Anda di halaman 1dari 17

Penanganan Dampak

Perubahan Iklim di Jawa


Tengah perlukan Upaya
Menyeluruh
Konvergensi API PRB :
Tantangan dan Respon

12 Alasan Mengapa Monitoring


dan Evaluasi (M&E) Adaptasi
Perubahan Iklim (API) sangat
Menantang

Warta Singkat

10

Mercy Corps Indonesia

12

Dari Redaksi

Adaptasi Perubahan Iklim


dan Pengurangan Risiko
Bencana untuk Ketahanan
(API Perubahan)

Duduk Bersama untuk


Bangun Ketahanan
Masyarakat Maluku

SASI dan Revolusi Hijau Pulau


Haruku: Kearifan Lokal dan
Adaptasi Perubahan Iklim

Senang Berjumpa Kembali dengan Anda!


Program Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana untuk
Ketahanan (API Perubahan) fase I yang dilaksanakan di Sumatera Barat, Lampung,
Jakarta Barat, dan Maluku telah selesai. Perjalanan tiga tahun, mulai Oktober 2010
sampai dengan September 2013, telah memberikan banyak pengalaman serta
melibatkan banyak lembaga dan individu dalam mengembangkan, melaksanakan,
dan menguji konsep integrasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana
(API-PRB) dari tingkat komunitas sampai pemerintah di berbagai tingkat.
Dengan hasil positif dari pengalaman fase pertama, sejak awal bulan April 2014
API Perubahan telah berjalan kembali untuk mengembangkan dan mereplikasi
ke daerah lain di Indonesia. Sama seperti sebelumnya, fase II akan bermitra
dengan pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta untuk berkontribusi secara
terukur terhadap peningkatan ketahanan masyarakat yang rentan akan bencana
alam dan dampak perubahan iklim. API Perubahan masih akan bekerja dalam
bidang adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana, termasuk
didalamnya penilaian kerentanan dan kapasitas, peningkatan kesadaran, advokasi
upaya-upaya API-PRB dalam pembangunan daerah, serta kegiatan-kegiatan
percontohan.
Fokus dari fase II ini adalah untuk mengembangkan model-model ketahanan
masyarakat untuk bisa direplikasikan ke daerah lainnya sesuai dengan karakteristik
masing-masing. Pulau Haruku sebagai salah satu daerah percontohan dari fase
pertama akan dilanjutkan dan dikembangkan sebagai model untuk ketahanan
masyarakat pulau-pulau kecil bersama dengan satu kecamatan lainnya di Maluku.
Provinsi Jawa Tengah saat ini juga menjadi perhatian untuk pengembangan model
ketahanan sampai dengan pertengahan tahun 2015 nanti.
Selamat membaca!
Redaksi

ndonesia sebagai Negara kepulauan


di kawasan tropis memiliki risiko yang
tinggi terhadap berbagai bencana alam,
bahkan diperparah oleh perubahan
iklim yang telah berdampak negatif
terhadap masyarakat, perekonomian, dan
lingkungan. Menjadi sebuah kebutuhan
yang penting untuk menyatukan upaya
dari seluruh pihak, terutama antara
komitmen politik dari tingkat nasional
dengan pelaksanaan di lapangan.
Adaptasi
Perubahan
Iklim
dan
Pengurangan Risiko Bencana untuk
Ketahanan (API Perubahan) merupakan
sebuah program yang dilaksanakan oleh
Mercy Corps Indonesia. Program yang

didukung oleh USAID ini bertujuan meningkatkan ketahanan


masyarakat yang rentan terhadap dampak perubahan
iklim dan risiko bencana. Tujuan tersebut dicapai melalui
peningkatan kapasitas pemerintah, masyarakat, dan
sektor swasta dalam mengurangi risiko dan beradaptasi
terhadap perubahan iklim. API Perubahan fase I telah
berjalan sejak Oktober 2010 sampai dengan September
2013 dengan Sumatera Barat, Lampung, Jakarta Barat,
dan Maluku sebagai target wilayah kerja program. Dengan
tujuan yang sama, API Perubahan fase II dilaksanakan
sejak April 2014 sampai dengan pertengahan tahun 2015
dengan melanjutkan kegiatan di Pulau Haruku. Selain
itu, melalui program API Perubahan fase kedua, Pulau
Haruku juga dijadikan daerah percontohan sebagai model
pembangunan ketahanan masyarakat di pulau-pulau kecil
yang nantinya akan direplikasi di satu kecamatan lainnya
di Maluku dan tiga kecamatan di Jawa Tengah.

Elemen Penting Program


Keterlibatan
para
pemangku
kepentingan setempat; pemerintah,
masyarakat, universitas, dan sektor
swasta yang akan menjadi Komite
Pengarah Program (KPP) di tatanan kebijakan
dan Kelompok Kerja (POKJA) di tatanan
komunitas.

untuk peningkatan ketahanan dalam rencana


pembangunan di daerah. Berdasarkan prioritas
rencana aksi yang dihasilkan oleh masyarakat,
API Perubahan akan membantu KPP dan POKJA
untuk merealisasikan rencana aksi tersebut,
berkolaborasi dengan pemerintah, masyarakat,
dan sektor swasta.

KPP dan POKJA akan terlibat dalam


pelaksanaan kajian risiko / kajian
kerentanan melalui dua pendekatan;
ilmiah dan partisipatoris. Proses
pelaksanaan kajian ini akan memperkuat KPP
dan POKJA untuk membuat prioritas aksi, dan
dukungan terhadap rencana dan alokasi dana

Proses yang berjalan di berbagai tingkat


pemerintahan dan masyarakat akan
didokumentasikan dan disebarluaskan
sebagai model, sehingga peningkatan
ketahanan masyarakat terhadap dampak
perubahan iklim dan risiko bencana dapat terus
dikembangkan dan disebarluaskan ke daerahdaerah lainnya di Indonesia.

