11
Dari Redaksi
10
12
13
17
20
22
24
26
Bulan Juni 2015 API Perubahan didukung lebih banyak staff untuk membantu puncak fase implementasi. Mereka adalah:
Ikhyaul Ihsan Yaya
Dengan background pendidikan Hubungan Internasional dari salah satu universitas di Yogyakarta, sejak awal Yaya sudah tertarik
sebagai pekerja kemanusiaan.
Banyak pengalaman bekerja secara langsung dengan masyarakat dan pemerintah dalam bidang penanggulangan bencana di beberapa
organisasi, Yaya saat ini menikmati tantangan barunya di Pekalongan sebagai Program Officer.
Sekecil apapun aksi yang kita lakukan, percayalah bahwa itu akan berguna bagi yang lain
Ruhaya Ayya
Perempuan yang sering berwajah jutek ini sebenarnya hatinya selembut yogurt akrab dipanggil Ayya dan lebih senang jika dipanggil
Nyak. Lulusan S1 Biologi di FMIPA Universitas Syiah Kuala Aceh. Mempunyai hobby yang berhubungan dengan alam dan pegunungan
walau saat ini harus menikmati polusi dan macet Jakarta sebagai National Engagement Officer.
mari ciptakan hubungan yang harmonis untuk hasil yang manis pula
Mulazaruddin Mumun
Dengan pengalaman di beberapa NGO, kerap kali berhadapan dengan masyarakat dengan karakter berbeda namun dengan tekad yang
kuat mampu menyatukannya.
Pria yang hobbi traveling ini mempunyai jiwa sosial yang tinggi, dan saat ini bergabung dengan tim API Perubahan di Pekalongan sebagai
Program Assistant yang menurut Mumun adalah sebuah program yang sangat menantang dalam karirnya. Namun lulusan Akuntansi ini
mempunyai moto Tiada kesuksesan tanpa perjuangan. Mari kita kuatkan tekad untuk meraih impian yang tertunda.
Farewell
Moeslem Olem
Sejak akhir bulan April 2015 Olem tidak lagi begabung dengan API Perubahan. Walaupun masa kerja yang singkat, Olem telah membantu
membangun komunikasi yang baik dengan para pemangku kepentingan di Kabupaten Pekalongan. Semoga sukses!
Memulai Langkah
Mendidik Generasi Muda
yang Peka Bencana dan
Perubahan Iklim
Oleh: Ina Nisrina Has
Perubahan iklim dan bencana adalah salah satu tantangan bangsa, saat ini dan
masa depan. Memberikan pemahaman peserta didik mengenai bencana dan
perubahan iklim merupakan kebutuhkan untuk membentuk sikap positif siswa
dalam bertindak.
Sebuah terobosan Pusat Kurikulum dan Pembukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam
upaya memperkuat ketangguhan masyarakat terhadap bencana dan perubahan iklim menyadari
fakta tingginya risiko bencana dan dampak perubahan iklim di Indonesia, Pusat Kurikulum (Puskur)
menginisiasikan penguatan kurikulum 2013 dengan mengintegrasikan substansi adaptasi perubahan
iklim dan pengurangan risiko bencana. Pengembangan model bahan ajar dan saranan pendukung
pembelajaran pendidikan sekolah menengah atas dipilih sebagai langkah awal tahun ini.
Sejatinya, kurikulum 2013 dikembangkan dengan tujuan menyesuaikan diri dengan kehidupan dan
tantangan abad ke-21, baik tantangan lokal, nasional, regional maupun global. Berbagai perkembangan,
perubahan menuntut penyiapan peserta didik untuk lebih siap terhadap berbagai kemungkinan dengan
kompetensi yang memadai.
Perubahan iklim dan bencana merupakan momok tantangan besar yang dihadapi bangsa Indonesia,
bahkan dunia. Persoalan perubahan iklim yang terjadi di Indonesia maupun dunia telah dikategorikan
mengkhawatirkan. Dampak-dampak yang muncul telah mengancam keberlangsungan kehidupan
manusia.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan sebagian besar bencana yang
terjadi di Indonesia berkaitan dengan iklim. Tercatat 89% kejadian bencana sepanjang tahun 1915
hingga Februari 2015 terkait dengan iklim. Banjir, cuaca ekstrim dan tanah longsor menempati urutan
tertinggi (BNPB, 2015). Di tahun 2014, 1.457 bencana atau 99 persen dari total kejadian bencana
adalah bencana hidrometeorologi, mencakup banjir, tanah longsor, puting beliung, kebakaran hutan
dan lahan, dan kekeringan. Bencana-bencana tersebut menewaskan 537 orang dan sekitar 2,5 juta
jiwa mengungsi. Ratusan ribu rumah terendam dan ratusan fasilitas umum rusak. Mulai dari banjir
Manado, banjir Panial di Papua, banjir Aceh dan juga tanah longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah.
Longsor di Banjarnegara pada bulan Desember lalu mengakibatkan sekitar 100 orang hilang, 1.300 jiwa
mengungsi, dan rusaknya sawah serta kebun sebagai sumber penghidupan warga (Kompas, 2013).
Maka mempersiapkan kemampuan pada peserta didik sebagai generasi yang akan memelihara
dan mewarisi alam ini sangat diperlukan. Penyusunan kurikulum terkait perubahan iklim dan bencna
diharapkan dapat memberikan pengalaman belajar tentik sehingga membentuk sikap postif terhadap
cara beradaptasi dan mengurangi risiko bencana. Namun demikian, upaya ini tida dimaksudkan untuk
menciptakan produk kruikulum baru melainkan lebih pada penguatan komptensi dan konten yang ada
dalam mata pelajaran kurikulum 2013.
Pengembangan model dan sarana bahan
ajar ini diharapkan dapat memudahkan
guru dalam mengintegrasikan materi APIPRB kepada peserta didik, khususnya
sekolah menengah. Semoga kesadaran
dan semangat serupa dtiru oleh semua
pihak yang peduli terhadap masa depan
bangsa.
Oleh: Ruhaya
ukanlah rahasia lagi bahwa saat ini isu pangan sudah menjadi trending topic yang
mendunia. Bukan hanya masalah masyarakat kecil, tetapi juga kelompok menengah ke
atas, baik dari sisi ketersediaan maupun juga nilai gizi.
