Anda di halaman 1dari 12

Laporan Pratikum Fisiologi Penglihatan dan Waktu Reaksi

Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta


Jln. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510
Kelompok D1
Ketua

: Jessicca Susanto (102011032)

Anggota

: Agung Ganjar Kurniawan (102010169)

Vionna Nadya Mongan (102011106)

Andre Christian Cundawan (102011110)

Stella Nathania (102011206)

Kevin Rianto Putra (102011294)

Maria Sunvratys (102011313)

Nilasari Wulandari (102011367)

George Christiano (102011421)

1. MODEL MATA CENCO-INGERSOLL


Tujuan

1. Menyebutkan nama dan fungsi semua bagian model mata Cenco-Ingersoll yang
menirukan mata sebagai susunan optik
2. Mendemonstrasikan pelbagai keadaan di bawah ini dengan menggunakan model
mata Cenco-Ingersoll :
a. Peristiwa aberasi sferis serta tindakan koreksi
b. Mata emetrop tanpa atau dengan akomodasi
c. Mata miop serta tindakan koreksi
d. Mata hipermetrop serta tindakan koreksi
e. Mata astigmat serta tindakan koreksi
f. Mata afakia serta tindakan koreksi
Alat yang diperlukan :
1. Model mata Cenco-Ingersoll dengan perlengkapannya
2. Optotip Snellen
1

3.
4.
5.
6.

Seperangkat lensa
Mistar
Gambar kipas Lancaster Regan
Keratoskop placido

Cara Kerja :
I.

Mata sebagai susunan optic


Pelajari model mata Cenco-Ingersoll dengan perlengkapannya :
1. Sebuah bejana yang terisi air hampir penuh
2. Kornea
3. Retina yang dapat diletakkan di 3 tempat yang berbeda
4. Benda yang bercahaya (lampu).
Perhatikan arah anak panah.
5. Kotak yang berisi
a. iris
b. 4 lensa sferis masing-masing berkekuatan : +2D, +7D, +20D, -1,75D
c. 2 lensa silindris masing-masing berkekuatan : +1,75D dan -5,5D

A. Lebar Pupil dan Aberasi Sferis


1. Pasang lensa sferis +7D di tempat lensa kristaline ( di L ).
2. Pasang retina di R.
3. Arahkan model mata ke sebuah jendela yang jauhnya 7m atau lebih.
Perhatikan bayangan jendela yang teradi pada lempeng retina.
4. Tempatkan sepasang iris di G1 dan perhatikan perubahan bayangan yang terjadi.

B. Hipermetropia
1. Arahkan model mata tetap ke jendela dan tetap gunakan sferis +7D sebagai lensa
kristalina
2. Setelah diperoleh bayangan tegas ( no A ad 4 ) pindahkan retina ke Rh.
Perhatikan bayangan menjadi kabur lagi.
3. Koreksi kelainan ini dengan meletakkan lensa yang sesuai di S1 atau S2 sebagai
kaca mata sehingga bayangan menjadi tegas kembali.
4. Catat jenis dan kekuatan lensa yang Saudara pasang di S1 atau S2.
C. Miopia
1. Tingkat lensa sferis positif dari S1 atau S2
Kembalikan retika ke R. Perhatikan bayangan yang tetap tegas.
2

2. Pindahkan retina ke Rm.


Perhatikan bayangan menjadi kabur.
3. Perbaiki kelainan ini dengan meletakkan lensa yang sesuai di S1 atau S2 sebagai
kaca mata sehingga bayangan menjadi tegas.
4. Catat jenis dan kekuatan lensa yang saudara pasang di S1 atau S2.
D. Astigmatisme
1. Angkat lensa sferis negatif dari S1/S2 dan pindahkan retina ke R.
2. Letakkan lensa silindris -5,5D di G2. Perhatikan sebagian bayangan menjadi
kabur.
3. Perbaiki kelainan ini dengan meletakkan lensa yang sesuai di S1 atau S2 dan
mengatur arah sumbunya sehingga seluruh bayangan menjadi tegas.
4. Catat jenis, kekuatan dan arah sumbu lensa yang Saudara pasang di S1 atau S2.
E. Mata Afakia
1. Buat susunan seperti yang didapatkan pada A ad 4
2. Angkat lensa kristalina sehingga terjadi mata afakia, yaitu mata tanpa lensa
kristalina.
3. Perbaiki mata afakia ini dengan salah satu lensa sferis positif yang dipasang
sebagai kaca mata di S1 atau S2 supaya bayangan menjadi lebih tajam.
4. Coba jenis dan kekuatan lensa yang saudara pasang di S1 atau S2.
2. PERIMETRI
Pemeriksaan Luas Lapang Pandang (Perimetri)
Tujuan: 1. Untuk memeriksa luas lapang pandang mata kiri dan mata kanan dari OP.
2. Mengetahui hubungan antara penglihatan kita dengan warna-warna yang
ada
(terutama warna-warna dasar)
3. Mengetahui batas-batas lapang pandang mata
Cara Kerja :
1. Suruh orang percobaan duduk membelakangi cahaya menghadap alat perimeter.
2. Tutup mata kiri orang percobaan dengan sapu tangan.

