Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN ENSEFALITIS


DAN KONSEP VENTILATOR DI RUANG ICU RSUD DR.SOETOMO

Nabela Nurma Maharani


NIM 131523143079

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2016

1. Definisi
Menurut Markam.S (2008) dalam bukunya Penuntun Neurologi, ensefalitis adalah radang
jaringan otak yang dapat disebabkan oleh bakteri, cacing, protozoa, kapang, ricketsia, dan
virus.
Ensefalitis merupakan radang selaput otak yang dapat disebabkan oleh bakteri, protozoa,
riketsia, dan virus. (Mansjoer, 2000)
Menurut Harsono ( 2008) dalam buku ajar neurologi klinis menyatakan bahwa infeksi SSP
oleh virus merupakan penyakit radang jaringan otak dan selaputnya yang disebabkan oleh
virus atau organism menyerupai virus misalnya psitakosis.
Ensefalitis adalah infeksi yang mengenai system syaraf pusat (SSP) yang isebabkan oleh
virus atau lain yang nonpurulen. (Mutaqqin, 2008)
2. Etiologi
Etiologi dari ensefalitis menurut Markam.S (2008) sebagai berikut :
1) Ensefalitis bacterial
Streptokok, stafilokok, meningikok, salmonella typhi, Escherichia coli, proteus, basillus
pyocyaneus di dalam jaringan otak dapat menyebabkan radang yang membentuk abces.
Mycobacterium tuberculosa membentuk tuberculoma.
2) Sistiserkosis (cacing)
Larva taenia solium dapat menyangkut di dalam otak dan tumbuh sementara waktu,
kemudian mati dan kistanya mengalami klasifikasi.
3) Ensefalitis yang disebabkan protozoa :
(1) Malaria.
Plasmodium falciparum menyebabkan eritrosit yang terinfeksi lengket. Selsel darah merah
yang lengket satu dengan yang lain dapat menyumbat kapiler-kapiler di dalam otak,
akibatnya timbul daerah mikroinfark.
(2) Toksoplasmosis.
Pada toksoplasmosis konganital pada bayi, radang terjadi pada piaarachnoid yang menyebab
di dalam jaringan otak.
(3) Entamoeba histolytica.
Yang dapat menyebabkan ensefalitis akut adalah naegleria dan achanthamoeba.
(4) Ensefalitis yang disebabkan kapang
Cryptococcus neofarmans menimbulkan radang dalam korteks dan meningens.
4) Ricketsiosis

Ricketsiosis dapat menyebabkan radang dinding pembuluh darah diikuti trombosis.


5) Ensefalitis virus
Virus dapat menyebabkan meningitis aseptic atau ensefalitis. Virus yang dapat menimbulkan
ensefalitis akut adalah dengue, rabies, poliomyelitis, herpes simpleks, herpes zoster, parotitis,
morbili, influenza, hepatitis.
Sedangkan virus yang menimbulkan radang kronis disebut virus lambat. Penyakit yang
ditimbulkannya kuru, penyakit Jacob-creutzfeld, panensefalitis sklerosa subakuta.
3. Patofisiologi
Virus-virus yang menyebabkan parotitis, morbili, varisella masuk ke dalam tubuh manusia
melalui saluran pernafasan. Virus polio dan enterovirus melalui mulut, virus herpes simpleks
melalui mulut atau mukosa kelamin.
Virus yang lain masuk ke dalam tubuh melalui inokulasi seperti gigitan binatang (rabies) atau
nyamuk. Bayi dalam kandungan mendapat infeksi melalui plasenta oleh virus rubella atau
cytomegalovirus. Di dalam tubuh manusia virus memperbanyak diri secara local, kemudian
terjadi viremia yang menyerang susunan syaraf pusat melalui kapilaris di pleksus koroideus.
Cara lain ialah melalui syaraf perifer (gerakan centripental) atau secara retrograde axoplasmic
spread misalnya oleh virus-virus herpes simpleks, rabies, dan herpes zoster. Pertumbuhan
virus mulai dijaringan ekstraneural seperti di usus atau kelenjar getah bening (poliomielitis),
saluran pernafasan bagian atas atau mukosa gastrointestinal (arbivirus) dan jaringan lemak
(coxsackie, poliomyelitis, rabies, variola).
Didalam SSP virus menyebar secara langsung atau melalui ruang ekstraseluler, yang
menyebabkan kerusakan neuron dan glia dimana terjadi intraselluler inclusion bodies,
peradangan otak dan medulla spinalis serta edema otak. Juga terdapat peradangan pada
pembuluh darah kecil, thrombosis dan proliferasi astrosit dan microglia. Didalam medulla
spinalis virus menyebar melalui endoneurium dalam ruang interstitial pada syaraf-syaraf
seperti yang terjadi pada rabies dan herpes simpleks.
4. Manifestasi Klinis
Setelah terjadi penyebaran di otak akan terjadi manifestasi klinis ensefalitis yaitu meliputi
masa prodomal yang berlangsung 1-4 hari. Tanda dan gejala meliputi:
Demam
Sakit kepala
Pusing

