Anda di halaman 1dari 38

PENDIDIKAN DI DAERAH TERPENCIL

(POTENSI PENDIDIKAN WILAYAH PESISIR


DI PULAU KABAENA)

Aufal Kausar
aufalkausar27@gmail.com
Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

Menyandang status sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia,


menjadikan Negara Indonesia memiliki tantangan yang besar dalam
usaha memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara dari berbagai
sektor. Salah satu tantangannya yaitu kondisi geografis di berbagai
daerah yang menyebabkan beberapa wilayah memiliki daerah tempat
tinggal yang terpencil. Akses informasi dan komunikasi yang terbatas,
pembangunan sarana dan prasarana yang kurang memadai serta
mengikatnya pelestarian akar budaya atau adat-istiadat daerah terpencil
juga menjadi masalah. Berbagai program dan upaya gencar diterapkan
pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut. Keterbatasan ekonomi
dalam hal barang dan jasa di daerah terpencil sebenarnya dapat diatasi
jika diproduksi dan dikonsumsi oleh penghuni daerah terpencil tersebut.
Namun jika jumlah penduduk meningkat drastik, maka masalah baru
tentu akan bermunculan tidak hanya dari sektor ekonomi, tapi dapat
merembet pada sektor lain, salah satunya sektor pendidikan. Sektor
pendidikan memang selalu menjadi salah satu perhatian utama karena
menyangkut bagaimana kualitas suatu bangsa diukur melalui pendidikan
yang diperoleh warganya.
Pengembangan sektor pendidikan di daerah terpencil merupakan
hal yang sangat penting dilakukan. Hal ini merujuk pada tujuan dan cita-
cita bangsa Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 alinea ke-4 yang salah satu fokus pernyataannya yaitu
bagaimana mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, mencerdaskan
kehidupan bangsa harus dilakukan secara menyeluruh, merata dan
berkelanjutan. Pendidikan yang menyeluruh artinya harus mencakup
seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa terkecuali.
Merata diartikan sebagai porsi yang sesuai dengan kebutuhan masing-
masing wilayah. Berkelanjutan artinya pembangunan senantiasa
dilakukan dan ada berkembangan dari waktu ke waktu. Sehingga dapat
dikatakan secara umum pembangunan nasional yang dilaksanakan
melalui sektor pendidikan dapat tercapai apabila pembangunan seluruh
komponen pendidikan pada seluruh wilayah Indonesia juga tercapai,
termasuk pendidikan pada daerah terpencil.
Berkenaan dengan hal tersebut, tentu diperlukan solusi untuk
menjawab tantangan Untuk itu, salah satu langkah yang dapat dilakukan
untuk mengatasi salah satu masalah tersebut yaitu memanfaatkan potensi
wilayah terpencil untuk memajukan pendidikan.Berdasarkan potensinya,
daerah terpencil sendiri dapat dikategorikan dalam dua kelompok, yaitu
daerah terpencil wilayah pesisir dan wilayah pertanian/pegunungan.
Menurut Pedoman Umum Penataan Ruang, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
dalam Lampiran Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.
34/MEN/2002, wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan
laut ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering
maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti
pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut
mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang
terjadi di darat seperti sedimentasi air dan aliran air tawar, maupun
disebabkan karena kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan
dan pencemaran.Sedangkan pertanian dalam pengertian yang luas
mencakup semua kegiatan yang melibatkan pemanfaatan makhluk hidup
(termasuk tanaman, hewan, dan mikrobia) untuk kepentingan manusia.
Dalam arti sempit, pertanian diartikan sebagai kegiatan pembudidayaan