1.

2.

3.

Pendekatan Program
API Perubahan menggabungkan strategi vertikal dan horizontal dengan mengembangkan
jejaring para pemangku kepentingan dari berbagai latar belakang di tingkat provinsi dan
daerah. Jejaring tersebut kemudian menjadi wadah untuk menampung berbagai gagasan
dan inisiatif, sekaligus membangun kapasitas di tingkat nasional untuk melembagakan dan
mereplikasi keberhasilan program.

Informasi lebih lanjut


Willy Wicaksono
Program Manager
wwicaksono@id.mercycorps.org

Kusnandar
Program Officer Maluku
kusnandar@id.mercycorps.org

Andry Andreas Napitupulu


M&E Specialist
anapitupulu@id.mercycorps.org

Ina Nisrina Has


Climate Change Specialist
ihas@id.mercycorps.org

Eman Sulaiman
Program Officer Jawa Tengah
esulaiman@id.mercycorps.org

Upi Gufiroh
Program Officer Jawa Tengah
ugufiroh@id.mercycorps.org

Isra Amin Ali


Program Officer Maluku
iamin@id.mercycorps.org

Mercy Corps Indonesia bersama


dengan BPBD Provinsi Maluku
menyelenggarakan sosialisasi dan
diskusi program adaptasi perubahan
iklim dan ketahanan terhadap bencana
yang bertempat di ruang pertemuan
Gedung BPBD Provinsi Maluku pada
hari Selasa (6/5). Acara tersebut
bertujuan untuk menyebarluaskan
pentingnya membangun ketahanan
masyarakat
terhadap
bencana
alam dan dampak dari perubahan
iklim, serta duduk bersama untuk
mengidentifikasi berbagai hal yang
bisa dikerjakan bersama. Selain itu,
sosialisasi dan diskusi ini bertujuan
untuk memperkenalkan fase II dari
Program API Perubahan - Mercy
Corps Indonesia yang melanjutkan
kerjanya di wilayah Provinsi Maluku.
Kepala Pelaksana BPBD Provinsi
Maluku, Farida Salampessy turut
hadir memberikan sambutan. Dalam
sambutannya, Farida menekankan
tentang pentingnya membangun
kerjasama antar para pihak pemangku
kepentingan baik itu dari jajaran
SKPD, akademisi, sektor swasta dan
kalangan praktisi kebencanaan untuk
terus bersama membangun ketahanan
dalam menghadapi ancaman bencana.
Willy Wicaksono, Manajer Program

API Perubahan, pada kesempatan tersebut memaparkan gambaran


singkat tentang program dan rencana melanjutkan kegiatan di Pulau
Haruku yang dijadikan sebagai model dalam membangun ketahanan
masyarakat di pulau-pulau kecil. Hal yang sama diharapkan juga
dapat direplikasikan di wilayah pulau-pulau kecil lainnya.
Tak jauh berbeda dengan fase, API Perubahan fase II akan
membentuk semacam tim pengarah program (Program Advisory
Committee/PAC) di setiap provinsi. Di Maluku, tim ini pernah dibentuk
pada fase I. Namun karena berbagai hal, pelaksanaan pembentukan
tim ini kurang berhasil dimobilisasi dan dipertahankan. Pada fase
II, tim kerja tersebut akan melibatkan berbagai aktor dari perwakilan
lembaga terkait di pemerintah, organisasi masyarakat, dan sektor
swasta. Komposisi aktor dari tingkat kota/kabupaten yang lebih
banyak dan didampingi beberapa aktor kunci dari tingkat provinsi.
Sesi diskusi dipandu oleh fasilitator yaitu pembina Haruukui Kalesang,
Jaliman Latuconsina dan Program Officer API Perubahan Maluku,
Maun Kusnandar. Diskusi yang berjalan secara interaktif dan dinamis ini
menghasilkan banyak masukan dari sekitar 30 peserta yang mewakili
Akademisi dari UNPATTI, UKIM, UNIDAR, Praktisi Kebencanaan
dari Yayasan Satudarah, PMI, KWI, GPM, SKPD terkait, serta TNI/
POLRI. Salah satu masukan yang patut ditindaklanjuti berasal dari
dari akademisi UNPATTI, Dr. Alex Soulissa yaitu menyusun kriteria
yang lebih spesifik terkait penentuan pilot area di tingkat Kecamatan,
sehingga memudahkan dalam membangun sinergi dengan para pihak
yang saat ini fokus terhadap gerakan ketahanan di Maluku.
Kesimpulan dari Farida Salampessy menutup acara sosialisasi dan
diskusi ini. Farida menyatakan bahwa kehadiran Mercy Corps Indonesia
masih sangat dibutuhkan. Farida juga berharap melalui Program API
Perubahan mampu menjadi katalisator dan mampu membangun
sinergi antara masyarakat dampingan dengan pemerintah lokal serta
sektor swasta di wilayah Maluku. (Maun Kusnandar/Isra Amin Ali)

antara sasi laut dan sasi kali di mana ikan laut dipanggil masuk
ke dalam kali dengan upacara adat untuk kemudian di panen di
kali.

