Action
Buka airway menggunakan teknik
mengextensikan
Breathing
-
tanpa
detik
setiap
bantuan
terlalu
banyak
(volume).
Periksa pulsasi a. Carotis (dewasa)
Circulation
-
atau
Defibrillation
-
External
Defibrillation)
A. AIRWAY
Menilai jalan nafas dan pernafasan :
Bila penderita sadar dapat berbicara kalimat panjang : Airway baik,
Breathing baik
Bila penderita tidak sadar bisa menjadi lebih sulit
Lakukan penilaian Airway-Breathing dengan cara : Lihat-Dengar-Raba
Obstruksi jalan nafas
a. Jika tidak ada tanda-tanda tersebut maka lakukanlah Head Tilt and
Chin
Lift.
Chin lift dilakukan dengan cara menggunakan dua jari lalu mengangkat
tulang dagu bagian dagu yang keras) ke atas. Ini disertai dengan
melakukan Head tilt yaitu menahan kepala dan mempertahankan posisi
seperti figure berikut. Ini dilakukan untuk membebaskan jalan napas
korban.
b. Jika ada tanda-tanda tersebut, maka beralihlah ke bagian atas pasien,
jepit kepala pasien dengan paha, usahakan agar kepalanya tidak bergerakgerak lagi (imobilisasi) dan lakukanlah Jaw Thrust
Gerakan ini dilakukan untuk menghindari adanya cedera lebih lanjut pada
tulang belakang bagian leher pasien.
10. Sambil melakukan a atau b di atas, lakukan lah pemeriksaan kondisi
Airway (jalan napas) dan Breathing (Pernapasan) pasien.
11. Metode pengecekan menggunakan metode Look, Listen, and Feel
c. Chest Thrust, dilakukan pada ibu hamil, bayi atau obesitas dengan cara
memposisikan diri seperti gambar lalu mendorong tangan kearah dalam
atas.
Feel : Rasakan dengan pipi pemeriksa apakah ada hawa napas dari korban
?
12. Jika ternyata pasien masih bernafas, maka hitunglah berapa frekuensi
pernapasan pasien itu dalam 1 menit (Pernapasan normal adalah 12 -20
kali permenit)
13. Jika frekuensi nafas normal, pantau terus kondisi pasien dengan tetap
melakukan Look Listen and Feel
14. Jika frekuensi nafas < 12-20 kali permenit, berikan nafas bantuan
(detail tentang nafas bantuan dibawah)
15. Jika pasien mengalami henti nafas berikan nafas buatan (detail
tentang
nafas
buatan
dibawah)
16. Setelah diberikan nafas buatan maka lakukanlah pengecekan nadi
carotis yang terletak di leher (ceklah dengan 2 jari, letakkan jari di tonjolan
di tengah tenggorokan, lalu gerakkan lah jari ke samping, sampai
terhambat oleh otot leher (sternocleidomastoideus), rasakanlah denyut
nadi carotis selama 10 detik.
17. Jika tidak ada denyut nadi maka lakukanlah Pijat Jantung diikuti dengan
nafas buatan,ulang sampai 6 kali siklus pijat jantung-napas buatan, yang
diakhiri
dengan
pijat
jantung.
18. Cek lagi nadi karotis (dengan metode seperti diatas) selama 10 detik,
jika teraba lakukan Look Listen and Feel (kembali ke poin 11) lagi. jika
tidak teraba ulangi poin nomer 17.
