Anda di halaman 1dari 19

Laporan Praktikum Fisiologi

Mekanisme Penglihatan

Disusun oleh: Kelompok A3

Ketua : Hengky Pranandya Laksmana 102015020 ( )


Anggota : Welmin Sorya Leatomu 102009146 ( )
Lodowina Eresyen Rumaratu 102011092 ( )
Orlando 102012430 ( )
Sancia Nathania Legenie Banuang 102014169 ( )
Rini Lesmana 102015034 ( )
Angga Punggawa Koedoeboen 102015125 ( )
Greetty Permatahati 102015148 ( )
Steven Dwi Saputra 102015153 ( )
Angelina Wijaya 102015186 ( )

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No. 06,
Tanjung Duren, Jakarta Barat 11510
Laporan Praktikum Fisiologi – Mekanisme Penglihatan

Tujuan praktikum

Praktikum fisiologi ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami mekanisme kerja
dan luas lapang pandang dari mata, serta kelainan-kelainan yang mungkin terjadi dan cara
mengoreksinya. Selain itu, praktikum ini juga bertujuan untuk memahami penerapan
mekanisme fisiologi penglihatan serta asosiasi dari penglihatan.

Alat dan bahan

Alat dan bahan yang perlu dipersiapkan untuk melaksanakan praktikum ini adalah
sebagai berikut:

1. Model mata Cenco-Ingersoll,


2. Air pengganti,
3. 1 buah model kornea,
4. 1 buah model retina,
5. 1 buah model iris,
6. 4 buah lensa sferis (–1,75 D, +2 D, +7 D, dan +20D),
7. 2 buah lensa silindris (–5,5 D dan +1,75 D),
8. 1 buah lampu,
9. 1 buah benda pembentuk cahaya,
10. 1 buah senter,
11. 1 buah perangkat model dengan tulisan “eYe”,
12. Perangkat mata buatan,
13. Lensa sferis negatif dan positif,
14. Spuit 20 cc + Lensa mata buatan yang berisi air,
15. Mistar sepanjang 1 𝑚,
16. Perimeter,
17. 5 buah lidi dengan ujung berwarna-warni (putih, merah, hijau, kuning, dan biru), dan
18. Buku pseudoisokromatik ishihara.

Langkah kerja

Keseluruhan percobaan ini dibagi menjadi tiga percobaan yang berbeda. Langkah-
langkah untuk masing-masing percobaan adalah:

A. Mata sebagai alat optik:

2
Laporan Praktikum Fisiologi – Mekanisme Penglihatan

1. Model Mata Cenco-Ingersoll


a. Mata emetrop:
1. Menyusun alat dan bahan, serta mengatur model retina pada posisi R.
2. Meletakkan lensa sferis +20 D pada posisi L sebagai lensa kristalina dan
model iris pada posisi G1.
3. Menyalakan lampu dan mengatur jarak benda agar bayangan tegas.
4. Mencatat jarak benda dan mengamati sifat bayangan yang terbentuk.
b. Mata miopia:
1. Menyusun alat dan bahan, serta mengatur model retina pada posisi Rm.
2. Meletakkan lensa sferis +20 D pada posisi L dan model iris pada posisi G1.
3. Meletakkan benda sesuai jarak yang telah dicatat sebelumnya, kemudian
menyalakan lampu.
4. Mengamati ketegasan dan sifat bayangan.
5. Mencoba-coba meletakkan lensa pada posisi S1 dan/atau S2 untuk
mengoreksi bayangan.
6. Mengulangi langkah ke-4.
c. Mata hipermetropia:
1. Menyusun alat dan bahan, serta mengatur model retina pada posisi Rh.
2. Meletakkan lensa sferis +20 D pada posisi L dan model iris pada posisi G1.
3. Meletakkan benda sesuai jarak yang telah dicatat sebelumnya, kemudian
menyalakan lampu.
4. Mengamati ketegasan dan sifat bayangan.
5. Mencoba-coba meletakkan lensa pada posisi S1 dan/atau S2 untuk
mengoreksi bayangan.
6. Mengulangi langkah ke-4.
d. Mata astigmatisma:
1. Menyusun alat dan bahan, serta mengatur model retina pada posisi R.
2. Meletakkan lensa silindris –5,5 D pada G2 dan model iris pada posisi G1.
3. Meletakkan benda sesuai jarak yang telah dicatat sebelumnya, kemudian
menyalakan lampu.
4. Mengamati ketegasan dan sifat bayangan.
5. Mencoba-coba meletakkan lensa pada posisi S1 dan/atau S2 untuk
mengoreksi bayangan.

