Anda di halaman 1dari 16

PCOS

by dek koas obgyn – Rizqi Hilya Awaliya

Sindrom ovarium polikistik (PCOS), kelainan yang terutama ditandai dengan


tanda dan gejala kelebihan androgen dan disfungsi ovulasi, mengganggu fungsi axis
hypothalamic-pituitary-ovarian (HPO).1 Sindrom ini sering dikaitkan dengan disfungsi
ovarium, kelebihan kadar androgen, resistensi terhadap insulin, dll. 2,3 PCOS mencerminkan
interaksi antara banyak protein dan gen yang dipengaruhi oleh faktor epigenetik dan
lingkungan.

a. Ovarium, Adrenal, Kelebihan Androgen


PCOS ditandai dengan sekresi androgen ovarium dan/atau adrenal yang
berlebihan. Faktor intrinsik ovarium seperti perubahan steroidogenesis dan faktor
eksternal ovarium seperti hiperinsulinemia berkontribusi terhadap produksi androgen
ovarium yang berlebihan. Ciri khas meliputi lebih banyak folikel yang tumbuh pada
wanita dengan PCOS dibandingkan dengan kontrol normal dengan hambatan
pertumbuhan dini folikel antral pada 5 sampai 8 mm. Fenotipe ovarium klasik dari
ovarium yang membesar dengan morfologi string-of-pearl dan hiperplasia interstitial
theca mencerminkan paparan androgen; morfologi ini juga telah diamati pada wanita
dengan hiperplasia adrenal kongenital (CAH) dan individu transgender female-to-
male.

