Limphocyte-predominan (LP)
Lymphocyte-depletion (LD)
Noduler-sclerosis (NS)
EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian Penyakit Hodgkin yang berdasarkan populasi di Indonesia belum
ada. Pada KOPAPDI II di Surabaya tahun 1973 dilaporkan bahwa di bagian penyakit
dalam RS. Dr.Sutomo Surabaya antara tahun 1963-1972 (9 tahun) telah dirawat 26.815
pasien, dimana 81 diantaranya adalah limfoma malignum dan 12 orang adalah penyakit
Hodgkin. Pada KOPAPDI VIII tahun 1990 di Yogya dilaporkan bahwa selama 1 tahun di
bagian penyakit dalam RSUP Dr. Sardjito dirawat 2246 pasien, 32 di antaranya adalah
limfoma malignum dan semuanya adalah limfoma Hodgkin. Dari laporan-laporan
tersebut di atas terlihat bahwa di Indonesia limfoma non-Hodgkin lebih banyak dari
penyakit Hodgkin, dan pria selalu lebih banyak daripada wanita.1
Pada limfoma non Hodgkin terdapat peningkatan insidensi yang linear seiring
dengan usia. Sebaliknya, pada penyakit Hodgkin di Amerika Serikat dan di negara-negara
barat yang telah berkembang, kurva insidensi spesifik umur berbentuk bimodal dengan
puncak awal pada orang dewasa muda (15-35 tahun). Dan puncak kedua setelah 50
tahun. Penyakit Hodgkin lebih prevalen pada laki-laki dan bila kurva insidensi spesifik
umur dibandingkan dengan distribusi jenis kelamin pasien, maka peningkatan prevalensi
laki-laki lebih nyata pada dewasa muda. Pada penyakit Hodgkin anak, predominasi lakilaki ini lebih mencolok dengan lebih dari 80% pasien adalah laki-laki. Hal ini
menyebabkan beberapa peneliti beranggapan bahwa terdapat peningkatan kerentan yang
berhubungan dengan faktor genetik terkait seks dan hormonal.2
PATOGENESIS
Asal-usul penyakit Hodgkin tidak diketahui. Pada masa lalu, diyakini bahwa
penyakit Hodgkin merupakan reaksi radang luar biasa (mungkin terhadap agen infeksi)
yang berperilaku seperti neoplasma. Tetapi, kini secara luas diterima bahwa penyakit
Hodgkin merupakan kelainan neoplasi dan bahwa sel Reed-Sternberg merupakan sel
transformasi. Tetapi asal-usul sel Reed-Sternberg tetap menjadi teka-teki. Sel ReedSternberg tidak membawa penanda permukaan sel B atau T. Tidak seperti monosit, tidak
memiliki komplemen dan reseptor Fc. Beberapa pengkaji telah menentukan berdasarkan
dari penderita dengan jalur sel penyakit Hodgkin, yang agaknya berasal dari sel ReedSternberg.5
Sel-sel yang mirip Reed-Sternberg dari perbenihan ini tampak menimbulkan
antigen permukaan dengan sejumlah kecil sel dendrit pada daerah parafolikel nodus
limfatik. Mungkin termasuk kelas antigen HLA II sel dendrit positif, yang aktif dalam
pengenalan antigen oleh sel T ?. Berkurangnya kapasitas memberitahukan antigen
1
2
5
akibat
laporan
yang
menunujukkan
kemungkinan
adanya
suatu
Sebagian besar pasien penyakit Hodgkin tidak atau sedikit mengalami gejla yang
berkaitan dengan penyakitnya. Gejala terssering adalah demam ringan yang mungkin
disertai keringat malam. Untuk sebagian pasien, keringat malam mungkin merupakan
satu-satunya keluhan. Beberapa pasien mungkin mengalami demam naik turun disertai
banyak keringat malam (demam Pel-Epstein). Demam ini dapat menetap selama
beberapa minggu, diikuti oleh interval afebris. Demam dan keringat malam lebih sering
ditemukan pada pasien tua dan pada pasien dengan penyakit stadium lanjut.
Gejala awal penting lainnya adalah penurunan berat badan lebih dari 10 persen
dalam 6 bulan atau kurang tanpa sebab yang jelas. Gejala lain yang sering ditemukan
adalah rasa lemah, malaise dan cepat lelah. Pruritus terdapat pada sekitar 10n persen
pasien pada saat diagnosis, gejala ini biasanya generalisata dan mungkin berkaitan
dengan ruam kulit atau walaupun jarang merupakan satu-satunya gejala penyakit.
Kelainan mediastinum, paru, pleura atau pericardium mungkin disertai batuk,
nyeri dada, sesak napas atau osteoartropi hipertrofik, keterlibatan tulang mungkin disertai
nyeri tulang. Kadang-kadng pasien datang dengan gejala sumbatan vena kava superior
sebagai gejala awal. Kompresi mendadak korda spinalis dapat merupakan gejala awal
tetapi biasanya merupakan penyulit penyakit progresif stadium lanjut. Nyeri kepala atau
gangguan penglihatan dapat ditemukan pada pasien dengan penyakit Hodgkin
intrakranium dan ketrlibatan abdomen menimbulkan nyeri abdomen, gangguan usus dan
bahkan asites.