3
Laporan Praktikum Fisiologi – Mekanisme Penglihatan

6. Mengulangi langkah ke-4.


e. Mata afakia:
1. Menyusun alat dan bahan, serta mengatur model retina pada posisi R.
2. Meletakkan model iris pada posisi G1.
3. Meletakkan benda sesuai jarak yang telah dicatat sebelumnya, kemudian
menyalakan lampu.
4. Mengamati ketegasan dan sifat bayangan.
2. Praktikum Model Mata
a. Mata normal :
1. Pasang lensa mata pada perangkat mata buatan.
2. Susun alat sesuai perintah.
3. Jarak senter ke model mata sejauh 1 meter.
4. Jarak tulisan “eYe” model sejauh ± 30 cm.
5. Nyalakan senter.
6. Atur bayangan hingga jelas terlihat huruf “Y” terbalik pada retina model
mata buatan.
b. Mata miopia :
1. Geser retina lebih ke belakang sehingga bola mata terlihat menjadi lebih
panjang.
2. Amati bayangan yang terjadi pada retina.
3. Untuk mengkoreksi bayangan tersebut gunakan lensa sferis negatif dan
lihat bayangan yang terjadi.
c. Mata hipermetropia :
1. Geser retina lebih kedepan sehingga bola mata terihat menjadi lebih
pendek.
2. Amati bayangan yang terjadi pada retina.
3. Untuk mengkoreksi bayangan tersebut gunakan lensa sferis positif dan lihat
bayangan yang terjadi.
d. Mata afakia :
1. Lepas lensa mata buatan dari Model Mata buatan.
2. Lihat bayangan yang terjadi.
3. Letakan lagi lensa mata buatan pada tempatnya dan lihat bayangan yang
terjadi.

4
Laporan Praktikum Fisiologi – Mekanisme Penglihatan

B. Pemeriksaan luas lapang pandang (perimetri):


1. Memposisikan pasien simulasi duduk menghadap perimeter dan membelakangi
sumber cahaya.
2. Mengatur ketinggian tumpuan dagu agar mata pasien simulasi berada sejajar
terhadap titik tengah perimeter.
3. Meletakkan dagu pasien simulasi pada tumpuan dagu sisi kanan untuk
melakukan percobaan terhadap mata kirinya.
4. Mengatur kemiringan busur pada rotasi 0°-180°.
5. Meletakkan ujung lidi yang berwarna putih pada salah satu ujung busur
perimeter dan menanyakan apakah pasien simulasi dapat melihatnya.
6. Menggerakkan ujung lidi yang berwarna putih tersebut sedikit demi sedikit
menuju titik tengah perimeter sambil menanyakan apakah pasien simulasi dapat
melihatnya.
7. Mencatat pada sudut berapakah pasien simulasi dapat melihatnya.
8. Mengulangi langkah ke-5 hingga ke-7, namun kali ini meletakkan ujung lidi
yang berwarna putih pada ujung yang lainnya.
9. Mengulangi langkah ke-4 hingga ke-8 sebanyak lima kali lagi, namun kali ini
mengatur kemiringan busur masing-masing pada rotasi 30°-210°, 60°-240°,
90°-270°, 120°-300°, dan 150°-330°.
10. Meletakkan dagu pasien simulasi pada tumpuan dagu sisi kiri untuk melakukan
percobaan terhadap mata kanannya.
11. Mengulangi langkah ke-4 hingga ke-9 sebanyak empat kali lagi, namun kali ini
menggunakan lidi masing-masing dengan ujung berwarna merah, hijau, kuning,
dan biru.
C. Pemeriksaan buta warna:
1. Memposisikan pasien simulasi duduk dengan pencahayaan yang cukup
menghadap meja.
2. Meletakkan buku ishihara di meja dan meminta pasien simulasi mengenali
angka/simbol dan mengikuti jalur warna satu halaman per satu halaman.
3. Mencatat hasil pemeriksaan.
D. Perimetri:
1. Suruh OP duduk membelakangi cahaya menghadap alat perimeter.
2. Tutup mata kiri OP dengan sapu tangan.

5
Laporan Praktikum Fisiologi – Mekanisme Penglihatan

3. Letakkan dagu OP di tempat sandaran dagu yang dapat diatur tingginya, sehingga tepi
bawah mata kanannya terletak setinggi bagian atas batang vertical sandaran dagu.
4. Siapkan formulir.
5. Suruh OP memusatkan penglihatannya pada titik fiksasi di tengah perimeter. Selama
pemeriksaan, penglihatan OP harus tetap dipusatkan pada titik fiksasi tersebut.
6. Gunakan benda yang dapat digeser (lidi yang ada bulatan warna warni) pada busur
perimeter untuk pemeriksaan luas lapang pandang.
7. Gerakkan perlahan-lahan bulatan putih itu menyusuri busur dari tepi kiri OP ke tengah.
Tepat pada saat OP melihat bulatan putih tersebut penggeseran benda dihentikan.
8. Baca tempat penghentian itu pada busur dan catat pada formulir dengan tepat.
9. Ulangi tindakan no.7 dan 8 pada sisi busur yang berlawanan tanpa mengubah posisi busur.
10. Ulangi tindakan no.7, 8, dan 9 setelah busur tiap kali diputar 300 sesuai arah jarum jam dari
pemeriksa, sampai posisi busur vertikal.
11. Kembalikan busur pada posisi horizontal seperti semula. Pada posisi ini tidak perlu
dilakukan pencatatan lagi.
12. Ulangi tindakan no.7,8, dan 9 setelah memutar busur tiap kali 300 berlawanan arah jarum
jam dari pemeriksa, sampai tercapai posisi bujur 600 dari bidang horizontal.
13. Periksa juga lapang pandang OP untuk berbagai warna lain : merah, hijau, kuning, dan biru,
dengan cara yang sama seperti di atas.
14. Lakukan juga pemeriksaan lapang pandang untuk mata kiri hanya dengan bulatan berwarna
putih.

