular (gambaran dominan) 2. Kongesti jaringan terjadi akibat tekanan arteri dan vena meningkat akibat gagal jantung 3. Peningkatan desakan vena pulmonal dapat menyebabkan cairan mengalir dari kapiler paru kealveoli, akibatnya terjadi edema paru, ditandai oleh batuk dan sesak nafas 4. Peningkatan desakan vena sistemik seperti yang terlihat pada edema perifer umum dan penambahan berat badan. 5. Penurunan curah jantung dengan disertai pening, kekacauan mental, keletihan, intoleransi jantung terhadap latihan, ekstremitas dingin dan oliguria. 6. Tekanan perfusi ginjal menurun mengakibatkan pelepasan rennin dari ginjal menyebabkan sekresi aldosteron, retensi Na dan cairan, serta peningkatan volume Gagal jantung ada dua yaitu gagal jantug kanan dan gagal jantung kiri, ventrikel kanan dan ventrikel kiri dapat mengalami kegagalan terpisah. Gagal ventrikel kiri paling sering mendahului gagal ventrikel kanan. Gagal ventrikel kiri sinonim dengan edem paru akut.
1. Gagal Jantung Kiri : Ventrikel kiri tidak mampu memompa darah dari paru sehingga terjadi peningkatan tekanan sirkulasi paru mengakibatkan cairan terdorong kejaringan paru. Tandanya : (dispnu, batuk, mudah lelah, tachikardi, bunyi jantung S3, cemas, gelisah). Dispnu karena enimbunan cairan dalam alveoli, ini bias terjadi saat istirahat / aktivitas. Ortopnu : kesulitan bernafas saat berbaring, biasanya yg terjadi malam hari (paroximal nocturnal dispnu / PND) Batuk : kering / produktif, yang sering adalah batuk basah disertai bercak darah Mudah lelah : akibat curah jantung < menghambat jaringan dari sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil katabolisme. Juga meningkatnya energi yg digunakan. Gelisah dan cemas : akibat gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat kesakitan bernafas.
2. Gagal Jantung Kanan : Sisi jantung kanan tidak mampu mengosongkan volume darah dengan dengan adekuat sehingga dapat mengakomodasi darah secara normal kembali dari sirkulasi vena. Manifestasi klinis yang nampak adalah : edema ekstremitas (pitting edema), penambahan BB, hepatomegali, distensi vena leher, asites (penimbunan cairan dalam rongga peritoneum), anoreksia, mual, muntah, nokturia dan lemah. Edema ; mulai dari kaki dan tumit, bertahap keatas tungkai dan paha akhirnya kegenalia eksterna dan tubuh bagian bawah. Pitting edema : edem dg penekanan ujung jari Hepatomegali : nyeri tekan pada kanan atasabdomen karena pembesaran vena dihepar. Asites : pengumpulan cairan dalam rongga abdomen dapat mengakibatkan tekanan pada diafragma dan distress pernafasan. Anoreksia dan mual : terjadi karena desakan vena dan stasis vena dalam rongga abdomen Nokturia : ingin kencing malam hari terjadi karena ferfusi renal didukung oleh posisi penderita saat berbaring. Diuresis terbaik pada malam hari karena curah jantung akan membaik dg istirahat. Lemah : karena menurunnya curah jantung, gangguan sirkulasi dan pembuangan produk sampah katabolisme yg tidak adekuat dari jaringan. Pemeriksaan Penunjang 1. Hitung darah dapat menunjukan anemia , merupakan suatu penyebab gagal jantung output tinggi dan sebagai faktor eksaserbasi untuk bentuk disfunsi jantung lainnya 2. Pemeriksaan biokimia untuk menunjukan insufiensi ginjal 3. Tes fungsi ginjal untuk menentukan apakah gagal jantung ini berkaitan dengan azotemia prerenal 4. Pemeriksaan elektrolit untuk mengungkap aktivitas neuroendokrin 5. Fungsi tiroid pada pasien usia lanjut harus dinilai untuk mendeteksi tirotoksikosis atau mieksedema tersembunyi 6. Pemeriksaan EKG 7. Radiografi dada 8. Angiografi radionuklir mengukur fraksi ejeksi ventrikel kiri dan memungkinkan analisis gerakan dinding regional 9. Kateterisasi jantung untuk menentukan penyakit arteri koroner sekaligus luas yang terkena. Komplikasi 1. Kematian 2. Edema pulmoner akut Penatalaksanaan 1. Koreksi sebab sebab yang dapt diperbaiki , penyebab penyebab utama yang dapat diperbaiki adalah lesi katup jantung, iskemia miokard, aritmia, depresi miokardium diinduksi alcohol, pirau intrakrdial dan keadaan output tinggi. 