tanaman.Sedangkan pengertan Pertanian Pangan adalah usaha manusia
untuk mengelola lahan dan agro ekosistem dengan bantuanteknologi,
modal, tenaga kerja, dan manajemen untuk mencapai kedaulatan dan
ketahanan pangan sertakesejahteraan rakyat. (Pasal 1 Angka 8 UU
Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan).
Secara garis besar potensi pembangunan di daerah pesisir terdiri
atas tiga kelompok, yaitu (1) renewable resources (sumber daya dapat
pulih); (2) non-renewable resources (sumber daya tak pulih); (3)
environmental resources atau jasa-jasa lingkungan (Dahuri et al., 2001).
Sumber daya pulih merupakan sumber daya yang dapat dilestarikan dan
diperbarui sesuai dengan karakteristik geografisnya, seperti pada terumbu
karang, rumput laut, hutan bakau, dan lain sebagainya (Latama et al.,
2002; Kadir et al., 2009). Sumber daya tak pulih contohnya kandungan
mineral dan geologi, minyak bumi, gas, batu bara, nikel, emas, granit,
pasir, kaolin, kerikil. Jasa-jasa lingkungan meliputi fungsi kawasan
pesisir dan lautan yang dimanfaatkan sebagai tempat rekreasi atau tempat
wisata. Sebagaimana halnya dengan daerah lain, daerah pesisir juga
rentan terhadap masalah. Kelestarian lingkungan terancam rusak oleh
berbagai aktifitas yang mengatasnamakan pemanfaatan secara ekonomis
tanpa adanya pertanggungjawaban, salah satunya dari sektor
pertambangan.
Dampak sektor pertambangan terhadap mutu pendidikan di
daerah terpencil memang tidak terlalu nampak jika dilihat dari statistik
pendidikan. Tetapi secara psikologis dapat mempengaruhi pola pikir akan
urgensi pendidikan yang sesungguhnya di daerah terpencil. Hal ini juga
berlaku di Pulau Kabaena, salah satu pulau di Kabupaten Bombana yang
masuk dalam kategori daerah tertinggal. Disamping itu, eksploitasi
perusahaan tambang nikel di pulau ini turut menjadi andil semakin
banyaknya siswa jenjang sekolah menengah tidak mau melanjutkan
pendidikannya ke perguruan tinggi. Tidak dapat dipungkiri bahwa
melihat kondisi yang ada, jumlah penduduk yang semakin bertambah
ditambah dengan semakin mahalnya biaya kebutuhan hidup di zaman
sekarang tentu dapat menjadi penghalang bagi seorang pemuda mencapai
kesuksesannya dengan melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Sehingga,
menanggapi masalah ini tentu tidak akan kita biarkan berlarut-larut dalam
kritik dan keluhan kepada pihak manapun. Pun dalam usaha memajukan
pendidikan di daerah terpencil, diperlukan langkah nyata untuk mengatasi
masalah pendidikan dengan melihat berbagai potensi daerah yang
dimiliki.
Pengembangan daerah terpencil melalui sektor pendidikan dapat
dilakukan dengan memandang positif potensi yang dimiliki daerah
tersebut. Khusus untuk Pulau Kabaena, sebaran penduduknya yang 70%
berada di wilayah pesisir dan seluruh masyarakatnya yang selalu
berhubungan langsung dengan wilayah pesisir karena menjadi satu-
satunya jalur akses transportasi dan keluar masuknya barang tentu
menjadikan karakteristik masyarakat sebagai masyarakat pesisir. Sebagai
gambaran, jumlah sekolah di Pulau Kabaena yaitu Sekolah Menengah
Atas (SMA)/sederajat 9 sekolah, Sekolah Menengah Pertama
(SMP)/sederajat 17 sekolah dan Sekolah Dasar (SD)/sederajat 49
sekolah. Dari jumlah ini, 70% nya berada di wilayah pesisir. Hal ini
menjadi tantangan berat tersendiri bagi masyarakat dan pemerintah
setempat. Apalagi dengan semakin meluasnya kawasan eksploitasi
tambang yang izinnya diberikan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten yang merupakan pemanfaatan sektor pertambangan untuk
pendapatan asli daerah otonomi, tidak dapat dipungkiri dapat merembet
pada masyarakat sekitar. Terlihat fakta bahwa angka partispasi murni