Hasil percobaan

Setelah melakukan seluruh percobaan-percobaan di atas, demikian adalah hasil yang


kami peroleh dari percobaan kami:

A. Model Mata Cenco-Ingersoll


Pada percobaan lebar pupil dan aberasi sferis, bayangan yang terbentuk pada
retina sebelum diberi iris pada G1 adalah kabur. Kemudian, setelah diberikan iris pada
G1, bayangan yang terbentuk pada retina menjadi jelas dan tampak normal kembali.
Pada percobaan hipermetropi, bayangan yang tampak pada retina adalah
bayangan sinar yang kabur. Kemudian setelah dikoreksi dengan lensa +2D pada bagian

6
Laporan Praktikum Fisiologi – Mekanisme Penglihatan

S1 ataupun S2, bayangan retina yang terbentuk pada retina kembali normal atau tampak
jelas dengan hasil bayangan normal yakni terbalik dan ukuran yang kecil.
Pada percobaan miopi, bayangan yang tampak pada retina adalah bayangan
sinar yang kabur. Kemudian setelah dikoreksi dengan lensa -1,75 D pada bagian S1
ataupun S2, bayangan retina yang terbentuk pada retina kembali normal atau tampak jelas
lagi dengan hasil bayangan normal yakni terbalik dan ukuran yang kecil.
Pada percobaan Astigmatisme, bayangan yang tampak pada retina adalah
bayangan sinar yang kabur. Kemudian setelah dikoreksi dengan lensa silindris +5,5 D
dengan axis atau sumbu yang tepat, hasil bayangan yang tampak pada retina kembali
normal kembali yakni bayangan terbalik dan ukuran yang kecil.
Pada percobaan akomodasi, ketika ada cahaya yang lebih dekat atau
dipindahkan lebih jauh, bayangan yang terbentuk adalah bayangan sinar yang kabur,
namun ketika bayangan di letakkan di bagian yang lebih dekat dengan model mata dan
diberi lensa yang +, bayangan yang terbentuk tampak pada retina menjadi jelas atau
normal kembali.
Pada percobaan lensa afakia, bayangan yang terbentuk pada retina adalah
bayangan sinar yang kabur. Kemudian setelah diberikan lensa +7D pada bagian S1 atau
S2, bayangan yang terbentuk pada retina menjadi jelas dan normal kembali yakni
bayangan terbalik dan diperkecil.

B. Model mata
Mata Hipermetropia

Hasil: Tulisan bayangan model “eYe” terlihat tegas, jelas dan fokus dibanding
tidak menggunakan lensa positif.

OP: Orlando

Mata Miopia

Hasil : Tulisan bayangan model “eYe” terlihat tegas, jelas dan fokus dibanding
tidak menggunakan lensa negatif.

OP: Orlando
Mata Afakia

7
Laporan Praktikum Fisiologi – Mekanisme Penglihatan

Hasil : Tulisan bayangan model “eYe” terlihat tegas, jelas dan fokus dibanding
pada saat lensa mata buatan di lepas.

OP: Orlando

C. Pemeriksaan buta warna:


Berdasarkan percobaan yang dilakukan, diketahui bahwa pasien simulasi tidak
menderita buta warna jenis apapun (penglihatan trikromat).

No. Angka yang ditunjuk di buku Orang Percobaan


1. 12 12
2. 8 8
3. 5 5
4. 29 29
5. 74 74
6. 7 7
7. 45 45
8. 2 2
9. 16 16
10. Menghubungkan mampu
11. 35 35
12. 96 96
13. Mengikuti 2 garis mampu

D. Pemeriksaan luas lapang pandang (perimetri):


OP : Welmin Sorya Leatomu

Mata kiri Mata kanan


Putih Putih Merah Biru Hijau Kuning
𝑻 𝟏𝟖𝟎° 20° 𝑵 𝟏𝟖𝟎° 25° 23° 24° 17° 20°
𝑵 𝟎° 25° 𝑻 𝟎° 41° 28° 29° 45° 46°
𝑻 𝟐𝟏𝟎° 13° 𝑵 𝟐𝟏𝟎° 27° 19° 19° 18° 16°
𝑵 𝟑𝟎° 20° 𝑻 𝟑𝟎° 20° 42° 44° 29° 42°
𝑻 𝟐𝟒𝟎° 20° 𝑵 𝟐𝟒𝟎° 14° 17° 21° 13° 15°

8
Laporan Praktikum Fisiologi – Mekanisme Penglihatan

𝑵 𝟔𝟎° 17° 𝑻 𝟔𝟎° 13° 22° 26° 18° 15°


𝑫 𝟐𝟕𝟎° 16° 𝑫 𝟐𝟕𝟎° 20° 16° 22° 16° 19°
𝑼 𝟗𝟎° 14° 𝑼 𝟗𝟎° 11° 19° 21° 15° 15°
𝑵 𝟑𝟎𝟎° 15° 𝑻 𝟑𝟎𝟎° 15° 16° 19° 16° 20°
𝑻 𝟏𝟐𝟎° 24° 𝑵 𝟏𝟐𝟎° 10° 15° 19° 18° 17°
𝑵 𝟑𝟑𝟎° 17° 𝑻 𝟑𝟑𝟎° 15° 20° 20° 15° 20°
𝑻 𝟏𝟓𝟎° 25° 𝑵 𝟏𝟓𝟎 18° 25° 20° 20° 20°

Landasan teori

Perimetri digunakan untuk memeriksa lapangan pandang perifer dan sentral. Teknik
ini, yang digunakan terpisah pada setiap mata, mengukur fungsi retina, nervus opticus, dan
jaras visual intrakranial secara bersama. Alat ini secara klinis digunakan untuk mendeteksi atau
memonitor hilangnya lapangan pandang akibat penyakit di tempat – tempat tersebut.
Kerusakan suatu bagian tertentu pada jaras visual neurologik mungkin menimbulkan pola
perubahan yang khas pada pemeriksaan lapangan pandan serial.