Di Indonesia, kearifan lokal menjadi salah


satu kontribusi penting untuk mengurangi
dampak pemanasan global dan perubahan
iklim yang terjadi, misalnya peraturan
adat untuk menjaga kelestarian alam di
mana masyarakat adat terbiasa hidup
selaras dengan alam.
Dalam masyarakat adat di Maluku
khususnya yang tinggal di wilayah
Kepulauan Haruku, terdapat beberapa
kearifan lokal yang berhasil dipertahankan
adalah Nanaku.
Secara sederhana
Nanaku berarti tanda atau menandai.
Di daerah kepulauan seperti Maluku,
pengetahuan
masyarakat
dalam
menentukan lokasi tangkapan ikan atau
yang biasa disebut Saaru dalam bahasa
Haruku itu penting. Nanaku Saaru atau
tanda-tanda lokasi tangkapan ikan biasa
didapat dengan melihat pasang-surut air
laut, bentangan alam, Tanati/waktu-waktu
baik.
Selain itu di Negeri Haruku dikenal
pula Sasi Aman Haru-ukui atau Sasi
Negeri Haruku, yaitu sebuah kearifan
adat di Haruku yang dianggap sebagai
fungsi hukum adat terkait pengelolaan
sumber daya alam. Dalam arti harfiah,
sasi adalah larangan; sasi dapat pula
diartikan sebagai larangan mengambil
sumber daya alam sampai dengan
jangka waktu yang di tentukan. Di
Negeri Haruku, sasi dibagi menjadi
empat yaitu Sasi Laut, Sasi Kali, Sasi
Hutan, dan Sasi dalam Negeri. Karena
keunikannya, sasi lain yang telah
mendapat perhatian dunia akademik
dan internasional adalah Sasi Lompa,
yang berarti, prosesi adat mulai dari
tutup sasi, hingga buka sasi. Adapun
sasi lompa yang merupakan perpaduan

Contoh fungsi hukum adat pada sasi laut adalah kelompok


masyarakat yang ingin melindungi jenis ikan tertentu maka tanda
sasi akan dipasang. Dalam kurun waktu tertentu, tiga bulan,
enam bulan atau bahkan satu tahun, kawasan laut yang sedang
disasi diberi tanda, yang merupakan larangan mengambil
ikan di tempat tersebut. Demikian juga fungsi hukum adat
pada sasi hutan, masyarakat dilarang mengambil hasil hutan
seperti kelapa, kenari, pinang,
cempedak sesuai dengan sasi
yang dipasang,

d a l a m
kurun waktu tertentu. Jika
dilanggar maka pelanggar
akan diberi sanksi moral dan
sanksi material berupa uang
untuk orang dewasa sedangkan
untuk anak-anak biasanya diperingatkan dengan rotan
yang berlaku untuk semua pelanggar sasi.
Pemangku adat atauKewang berfungsi untuk menimbang
perlu tidaknya memperpanjang waktu sasi. Sekali dalam
seminggu diadakan persidangan adat. Pada saat sasi dibuka,
maka masyarakat adat beramai-ramai mengambilnya dengan
penuh suka cita dan damai. Tidak hanya sekadar Sasi Aman
Haruukui, ada pula beberapa gerakan ketahanan lain yang saat
ini sedang dilakukan oleh masyarakat Haruku yaitu intensifikasi
dan diversifikasi pertanian dengan melakukan pengolahan
lahan pertanian yang ada dengan sebaik-baiknya. Gerakan
tersebut dilakukan untuk meningkatkan hasil pertanian dengan
menggunakan berbagai sarana dan penganekaragaman jenis
usaha atau tanaman pertanian untuk menghindari ketergantungan
pada salah satu hasil pertanian saja. Gerakan ini diinisiasi oleh
anggota POKJA API Perubahan (Haruukui Kalesang) di dua
wilayah, yaitu Negeri Oma dan Negeri Haruku di Pulau Haruku.
Jenis kegiatan yang dilakukan adalah memperbanyak jenis
tanaman, seperti sayuran dan buah-buahan yang sebelumnya
tidak ada di pulau Haruku. Selain bertani dan melaut, masyarakat
juga berinisiatif untuk berternak ayam. Gerakan-gerakan positif
ini mereka namakan sebagai gerakan revolusi hijau, dengan
kata lain, ini menjadi satu bentuk upaya ketahanan pangan bagi
masyarakat adat Pulau Haruku dalam menghadapi perubahan
iklim. (Maun Kusnandar/Isra Amin Ali/Anggota Kelompok Kerja
API Perubahan Haruukui Kalesang 2014)

Fakta tentang kekeringan, banjir,


terjangkitnya masyarakat oleh
berbagai macam penyakit serta
kurangnya ketersediaan air dan
meningkatnya
permukaan
air
laut merupakan beberapa contoh
dampak perubahan iklim yang
terjadi di dunia ini. Hal tersebut
juga
mengkonfirmasi
bahwa
kerusakan lingkungan sedang
terjadi dan sulit dihindari. Dalam
perkembangannya,
banyak
di
antara kelompok sosial masyarakat
yang melakukan respon terhadap
fenomena perubahan iklim. Di
kalangan legistatif dan eksekutif
pun tidak ketinggalan untuk
mencoba
melakukan
respon
terhadap fenomena perubahan
iklim tersebut. Penetapan regulasi
dilakukan yang diwujudkan dalam
pelaksanaan berbagai program
yang memberikan penyadaran
terhadap masyarakat akan dampak
dari Perubahan Iklim.
Melalui
sambutannya
dalam
acara sosialisasi program API
Perubahan bersama Mercy Corps
Indonesia,
Sarwa
Pramana
sebagai Kepala Pelaksana Harian