19. Pijat jantung dan nafas buatan dihentikan jika
a.Penolong kelelahan dan sudah tidak kuat lagi
b.Pasien sudah menunjukkan tanda-tanda kematian (kaku mayat)
c.Bantuan sudah datang
d.Teraba denyut nadi karotis
20. Setelah berhasil mengamankan kondisi diatas periksalah tanda-tanda
shock
pada
pasien
:
a.Denyut nadi >100 kali per menit
b.Telapak tangan basah dingin dan pucat
c.Capilarry Refill Time > 2 detik ( CRT dapat diperiksa dengan cara
menekan ujung kuku pasien dg kuku pemeriksa selama 5 detik, lalu
lepaskan, cek berapa lama waktu yg dibutuhkan agar warna ujung kuku
merah lagi)
21. Jika pasien shock, lakukan Shock Position pada pasien, yaitu dengan
mengangkat kaki pasien setinggi 45 derajat dengan harapan sirkulasi
darah
akan
lebih
banyak
ke
jantung
10
11
c)
Crowing : suara dengan nada tinggi, biasanya disebakan karena
pembengkakan (edema) pada trakea, untuk pertolongan pertama tetap
lakukan maneuver head tilt and chin lift atau jaw thrust saja
BERKUMUR/GURGLING
Gargling : suara seperti berkumur, kondisi ini terjadi karena ada
kebuntuan yang disebabkan oleh cairan (eg: darah), maka lakukanlah
cross-finger(seperti di atas), lalu lakukanlah finger-sweep (sesuai
namanya, menggunakan 2 jari yang sudah dibalut dengan kain untuk
menyapu rongga mulut dari cairan-cairan).
\
Suaranya timbul akibat turbulensi aliran udara pada saluran nafas
atas akibat sumbatan. Tempat terjadinya sumbatan biasanya di basis
lidah
atau palatum. Sumbatan terjadi akibat kegagalan otot-otot dilator saluran
nafas atas menstabilkan jalan nafas di mana otot-otot faring berelaksasi,
lidah dan palatum jatuh ke belakang sehingga terjadi obstruksi.
MENGOROK / SNORING
Mengorok
Mendengkur (snoring) atau lebih dikenal dengan mengorok, merupakan
proses bergetarnya struktur pernapasan, yang akhirnya menghasilkan
suara. Mendengkur diakibatkan oleh terjadinya hambatan gerakan udara
yang terjadi saat seseorang sedang tidur. Sumbatan pada saluran napas
dapat mempersempit saluran pernapasan. Semakin sempit saluran napas,
12
13
Stridor, dapat terjadi akibat sumbatan sebagian jalan napas jalan napas
setinggi larings (Stridor inspirasi) atau stinggin trakea (stridor ekspirasi)
Hoarnes, akibat sumbatan sebagian jalan napas setinggi faring
Afoni, pada pasien sadar merupakan petanda buruk, pasien yang
membutuhkan napas pendek untuk bicara menandakan telah terjadi gagal
napas
3. FEEL:
Aliran udara dari mulut/ hidung
Posisi trakea terutama pada pasien trauma, Krepitasi
14
15
Bila anda menemukan seorang pasien tersedak yang tidak sadar dan
henti napas, bukalah mulutnya lebar-lebar dan carilah benda asing di
dalamnya. Bila anda menemukannya, keluarkan dengan menggunakan jari
anda. Bila anda tidak melihat adanya benda asing, mulai lakukan RJP. Tiap
kali anda membuka jalan napas untuk memberikan napas, bukalah
mulutnya lebar-lebar dan carilah benda asing di dalamnya. Bila ada
keluarkan dengan menggunakan jari anda. Bila tidak ada benda asing,
lanjutkan RJP
Dalam melakukan teknik membebaskan jalan nafas agar selalu diingat
untuk melakukan proteksi Cervical-spine terutama pada pasien
trauma/multipel trauma. jalan napas pasien tidak sadar sering tersumbat
oleh lidah, epiglotis, dan juga cairan, agar jalan napas tetap terbuka perlu
dilakukan manuver head tilt,chin lift dan juga jaw thrust. Bisa sebagian
atau kombinasi ketiganya (tripple airway manouver). Head tilt dan chin lift
adalah teknik yang sederhana dan efektif untuk membuka jalan napas
tetapi harus dihindari pada kasus cedera tulang leher/servikal.
Head tilt
Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan
horizontal, kecuali pada pembersihan jalan napas dimana bahu dan kepala
pasien harus direndahkan dengan posisi semilateral untuk memudahkan
drainase lendir, cairan muntah atau benda asing. Kepala diekstensikan
dengan cara meletakkan satu tangan di bawah leher pasien dengan
sedikit
mengangkat leher ke atas. Tangan lain diletakkan pada dahi depan
pasien sambil mendorong / menekan ke belakang. Posisi ini dipertahankan
sambil berusaha dengan memberikan inflasi bertekanan positif secara
intermittena .