Lapangan pandang mata diukur dan dipetakan menurut derajat kelengkungan


(degrees of arc ). Pengukuran derajat kelengkungan itu tetap konstan, tidak tergantung jarak
bidang dari mata yang diperiksa. Sensitivitas penglihatan paling besar di pusat lapangan
pandang ( fovea ) dan paling kecil di perifer. Perimetri tergantung pada respon pasien secara
subjekstif, dan hasilnya akan tergantung status psikomotor dan status penglihatan pasien.
Meskipun perimetri bersifat subjektif, metode – metode berikut telah distandarkan untuk
memudahkan pengulangan dan memungkinkan perbandingan di kemudian hari.

Pemeriksaan perimetri memerlukan (1) fiksasi tetap dan perhatian pasien, (2) jarak
yang tetap dari mata ke layar atau alat penguji, (3) kadar pencahayaan dan kontras latar
belakang yang seragam dan standar, (4) target uji dengan ukuran dan kecerahan yang standar,
(5) protokol yang universal, untuk pelaksaan uji oleh pemeriksa. Terdapat dua metode dasar
penyajian objek, yaitu statik dan kinetik, yang dapat dipakai sendiri – sendiri atau digabung
selama pemeriksaan.

Pada perimetri kinetik, mula – mula diuji sensitivitas seluruh lapangan pandang
terhadap satu objek uji ( dengan ukuran dan kecerahan yang tetap ). Objek itu perlahan – lahan
digerikkan dari perifer ke pusat sampai ia pertama kali terlihat. Dengan melalukan hal serupa

9
Laporan Praktikum Fisiologi – Mekanisme Penglihatan

dari berbagai arah, tercipata batas – batas peta yang disebut isopter yang khas untuk objek
tersebut. Isopter membentuk batas – batas terlihatnya objek, diluar batas itu, objek tidak
terlihat. Jadi, makin besar isopter, makin baik lapangan pandang mata tersebut. Batas –batas
isopter diukur dan dipetakan dalam derajat kelengkungan. Dengan mengulang uji
menggunakan sejumlah objek yang ukuran atau kecerahannya berbeda, tercipta banyak
isopter bagi mata tersebut. Makin kecil atau makin lemah objek yang diujikan, makin sempit
isopter yang dihasilkan.

Pada perimeteri statik, lokasi yang berbeda dalam lapangan pandang diuji satu per satu.
Sebuah objek uji yang sulit. seperti cahaya lemah, disajikan pertama kali di lokasi tertentu. Jika
tidak terlihat ukuran atau intensitas cahaya secara bertahap dinaikkan sampai cukup besar atau
cukup terang agar dapat terdeteksi. Ini disebut tingkat sensitivitas ambang untuk lokasi itu. Hal
serupa dilakukan di lokasi – lokasi lain sehingga sensitivitas cahaya berbagai titik dalam
lapangan pandang dapat dinilai dan digabungkan, membentuk gambaran lapangan pandang. 3

Terdapat berbagai macam jenis perimetri, antara lain: Tangent screen, perimetri
Goldmann, dan computerized automated perimetri

1. Tangent Screen ( Bjerrum Screen )


Tangent screen merupakan alat sederhana untuk perimetri standar. Pemeriksaan ini
memakai jarum dengan berbagai ukuran pada tongkat hitam yang ditampilkan pada layar hitam
dan dipakai terutama untuk menguji lapangan pandang sentral 30°. Pemeriksaan ini
menggunakan metode kinetik perimetri.
Pasien duduk 1 meter dari suatu layar hitam berukuran 2 m2 dengan target di tengah.
Mata yang tidak diperiksa ditutup. Saat pasien memandang target tersebut, objek dengan
ukuran 3 hiingga 50 mm digerakkan dari perifer ke pusat dan pasien memberi tahu ketika objek
tersebut terlihat dan menghilang.
Keuntungan metode ini, yaitu kesederhanaan dan kecepatannya, kemungkinan
mengubah jarak subjek ke layar, dan kebebasan memilih jenis fiksasi dan objek uji, termasuk
3,4
warna yang berbeda.