2. Diet dan aktivitas, pasien pasien sebaiknya membatasi garam (2 gr natrium atau 5 gr garam). Pada gagal jantung berat dengan pembatasan aktifitas, tetapi bila pasien stabil dianjurkan peningkatan aktifitas secara teratu. 3. Terapi diuretic 4. Penggunaan penghambat sistem rennin angiotensin aldosteron 5. Terapi beta blocker 6. Terapi glikosida digitalis 7. Terapi vasodilator 8. Obat inotropik positif generasi baru 9. Penghambat kanal kalsium 10. Atikoagulan 11. Terapi antiaritmia 12. Revaskularisasi korone 13. Transplantasi jantung 14. Kardoimioplasti Etiologi 3
Faktor resiko : Merokok : paling sering ; tergantung dari dosis rokok, usia mulai merokok, jumlah batang rokok/tahun, lamanya merokok Terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja Infeksi saluran nafas bawah yang berulang Genetik : defisiensi antitripsin 1 Status sosial ekonomi Stres oksidatif : terjadi ketidakseimbangan antara oksidan dan anti oksidan Epidemiologi 3
Akhir-akhir ini chronic obstructive pulmonary disease (COPD) atau penyakit paru obstruksi kronik semakin menarik untuk dibicarakan oleh karena prevalensi dan angka mortalitas yang terus meningkat. Di Amerika kasus kunjungan pasien PPOK di instalasi gawat darurat mencapai angka 1,5 juta, 726.000 memerlukan perawatan di rumah sakit dan 119.000 meninggal selama tahun 2000. 7 Sebagai penyebab kematian, PPOK menduduki peringkat ke empat setelah penyakit jantung, kanker dan penyakit serebrovaskular. Biaya yang dikeluarkan untuk penyakit ini mencapai 24 miliar per tahunnya. World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa menjelang lensi tahun 2020 prevalensi PPOK akan meningkat. Akibat sebagai penyebab penyakit tersering peringkatnya akan meningkat dari keduabelas menjadi ke lima dan sebagai penyebab kematian akan meningkat dari ke enam menjadi ke tiga. Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga Dep. Kes. RI tahun 1992, PPOK bersama asma bronkial menduduki peringkat keenam. Merokok merupakan faktor risiko terpenting penyebab PPOK di samping faktor risiko lainnya seperti polusi udara, faktor genetik dan lain-lainnya. Patofisiologi 3
Gambar 5. Konsep patogenesis PPOK 2 Bronkhitis kronik
Keadaan klinis yang jelas dari bronchitis-bronkiolitis kronik adalah hipersekresi dari mukus. Faktor penyebab tunggal yang paling penting adalah perokok, walaupun polusi udara yang lain seperti sulphur dioksida dan nitrogen dioksida dapat menyertainya. Iritan ini secara langsung atau melalui jalur neurohumoral dapat menyebabkan hipersekresi kelenjar mukus bronkus, diikuti oleh hiperplasia dan metaplasia, pembentukan sel-sel goblet yang mengeluarkan musin pada epitel permukaan kedua saluran udara besar ataupun yang kecil. Sekret ini apabila banyak akan menyebabkan hambatan aliran udara pada saluran udara yang lebih besar. Dalam saluran udara kecil bahkan dapat lebih membuntu, karena adanya emfisema sering menimbulkan hilangnya jaringan penyangga, dan perubahan tekanan udara di dalam bronkioli alveoli menyempitkan jalan udara dan membatasi aliran udara. Keradangan mikrobial seringkali terjadi, tetapi berperan sekunder. Organisme tuan rumah telah dapat diisolasi dari penderita, namun yang paling sering adalah spesies Klebsiella dan Staphylococcus koagulase positif. Agen virus seperti adenovirus dan rhinovirus sincitia dari pernafasan kadang-kadang juga dapat diidentifikasi. Emfisema Asal usul dari dua bentuk emfisema, centriacinar dan panacinar, tidak sepenuhnya dipahami. Terdapat opini yang menyatakan bahwa emfisema timbul sebagai konsekuensi dari dua ketidakseimbangan yang kritikal, yaitu ketidakseimbangan protease-antiprotease dan oksidan-antioksidan. Ketidakseimbangan tersebut hampir selalu berdampingan, dan pada kenyataannya, efek mereka aditif dalam memproduksi hasil akhir dari kerusakan jaringan. a. Hipotesis ketidakseimbangan protease-antiprotease