Seperti kita ketahui bahwa penduduk Indonesia terdiri dari keberagaman suku, budaya
sampai jenis makanan pokok yang dikonsumsi. Namun seiring berjalannya waktu dan
pengaruh gaya hidup serta faktor sosial budaya juga ekonomi, lambat laun pola konsumsi masyarakat
juga banyak berubah dari konsumsi pangan lokal kepada beras. Berubahnya pola konsumsi pangan
juga dipengaruhi oleh banyaknya ketersediaan makanan asing dengan aneka pilihan rasa dan mudah
didapatkan. Berkaca pada kenyataan ini perlu kita kaji kembali sebenarnya tujuan dari konsumsi
pangan itu untuk apa?
Jika yang dikejar adalah manfaat dan nilai gizinya maka jenis pangan lokal juga mempunyai kandungan
gizi yang tinggi yang bermanfaat untuk tubuh. Misalnya sagu, sagu merupakan jenis pangan yang
mengandung karbohidrat tinggi dengan kadar glukosa rendah, selain cepat mengenyangkan, sagu
juga mampu mencegah sembelit dan risiko kanker usus.
Jika berbicara tentang sagu, sagu merupakan salah satu pangan lokal masyarakat yang ada di wilayah
timur Indonesia seperti Papua dan Maluku. Yang sampai saat ini masih menjadikan sagu sebagai
makanan pokok salah satunya adalah wilayah Maluku, sebut saja Maluku Tengah yang sampai saat ini
masih mempertahankan sagu sebagai pangan lokal yang dikonsumsi sehari-hari juga yang disajikan
sebagai makanan kehormatan pada berbagai acara adat. Berdasarkan data BPS Propinsi Maluku
tahun 2014, terlihat bahwa populasi penduduk di Maluku tengah terus bertambah dari waktu ke waktu.
Pertumbuhan angka populasi penduduk ini berbanding lurus dengan terus meningkatnya kebutuhan
akan sagu, begitu pula dengan luas lahan dan jumlah pohon masak yang ditebang setiap tahunnya.
Hal ini memungkinkan terancamnya jumlah ketersediaan bahan baku sagu. Selain itu, fakta bahwa
wilayah Maluku Tengah adalah wilayah pesisir dan kepulauan yang mana kebutuhan pokok masyarakat
masih harus dipasok dari daerah lain. Ditambah lagi wilayah kepulauan ini masih rentan dengan segala
bencana yang mengancam seperti tsunami, angin puting beliung, dan badai. Jika ini terjadi segala
aktivitas akan terganggu dan transportasi laut juga terhambat sehingga ketersediaan bahan pokok
tidak stabil.
Kabar
Kabar dari
dari maluku
Jateng
R
S
C
R
A
BAZ
BERSAMA
N
U
G
N
A
B
M
ME
N
PEKALONGA AIK
B
H
I
B
E
L
G
N
A
Y
ektor bisnis atau swasta telah banyak berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi dan
sosial di Indonesia. Corporate Social Responsibility (CSR) adalah salah satu media untuk
mewujudukan kepedulian dan komitmen perusahaan dalam mendukung terciptanya
pertumbuhan dan pembangunan yang berkelanjutan di lingkungan sosialnya.
Pertengahan bulan Mei yang lalu Mercy Corps Indonesia turut mendukung perhelatan
Bazar CSR yang diselenggarakan oleh BAPPEDA Kabupaten Pekalongan sebagai langkah awal
untuk mengkoordinasikan, memfasilitasi serta mensinergikan berbagai potensi pelaku usaha dengan
dunia usaha; sebagai upaya peningkatan kepedulian, dukungan dan komitmen bersama berbagai
pihak baik pemerintah maupun pelaku usaha dalam pembangunan dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat di Kabupaten Pekalongan. Event ini terselenggara atas kerjasama pemerintah Kabupaten
Pekalongan dengan perusahaan-perusahaan yang ada di Kabupaten Pekalongan, Propinsi Jawa
Tengah maupun Nasional.
Acara yang diselenggarakan oleh BAPPEDA dan beberapa perusahaan yang ada di Jawa Tengah
pada tanggal 13 Mei 2015 tersebut diisi dengan kegiatan talk show yang menghadirkan perwakilan
Forum CSR Jawa Tengah dan beberapa perusahaan. Talk show ini membahas tentang konsep CSR
dan isu-isu strategis di Kabupaten Pekalongan serta bagaimana kolaborasi antara pemerintah,perus
ahaan,masyarakat untuk Pekalongan yang lebih baik.
Di luar talk show, panitia juga menyelenggarakan desk consultation yang bertujuan untuk
menghubungkan kebutuhan masyarakat dan kesempatan kolaborasi dengan perusahaanperusahaan.
Tujuan yang menjadi penting juga atas diselenggarakannya bazar CSR adalah untuk menghidupkan
kembali forum ini yang sudah lama mati suri dan tak memiliki kegiatan apapun. Selain itu acara bazar
ini juga diharapkan mampu menjadi arena untuk bertemunya masyarakat dan pelaku usaha/industri
yang ada di Kabupaten Pekalongan, sehingga ada ketersambungan isu dan kebutuhan antara
masyarakat dan dunia usaha.
Bazar CSR yang dihadiri oleh bupati Pekalongan tersebut diharapkan mampu menjadi tonggak dari
upaya untuk merekatkan tiga pilar (Pemerintah-Masyarakat-Dunia Usaha) didalam membangun
Kabupaten Pekalongan yang lebih baik.
penghidupan
masyarakat
yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/
atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis. (UU No. 24 tahun 2007)
Forum P
RB
Kabupate
n
Pekalong
an:
Bersama
Merajut A
sa
Oleh: Ikh
ya
ul Ihsan
memandang
masyarakat
sebagai
objek, tetapi juga sebagai subjek dari
penanganan bencana dalam proses
pembangunan. Ketahanan masyarakat
menjadi salah satu faktor penting dalam
upaya pengurangan risiko bencana dan
tentu saja adaptasi perubahan iklim.