3. Letakkan dagu orang percobaan di tempat sandaran dagu yang dapat diatur
tingginya, sehingga tepi bawah mata kanannya terletak setinggi bagian atas batang
vertikal sandaran dagu.
4. Siapkan formulir.
5. Suruh orang percobaan memusatkan penglihatannya pada titik fiksasi di tengah
perimeter. Selama pemeriksaan, penglihatan orang percobaan harus tetap
dipusatkan pada titik fiksasi tersebut.
6. Gunakan benda yang dapat digeser (lidi yang ada bulatan berwarna-warni) pada
busur perimeter untuk pemeriksaan luas lapang pandang. Pilih bulatan berwarna
putih dengan diamter sedang ( 5mm) pada benda tersebut.
7. Gerakkan perlahan-lahan bulatan putih itu untuk menyusuri busur dari tepi kiri
orang percobaan ke tengah. Tepat pada saat orang percobaan melihat bulatan putih
tersebut penggeseran benda dihentikan.
8. Baca tempat penghentian itu pada busur dan catat pada formulir dengan tepat.
9. Ulangi tindakan no. 7 dan 8 pada sisi busur yang berlawanan tanpa mengubah
posisi busur.
10. Ulangi tindakan no. 7, 8 dan 9 setelahh busur tiap kali diputar 30 sesuai arah
jarum jam dari pemeriksa, sampai posisi busur vertikal.
11. Kembalikan busur pada posisi horizaontal seperti semula. Pada posisi ini tidak
perlu dilakukan pencatatan lagi.
12. Ulangi tindakan no. 7, 8 dan 9 setelah memutatr busur tiap kali 30 berlawanan
arah jarum jam dari pemeriksa, sampai tercapai posisi busur 60 dari bidang
horizontal.
13. Periksa juga lapang pandang orang percobaan untuk berbagai warna lain: merah,
hijau, kuning dan biru, dengan cara yang sama seperti di atas.
14. Lakukan juga pemeriksaan lapang pandang untuk mata kiri hanya dengan bulatan
berwarna putih.
3. PEMERIKSAAN BUTA WARNA
Tujuan:
Mengetahui cara pemeriksaan, jenis buta warna serta ada tidaknya buta warna pada o.p
Alat :
1. Buku pseudoisokromatik Ishihara
Cara Kerja :
4

