Anda di halaman 1dari 7

Sindroma ovarium polikistik (SOPK) adalah suatu penyakit yang memiliki

spektrum luas dengan gejala klinis mulai dari yang ringan hingga berat, berupa
sindrom dengan gejala hiperandrogenisme, hiperinsulinemia, anovulasi dan
gangguan haid (oligomenore atau amenore).(Balen A.H, et al, 2005) Bentuk dari
hiperandrogenisme yang terjadi disebabkan karena ketidakseimbangan
hormonal
ovarium dengan terjadinya produksi yang berlebihan dari androgen.(American
Society
For Reproductive Medicine) Hal ini paling sering menjadi penyebab hirsutisme
dan dapat
disertai dengan ovulasi yang tidak teratur atau anovulasi dan infertilitas.

Patofisiologi Ovarium Polikistik


Setiap keadaan yang menyebabkan anovulasi persisten dapat menyebabkan
perubahan bentuk polikistik pada ovarium. Tampaknya sangat penting diketahui
untuk membedakan ovarium multi-kistik. Ovarium multi-kistik ditemukan pada
wanita usia pubertas normal, akibat stimulasi gonadotropin yang belum sempurna.
Pada ovarium ini gambaran folikel multipel pada ovarium tidak diikuti oleh
penebalan stroma dan pembesaran volume ovarium seperti pada ovarium
polikistik.
Pada keadaan anovulasi yang terus menerus, terjadi perubahan kadar hormon
yang sebelumnya fluktuatif menjadi relatif menetap atau disebut steady state.
(Speroff L, et al 2005)

Kadar LH meninggi. (Vanderbilt Medical Center, 2000; Theresa L. Marx, et al 2003; Robert J Norman, et
al 2004; Baillargeon J.P, et al 2007) Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu:
1. Meningkatnya sensitivitas hipotalamus terhadap stimulus GnRH.
2. Meningkatnya frekuensi sekresi GnRH akibat penurunan tonus opioid
yang berfungsi menghambat sekresi GnRH akibat tidak adnya
progesteron dalam waktu lama.
3. Meningkatnya kadar estron akibat pembentukkannya di jaringan perifer.
Untuk FSH, kadarnya tetap rendah karena pengaruh penekanan oleh kadar
estron yang tinggi. Karena kadar FSH yang rendah ini, sel-sel granulosa ovarium
tidak dapat mengaromatisasi androgen menjadi esterogen, sehingga menyebabkan
kadar esterogen menurun sehingga berakhir dengan anovulasi. Growth hormon
(GH) dan insulinlike growth factor-1 (IGF-1) juga mempunyai pengaruh terhadap
fungsi ovarium. (Mukhtar I Khan, et al 2005)
Kadar LH yang meningkat menyebabkan sel teka yang aktif menghasilkan
androgen dalam bentuk androstenedion dan testosteron. (Vanderbilt Medical Center, 2000;
Hadisaputra W, et al 2003; Mukhtar I Khan, et al 2005; Norman RJ, et al 2007) Keadaan hiperandrogenik ini
menyebabkan lingkungan internal folikel bersifat dominan androgen sehingga
tidak dapat berkembang dan menjadi atresia. Atresia pada folikel terutama
berhubungan dengan degenerasi sel granulosa, sementara sel teka masih
dipertahankan. Proses atresia pada folikel ini ternyata juga mengalami
perlambatan sehingga terbentuk kista-kista
Sel teka masih terus aktif menghasilkan androgen sebagai akibat
rangsangan LH. FSH juga tidak secara total disupresi. Perkembangan folikel lain