Chin lift
Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian
secara hati hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan.
Ibu jari tangan yang sama, dengan ringan menekan bibir bawah untuk
membuka mulut, ibu jari dapat juga diletakkan di belakang gigi seri
(incisor) bawah dan, secara bersamaan, dagu dengan hati hati
diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan hiperekstensi leher.
Manuver ini berguna pada korban trauma karena tidak membahayakan
penderita dengan kemungkinan patah ruas rulang leher atau mengubah
patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang dengan cedera
spinal.
16
Jaw thrust
Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada
mandibula, jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada angulus
mandibula, jari tengah dan telunjuk kanan dan kiri berada pada ramus
mandibula sedangkan ibu jari kanan dan kiri berada pada mentum
mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas melewati molar pada
maxila.
17
Cara pemilihan OPA : pangkal OPA pd sudut mulut, ujung OPA pd angulus
mandibula. Apabila terlalu kecil maka tidak dapat efektif membebaskan
airway dan dapat mendorong lidah semakin ke belakang. Apabila terlalu
besar akan melukai epiglotis, merangsang muntah dan laringospasme.
18
19
Bila OPA terlalu kecil atau tidak dimasukkan dengan tepat dapat menekan
dasar lidah dari belakang dan menyumbat jalan napas.
20
Usia
Neonatus
Bayi
Anak kecil
Anak
Dewasa
kecil
Dewasa
normal
Berat
badan (kg)
<3
3 10
10-20
20 30
30 40
40 60
Dewasa
besar
21
> 60
LMA berupa sebuah pipa dengan ujung distal yang menyerupai sungkup
dengan tepi yang mempunvai balon sekelilingnya. Pada terpasang bagian
sungkup ini harus berada di daerah hipofaring, sehingga saat balon
dikembangkan maka bagian terbuka dari sungkup akan menghadap
kearah lubang trakhea membentuk bagian dari jalan napas.
22
tergigit, maka dapat dipasang gulungan kain kasa (bite block) atau pipa
napas mulut faring (OPA).
COMBITUDE
Alat ini merupakan gabungan ETT dengan obturator oesophageal. Pada
alat ini terdapat 2 daerah berlubang, satu lubang di distal dan beberapa
lubang ditengah, lubang lubang ini dihubungkan melalui 2 saluran yang
terpisah dengan 2 lubang di proksimal yang merupakan interface untuk
alat bantu napas. Selain itu terdapat 2 buah balon, satu proksimal dari
lubang distal dan satu proksimal dari deretan lubang di tengah. Ventilasi
melalui trakhea dapat dilakukan melalui lubang distal (ETT) dan tengah
(obtutator). Alat ini dimasukan tanpa laringoskopi, dari penelitian dengan
cara memasukan seperti ini 80% kemungkinan masuk ke eosophagus.
Setelah alat ini masuk kedua balon dikembangkan dan dilakukan
23
:
nafas
PROSEDUR :
1. Posisi pasien terlentang dengan kepala ekstensi (bila dimungkinkan
pasien di tidurkan dengan obat pelumpuh otot yang sesuai )
2.
Petugas
mencuci
tangan
3.
Petugas
memakai
masker
dan
sarung
tangan
4.
Melakukan
suction
5. Melakukan intubasi dan menyiapkan mesin pernafasan (Ventilator)
24
1jam
setelah
intubasi
selesai
7.
Mencuci
tangan
sesudah
melakukan
intubasi
8. catat respon pernafasan pasien pada mesin ventilator
pemasangan
oksigen
rebreathing,
saturasi
25
Benda asing seperti tumpahan atau darah di jalan nafas atas yang tidak
dapat ditelan atau dibatukkan oleh penderita yg tidak sadar dapat
menyumbat jalan nafas. Penderita yg mendapat anestesi atau tidak, dapat
terjadi laringospasme an ini biasanya terjadi oleh karena rangsangan jalan
nafas atas pada penderita stupor atau koma yg dangkal.
Sumbatan nafas juga dapat trjdi pad jalan nafas baigian bawh, dan ini
terjadi sebagai akibat bronkospasme, sembab mukosa, sekresi mukosa,
masuknya isi lambung atau benda asing ke dalam paru.
