tumbuh. Seiring dengan perkembangan bayi, maka schema ini akan terintegrasi dengan
schema makan lainnya sesuai dengan pengalaman si bayi dan perubahan nutrisinya.
Asimilasi, yang merupakan salah satu prinsip dari Piaget didefinisikan sebagai suatu
proses meletakkan pengalaman baru di dalam struktur mental yang sudah ada. Seorang anak
belajar untuk mengembangkan struktur kognitif dalam rangka memahami dunianya ketika ia
menghadapi pengalaman-pengalaman baru. Proses asimilasi merupakan proses yang aktif dan
memerlukan partisipasi aktif sekaligus selektif si anak dalam menerima sebuah pengetahuan,
namun tidak semua pengetahuan yang didapat akan digabungkan dalam schema-nya
Akomodasi, prinsip kedua dari teori Piaget didefinisikan sebagai tindakan merevisi
schema yang sudah ada karena adanya pengalaman-pengalaman baru. Sebagai contoh,
seorang anak mungkin memiliki schema bahwa semua benda-benda yang terbang dianggap
sebagai burung, namun ketika ia melihat sebuah frisbee terbang, maka ia akan mulai
memikirkan schema baru yang cocok untuk mendeskripsikan frisbee tersebut dikarenakan
ketidakcocokan frisbee dengan schema burung yang dimilikinya. Oleh karena itulah, ketika
seorang anak mendapat sebuah pengalaman yang mana schema miliknya tidak dapat
mendeskripsikan pengalaman tersebut, maka si anak akan mengembangkan schema baru
yang cocok dengan pengalaman yang dialaminya.
Ekuilibrasi, yang merupakan prinsip terakhir dari teori Piaget, didefinisikan sebagai
proses mencari untuk mencapai stabilitas kognitif melalui proses asimilasi dan akomodasi.
Selama proses interpretasi, seorang anak akan terus mengembangkan schema yang
dimilikinya dalam rangka menghadapi berbagai pengalaman yang dialaminya. Ekuilibrasi
ialah proses yang akan selalu berubah, setiap kali anak mengalami pengalaman baru, maka
pengalaman baru itu akan membuat anak berada dalam tahap disekuilibrium (tidak seimbang)
hingga akhirnya asimilasi dan akomodasi membuat si anak kembali seimbang. Sebagai
contoh, mengacu pada contoh sebelumnya mengenai frisbee, ketika si anak melihat frisbee,
maka ia akan mengalami kebingungan karena frisbee tidak cocok dengan schema yang sudah
dimilikinya, dikatakan anak sedang mengalami tahap disekuilibrium karena ia tidak dapat
menjelaskan apa itu frisbee dengan schema atau cara berpikir yang sudah ia miliki. Namun
ketika melalui akomodasi, si anak mengembangkan schema baru untuk frisbee sebagai
sebuah benda terbang yang tidak hidup maka si anak akan kembali ke tahap ekuilibrium,
hingga pengalaman baru kembali menghampirinya.
Melalui ketiga prinsip utama yang sudah dijelaskan sebelumnya itulah, Piaget
mengembangkan teori perkembangan kognitif miliknya. Menurut teori perkembangan
kognitif Piaget, perkembangan seorang anak akan diiringi pula dengan perkembangan otak
Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta 2013
Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 2
melalui proses maturasi alami yang terus berjalan, yang membuat otak semakin
mendewasakan pemikiran dan meningkatkan pemahaman. Selain itu, Piaget juga
menghubungkan perkembangan kognitif dengan faktor lingkungan yang menjadi faktor lain
yang penting untuk perkembangan kognitif seorang anak. Berikut adalah tahapan-tahapan
perkembangan kognitif milik Piaget.
Perkiraan Umur
0-1 bulan
Deskripsi
Schema dan reflek-refleks yang sudah
dimiliki
sejak
lahir.
Tidak
punya
1-4 bulan
informasi.
Contoh:
refleks menghisap.
Fase yang terdiri atas 2 elemen. Reaksi
primer ialah respon refleks/motorik.