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Propinsi Jawa


Tengah menegaskan bahwa Pemerintah perlu memiliki analisis dan
antisipasi terhadap dampak dari Perubahan Iklim secara serius yang
dipimpin oleh dinas-dinas terkait serta elemen-elemen masyarakat
dan sektor swasta. Adapun Ulfa dari Dinas Pertanian menegaskan
bahwa dampak dari perubahan iklim pada sektor pertanian adalah
semakin sering terjadinya Puso (gagal panen). Salah satu upayanya,
Dinas Pertanian Provinsi Jawa Tengah mempunyai contoh program
kerja sekolah lapang iklim yang melibatkan seluruh kecamatan
untuk mencatat seluruh unsur iklim yang kemudian dilaporkan ke
BMKG. Laporan tersebut akan dijadikan bahan analisis BMKG untuk
membuat perkiraan cuaca bulanan dan setengah bulanan.
Keadaan di Demak pun tak jauh berbeda. Chairil Anam dari
MDMC Jawa Tengah menyampaikan informasi bahwa banjir
yang terjadi akhir-akhir ini di Demak bukan berasal dari wilayah
teritorial Demak, melainkan akibat dari penggundulan hutan yang
dilakukan perusahaan sehingga membuat tanggul-tanggul yang
dibuat di Demak tidak mampu menahan debit air yang membeludak.
Sementara itu, Juli Eko Nugroho selaku staff dari Tim 18 Gubernur
Jawa Tengah (tim khusus Gubernur Jawa Tengah yang terdiri dari
para ahli, disebut Tim 18, untuk membantu mewujudkan visi Desa
Berdikari; diantaranya kedaulatan pangan dan kedaulatan energired) menyampaikan bahwa bencana dampak dari perubahan
iklim tidak bisa dibatasi oleh wilayah administratif sehingga
penanganannya haruslah menyeluruh.
Dari pernyataan elemen masyarakat dan pemerintah di atas, dapat
disimpulkan bahwa pemerintah beserta seluruh elemen masyarakat
berkomitmen untuk terus melakukan upaya-upaya penanganan yang
dapat dilakukan oleh seluruh kalangan. (Eman Sulaeman/Upi Gufiroh)

Perbandingan Jumlah Kejadian Bencana per Jenis Bencana 1815-2014

Konvergensi
API PRB :
Tantangan
dan Respon

GEMPA
BUMI

BANJIR
DAN TANAH
LONGSOR

KEBAKARAN
LAHAN HUTAN
GEMPA
DAN LAHAN
BUMI DAN
TSUNAMI

BANJIR

GELOMBANG
PASANG/
ABARSI
HAMA
TANAMAN

KECELAKAAN
INDUSTRI
KECELAKAAN
TRANSPORATSI

TANAH LONGSOR
TSUNAMI

KEKERINGAN

Upaya untuk
mengurangi risiko
bencana di masa
yang akan datang
bukan berdiri
sendiri, antara PRB
dan API ini perlu
dikonvergensikan,
tidak bisa dikotakkotakkan lagi,
Lilik Kurniawan
Direktur PRB
BNPB pada Rapat
Teknis Konvergensi,
Jakarta 18 Juni 2014.

mplikasi perubahan iklim


menjadi momok bagi
banyak negara, termasuk
Indonesia. Meningkatnya
intensitas curah hujan
menyebabkan
banyak
wilayah Indonesia terendam
banjir, banjir bandang dan
longsor. Sebaliknya, kemarau
yang lebih kering dan panjang
mengancam
ketersediaan
air bersih. Berbagai dampak
negatif
perubahan
iklim
yang secara langsung akan
mempengaruhi
sektorsektor penting kehidupaai
Dampak tersebut dirasakan
masyarakat pesisir, dataran
tinggi, pedesaan maupun
perkotaan.
Tidak hanya itu, kejadian
bencana
terkait
iklim
meningkat, baik frekuensi
maupun
intensitasnya.
Data
Badan
Nasional
Penanggulangan Bencana
(BNPB)
menunjukkan
bahwa
terdapat
87%
kejadian bencana sepanjang
tahun 1982-2012 terkaitn
iklim.
Perubahan
iklim
juga berpengaruh pada
kerentanan dan kapasitas
masyarakat sebagai bagian
dari variabel risiko bencana.