Buku Penanganan Penderita Gawat Darurat, Prof. DR.dr. I.
Riwanto, Sp.BD, FK UNDIP
Sebab Terjadinya obstruksi :
1. Trauma
Trauma dapat disebabkan oleh karena kecelakaan, gantung diri, atau
kasus percobaan pembunuhan. Lokasi obstruksi biasanya terjadi di tulang
rawan sekitar, misalnya aritenoid, pita suara dll.
2. Benda Asing
Benda Asing tersebut dapat tersangkut pada :
a.
Laring
Terjadinya obstruksi pada laring dapat diketahui melalui tanda-tanda
sebagai berikut, yakni secara progresif terjadi stridor, dispneu, apneu,
digagia, hemopsitis, pernafasan dgn otot-otot nafas tambahan, atau dapat
pula terjadi sianosis. Gangguan oleh benda-benda asing ini biasanya
terjadi pada anak-anak yg disebabkan oleh berbagai biji-bijian dan tulang
ikan tg tdk teratur bentuknya.
b.
Saluran nafas
Berdasarkan lokasi benda-benda yg tersangkut dalam saluran nafas
maka dibagi atas :
Pada Trakhea
Benda asing pada trakhea jauh lebih berbahaya dari pada di dalam
bronkhus, karena dapat menimbulkan asfiksia. Benda asing didalam trakea
tidak dapat dikeluarkan, karena tersangkut di dalam rima glotis dan
akhirnya tersangkut dilaring dan menimbulkan gejala obstruksi laring
Pada Bronkhus
Biasanya akan tersangkut pada bronkhus kanan, oleh karena
diameternya lebih besar dan formasinya dilapisi oleh sekresi bronkhus
sehingga menjadi besar
Buku Agenda Gawat Darurat, Jilid 2, Prof. Dr.. H. Tabrani Rab
26
pada daerah supraclvikula dan sela iga bila penderita masih bisa bernafas
spontan dan dada tdk mengembang pd waktu inspirasi.
Parsial : harus dikoreksi krn dpt menyebabkan kerusakan otak,sembab
otak,sembab paru,kepayahan,henti nafas dan henti jantung sekunder.
Terdengar aliran udara yg berisik dan kadang2diserai retraksi. Bunyi
lengking menandakan adanya laringospasme dan bunyi seperti orang
kumur menandakan adanya sumbatan oleh benda asing.
Penanganan penderita gawat darurat-FK UNDIP
atau
tidak
dapat
27
Gangguan
Head tilt
Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan
horizontal, kecuali pada pembersihan jalan napas dimana bahu dan kepala
pasien harus direndahkan dengan posisi semilateral untuk memudahkan
drainase lendir, cairan muntah atau benda asing. Kepala diekstensikan
dengan cara meletakkan satu tangan di bawah leher pasien dengan
sedikit
mengangkat leher ke atas. Tangan lain diletakkan pada dahi depan
pasien sambil mendorong / menekan ke belakang. Posisi ini dipertahankan
sambil berusaha dengan memberikan inflasi bertekanan positif secara
intermittena .
Chin lift
Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian
secara hati hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan.
Ibu jari tangan yang sama, dengan ringan menekan bibir bawah untuk
membuka mulut, ibu jari dapat juga diletakkan di belakang gigi seri
(incisor) bawah dan, secara bersamaan, dagu dengan hati hati
diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan hiperekstensi leher.
Manuver ini berguna pada korban trauma karena tidak membahayakan
penderita dengan kemungkinan patah ruas rulang leher atau mengubah
patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang dengan cedera
spinal.
28
Jaw thrust
Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada
mandibula, jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada angulus
mandibula, jari tengah dan telunjuk kanan dan kiri berada pada ramus
mandibula sedangkan ibu jari kanan dan kiri berada pada mentum
mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas melewati molar pada
maxila.