Reaksi sirkular, dideskripsikan sirkular
4-10 bulan
luar.
Fokus berpindah dari tubuh sendiri ke
objek.
Bayi
sejumlah
mulai
kecil
lingkungan
mengembangkan
kontrol
sekitarnya.
terhadap
Konsep
10-12 bulan
sekunder
bulan.
Digambarkan sebagai kombinasi dari
schema-schema
untuk
memecahkan
12-18 bulan
tujuan tertentu.
Metode trial
and
error
untuk
18-24 bulan
Belajar
masalah
dan
untuk
belajar
tentang lingkungannya.
Belajar bahwa objek dan individuindividu tertentu dapat digambarkan
dengan
simbol.
sebelumnya
dapat
Tingkah
ditiru.
laku
Meniru
Selain egosentrisme, anak juga memahami bahwa benda-benda yang tidak bergerak dapat
melakukan suatu kegiatan dan memiliki kualitas yang sama seperti benda-benda yang
hidup. Hal ini dinamakan animisme.
Sub-tahap intutitif berlangsung di antara rentang umur 4 sampai 7 tahun. Anak
menjadi begitu ingin tahu dan menanyakan berbagai pertanyaan yang bervariasi. Piaget
menamakan ini sebagai tahap intuitif karena anak memiliki sejumlah besar pengetahuan
namun belum peduli dengan bagaimana cara menggunakan pengetahuannya tersebut.
Sub-tahap ini juga ditandai dengan ketidakpedulian anak akan konservasi, ketika
anak disuruh untuk memilih antara gelas yang pendek dengan gelas yang tinggi yang
telah diisi dengan volume air yang sama, maka si anak akan memilih gelas yang tinggi
karena menurut pemikirannya, gelas tinggi akan memiliki kuantitas air yang lebih
banyak. Contoh lainnya, ketika si anak dihadapkan pada sebuah mangkuk dengan es krim
yang sedikit, maka ia menangis namun ketika es krim tersebut dipindahkan ke mangkuk
yang lebih kecil, akan terlihat lebih banyak maka si anak akan berhenti menangis karena
menurutnya ia telah mendapat es krim yang lebih banyak.
Selain itu, anak juga memiliki pemahaman yang salah tentang kurang dari dan
lebih dari, ketika terdapat 2 baris dari sejumlah balok diletakkan di depannya, satu baris
memiliki sejumlah balok yang direntangkan lebih panjang dibanding baris lainnya. Balok
antara kedua baris berjumlah sama. Anak akan berpikir bahwa baris yang memiliki balok
yang direntang lebih panjang punya jumlah balok yang lebih banyak dibandingkan
strategi-strategi
dan
aturan-aturan
yang
selanjutnya
digunakan
untuk
dikembalikan lagi ke jumlah awalnya, misalnya bola yang kurang angin atau kempes
dapat dikembalikan menjadi gembung dengan cara mengisi angin ke dalamnya.
Anak pun sudah demikian berkembang sehingga ia mampu memahami
penggunaan logika induktif, sebagai contoh apabila seorang anak memakan sebuah
permen dari tangannya, semula permen berjumlah 10 namun ketika ia makan maka
jumlah permen tidak akan 10 lagi oleh karena itu ia berpikir bahwa setiap kali ia
memakan permen tersebut maka jumlahnya akan terus berkurang dari jumlah awal yang
ada di tangannya.
Egosentrisme pada tahap ini sudah berangsur-angsur hilang dan anak mulai
belajar untuk bermain bersama dan menerima sudut pandang orang lain.
Operasional Formal (12-16 tahun)
Pada tahap ini, ketergantungan anak terhadap benda-benda konkrit sudah
berkurang dan anak mulai belajar untuk memecahkan masalah yang bersifat hipotetis atau
masalah yang tidak dapat mereka lihat. Tahap ini dicirikan dengan penggunaan pemikiran
deduktif hipotetis dan pemecahan masalah yang sistematis.