1. Suruh orang percobaan mengenali angka atau gambar yang terdapat di dalam buku
pseudoisokromatik Ishihara.
2. Catat hasil pemeriksaan saudara dalam formulir yang tersedia.
4. WAKTU REAKSI
Tujuan:
Untuk mengetahui seberapa besar refleks yang dialami (hubungan antara penglihatan dan
respon yang diberikan.
Cara Kerja :
1. Suruh orang percobaan duduk dan meletakkan lengan bawah dan tangan kanannya
di tepi meja dengan ibu jari dan telunjuk berjarak 1cm siap untuk menjepit.
2. Pemeriksa memegang mistar pengukur waktu reaksi pada titik hitam dengan
menempatkan garis tebal di antara dan setinggi ibu jari dan telunjuk OP tanpa
menyentuh jari-jari OP.
3. Dengan tiba-tiba pemeriksa melepaskan mistar tersebut dan OP harus
menangkapnya selekas-lekasnya. Ulangi percobaan ini sebanyak 5 kali.
Tetapkan waktu reaksi orang percobaan (rata-rata dari ke 5 hasil yang diperoleh).
Hasil pemeriksaan
A. Model Mata Cenco- Ingersoll
1. Lebar mata pupil dan aberasi sferis
Sebelum model mata ditambahkan iris bayangan benda yang terlihat kurang jelas dan
tajam, yang terlihat bayangan cahaya benda seperti lingkaran tetapi tidak jelas.
Setelah ditambahakan iris terjadi perubahan bayangan benda menjadi lebih tajam dan
tegas daripada sebelum dipakaikan iris. Pada saat diletakkan iris aberasi ditahan.
2. Hipermetrop
Pada percobaan ini lempeng retina dipindahkan ke Rh, terlihat bayangan jatuh
dibelakang retina. Bayangan terlihat kabur lagi, kemudian model mata dikoreksi
dengan lensa sferis (+) dengan kekuatan + 2,00 dioptri yang membuat bayangan
menjadi tegas , dan tajam kembali.
3. Miopi
5

Pada percobaan ini lempeng retina dipindahkan dari posisi R ke Rm sehingga terlihat
bayangan jatuh didepan retina. Terjadi hamburan atau refraksi sehingga bayangan
benda terlihat kabur dan kurang tajam, kemudian model mata dikoreksi dengan lensa
sferis (-) dengan kekuatan 1,75 dioptri akan tetapi ketika dikoreksi tidak membuat
ketajaman benda lebih baik. Hal ini dikarenakan lensa mata dan juga model mata
yang kurang baik dan sesuai. Seharusnya bila pada mata miopi, apabila dikoreksi
dengan lensa sferis (-) akan membuat bayangan benda menjadi lebih tajam dan tegas .
4. Astigmatisme
Rentina dikembaliakan ke posisi R, model mata ditambhakan lensa silindris, hal ini
membuat sebagian bayangan menjadikabur. Terlihat jarak anatar garis vertikal dan
horizontalnya berbeda. Terlihat lebih panjang garis yang diarah horizontal kemudian
dikoreksi dengan lensa slindris kekuatan + 1, 75 dioptri , dengan ini membuat seluruh
bayangan menjadi tegas, panjang garis horizontal dan vertikal menjadi sama. Namun,
dengan penambahan lensa sferis (+) tidak lebih baik.
5. Mata Afakia ( tanpa lensa)
Pada percobaan ini model mata tanpa lensa kristalina sehingga terjadi mata afakia,
keadaan ini dapat dikoreksi dengan lensa sferis (+) kekuatan + 2,00 dioptri membuat
bayangan benda terlihat tajam. Ketika lensa diangkat bayangan benda hanya terlihat
seperti sinar yang mengumpul, tidak terlihat jelas bentuk bayangan bendanya.
B. Luas Lapangan Pandang (Perimetri)
Hasil pemeriksaan Terlampir

C. Pemeriksaan Buta warna

Angka di dalam buku Pseudoisokromatik ishihara

Angka yang disebutkan oleh OP

12

12

29

29

74

74

45

45

Tidak dapat melihat apa-apa

16

16

96

96

OP dapat menyebutkan angka-angka, dan alur garis X yang terdapat didalam buku
Pseudoisokromatik ishihara dengan benar.

D. Waktu Reaksi
Percobaan
1
2
3
4
5
Rata-rata

Hasil ( waktu reaksi)