Jadi, bencana bukan hanya tanggung
jawab pemerintah. Bencana bukan
hanya tanggung jawab korban. Bencana
tidak lagi hanya dipahami sebagai
tanggung jawab satu individu atau satu
lembaga tertentu saja. Akan tetapi,
bencana merupakan tanggung jawab
bersama, baik individu, masyarakat,
pemerintah, organisasi kemasyarakatan
dan non-pemerintah, sektor swasta,
akademisi,
media
massa,
tokoh
masyarakat dan tokoh agama serta para
pemangku kepentingan lainnya untuk
meminimalkan risiko bencana. Upaya
pengurangan risiko bencana serta
praktek-praktek adaptasi perubahan
iklim akan lebih efektif dan terkoordinir
jika diakomodir dalam sebuah forum
bersama lintas sektor.
Kabar
Kabar dari
dari maluku
Jateng
BERADAPTASI
MELALUI
PERTANIAN
VERTIKAL
yang diakibatkan oleh rob atau banjir air laut. Peristiwa banjir ini kian tahun kian parah sehingga secara
perlahan dan pasti mulai merusak aset penghidupan masyarakat. Sawah-sawah mulai terendam oleh air
laut, sehingga sudah tidak dapat lagi ditanami. Akibatnya mata pencaharian warga terganggu atau bahkan
hilang sama sekali, sehingga mau tidak mau warga Desa Tegaldowo yang sebelumnya berprofesi sebagai
petani harus beralih profesi agar kehidupan mereka terus berlanjut. Padahal dari penelusuran sejarah
yang telah dilakukan, bahwa Desa Tegaldowo pernah menjadi salah satu lumbung padi di Kabupaten
Pekalongan, bahkan pernah juga menjadi juara pada saat lomba pertanian.
Salah satu rencana aksi adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana yang dilaksanakan
di Desa Tegaldowo adalah pengembangan pertanian alternative vertikultur. Upaya ini dimaksudkan untuk
membangun model ketahanan di sektor pertanian, dimana lahan-lahan yang ada di Desa Tegaldowo dan
sekitarnya sudah tidak dapat lagi ditanami karena selalu tergenan air asin. Upaya pengimplementasian
program ini diharapkan dapat dijadikan model alternative pertanian, sehingga mampu mengurangi beban
belanja keluarga.
Untuk mewujudkan upaya tersebut, maka Kelompok Masyarakat Desa Tegaldowo bersama Badan
Ketahanan Pangan dan Penyuluhan (BKPP) Kabupaten Pekalongan menyelenggarakan pelatihan
pertanian vertikultur pada tanggal 29 Mei 2015. Acara tersebut dihadiri dengan antusias oleh 50 orang
masyarakat Tegaldowo yang mayoritas perempuan.
Taufik selaku penyuluh dari BKPP Kabupaten pekalongan merasa sangat senang dengan antusiasme
warga Tegladowo dalam mengikuti kegiatan tersebut, meskipun beliau mengatakan bahwa pelatihan
ini baru tahap awal, karena idealnya perlu dilakukan beberapa kali pelatihan kembali meliputi tata cara
menanam dan merawat tanaman dengan sistem vertikultur ini.
Selain pelatihan, pokmas juga sudah mulai melakukan pembibitan beberapa benih-benih sayuran,
sehingga lebih mudah saat di distribusikan ke warga nantinya. Beberapa jenis tanaman yang sudah
dibibitkan diantaranya cabe merah, cabe rawit, terong hijau, terong ungu, dan tomat.
Dalam waktu dekat, akan ada seratus unit rak vertikultur yang akan di distribusikan ke Desa Tegaldowo,
dengan skema sepuluh rak untuk setiap RT, dan akan dikelola oleh rumah tangga-rumah tangga yang ada
di RT tersebut secara bersama-sama.
Kabar
Kabar dari
dari maluku
Jateng
KUNJUNGAN
KE SATKER
PAMS
SEMARANG
10
ebagai salah satu upaya untuk menyelesaikan persoalan rob yang ada di Desa Jeruksari dan
sekitarnya, dua puluh orang perwakilan dari POKMAS Jeruksari, Mulyorejo, Tegaldowo dan
Karangjompo bersama-sama mengunjungi Satuan Kerja Pengelolaan Air Minum dan Sanitasi
(SATKER PAMS) wilayah Jawa tengah di Semarang.. Kunjungan yang dilaksanakan pada
tanggal 26 Mei 2015 tidak hanya dilakukan oleh perwakilan masyarakat empat desa tetapi
juga didampingi oleh beberapa SKPD terkait di Kabupaten Pekalongan. Perwakilan BPBD, Dinas PSDAESDM, BAPPEDA, dan KLH turut serta dalam kunjungan.
SATKER yang dahulu dikenal sebagai SATKER Pengembangan Penyehatan Lingkungan Pemukiman
(PPLP) sering kali membantu penanganan-penanganan rob yang ada di Jawa Tengah,, baik dalam urusan
finansial maupun bantuan teknis dan Kota Pekalongan menjadi salah satu daerah yang telah banyak dibantu
oleh SATKER PPLP dalam menangani rob. Beberapa keberhasilan memang banyak terlihat setelah adanya
bantuan penanganan rob dari SATKER PPLP tersebut, sehingga POKMAS yang wilayahnya juga telah
tergenang air rob selama beberapa tahun tertarik untuk menjajaki peluang bantuan tersebut.
Dalam pertemuan tersebut tim mendapatkan hasil yang kurang memuaskan, karena ternyata telah terjadi
perombakan sistem yang ada di SATKER PAMS dimana persoalan drainase dan banjir sudah tidak lagi
berada dalam kewenangan SATKER PAMS melainkan sudah dipindahkan di satuan kerja lain. Namun
demikian, kunjungan tersebut tidak sepenuhnya tanpa hasil, karena dari hasil diskusi, dihasilkan bahwa
SATKER PAMS telah memiliki kajian rob untuk wilayah Jeruksari dan sekitarnya. Sehingga, diharapkan
hasil kajian tersebut dapat menjadi dasar penanganan rob di Kabupaten Pekalongan terutama di Kecamatan
Tirto.
Dalam pertemuan tersebut juga dipaparkan bahwa dari hasil kajian rob yang dilakukan di Kota Semarang
bahwa penyebab utamanyaadalah menurunnya muka tanah akibat eksploitasi air tanah yang berlebih.
Kunjungan ke Kali Semarang
Kegiatan ke Semarang tidak hanya bertujuan untuk audiensi ke PAMS namun juga untuk melihat upaya
Kota semarang dalam melakukan penanganan rob. Dari kunjungan tersebut diperoleh informasi bahwa
pembangunan rumah pompa di kali Semarang menelan biaya 1.3 trilyun rupiah, dan biaya operasional
bulanan sebesar satu milyar rupiah.