Muntah
Nyeri tenggorokan
Malaise
Nyeri ekstrimitas, dan pucat.
Suhu badan meningkat
Fotofobia
Letargi dan kadang disertai kaku kuduk apabila infeksi mengenai meningen.
Pada anak tampak gelisah dan rewel, kadang disertai perubahan tingkah laku. Dapat disertai
gangguan penglihatan, pendengaran, bicara serta kejang.
5. Pemeriksaan Diagnostik
1) Biakan / kultur darah
Viremia berlangsung hanya sebentar saja sehingga sukar untuk mendapatkan hasil yang
positif.
2) Biakan / kultur likuor serebrospinalis (CSS) atau jaringan otak (hasil nekropsi)
Akan didapat gambaran jenis kuman dan sensitivitas terhadap antibiotika.
3) Dari feses
Untuk jenis enterovirus sering didapat hasil yang positif
4) Dari swap hidung dan tenggorokan
Didapat hasil kultur positif
5) Pemeriksaan serologis
Uji fiksasi komplemen, uji inhibisi hemaglutinasi dan uji neutralisasi. Pada pemeriksaan
serologis dapat diketahui reaksi antibodi tubuh. IgM dapat dijumpai pada awal gejala
penyakit timbul.
6) Pemeriksaan darah
Terjadi peningkatan angka leukosit/sel darah putih, protein sedikit meningkat, glukosa
normal.
7) Punksi lumbal Likuor serebospinalis (CSS) sering dalam batas normal, kadang-kadang
ditemukan sedikit peningkatan jumlah sel, kadar protein atau glukosa.
8) EEG/Electroencephalography
EEG sering menunjukkan aktifitas listrik yang merendah sesuai dengan kesadaran yang
menurun. Adanya kejang, koma, tumor, infeksi sistem saraf, bekuan darah, abses, jaringan
parut otak, dapat menyebabkan aktivitas listrik berbeda dari pola normal irama dan
kecepatan.(Smeltzer, 2002)

9) CT scan
Pemeriksaan CT scan otak seringkali didapat hasil normal, tetapi bisa pula didapat hasil
edema diffuse, dan pada kasus khusus seperti Ensefalitis herpes simplex, ada kerusakan
selektif pada lobus inferomedial temporal dan lobus frontal.(Victor, 2001)
6. Penatalaksanaan
Penderita ensefalitis virus harus dirawat dirumah sakit dengan istirahat mutlak. Penderita
dirawat sampai menghilangnya gejala neurologic.
1) Isolasi
Isolasi betujuan mengurangi stimulus/ rangsangan dari luar sebagai tindakan pencegahan.
2) Terapi antimikroba, sesuai hasil kultur
Obat yang mungkin dianjurkan oleh dokter:
(1)Ampicillin : 200 mg / kgBB/24 jam, dibagi 4 dosis
(2) Kemicetin : 100 mg/kgBB/24 jam, dibagi 4 dosis
(3)Bila encephalitis disebabkan oleh virus (HSV), agen antiviral acyclovir secara signifikan
dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas HSV encephalitis. Acyclovir diberikan secara
intravena dengan dosis 30 mg/kgBB per hari dan dilanjutkan selama 10 14 hari untuk
mencegah kekambuhan ( Victor, 2001 ).
(4)Untuk kemungkinan infeksi sekunder diberikan antibiotika secara polifragmasi.
3) Mengurangi meningkatnya tekanan intracranial, manajemen edema otak.
(1)Mempertahankan hidrasi, monitor balans cairan ; jenis dan jumlah cairan yang diberikan
tergantung keadaan anak.
(2)Glukosa 20 %, 10 ml intrvena beberapa klai sehari disuntikan dalam pipa giving set untuk
menghilangkan edema otak.
(3)Kortikosteroid intramuscular atau intravena dapat juga digunakan untuk menghilangkan
edema otak.
4) Mengontrol kejang
Obat antikonvulsif diberikan segera untuk memberantas kejang. Obat yang diberikan ialah
valium dan atau luminal.
(1) Valium dapat diberikan dengan dosis 0,3 0, 5 mg/kgBB/kali.
(2) Bila 15 menit belum teratasi/ kejang lagi bisa diulang dengan dosis yang sama
(3) Jika sudah diberikan 2 kali dan 15 menit lagi masih kejang, berikan valium drip dengan
dosis 5 mg/kgBB/24 jam.
5) Mempertahankan ventilasi