masih terus berlangsung, tetapi tidak terjadi folikel dominan dan dalam
perjalanannya terjadi atresia folikel yang semakin banyak. (Palomba S, et al 2006)
Penelitian lain terhadap folikel pasien SOPK menunjukkan pengaruh insulin
terhadap adanya respons sel granulosa yang prematur terhadap rangsangan LH
sehingga mempercepat penghentian pertumbuhan sel granulosa. Akhirnya
terdapat banyak folikel imatur dan folikel atretik pada korteks ovarium.
Pembentukan folikel ini disertai penebalan stroma, atau disebut sebagai gambaran
ovarium polikistik.
Gambaran ovarium polikistik ternyata ditemukan pula pada 20-30%
wanita normal, tanpa disertai gangguan menstruasi maupun gangguan endokrin lain. Akan tetapi,
apabila kita melihat gambaran ovarium pada pasien dengan
gangguan hiperandrogenisme dan anovulasi kronik, sekitar 80% menunjukkan
gambaran polikistik. Oleh karena itu, dapat disebutkan bahwa gambaran ovarium
polikistik merupakan komponen yang lebih konstan dibandingkan dengan
gangguan endokrin. Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah apa yang
menyebabkan timbulnya gejala dan tanda SOPK pada sebagian pasien dengan
gambaran ovarium polikistik dan mengapa tidak pada sebagian pasien yang lain?
(Robert, 1990) Beberapa hipotesis yang diajukan adalah resistensi insulin,
obesitas, disregulasi P450 c 17, polimorfisme dopamin, faktor lain yang
menyebabkan gangguan sekresi LH, dan faktor genetik.
Hubungan hiperinsulinemia-hiperandrogenemia
Hubungan antara hiperinsulinemia dengan hiperandrogenemia kini
semakin jelas. Insulin secara langsung meningkatkan produksi hormon steroid
pada ovarium yang potensinya lebih rendah dibandingkan efek steroidogenesis
FSH dan LH. Pada kadar yang tinggi, insulin akan berikatan dengan reseptor
insulin growth factor (IGF) tipe 1 yang secara struktural sama dengan reseptor
insulin. Keduanya bekerja dengan memeberikan sinyal untuk terjadinya
autofosforilasi tirosin pada reseptornya. IGF bekerja pada sel teka untuk
meningkatkan respons terhadap LH. Rangsangan reseptor IGF oleh insulin akan
meningkatkan produksi androgen pada sel teka. (Hadisaputra W, et al 2003; Theresa L. Marx, et al
2003) IGF endogen yang ditemukan pada sel folikel manusia adalah IGF tipe 2
(IGF-II), baik pada sel teka maupun granulosa. Penelitian mengenai aktivitas IGF tipe 1 (IGF-I)
pada jaringan ovarium manusia dapat diterangkan dengan fakta
bahwa IGF-I maupun IGF-II dapat dimediasi oleh reseptor IGF-I yang secara
struktural mirip dengan reseptor insulin.
Selain efek langsung terhadap ovarium, insulin juga menurunkan produksi
sex hormon-binding globulin (SHBG) di hepar. (Gag Kovacs Am, et al 1998; Berga SL, 1998;
Hadisaputra W, et al 2003) Hal ini mengakibatkan menurunnya kadar SHBG serum dan
meningkatnya androgen bebas.(Zoe E C Hopkinson, et al 1998; Baillargeon J.P, et al 2007) Pada
hepar, kadar insulin yang tinggi juga menurunkan kadar insulin-like growth
factor-binding protein tipe 1 (IGF BP-I). Ini berakibat meningkatnya kadar IGF-I
bebas. Pengaruh insulin terhadap peningkatan produksi androgen di adrenal belum
dapat dibuktikan.
Pada keadaan normal androgen yang dihasilkan oleh sel teka merupakan
bahan baku pembentukan esterogen melalui aromatisasi di sel granulosa. Pada
keadaan kadar androgen yang tinggi, sel granulosa akan mengubah androgen
menjadi dihidrotestosteron dengan bantuan enzim 5-reduktase.