AIRWAY
SURGICAL
TRAKEOSTOMI
NON DEFINITIVE
NON SURGICAL
OPA
NPA
COMBITUDE
INTUBASI OROTRAKEAL
SURGICAL CRICOTIROIDOTOMI
INTUBASI NASOTRAKEAL
LMA
29
30
SURGICAL
TRAKEOSTOMI
31
32
33
34
CRICOTIROIDOTOMI
35
36
NON SURGICAL
INTUBASI OROTRAKEAL
Intubasi orotrakeal dilakukan pada pasien-pasien:
1.
Ancaman atau risiko terjadinya aspirasi yang lebih besar
2.
Pemberian bantuan napas dengan menggunakan sungkup sulit
dilakukan
3.
Ventilasi direncanakan dalam waktu yang lama
4.
Intubasi orotrakeal juga dilakukan sebagai prosedur tindakan
bedah, seperti bedah kepala-leher, intratorak, dan lainnya.
Teknik Intubasi Orotrakeal
Intubasi orotrakeal biasanya menggunakan laringoskop dengan dua
jenis blade yang paling umum digunakan, yaitu Macintosh dan
Miller. Blade Macintosh berbentuk lengkung. Ujungnya dimasukkan ke
37
dalam Valekula (celah antara pangkal lidah dan permukaan faring dari
epiglotis). Pemakaian blade Macintosh ini memungkinkan insersi pipa
endotrakeal lebih mudah dan dengan risiko trauma minimal pada epiglotis.
Ukuran pada blade Macintosh pun beragam dari nomor 1 hingga nomor 4.
Untuk dewasa, pada umumnya digunakan ukuran nomor 3.
Sedangkan blade Miller berbentuk lurus, dan ujungnya berada tepat di
bawah permukaan laringeal dari epiglotis. Epiglotis kemudian diangkat
untuk melihat pita suara. Kelebihan dari bladeMiller ini adalah
anestesiologis dapat melihat dengan jelas terbukanya epoglotis, namun di
sisi lain jalur oro-hipofaring lebih sempit. Ukuran bervariasi dari nomor 0
hingga nomor 4, dengan ukuran yang paling umum digunakan untuk
dewasa berkisar antara nomor 2 atau 3.
Pasien diposisikan dalam posisi sniffing, dimana oksiput diangkat atau
dielevasi dengan bantuan bantal atau selimut yang dilipat dan leher dalam
posisi ekstensi. Biasanya posisi seperti ini akan memperluas pandangan
laringoskopik. Sedangkan posisi leher fleksi mempersulit dalam pasien
membuka mulut.
38
bukan didorong ke depan agar kerusakan pada gigi maupun gusi pada
rahang atas dapat dihindari.
Ukuran pipa endotrakeal (endotracheal tube / ETT) bergantung pada usia
pasien, bentuk badan, dan jenis operasi yang akan dilakukan. ETT dengan
ukuran 7.0 mm digunakan untuk hampir seluruh wanita, sedangkan
ukuran 8.0 pada umumnya digunkan pada pria. ETT dipegang dengan
tangan kanan seperti memegang pensil lalu dimasukkan melalui sisi kanan
rongga mulut kemudian masuk ke pita suara. Bila epiglotis terlihat tidak
membuka dengan baik, penting untuk menjadikan epiglotis sebagai
landasan dan segera masukkan ETT di bawahnya lalu masuk ke trakea.
Tekanan eksternal pada krikoid maupun kartilago tiroid dapat membantu
memperjelas pandangan anestesiologis. Ujung proksimal dari balon ETT
ditempatkan di bawah pita suara, lalu balon dikembangkan dengan udara
positif dengan tekanan 20-30 cmH2O.
Pemasangan ETT yang benar dapat dinilai dari auskultasi pada lima area,
yaitu kedua apeks paru, kedua basal paru, dan epigastrium. Bila suara
napas terdengar hanya pada salah satu sisi paru saja, maka diperkirakan
telah terjadi intubasi endobronkial dan ETT harus ditarik perlahan hingga
suara napas terdengar simetris di lapangan paru kanan dan kiri. ETT
kemudian difiksasi segera dengan menggunakan plester.