Bebaskan jalan nafas, berikan O2 sesuai dengan kebutuhan (2 31/ menit)


6) Penatalaksanaan shock septic
7) Mengontrol perubahan suhu lingkungan
8) Untuk mengatasi hiperpireksia
Diberikan kompres pada permukaan tubuh yang mempunyai pembuluh besar, misalnya pada
kiri dan kanan leher, ketiak, selangkangan, daerah proksimal betis dan di atas kepala. Sebagai
hibernasi dapat diberikan largaktil 2 mg/kgBB/hari dan phenergan 4 mg/kgBB/hari secara
intravena atau intramuscular dibagi dalam 3 kali pemberian. Dapat juga diberikan
antipiretikum seperti asetosal atau parasetamol bila keadaan telah memungkinkan pemberian
obat per oral.(Hassan, 1997)
7. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian keperawatan
1) Anamnesis.
Meliputi nama, umur, alamat, nama orang tua, agama, bahasa yang digunakan, pekerjaan
orang tua.
2) Keluhan utama
Keluhan utama padapenderita encephalitis yaitu sakit kepala, kaku kuduk, gangguan
kesadaran, demam dan kejang.
3) Riwayat penyakit sekarang.
Merupakan riwayat klien saat ini yang meliputi keluhan, sifat dan hebatnya keluhan,timbul
atau kekambuhan dari penyakit yang pernah dialami sebelumnya. Biasanya pada masa
prodromal berlangsung antara 1-4 hari ditandai dengan demam, sakit kepala, pusing, muntah,
nyeri tenggorokan, malaise, nyeri ekstrimitas, dan pucat. Kemudian diikuti tanda ensefalitis
yang berat ringannya tergantung dari distribusi dan luas lesi pada neuron. Gejala tersebut
berupa gelisah, irritable, screaning attack, perubahan perilaku, gangguan kesadaran dan
kejang kadang disertai tanda neurologis fokal berupa afasia, hemiparesis, hemiplegia, ataksia
dan paralisi saraf otak.
4) Riwayat kehamilan dan kelahiran.
Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat prenatal, natal dan post natal. Dalam riwayat
prenatal perlu diketahui penyakit apa saja yang pernah diderita oleh ibu terutama penyakit
infeksi. Riwayat natal perlu diketahui apakah bayi lahir dalam usia kehamilan aterm atau
tidak karena mempengaruhi system kekebalan terhadap penyakit pada anak. Trauma
persalinan juga mempengaruhi timbulnya penyakit contohnya aspirasi ketuban untuk anak.