TANAH LONGSOR

KLB
KERUSUHAN SOSIAL
LETUSAN GUNUNG API

PUTING BELIUNG

Eratnya korelasi perubahan iklim dan risiko bencana menempatkan integrasi


Adaptasi Perubahan Iklim (API) menjadi kebutuhan tidak terpisahkan dari
upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Di mana keduanya kemudian
terintegrasi dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Pada
kenyataannya, di tataran operasional keduanya berpadu dalam satu
tujuan yaitu ketahanan sebagai wujud dari perlindungan dan keselamatan
untuk kehidupan bermartabat. Perbedaan muncul lebih dikarenakan isu
atau disiplin keilmuan yang membidangi keduanya. Pada tujuan akhir,
keduanya kembali menjadi satu kesatuan yang utuh yaitu menempatkan
perlindungan dan keselamatan sebagai sasaran akhir.
Hal yang penting untuk dilakukan adalah saling menguatkan antar kajiankajian yang berkembang sebagai basis API maupun PRB. Penggunaan
data-data iklim dalam rentang waktu panjang (2030 tahun ke belakang
sampai saat ini) untuk menarik prediksi iklim ke depan merupakan hal
penting untuk dipertimbangkan dalam kajian risiko bencana. Sehingga
hasil kajian berupa tingkat risiko bencana dapat menggambarkan hasil
jangka panjang. Kajian risiko bencana dengan mengintegrasikan variabel
iklim secara signifikan akan mepengaruhi pengelolaan risiko yang ada; baik
dalam bentuk tindakan preventif, mitigasi maupun kesiapsiagaan. Demikian
juga dalam proses rekonstruksi bencana dengan prinsip build back better.
Dalam konteks pembangunan, integrasi PRB dan API mengarah pada
penggabungan pertimbangan perubahan iklim (adaptasi dan mitigasi)
dan pengurangan risiko bencana ke dalam program pembangunan yang
telah, sedang atau akan dilakukan. RPJMN yang telah memasukkan
penanggulangan bencana dan perubahan iklim sebagai prioritas menjadi
landasan integrasi API dan PRB.
Lebih lanjut RPJPN/RPJPD sebagai perencanaan jangka panjang,
maupun RPJMN/RPJMD sebagai rencana pembangunan jangka
menengah, sejatinya tidak harus melihat keduanya secara visual tertera
dalam bentuk kalimat atau kata; perubahan iklim dan pengurangan risiko
bencana atau penanggulangan bencana.
Namun dalam praktiknya, sinergi antar pelaku API PRB masih terkendala
berbagai faktor. Masih adanya perbedaan persepsi, terminologi,
metodologi, ruang lingkup maupun penggunaan sumber data dalam
API dan PRB menjadi kendala tersendiri. Selain itu, sudah menjadi
rahasia umum bahwa pola kerja kita masih sangat sektoral, baik di level
pemerintah, lembaga non pemerintah bahkan akademisi. Tupoksi seperti
harga mati yang tidak bisa diganggu gugat. Hanya sebagian kecil yang
mencoba memasuki ranah-ranah yang masih berkaitan dengan bidang
kerjanya. (sambung ke halaman-11)

Tulisan ini merupakan rangkuman dari Guidance Note yang dilakukan penulis selama menjadi bagian
SEA Changes Technical Advisory Committee. Tulisan ini akan membahas 12 alasan mengapa M&E
untuk adaptasi perubahan iklim sangat menantang. Tantangan bagi Monitoring dan Evaluasi pada
akhirnya tidak sebatas aspek programatik saja, melainkan lingkup yang lebih substantif. Berikut ini adalah
penjelasannya:

1.

Adapatasi bukanlah sebuah


tujuan atau titik akhir.

Adapatasi adalah aksi berkelanjutan yang jika


berhasil akan memampukan untuk mencapai
penghidupan sosio-ekonomi dan lingkungan
hidup akibat iklim yang berubah. Faktanya,
adaptasi akan sulit ditemukan hanya dalam satu
siklus internvensi program saja, karena adaptasi
memiliki dimensi sosial yang lebih luas. Oleh sebab
itulah, agenda-agenda adaptasi perlu menjadi
bagian pembangunan yang berkelanjutan.

2.

Memiliki kerangka waktu yang


panjang.

Iklim yang berubah tidak terjadi dalam satu


rentang waktu yang pendek, melainkan 20 atau
30 tahun atau bahkan lebih. Jika kerangka waktu
tersebut cukup panjang, sementara kerangka
waktu intervensi program sangat dibatasi waktu,
maka evaluasi dampak perubahan iklim tersebut
menjadi dilema. Pada bagian mana di masa
mendatang evaluasi dampak ini dapat dilakukan
oleh evaluator atau lembaga? Dalam kerangka
waktu intervensi program yang pendek sementara
adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan
proses panjang, lantas apakah intervensi tersebut
memberi dampak dalam jangka waktu yang
pendek?

3.

Ketidakpastian dalam
implementasi program yang
berhubungan dengan adaptasi
perubahan iklim.

Ada banyak sekali variabel ketidakpastian


yang tidak dapat diprediksi dalam intervensi
program yang berhubungan dengan adaptasi
perubahan iklim. Cuaca ekstrim yang terjadi saat
intervensi program, sosio-kultur yang sangat
dinamis serta birokrasi pemerintah yang penuh
dengan tantangan. Dengan demikian, apakah
program selayaknya menjadi fleksibel menyikapi
ketidakpastian itu?

4.

Mengukur dampak.

Jika usaha adaptasi program adalah untuk


mengurangi dampak negatif dari perubahan iklim,
bagaimana kita menjustifikasi seberapa buruk
kondisinya jika kita tidak melakukan intervensi
di sana? Jika intervensi program adalah untuk
meningkatkan kapasitas pemerintah daerah
tentang
penanggulangan
bencana,
lantas
bagaimana jika tidak terjadi bencana selama
intervensi program? Oleh karena ketidakpastian
dan kerangka waktu yang panjang, mengukur
dampak atau adaptasi itu sendiri menjadi sangat
menantang di kemudian hari.

5.

Beragamnya konsep dan


definisi adaptasi.

Beragamnya konsep dan definisi adapatasi


mengakibatkan beragamnya jenis intervensi,
sehingga menghasilkan pola-pola monitoring dan
evaluasi yang berbeda-beda. Memahami adaptasi
pada tataran aktivitas, maka akan melakukan
evaluasi output untuk jangka waktu pendek selama
kerangka waktu intervensi program. Namun untuk
adaptasi yang memang merupakan proses dan
memiliki rentang waktu yang panjang, maka
monitoring dan evaluasi perlu dikaji lebih dalam lagi.

6.

Merekam target yang selalu


bergerak.