STADIUM PENYAKIT.
Pada penyakit ini dibedakan 2 macam staging :
Clinical staging
Staging dilakukan secara klinis saja tentang ada tidaknya kelainan organ tubuh.
Pathological staging.
Penentuan stadium juga didukung dengan adanya kelainan histopatologis pada
jaringan yang abnormal. Pathological staging ini dinyatakan pula pada hasil
biopsi organ, yaitu : hepar, paru, sumsum tulang, kelenjar, limpa, pleura, tulang,
kulit.
Staging yang dianut saat ini adalah staging menurut Ann Arbor yang di modifikasi
sesuai konferensi Cotswald.1
Table 3. Staging menurut system Ann Arbor modifikasi Costwald.
Stage I : Penyakit menyerang satu regio kelenjar getah bening atau satu struktur
limfoid (missal : limpa, timus, cincin Waldeyer).
Stage II : Penyakit menyerang dua atau lebih regio kelenjar pada satu sisi
diafragma, jumlah regio yang diserang dinyatakan dengan subskrip
angka, misal : II2, II3, dsb.
Stage III : Penyakit menyerang regio atau struktur limfoid di atas dan di bawah
diafragma.
III1 : menyerang kelenjar splenikus hiler, seliakal, dan portal
III2 : menyerang kelenjar para-aortal, mesenterial dan iliakal.
Stage IV : Penyakit menyerang organ-organ ekstra nodul, kecuali yang
tergolong E (E: bila primer menyerang satu organ ekstra nodal).
A : bila tanpa gejala sistemik
B : bila disertai gejala sistemik yaitu: panas badan 38C yang tak jelas
sebabnya; penurunan berat badan 10 % atau berkeringat malam atau setiap
kombinasi dari 3 gejala itu selama 6 bulan terakhir penyakit ini.
X : bila ada bulky mass ( 1/3 lebar thorax dan 10 cm untuk ukuran kelenjar).
S : bila limpa (spleen) terkena.
Limfografi bipedal
LED
USG abdomen
MRI
Gallium scanning
asam laktat, fosfatase alkali, lisozim, globulin, protein C-reaktif dan reaktan fase akut lain
dalam serum.4
4. SITOLOGI BIOPSI ASPIRASI
Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH) sering digunakan pada diagnosis
pendahuluan limfadenopati untuk identifikasi penyebab kelainan tersebut seperti reaksi
hiperplastik kelenjar getah bening, metastasis karsinoma dan limfoma malignum.
Penyulit lain dalam diagnosis sitologi biopsy aspirasi LH ataupun LNH adalah
adanya negatif palsu dianjurkan melakukan biopsy aspirasi multiple hole di beberapa
tempat permukaan tumor. Apabila ditemukan juga sitologi negatif dan tidak sesuai
dengan gambaran klinis, maka pilihan terbaik adalah biopsi insisi atau eksisi.
5. HISTOPATOLOGI
Biopsi tumor sangat penting, selain untuk diagnosis juga identifikasi subtype
histopatologi walaupun sitologi biopsy aspirasi jelas LH ataupun LNH. Biopsi dilakukan
bukan sekedar mengambil jaringan, namun harus diperhatikan apakah jaringan biopsy
tersebut dapat memberi informasi yang adekuat. Biopsi biasanya dipilih pada rantai KGB
di leher. Kelenjar getah bening di inguinal, leher bagian belakang dan submandibular
tidak dipilih disebabkan proses radang, dianjurkan agar biopsy dilakukan dibawah
anestesi umum untuk mencegah pengaruh cairan obat suntik local terhadap arsitektur
jaringan yang dapat mengacaukan pemeriksaan jaringan
6. RADIOLOGI
Termasuk didalamnya :
1. foto toraks untuk menentukan keterlibatan KGB mediastinal
2. Limfangiografi untuk menentukan keterlibatan KGB didaerah iliaka dan
pasca aortal
3. USG banyak digunakan melihat pembesaran KGB di paraaortal dan
sekaligus menuntun biopsi aspirasi jarum halus untuk konfirmasi sitologi.
4. CT-Scan sering dipergunakan untuk diagnosa dan evaluasi pertumbuhan LH
4
7. LAPAROTOMI
Laparotomi abdomen sering dilakukan untuk melihat kondisi KGB pada iliaka
para aotal dan mesenterium dengan tujuan menentukan stadium. Berkat kemajuan
teknologi radiology misalnya USG dan CT Scan ditambah sitologi biopsy aspirasi jarum
halus, tindakan laparotomi dapat dihindari atau sekurang-kurangnya diminimalisasi.
PENATALAKSANAAN
Terapi dapat dilihat dari beberapa aspek:
a.
b.
Penyakit yang dini (st I+II) atau yang sudah lanjut (st III+IV)
c.
I.
I.1.
Radioterapi saja.