menyebabkan kenaikan aktivitas elastase dalam paru, kemungkinan diikuti
beberapa penghambat dari antielastase. Sumber elastase masih belum dapat ditetapkan, tetapi umumnya dikaitkan dengan rangsangan rokok pada makin banyaknya jumlah neutrofil yang kaya dengan elastase dan enzim katabolik lain, serta makrofag monosit yang mengandung kadar elastase rendah pada kedua paru. Pada perokok, jumlah sel-sel tersebut akan lebih besar dalam paru dari non- perokok. Walaupun makrofag dominan, kadang-kadang juga terdapat neutrofil kemoatraktan.
b. Hipotesis ketidakseimbangan oksidan-antioksidan Pada keadaan normal, paru mengandung komplemen antioksidan ( superoksida dismutase, glutation) yang memastikan kerusakan yang diakibatkan oleh proses oksidasi adalah minimum. Asap rokok mengandung banyak radikal bebas yang dapat mengurangkan mekanisme kerja anti-oksidan, yang dapat memicu pada kerusakan sel. Merokok telah dilaporkan mempercepat inaktivasi alfa 1 antiproteinase karena mengandung oksidan.
Manifestasi Klinis 10
Tanda COPD: batuk, produksi sputum berlebihan (pada jenis bronchitis kronik), dispnea, obstruksi saluran napas yang progresif. Pada pemeriksaan spirometri, FEV1 di bawah predicterd, FEV1/ FVC di bawah predicted, perbaikan pada tes provokasi setelah pemberian bronkodilator < 12%. Dispnea progresif saat olahraga; dispnea nocturnal paroksismal; edema kaki atau perut kembung (cor pulmonale); batuk produktif; mengi .1,3 Gejala utama bronkitis kronik adalah batuk berdahak yang menetap. Selama bertahun-tahun, tidak ada gangguan pernapasan lain, tetapi akhirnya pasien mengalami sesak napas jika beraktivitas (berolahraga). Dengan berlalunya waktu dan biasanya dengan berlanjutnya merokok, elemen-elemen lain PPOK mulai muncul, termasuk hiperkapnia, hipoksemia dan sianosis ringan. Pada kasus yang klasik, bronkitis kronik murni dapat dibedakan dari emfisema yang menyertai, tetapi banyak pasien PPOK mengalami kedua penyakit ini. Bronkitis kronik berat yang telah berlangsung lam sering menyebabkan kor pulmonale dan gagal jantung. Kematian juga dapat disebabkan oleh semakin memburuknya fungsi pernapasan akibat infeksi bakteri akut berulang. Emfisema paru adalah suatu penyakit menahun, terjadi sedikit demi sedikit bertahun- bertahun. Pada awal penyakit emfisema tidak memberi gejala sampai 1/3 parenkim paru tidak mampu berfungsi. Pada penyakit selanjutnya, pada awalnya ditandai oleh sesak napas. Gejala lain adalah batuk, wheezing, berat badan menurun. Tanda klasik dari emfisema adalah dada seperti tong ( barrel chest) dan ditandai dengan sesak napas disertai ekspirasi memanjang karena terjadi pelebaran rongga alveoli lebih banyak dan kapasitas difus gas rendah. Biasanya mulai pada pasien perokok berumur 15- 25 tahun. Pada umur 25-35 tahun mulai timbul perubahan pada saluran nafas kecil dan fungsi paru. Umur 35-45 tahun timbul batuk yang produktif. Pada umur 45-55 tahun terjadi sesak nafas, hipoksemia dan perubahan spirometri.Pada umur 55-60 tahun sudah ada kor-pulmonal, yang dapat menyebabkan kegagalan nafas dan meninggal dunia. Dalam spectrum PPOK, dikenal dua gambaran klinis yang ekstrem: tipe A dan tipe B. Dulu dianggap bahwa tipe ini berkolerasi dengan jumlah relatif emfisema dan bronchitis kronik, khususnya dalam paru, tetapi keadaannya lebih rumit. Walaupun demikian, penjelasan kedua pola gambaran klinis ini masih berguna karena mereka mewakili patofisiologi yang berbeda. Dalam praktik, kebanyakan pasien memiliki gambaran keduanya.