penduduk pulau kabaena dari jenjang pendidikannya yang lulusan
perguruan tinggi masih rendah di banding daerah daratan dalam satu
wilayah Kabupaten Bombana. Bukan berarti adanya ketidakseimbangan
perlakuan antara satu daerah dengan daerah lain. Tetapi tidak dapat
dipungkiri arus perkembangan globalisasi yang juga ikut berpengaruh
pada wilayah pulau Kabaena ikut menyeret tuntutan ekonomi masyarakat
sehingga mengharuskan mereka untuk lebih memprioritaskan bekerja
dibanding meneruskan pendidikan setelah menempuh jenjang sekolah
menengah.Menjadi hal yang lumrah setiap tahunnya terlihat anak-anak
yang lulus sekolah menengah atas tidak melanjutkan pendidikannya,
melainkan berbondong-bondong bekerja sebagai karyawan di perusahaan
tambang, baik sebagai karyawan lepas maupun karyawan tetap. Tidak
mengherankan bila kualitas pendidikan di Pulau Kabaena masih terbilang
belum maju karena kurangnya kualitas pendidikan generasi penerusnya.
Perbaikan kualitas pendidikan di wilayah pesisir tidak dapat
diatasi dengan melihat semua masalah kemudian menyodorkan solusi
umum untuk menyelesaikannya. Akan tetapi, dari beberapa potensi yang
ada, beberapa aspek pendidikan yang menjadi satu masalah penting dapat
diatasi dengan potensi tersebut. Sebagai contoh, tiga tahun belakangan
beberapa mahasiswa yang sedang dan telah menyelesaikan studinya di
luar daerah mulai menggerakkan generasi muda untuk melakukan
beberapa kegiatan positif yang berkaitan pendidikan. Di beberapa
Kecamatan mulai dibentuk Forum Silaturrahim Pemuda Pelajar dan
Mahasiswa yang secara berkala mengagendakan kegiatan-kegiatan postif
di lingkungannya. Bentuk kegiatannya sampai pada kursus Bahasa
Inggris dan bimbingan belajar untuk siswa Sekolah Dasar dan Menengah.
Bahkan di Desa Pongkalaero yang terletak di Kecamatan Kabaena
Selatan, sejak tahun 1980-an setiap tahunnya diadakan kegiatan
Musabawah Tilawatil Qur’an (MTQ) tingkat desa yang diikuti oleh anak-
anak Sekolah Dasar yang kegiatannya sendiri diinisiasi dan dilakukan
oleh generasi muda bersama pelajar dan mahasiswa. Tidak hanya MTQ,
kegiatan olahraga dan seni serta halal-bihalal memeriahkan Hari Raya
Idul Fitri setiap tahunnya juga diselenggarakan oleh pemuda-pemudi ini.
Beberapa mahasiswa yang telah menyelesaikan studinya di perguruan
tinggi juga mengajak beberapa pemuda yang belum sempat melanjutkan
pendidikannya untuk membuat kelompok diskusi sebagai bentuk
pendidikan non-formalnya. Di beberapa wilayah kecamatan lainnya,
beberapa mahasiswa menggiatkan usaha kecil dan menengah dengan
merangkul beberapa pemuda setempat. Adapula kelompok pemuda yang
membuka akses menuju pantai sebagai tempat rekreasi, dan berbagai
kegiatan positif lainnya. Ini membuktikan bahwa potensi pendidikan itu
sendiri tidak hanya diperoleh melalui bangku sekolah, namun dapat
diasah dan ditemukan di lingkup masyarakat.
Potensi yang ada di wilayah pesisir tentu dapat diberdayakan baik
melalui sektor pendidikan maupun melalui sektor lainnya. Semuanya
merujuk pada bagaimana peningkatan kualitas sumber daya manusia bagi
generasi penerus di wilayah tersebut. Hal yang sama juga berlaku di
wilayah lain. Dengan memanfaatkan potensi yang ada, berbagai
kekurangan pada sektor pendidikan yang ada dapat ditutupi dengan
langkah nyata dalam usaha memajukan kualitas sumber daya manusia,
dengan tidak hanya bergantung pada sarana dan prasarana pendidikan
yang tidak memadai. Tentu akan muncul berbagai tantangan baru usaha
ini. Namun dengan pasti, kualitas pendidikan yang selama ini kita
ragukan hanya karena melihat dari perspektif pembangunan sarana dan
prasarananya dapat kita kesampingkan dengan memanfaatkan potensi
sumber daya manusia yang ada.