Dehidrotestosteron ini menghambat aromatisasi dan kerja FSH, sehingga pada


SOPK pembentukan folikel terhambat dan terjadi atresia folikel serta
mengakibatkan anovulasi kronik pada SOPK. Beberapa peneliti menetapkan
nisbah LH/FSH adalah 2,5 untuk menetapkan SOPK
Dari keseluruhan hal di atas, perlu diketahui juga bahwa SOPK tidak
disebabkan oleh kadar insulin yang tinggi secara langsung. (Baziad A, 1993) Tetapi
SOPK terjadi melalui proses terlebih dahulu, seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya.
Keadaan hiperinsulinemia ternyata sangat berperan pada terjadinya anovulasi
dan penebalan stroma ovarium. Seperti telah disebutkan, penelitian in vitro pada
folikel pasien dengan SOPK menunjukkan adanya respons yang prematur
terhadap rangsangan LH dan mengakibatkan berhentinya pertumbuhan folikel.
Efek mitogenik insulin pada sel stroma ovarium menyebabkan terjadinya
hiperplasia stroma ovarium seperti yang tampak pada gambaran ultrasonografi
pasien SOPK. Penelitian membuktikan stimulasi insulin lebih poten dibandingkan
dengan IGF-I terhadap proliferasi sel
Gangguan produksi Gonadotropin
Jika dibandingkan dengan wanita normal, pasien anovulasi kronik
mempunyai kadar LH rata-rata lebih tinggi, tetapi kadar FSH-nya rendah atau
normal rendah. Peningkatan kadar LH ini disebabkan oleh hal-hal berikut:
Peningkatan sensitivitas hipofisis terhadap rangsangan GnRH. Ditandai
dengan peningkatan amplitudo dan frekuensi sekresi LH, khususnya pada
amplitudonya.
Peningkatan frekuensi sekresi GnRH. Tonus opioid yang menurun akibat
penurunan progesteron pada SOPK menyebabkan hambatan produksi
GnRH juga menurun. Hal ini menyebabkan sekresi GnRH meningkat.
Kadar esterogen bebas yang meningkat. Pada SOPK, penurunan SHBG
dan pembentukan estron di jaringan perifer menyebabkan kadar total esterogen bebas menjadi
tinggi. Hal ini menyebabkan stimulasi terhadap
sekresi LH dan inhibisi terhadap produksi FSH

Adanya resistensi insulin dapat dinilai dengan beberapa teknik


pemeriksaan berikut:
a. Uji toleransi glukosa oral.
b. Uji toleransi insulin.
c. Infus glukosa secara berkesinambungan.
d. Teknik klem euglikemik yang merupakan baku emas pengukuran
sensitivitas jaringan terhadap insulin.
e. Nisbah gula darah puasa/insulin puasa
Resistensi insulin ditetapkan
1. Insulin puasa > 10 U/ml
2. Kadar akumulasi insulin (area di bawah kurva pada UTGO) > 8000
U menit/ml
3. Luas area kurva dihitung berdasarkan (kadar insulin puasa + kadar
insulin UTGO)x0,5x120 menit), dengan kadar gula darah UTGO >

140 mg/dl dan < 200 mg/dl.


4. Ratio gula darah puasa/insulin puasa < 10,1

Pengaruh Resistensi Insulin pada Sindrom Ovarium Polikistik


Pada penelitian Muharam dkk dari 85 kasus ovarium polikistik ternyata
48,2% kasus ovarium yang polikistik disertai dengan resistensi insulin, sedangkan
51,8% tanpa resistensi insulin yang dapat disebabkan oleh sebab lain, antara lain
kegemukan, ekspresi berlebihan pada P450c17, dopamin polimorfis, gangguan
produksi LH, gangguan penurunan IGFBP. Tampak bahwa kasus-kasus dengan
ovarium yang polikistik sebagian didasari oleh adanya resistensi insulin. Temuan
resistensi insulin tersebut akan menjadi pegangan yang sangat berguna dalam
menangani penderita POPK dan SOPK selanjutnya.