Tipe A Gambaran khasnya adalah seorang laki-laki pada pertengahan usia 50-an yang semakin sesak napas dalam 3 atau 4 tahun terakhir. Mungkin tidak ada batuk, mungkin juga terdapat sedikit dahak putih. Pemeriksaan fisik menunjukkan badan kurus disertai penurunan berat badan. Tidak ada sianosis. Dada mengembang berlebihan dengan suara napas yang cukup bersih tanpa suara tambahan. Foto toraks memastikan inflasi berlebihan dengan diafragma yang rendah dan mendatar, mediastinum yang sempit, dan peningkatan translusensi retrosternal (di antara sternum dan jantung pada pandangan lateral). Selain itu, foto toraks menunjukkan corakan pembuluh paru perifer yang menipis dan menyempit. Pasien dijuluki sebagai pink puffer.
Tipe B Gambaran yang khas adalah seorang laki-laki berusia 50-an dengan riwayat batuk kronis disertai ekspektorasi selama beberapa tahun. Ekspektorasi ini semakin bertambah berat, awalnya hanya terjadi sewaktu musim dingin, tetapi akhirnya terjadi hampir sepanjang tahun. Eksaserbasi akut dengan spututm yang jelas purulen semakin sering terjadi. Sesak napas saat kelelahan secara bertahap memburuk, yang semakin mengurangi toleransi terhadap olahraga. Pasien hampir selalu seorang perokok selama bertahun-tahun. Hal ini dapat ditunjukkan dengan jumlah bungkus rokok per hari dikalikan dengan jumlah tahun merokok untuk menyatakan bungkustahun (pack years). Pada pemeriksaan pasien memiliki bentuk tubuh gemuk dengan kulit wajah pletorik dan sedikit sianosis. Auskultasi menunjukkan rales dan ronki yang menyebar. Mungkin tampak peningkatan tekanan vena jugularis dan edema pergelangan kaki. Foto toraks menunjukkan pembesaran jantung, kongesti lapangan paru, dan peningkatan corakan akibat infeksi lama. Garis paralel (tram lines) dapat terlihat, mungkin disebabkan oleh penebalan dinding bronchi yang meradang. Pada autopsy, perubahan inflamasi kronis pada bronchi merupakan tanda pasien menderita bronchitis berat, tetapi mungkin juga terdapat emfisema berat. Pasien ini kadang-kadang disebut blue bloaters.