2. Perimetri Goldmann ( Hemispheric Projection Perimeter )


Perimeter Goldmann adalah alat yang lebih canggih berupa sebuah meangkuk bulat
putih yang terletak pada jarak tetap di hadapan pasien yang dapat digunakan untuk memeriksa
baik lapangan pandang sentral dan perifer. Pasien diposisikan di depan alat yang berbentuk

10
Laporan Praktikum Fisiologi – Mekanisme Penglihatan

mangkuk bulat tersebut, dan dagu pasien diletakkan pada chin rest. Satu mata ditutup dan mata
yang tidak tertutup diposisikan sejajar dengan target fiksasi. Pemeriksa duduk di belakang alat
perimeter dan fiksasi mata pasien dimonitor melalui sebuah teleskop. Cahaya dengan berbagai
ukuran dan intensitas disajikkan oleh pemeriksa, memakai prinsip statik atau kinetik. Ketika
pasien melihat cahaya tersebut, pasien menekan buzzer untuk memberitahu pemeriksa.
Metode ini dapat menguji seluruh pandangan perifer dan menetapkan lapangan pandang pasien
– pasien glaukoma.

3. Computerized Automated Perimeter

Computerized automated perimeter kini merupakan alat penguji lapangan padang yang
paling sensitif dan paling canggih. Alat ini memakai mangkuk yang mirip dengan yang dipakai
perimeter Goldmann, menampilkan titik – titik cahaya uji dengan berbagai intensitas dan
ukuran, tetapi memakai format penguji ambang statik kuantitatif yang lebih tepat dan
komprehensif dari pada metode lain. Skor – skor numerik yang sesuai dengan ambang –
sensitivitas setiap lokasi uji dapat disimpan dalam memori komputer dan dapat dibandingkan
secara statistik dengan hasil pemeriksaan terdahulu atau dari pasien normal lainnya. Makin
tinggi skor numerik, makin baik sensitivitas viusal lokasi tersebut. Keuntungan lainnya adalah
tampilan uji telah terprogram dan terotomatisasi, mencegah variasi dari pihak pemeriksa.
Analisis hasil uji memberikan informasi apakah kehilangan lapangan pandang bersifat difus
atau fokal, dan informasi mengenai mampu atau tidaknya pasien menjalankan tes yang bisa
diandalkan. 1-4

Mata adalah suatu alat optik pada manusia yang berfungsi untuk menangkap rangsang
dalam bentuk cahaya. Untuk mencapai tujuan tersebut, mata manusia bekerja dengan
membiaskan (merefraksikan) cahaya. Media pembiasan yang ada pada mata adalah kornea dan
lensa yang akan membiaskan cahaya yang datang agar sampai tepat pada suatu titik pada retina,
yang disebut fovea centralis.5

Mata yang normal memiliki dua jenis fotopigmen, satu untuk melihat pada kondisi yang
redup (rodopsin) dan satu lagi untuk melihat pada kondisi yang terang (iodopsin). Rodopsin
hanya dapat menangkap dua jenis warna yaitu hitam dan putih, sedangkan iodopsin dapat
menangkap tiga jenis warna yaitu merah, hijau, dan biru. Seseorang yang normal dapat melihat
ketiga warna ini, dikatakan memiliki penglihatan trikromat. Seseorang yang memiliki
penglihatan dikromat (hanya dapat melihat dua warna) dan monokromat (hanya dapat melihat

11
Laporan Praktikum Fisiologi – Mekanisme Penglihatan

satu warna) dikatakan buta warna, baik parsial maupun total. Kebutaan terhadap warna merah
disebut protanopia, terhadap warna hijau disebut deuteroanopia, sedangkan terhadap warna
biru disebut tritanopia.5

Kejelasan penglihatan seseorang ditentukan oleh ketepatan penempatan bayangan pada


retina. Bayangan seharusnya diproyeksikan pada suatu titik yang disebut fovea centralis,
dimana pada titik ini terkumpul sejumlah besar iodopsin untuk menangkap cahaya. Mata yang
normal mampu membuat cahaya terproyeksikan sedemikian rupa pada fovea centralis, baik
dalam melihat jauh ataupun dekat. Mata seperti demikian disebut emetrop.5

Banyak kelainan-kelainan yang disebabkan oleh kegagalan mata memproyeksikan


bayangan tepat di fovea centralis, diantaranya miopia, hipermetropia, astigmatisma, dan afakia.
Miopia disebabkan oleh bola mata terlalu pendek atau lensa yang terlalu lemah sehingga
bayangan akan jatuh pada fokus di belakang retina. Miopia dapat dikoreksi dengan lensa sferis
negatif. Berlawanan dengan miopia, hipermetropia disebabkan oleh bola mata yang terlalu
panjang atau lensa yang terlalu kuat sehingga bayangan jatuh pada fokusnya di depan retina.
Hipermetropia dapat diperbaiki dengan lensa sferis positif. Astigmatisma disebabkan oleh
permukaan kornea atau lensa yang tidak rata sehingga menyebabkan hasil refraksi
diproyeksikan ke beberapa titik di retina. Astigmatisma dapat dikoreksi menggunakan lensa
silindris. Mata afakia adalah mata tanpa lensa. Maka seperti yang dapat dibayangkan, fokus
akan jatuh jauh di belakang retina.5,6

Sebagai organ yang berfungsi sebagai reseptor, mata terhubung langsung dengan sistem
saraf pusat. Dalam melakukan uji waktu reaksi, diuji kecepatan hantaran dari saraf optik
menuju otak, sistem yang memproses pemikiran di otak, dan sistem saraf motorik yang
merangsang otot untuk menggerakkan rangka. Kecepatan hantar saraf sendiri dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain jumlah akson yang terselimuti mielin (semakin banyak semakin
cepat), diameter akson (semakin besar semakin cepat), dan suhu lingkungan (semakin tinggi
semakin cepat). Selain itu, kecepatan hantar juga dipengaruhi oleh ada atau tidaknya gangguan
pada saraf seperti sklerosis ganda yang menurunkan kecepatan hantar saraf karena merusak
selubung mielin.7