INTUBASI NASOTRAKEAL
Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang akan
menjalani operasi maupun tindakan intraoral. Dibandingkan dengan pipa
orotrakeal, diameter maksimal dari pipa yang digunakan pada intubasi
39
intubasi
nasotrakeal
dihubungkan
dengan
peningkatan
40
Indikasi :
a. Napas spontan
b. Tidak ada reflek muntah
c. Pasien tdk sadar,tdk mampu manuver manual
Komplikasi :
a. Obstruksi jalan napas
b. Laringospasme ~ ukuran OPA
c. Muntah
d. Aspirasi
Prasenohadi. Manajemen Jalan Napas; Pulmonologi Intervensi
dan Gawat Darurat Napas. FK UI, Jakarta, 2010.
Penentuan pemasangan airway definitif didasarkan pada penemuanpenemuan klinis antara lain (ATLS, 2004):
1. Adanya apnea
2. Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara
cara
yang lain
3. Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah
atau
vomitus
4. Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway
5. Adanya cedera kepala yang membutuhkan bantuan nafas (GCS < 8)
6. Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan
Pemberian oksigen tambahan lewat masker wajah
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37618/4/Chapter
%20II.pdf
41
42
Asuhan
Keperawatan
pd
Pasien
dgn
Gangguan
Sistem
a. Sebagian (parsial)
i. Korban mungkin masih mampu melakukan pernapasan, namun kualitas
pernapasan dapat baik atau buruk.
ii. Pada korban dengan pernapasan yang masih baik, korban biasanya masih
dapat melakuakan tindakan batuk dengan kuat, usahakan agar korban
tetap bisa melakukan batuk dengan kuat sampai benda asing tersebut
dapat keluar.
iii. Bila sumbatan jalan napas partial menetap, maka aktifkan sistem
pelayanan medik darurat.
iv. Obstruksi jalan napas partial dengan pernapasan yang buruk harus
diperlakukan sebagai obstruksi jalan napas komplit.
b. Komplit (total)
i. Korban biasanya tidak dapat berbicara, bernapas, atau batak.
ii. Biasanay korban memegang lehernya diantara ibu jari dan jari lainnya.
Saturasi oksigen akan dengan cepat menurun dan otak akan mengalami
kekurangan oksigen sehinga menyebabkan kehilangan kesadaran, dan
kematian akan cepat terjadi jika tidak diambil tindakan segera.
Berdasarkan tingkat obstruksi yg trjdi pda saluran nafas dibagi mnjdi 3
bagian, yaitu :
43
b.
Bila
terjadi
obstruksi
parsial,
maka
dapat
terjadi
check
valve
a.
Obstruksi total
Terjadi
perubahan
yg
akut
berupa
hipoksemia
yg
menyebabkan
sendiri
menyebabkan
terjadinya
kegagalan
fungsi
ginjal
mengikuti
kegagalan
fungsi
darah
dimana
terdapat
c.
tinggi dgn
44
PENILAIAN GCS
45
a.
i.
ii.
iii.
1)
2)
3)
4)
5)
46
GCS
3 - 8 berat
9 - 12 sedang
13 15 ringan
Skor
Skor
Skor
Skor
Skor
14-15
12-13
11-12
8-10
<5
:
:
:
:
:
compos mentis
apatis
somnolent
stupor
koma
Derajat
Membuka Mata
Spontan
47
b.
Respons verbal
Hanya mengerang
c.
Respon motorik
Sesuai perintah
2
1
48
U unresponsiveness
4.Cek kesadaran pasien
a. Lakukan dengan metode AVPU
b. A --> Alert : Korban sadar jika tidak sadar lanjut ke poin V
c. V --> Verbal : Cobalah memanggil-manggil korban dengan berbicara
keras di telinga korban (pada tahap ini jangan sertakan dengan
menggoyang atau menyentuh pasien ), jika tidak merespon lanjut ke P
d.P --> Pain : Cobalah beri rangsang nyeri pada pasien, yang paling
mudah adalah menekan bagian putih dari kuku tangan (di pangkal kuku),
selain itu dapat juga dengan menekan bagian tengah tulang dada
(sternum)
dan
juga
areal
diatas
mata
(supraorbital).
e.U --> Unresponsive : Setelah diberi rangsang nyeri tapi pasien masih
tidak bereaksi maka pasien berada dalam keadaan unresponsive.
Tingkat kesadaran
Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya,
dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya..
Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan
sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak,
berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih
bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu
memberi jawaban verbal.
Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada
respon terhadap nyeri.
Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon
terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek
muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).
Buku Ajar Ilmu Bedah, Wim de Jong
49
3.
4.
Mencegah hipoksia
5.
6.
7.
50
(pernapasan lebih cepat dari normal dengan frekuensi lebih dari 24x/menit
(Tarwoto&Wartonah, 2010:35)
5.
Keadaan
gawat
(misalnya
:
koma)
Pada keadaan gawat, misal pada pasien koma tidak dapat
mempertahankan sendiri jalan napas yang adekuat sehingga mengalami
penurunan oksigenasi.
6.
Trauma
paru
Paru-paru sebagai alat penapasan, jika terjadi benturan atau cedera akan
mengalami gangguan untuk melakukan inspirasi dan ekspirasi.
7.
Metabolisme
yang
meningkat
:
luka
bakar
Pada luka bakar, konsumsi oksigen oleh jaringan akan meningkat dua kali
lipat sebagai akibat dari keadaan hipermetabolisme.
8.
Post
operasi
Setelah operasi, tubuh akan kehilangan banyak darah dan pengaruh dari
obat bius akan mempengaruhi aliran darah ke seluruh tubuh, sehingga sel
tidak mendapat asupan oksigen yang cukup.
9.
Keracunan
karbon
monoksida
Keberadaan CO di dalam tubuh akan sangat berbahaya jika dihirup karena
akan menggantikan posisi O2 yang berikatan dengan hemoglobin dalam
darah.
(Aryani, 2009:53)
Kontraindikasi
Tidak ada konsentrasi pada pemberian terapi oksigen dengan syarat
pemberian jenis dan jumlah aliran yang tepat. Namun demikan,
perhatikan pada khusus berikut ini
1.
Pada klien dengan PPOM (Penyakit Paru Obstruktif Menahun) yang
mulai bernafas spontan maka pemasangan masker partial rebreathing dan
non rebreathing dapat menimbulkan tanda dan gejala keracunan oksigen.
Hal ini dikarenakan jenis masker rebreathing dan non-rebreathing dapat
mengalirkan oksigen dengan konsentrasi yang tinggi yaitu sekitar 90-95%
2.
3.
51
52
Tujuan
a. Memberikan oksigen dengan konsentrasi relatif rendah saat
kebutuhan oksigen minimal.
b. Memberikan oksigen yang tidak terputus saat klien makan atau
minum.
(Aryani, 2009:54)
Indikasi
Klien yang bernapas spontan tetapi membutuhkan alat bantu nasal
kanula untuk memenuhi kebutuhan oksigen (keadaan sesak atau tidak
sesak). (Suparmi, 2008:67)
Prinsip
a. Nasal kanula untuk mengalirkan oksigen dengan aliran ringan atau
rendah, biasanya hanya 2-3 L/menit.
b. Membutuhkan pernapasan hidung
c. Tidak dapat mengalirkan oksigen dengan konsentrasi >40 %.
(Suparmi, 2008:67)
53
Macam
Bentuk
Masker
54
55
Tujuan
Memberikan tambahan oksigen dengan kadar sedang dengan
konsentrasi dan kelembaban yang lebih tinggi dibandingkan dengan
kanul. (Suparmi, 2008:68)
Prinsip
Mengalirkan oksigen tingkat sedang dari hidung ke mulut, dengan aliran
5-6 liter/menit dengan konsentrasi 40 - 60%. (Suparmi, 2008:68)
METODE PEMBERIAN O2
Metode pemberian O2 dapat dibagi atas 2 tehnik, yaitu :
1. Sistem aliran rendah
Tehnik system aliran rendah diberikan untuk menambah konsentrasi
udara ruangan. Tehnik ini menghasilkan FiO2 yang bervariasi tergantung
pada tipe pernafasan dengan patokan volume tidal pasien. Pemberian O2
sistem aliran rendah ini ditujukan untuk klien yang memerlukan O2 tetapi
masih mampu bernafas dengan pola pernafasan normal, misalnya klien
dengan Volume Tidal 500 ml dengan kecepatan pernafasan 16 20 kali
permenit.