Gambar 1. Ilustrasi perkembangan folikel1


Steroidogenesis di ovarium melibatkan sel teka dan sel granulosa. Sel-sel teka
menghasilkan androgen ovarium, yang diubah menjadi estrogen dalam sel granulosa
karena aksi aromatase yang dirangsang oleh FSH.1 Aksi androgen dimediasi oleh
reseptor androgen (AR, androgen receptor), yang diekspresikan dalam sel teka, sel
granulosa, oosit, dan sel stroma. Ekspresi gen puncak AR terjadi pada folikel antral
kecil (diameter 6 mm) dan penurunan pada folikel antral dan praovulasi. Biasanya,
satu folikel “dipilih” sebagai folikel dominan. Dengan meningkatnya sekresi estrogen,
sekresi FSH hipofisis menurun akibat umpan balik negatif. Folikel dominan
mengkompensasi hilangnya stimulasi FSH ini melalui peningkatan ekspresi LHCGR
dan peningkatan respons terhadap stimulasi LH. Folikel subordinat mengalami
atresia, mungkin karena defisiensi FSH relatif dan kelebihan androgen. Setelah
mencapai konsentrasi estradiol yang cukup, mekanisme neuroendokrin memicu
lonjakan LH untuk menginduksi ovulasi.1
Fitur lain dari ovarium PCOS adalah transisi yang dipercepat dari folikel
primordial ke folikel yang tumbuh dengan peningkatan jumlah folikel 2-3 mm dan 3-4
mm. Konsentrasi AMH berkorelasi dengan jumlah folikel antral kecil ini. Folikel
yang tumbuh terpapar ke lingkungan atipikal dengan peningkatan konsentrasi LH,
insulin, androgen, dan AMH disertai dengan konsentrasi FSH yang tidak mencukupi.
Perbedaan tambahan pada ovarium PCOS termasuk faktor yang memengaruhi fungsi
vaskular dan respons imun.
Gen DENND1A.V2, menunjukkan peran varian ini dalam produksi androgen
sel teka yang berlebihan.4 Ekspresi DENND1A.V2 yang berlebihan dalam garis sel
adrenal menyebabkan peningkatan ekspresi mRNA untuk CYP17A1 dan CYP11A1.5
Dimana Ekspresi CYP17A1 ditemukan dalam kultur sel teka yang diisolasi dari
ovarium PCOS.1,5 . Selain itu konsentrasi 11-oxygenated steroid ini dilaporkan lebih
tinggi pada wanita dengan PCOS dibandingkan wanita premenopause yang sehat.1,6
b. Pengobatan Asam Valproat
Asam valproat (VPA), asam lemak rantai pendek bercabang yang berasal dari
asam valerat, digunakan untuk mengobati epilepsi, gangguan bipolar, dan mencegah
sakit kepala migrain. VPA meningkatkan level GABA dengan mengganggu jalur
degradasi GABA. Neuron GnRH mengekspresikan reseptor GABAA dan GABAB,
melibatkan pensinyalan GABA dalam regulasi sekresi GnRH. Pensinyalan melalui
reseptor GABAA dapat menimbulkan efek rangsang pada neuron GnRH.7 Wanita
yang diobati dengan VPA dapat mengalami gejala mirip PCOS. Wanita kurus dengan
PCOS memiliki konsentrasi GABA CSF yang lebih tinggi secara signifikan
dibandingkan dengan kelompok kontrol wanita ramping eumenorrhea. 1,7
c. Resisten Insulin, Hiperinsulinemia, Obesitas
Prevalensi sindrom metabolik yang didefinisikan sebagai obesitas, hipertensi,
dislipidemia, dan hiperglikemia kira-kira tiga kali lipat lebih tinggi pada wanita
dengan PCOS. Respon dari kelebihan nutrisi, adiposit dapat membesar (hipertrofi)
atau membentuk adiposit baru (hiperplasia). Menurut hipotesis perluasan jaringan
adiposa, hipertrofi adiposit membentuk lingkungan mikro yang ditandai dengan
hipoksia, sekresi sitokin proinflamasi, asam lemak bebas berlebihan, invasi makrofag,
dan resisten insulin.
Meskipun resistensi insulin dan hiperinsulinemia umumnya terdeteksi pada
wanita dengan PCOS, mutasi gen reseptor insulin sangat jarang terjadi pada wanita
dengan PCOS.1 Insulin adalah hormon yang terutama bertanggung jawab untuk
homeostasis glukosa dan lipogenesis. Selain efeknya pada metabolisme karbohidrat,
lemak, dan protein, insulin berfungsi sebagai hormon mitogenik. Tindakan insulin
dimediasi oleh reseptor insulin, yang ditemukan di banyak jaringan sumbu HPO.
Dalam jaringan steroidogenik seperti ovarium dan korteks adrenal, insulin
mempotensiasi hormon trofik untuk mempromosikan steroidogenesis.
Hiperinsulinemia kompensasi yang terkait dengan resistensi insulin memprovokasi
sekresi androgen ovarium/adrenal yang berlebihan.1 Hiperinsulinemia meningkatkan
tempat pengikatan LH dan respons penghasil androgen terhadap LH. Interaksi LH dan
insulin meningkatkan enzim pengatur akut steroidogenik dan ekspresi mRNA
CYP450c17. CYP450c17 terlibat dalam produksi androgen. Demikian pula, resistensi
insulin secara independen meningkatkan aktivitas CYP17A1, enzim produktif dalam
produksi androstenedion dan testosterone.2,8,9
d.

Sumber:

1. Witchel, S.F.; E Oberfield, S.; Peña, A.S. Polycystic Ovary Syndrome:


Pathophysiology, Presentation, and Treatment With Emphasis on Adolescent Girls. J.
Endocr. Soc. 2019, 3, 1545–1573
2. Sadeghi, M.H., Adeli, I., Calina D. Polycystic Ovary Syndrome: A Comprehensive
Review of Pathogenesis, Management, and Drug Repurposing. Int Journal of
Molecular Sciences. 2022; 23.
3. Deans, R. Polycystic ovary syndrome in adolescence. Med. Sci. 2019, 7, 101.
4. McAllister JM, Modi B, Miller BA, Biegler J, Bruggeman R, Legro RS, Strauss JF
III. Overexpression of a DENND1A isoform produces a polycystic ovary syndrome
theca phenotype. Proc Natl Acad Sci USA. 2014;111(15):E1519–E1527.
5. Tee MK, Speek M, Legeza B, Modi B, Teves ME, McAllister JM, Strauss JF III,
Miller WL. Alternative splicing of DENND1A, a PCOS candidate gene, generates
variant 2. Mol Cell Endocrinol. 2016;434: 25–35.
6. O’Reilly MW, Kempegowda P, Jenkinson C, Taylor AE, Quanson JL, Storbeck KH,
Arlt W. 11-Oxygenated C19 steroids are the predominant androgens in polycystic
ovary syndrome. J Clin Endocrinol Metab. 2017; 102(3):840–848.
7. Kawwass JF, Sanders KM, Loucks TL, Rohan LC, Berga SL. Increased cerebrospinal
fluid levels of GABA, testosterone and estradiol in women with polycystic ovary
syndrome. Hum Reprod. 2017;32(7): 1450–1456.
8. Zeng, X.; Xie, Y.-J.; Liu, Y.-T.; Long, S.-L.; Mo, Z.-C. Polycystic ovarian syndrome:
Correlation between hyperandrogenism, insulin resistance and obesity. Clin. Chim.
Acta 2020, 502, 214–221.
9. He, F.-F.; Li, Y.-M. Role of gut microbiota in the development of insulin resistance
and the mechanism underlying polycystic ovary syndrome: A review. J. Ovarian Res.
2020, 13, 1–13.
PENDAHULUAN

Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS) atau yang biasa disebut sebagai anovulasi
hiperandrogenik (HA), atau sindrom Stein-Leventhal merupakan penyakit ginekologi
endokrin yang sering terjadi pada wanita usia produktif. 1 Prevalensi PCOS sebesar 15-20%
menurut ESHRE, yang mana banyak terjadi pada pasien yang berusia 15 – 30 tahun.
Penegakan diagnosis pada sindrom ini dapat menggunakan kriteria Rotterdam 2003 yaitu,
oligo-anovulasi atau anovulasi kronis, tanda klinis dan/atau biokimia hiperandrogenemia dan
gambaran ovarium polikistik. Populasi dan kriteria diagnosis menyebabkan beragamnya
prevalensi PCOS.2,3

Faktor eksternal dan internal berperan dalam perkembangan penyakit PCOS ini,
termasuk resistensi insulin (IR), hiperandrogenisme (HA), faktor lingkungan, genetik, dan
epigenetik. Selain itu, PCOS beresiko pada komplikasi penyakit kardiovaskular, diabetes
mellitus tipe 2, sindrom metabolik, depresi, dan kecemasan.4,5,6

Penyebab pasien datang ke dokter dengan berbagai keluhan, seperti : terdapat siklus
menstruasi yang terganggu (dengan sekitar 85-90% mengalami oligomenore dan dengan
sekitar 30-40% mengalami amenore sekunder), infertilitas terjadi sekitar 90%–95%, serta
keluhan lainnya seperti hirsutisme terjadi sekitar 70% dan jerawat (15-30%). Berdasarkan
pengamatan yang dilakukan oleh Sumapraja, pasien dengan PCOS yang memiliki masalah
dalam ovulasi dan ovarium polikistik yaitu sekitar 44,7%.3,7

Sumber:

1. El Hayek S, Bitar L, Hamdar LH, Mirza FG, Daoud G. Poly Cystic Ovarian
Syndrome: An Updated Overview. Front Physiol. 2016 Apr 5;7.
2. Nandi A, Chen Z, Patel R, Poretsky L. Polycystic ovary syndrome. Endocrin Metab
Clin 2014;43(1):123-47.
3. Sirmans S, Pate K. Epidemiology, diagnosis, and management of polycystic ovary
syndrome. Clin Epidemiol 2013;6(1):1-13.
4. Ganie M, Vasudevan V, Wani I, Baba M, Arif T, Rashid A. Epidemiology,
pathogenesis, genetics & management of polycystic ovary syndrome in India.
Indian J Med Res. 2019;150(4):333.
5. Glueck CJ, Goldenberg N. Characteristics of obesity in polycystic ovary syndrome:
Etiology, treatment, and genetics. Metabolism. 2019 Mar;92:108–20.
6. Damone AL, Joham AE, Loxton D, Earnest A, Teede HJ, Moran LJ. Depression,
anxiety and perceived stress in women with and without PCOS: a community-based
study. Psychol Med. 2019 Jul 22;49(09):1510–20.
7. Sumapraja K, Pangastuti N. Profile of Policystic Ovarian Syndrome Patients in Dr.
Cipto Mangunkusumo General Hospital Jakarta March 2009 - March 2010.
Indonesian Journal of Obstetrics and Gynecology 2011;35(1).
DIAGNOSIS