Dalam konteks atau sektor development, maka


baseline survei dijadikan benchmark atau
penanda untuk mengukur capaian di masa
mendatang terhadap data dasar tersebut. Namun
saat berbicara tentang perubahan iklim, kita harus
menyadari bahwa akan terjadi banyak perubahan
dalam konteks sosial dan ekologi. Jika hanya
menggunakan data dasar sebagai benchmark,
kemungkinan akan kehilangan informasi-informasi
penting selama proses adaptasi tersebut. Oleh
sebab itu, konsep baseline pun dalam skema
monitoring dan evaluasi akan berubah.

7.

Perubahan iklim dalam skala


global, sedangkan adaptasi
pada skala local.

Skema adaptasi harus merefleksikan situasi


lokasi intervensi, baik level nasional maupun subnasional. Oleh sebab itu, usaha adaptasi pasti
berbeda-beda dari satu lokasi dengan lokasi
lainnya. Oleh sebab itu, kerangka M&E juga akan
memiliki banyak perspektif agar dapat menangkap
faktor-faktor yang mendukung berhasilnya
adaptasi. Berbedanya tipologi komunitas, akan
menghasilkan tipologi adaptasi yang berbeda,
sehingga diperlukan skema M&E tersendiri untuk
tiap karakter unik lokasi tersebut.

8.

Adaptasi memiliki rentang skala


dan sektor yang bervariasi.

Isu sektor yang saling bersinggungan (crosscutting sector) menjadi hal yang tidak bisa dihindari
dalam adaptasi. Program yang berhubungan
dengan adaptasi perubahan iklim, belum tentu
tidak berhubungan dan membutuhkan sektor
lain yang tidak bersinggungan dengan intervensi
perubahan iklim. Oleh sebab itulah, M&E harus
memiliki perspektif ruang yang lebih komprehensif.

9.

10.

Tidak ada indikator fix atau


pendekatan M&E yang fix.

Mengingat API merupakan proses lintas


sektor yang tetap memperhatikan situasi lokal,
apakah pada skala nasional atau sub-nasional,
menyebabkan tidak adanya keseragaman indikator
adaptasi tersebut. Hal inilah yang kemudian
menjadi tantangan bagi M&E untuk secara tegas
menentukan indikator dalam intervensi program.

11.

Masalah mal-adaptation.

Sebaiknya aksi adaptasi tidak membahayakan


aspek-aspek kehidupan penerima manfaat.
Artinya, capaian indikator yang ditentukan tidak
menghasilkan masalah baru atau menambah
risiko bagi penerima manfaat. Misalnya, intervensi
program mengklaim bahwa pembangunan
tanggul sungai adalah langkah adaptasi di tingkat
komunitas, tetapi dalam jangka waktu yang
panjang ternyata menimbulkan bahaya atau
masalah lingkungan lainnya. Peran M&E untuk
melihat kasus-kasus dan studi dapat memberi
masukan untuk mencegah maladaptasi ini.

12. Konflik.
Attribution versus contribution.

Banyak lembaga akan menjustifikasi capaian


program melalui capaian-capaian terukur yang
mudah dipertanggungjawabkan untuk kebutuhan
akuntabilitas atau pencarian dana lainnya. Seperti
dipertegas pada beberapa poin diatas, bahwa API
adalah proses jangka panjang dengan dimensi
skala dan sektor yang beragam serta dibayangi
ketidakpastian, seringkali lembaga mengalami
kesulitan untuk menentukan apakah outcome
dapat dicapai dimasa mendatang, karena sangat
berfokus pada atribut capaian sebagai pra-syarat
akuntabilitas saja. Oleh karena itu, penting bagi
lembaga untuk untuk membawa program atau
projek yang dapat berkontribusi terhadap tujuan
besar adaptasi, dengan mempertimbangkan poinpoin yang telah dijelaskan sebelumnya.

Bagian terakhir ini tidak menjadi bagian erat


M&E. Adapatasi perubahan iklim yang menjadi
isu seksi tidak hanya bagi pelaksana, tetapi juga
bagi donor, sehingga banyak sekali kerangka
kerja yang ditentukan tidak memberikan kontribusi
adaptasi, melainkan atribusi atau capaian output
atau outcome yang terukur saja. Oleh sebab itu,
aksi-aksi adaptasi akan menjadi konflik atau saling
tidak bersingunggan satu dengan lain ketika tidak
memberikan kontribusi dan tidak memiliki skema
berkelanjutan.

Penandatanganan MoU antara MCI BPBD Jawa Tengah


Sebuah nota kesepahaman antara Mercy Corps Indonesia dengan BPBD Provinsi Jawa Tengah
ditandatangani disela kegiatan sosialisasi program API Perubahan tanggal 11 Juni 2014 di Kota Semarang.
Penandatanganan ini akan menjadi dasar kerjasama di bidang penanggulangan bencana dan adaptasi
perubahan iklim.

Dampak Proyek Normalisasi Daerah


Aliran Sungai (DAS) di Pulau Haruku
Semenjak berakhirnya API Perubahan Fase
I, ada tiga kali pertemuan POKJA Haruukui
Kalesang. Pertemuan-pertemuan tersebut
membahas tentang peran POKJA terkait
dengan empat Negeri yang terkena dampak
proyek normalisasi daerah aliran sungai yang
mengakibatkan:
1.

10

2.
3.