Pemikiran deduktif hipotetis ialah suatu pemikiran yang menggunakan logika
deduktif yang tidak ditemui pada anak-anak yang lebih muda. Sedangkan, elemen kedua
ialah pemecahan masalah yang sistematis. Sebagai contoh, seorang anak ingin
menghasilkan warna ungu, maka ia akan mulai mencoba mencampur-campurkan berbagai
warna agar dapat mendapat kombinasi warna yang tepat untuk warna ungu dan dengan
mempelajari kombinasi-kombinasi warna yang sebelumnya sudah ia pelajari juga ia dapat
menghasilkan warna ungu. Ini merupakan suatu cara sistematis dalam memecahkan
masalah si anak. Selain kedua kemampuan tersebut, anak juga akan mulai mempelajari
kemampuan untuk berpikir secara abstrak pada tahap ini.
Sebagai makhluk biologis, kita memiliki insting dasar seksual yang agresif dan harus
dipenuhi. Menurut Freud, cara-cara dimana orang tua mengatur keinginan seksual dan agresif
pada tahun-tahun pertama anaknya akan memainkan peran dalam mempertajam kepribadian
si anak nantinya.
Freud, dalam teorinya mengemukakan bahwa ada 3 komponen dari kepribadian, yaitu
id, ego dan superego berkembang satu sama lain dan kemudian terintegrasi di dalam 5 tahap
perkembangan psikoseksual manusia. Hanya id yang benar-benar ada saat lahir dan memiliki
fungsi murni untuk memuaskan insting biologis anak baru lahir sesegera mungkin. Bayi-bayi
baru lahir seringkali terlihat all id karena ketika mereka lapar atau mengompol maka ia
akan terus memangis hingga kebutuhannya terpenuhi.
Lain dibandingikan dengan id, ego merupakan komponen kepribadian yang lebih
sadar dan rasional yang merefleksikan kemampuan seorang anak untuk dapat belajar,
mengingat dan berpikir. Fungsi dari ego adalah untuk menemukan cara yang lebih dapat
dimengerti maksudnya oleh orang lain dalam memuaskan insting, seperti ketika balita lapar,
maka ia akan mengingat bagaimana ia mendapat makanan, mencari orang tuanya, kemudian
mengatakan kue. Seiring ego yang terus bertambah dewasa, anak-anak akan menjadi lebih
baik dalam mengatur id yang irrasional dan menemukan cara baru yang lebih wajar untuk
memuaskan kebutuhan mereka. Walau bagaimanapun, tidak semua cara-cara untuk
memecahkan masalah anak dapat diterima oleh orang tua, karena seringkali mencuri
makanan pun akan segera diketahui oleh orang tua sebagai salah satu cara bagi anak untuk
memuaskan kebutuhannya.
Komponen terakhir dari kepribadian ialah superego yang merupakan wujud dari hati
nurani dan akan berkembang di antara umur 3-6 tahun, seiring dengan saat-saat dimana anak
mulai mengimplementasikan nilai-nilai moral dari orang tuanya. Ketika superego muncul,
maka anak tidak membutuhkan orang tuanya lagi untuk menenentukan tindakannya benar
atau salah.
Superego akan memaksa ego untuk menemukan cara yang dapat diterima untuk
memuaskan keinginan id. Ketiga komponen ini selanjutnya akan bekerja bersama-sama
menciptakan suatu kepribadian manusia yang sehat, id akan memberitahukan kebutuhankebutuhan dasar yang diperlukan seorang manusia, ego akan menahan id cukup lama untuk
menemukan cara yang tepat dan realistis dalam memuaskan kebutuhan-kebutuhan tersebut,
sedangkan superego akan memutuskan apakah cara-cara yang digunakan oleh ego dalam
memuaskan kebutuhan tersebut dapat diterima secara moral. Ketiganya menyeimbangkan diri
satu sama lain dalam menghadapi realita dari dunia luar anak.
Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta 2013
Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 7
Freud pun berpikir bahwa insting seks merupakan salah satu insting yang penting
karena ia menemukan bahwa pasiennya yang mengalami gangguan jiwa seringkali berkutat
di konflik seksual masa kecilnya yang sudah pernah mereka tekan sebelumnya. Freud
percaya bahwa seiring dengan insting seksual yang semakin mendewasa maka fokusnya akan
berpindah dari satu anggota tubuh ke anggota tubuh yang lain dan setiap perpindahan itu akan
membawa individu ke tahap perkembangan psikoseksual yang lebih tinggi. Berikut ini ialah 5
tahap perkembangan psikoseksual yang dikembangkan oleh Freud.3
Tabel 2. Tabel perkembangan psikoseksual menurut Freud3
Tahap Psikoseksual
Oral
Umur
Lahir 1 tahun
Deskripsi
Insting seks berpusat pada mulut karena
bayi mendapat kepuasan dengan berbagai
aktivitas
mengunyah,
oral
dan
seperti
menghisap,
menggigit.
Kegiatan
1 3 tahun
menimbulkan
konflik
besar
3 6 tahun
seksual
ke
sang
ibu
dan
6 11 tahun
keinginan
seksual
ke
ayahnya.
Trauma saat fase falik akan membuat
keinginan
seks
tertekan,
sementara
yang
memerlukan
banyak
12 tahun ke atas
masalah
dan
Level 1 : Pre-konvensional
Level moral ini hampir sama dengan tahapan moral realisme milik Piaget dan
tipikal dengan anak-anak preoperasional. Disebabkan oleh egosentrismenya atau
fokusnya kepada kesenangan sendiri dan tidak dapat menerima sudut pandangan orang
lain, maka penilaian anak-anak yang lebih muda didasarkan pada apa yang baik untuk
mereka, dan apa yang baik untuk mereka terutama karena ingin menghindari hukuman.
Bila mereka tidak takut akan akibat yang timbul oleh karena pelanggaran aturan,
dapat dipastikan tingkah laku anak akan tidak terkontrol oleh pertimbangan moral. Bila
ditawari benda-benda asing, anak pada level 1 akan dipastikan tidak mengambil benda
tersebut karena mereka takut ditangkap. Level 1 ini kemudian dibagi menjadi 2 tahap:
Tahap 1: Punishment-Obedience Orientation
Dalam tahap ini, individu semata-mata menghindari pelanggaran karena takut
akan hukuman tanpa menggunakan ideologi diri sendiri. Hampir sebagian besar anak
yang berada pada jalur normal akan melewati tahap perkembangan ini, namun apabila
mereka tidak memikiki role-model yang cocok dan pantas, bukan tidak mungkin anak
tidak bisa meninggalkan tahap ini, dan akan berakibat pada kurangnya kriteria moral
untuk penilaian yang benar dan salah.
Tahap 2: Personal-Reward Orientation
Pada tahap ini, terdapat proses resiprok yang timbul, dan hal yang baik masih
ditentukan oleh apa yang baik untuk dirinya sendiri. Moralitas yang berkembang di
tahap ini sama seperti istilah kehormatan di antara para pencuri. Tahap ini
merupakan tahap yang harus dilewati secara sempurna oleh anak, atau bila tidak maka
anak akan menjadi pribadi dewasa yang memilih untuk menghabiskan hidup terlibat
dalam kasus kriminal yang terencana atau berada dalam karir dan tidak memiliki
keraguan sama sekali.
Level 2: Konvensional
Pada level moral ini, pertimbangan moral difokuskan pada perspektif sosial bahwa anak
akan mengambil pertimbangan dengan ikut mempertimbangkan pertimbangan orang lain.
Hasilnya ialah anak akan melakukan apapun untuk menyenangkan orang lain untuk tetap
diterima dalam kelompoknya. Pada level ini juga, seorang individu akan terus
mengabaikan keuntungan untuk dirinya dan lebih melihat efeknya untuk orang-orang lain.