A. Kriteria Rotterdam
Menurut konsensus Rotterdam, sindrom ovarium polikistik (PCOS)
didefinisikan dengan adanya dua dari tiga kriteria berikut: oligo-anovulasi,
hiperandrogenisme, dan ovarium polikistik (≥ 12 folikel berukuran diameter 2-9 mm
dan/atau volume ovarium > 10 mL dalam setidaknya satu ovarium). 1
a) Oligo-Anovulasi
Disfungsi ovulasi adalah fitur diagnostik utama PCOS dengan siklus
menstruasi tidak teratur, sebagaimana tercermin dalam kriteria Rotterdam. Disfungsi
ovulasi dapat terjadi dengan siklus teratur. Suatu penilaian hormonal relevan jika
secara klinis dicurigai PCOS dan siklusnya teratur. Siklus yang tidak teratur dan
disfungsi ovulasi juga merupakan komponen normal dari transisi pubertas dan
menopause sehingga menentukan kelainan pada tahap kehidupan ini masih menjadi
tantangan. Memang, kontroversi terbesar dalam kriteria diagnostik ini adalah selama
transisi pubertas. Ketika siklus tidak teratur mencerminkan kematangan reproduksi
dan kemungkinan juga menunjukkan PCOS, diagnosis yang akurat perlu dilakukan
karena dapat terjadinya over-diagnosis. Terdapat suatu rekomendasi yang digunakan
untuk menegakkan diagnosis PCOS, yaitu :
1. Siklus menstruasi yang tidak teratur didefinisikan sebagai:
• Normal pada tahun pertama pasca menarche sebagai bagian dari transisi
pubertas
• > 1 sampai < 3 tahun pasca menarche: siklusnya < 21 atau > 45 hari
• > 3 tahun pasca menarche hingga perimenopause: siklusnya < 21 atau > 35
hari atau < 8 siklus per tahun
• > 1 tahun pasca menarche > 90 hari untuk satu siklus
• Amenore primer pada usia 15 atau > 3 tahun pasca thelarche (perkembangan
payudara)
2. Pada remaja dengan siklus menstruasi yang tidak teratur, waktu optimal penilaian
dan diagnosis PCOS harus didiskusikan dengan pasien, dengan
mempertimbangkan tantangan diagnostik pada tahap kehidupan ini dan faktor
psikososial dan budaya
3. Untuk remaja yang memiliki gambaran PCOS tetapi tidak memenuhi kriteria
diagnostik, dapat dipertimbangkan untuk melakukan penilaian ulang, disarankan
pada saat 8 tahun pasca menarche
b) Hiperandrogenisme
Tanda dan gejala kelebihan androgen yang parah dapat menyebabkan
virilisasi (misalnya kebotakan pola pria, hirsutisme parah, dan klitoromegali) dan
maskulinisasi. Virilisasi jarang terjadi. Bukti klinis menunjukkan bahwa yang paling
umum adalah kelebihan androgen ringan sampai sedang seperti hirsutisme, jerawat,
dan alopecia.2
Tanda klinis hiperandrogenisme yang paling sering dijumpai adalah adanya
rambut terminal seperti pria pada wanita atau "hirsutisme". Peningkatan androgen
terdeteksi pada sebagian besar (> 70%) wanita dengan hirsutisme. Alat penilaian
visual yang paling umum adalah Ferriman-Gallwey (mFG) yang dimodifikasi untuk
menilai rambut terminal (rambut yang akan tumbuh > 5mm jika dibiarkan tanpa
gangguan, biasanya berpigmen, dan bermedula). mFG menilai sembilan area tubuh,
yaitu: bibir atas, dagu dan leher, dada bagian atas (tidak termasuk puting susu), perut
bagian atas (di atas umbilikus), perut bagian bawah (juga dikenal sebagai lambang
pria), paha (depan dan/atau punggung), punggung atas, punggung bawah, dan lengan
atas. Setiap area dinilai secara visual dari nol (tidak ada rambut terminal yang
terlihat) hingga empat (rambut terminal konsisten seperti pria yang berkembang
dengan baik).2 Skor Ferriman Gallwey (mFG) yang dimodifikasi dengan hasil ≥ 4-6
yang menunjukkan hirsutisme