0,20
0,15
0,18
0,16
0,16
0,17

Pembahasan

Gerakan ke depan suatu gelombang cahaya dalam arah tertentu dikenal sebagai berkas
cahaya. Pembelokan suatu berkas cahaya, refraksi, ketika suatu berkas berpindah dari suatu
medium dengan kepadatan (densitas) tertentu dengan medium yang berbeda. Strukturstruktur refraksi pada mata harus membawa bayangan cahaya terfokus di retina agar
penglihatan jelas. Apabila suatu bayangan sudah terfokus sebelum mencapai retina atau
belum terfokus sewaktu mencapai retina, bayangan tersebut tampak kabur. Berkas-berkas
cahaya yang berasal dari benda dekat lebih divergen sewaktu mencapai mata, daripada
berkas-berkas dari sumber jauh. Berkas dari sumber sejajar yang terletak lebih dari 6 meter
(20 kaki) dianggap sejajar saat mencapai mata.
Mata normal (emetropi memiliki titik dekat 25 cm dan titik jauh tak terhingga di
depan mata. Mata yang jangkauan penglihatannya tidak terdekat di titik dekat 25 cm dan titik
jauh tak terhingga disebut cacat mata. Cacat mata dapat ditanggulangi dengan menggunakan
kaca mata, lensa kontak, atau operasi.
Ketajaman Penglihatan, Gerakan sakade mata adalah salah satu dari banyak faktor
yang menentukan ketajaman penglihatan. Parameter penglihatan adalah jumlah cahaya
minimum yang dapat memberikan kesan cahaya ( ambang penglihatan). Ketajaman
penglihatan adalah derajat kemampuan menentukan ciri dan bentuk benda. Uji ketajaman
penglihatan biasanya didefinisikan sebagai jarak pisah minimal, yaitu jarak terpendek yang
masih memungkinkan dua garis terlihat terpisah dan tetap
(biasanya dengan menggunakan huru-huruf

terlihat sebagai dua garis

snellen dari jarak 6 meter). Ketajamn

penglihatan adalah fenomena yang kompleks dan di pengaruhi oleh bermacam-macam faktor
yaitu : faktor optik (mekanisme pembentukkan bayangan di mata), faktor retina (keadaan sel
kerucut), dan faktor rangsang termasuk penerangan, terangnya rangsang, kontras antara
rangsang dan latar belakang, dan lama waktu rangsang.1
Pada percobaan dengan model mata tanpa iris, cahaya dapat masuk melalui sebagian
besar permukaan lensa. Cahaya yang memasuki bagian pinggir lensa menyebabkan bayangan
yang terbentuk tidak tajam. Efek ini disebut dengan aberasi sferis. Ketika dipasang iris,
model mata menghasilkan bayangan yang lebih redup namun tajam. Cahaya tidak dapat
memasuki ruangan model mata melalui bagian pinggir lensa. Hanya bagian tengah lensa yang
dapat dilalui cahaya. Oleh karena aberasi sferis dicegah oleh iris, maka terbentuk bayangan
yang tajam

Aberasi sferis, disebabkan oleh kecembungan lensa. Sinar-sinar paraksial atau sinarsinar dari pinggir lensa membentuk bayangan di P. Aberasi ini dapat dihilangakan dengan
mempergunakan diafragma yang terletak didepan lensa atau dengan lensa gabungan aplantis
yang terdiri dari dua lensa yang jenis kaca berlainan.2
Hipermetropi, Penderita hipermetropi atau rabun dekat memiliki titik dekat lebih
besar dari 25 cm di depan matanya sehingga tidak dapat melihat benda-benda yang dekat
dengan jelas. Bayangan benda yang dekat pada mata hipermetropi jatuh di belakang retina.
Hal ini disebabkan karena bola mata terlalu pipih (jarak fokus lensa terlalu panjang).
Pada hipermetropi , daya refraksi terlalu lemah untuk panjang bola mata, sehingga
bayangan objek nampak di retina sebelum fokus. Lensa positif (+) yang sesuai yang di
tempatkan di depan mata memberikan daya refraksi tambahan.3
Miopi, Kelainan refraksi pada miopi ialah sistem refraksi terlalu kuat untuk panjang
bola mata, sehingga bayangan dari suatu objek terfokus didepan, dan tidak pada retina. Yang
mana bayangan benda yang jauh pada miopi jatuh di depan retina. Objek hanya akan terfokus
bila didekatkan ke mata. Miopi dapat dikoreksi dengan menempatkan lensa negatif (-) yang
sesuai dengan didepan mata.1
Astigmatisme merupakan masalah optik lainnya yang terjadi apabila kelengkungan
lensa atau kornea lebih besar pada salah satu sumbu atau meridian. Misalnya,bila daya
refraksi kornea lebih besar daripada sumbu horizontal, maka sinar vertikal akan dibias lebih
banyak dari pada sinar horizontal, dan titik sumbu cahaya akan tampak seperti suatu elips. 1,3.
Astigmat dapat diperbaiki dengan lensa silindris, yang sering dikombinasikan dengan lensa
sferis.4
Afakia adalah satu keadaan di mana mata telah kehilangan lensa kristalina asal, sama
ada melalui pembedahan disebabkan oleh katarak (kanta kristalin berkabut) atau trauma.
Lensa memberikan sepertiga kekuatan refraktif mata sehingga setelah ekstraksi katarak
(pengangkatan lensa opak) mata menjadi sangat hipermetropia, suatu kondisi yang
dinamakan afakia. Afakia dapat dikoreksi dengan pemasangan lensa intraocular saat
pembedahan, lensa kontak, kacamata afakia. Pada keadaan afakia, pasien tidak memiliki
lensa sehingga matanya menjadi hipermetropia tinggi. Benda yang dilihat menjadi lebih besar
dibanding normal sebesar 25%. Hipermetropia diatasi dengan pemberian kaca mata sferis