REFERENSI:
Badan Pusat Statistik Kabupaten Bombana. (2016). Data sosialdan
kependudukan sektor pendidikan. Tersedia:
https://bombanakab.bps.go.id/subject/28/pendidikan.html#subjekVi
ewTab3 [25 Desember 2017]

Dahuri, R. et al. (1998). Penyusunan konsep sumber daya pesisir dan


kelautan yang berakar dari masyarakat. Kerjasam Ditjen Banda
dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Kelautan IPB.
Laporan Akhir.

Departemen Kelautan dan Perikanan. (2002). Lampiran keputusan


menteri kelautan dan perikanan nomor KEP.34/MEN/2002 tentang
pedoman umum penataan ruang, pesisiran pulau-pulau kecil.
Jakarta: Departemen Perikanan dan Kelautan.

Latama, G. et al. (2002). Pengelolaan wilayah pesisir berbasis


masyarakat Indonesia. Diakses pada tanggal 25 Desember 2017
Tersedia: http://tumoutou.net/702_05123/group2_123.htm

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2009 tentang


Perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan.
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4 tentang
mencerdaskan kehidupan bangsa

SAGUSAPRO (SATU GURU SATU PROGRAM) SEBAGAI


STRATEGI AMPUH PEMENUHAN BEBAN KERJA GURU
PROFESIONAL

Endang Ayu Patrianingsih


ayuendangayu93@gmail.com
SMAN 8 Takalar Sulawesi Selatan

Berdasarkan peraturan pemerintah No.19 Tahun 2005 Bab 1 pasal


1 ayat 6, standar proses pendidikan adalah standar nasional pendidikan
yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan
pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan. Dalam
implementasi Standar Proses Pendidikan, guru merupakan komponen
yang sangat penting, sebab keberhasilan pelaksanaan proses pendidikan
sangat tergantung pada guru sebagai ujung tombak. Salah satu
kemampuan yang harus dimiliki guru adalah bagaimana mengelola
proses pembelajaran yang sesuai dengan tujuan yang akan dicapai.
Menurut Buchori (dalam Trianto 2009) menyatakan bahwa pendidikan
yang baik adalah pendidikan yang tidak hanya menyiapkan para siswanya
untuk sesuatu profesi atau jabatan, tetapi untuk menyelesaikan masalah-
masalah yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari (Trtianto, 2009).
Guru harus memiliki kemampuan mengelola proses pembelajaran
yang dapat menyesuaikan antara karakteristik siswa, materi pelajaran,
dan sarana prasarana yang ada, dan juga sesuai dengan olah pikir, olah
hati, olah raga, olah rasa dan karsa. Oleh karena itu, guru harus selalu
mencari alternatif atau solusi kreatif yang tepat agar proses pembelajaran
dapat berjalan lancar dan dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Berdasarkan pengamatan penulis, masalah yang dihadapi dalam
proses pembelajaran adalah kurangnya disiplin siswa dalam mengikuti
pembelajaran proses pembelajaran. Banyak pelanggaran yang dilakukan
siswa terhadap peraturan yang telah ditetapkan. Adapun pelanggaran
disiplin yang sering dilakukan siswa antara lain adalah tingginya
persentase ketidakhadiran, keterlambatan masuk kelas, tidak menggunaan
atribut, tidak mematuhi keselamatan kerja tata tertib sekolah. Hasil
observasi penulis terhadap kinerja guru khususnya sebagai guru
profesional dengan tuntutan beban kerja 24 jam per minggu masih sangat
sulit dicapai. Bahkan masih banyak guru yang terpaksa mengambil jam
tambahan dari sekolah lain untuk memenuhi beban kerja tersebut dengan
jarak tempuh yang berjauhan dari sekolah yang satu dengan sekolah yang
lain. Hal ini mengakibatkan proses pembelajaran menjadi kurang efektif.
Program 8 jam hari kerja per hari sebagaimana yang telah
dicanankan oleh Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan juga masih
dalam proses penyempurnaan sehingga masih banyak sekolah yang