Riwayat postnatal diperlukan untuk mengetahui keadaan anak setelah lahir. Contoh: BBLR,
apgar score, yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya.
5) Riwayat penyakit yang lalu.
Kontak atau hubungan dengan kasus-kasus meningitis akan meningkatkan kemungkinan
terjadinya peradangan atau infeksi pada jaringan otak (J.G.Chusid,1993). Imunisasi perlu
dikaji untuk mengetahui bagaimana kekebalan tubuh anak. Alergi pada anak perlu diketahui
untuk dihindarkan karena dapat memperburuk keadaan.
6) Riwayat kesehatan keluarga.
Pada keadaan ini status kesehatan keluarga perlu diketahui, apa ada anggota keluarga yang
hubungannya dengan penyakit yang dialami oleh klien.
7) Riwayat sosial.
Kaji lingkungan keluarga anak dalam mendukung terhadap pertumbuhan dan perkembangan
karena perjalanan klinik dari penyakit ensefalitis sehingga mengganggu status mental anak
serta perilaku dan kepribadian.
8) Kebutuhan dasar (aktfitas sehari-hari).
Pada penderita ensepalitis sering terjadi gangguan pada kebiasaan sehari-hari antara lain
gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi karena mual muntah, hipermetabolik akibat proses
infeksi dan peningkatan tekanan intrakranial. Pola istirahat pada penderita sering kejang, hal
ini sangat mempengaruhi penderita. Pola kebersihan diri harus dilakukan diatas tempat tidur
karena penderita lemah atau tidak sadar dan cenderung bergantung pada orang lain terutama
orang tua.
2.9.2 Pemeriksaan Fisik
1) B1( Breathing)
Kaji pola pernafasannya, adakah batuk, pilek, sesak nafas, produksi sputum, penggunaan otot
bantu nafas, dan peningkatan frekuensi nafas. Pada auskultasi kemungkinan adanya ronkhi
yang berhubungan dengan adanya akumulasi sekret akibat penurunan kesadaran. Perubahanperubahan akibat peningkatan tekanan intra kranial menyebabkan kompresi pada batang otak
yang menyebabkan pernafasan tidak teratur. Apabila tekanan intrakranial sampai pada batas
fatal akan terjadi paralisa otot pernafasan.
2) B2 (Blood)
Pada sistem kardiovaskuler kemungkinan didapatkan renjatan (syok) hipovolemik, yaitu akral
dingin,perfusi lembab, CRT >2 detik, bradikardia (nadi < 60x/menit)
3) B3 (Brain)
Merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap, yang meliputi:

(1) Tingkat Kesadaran


Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien ensefalitis biasanya berkisar pada tingkat
lethargi, stupor dan semikomatosa. Apabila klien sudah mengalami koma maka penilaian
GCS sangat penting untik menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk
memantau pemberian asuhan keperawatan.
(2) Fungsi Serebri
Pada status mental diobservasi penampilan dan tingkah laku klien, ekspresi wajah, dan
aktifitas motorik.
(3) Sistem Motorik
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada klien ensefalitis tahap
lanjut mengalami perubahan.
(4) Pemeriksaan Refleks
Reflex patologis akan ditemui pada klien ensefalitis dengan tingkat kesadaran koma.
4) B4 (Bladder)
Biasanya didapatkan berkurangnya volume haluaran urine yang berhubungan dengan
penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal, dapat ditemukan oliguria sampai
anuria.
5) B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan TIK yang menstimulasi produksi
asam lambung. Pemenuhan nutrisi berkurang dikarenakan mual, muntah dan kejang.
6) B6(Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien secara
umum, sehingga pemenuhan kebutuhan sehari-hari lebih banyak dibantu orang lain.
b. Diagnosa keperawatan
1) Gangguan perfusi jaringan serebri b.d peningkatan tekanan intracranial.
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d akumulasi secret, kemampuan batuk menurun
akibat penurunan kesadaran.
3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan menelan
makanan.
4) Resiko tinggi cidera b.d kejang, perubahan status mental dan penurunan kesadaran.
5) Nyeri b.d adanya iritasi lapisan otak.
6) Gangguan mobilitas fisik b.d penurunan kesadaran, penurunan kekuatan otot.
7) Ansietas b.d ancaman kematian, kondisi sakit dan perubahan status kesehatan,