Dasar patologik tipe A dan B Seperti yang ditunjukkan sebelumnya, awalnya diyakini bahwa pasien tie A sebagian besar menderita emfisema sementara pasien tipe B terutama menderita bronchitis kronis. Namun, pernyataan ini terlalu sederhana. Bagian yang membingungkan adalah bahwa kriteria yang berbeda untuk kedua tipe tersebut telah digunakan oleh dokter yang berbeda. Biasanya, jika kita membatasi klasifikasi tipe B untuk pasien batuk kronik berat dengan ekspektorasi, seperti pada deskripsi yang asli, pasien demikian cenderung menunjukkan gambaran patologik bronchitis kronk. Akan tetapi, luasnya emfisema pada paru sulit untuk diperkirakan selama hidup. Beberapa dokter yakin bahwa perbedaan terpenting antara kedua tipe adalah dalam pengendalian napas. Mereka menyatakan bahwa hipoksemia yang lebih berat dan dampak insiden kor pulmonale yang lebih tinggi pada pasoen tipe B dapat disebabkan oleh dorongan ventilasi yang berkurang, terutama sewaktu tidur. 14
PINK PUFFER BLUE BLOATER Ukuran tubuh Kurus dan ramping Obese Penyakit yang mendasari Emfisema Bronkhitis kroniks Usia 50-75 tahun 40-55 tahun Sputum Sedikit Banyak Onset Dyspnea Batuk PA paru Emfisema panasinar Emfisema sentrilobular Cor pulmonal (-) (+) Polisetemia sekunder (-) (+) Sianosis Sedikit atau (-) (+) Gas darah PCO 2 rendah PCO 2 meningkat
Penatalaksanaan 3
1. Medical Mentosa a. Bronkodilator Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang ( long acting ). Macam - macam bronkodilator : Golongan antikolinergik Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ). Golongan agonis beta - 2 Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaandapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat. Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2 Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita. Golongan xantin Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak ( pelega napas, bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah. b. Antiinflamasi Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison.Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg. c. Antibiotika Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan : Lini I : amoksisilin, makrolid Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon, makrolid bar Perawatan di Rumah Sakit : Amoksilin dan klavulanat Sefalosporin generasi II & III injeksi Kuinolon per oral ditambah dengan yang anti pseudomonas Aminoglikose per injeksi Kuinolon per injeksi Sefalosporin generasi IV per injeksi d. Antioksidan Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N - asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin. e. Mukolitik Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin. f. Antitusif Diberikan dengan hati hati
2. Non-Medical Mentosa a. Ventilasi Mekanik Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah. Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara : ventilasi mekanik dengan intubasi ventilasi mekanik tanpa intubasi
b. Nutrisi Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan energy akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah Malnutrisi dapat dievaluasi dengan : Penurunan berat badan Kadar albumin darah Antropometri Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi) Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia) Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresig tidak akan mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan CO 2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster. Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat. Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan ventilasi semenit oxygen comsumption dan respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada PPOKdengan gagal napas kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan kelelahan. Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder darigangguan ventilasi. Gangguan elektrolit yang terjadi adalah : Hipofosfatemi Hiperkalemi Hipokalsemi Hipomagnesemi Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian nutrisi dengan komposisi seimbang, yakni porsi kecil dengan waktu pemberian yang lebih sering. c. Rehabilitasi PPOK Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki kualiti hiduppenderita PPOK. Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai: Simptom pernapasan berat Beberapa kali masuk ruang gawat darurat Kualiti hidup yang menurun
Komplikasi 11