Contoh system aliran rendah ini adal;ah :
(1) kataeter nasal,
(2) kanula nasal,
(3) sungkup muka sederhana,
(4) sungkup muka dengan kantong rebreathing,
(5) sungkup muka dengan kantong non rebreathing.
56
Kanula nasal
Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan O2 kontinu
dengan aliran 1 6 L/mnt dengan konsentrasi O2 sama dengan kateter
nasal.
Keuntungan : Pemberian O2 stabil dengan volume tidal dan laju
pernafasan teratur, mudah memasukkan kanul disbanding kateter, klien
bebas makan, bergerak, berbicara, lebih mudah ditolerir klien dan
nyaman.
Kerugian : Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 lebih dari 44%, suplai
O2 berkurang bila klien bernafas lewat mulut, mudah lepas karena
kedalam kanul hanya 1 cm, mengiritasi selaput lendir.
57
58
59
contoh tehnik system aliran tinggi yaitu sungkup muka dengan ventury.
Prinsip pemberian O2 dengan alat ini yaitu gas yang dialirkan dari tabung
akan menuju ke sungkup yang kemudian akan dihimpit untuk mengatur
suplai O2 sehingga tercipta tekanan negatif, akibatnya udaraluar dapat
diisap dan aliran udara yang dihasilkan lebih banyak. Aliran udara pada
alat ini sekitas 4 14 L/mnt dengan konsentrasi 30 55%.
Keuntungan : Konsentrasi O2 yang diberikan konstan sesuai dengan
petunjuk pada alat dan tidak dipengaruhi perubahan pola nafas terhadap
FiO2, suhu dan kelembaban gas dapat dikontrl serta tidak terjadi
penumpukan CO2
Kerugian : Kerugian system ini pada umumnya hampir sama dengan
sungkup muka yang lain pada aliran rendah.
BAHAYA BAHAYA PEMBERIAN OKSIGEN
Pemberian O2 bukan hanya memberiakan efek terapi tetapi juga dapat
menimbulkan efek merugikan, antara lain :
Kebakaran
O2 bukan zat pembakar tetapi O2 dapat memudahkan terjadinya
kebakaran, oleh karena itu klein dengan terapi pemberian O2 harus
menghindari : Merokok, membukan alat listrik dalam area sumber O2,
menghindari penggunaan listrik tanpa Ground.
Depresi Ventilasi
Pemberian O2 yang tidak dimonitor dengan konsentrasi dan aliran yang
tepat pada klien dengan retensi CO2 dapat menekan ventilasi
Keracunan O2
Dapat terjadi bila terapi O2 yang diberikan dengan konsentrasi tinggi
dalam waktu relatif lama. Keadaan ini dapat merusak struktur jaringan
paru seperti atelektasi dan kerusakan surfaktan. Akibatnya proses difusi di
paru akan terganggu
DAFTAR PUSTAKA :
Black, Joyce M. Medical Surgical Nursing ; Clinical Management For
60
61
A. Obstruksi Nasal
1. Tumor hidung
Tidak dapat bermetastasis, tetapi sangat destruktif disekitarnya dapat
menyebar memenuhi nasofaring dan terlihat dari orofaring.
2. Karsinoma Nasofaring
Metastasis jauh ke tulang, hati dan paru dengan gejala khas, nyeri pada
tulang, batuk-batuk dan gangguan fungsi hati.
3. Polip Hidung
Terjadinya pertautan endotel yang terbuka, menandakan kebocoran
pembuluh darah.
B. Obstruksi Larings
Abses Peritonsial (Quinsy)
Abses parafaringeal
Abses retrofaringeal dan edema larings
Dehidrasi perdarahan
Aspirasi paru
Mediastinitis
Trambus sinus kavernosus
Meningitis dan abses otak. (Arif Mansjoer, dkk, 1999)
Berdasarkan pada data pengkajian, potensial komplikasi yang mungkin
terjadi termasuk:
Distres pernapasan (hipoksia, obstruksi jalan napas, edema trakea)
Hemoragi
STEP 4
Gangguan
Primary survey
Pulse oxymetri
TAM
LOOK
LISTEN
FEEL
OPA
Definitive airway
NPA
62