Tahap 3: Good-Person Orientation
Pada tahap konvensional pertama ini, penekanan terdapat pada menjadi orang yang
baik, diterima komunitas, menyenangkan orang lain dan menampilkan tingkah laku
yang pantas serta memenuhi ekspektasi orang lain.
Tahap 4: Law-and-Order Orientation
Pada tahap kedua ini, moralitas diukur dari menghormati kekuasaan, melakukan tugas
dari seseorang dan menjalankan perintah sosial untuk kepentingan sendiri. Hukum dan
aturan harus dipatuhi karena kedua hal tersebut merupakan hal yang penting.
Level 3: Post-konvensional
Level ketiga ini lebih menampilkan moral dan aturan yang lebih abstrak, berprinsip dan
dapat bergantung pada pandangan individual mengenai aturan dan moral. Prinsip moral
dapat didefinisikan sendiri oleh siapa pun.
Tahap 5: Social-Contract Orientation
Pada tahap ini, hukum dipercayai sebagai hal yang penting namun lebih
bersifat relatif dibanding absolut. Hukum diterima sebagai konsensus sosial atau
persetujuan dari orang-orang untuk mengatur standar sosial dan untuk melindung hak
individu. Oleh karena hukum sebagai konsensual, maka hukum dapat dirubah secara
demokratis bila tidak memenuhi kebutuhan masyarakat. Hukum digunakan untuk
membuat semua orang hidup dalam harmoni, ketika hukum menjadi tidak adil maka
hukum harus dibuang atau diganti untuk membantu mengatur masyarakat menjadi
lebih baik. Hukum melayani orang dan tidak boleh menganggu kebebasan individual.
Tahap 6: Universal-Ethical-Principle Organization
Tahapan moral ini terutama didasarkan pada pandangan bahwa moral itu merupakan
sesuatu yang adil dan seimbang. Mereka tidak hanya mengajarkan prinsip itu kepada
orang lain namun juga mengorbankan nyawa mereka untuk prinsip moral itu.
Kebenaran didefinisikan bukan oleh kenyamanan atau untuk keuntungan semara
namun lebih kepada keadilan yang universal. Kebenaran itu abstrak dan bersifat etis
dibanding konkrit dan moralistis. Hak kesamaan ialah kepercayaan yang dianut secara
mayor.4,5
modifikasi atas teori Freud tersebut. Erikson, secara terbuka membuat perbedaan dengan teori
Freud dalam 2 hal penting, yaitu Erikson menekankan bahwa anak-anak merupakan pribadi
yang aktif, pengeksplorasi yang punya rasa ingin tahu besar yang berusaha untuk beradaptasi
dengan lingkungannya, daripada sebagai makhluk pasif yang hanya bereaksi terhadap
rangsangan-rangsangan biologi di sekitarnya. Perbedaan kedua ialah Erikson menempatkan
lebih sedikit penekanan pada keinginan seksual dan penekanan lebih jauh pada pengaruh
sosial dan budaya dibanding Freud, dan oleh karena itulah teori ini dinamakan teori
psikososial.
Erikson percaya bahwa tiap orang mengalami 8 krisis mayor, yang disebutnya sebagai
tahap psikososial selama kehidupannya. Setiap krisis muncul pada rentang waktu yang
berbeda dan disebabkan oleh maturasi biologis dan keinginan sosial yang mengembangkan
pengalaman-pengalaman tiap orang ke titik tertentu dalam kehidupan. Setiap krisis harus
diselesaikan dengan baik dengan tujuan untuk mempersiapkan resolusi untuk krisis
kehidupan yang akan datang. Krisis seringkali menjadikan seseorang berada di antara 2 kutub
yang berbeda dan berlawanan, di saat itulah orang dituntut untuk memilih salah satu kutub,
walaupun sebenarnya tidak selalu kutub positif yang memberikan resolusi, terkadang resolusi
bisa didapatkan dengan menggabungkan kedua kutub dalam tingkatan yang lebih tinggi,
disebut synthesis.