Saraf aferen (saraf optik) dan saraf eferen (saraf motorik) yang bekerja saat
menjalankan uji waktu reaksi sama-sama merupakan serat saraf golongan A yang berselubung

12
Laporan Praktikum Fisiologi – Mekanisme Penglihatan

mielin, berdiameter 5 − 20𝜇𝑚, dan berkecepatan hantar 12 − 130 𝑚⁄𝑠. Serat saraf golongan
ini memiliki waktu hantar yang paling cepat diantara seluruhserat saraf.8

Pembahasan

A. Model Mata Cenco-Ingersoll

Pada percobaan lebar pupil dan aberasi sferis, model mata Cenco-Ingersoll disusun
sedemikian rupa hingga akhirnya terjadi aberasi. Aberasi sendiri adalah degradasi kinerja
suatu sistem optik. Degradasi yang terjadi dapat disebabkan karena sifat optik dari cahaya
maupun dari sifat – sifat optik sistem kanta atau lensa yang berfungsi sebagai medium
terakhir yang dilalui sinar sebelum mecapai mata pengamatnya. Pada percobaan ini, yang
terjadi adalah aberasi sferis yang merupakan gejala kesalahan terbentuknya bayangan yang
diakibatkan karena pengaruh kelengkungan lensa atau cermin. Hal tersebut menyebabkan
munculnya bayangan yang tidak memenuhi hukum pemantulan atau pembiasan. Pada
percobaan ini, bayangan yang dibentuk oleh lensa tidak tajam dan terlihat kabur. Hal ini
dapat disebabkan karena berkas sinar yang jauh dari sumbu utama tidak dibiaskan
sebagaimana seharusnya. Berkas sinar sejajar yang jauh dari sumbu utama dibiaskan lensa
mata tidak tepat di fokus utama, tetapi lebih cenderung mendekati pusat optik. Semakin
jauh dari sumbu utama, berkas sinar sejajar ini akan semakin mendekati pusat optik lensa.
Kemudian setelah di berikan iris, bayangan yang dihasilkan dapat tampak jelas pada bagian
retina. Selain itu, pada mata manusia normal, aberasi sferis dapat juga dikoreksi dengan
menggunakan diafragma yang diletakkan di depan lensa atau dengan lensa gabungan
aplanatis yang terdiri dari dua lensa yang jenis kacanya berlainan. Sehingga bayangan yang
dibentuk oleh lensa pada retina akan terlihat jelas dan tajam.
bayangan yang terbentuk pada retina dalam model mata adalah jelas, terbalik, dan lebih
kecil. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya percobaan lebar pupil dan aberasi sferis ini
menyesuaikan atau menirukan sistem kerja dari bola mata manusia sesungguhnya termasuk
kerja dari lensanya. Dimana pada mata manusia normal sendiri, bayangan yang terbentuk pada
retina ketika ada rangsangan cahaya yang masuk adalah terbalik dan diperkecil. Bentuk
bayangan yang jelas, terbalik dan diperkecil ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya
kerja lensa yang bertugas dalam menjatuhkan bayangan tepat pada retina sehingga tampak
jelas, ataupun adanya refraksi pada kornea dan lensa yang juga dapat menyebabkan hasil
bayangannya adalah terbalik dan diperkecil.