Gambar 2. Skor Ferriman-Gallwey yang dimodifikasi (mFG)


Jerawat dikaitkan dengan hiperandrogenisme biokimianamun nilai prediksi
jerawat saja tidak jelas dan tidak ada alat penilaian yang diterima. . Sebagian besar
penelitian terhadap wanita dengan alopecia mengungkapkan prevalensi
hiperandrogenemia yang relatif rendah dan nilai prediksi alopecia saja masih belum
jelas, sebagian karena ada banyak penyebab yang dapat berkontribusi terhadap
alopecia selain hiperandrogenisme. Rambut rontok di kulit kepala adalah biasanya
dinilai secara visual menggunakan skala Ludwig.3

Gambar 3. Skala Ludwig3


Klasifikasi ini terdiri dari tiga tingkat kerontokan rambut, yang meliputi:
• Derajat I: Penipisan rambut yang terlihat pada ubun-ubun, dibatasi di depan oleh
garis yang terletak 1-3 cm di belakang garis rambut depan
• Derajat II: Penghalusan rambut di dalam area yang terlihat pada Derajat I.
• Derajat III: Kebotakan penuh (penggundulan total) di dalam area yang terlihat
pada Derajat I dan II.
c) Ovarium Polikistik
Polycystic ovarian morphology (PCOM) dimasukkan ke dalam diagnosis
PCOS pada tahun 2003 dalam kriteria Rotterdam. Definisi PCOM dalam kriteria
Rotterdam adalah terdapat ≥ 12 folikel berukuran 2 - 9mm di setiap ovarium
dan/atau terdapat volume ovarium yang meningkat (≥10 ml). 2 Akan tetapi, remaja
pasca-menarche hampir selalu memiliki setidaknya satu ovarium dengan >12 folikel
yang terlihat dan melabelinya sebagai 'polikistik' dapat menyebabkan tatalaksana
yang tidak perlu, manajemen yang tidak tepat, dan stigmatisasi. Selain itu juga
ditemukan wanita dengan siklus ovulasi teratur memiliki 15 folikel antral dan folikel
dominan atau korpus luteum.1
Pada 2011, Dewailly mempelajari dan merekomendasikan ovarium tidak
dianggap memiliki morfologi ovarium polikistik sampai ditemukan ≥ 19 folikel4,
sementara Lujan et al (2013) mempelajari merekomendasikan ambang pada ≥ 26
folikel.1,5 Sebuah meta-analisis yang dilakukan oleh Androgen Excess and Polycystic
Ovary Syndrome Society pada tahun 2014 menemukan bahwa jumlah folikel rata-
rata per ovarium (FNPO)1,6 pada wanita usia reproduksi adalah antara 13 dan 16 dan
sangat dianjurkan untuk meningkatkan ambang morfologi ovarium polikistik
menjadi ≥ 25 folikel. Penggunaan ≥ 25 folikel juga didukung oleh International
Society of Ultrasound in Obstetrics and Gynaecology Consensus Group.1,7 Berikut
adalah salah satu contoh gambaran hasil USG dari PCOM :