Erikson tidak hanya memaparkan perkembangannya sampai tingkatan remaja atau
dewasa muda seperti yang Freud lakukan. Erikson mempercayai bahwa masalah remaja dan
dewasa muda sangat berbeda dengan yang dihadapi oleh orang tua yang membesarkan anak
atau orang yang sudah sangat tua dan mulai memutuskan untuk pensiun. Berikut adalah 8
tahap perkembangan psikososial menurut Erikson.3,6
Krisis Psikososial
Basic trust vs Mistrust
lain
untuk
kebutuhan
dasar
perawatnya
menolak
memperhatikan
mereka.
Bila
atau
tidak
atau
diandalkan.
Seorang
Autonomy vs
shame and doubt
dan
berpengaruh
besar
dalam
3 6 tahun
Initiative vs guilt
ini.
Anak berusaha untuk bertindak layaknya
orang yang sudah besar dan akan
mencoba
untuk
menerima
tanggung
merasa
bersalah. Anak
Industry vs inferiority
kemampuan
periode
dimana
anak
hal-hal
tersebut,
akan
Identitiy vs role
tahap ini.
Ini adalah persimpangan jalan antara
confusion
mulai
berkutat
dengan
peran
jalankan
yang
sebagai
Sekumpulan
harus
orang
teman
mereka
dewasa.
sebaya
atau
Intimacy vs isolation
tahap ini.
Tugas utama tahap ini ialah untuk
membangun persahabatan yang kuat dan
untuk mencapai kehidupan asmara yang
baik dengan orang lain. Merasa kesepian
dan
terisolasi
ketidakmampuan
adalah
hasil
seseorang
dari
dalam
Generativity vs
(dewasa tengah)
stagnation
ini.
Pada
tahap
menghadapi
ini,
orang
dewasa
tugas
untuk
menjadi
keluarga
mereka
atau
tahap ini.
Dewasa yang lebih tua akan mulai
melihat kembali hidupnya yang lalu,
memandang itu baik sebagai suatu
kehidupan yang produktif, penuh arti dan
meyenangkan ataupun memandanganya
sebagai kekecewaan dan penuh dengan
janji yang tidak terpenuhi dan tujuan
hidup yang belum dicapai. Pengalaman
hidup akan sangat menentukan hasil dari
krisis hidup yang terakhir ini.
Faktor Lingkungan
Dalam kaitannya dengan kasus, faktor lingkungan yang dapat berpengaruh pada
kepribadian remaja tersebut ialah salah satunya karena faktor pola asuh orang tua. Pola asuh
memiliki pengaruh penting terhadap perkembangan kepribadian dan karakter anak. Pola asuh
juga ikut menentukan bagaimana anak akan memandang hidup; karena ketika orang tua
mengasuh, maka di situ pula orang tua akan membagikan pola pikir mereka kepada anakanak mereka, sehingga bukan tidak mungkin sang anak akan menganut pola pikir yang sama
dengan orang tua yang mengasuh mereka.
Selain pola asuh orang tua, faktor sosial ekonomi juga ikut berperan dalam
membentuk kepribadian anak. Anak yang hidup dengan segala kecukupan sosial dan ekonomi
cenderung berkembang ke arah yang benar, namun tidak selalu mutlak, karena kadang ada
anak yang dibesarkan di lingkungan sosial ekonomi yang rendah namun tetap bisa
mempertahankan nilai-nilai moral yang ada. Karena kembali lagi kepada faktor pola asuh
orang tua, apabila sosial ekonominya berada pada tingkat yang tinggi, namun ia cenderung
kekurangan kasih sayang, maka anak bisa saja tumbuh menjadi anak yang pemberontak dan
mencari perhatian dari orang-orang lain.