13
Laporan Praktikum Fisiologi – Mekanisme Penglihatan

Pada percobaan hipermetropi, model mata disusun sedemikian rupa hingga terjadi
rabun dekat atau hipermetropi. Hipermetropi merupakan suatu keadaan mata yang tidak
normal, dimana mata tidak dapat melihat benda – benda dari jarak yang dekat. Hipermetropi
pada manusia dapat terjadi karena kuat lensa yang melemah. Selain itu, hipermetropi itu sendiri
dapat terjadi karena diameter bola mata yang terlalu pendek. Hal tersebut menyebabkan
bayangan yang dikirim oleh lensa mata, jatuh di belakang retina. Sehingga hasil yang terlihat
pada bagian retina adalah kabur. Prinsip tersebut yang kemudian digunakan dalam percobaan
hipermetropi ini, yakni dengan memajukan posisi dari retina menjadi lebih dekat dari lensa
mata. Hal tersebut yang menyebabkan bayangan cahaya yang masuk tidak jatuh tepat pada
retina melainkan di belakang retina sehingga pada retina tampak bayangan yang kabur.
Kemudian setelah dikoreksi dengan lensa positif atau lensa cembung, bayang yang tampak
pada retina menjadi normal lagi dan terlihat dengan jelas. Hal ini disebabkan karena lensa
cembung yang diletakkan pada bagian S1 atau S2 berperan dalam memajukan jatuhnya
bayangan menjadi lebih dekat dengan lensa mata. Sehingga ketika terjadi peristiwa
hipermetropi dan diberi bantuan atau dikoreksi dengan lensa cembung itu, bayangan tidak jatuh
di belakang retina lagi melainkan tepat jatuh di bagian retina. Sehingga hasil yang nampak
setelah koreksi dari lensa cembung tersebut akan terlihat normal dan jelas.
Pada percobaan miopi, model mata disusun sedemikian rupa hingga terjadi rabun jauh
atau miopi. Miopi sendiri merupakan keadaan mata yang tidak normal, dimana mata tidak dapat
melihat benda – benda dari jarak yang jauh. Miopi pada manusia sendiri disebabkan karena
kekuatan lensa mata yang terlalu kuat. Selain itu, miopi juga dapat terjadi karena diameter bola
mata yang terlalu panjang. Hal tersebut menyebabkan bayangan yang dikirim oleh lensa mata,
jatuh di depan retina. Sehingga hasil yang terlihat pada bagian retina adalah kabur. Prinsip
tersebut yang kemudian digunakan dalam percobaan miopi ini, yakni dengan memundurkan
posisi dari retina menjadi lebih jauh dari lensa mata sehingga seolah – olah bola mata menjadi
lebih panjang. Hal tersebut yang menyebabkan bayangan cahaya yang masuk tidak jatuh tepat
pada retina melainkan jatuh di belakang retina sehingga pada retina tampak bayangan yang
kabur. Kemudian setelah dikoreksi dengan lensa negatif atau lensa cekung, bayang yang
tampak pada retina menjadi normal lagi dan terlihat dengan jelas. Hal ini disebabkan karena
lensa cekung yang diletakkan pada bagian S1 atau S2 berperan dalam memundurkan jatuhnya
bayangan menjadi lebih jauh dari lensa mata. Sehingga ketika terjadi peristiwa miopi dan diberi
bantuan atau dikoreksi dengan lensa cekung itu, bayangan tidak jatuh di depan retina lagi

14
Laporan Praktikum Fisiologi – Mekanisme Penglihatan

melainkan tepat jatuh di bagian retina. Sehingga hasil yang nampak setelah koreksi dari lensa
cekung tersebut akan terlihat normal dan jelas.
Pada percobaan astigmatisme, model mata disusun sedemikian rupa hingga terdapat
lensa silindris -5,5D pada bagian G2. Hal tersebut menyesuaikan hasil bayangan dari lensa
mata pada penderita astigmatisme. Dimana pada penderita astigmatisme, lengkung kornea
ataupun lensa mata tidak rata. Hal tersebut menyebabkan kelainan pada refraksi pada proses
penangkapan cahaya sehingga bayangan yang tampak pada retina terlihat kabur namun pada
bagian yang horisontalnya masih terlihat jelas. Hal ini disebabkan karena tidak semua bagian
dari lensa atau kornea yang mengalami kerusakan. Kemudian, setelah di beri lensa silindris
+5,5D pada bagian S1 ataupun S2, bayangan pada retina dapat terbentuk dengan jelas dan
normal. Namun, pada koreksi mata astigmatisme, pemasangan lensa silindris yang tepat dan
tidak boleh asal. Karena ketika pemasangan lensa silindris tidak tepat, hal tersebut tetap
membentuk hasil bayangan yang kabur. Hal tersebut disebabkan karena lengkung kerusakan
permukaan lensa yang tidak rata sehingga pemberian lensa silindris harus disesuaikan dengan
sumbu atau axisnya. Hingga akhirnya terbentuk bayangan pada retina yang normal.
Pada percobaan akomodasi, mata model disusun sedemikian rupa seperti melihat benda
– benda dari dekat. Pada mata manusia normal, terdapat kemampuan yang dinamakan daya
akomodasi. Daya akomodasi tersebut adalah kemampuan mata untuk menyesuaikan letak
bayangan benda pada jarak yang berbeda tepat pada retina. Sehingga mata manusia dapat
melakukan akomodasi maksimum maupun mininum agar bayangan yang terbentuk dapat jatuh
tepat pada retina. Namun pada model mata yang digunakan, model mata tidak memiliki
kemampuan untuk berakomodasi. Sehingga ketika terdapat benda dengan jarak dekat mata
model tidak dapat berkamodasi maksimum padahal mata manusia akan berakomodasi ketika
terdapat benda yang dekat. Oleh karena itu, ketika ada benda dekat, hasil bayangan di retina
model akan tampak kabur. Sehingga pada model perlu adanya pergantian lensa pada mata
model sehingga bayangan dapat terbentuk dengan jelas dan normal pada retina. Hal tersebut
menyebabkan seolah – olah mata akan berakomodasi untuk dapat melihat benda dengan jarak
yang dekat
Pada percobaan Afakia, model mata Cenco-Ingersoll disusun sedemikian rupa tanpa
diberikan lensa mata. Karena pada percobaan afakia ini, model mata disusun menyerupai mata
penderita mata afakia. Dimana pada penderita mata afakia, yang mengalami gangguan adalah
bagian lensa matanya. Pada penderita mata afakia, yang terjadi adalah tidak adanya lensa pada
mata. Sehingga pada percobaan afakia ini, lensa mata pada model mata dihilangkan. Hal