c. Intervensi keperawatan
1) Gangguan perfusi jaringan serebri b.d peningkatan tekanan intracranial.
Tujuan : dalam waktu 3 X 24 jam setelah diberikan intervensi perfusi jaringan otak
meningkat.
Kriteria hasil:
Tingkat kesadaran meningkat menjadi sadar
Tanda-tanda vital dalam batas normal
Syok dapat dihindari.
Intervensi :
1) Monitor tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial (nadi lambat, tekanan darah
meningkat, kesadaran tambah menurun, nafas irregular, reflek pupil menurun, kelemahan).
R/ untuk mendeteksi tanda-tanda syok yang harus dilaporkan ke dokter untuk intervensi awal.
2) Hindari posisi tungkai ditekuk, anjurkan untuk tirah baring.
R/ Untuk mencegah peningkatan tekanan intracranial.
3) Tinggikan kepala klien 30 dengan hati-hati, cegah gerakan yang tiba-tiba dari kepala atau
leher.
R/ Untuk mengurangi tekanan intracranial.
4) Berikan tindakan yang menimbulkan rasa nyaman, seperti massage punggung, sentuhan
yang lembut, suasana lingkungan yang nyaman.
R/ Meningkatkan istirahat dan menurunkan stimulasi sensori yang berlebihan.
5) Kolaborasi :
(1) Berikan cairan IV dengan alat control khusus, batasi pemasukan cairan dan berikan
larutan hipertonik/elektrolot sesuai indikasi.
R/ Meminimalkan fluktuasi dalam aliran vaskuler dan TIK.
(2) Pantau GDA, berikan terapi oksigen sesuai kebutuhan.
R/ Terjadinya asidosis dapat menghambat masuknya oksigen pada tingkat sel yang
memperburuk/meningkatkan iskemia serebral.
(3) Berikan obat sesuai indikasi, seperti steroid (deksametason, metilprednisolon),
klorpromasin, asetaminofen.
R/ menurunkan permeabilitas kapiler untuk membatasi pembentukan edema serebral,
menurunkan ambang kejang, menurunkan metabolisme seluler/menurunkan konsumsi
oksigen dan resiko kejang.
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d akumulasi secret, kemampuan batuk menurun
akibat penurunan kesadaran.

Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan , jalan nafas kembali efektif.
Kriteria hasil :
Frekwensi pernafasan 20-24 X/menit
Irama teratur
Bunyi nafas normal
Tidak ada stridor, ronchi, whezzing
Tidak ada pernafasan cuping hidung
Pergerakan dada simetris, tidak ada retraksi.
Intervensi :
1) Kaji ulang kecepatan, kedalaman, penggunaan otot bantu nafas dan bunyi nafas.
R/ Perubahan yang terjadi menunjukkan adanya komplikasi pulmonal dan luasnya bagian
otak yang terkena.
2) Atur posisi fowler atau semi fowler.
R/ Peninggian kepala memudahkan pernafasan, meningkatkan ekspansi dada.
3) Lakukan fisioterapi dada.
R/ Membantu melepaskan secret sehingga mudah dikeluarkan.
4) Lakukan penghisapan lender dengan hati-hati. Catat warna, dan bau secret.
R/ Penghisapan mungkin diperlukan untuk mempertahankan kepatenan jalan nafas menjadi
bersih.
5) Observasi TTV terutama frekwensi pernafasan.
R/ TTV merupakan gambaran perkembangan klien sebagai pertimbangan dilakukannya
tindakan berikutnya.
6) Lakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian terapi oksigen, monitor ketepatan
terapi dan komplikasi yang mungkin timbul.
R/ Pemberian Oksigen dapat meningkatkan oksigenasi otak. Ketepatan terapi dibutuhkan
untuk mencegah terjadinya keracunan oksigen serta iritasi saluran nafas.
3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan menelan
makanan.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi dalam waktu 7x24 jam.
Kriteria hasil :
Turgor kulit baik
Asupan dapat masuk sesuai kebutuhan
Terdapat kemampuan menelan
BB meningkat 1 kg.