Gambar 4. Polycystic ovarian morphology (PCOM) pada USG


B. AMH dalam Diagnostik PCOS
Serum Anti-Müllerian Hormone (AMH) dapat digunakan sebagai penanda
alternatif disfungsi ovulasi pada PCOS. AMH adalah polipeptida dari jenis transforming
growth factor beta (TGF-β) yang hanya disekresikan oleh sel-sel granulosa dari folikel
ovarium preantral dan antral kecil. Kadar serum AMH secara signifikan lebih tinggi pada
wanita dengan PCOS dibandingkan dengan wanita ovulasi normal. Korelasi kuat telah
ditunjukkan antara kadar AMH yang bersirkulasi dan jumlah folikel antral di USG pada
PCOS. AMH juga dapat memberikan wawasan tentang patogenesis PCOS dan fenotipe
yang berbeda. Namun, literatur saat ini mengungkapkan heterogenitas yang signifikan
dan nilai diagnostik serum AMH masih kurang jelas.8
C. Status Glikemik
Status glikemik harus dinilai di awal pada semua wanita dengan PCOS.
Setelah itu, penilaian harus dilakukan setiap satu hingga tiga tahun karena dapat
dipengaruhi oleh faktor resiko lainnya.2
Tes toleransi glukosa oral (TTGO), glukosa plasma puasa atau HbA1c harus
dilakukan untuk menilai status glikemik. Pada wanita berisiko tinggi dengan PCOS
(termasuk BMI >25kg/m2 atau di Asia >23kg/m2, riwayat gangguan glukosa puasa,
gangguan toleransi glukosa atau diabetes gestasional, riwayat keluarga diabetes mellitus
tipe 2, hipertensi atau etnis berisiko tinggi ), TTGO direkomendasikan.2 TTGO 75-g
harus dilakukan pada semua wanita PCOS saat prakonsepsi ketika merencanakan
kehamilan atau mencari pengobatan kesuburan, mengingat risiko tinggi hiperglikemia
dan komorbiditas terkait dalam kehamilan. Jika tidak dilakukan saat prakonsepsi, TTGO
harus dilakukan pada saat usia kehamilan <20 minggu, dan semua wanita dengan PCOS
harus dilakukan tes pada usia kehamilan 24-28 minggu.2

Sumber:

1. Smet ME, McLennan A. Rotterdam criteria, the end. Australas J Ultrasound Med. 2018
May 17;21(2):59-60. doi: 10.1002/ajum.12096. PMID: 34760503; PMCID:
PMC8409808.
2. Teede H, Misso M, Costello M, Dokras A, Laven J, Moran L, et al. International
evidence-based guideline for the assessment and management of polycystic ovary
syndrome 2018. National Health and Medical Research Council (NHMRC). 2018. 1–198
p.
3. Lizneva D, Suturina L, Walker W, Brakta S, Gavrilova-Jordan L, Azziz R. Criteria,
prevalence, and phenotypes of polycystic ovary syndrome. Fertil steril 2016; 106(1).
4. Dewailly D, Gronier H, Poncelet E, Robin G, Leroy M, Pigny P, et al. Diagnosis of
polycystic ovary syndrome (PCOS): revisiting the threshold values of follicle
count on ultrasound and of the serum AMH level for the definition of
polycystic ovaries. Hum Reprod 2011; 26: 3123–9.
5. Lujan ME, Jarrett BY, Brooks ED, Reines JK, Peppin AK, Muhn N, et al. Updated
ultrasound criteria for polycystic ovary syndrome: reliable thresholds for
elevated follicle population and ovarian volume. Hum Reprod 2013; 28: 1361–
8.
6. Dewailly D, Lujan ME, Carmina E, Cedars MI, Laven J, Norman
RJ, et al. Definition and significance of polycystic ovarian morphology: a task
force report from the Androgen Excess and Polycystic Ovary Syndrome
Society. Hum Reprod Update 2014; 20(3): 334–52.
7. Coelho Neto MA, Ludwin A, Borrell A, Benacerraf B, Dewailly D, Da Silva Costa
F, et al. Counting ovarian follicles by ultrasound: a practical guide. Ultrasound
Obstet Gynecol 2018; 51: 10–20.
8. Seifer, D.B. and D.T. MacLaughlin, Mullerian Inhibiting Substance is an ovarian growth
factor of emerging clinical significance. Fertility and Sterility. 2007; 88(3): p. 539-546.
TATALAKSANA