15
Laporan Praktikum Fisiologi – Mekanisme Penglihatan

tersebut menyebabkan bayangan yang tampak pada retina terlihat kabur. Penyebabnya
bayangan kabur tersebut adalah karena tidak adanya lensa mata yang bertugas dalam
memusatkan cahaya yang masuk untuk jatuh tepat pada retina sehingga hasilnya tidak jelas.
Kemudian setelah diberi lensa positif dengan kuat lensa yang menyerupai lensa mata yakni
lensa +7D, menyebabkan bayangan cahaya yang tampak menjadi jatuh tepat pada bagian
retina. Hal tersebut disebabkan karena lensa mata +7D tersebut berperan dalam menggantikan
lensa mata yang tidak ada tersebut. Sehingga mata dapat berfungsi dengan normal kembali.
B. Model Mata
a. Mata emetrop:
Dari percobaan dapat disimpulkan bahwa 25 𝑐𝑚 merupakan jarak optimal
dalam membentuk bayangan yang jelas pada mata normal.
b. Mata miopia:
Dalam percobaan, miopia terbentuk karena retina yang terlalu jauh sehingga
fokus bayangan jatuh di depan retina, maka terbentuklah bayangan yang kabur.
Bayangan kembali jelas saat diberikan lensa sferis –1,75 D karena lensa tersebut
berfungsi memundurkan fokus bayangan.
c. Mata hipermetropia:
Dalam percobaan, hipermetropia terbentuk karena retina yang terlalu dekat
sehingga fokus bayangan jatuh di belakang retina, maka terbentuklah bayangan
yang kabur. Bayangan kembali jelas saat diberikan lensa sferis +2 D karena lensa
tersebut berfungsi memajukan fokus bayangan.
d. Mata astigmatisma:
Astigmatisma disebabkan oleh permukaan kornea/lensa yang tidak rata,
namun dalam percobaan dibuat seolah-olah permukaannya tidak rata dengan
mengganti lensa kristalina dengan lensa silindris negatif yang membuat fokus
bayangan jatuh pada sebuah bidang di retina. Bayangan kembali jelas saat
diletakkan lensa sferis –7 D karena lensa tersebut memundurkan fokus bayangan.
e. Mata afakia:
Pada keadaan tanpa lensa, bayangan tidak akan jatuh fokus karena tidak ada
media yang membelokkan bayangan tersebut. Alhasil, bayangan yang terbentuk
sangat kabur karena titik fokus berada jauh di belakang retina.
C. Pemeriksaan luas lapang pandang (perimetri):

16
Laporan Praktikum Fisiologi – Mekanisme Penglihatan

Dengan membandingkan nilai hasil perimetri yang didapatkan dengan nilai


normalnya, diperoleh OP memiliki kelainan di matanya, sehingga jarak lapang
pandangnya sangat kecil, tetapi hal ini masih dapat dikatakan normal karena jarak
pandang perempuan dan laki-laki jauh berbeda dan OP dapat membedakan warna yang
dilihatnya.
D. Pemeriksaan buta warna:
Setelah melakukan tes buta warna, pasien simulasi memiliki penglihatan
trikromat yang berarti ia memiliki ketiga jenis iodopsin pada retinanya yang
memampukan ia untuk melihat tiga warna saat cahaya yang ada cukup.

Kesimpulan

Mata merupakan alat optik pada manusia yang berperan sangat penting dalam
melakukan kehidupan sehari-hari dan memiliki mekanisme kerja yang membutuhkan presisi
yang tinggi. Mata manusia memiliki kemampuan untuk melihat bentuk dan mengenali warna
yang ada di dalam lapang pandangnya. Meskipun ada banyak gangguan-gangguan pada media
refraksi mata, sebagian besar sudah dapat diperbaiki dengan menggunakan berbagai jenis lensa
yang sesuai. Mata terhubung dengan sistem saraf, yang secara pasif menjadikannya terhubung
dengan seluruh tubuh kita. Oleh karena itu, untuk melakukan kegiatan sehari-hari kita selalu
tergantung pada mata untuk memberikan reaksi yang tepat.

17
Laporan Praktikum Fisiologi – Mekanisme Penglihatan

DAFTAR PUSTAKA

1. James B, Chew C, Bron A. Lecture Notes Oftalmologi. Edisi 9. Jakarta: Penerbit


Erlangga; 2006. hal. 20 – 22
2. Riordan – Eva P, Whitcher JP. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2010
3. Kanski JJ, Menon J. Clinical Opthalmology. Edisi 5. China: Butterworth –
Heinemann; 2003
4. Pavon – Langston D. Manual of Ocular Diagnosis and Therapy. Edisi 5. USA:
Lippincott Williams & Wilkins; 2002
5. Sherwood L. Human physiology. From cells to systems. 8th edition. China:
Brooks/Cole, Cengage Learning; 2013: p.111, 206, 210-5, 220-2.
6. Hartanto YB, Nirmala WK, Ardy, Setiono S, Dharmawan D, Yoavita, et.al.,
penyunting. Kamus saku kedokteran dorland. Edisi ke-28. Jakarta: EGC; 2008: h. 78.
7. Guyton, Hall. Textbook of medical physiology. 12th edition. Philadelphia: Saunders;
2010: p. 1177.
8. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of anatomy & physiology. 13th edition. New
Jersey: John Wiley& Sons Incorporated; 2012:p. 470-2.

18
Laporan Praktikum Fisiologi – Mekanisme Penglihatan

LAMPIRAN

1. Hasil percobaan A: Pemeriksaan luas lapang pandang (perimetri)

19

Anda mungkin juga menyukai