Masyarakat kesulitan memperoleh


air bersih karena dilokasi proyek yang
merupakan sumber air, debitnya
semakin berkurang. Masyarakat juga
kesulitan dalam mengolah tanaman
sagu yang merupakan makanan
pokok disana untuk diambil pati
nya, karena untuk mengolah sagu
membutuhkan persediaan air yang
cukup.
Tanaman mangrove yang ditanam oleh masyarakat ketika API Perubahan Fase I telah hilang
karena penggusuran.
Batu-batuan disepanjang sungai dan pantai diambil oleh masyarakat untuk dijual kepada kontraktor
pelaksana proyek normalisasi DAS. Dikhawatirkan dampak-dampak negatif seperti longsor, abrasi,
dan kerusakan lingkungan lainnya akan terjadi.

Pertemuan Tim API Perubahan


Saat ini, staff program API Perubahan
telah lengkap. Beberapa orang baru
bergabung, dan beberapa orang dari fase
I turut memperkuat tim ini. Pertemuan tim
yang berjumlah tujuh orang ini pertama
kali dilakukan tanggal 20 22 Juni 2014
di Jakarta untuk menyamakan visi dan
memperkuat kapasitas personil pada isu-isu
yang terpenting, serta mendesain strategi
dan rencana kerja ke depannya.

(sambung halaman-7)

Kelompok Kerja Nasional Konvergensi API PRB


Berbagai dorongan lembaga
internasional dan nasional
untuk integrasi API PRB
secara perlahan mendapatkan
respon positif dari pemerintah.
Di
antaranya,
deklarasi
Yogyakarta yang dihasilkan
dari AMCDRR kelima, yang
memandatkan integrasi API
PRB ke dalam perencanaan
dan proses pembangunan.
Meskipun belum maksiman,
perkembangan besar saat
ini BNPB dan KLH lewat
dukungan UNDP sedang
dalam proses membangun
kerjasama untuk konvergensi
API PRB secara nasional.
Nantinya, kedua lembaga
sebagai leader isu API dan
PRB akan membentuk dua
kelompok kerja (Pokja) yang
akan menggagas kerangka
dan metodologi konvergensi
API PRB. Selain itu, kelompok
masyarakat
sipil
juga

mendorong adanya nota kesepahaman antara BNPB dan KLH mengenai


komitmen kerja sama konvengensi API PRB. Proses konvergensi ini
akan lebih banyak melibatkan? kementerian, instansi, dan lembaga yang
memang memiliki program kerja API dan PRB untuk mendukung upaya
konverge nsi tersebut. Pada praktiknya memang sudah banyak upaya
yang dibangun kementerian/lembaga maupun organisasi internasional
di Indonesia terkait API PRB. Namun, masih terdapat tantangan dalam
melaksanakan upaya konvergensi API-PRB di Indonesia.
Selain persoalan pemahaman, koordinasi dan komunikasi, yang menjadi
tantangan juga adalah persoalan kebijakan. Setidaknya, terdapat lima
peraturan yang setingkat undang-undang yang mengatur masalah
pengelolaan risiko bencana dan risiko iklim, menjadi tantangan tersendiri;
UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU No. 32/2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.
26/2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan UU No. 31/2009 tentang
Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika.
Tantangan lain adalah peraturan tentang pedoman penentuan tingkat
kerentanan dan risiko bencana (Perka 02/2012) serta risiko iklim yang
sedang disususn KLH. Di mana terdapatnya perbedaan yang cukup
mendasar dari sisi metodologi dan penetapan indikator yang digunakan
dalam menentukan tingkat kerentanan pada kedua metode tersebut.
Namun, yang terpenting adalah bagaimana masyarakat sipil merespon
dan mendukung niat baik pemerintah untuk melakukan konvergensi API
PRB.

11

Mercy Corps Indonesia


Memberdayakan masyarakat Indonesia untuk membangun komunitas yang
sehat, produktif dan tangguh.
Siapa Kami

12

Our Focus

Mercy Corps Indonesia membantu masyarakat


untuk pulih dari kondisi krisis yang mereka hadapi
dan kemudian mengubahnya menjadi kesempatan
untuk meningkatkan kualitas hidup. Didasari
kebutuhan lokal, program kami membantu
masyarakat di seluruh wilayah Indonesia dengan
alat dan dukungan yang masyarakat butuhkan
untuk dapat mengubah hidup mereka. Mercy
Corps Indonesia merupakan bagian dari keluarga
besar Mercy Corps; sebuah lembaga non-profit
internasional yang telah membantu jutaan orang
di berbagai negara yang menantang untuk dapat
bertahan dari krisis dan menciptakan peluang
untuk dapat hidup lebih baik. Sejak tahun 1979,
Mercy Corps sudah bekerja di 42 negara dan telah
membantu lebih dari 19 juta orang meningkatkan
kualitas hidupnya.

Meningkatkan Peluang Ekonomi dan Akses


terhadap Layanan Jasa Keuangan

Di Indonesia, Mercy Corps telah membantu lebih


dari 1 juta penduduk Indonesia yang tersebar di
berbagai wilayah Indonesia sejak tahun 1999.
Mercy Corps Indonesia berdiri pada tahun 2012
yang bertujuan untuk memanfaatkan seluruh
pengalaman dan keahlian Mercy Corps yang
diwariskan untuk dapat membantu masyarakat
prasejahtera menghadapi isu perkotaan dan
pengurangan kemiskinan, serta isu di wilayah
pedesaan.