BERBAGI
DENGAN
SAUDARA
DARI
TIMOR
LESTE
ada tanggal 22 April 2015, masyarakat di Desa Tegaldowo, Mulyorejo dan Jeruksari
menerima kunjungan dari beberapa masyarakat Timor Leste dari program M-RED
Mercy Corps Timor Leste.
Dalam kunjungan tersebut pokmas dari ketiga desa menceritakan tentang persoalan
yang ada di masing-masing desa, dan mulai dari persoalan rob yang telah menggenang
beberapa tahun terakhir, banjir, serta luapan limbah batik yang mengurangi produktivitas perikanan
mereka.
Para peserta kunjungan dari Timor Leste yang berjumlah lima orang yang umumnya adalah petani
mengaku terkejut melihat keadaan yang terjadi di tiga desa tersebut. Para peserta dari Timor
Leste tersebut tidak dapat membayangkan jika Negara kecil mereka mengalami hal yang serupa;
terganggu bahkan hilangnya penghidupan, kebanjiran air laut dan limbah, dan menurunnya kualitas
lingkungan.
Di sisi lain peserta kunjungan kagum dengan apa yang diungkapkan Pokmas terkait pola adaptasi
yang sudah dilakukan masyarakat; seperti sumber penghidupan alternatif, peninggian rumah, serta
kemampuan mereka untuk berbicara dan bercerita tentang persoalan desanya.
Dalam kunjungan tersebut M-RED Timor Leste juga bercerita tentang kehidupan petani yang ada di
Negara mereka, dan apa saja tantangan-tantangan yang dihadapi oleh petani-petani disana.
Dalam kunjungan ini, peserta dari Timor Leste tidak hanya disambut oleh POKMAS API Perubahan
namun juga oleh beberapa TNI AD yang dahulu pernah menjadi warga Timor Leste maupun yang
memiliki keterkaitan sejarah dengan Timor Leste. Mereka sangat bahagia dengan perjumpaan
tersebut, dan menyediakan diri untuk mengawal penuh proses kunjungan yang dilakukan oleh
peserta dari Timor Leste tersebut.
11
Kabar
Kabardari
darimaluku
Jateng
12
Pelatihan
Advokasi
Pokmas
Jeruksari
Oleh: Ikhyaul Ihsan, Upi Gufiroh,
Mulazaruddin
program yang dijalankan oleh pemerintah ke desa sesuai dengan kebutuhan nyata yang telah dipetakan
masyarakat.
Untuk mengadvokasikan RAK ke dalam proses penganggaran yang ada di Kabupaten Pekalongan,
diperlukan adanya peningkatan kapasitas bagi kelompok masyarakat yang ada di ketiga desa
dampingan Mercy Corps Indonesia agar memiliki kapasitas yang baik dan mampu mengadvokasikan
RAK ke dalam perencanaan pemerintah, baik di tingkat kabupaten, propinsi, maupun nasional.
Untuk memenuhi tercapainya tujuan tersebut, maka Mercy Corps Indonesia pada tanggal 24 dan
25 Juni 2015 yang lalu memfasilitasi 25 Pokmas Jeruksari untuk mengikuti pelatihan advokasi yang
dilaksanakan di Pekalongan. Selain Pokmas Jeruksari, perwakilan dari POKMAS Mulyorejo dan
POKMAS Tegaldowo juga turut berpartisipasi aktif dalam kegiatan ini.
Sebagai salah satu bagian dari implementasi model ketahanan yang ada di Desa Jeruksari, pelatihan
advokasi ini diharapkan dapat menjadi bekal bagi POKMAS saat melangkah untuk melakukan advokasi
di kemudian hari, sehingga mampu melakukan advokasi secara mandiri meskipun tanpa pendamping.
Beberapa perwakilan masyarakat mengaku bahwa dengan adanya pelatihan advokasi peserta dapat
memahami apa yang perlu direncanakan oleh birokrasi pemerintahan selama satu tahun dan kapan
waktu yang tepat untuk mengajukan usulan kepada pemerintah melalui proposal.
Refleksi
Advokasi
dari
Bumi
Pamahanunusa
Pendampingan dan pemberdayaan masyarakat yang merupakan bagian dari proses kerja advokasi
adalah sebuah pemikiran dan pola kerja yang telah ada dan berlangsung sejak berabad-abad
yang lampau. Proses kerja advokasi ini terdiri dari serangkaian upaya membangun masyarakat
untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih baik, lebih sejahtera dan adil dari sebelumnya dengan
mengacu pada harkat dan martabat kemanusiaan seutuhnya. Sebagai suatu rumusan konsep
pemikiran dan pola kerja paling tidak sudah dikenal pada masa kehidupan Lao Tse di dataran
Cina, pada abad 7 sebelum Masehi. Pada abad ke-20 konsep dari pemikiran dan pola kerja
pendampingan masyarakat tersebut menjadi populer kembali, sebagai reaksi terhadap gagasan
dan praktik-praktik pembangunan yang bertujuan agar masyarakat berpeluang ikut merancang dan
melaksanakan kebijaksanaan serta rencana.
Setelah perumusan Lao Tse, Saul Alinsky dan Paulo Freire adalah contoh tokoh yang mengangkat
kembali dan mempraktikan pemikiran dan pola kerja pendampingan masyarakat. Terjadi beberapa
perubahan-perubahan atau penyesuaian secara teknis, karena latar belakang dan kondisi
masyarakat yang berbeda seiring perubahan jaman. Adapun intisari pemikiran dalam pendampingan
masyarakat sebagai berikut :
1. Masyarakat memiliki daya dan upaya untuk membangun kehidupannya sendiriMasyarakat
memiliki pengetahuan dan kearifan tersendiri dalam menjalani kehidupannya secara alami
2. Upaya pembangunan masyarakat akan efektif apabila melibatkan secara aktif seluruh
komponen masyarakat sebagai pelaku sekaligus penikmat pembangunan
3. Masyarakat memiliki kemampuan membagi diri sedemikian rupa dalam peran peran
pembangunan mereka.