Intervensi :
1) Berikan penjelasan pada keluarga klien tentang penyebab gangguan pemenuhan nutrisi,
pentingnya nutrisi bagi tubuh dan cara mengatasinya
R/ Dengan diberi penjelasan keluarga diharapkan mengerti, dapat mendukung program
perawatan yang diberikan
2) Berikan makanan per sonde.
R/ Dengan memberikan per sonde diharapkan kebutuhan makanan terpenuhi.
3) Observasi tekstur dan turgor kulit.
R/ Mengetahui status nutrisi klien.
4) Observasi asupan dan keluaran.
R/ Mengetahui keseimbangan nutrisi klien.
5) Lakukan penimbangan berat badan setiap 3 kali sekali
R/ Deteksi perubahan berat badan penurunan atau kenaikan berat badan sehingga evaluasi
pemberian diit.
6) Observasi posisi dan kebersihan sonde.
R/ Untuk menghindari resiko infeksi/iritasi.
4) Resiko tinggi cidera b.d kejang, perubahan status mental dan penurunan kesadaran.
Tujuan: Dalam waktu 3x24 jam perawatan, klien bebas dari cidera yang disebabkan oleh
kejang dan penurunan kesadaran.
Kriteria hasil: Klien tidak mengalami cidera apabila ada kejang berulang.
Intervensi:
1) Monitor adanya kejang/kedutan pada tangan, kaki dan mulut dan otot muka lainnya.
R/ Gambaran adanya iritasi pada SSP secara umum yang memerlukan evaluasi segera dengan
intervensi yang tepat untuk mencegah komplikasi.
2) Persiapkan lingkungan yang aman seperti batasan ranjang.
R/ Melindungi klien bila terjadi kejang.
3) Pertahankan bedrest total selama fase akut.
R/ Menurunkan resiko jatuh/trauma ketika terjadi vertigo.
4) Kolaborasi dalam pemberian obat/terapi : diazepam, fenobarbital.
R/ Indikasi untuk mencegah dan penanganan kejang.
5) Nyeri b.d adanya iritasi lapisan otak.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam keluhan nyeri berkurang/rasa sakit dapat terkendali.
Kriteria hasil :
Klien dapat tidur dengan tenang

Wajah rileks
Klien melaporkan nyeri berkurang/terkontrol.
Intervensi :
1) Berikan lingkungan yang aman dan tenang.
R/ Menurunkan reaksi terhadap rangsangan eksternal dan meningkatkan istirahat/relaksasi.
2) Tingkatkan tirah baring, bantu kebutuhan perawatan diri.
R/ Menurunkan gerakan yang dapat menurunkan nyeri.
3) Lakukan penatalaksanaan nyeri dengan metode distraksi dan relaksasi nafas dalam.
R/ Membantu menurunkan (memutuskan) stimulasi sensasi nyeri.
4) Kolaborasi dalam pemberian analgesic, seperti asetaminofen, kodein.
R/ Mungkin diperlukan untuk menurunkan rasa sakit yang berat.
6) Gangguan mobilitas fisik b.d penurunan kesadaran, penurunan kekuatan otot.
Tujuan : Tidak terjadi kontraktur, gangguan integritas kulit, dan terdapat peningkatan
kemampuan fisik.
Kriteria hasil :
Skala ketergantungan klien menjadi minimal
Mencapai kembali atau mempertahankan posisi fungsional yang optimal.
Intervensi :
1) Tinjau kemampuan fisik dan kerusakan yang terjadi.
R/ Mengidentifikasi kerusakan fungsi dan menentukan pilihan intervensi.
2) Anjurkan untuk perubahan posisi yang teratur pada klien.
R/ Perubahan posisi yang teratur dapat mendistribusikan berat badan secara menyeluruh dan
memfasilitasi peredaran darah, mencegah dekubitus.
3) Berikan latihan pasif jika klien sudah bebas panas dan kejang.
R/ Mencegah terjadinya kontraktur.
4) Berikan perawatan kulit secara adekuat : massage, ganti pakaian dengan bahan linen,
pertahankan tempat tidur dalam keadaan bersih dan kering.
R/ Memfasilitasi sirkulasi dan mencegah gangguan integritas kulit.
5) Kaji adanya nyeri, kemerahan, bengkak pada area kulit.
R/ Indikasi adanya kerusakan kulit.
7) Ansietas b.d ancaman kematian, kondisi sakit dan perubahan status kesehatan.
Tujuan : Kecemasan berkurang.
Kriteria hasil :
Mengakui dan mampu mendiskusikan rasa takut

Klien tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang sampai pada tingkat dapat diatasi.
Intervensi ;
1) Kaji status mental dan tingkat ansietas dari klien atau keluarga.
R/ Derajat ansietas akan dipengaruhi bagaimana informasi diterima individu.
2) Berikan penjelasan tentang proses penyakit.
R/ Meningkatkan pemahaman, mengurangi rasa takut karena ketidaktahuan dan dapat
menurunkan ansietas.
3) Jawab setiap pertanyaan dengan penuh perhatian dan bantu klien untuk mengungakapkan
perasaannya.
R/ Penting untuk meningkatkan kepercayaan.
4) Libatka klien dan keluarga dalam perawatan.
R/ Meningkatkan perasaan control terhadap diri dan kemandirian.
5) Lindungi privasi klien ketika terjadi kejang.
R/ Mempertahankan kebutuhan privasi klien, memberikan peningkatan akan harga diri dan
melindungi klien akan rasa malu.