Meningkatkan Kesehatan dan Nutrisi

Lebih lanjut, Mercy Corps Indonesia membantu


masyarakat Indonesia untuk siap siaga terhadap
bencana alam serta dapat pulih dari bencana
alam, serta dampak dari perubahan iklim. Kami
menyediakan baik bantuan darurat dan program
jangka panjang untuk dapat membangun
kembali dengan lebih baik melalui meningkatkan
infrastruktur masyarakat, ketangguhan, dan
peluang ekonomi di berbagai daerah yang
menantang dan sulit di Indonesia. MCI bekerja
di berbagai wilayah di Pulau Sumatra, Jawa, dan
Maluku.

Mercy Corps Indonesia berusaha menciptakan solusi yang kreatif,


berdasarkan pasar yang menyediakan keuntungan ekonomi
baik bagi individu maupun masyarakat. Dengan melaksanakan
program-program yang berfokus pada solusi usaha kecil,
menyusun pendekatan pasar dan membangun kesadaran
pengelolaan keuangan, mercy Corps membantu menciptakan
sistem pasar yang efektif dan berfungsi untuk dapat mengurangi
kemiskinan. Program urban kami termasuk memperkuat
rantai nilai di sektor tahu tempe, dan menciptakan usaha yang
menekankan pada isu sanitasi dan nutrisi di daerah perkotaan.
Dalam konteks rural, Mercy Corps Indonesia membantu para
petani di Maluku untuk meningkatkan produksi, akses terhadap
pasar dan membangun praktik keuangan yang bermanfaat.

Program kami berfokus pada kesehatan ibu dan bayi, khususnya


pada 1.000 hari pertama kehidupan dan menargetkan masyarakat
prasejahtera untuk mendapatkan kesehatan dan gizi yang baik
dengan cara membangun kesadaran dan melakukan edukasi
terhadap pelaku layanan kesehatan dan ibu untuk mempromosikan
ASI eksklusif. MCI telah membangun jaringan Kelompok Pendukung
Ibu di berbagai area di Indonesia dengan petugas kesehatan dan
pembelajaran antar kelompok untuk ibu hamil dan menyusui.
Sebagai tambahan, kami juga bekerja untuk mengembangkan solusi
teknologi komunikasi dan informasi untuk meningkatkan manajemen
data dan informasi kesehatan di area terpencil.

Air dan Sanitasi


Akses terhadap air bersih dan aman, sanitasi dan pembuangan
sampah padat sangat penting untuk mengurangi infeksi penyakit;
salah satu penyebab utama terjadinya malnutrisi dan kematian
bayi. Kami bekerja dengan pemerintah lokal dan sektor swasta
membangun fasilitas sanitasi individu dan komunal yang lebih baik,
dan seiring itu juga membangun fasilitas cuci tangan, kesadaran
masyarakat terhadap sanitasi dan membangun hubungan ekonomi
yang kuat untuk memfasilitasi akses yang terjangkau dan layak.

Adaptasi Perubahan Iklim dan


Pengurangan Risiko Bencana
Indonesia kerap kali dilanda bencana
tanah longsor, erupsi gunung, gempa
bumi yang diikuti dengan tsunami. Wilayah
Indonesia sangat rentan terhadap dampak
perubahan iklim dengan perubahan cuaca
yang ekstrim dan kenaikan permukaan
air laut yang dapat mengancam wilayah
Indonesia terutama pada wilayah pinggir
laut. Masyarakat prasejahtera dan
penduduk di wilayah kumuh menjadi
sangat rentan terhadap kondisi di atas
mengingat bahwa banyak keluarga
prasejahtera tidak memiliki kemampuan
untuk bertahan, memiliki akses terhadap
layanan dan dana untuk pulih.
Kami membantu untuk mengurangi dampak
dari bencana-bencana tersebut melalui
program inovatif yang dapat membawa
bersama masyarakat, pemerintah, dan
sektor swasta untuk mengidentifikasi
dan memetakan risiko dari setiap wilayah
dan untuk merencanakan, melatih dan
mempraktikkan bagaimana merespon
ketika bencana melanda. Program
Adaptasi Perubahan Iklim (API) kami
bertujuan untuk mengkatalisasi perhatian,
dana, dan aksi dari pemerintah nasional
dan kota terkait perubahan iklim untuk
membangun ketahanan bagi masyarakat
kota yang rentan dan prasejahtera.
Dengan Perubahan Risiko Bencana
(PRB), MCI bekerjasama dengan Badan
Nasional
Penanggulangan
Bencana
(BNBP). Tujuan dari koordinasi tersebut
adalah untuk merancang intervensi DRR
dan alat yang dapat diadopsi dengan
mudah dan dikembangkan oleh BNBP
ketika secara simultan membangun
kapasitas tim BNBP.

Tanggap Darurat Bencana


Tim Respon Indonesia, sebuah tim yang
terdiri dari 30 orang staff yang tersebar
di beberapa wilayah di Indonesia; yang
dilatih untuk dapat dikerahkan dengan
cepat untuk memberikan bantuan darurat
bencana kepada korban bencana alam
pada saat bulan-bulan pertama setelah
bencana. MCI juga membantu untuk
membangun kembali masyarakat dengan
memulihkan kembali mata pencaharian
dan mengintegrasikan strategi untuk
meningkatkan ketangguhan terhadap
manajemen dan perencanaan bencana
di masa yang akan datang. Kami juga
merupakan anggota aktif dari insiatif
Pengembangan
Kapasitas
Darurat
Bencana ( Emergency Capacity Building
(ECB)) di Indonesia sebuah grup dari
NGO internasional untuk bersama-sama
berlatih untuk membangun keterampilan
yang saling menguntungkan untuk tanggap
darurat bencana dan berkoordinasi
aktivitas respon untuk memaksimalkan
dampak dan efisiensi.

Anda mungkin juga menyukai