merasa kerepotan dengan program ini. Hal ini karena belum ada pedoman
pelaksanaan program yang bisa menuntun guru untuk menjalankan
program ini. Masih banyak guru saat ini masih mengambil jam tambahan
mengajar di sekolah lain untuk mencukupi beban mengajar 24 jam per
minggu.
Oleh karena itu, penulis menggagas sebuah inspirasi yang kiranya
dapat menjadi petunjuk dan pedoman dan merealisasikan pemenuhan
beban kerja guru khususnya guru profesional. Sebagai seorang guru
profesional penulis selalu berharap agar proses pembelajaran dapat
berkualitas. Strategi ampuh untuk meningkatkan kualitas profesionalisme
guru yang dimaksud penulis adalah melalui “Satu Guru Satu Program
(SAGUSAPRO)” dalam memenuhi beban kerja, tugas dan tanggung
jawab guru secara profesional. Guru pun dapat dengan tenang
melaksanakan semua tugas-tugas guru di sekolah secara profesional.
Penjabaran strategi ini mirip dengan program yang sudah banyak
diterapkan terutama di jenjang Sekolah Dasar yang diperankan oleh guru
sebagai guru kelas, dimana setiap guru kelas memiliki tugas dan
tanggung jawab dilaksanakan secara paripurna. Namun Strategi Satu
Guru Satu Program ini tidaklah sama dengan guru kelas sebagaimana
yang diterapkan pada jenjang Sekolah Dasar. Program ini direncanakan
merupakan strategi penyelesaian masalah bagi guru Pendidikan
Menengah atau pada jenjang Sekolah Menengah Atas dalam memenuhi
tugas keprofesionalan sesuai beban kerja yang diamanahkan kepadanya.
Apa dan bagaimana Strategi Satu Guru Satu Program? Mengapa
Strategi ini dapat dikatakan sebagai strategi yang ampuh untuk memenuhi
beban kerja guru profesional? Pada bagian ini penulis mencoba
memberikan penjelasan dan pemaparan tentang inspirasi program ini.
Penulis terinspirasi dari sebuah keadaan yang banyak dialami oleh Guru
Dikmen (Pendidikan Menengah) seperti menambah jam mengajar di
sekolah lain untuk memenuhi minimal jam mengajar 24 jam per minggu.
Hal ini menjadi kendala bagi guru bersertifikasi yang harus mondar-
mandir lalu-lalang mencari tambahan jam di sekolah induk, yang pada
umumnya membutuhkan jarak tempuh yang tidak dekat. Keadaan ini
sungguh sangat memprihatikan bagi guru profesional bersertifikasi.
Solusi yang diberikan oleh pak Menteri Muhajir Effendi untuk
pemenuhan beban kerja guru agar guru tidak lagi pergi-pergi mencari
sekolah lain untuk pemenhan jam mengajar dengan penerapan 40 jam per
minggu belum bisa diterapkan oleh semua sekolah di Indonesia.
Satu Guru Satu Program adalah sebuah gagasan tentang program
yang mengarah pada pemenuhan beban mengajar 40 jam per minggu
dimana guru selain mengajar mata pelajaran secara tatap muka di depan
kelas juga melaksanakan pembinaan dan pembimbingan di luar kelas
sebagaimana tugas dan peran guru masa kini sebagai pengajar, penjaga
gawang, fasilitator, katalisator dan penghubung (Kemdidbud.go.id).
Satu Guru Satu Program ini dapat dilakukan dengan integrasi
kegiatan seperti pada tabel 1 berikut.
Tabel 1. Kegiatan Satu Guru Satu Program
No. Waktu Kegiatan Satu Guru satu Program Jumlah
Jam
1 Senin  Mengajar sesuai Mata Pelajaran 8
 Membina PPK (Nasionalis)
 Membimbing Literasi dan Budaya
2 Selasa  Mengajar sesuai Mata Pelajaran 8
 Membina PPK (Integritas)
 Membimbing Seni (Puisi, lagu dan
tari)
3 Rabu  Mengajar sesuai Mata Pelajaran 8
 Membina PPK (Mandiri)
 Membimbing Keterampilan
4 Kamis  Mengajar sesuai Mata Pelajaran 8
 Membina PPK (Gotong Royong)
 Membimbing Pembuatan Karya
5 Jumat  Mengajar sesuai Mata Pelajaran 8
 Membina PPK (Religius)
 Membimbing Nasyid, Mengaji dan
Saritilawah
Total Jam Per Minggu 40