13
Semangat yang mendasari pilihan atas paradigma Lao-Tse tersebut pada dasarnya adalah
mengembalikan harkat dan martabat manusia seutuhnya dalam berbagai gagasan dan proses
pembangunan. Untuk itu strategi dasarnya adalah:
Gagasan suatu pembangunan masyarakat harus mengacu pada kepentingan dan kebutuhan
masyarakat itu sendiri
Berangkat dari semangat tersebut, Pokja Amasoa Kalesang melakukan pendampingan dan
pemberdayaan masyarakat dalam upaya beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim dan
melakukan praktik-praktik pengurangan risiko bencana. Selain itu, Pokja juga bekerja bersama
masyarakat untuk memanfaatkan peran masyarakat dalam proses pembangunan. Beberapa
agenda kegiatan advokasi yang sudah berjalan adalah mengintegrasikan setiap usulan rencana
aksi ke dalam musrenbang tingkat Negeri, Kecamatan maupun Kabupaten. Selain itu Amasoa
Kalesang juga berdialog dengan pemerintah daerah melalui hearing/dengar pendapat maupun
14
lokakarya sebagai proses internalisasi setiap usulan yang tertuang dalam rencana aksi komunitas.
Beberapa hasil positif telah terlihat; misalnya adanya Peraturan Negeri tentang sampah, penyusunan
Peraturan Negeri tentang larangan galian C, dan telah diakomodirnya beberapa usulan rencana
aksi kedalam anggaran 2016 dan 2017 didalam APBD Kabupaten maupun Propinsi.Berbicara
konteks ketahanan masyarakat melalui adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana
di Kabupaten Maluku Tengah, perlu juga memberikan apresiasi bagi BPBD Kabupaten Maluku
Tengah yang telah mulai melakukan sosialisasi sekolah aman bencana bagi 2000 pelajar Sekolah
Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di kota Masohi dan Kecamatan Amahai. Dalam
setiap sosialisasinya BPBD Kabupaten Maluku Tengah selalu mengkampanyekan tentang ancaman
perubahan iklim dan bencana alam lainnya yang sesuai dengan karekteristik Maluku Tengah yang
merupakan wilayah kepulauan. Tidak hanya berhenti sampai tahapan sosialisasi sekolah aman,
BPBD Kabupaten Maluku Tengah juga sedang menyusun PERDA Penanggulangan Bencana yang
memasukkan identitas kepulauan di dalamnya dengan harapan adanya regulasi yang benar-benar
mempertimbangkan kebutuhan sesuai dengan karakteristik wilayahnya.
Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah juga mulai giat untuk mengurangi risiko bencana. Beberapa
kegiatan seperti kerja bakti lingkungan dan penanaman mangrove disepanjang pantai Sirilawa
Negeri Amahai telah secara aktif mengkolaborasikan peran antara pemerintah-masyarakat-dunia
usaha.Rangkaian kegiatan di atas adalah bentuk pengejawantahan dari Kalesang Pamahanunusa
yang dapat dimaknai sebagai sebuah sikap yang memandang manusia sebagai bagian tak
terpisahkan dari fenomena bencana yang akan membawa dampak pada munculnya perilaku untuk
mempelajari. Selain itu, tak kalah pentingnya adalah menelisik seberapa jauh peran serta manusia
dalam kejadian bencana, seberapa besar dampak atau risikonya, serta langkah-langkah mitigasi
apa yang bisa didesain untuk mereduksi risiko yang mungkin terjadi.
Apa yang sedang dilakukan oleh para pihak di Maluku Tengah saat ini adalah sebuah kerja advokasi
melalui gerakan penyadaran atas sikap yang selama ini melihat bahwa penanggulangan bencana
sebagai tugas dan kewajiban pemerintah semata, sementara masyarakat dan sektor swasta
cenderung menjadi pihak yang kurang mengambil peran dalam upaya untuk pengurangan risiko
bencana (pra-bencana). Dengan cara pandang ini, lambat laun akan muncul model pengelolaan
bencana yang partisipatoris dan efisien di Kabupaten Maluku Tengah.
Jadi, sebuah proses kerja advokasi yang benar adalah harus mampu memberikan pencerahan
dan penyadaran kepada seluruh pihak baik pemerintah, masyarakat dan sektor swasta bahwa
kehidupan adalah milik bersama. Kerja advokasi juga harus dapat mengingatkan terhadap sebuah
sikap kecenderungan konsumtif, selalu mencari kemudahan dan pragmatis sehingga tidak lagi
memiliki daya kreasi dan kemandirian dalam menjalani dan mensikapi kehidupan ini.
15
16
umlah penduduk Maluku Tengah yang mencapai 371.712 jiwa dengan tingkat pertumbuhan
yang tinggi berbanding positif dengan pertambahan jumlah sampah. Tambahan lagi,
pola konsumsi masyarakat, peningkatan kapasitas produksi dan kegiatan pemasaran
memberikan kontribusi dalam menimbulkan jenis sampah yang semakin beragam, antara
lain, sampah kemasan yang berbahaya dan atau sulit diurai oleh proses alam.
Sebagian besar masyarakat Maluku Tengah masih memandang sampah sebagai barang sisa yang tidak
berguna, bukan sebagai sumber daya yang bisa dimanfaatkan. Masyarakat dalam mengelola sampah
masih bertumpu pada pendekatan akhir (end-of-pipe); yaitu sampah dikumpulkan, diangkut, dan dibuang
ke tempat pemrosesan akhir sampah. Padahal, timbunan sampah dengan volume yang besar di lokasi
tempat pemrosesan akhir sampah berpotensi melepas gas metan (CH4) yang dapat meningkatkan emisi
gas rumah kaca dan memberikan kontribusi terhadap pemanasan global.
Pola pengelolaan sampah yang bertumpu pada pendekatan akhir sudah saatnya ditinggalkan dan
diganti dengan pola baru pengelolaan sampah. Pola baru memandang sampah sebagai sumber daya
yang mempunyai nilai ekonomi dan dapat dimanfaatkan, misalnya, untuk energi, kompos, pupuk atau
untuk bahan baku industri. Prinsip dasar pengelolaan sampah yang ramah lingkungan harus diawali
oleh perubahan cara kita memandang dan memperlakukan sampah. Pengelolaan sampah dilakukan
dengan pendekatan yang komprehensif dari hulu, sebelum dihasilkan suatu produk yang berpotensi
menjadi sampah, kemudian dilanjutkan dengan clean production, sampai ke hilir, yaitu pada fase
produk sudah digunakan sehingga menjadi sampah, yang kemudian dikembalikan ke media lingkungan
secara aman. Pengelolaan sampah dengan pola baru tersebut dilakukan dengan kegiatan pengurangan
dan penanganan sampah. Pengurangan sampah meliputi kegiatan pembatasan, penggunaan kembali,
dan pendauran ulang, sedangkan kegiatan penanganan sampah meliputi pemilahan, pengumpulan,
pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir.