A. Non-Farmakologi
Intervensi gaya hidup adalah pengobatan lini pertama, termasuk strategi
perilaku, diet dan olahraga. Perilaku gaya hidup sehat yang mencakup makan sehat dan
aktivitas fisik teratur harus direkomendasikan pada semua penderita PCOS untuk
mencapai dan/atau mempertahankan berat badan yang sehat, memperbaiki kondisi
hormonal, kesehatan umum, dan kualitas hidup.2
Umumnya 30-75% wanita yang menderita PCOS di seluruh dunia mengalami
kondisi berat badan yang berlebihan atau obesitas. Oleh karena itu, pengobatan lini
pertama untuk wanita dengan PCOS dengan indeks massa tubuh (BMI) ≥ 25 kg/m2
adalah pengurangan berat badan, dan wanita PCOS yang memiliki BMI ≤25 kg/m2
disarankan untuk menjaga berat badan mereka untuk menghindari komplikasi dari
obesitas. Sehingga, keduanya disarankan untuk membatasi asupan makanan serta
olahraga sebagai pengobatan lini pertama untuk PCOS.1 Telah dilaporkan bahwa
penurunan berat badan 2-5% dapat secara signifikan meningkatkan fungsi metabolisme
dan reproduksi, termasuk meningkatkan konsenterasi SHBG, yang dapat menyebabkan
penurunan kadar androgen bebas dan meningkatkan fungsi dari ovulasi.1 Bagi pasien
dengan obesitas, harus melakukan penurunan berat badan sekitar 5 sampai 10 % dari
berat badan awal.55 Intervensi nutrisi untuk menurunkan berat badan meliputi defisit
kalori 30% atau 500 -750 kkal/hari (1.200 hingga 1.500 kkal/hari) dengan komposisi
yang seimbang disertai dengan tinggi serat.2
Jenis olahraga yang sebaiknya dilakukan adalah olahraga dengan intensitas
sedang, seperti jalan cepat, lari, berenang, bersepeda, dan aerobik. Durasi (Durasi)
latihan minimal 30 menit. Untuk menurunkan berat badan, frekuensi olahraga yang
disarankan adalah 3 sampai 5 kali seminggu. Sebuah hasil penelitian menunjukkan,
modifikasi gaya hidup yang baik dapat memicu perbaikan pada profil antropometrik,
gejala hirsutisme, dan kadar insulin.3
B. Farmakologi
1. Combined Oral Contraceptive Pills (COCP)
Penatalaksanaan gangguan menstruasi pada pasien PCOS tidak hamil
adalah dengan menggunakan kontrasepsi kombinasi. Kontrasepsi kombinasi,
termasuk pil kontrasepsi oral, biasanya diresepkan untuk orang dewasa dan remaja
dengan PCOS untuk memperbaiki gejala klinis dan gangguan hormonal yang terkait.
Efek COCPs pada siklus menstruasi, hirsutisme, penurunan berat badan, rasio
pinggang/pinggul, konsentrasi testosteron, profil lipid dan kadar gula darah
dilaporkan secara bervariasi dan tergantung pada jenis COCP yang digunakan, durasi
penggunaan, keparahan presentasi/fenotipe, kepatuhan terhadap rejimen, dan di
antara faktor-faktor lainnya. Berbagai kombinasi COCP tersedia dengan preparat
estrogen dan progestin heterogen dengan berbagai sifat farmakologis dan klinis.
Dengan demikian, kemanjuran dan konsekuensi COCP pada PCOS dapat bervariasi.
Beberapa sediaan juga mengandung estrogen alami sebagai pengganti etinilestradiol
sintetik (EE) dengan manfaat dan kontraindikasi yang dianggap serupa. 2 Pengunaan
COCP disarankan pada wanita dewasa dengan PCOS untuk pengelolaan
hiperandrogenisme dan/atau siklus menstruasi yang tidak teratur. Dosis terendah
esterogen yang efektif adalah, 20-30 mikrogram etinilestradiol atau setara.
Pertimbangan efek samping diperlukan sebelum meresepkan COCP.
Kontraindikasi absolut untuk penggunaan COCP menurut (WHO), yaitu :
riwayat migrain dengan aura, deep vein thrombosis (DVT)/pulmonary emboli (PE),
mutasi trombogenik, beberapa faktor risiko penyakit kardiovaskular, riwayat