Faktor teman sebaya menjadi faktor yang memegang peran pula, karena lewat teman
sebaya lah, seorang anak mendapatkan nilai-nilai sosial baru dan belajar bagaimana harus
bertindak di depan teman-teman sebayanya. Melalui permainan dengan teman sebaya,
seorang anak mulai mengubah nilai-nilai yang sudah ada di dalam dirinya dan memodifikasi
nilai-nilai itu dengan tujuan menyesuaikan diri dengan jenis permainan teman-teman
sebayanya. Tuntutan teman sebaya sebenarnya ikut mendorong seorang anak untuk
mengubah dirinya, entah ke arah yang lebih baik atau ke arah yang lebih buruk, kembali lagi
kepada bagaimana karakteristik teman-teman sebaya yang dimiliki oleh remaja dalam
skenario tersebut. Mungkin saja remaja perempuan tersebut merasa tidak diterima di
pergaulan teman sebayanya dan kemudian melampiaskan kemarahannya pada keluarganya.
Kemungkinan seperti itu bisa saja terjadi, dan bila tidak diperhatikan maka anak akan
cenderung menjadi orang yang sering melampiaskan kekesalannya kepada orang-orang
terdekatnya, yaitu keluarganya sendiri.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk kasus-kasus seperti ini biasanya tidak memerlukan terapi
farmakologik, karena kasus seperti ini akan lebih baik bila ditangani dengan menggunakan
pendekatan-pendekatan tertentu. Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menangani kasus
ini ialah:
Melakukan pendekatan yang bersahabat terhadap anak dan berusaha untuk menampilkan
diri sebagai sosok yang peduli akan krisis yang dia alami dengan tujuan membuat si
remaja merasa nyaman untuk bercerita perihal masalah dirinya.
Melakukan follow-up terhadap remaja ini dengan tujuan untuk melihat perkembangan
perubahan yang ia alami dan terus memantau kestabilan emosinya, hal ini juga bertujuan
untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti bunuh diri, pelarian ke obatobatan dan lain-lain.
Melakukan interview terpisah antara orang tua dan si remaja, dengan tujuan untuk
membuat suasana yang lebih kondusif bagi si anak bila ia takut kisah hidupnya didengar
dan dikritisi secara tajam oleh orang tuanya. Hal semacam ini juga dapat menciptakan
hubungan yang cukup rahasia terhadap si remaja dan interviewer sehingga memudahkan
penggalian informasi dari si anak. Selanjutnya, diadakan sesi terpisah dengan orang tua
untuk menjelaskan secara detil krisis yang anaknya sedang alami.
Menggali informasi bukan hanya dari pihak anak dan orang tua, namun juga dari pihak
sekolah dan teman-teman sebaya si anak untuk mendapatkan informasi seputar keseharian
si anak di sekolah dan bagaimana perangainya ketika bersekolah.
Memecahkan masalah bersama sambil membiarkan si anak untuk berpikir sendiri dalam
menemuka solusi yang dirasa paling baik dan tepat bagi dirinya, psikolog atau psikiater
hanya membantu untuk membukakan jalan pikiran anak menuju solusi yang ia mau.
Kesimpulan
Ada beberapa teori yang menjabarkan tentang perkembangan anak, mulai dari teori
kognitif, moral, psikoseksual, dan psikososial. Perkembangan seorang anak dipengaruhi
banyak faktor, antara lain peran orang tua, kelompok teman sebaya, dan lingkungan
masyarakat. Malu bergaul dengan teman seperti yang dialami anak perempuan 16 tahun pada
skenario PBL dapat disebabkan karena adanya pengaruh faktor-faktor yang sudah dipaparkan
dalam pembahasan di atas sehingga psikologisnya terganggu.
Daftar Pustaka
1. Santrock JW. Adolescence: perkembangan remaja. Edisi ke-6. Jakarta: Erlangga; 2008.
2. Oakley L. Cognitive development. New York: Routledge; 2004.
3. Shaffer DR, Kipp K. Developmental pyschology: childhood and adolescence. USA:
Wadsworth; 2010.
4. Tuckman BW, Monetti DM. Educational pyschology. USA: Wadsworth; 2012.
5. Hill G. A level pyschology through diagrams. New York: Oxford Press; 2004.
6. Louw DA. Human development. Cape Town: Kagiso Tertiary; 2008.