Mencermati aspek permasalahan dalam pengelolaan sampah, upaya-upaya yang harus dilakukan antara
lain meliputi pemantapan kebijakan persampahan, penanganan sampah regional, memacu kearifan
masyarakat terhadap fenomena persampahan, dan peningkatan teknologi ramah lingkungan.
1. Kebijakan
pemerintah
Permasalahan sampah di Indonesia, telah muncul sejak dekade tahun 1990-an. Meski demikian,
kebijakan strategis yang telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia yang baru ini tidak hanya pada
tahapan yang erat kaitannya dengan aspek teknis, yaitu: melakukan pengurangan timbulan sampah
dengan menerapkan konsep 3R (Reduce, Reuse dan Recycle), dengan harapan pada tahun 2025
tercapai zero waste. Namun telah lahirnya sebuah kebijakan yang handal sebagai payung baik di
tingkat pusat maupun daerah keterkaitannya dengan penanganan persampahan yakni UU no 18 tahun
2008 tentang Pengelolaan Persampahan. Pendekatan pengelolaaan persampahan yang semula didekati
dengan wilayah administrasi, dapat pula diubah dengan melalui pendekatan pengelolaan persampahan
secara regional. Berbagai prinsip yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku
Tengah dalam menerapkan pelaksanaan pengelolaan persampahan saat ini adalah sebagai berikut:
17
a. Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Tengah perlu menyusun peraturan daerah (Perda)
yang mengatur pengelolan persampahan. Peraturan tersebut berisi berbagai hal dengan
mempertimbangkan aspek hukum dan kelembagaan, teknik, serta aspek keuangannya.
b. Perlu adanya Pemantapan kelembagaan dengan memisahkan peranan fungsi tupoksi
yang jelas antara pembuat peraturan, pengatur/pembina dan pelaksana (operator), hingga
optimalisasi kinerjanya dapat dievaluasi dan dinilai.
c. Penetapan indikator kinerja berdasarkan aspek teknis, memberikan indikasi (1) seluruh
timbunan sampah akan diangkat ke TPA dalam waktu 24 jam, (2) teknik pengangkutan sampah
tidak menyebabkan pencemaran bau, (3) pengoperasian di TPA telah ditetapkan sistemnya
(contoh sistem sanitary landfill), dan (4) pemanfaatan sampah sebagai sumber ekonomi
melalui penerapan daur ulang, atau pemanfaatan untuk kompos.
d. Adanya kesepakatan antar para pihak dalam kaitannya dengan restribusi persampahan, hingga
alokasi antara dana yang dibebankan oleh pemerintah dan masyarakat berimbang.
18
2. Sosialisasi
penyandaran
masyarakat
Fenomena persampahan tampaknya bukan hal yang sederhana, karena sepanjang ada kehidupan
manusia permasalahan tersebut akan selalu timbul. Walaupun kebijakan persampahan telah
tersedia, ditambah dengan bentuk kelembagaannya, serta indicator kinerja dan tetapan alokasi
pendanaannya baik yang bersumber dari APBD dan masyarakat, tampaknya belum merupakan
jaminan mantapnya pengelolaan sampah secara terpadu berkelanjutan, apabila kesadaran
masyarakat tidak dibangun. Hal tersebut mengingat bahwa keberhasilan penanganan sampah sangat
ditentukan oleh niat kesungguhan para pihak yang secara sadar peduli untuk menanganinya.
Atas dasar itulah pentingnya sosialisasi penyadaran masyarakat baik melalui jalur formal maupun
informal yang antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut:
Penyadaran formal, diberikan kepada generasi muda di sekolah (SD, SLTP, dan
SLTA).
Persampahan lambat namun pasti akan menjadi suatu agenda permasalahan utama yang dihadapi
oleh masyarakat dan pemerintah daerah Kabupaten Maluku Tengah. Pesatnya pertambahan
penduduk telah meningkatkan jumlah sampah di perkotaan dari hari keharinya. Keterbatasan
kemampuan Instansi Kebersihan dalam menangani permasalahan tersebut menjadi tanda awal
dari semakin menurunnya sistem penanganan permasalahan tersebut. Hal tersebut semakin
dipersulit dengan terbatasnya lahan TPA sampah, jumlah sarana pengangkutan, serta pengelolaan
sampah di TPA yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang ramah lingkungan.
Kurangnya kepedulian akan penanganan sampah yang dilakukan oleh pemerintah, dapat dilihat dari
kecilnya anggaran yang disediakan. Sementara itu, masyarakat secara umum belum menunjukkan
adanya indikasi ke arah penanganan sampah secara mandiri dan berkelanjutan. Mencermati
kecenderungan tersebut, upaya penyadaran secara formal dan informal kini menjadi sangat
penting untuk diimplementasikan. Dalam pada itu kelembagaan yang tersedia pada umumnya
telah sesuai dengan tatanan pengelolaan sampah, akan tetapi sumber daya manusia menjadi
penting, selain untuk mengerakkan roda penanganan sampah juga sosialisasi untuk memacu
kesadaran masyarakat.
zero waste
reuse
reduce
clean production
recycle
reduce
zero waste
recycle
clean production
reuse
19
Kisah
Perjalanan
Membangun
20
Paradigma
Ketahanan
di Bumi
Pamahanunusa
Dalam mempersiapkan pondasi gerakannya, Pokja Amasoa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai partisipatif. Pokja
Amasoa Kalesang mencoba memaknai nilai partisipasi sebagai upaya memperkuat kapasitas individu, kelompok
dan masyarakat untuk mendorong mereka dalam menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi. Selain itu,
mereka sadar bahwa partisipasi adalah proses pemberian peran kepada individu bukan hanya sebagai subyek
melainkan sebagai aktor yang menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya dan mengarahkan proses yang
mempengaruhi kehidupannya.