WOC Ensefalitis

KONSEP VENTILATOR
A. Pengertian
Ventilator adalah peralatan elektrik dan memerlukan sumber listrik. Beberapa
ventilator menyediakan back-up baterai, namun baterai tidak didesain untuk pemakaian
jangka lama. Ventilasi mekanik ventilator adalah merupakan suatu alat bantu mekanik
yang berfungsi dan bermanfaat untuk memberikan bantuan nafas dengan cara memberikan
tekanan udara positif pada paru-paru melalui jalan nafas buatan dan juga merupakan mesin
bantu nafas yang digunakan untuk membantu sebagian atau seluruh posisi ventilasi untuk
mempertahankan oksigenasi.
B. Tujuan Pemasangan Ventilator
1. Mengurangi kerja pernafasan
2. Meningkatkan kenyamanan pasien
3. Pemberian MV yang akurat
4. Mengatasi ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi
5. Menjamin hantaran O2 ke jaringan yang adekuat
C. Kriteria Indikasi Pemasangan Ventilator Mekanik
1. Pasien dengan gagal nafas, distres nafas yang disebabkan ketidakadekuatan
ventilasi/oksigenasi
2. Insufisiensi jantung, pada pasien dengan syok kardiogenik dan CHF, terjadi
peningkatan kebutuhan aliran darah pada sistem pernafasan, sehingga adanya
peningkatan kerja nafas dan konsumsi O2 dapat membuat jantung kolaps
3. Disfungsi neurologis, pasien dengan GCS 8 yang beresiko mengalami apnea berulang
4. Tindakan operasi yang membutuhkan penggunaan anastesi dan sedatif, resiko gagal
nafas akibat obat sedatif

D. Kriteria Pemasangan Ventilasi Mekanik


1. Frekuensi nafas lebih dari 35 x/menit
2. Hasil BGA dengan O2 masker PaO2 < 70 mmHg
3. PaO2 > 60 mmHg
4. AaDO2 dengan O2 100% hasilnya > 350 mmHg
5. Vital Capacity < 15 ml/kgBB
E. Fisiologi Pernafasan Ventilasi Mekanik
Pada pernafasan spontan inspirasi terjadi karena diafragma dan otot ICS
berkontraksi, rongga dada mengembang dan terjadi tekanan negatif, sehingga aliran udara
masuk ke paru. Sedangkan fase ekspirasi berjalan secara pasif.
Pada pernafasan dengan ventilasi mekanik, ventilator mengirimkan udara dengan
memompakan ke paru pasien, sehingga tekanan selama inspirasi adalah positif dan
menyebabkan tekanan intratorakal meningkat. Pada akhir inspirasi tekanan dalam rongga
thorax paling positif
F. Efek Ventilasi Mekanik
Akibat tekanan positif pada rongga thorak, darah yang kembali ke jantung
terhambat, venous return menurun, maka CO jug menurun. Bila kondisi penurunan respon
simpatis (misal: karena hipovolemia, obat), maka mengakibatkan hipotensi. Darah yang
lewat paru juga berkurang karena ada kompresi mikrovaskuler akibat tekanan positif,
sehingga darah yang menuju atrium kiri berkurang. Akibatnya, CO juga berkurang, bila
tekanan terlalu tinggi bisa terjadi gangguan oksigenasi. Selain itu bila volume tidak terlalu
tinggi > 10 12 ml/kgBB dan tekanan lebih besar dari 40 cmH2O, tidak hanya
mempengaruhi CO (curah jantung), tetapi juga resiko terjadinya pneumothorax.
G. Komplikasi Ventilasi Mekanik
1. Pada paru
a. Barotrauma: tension pneumothorax, empisema subkutis
b. Atelektasis
c. Infeksi paru
d. Keracunan O2
e. Aspirasi cairan lambung
2. Pada siste kardiovaskuler
Hipotensi, menurunkan CO karena menurunkan aliran balik vena akibat meningkatnya
tekanan intra thorax
3. Pada sistem saraf pusat
a. Vasokontriksi cerebral: terjadi karena penurunan tekanan CO2 arteri akibat
hiperventilasi
b. Oedema cerebral: akibat peningkatan tekanan CO2 arteri akibat hiperventilasi
c. PTIK
4. Pada sistem pencernaan
a. Distensi lambung
b. Perdarahan lambung