Kor Pulmonal. Kor pulmonal disebabkan oleh peningkatan tekanan darah di arteri paru-paru, pembuluh yang membawa darah dari jantung ke paru-paru. Hal ini menyebabkan pembesaran dan kegagalan berikutnya dari sisi kanan jantung. Eksaserbasi akut PPOK. Secara sederhana, eksaserbasi dapat didefinisikan sebagai memburuknya gejala PPOK. Banyak orang dengan PPOK menderita beberapa episode eksaserbasi akut tahun, sering menyebabkan rawat inap meningkat, kegagalan pernapasan dan bahkan kematian. Hipertensi paru. Hipertensi paru terjadi ketika ada abnormal tekanan tinggi dalam pembuluh darah paru-paru. Normalnya, darah mengalir dari jantung melewati paru-paru, di mana sel-sel darah mengambil oksigen dan mengirimkannya ke tubuh. Pada hipertensi paru, arteri paru menebal. Ini berarti darah kurang mampu mengalir melalui pembuluh darah. Pneumotoraks. Pneumotoraks didefinisikan sebagai akumulasi udara atau gas di ruang antara paru dan dinding dada. Pneumotoraks terjadi karena lubang yang berkembang di paru- paru, yang memungkinkan udara untuk melarikan diri dalam ruang di sekitar paru- paru, menyebabkan paru-paru untuk sebagian atau seluruhnya runtuh. Orang yang memiliki PPOK berada pada risiko lebih besar untuk pneumotoraks karena struktur paru-paru mereka lemah dan rentan terhadap perkembangan spontan dari jenis lubang. Polisitemia sekunder. Polisitemia sekunder diperoleh dari kelainan langka yang ditandai oleh kelebihan produksi sel darah merah dalam darah. Ketika terlalu banyak sel darah merah yang diproduksi, darah menjadi tebal, menghalangi perjalanan melalui pembuluh darah kecil. Pada pasien dengan COPD, polisitemia sekunder dapat terjadi sebagai tubuh mencoba untuk mengkompensasi penurunan jumlah oksigen dalam darah. Kegagalan pernafasan. Kegagalan pernapasan terjadi ketika paru-paru tidak dapat berhasil mengekstrak oksigen yang cukup dan / atau menghapus karbon dioksida dari tubuh. Kegagalan pernapasan dapat disebabkan oleh sejumlah alasan, termasuk PPOK atau pneumonia. 9
Prognosis Secara umumnya, prognosis yang didapatkan adalah buruk. PPOK merupakan penyakit yang secara progresif mengalami perburukan, terutama jika pasien terus merokok. Pasien dengan PPOK mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk mendapat infeksi paru-paru yang dapat membawa kepada kematian pasien. Apabila terjadi kerusakan yang non-reversible pada paru, jantung juga akan ikut terpengaruh. Pasien dengan PPOK akhirnya mati apabila paru-paru tidak dapat berfungsi dan oksigen tidak bisa masuk ke organ tubuh dan jaringan, atau pada saat terjadinya komplikasi seperti infeksi berat. Pengobatan yang tepat pada PPOK dapat membantu mencegah komplikasi, memperpanjang jangka hidup selain meningkatkan kualitas hidup pasien.3 Kesimpulan Hipotesis diterima, laki-laki 57 tahun sesak nafas 5 jam lalu, riwayat sesak sejak 3 tahun lalu, diperberat dengan aktifitas, batuk dan demam dan disertai batuk berdahak putih. Riwayat merokok sejak 27 tahun diduga penyakit paru obtruktif kronik (PPOK). Daftar Pustaka 1. Sudoyo Aru, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata Marcellus, Setiati Siti. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jilid I. Jakarta: EGC; 2007. Hal 18. 2. Bickley S. Lynn. Buku saku pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates. Edisi 5. Jakarta: EGC; 2008. Hal 15. 3. Perhimpunan dokter paru indonesia. Penyakit paru obtruktif kronik. Diunduh dari : http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf, 30 Juli 2012. 4. Nugraha D I, Yosan P, Caecilia D W. Penyakit Asma. Diunduh dari : http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Cerika%20Rismayanthi,%20S.Or./DEFINISI%2 0ASMA.pdf, 30 Juli 2012. 5. Effendy C. Keperawatan medikal bedah: klien dengan gangguan sistem pernapasan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2004. h. 115-8 6. Tambayong. Patofisiologi untuk keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2000. h. 99-105. 7. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins & cotran dasar patologis penyakit. Septianti N, editor. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2009. h. 736-47. 8. Corwin EJ. Handbook of pathophysiology. 3 rd Ed. Yudha EK, Wahyuningsih E, Yulianti D, Karyuni PE, editor. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2009. h. 571-6. 9. Tirtonegoro S. Congestive Heart Failure. Diunduh dari : http://ppni- klaten.com/index.php?option=com_content&view=article&id=70:chf&catid=38:ppni-ak- category&Itemid=66, 30 Juni 2012. 10. Djojodibroto RD. Respirologi (respiratory medicine). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2009. h. 52-125. 11. Deborah Leader. Sebuah panduan komprehensif untuk komplikasi PPOK. Diunduh darihttp://copd.about.com/od/complicationsofcopd/tp/copdcomplications.htm/01/06/2009, 30 Juli 2012.