Sebagai langkah awal membangun ketahanan, Pokja Amasoa Kalesang melakukan kajian risiko bencana
partisipatif di wilayah Negeri Amahai dan Souhuku; sebuah proses yang dilakukan oleh anak Negeri dalam
melakukan analisis ancaman, kerentanan dan kapasitas di dalam Negerinya sendiri untuk mendapatkan
gambaran umum dampak perubahan iklim dan risiko bencana di kedua Negeri tersebut. Selanjutnya, Pokja
Amasoa melihat pentingnya keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan keputusan, dalam pelaksanaan
perencanaan program dan berbagi manfaat dari sebuah program sertaketerlibatannya dalam evaluasi program
maka disusunlah sebuah langkah bersama yaitu penyusunan rencana aksi untuk kedua Negeri yang di susun
berangkat berdasarkan hasil kajian risiko bencana partisipatif yang telah di kerjakan sebelumnya.
Dari sekian banyak rencana aksi adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana (API dan PRB)
ada tiga aksi yang akan dikerjakan secara kolaboratif antara Pokja Amasoa Kalesang dan Mercy Corps
Indonesia. Tiga program tersebut meliputi;
Pembangunan rumah bibit komunitas, dengan harapan tersedianya Rumah Bibit Produktif milik
komunitas sebagai pusat budidaya tanaman lokal sebagai wadah gerakan konservasi dikawasan DAS
Nusuroi, DAS Wairano dan kawasan pesisir di masing-masing negeri. Selain itu juga sebagai wadah
aktivitas ekonomi masyarakat yang kreatif serta berkelanjutan di Negeri Amahai dan Soahuku.
Pembuatan peta risiko bencana tingkat komunitas, sebagai sumber informasi dan peningkatan
kapasitas masyarakat dalam adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana di dua negeri.
Memperkuat ketahanan pangan lokal, dengan upaya mengembalikan pola konsumsi masyarakat
melalui promosi pangan lokal di kegiatan komunitas dan kegiatan diversifikasi pangan lokal.
Implementasi kegiatan API dan PRB ini berlangsung dari bulan Mei sampai dengan Agustus 2015.
Tahap awal di bulan MeiJuni dilaksanakan pelatihan grafting yang kemudian paralel dengan kegiatan
pembangunan rumah bibit di Soahuku dan Amahai. Masih di bulan Mei juga sudah berproses untuk
menyusun peta risiko bencana partisipatif dan pelatihan Geographic Information System (GIS). Sedangkan
untuk pelatihan pengelolaan pangan lokal akan di laksanakan di akhir bulan Juli 2015.
Dalam setiap prosesi ketiga aksi API - PRB tersebut selalu mengedepankan nilai-nilai partisipatif terutama
perlibatan masyarakat dalam pelaksanaan program danevaluasi pelaksanaan program, sehingga
masyarakat tidak hanya sebagai penerima manfaat namun juga sebagai pelaksana dan pengawas
dalam setiap kegiatannya.
Apa yang dilakukan oleh Pokja
Amasoa Kalesang adalah bagian dari
penguatan
kapasitas
masyarakat
terhadap dampak perubahan iklim
dan risiko bencana, melalui adaptasi
perubahan iklim dan pengurangan
risiko bencana yang diharapkan mampu
menjawab kompleksitas ketahanan
komunitas di wilayah pesisir dan
kepulauan. Saat ini Amasoa Kalesang
sedang
mempersiapkan
sebuah
mimpi besar untuk mengembangkan
dan menyebarluaskan apa yang telah
mereka kerjakan ke wilayah lain di
Kabupaten Maluku Tengah..
21
22
alam Keputusan Presiden (Keppres) No. 32 Tahun 1990 yang dimaksud dengan Kawasan
Hutan Mangrove yaitu: kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan bakau
(mangrove) yang berfungsi memberi perlindungan kepada perikehidupan pantai dan
lautan. Dalam Pasal 26, Perlindungan terhadap kawasan pantai berhutan bakau dilakukan
untuk melestarikan hutan bakau sebagai pembentuk ekosistem hutan bakau dan tempat
berkembangbiaknya berbagai biota laut disamping sebagai pelindung pantai dan pengikisan air laut serta
pelindung usaha budidaya di belakangnya.
Berdasarkan hasil koordinasi Pokja Amasoa Kalesang dengan Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten
Maluku Tengah, Harissa, S. E, M. AP dan Kepala Seksi Konservasi dan Rehabilitasi SDA, Grace Hallatu, SP
terkait degradasi mangrove di Kecamatan Amahai, dan ancaman bencana yang cukup tinggi bagi masyarakat di
kawasan pesisir pantai. BLH yang memiliki anggaran untuk pengelolaan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan
laut mengalokasikan 500 anakan mangrove kepada Pokja Amasoa Kalesang untuk melakukan penanaman dan
perawatan di titik-titik yang dianggap kritis.
Terkait dengan keberadaannya di lingkungan, hutan Mangrove memberikan banyak fungsi dan manfaat bagi
manusia, lingkungan dan terutama ekosistem yang di daerah peisisir, baik itu secara fisik, biologi maupun ekonomi
di antaranya; 1). Penahan Abrasi Pantai atau dengan kata lain menjaga garis pantai agar tetap stabil; 2). Sebagai
penahan dari tiupan angin/badai yang bermuatan garam dari laut ke darat yang biasanya bertiup pada malam
hari; 3). Sebagai kawasan penyangga atau penyaring atau penahan resapan (intrusi) air laut ke daratan, 4).
Meminimalisir tingkat pencemaran udara dengan cara menurunkan kandungan karbondioksida (CO2) di udara;
5). Menyerap bahan-bahan pencemar/polutan berbahaya di perairan pantai; 6). Sebagai tempat hidup berbagai
macam biota laut (ikan, udang, kepiting, kerang dan lain-lain) baik untuk berlindung, mencari makan maupun
pemijahan; 7). Sebagai tempat berlindung dan berkembang biak berbagai jenis burung dan satwa lainnya seperti
kera, buaya dan lain-lain; 8). Sebagai penghasil berbagai jenis komoditi pangan seperti udang, kepiting, ikan dan
lainnya; 9). Sumber mata pencaharian masyarakat disekitar dengan menjadi petani tambak atau nelayan; 10).