positif terkuat atau lensa positif terbesar yang masih memberikan tajam penglihatan
maksimal, agar mata bisa lebih beristirahat.
Perimetri,

digunakan untuk menentukan lapangan pandang. Lapangan pandang

untuk masing- masing mata (lapangan monokular) dipetakan dengan suatu perangkat atau
melalui metode konfrontasi untuk menetukan adanya skotoma atau defek lapangan pandang
lainnya. Untuk sasaran yang sama besar, lapangan pandang untuk putih adalah yang paling
luas, dan ukuran lapangan pandang untuk merah,biru,kuning, dan hijau berkurang menurut
urutan tersebut. Secara normal lapangan pandang bertumpang tindih pada daerah penglihatan
binokular. Peta lapangan pandang, objek putih kecil yang berhadapan 10 di gerakkan secara
perlahan lahan untuk memetakan lapangan pada perimeter. Semakin kecil objek, semakin
peka tes tersebut(dengan kesalahan refraksiyang kasar, 1 0 dapat diandalkan). Merah
mempunyai lapangan normal yang paling kecil dan memberikan tes lapangan yang paling
peka.3
Terdapat tiga jenis lapangan pandang; lapangan makular yaitu lapangan pandang yang
paling jelas dilihat oleh keduamata, lapangan binokular yang dilihat oleh kedua mata secara
umumnya dan lapangan monokular yaitu kawasan yang bisa dilihat oleh salah satu mata
saja.Pada pemeriksaan lapangan pandang, kita menentukan batas perifer dari penglihatan,
yaitu batas sampai mana benda dapat dilihat, jika mata difiksasi pada satu titik. Sinar yang
datang dari tempat fiksasi jatuh di makula, yaitu pusat melihat jelas (tajam), sedangkan yang
datang darisekitarnya jatuh di bagian perifer retina.
Defek lapangan pandang dapat mengenai suatu atau kedua lapangan pandang. Bila
lesi terdapat di chiasma opticus atau lebih distal, maka kedua mata akan memperlihatkan
defek lapangan pandang. Lesi chiasmatic yang sering kali di sebabkan oleh suatu tumor
hipofisis yang besar dapat menimbulkan hemianopia bitemporalis. Ditandai dengan kebutaan
pada paruhan lateral atau temporal dari salah satu mata. Lesi yang terletak di belakang
chiasma dapat menyebabkan defek lapangan pandang di paruhan temporal dari salah satu
mata, bersaama sama dengan defek lapangan pandang di paruhan nasal (medial) mata yang
lain. Akibat dari keadaan ini adalah terjadinya hemianopia homonim, di mana lesi terdapat
pada sisi yang berlawanan dengan defek lapangan pandang.3
Buta Warna, Buta warna adalah penglihatan warna-warna yang tidak sempurna.
Pasien tidak atau kurang dapat membedakan warna yang dapat terjadi kongenital ataupun