Gagasan ini dapat membantu membangun penguatan pendidikan


karakter siswa menjadi lebih baik dan juga meningkatkan kualitas
kompetensi guru sebagai guru profesional yang bermuara pada
peningkatan kualitas pembelajaran dan tugas guru pun dapat terlaksana
dengan baik. Dalam hal integrasi penguatan pendidikan karakter dan
gerakan literasi sekolah pun dapat dengan mudah diterapkan. Termasuk
seluruh kegiatan yang bersifat mengembangkan potensi yang dimiliki
oleh para peserta didik sebagaimana yang diamanahkan dalam revisi
kurikulum 2013.
Hal ini pun sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Bapak
pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara dalam semboyannya tentang
pendidikan yaitu “Di depan, seorang pendidik harus memberi teladan. Di
tengah, seorang guru harus menciptakan prakarsa dan ide. Di belakang,
seorang guru harus memberikan dorongan dan arahan”
(Kemdidbud.go.id).
Patut bagi kita sebagai seorang guru untuk mengajar dengan
sebaik-baiknya, sdengan segenap hati, pikiran jiwa dan raga sehingga kita
dapat memberikan hasil pendidikan yang baik (Sinamo, 2016). Apabila
semua guru bekerja sesuai dengan hakikat dan profesinya, seluruh peserta
didik pun akan bergerak pada tingkat prestasi dan penapaian karakter
yang lebih baik.
Kiranya dengan strategi SAGUSAPRO (Satu Guru Satu Program)
ini, dapat menjadi salah satu alternatif untuk membantu guru dalam
menjalankan tugas keprofesionalitasnya dan meningkatkan kualitas
pembelajaran di kelas, sehingga para peserta didik juga dapat lebih
meningkat baik dari segi kognitif, aektif dan pskikomotorik atau dengan
kata lain ada keterpaduan yang seirama dan seimbang dengan olah olah
pikir, olah hati olah, rasa, olah raga dan karsa. Semoga pendidikan
Indonesia semakin maju dan bermartabat.

REFERENSI:

Amri, S. (2013). Pengembangan dan model pembelajaran dalam


kurikulum 2013. Jakarta: Prestasi Pustaka Publsher.

Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005 Bab 1 pasal 1 ayat 6 tentang


Standar Proses Pendidikan

Sinamo (2016). 8 Etos keguran. Jakarta: Erlangga

Trianto. (2009). Mendesain model pembelajaran inovatif progresif.


Jakarta: Kencana Prenada Media Grup
PENGUATAN IMPLEMENTASI KURIKULUM ISLAM
TERPADU (KIT) DALAM MEMBENTUK GENERASI
EMASRABBANI ABAD 21