Pengaruh Obesitas terhadap Resistensi Insulin


Kasus OPK-RI mempunyai rerata IMT 25,5 0,67 kg/m2 (dengan
obesitas), sedangkan kasus OPK-TRI mempunyai rerata IMT 22,8 0,48 kg/m 2
(tanpa obesitas). Terlihat perbedaan bermakna pada rerata IMT antara kedua
kelompok tersebut. Terdapat hubungan antara IMT terhadap ovarium yang
polikistik yang cukup kuat dan sangat bermakna (r = 0,323, p = 0,01). Temuan ini
memberikan arah bagi pengendalian berat badan melalui diet yang seimbang,
olahraga yang teratur guna mencegah terjadinya obesitas
Keadaan obesitas ini juga telah ditemukan oleh Dunaif dkk, yang
menyatakan bahwa resistensi insulin memang banyak terjadi pada kasus-kasus
dengan obesitas. Pada kelompok OPK-TRI ditemukan 2 dari 7 orang (28,6%)
obes (gemuk), sedangkan pada kelompok POPK-TRI ditemukan 100% nir obes.
Pada SOPK TRI terdapat 11dari 19 orang (57,9%) yang menderita obesitas
Sedangkan pada kasus OPK-RI ditemukan 3 dari 6 orang (50%) menderita
obesitas, pada POPK tidak ada kasus dengan resistensi insulin dan pada SOPK-RI
ditemukan 24 dari 35 orang (68,6%) yang menderita obesitas. Pedro dkk
menjumpai 57% resistensi insulin pada kelompok obes (gemuk) dan 6% pada
kelompok nir obes. Pada penelitian ini ternyata kasus resistensi insulin pada
kelompok nir obes cukup banyak sehingga perlu dilakukan pemeriksaan resistensi
insulin pada ovarium polikistik. Sedangkan menurut penelitian lain wanita SOPK
obesitas lebih sering mengalami hirsutisme dan infertilitas dibandingkan dengan
penderita SOPK yang memiliki berat badan normal. Dalam penelitian luas wanita
dengan SOPK menunjukkan angka sterilitas sekitar 40% lebih tinggi pada wanita
dengan IMT > 30 dibandingkan dengan IMT < 30. Hanya 12-22% wanita ini
memiliki siklus menstruasi yang teratur vs 28-32 % dari wanita dengan berat
badan normal. (Palomba S, et al 2006)
Pada wanita obesitas dan menderita SOPK, 35% nya mengalami toleransi
glukosa terganggu dan 10% nya dengan diabetes melitus. Toleransi glukosa
terganggu adalah didefinisikan sebagai nilai glukosa plasma 140-200 mg.dl
setelah 2 jam pemeriksaan tolerasnsi glukosa oral dengan menggunakan 75 gr
glukosa. Diabetes melitus didefinisikan sebagai kadar glukosa plasma puasa lebih
dari 126 mg/dl.(Mukhtar I khan, 2005)
Pada kelompok dengan resistensi insulin 35 dari 54 (64,8%) kasus SOPK
menderita obesitas dan 19 dari 54 (35,2%) kasus SOPK dengan nir obes dengan
resistensi insulin. Jumlah ini lebih rendah dari pada temuan Lobo yang menunjukkan bahwa 80%
dari SOPK diakibatkan resistensi insulin. Perbedaan ini
mungkin dipengaruhi oleh ras, pola makan yang berbeda antara orang-orang Asia
dan orang-orang Eropa yang masih memerlukan penelitian lebih lanjut. (Legro R.S, et
al 1999)

Pada POPK didapatkaan 18 kasus (100%) nir obesitas tanpa resistensi


insulin. Fakta ini perlu diteliti lebih jauh dengan jumlah sampel yang lebih
banyak, karena menurut Goldseher dan Young 20-50% POPK disebabkan oleh
resistensi insulin. Bilamana kasus POPK dan SOPK digabungkan maka akan
diperoleh 35 dari 72 (48,6%) kasus menderita resistensi insulin