10

didapatkan akibat penyakit tertentu. Hampir 5% laki-laki di negara barat menderita buta
warna yang diturunkan, lebih sering terdapat pada laki-laki dibanding perempuan.
Uji yang paling sering digunakan adalah uji pencocokan benang wol dan
menggunakan buku ishihara. Buku isihara dan gambar-gambar polikromatik sejenisnya yang
mengandung gambar-gambar yang terdiri dari titik-titik berwarna dan berbentuk serupa.
Gambar di buat dengan warna sedemikian sehingga seseorang yang buta warna melihat
warna gambar tersebut sama dengan warna latarnya. Orang yang memiliki penglihatan warna
normal dan orang yang protanomali, deuteroanomali, atau tritanomali disebut trikromat.
Mereka memiliki ketiga sistem sel kerucut, tetapi salah satu mungkin lemah. Dikromat
adalah orang yang hanya memilki dua sistem. Mereka mungkin menderita protanopia,
deuteroanopia atau tritanopia. Monokromat hanya memilki satu sistem sel kerucut. Dikromat
hanya dapat mencocokkan spektrum warna mereka dengan mencampur hanya 2 warna
primer,dan mono kromat mencocokannya dengan intesitas satu warna. Selain itu, kelemahan
penglihatan warna biru-hijau yang bersifat sementara merupakan efek samping pemberian
sildenafil. Buta warna merupakan kelainan herediter pada sekitar 8% pria dan 0,4% wanita
ras kulit puith.1
Buta warna total merupakan keadaan yang jarang. Pada protanomali terdapat
kekurangan kerentanan merah sehingga diperlukan lebih banyak merah untuk bergabung
dengan kuning baku. Sedang yang disebut sebagai protanopia adalah kurangnya sensitifnya
pigmen merah kerucut. Pada deutranomali diperlukan lebih banyak hijau untuk menjadi
kuning baku. Sedang deutranopia merupakan kurangnya pigmen hijau kerucut. Tritanomali
terdapat kekurangan pada warna biru, pada keadaan ini akan sukar membedakan warna biru
terhadap kuning. Akromatopsia atau monokromat berarti ketidakmampuan membedakan
warna dasar atau warna antara. Pasien hanya mempunyai satu pigmen kerucut (monokromat
rod atau batang). Pada monokromat, sel kerucut hanya dapat membedakan warna dalam arti
intensitasnya saja dan biasanya mempunyai tajam penglihatan 6 / 30.
Waktu Reaksi, Selang waktu antara pemberian rangasang dan timbulnya jawaban
disebut sebagai waktu reaksi. Pada manusia, waktu reaksi untuk refleks renggang misalnya
refleks penjepitan mistar waktu reaksi adalah 0,15-0,22 mdet. Pemberian rangsang lemah
pada saraf sensorik otot yang hanya akan merangsang serat. Ia, akan menimbulkan jawaban
berupa kontraksi dengan waktu yang sama. Bila kecepatan hantar serat aferen dan eferen di
ketahui dan jarak dari otot ke medula spinalis dapat diukur, maka dapat di hitung waktu yang
11

di butuhkan untuk penghantaran impuls dari dan ke medula spinalis. Bila waktu reaksi
dikurangi waktu penghantaran impuls, hasilnya disebut lambatan pusat, yaitu waktu yang
dibutuhkan suatu refleks untuk melewati sinaps di medula spinalis.1
Kumparan otot juga menimbulkan kontraksi otot melalui jaras polisinaps, dan serat
aferens yang terlibat mungkin berasal dari ujung sekunder. Namun, serat golongan 2 juga
membentuk monosinaps dengan neuron motorik dan mempunyai peranan penting pada
refleks renggang.
Kesimpulan

Mata memiliki kemampuan berefraksi untuk menghasilkan bayangan yang tepat di


retina. Efek aberasi sferis dapat diatasi dengan penempatan iris yang tepat pada model
mata dan kelainan-refraksi seperti miopi, hipermetropi, astigmatisme, dan afaksia

dapat diatasi dengan pemberian lensa sferis yang sesuai dengan mata.
Lapang pandang manusia memiliki batas pada sudut-sudut tertentu, dan pada bagian
temporal terdapat area yang tidak terlihat karena adanya bintik buta pada posterior
mata.
Selang waktu antara pemberian rangasang dan timbulnya jawaban (waktu reaksi) pada
setiap individu berbeda-beda.

Daftar Pustaka
1. Ganong WF. Fisiologi kedokteran. Edisi ke-20 . Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2002.
2. Gabriel J. Fisika kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1996.
3. deGroot, J. Neuroanatomi korelatif. Edisi ke-21. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 1997.
4. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi ke-6. Jakarta: Penerbit Buku
kedokteran EGC; 2011.

12

Anda mungkin juga menyukai