Sebagai penghasil bahan baku untuk produk makanan/minuman dan obat-obatan; 11). Sebagai tempat rekreasi/
pariwisata dan sebagai laboratorium hidup/tempat penelitian.
Berdasarkan fakta di atas, saat ini Pokja Amasoa Kalesang sedang membangun rumah bibit di dua tempat yaitu di
Negeri Amahai dan Negeri Soahuku, tujuan dari pembangunan rumah bibit tersebut untuk mendapatkan manfaat
ekonomi dan manfaat konservasi. Rencananya di rumah bibit tersebut akan dilakukan pembibitan/pengembangan
berbagai jenis tanaman seperti pala, cengkeh, durian, sukun, manga, mangrove dan lain-lain. Pembangunan rumah
bibit ini juga sebagai bentuk kampanye untuk memotivasi masyarakat agar senantiasa menjaga, melestarikan dan
menjadi sahabat lingkungan.
23
U
K
A
N
A
N
CUACA
DI MALUKU
24
TENGAH
oleh,
Roland George Lainata
BMKG/Weather Forecaster
Anggota di Forum PRB
Maluku Tengah
elakangan ini, pemanasan global, perubahan iklim, gempa bumi, dan berbagai
dampaknya kini sangat sering terdengar. Seakan alam sudah tak bersahabat dengan
kita. Pertanyaannya, ataukah kita yang tidak bersahabat dengan alam Suhu yang panas,
curah hujan yang tidak menentu, gelombang tinggi, bahkan baru saja kita tersentak
oleh terkuburnya satu Desa karena tanah longsor. Dan lagi-lagi curah hujan ekstrem,
ataupun dampak perubahan iklim yang menjadi kambing hitamnya. Kalau kita berbicara tentang
hujan tentunya akan berhubungan dengan siklus air yang memberi kita kehidupan; kita akan melihat
bagaimana gelombang dapat menyebarkan nutrisi, plankton dari dasar lautan naik ke permukaan dan
menjadi makanan ikan yang kemudian ikan berkembang biak dan menjadi konsumsi kita sehari-hari.
Begitupun dengan gempa bumi, kalau kita lihat dari sisi positifnya tanpa gempa bumi dan pergeseran
tanah kita tidak bisa melihat pulau yang indah, bahkan dengan adanya gempa beberapa mineral
akan terangkat dari bumi dan kemudian menjadi sesuatu yang berharga.Sebuah fakta yang tidak
bisa dihindari, bahwa dalam memahami alam, manusia akan selalu bersinggungan dengan iklim dan
cuaca yang keduanya selalu saling berhubungan.
Dari monitoring BMKG , curah hujan pada stasiun meteorologi Amahai, Geser dan Banda, bulan Mei dan
Juni berada di bawah normal. Sedangkan pada stasiun meteorologi Ambon dan Kairatu, pada bulan mei
curah hujan di bawah normal, dan bulan juni curah hujan normal. Hal ini disebabkan faktor lokal yang kuat
pada ke dua daerah tersebut.
Di Indonesia, masih jelas dalam ingatan kita, pada tahun 1997 terjadi bencana kekeringan yang luas. Pada
tahun itu, kasus kebakaran hutan di Indonesia menjadi perhatian internasional karena asapnya menyebar ke
negara-negara tetangga. Kebakaran hutan yang melanda banyak kawasan di Pulau Sumatera dan Kalimantan
saat itu, memang bukan disebabkan oleh fenomena el-nino secara langsung. Namun kondisi udara kering dan
sedikitnya curah hujan telah membuat api menjadi mudah berkobar dan merambat dan juga sulit dikendalikan.
Di sisi lain, kekeringan dan kemarau panjang juga menyebabkan banyak wilayah sentra pertanian mengalami
gagal panen karena distribusi curah hujan yang tidak memenuhi kebutuhan tanaman.
Publikasi-publikasi ilmiah menunjukkan bahwa dampak El nino terhadap iklim di Indonesia akan terasa
kuat jika terjadi bersamaan dengan musim kemarau, dan akan berkurang jika terjadi bersamaan dengan
musim penghujan. Dampak El nino berbeda-beda tergantung pada karakteristik iklim lokal suatu daerah.
Oleh karena itu, menjadi menarik bagi para analis iklim untuk memperhatikan sebaran dampak el-nino
dari bulan ke bulan (khususnya di musim kemarau) dan dari satu lokasi ke lokasi lain. Analisis semacam
ini bisa dijadikan acuan dalam menyusun kebijakan terkait dampak El nino, misalnya saja dalam kebijakan
tentang ketahanan pangan
Analisis terhadap kejadian-kejadian El nino masa lalu dengan menggunakan data hujan global (produk
dari Global Precipitation Climatology Center - GPCC) menunjukkan bahwa dampak El nino dipengaruhi
oleh intensitas dan durasi. Semakin kuat dan lama, semakin kuat dampaknya terhadap iklim di Indonesia
khususnya curah hujan. Pada kasus El nino dengan intensitas lemah-sedang, untuk Bulan Juli-Agustus,
El nino akan berdampak pada pengurangan curah hujan dengan kisaran 40-80 %. Sementara pada
Bulan September-Oktober, dampak El nino akan semakin parah ditandai dengan semakin luasnya area
yang mengalami pengurangan curah hujan, meliputi seluruh Sumatera kecuali Aceh, seluruh Jawa, BaliNTB-NTT, sebagian besar Kalimantan, seluruh Sulawesi, Maluku dan sebagian besar Papua. (http://idkf.
bogor.net/yuesbi/e-DU.KU/edukasi.net/Fenomena.Alam/ElNino/)
Sehingga, fenomena El nino berpengaruh kuat terhadap iklim di Indonesia. Berkurangnya curah hujan
dan terjadinya kemarau panjang adalah dampak langsung yang bisa memicu masalah lain pada sektor
pertanian seperti gagal panen dan
melemahnya
ketahanan
pangan.
Dalam hal ini wilayah Kabupaten
Maluku Tengah khususnya Kecamata.
Amahai berada di lokasi pasifik barat
mengalami proses terjadi fenomena
El nino yang langsung dari bulan Mei
sampad November. Oleh karena itu,
perla segera dibuat peta daerah rawan
dampak El nino hingga level kabupaten
agar bisa disusun kebijakan-kebijakan
yang tepat dalam mengantisipasi
fenomena El nino.
25
26