Hiperinsulinemia hadir pada sekitar 80% wanita obes dan 30-40% pada
wanita dengan berat badan normal dengan SOPK dan secara kuat berhubungan
dengan hadirnya anovulasi, dan hal ini pada akhir-akhir ini digunakan untuk
mengetahui rasio kemungkinan intervensi pengobatan. (Homburg R) Menurut
kepustakaan lainnya, 44% dari wanita gemuk menderita SOPK
Penurunan berat badan pada wanita dengan obesitas akan menyebabkan
penurunan insulin dan konsentrasi androgen, dan akan meningkatkan konsentrasi
SHBG. (William N. Burns) Untuk wanita obes dengan SOPK penurunan sekitar 5-10%
berat badan cukup untuk mengembalikan fungsi reproduksi pada 55-100% dalam
waktu 6 bulan pengurangan berat badan
Menurut penelitian lain oleh Pedro dkk, terdapat hubungan yang baik
antara insulin dan BMI yang ditemukan pada wanita normal dan obes tanpa
disfungsi hormonal dan pada pasien dengan atau tanpa SOPK. Hubungan yang baik ini, meskipun
nilainya rendah, antara insulin dan testostron, dan BMI,
insulin, dan testosteron dengan trigliserida juga ditemukan pada pasien SOPK.
Pasien-pasein ini termasuk kedalam kategori yang jelas; dengan atau tanpa
resistensi insulin, dengan atau tanpa obesitas, tetapi wanita kurus dengan SOPK
mempunyai variasi insulin dan metabolik sama dengan tanpa SOPK, dan
kebanyakan pada wanita-wanita obes dengan SOPK adalah resistensi insulin, dan
lebih banyak menderita hiperandrogenemia dan hipertrigliseridemia. Pada
penelitian ini dipakai kriteria obes untuk wanita dengan BMI > 30 kg/m 2.
Menurut penelitian Huber-Buchholz dkk, penurunan berat badan dan
olahraga dilakukan untuk mengatasi gangguan menstruasi dan infertilitas pada
wanita obes dengan SOPK. Penelitian ini menghubungkan antara sensitivitas
insulin dengan pola ovulasi pada 18 wanita obes SOPK dengan infertilitas
anovulatoar dengan toleransi glukosa yang normal, yang berusia antara 22-23
tahun dengan BMI 27-45 kg/m2, sebelum dan 6 bulan setelah menjalankan diet
dan program olahraga. Program ini memicu faktor gaya hidup sehat, tetapi tidak
menimbulkan penurunan berat badan yang cepat. Faktor antropometrik,
metabolisme dan endokrin dari subjek ini dibandingkan dengan usia dan berat
badan wanita SOPK dengan ovulasi yang teratur tiap bulannya (RO). Sebelum
modifikai gaya hidup, subjek yang anovulasi mempunyai obesitas sentral yang
tinggi dibandingkan subjek dengan ovulasi yang teratur, yang ditunjukkan oleh
persentase lemak sentral (NO, 45,7 +/- 0,8%; RO 42,2 +/- 1,6%; P<0,05), glukosa
tambahan yang lebih tinggi sesudah glukosa challenge (NO, 10,1 +/- 1,0 mmol/L;
RO 2,8 +/- 0,6 mikromol/kg x min/pmol/L; P<0,005), LH plasma yang lebih tinggi (NO, 8,9 +/0,9; RO, 4,6 +/- 0,9 IU/L; P<0005), dan SHGB plasma yang
lebih rendah (NO, 18,0 +/- 2,5; RO, 27,8 +/- 5,7 nmol/L; P,0,05). Subjek yang
anovulatoar diklasifikasikan sebagai responder (R) untuk mengintervensi jika
ovulasi mereka kembali selama penelitian. Sebagai hasil intervensi , R
menunjukkan 11% penurunan lemak sentral, 71% perbaikan indeks sensitivitas
insulin, 33% turunnya kadar insulin dan 39% penurunan kadar LH. Tidak ada
satupun parameter yang merubah secara signifikan pada nonresponder (NR). Pada
akhir penelitian, R mempunyai kecepatan insulin yang lebih rendah (R, 13,6 +/1,7; NR, 23,0 +/- 3,5 mU/L) dan kadar LH (R, 5,0 +/- 1,7; NR, 7,4 +/- 1,4 IU/L),
tapi kadar androgen yang sama telah membandingkan NR. Dapat disimpulkan
bahwa modifikasi gaya hidup tanpa penurunan berat badan yang cepat memicu
pengurangan lemak sentral dan memperbaiki sensitivitas insulin, yang
mengembalikan ovulasi pada wanita infertilitas dengan SOPK yang memiliki

kelebihan berat badan. Modifikasi gaya hidup adalah penatalaksanaan yang


penting untuk wanita obes untuk memperbaiki fungsi reproduksi mereka

Anda mungkin juga menyukai