H. Prosedur Pembesaran Ventilator


1. Fraksi O2 inspirasi (FiO2) 100%
2. Volume tidal 4 5 ml/kgBB
3. Frekuensi pernafasan 10 15 x/menit
4. Aliran inspirasi 40 60 liter/dl
5. PEEP / tekanan positif akhir ekspirasi 0 5 cm, ini diberikan pada pasien yang oedema
paru untuk mencegah atelektasis
I. Mode-Mode Ventilator
1. Mode control
Pada mode kontrol, mesin secara terus menerus membantu pernafasan pasien.
Ini diberikan pada pasien yang pernafasannya masih sangat jelek, lemah, bahkan apnea.
Pada mode ini ventilator mengontrol pasien, pernafasan diberikan ke pasien pada
frekuensi dan volume yang telah ditentukan pada ventilator, tanpa menghiraukan upaya
pasien untuk mengawali inspirasi. Bila pasien sadar mode ini dapat menimbulkan
ansietas tinggi.
Contoh:

CR

(Controlled

Respiration),

CMV

(Controlled

Mandatory

Ventilation), dan IPPV (Intermitten Positive Pressure Ventilation)


2. Mode IMV / SIMV (Intermitten Mandatori Ventilation)
Pada mode ini ventilator memberikan bantuan nafas secara selang seling dengan
nafas pasien itu sendiri. Pada mode IMV, pernafasan mandatory diberikan pada
frekuensi yang di set tanpa menghiraukan apakah pasien pada saat inspirasi/ekspirasi,
sehingga bisa terjadi fighting dengan segala akibatnya. Oleh karena itu pada ventilator
generasi akhir mode IMV-nya disinkronisasi (SIMV), sehingga pernafasan mandatory
diberikan sinkron dengn picuan pasien. Mode IMV/SIMV diberikan pada pasien yang
sudah bisa nafas spontan tapi belum normal sehingga masih memerlukan bantuan.
3. Mode ASB / PS (Assisted Spontaneus Breathing / Pressure Support)
Mode ini diberikan pada pasien yang sudah bisa nafas spontan atau pasien yang
masih bisa bernafas tetapi tidal volumenya tidak cukup karena nafasnya dangkal. Pada
mode ini pasien harus mempunyai kendali untuk bernafas. Bila pasien tidak mampu
untuk memicu trigger, maka udara pernafasan tidak diberikan.
4. CPAP (Continuous Possitive Air Pressure)
Pada mode ini mesin hanya memberikan tekanan positif dan diberikan pada pasien
yang sudah bisa bernafas dengan adekuat. Tujuan mode ini adalah untuk mencegah
atelektasis dan melatih otot-otot pernafasan sebelum pasien dilepas dari ventilator.
Pelembaban dan Suhu (Humidifier)
Sistem Alarm:
1. Alarm tekanan rendah: Adanya pemutusan dari pasien (ventilator terlepas dari pasien)

2. Alarm tekanan tinggi: Adanya peningkatan tekanan (misal: batuk, tubing tertekuk,
terjadi fighting).

DAFTAR PUSTAKA
Doenges,M.E.(2000). Rencana Asuhan Keperawatan. (edisi 3). Jakarta, EGC Davey,P.
(2006). At a Glance Medicine. Jakarta, Penerbit Erlangga
Muttaqin,A. (2008). Buku ajar Asuhan keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta:Salemba Medika
Harsono.(2005). Buku Ajar Neurologi Klinis.Jogjakarta:Gajah Mada University Press
Marjono,M.(2008). Neurologi Klinis Dasar. Jakarta:Dian rakyat
Markam,S. (2008). Penuntun Neurologi. Jakarta, Bina Rupa Aksara
Saputra,L (2013). Buku Saku Harrison Neurologi. Jakarta, Charisma Publishing Group
Hudak, CM. 2005. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC.
Mowschenson, Peter. 2009. Segi Praktis Ilmu Bedah untuk Pemula, Edisi 2. Jakarta:
Binarupa Aksara.

Anda mungkin juga menyukai