penyakit jantung iskemik atau stroke, penyakit katup jantung yang rumit, kanker
payudara, neuropati, sirosis berat dan tumor hati ganas Bukti saat ini menunjukkan
bahwa COCPs yang mengandung levonorgestrel, norethisterone dan norgestimate
dikaitkan dengan risiko relatif terendah DVT. Juga, WHO merekomendasikan bahwa
COCPs dengan 35 mikrogram EE dan cyproterone acetate hanya boleh digunakan
ketika mengobati hirsutisme atau jerawat sedang hingga parah karena risiko DVT
yang lebih tinggi. Untuk kontrasepsi, siklus menstruasi yang tidak teratur dan
hirsutisme ringan sampai sedang, preparat berisiko rendah lainnya direkomendasikan
sebagai lini pertama.4
2. Klomifen Sitrat
Klomifen sitrat adalah pengobatan lini pertama untuk menginduksi
ovulasi selama siklus ovulasi dengan tingkat keberhasilan 70-80%. Tingkat
kehamilan pada penderita PCOS yang berespon terhadap klomifen sitrat rata-rata
15% per siklus. Persyaratan penggunaan klomifen sitrat adalah terdapatnya axis
hipotalamus-hipofisis yang normal untuk terjadinya suatu ovulasi. Mekanisme
klomifen sitrat adalah dengan cara mengikat reseptor estrogen di hipotalamus,
menghasilkan umpan balik positif estrogen ke hipotalamus. Blokade pada reseptor
estrogen ini akan menyebabkan peningkatan produksi GnRH hipotalamus, yang
selanjutnya akan merangsang pertumbuhan folikel.5 Klomifen sitrat awalnya
diberikan 50 mg/hari secara oral selama 5 hari dari hari ke-2 hingga hari ke 5 siklus
menstruasi. Dosis dapat dinaikan menjadi 100 mg/hari jika tidak terdapat respon atau
diturunkan dosisnya menjadi 25 mg/hari jika ada respons yang berlebihan. Resistensi
klomifen sitrat terjadi jika ovulasi tidak ada setelah menerima klomifen sitrat selama
enam siklus berturut-turut dengan dosis 150 mg.5
3. Insulin Sensitizer
Mengingat hubungan yang erat dan kemungkinan hubungan patofisiologi
antara resistensi insulin dan PCOS, sensitizer insulin mulai berperan lebih besar
dalam pengobatan PCOS, salah satunya metformin. Metformin bekerja dengan
menurunkan glukoneogenesis, lipogenesis dan meningkatkan pengambilan glukosa di
hati, otot rangka, jaringan adiposa dan ovarium. Dengan demikian, kadar insulin
dapat menurun, sehingga terjadi penurunan kadar androgen. Mengkonsumsi
metformin dapat mengubah keseimbangan hormonal menuju ovulasi dan kehamilan.
Metformin tidak boleh diberikan pada pasien dengan gangguan ginjal (kreatinin
serum >1,4 mg/dL), gagal jantung kongestif, atau disfungsi hati. Dosis metformin
yang paling umum digunakan adalah antara 1.500 dan 2.000 mg per hari
C.

Sumber:

1. In: Jean-Hailes-for-Women’s-Health, ed. Evidence-based guideline for the assessment


and management of polycystic ovary syndrome 2015.
2. Teede H, Misso M, Costello M, Dokras A, Laven J, Moran L, et al. International
evidence-based guideline for the assessment and management of polycystic ovary
syndrome 2018. National Health and Medical Research Council (NHMRC). 2018. 1–
198 p.
3. Moran L, Hutchison S, Norman R, Teede H. Lifestyle changes in women with
polycystic ovary syndrome. The Cochrane Library 2011;7.
4. World Health Organization. Combined hormonal oral contraception and risk of
venous thromboembolism (VTE). Sexual and reproductive health 2018; Available
from: http://www.who.int/reproductivehealth/topics/family_planning/coc/en/.
5. Alchami A, O’Donovan O, Davies M. PCOS: diagnosis and management of related
infertility. Obstetrics, Gynaecology & Reproductive Medicine 2015;25(10):279-82

Anda mungkin juga menyukai