Secara histories radioterapi saja dapat kuratif untuk penyakit Hodgkin
dini (st I+II) A. kurabilitasnya menurun bila ada penyakit dibawah diafragma,
karena itu untuk stadium IA dan IIA yang direncanakan akan diberi terapi radiasi
kuratif saja perlu dilakukan staging laparotomy untuk memastikan ada tidaknya
10
lesi dibawah diafragma. Bila ada lesi di bawah diafragma maka radioterapi saja
tidak cukupperlu ditambah dengan kemoterapi. Apabila bila ada tanda-tanda
prognosis yang buruk seperti : B symptoms dan bulky tumor, perlu kombinasi
radioterapi + kemoterapi (kombinasi sarana pengobatan = combined modality
therapy) karena radioterapi saja tidak lagi kuratif. Untuk kemoterapinya biasanya
MOPP 6x dianggap cukup sebagai adjuvan (tambahan) pada radioterapi. Bila
tidak ada lesi dibawah diafragma (dibuktikan dengan staging-laparotomy) untuk
stadium IA diberikan radioterapi extended field, untuk stadium IIA diberikan total
nodal irradiation (TNI),dianggap cukup kuratif.
I.2.
harus ditambah dengan kemoterapi adjuvant, baru dianggap kuratif. Terapi dengan
kombinasi modalitas ini juga diindikasikan bila penyakitnya stadium IIA tetapi
pasien menolak laparotomi atau memang tidak akan dilakukan laparotomi karena
ada kontraindikasi.
Untuk stadium yang lanjut (st III dan IV) terapi kuratif utama adalah
kemoterapi. Kalau ada lesi yang besar (bulky mass) dengan tambahan huruf X
pada stadiumnya, maka pada tempat ini ditambahkan radioterapi adjuvant dosis
kuratif, sesudah kemoterapi.
Kombinasi radio + kemoterapi ini juga dianjurkan pada mereka yang
menunjukkan tanda-tanda prognosis yang buruk, yaitu : 1. Massa mediastinum
yang besar. 2. B-symtoms. 3. kelainan dihilus paru. 4. histologinya bukan
Lymphocytic predominant dan 5. Stadium III.
I.3.
Kemoterapi
Semula kemoterapi sebagai terapi utama diberikan untuk stadium III dan
IV saja, namun sering terjadi relaps, terutama bila ada bulky mass karena itu untuk
11
12
Jadi kedua regimen itu dipakai sebagai terapi awal. Kedua regimen itu
tidak cross resistant. Sesuai dengan hipotesis dari Goldie dan Coldman dapat
dipakai MOPP dulu, atau ABV(D) dulu atau begantian MOPP-ABVD-MOPPABVD dst atau regimen hibrida MOPP-ABV(D), hasilnya sama baik, namun
masih ada silang pendapat.
II.
awal, atau setelah diobati beberapa kali. Kadang-kadang MOPP atau ABVD
masih dapat dipakai untuk mendapatkan remisi karena dua regimen ini non-crossresistant, namun angka remisinya kecil dan cepat kambuh lagi. Kalau kedua
regimen baku itu tidak dapat menolong lagi dipakai regimen-regimen lain yang
digolongkan dalam salvage-therapy (= terapi penyelamatan). Jadi salvage
kemoterapi diberikan untuk mereka yang :
1.
2.
Tabel beberapa regimen untuk salvage therapy (second line therapy pada
Limfoma Hodgkin yang Relaps atau Resistant)
V = Vinblastin 6 mg/sqm i.v. tiap 3 minggu
A = Adrianmisin 40 mg/sqm i.v. tiap 3 minggu
B = Bleomisin 15 U 1-v- tiap minggu sekali
C = Lomustin (CCNU) 80 mg/sqm p.o. tiap 6 minggu
D = Dakarbasin 800 mg/sqm i-v- tiap 3 minggu
C = Lomustin (CCNU) 80 mg/sqm p.o. hari ke 1
E = Etoposid 100 mg/sqm p.o. hari ke 1
P = Prednimustin 60 mg/sqm i.v.hari ke 1,
13
14
L = Leukovorin rescue
A = Ara-C 300 mg/sqm i.v. hari ke 15 dan 22
C = Siklofosfamid 750 mg/sqm i.v. hari ke 1
E = Etoposid 80 mg/sqm i.v. hari ke 1-3,
2.
3.
4.
5.
6.
15
2.12. PROGNOSIS
Prognosis penyakit Hodgkin ini relatif baik. Penyakit ini dapat sembuh atau hidup
lama dengan pengobatan meskipun tidak 100%. Tetapi oleh karena dapat hidup lama,
kemungkinan mendapatkan late complication makin besar. Late complication itu antara
lain :
1. timbulnya keganasan kedua atau sekunder
2. disfungsi endokrin yang kebanyakan adalah tiroid dan gonadal
3. penyakit CVS terutama mereka yang mendapat kombinasi radiasi dan pemberian
antrasiklin terutama yang dosisnya banyak (dose related)
4. penyakit pada paru pada mereka yang mendapat radiasi dan bleomisin yang juga
dose related
5. pada anak-anak dapat terjadi gangguan pertumbuhan
16