M. Mamduh Winangun
mamduhm77@upi.edu
Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indoneisa

Pendidikan Islam tidak hanya menuntut siswa menghafalkan


fakta-fakta atau konsep-konsep keislaman. Lebih jauh lagi, pendidikan
Islam diharapkan dapat membimbing siswa memperoleh aspek-aspek
pengetahuan berdasarkan pandangan Islam melalui penggunaan
kurikulum yang didesain dengan baik. Oleh karena itu, transformasi
pendidikan islam harus dilakukan dalam rangka mempersiapkan muslim
yang berwawasan luas (Hasyim dan Langgulung, 2008).
Bentuk awal transformasi pendidikan Islam adalah integrasi ilmu
pengetahuan modern dengan konsep islam. Hal ini juga menjadi isu
utama yang dibicarakan dalam Konferensi Pendidikan Islam Pertama di
King Abdul Aziz University Jeddah pada tahun 1977. Pertemuan tersebut
dihadiri oleh 313 ilmuwan muslim dari berbagai belahan dunia. Peserta
konferensi saat itu bersepakat bahwa tidak ada dikotomi antara sistem
pendidikan Islam dan sekuler. Pertemuan tersebut juga menegaskan
bahwa tujuan pendidikan Islam tidak hanya membentuk manusia baik
dan religius yang taat beribadah kepada Allah dalam berbagai bentuk
ibadah, tetapi juga membangun kehidupan yang baik di muka bumi
dengan berpegang teguh pada hukum Islam (Saleh, 2013). Dalam
membangun kehidupan yang baik, tentu seorang muslim membutuhkan
wawasan global, terampil dalam bidang keilmuan tertentu, dan
menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pedoman hidupnya guna
menjawab tantangan zaman. Seorang muslim yang seperti itulah yang
dimaksud dengan generasi emas Rabbani pada abad 21 pada tulisan ini.
Para aktivis Islam di Indonesia menganggap bahwa generasi emas
Rabbani tidak akan terbentuk selama masih terjadi dikotomi antara
keilmuan Islam dan modern dalam penyelenggaraan pendidikan Islam.
Sebagian besar lembaga pendidikan di bawah naungan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) lebih banyak membekali
siswa tentang ilmu sekuler yang jauh dari nilai tauhid. Sebaliknya,
banyak lembaga pendidikan di bawah naungan Kementerian Agama
(Kemenag) kurang memprioritaskan dalam pembentukan siswa yang
mampu menguasai sains dan teknologi dengan baik. Tentu hal ini akan
berdampak pada output siswa yang dihasilkan. Sebagian besar lulusan
satuan pendidikan Islam di bawah naungan Kemenag mungkin
mempunyai nilai moral dan wawasan Islam yang baik, tetapi tidak dapat
bersaing di tengah-tengah perkembangan zaman modern. Sebaliknya
satuan pendidikan yang bernaung pada Kemendikbud mungkin juga
mampu menghasilkan lulusan yang mempunyai pengetahuan tetapi tidak
bermoral. Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, para aktivis
muslim membentuk Sekolah Islam Terpadu (SIT) dalam rangka
mengembangkan siswa yang berpengetahuan, terampil, beriman, dan
bermoral (Suyatno, 2015).
SIT didirikan dengan tujuan mengintegrasikan pendidikan Islam
dengan pendidikan modern guna membentuk generasi muslim yang
berwawasan global. Tentu dalam pelaksanaannya membutuhkan sistem
pendidikan yang berorientasi pada pencapaian tujuan tersebut. Salah satu
instrumen penting dalam sistem pendidikan adalah kurikulum. Menurut
Hasyim dan Langgulung (2008) kurikulum dalam pendidikan islam
adalah penempatan komponen-komponen tujuan dan objektif, isi, metode
mengajar dan evaluasi sesuai pandangan Islam. Akan tetapi, dalam
membentuk generasi yang ahli dalam keilmuan modern dibutuhkan
kurikulum yang juga menekankan pada pencapaian penguasaan keilmuan
global.
Solehah dan Rahimah (2008) juga berpendapat bahwa pendidikan
Islam harus holistic dalam mengembangkan wawasan Islam yang diambil
dari wahyu Allah dan penemuan-penemuan ilmiah guna membentuk
intelektualitas siswa. Kedua ilmu tersebut diintegrasikan dengan
berprinsip pada tauhid yang tersusun dalam perencanaan, isi, proses
pembelajaran dan evaluasi yang dikenal dengan Kurikulum Islam
Terpadu (KIT). Melalui implementasi KIT pada pendidikan Islam
diharapkan dapat melahirkan generasi emas Rabbani pada abad 21.
KIT mulai banyak diimplementasikan di Indonesia dan Malaysia,
salah satunya pada Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang (UINM). UINM melaksanakan pendidikan yang menekankan
pada pembelajaran bahasa arab pada tahun pertama untuk memudahkan
mahasiswa dalam menghayati dan menghafalkan Al-Qur’an sebelum
mereka mempelajari keilmuan spesifik seperti sains, sosial dan teknologi.
Metode tersebut sebelumnya juga diimplementasikan pada salah satu
perguruan tinggi di Malaysia, yakni International Islamic University
Malaya (IIUM). IIUM telah mencoba menjadikan religi, sains,
kedokteran, dan teknik sebagai platform akademik dan ilmiahnya.
Setelah itu, muncul beberapa universitas-universitas lain di Malaysia
yang berkomitmen dalam menyelenggarakan pendidikan modern yang
tidak terpisah dengan konsep tauhid seperti Islamic Science University of
Malaysia (ISUM), Kolej University Islam Malaysia (KUIM) yang
dibentuk oleh Pemerintah Malaysia dan banyak lagi kampus-kampus
yang mengajarkan keilmuan modern tanpa memisahkannya dengan nilai-
nilai islami (Saleh M.S, 2013). Melihat ranking beberapa universitas di
Malaysia saat ini, banyak perguruan tinggi yang mampu bersaing pada
kancah dunia.
Di Indonesia, mayoritas satuan pendidikan yang
mengimplementasikan KIT adalah Sekolah Islam Terpadu (SIT) yang
mulai berkembang pada abad ke-20. Menurut Suyatno (2015)
perkembangan SIT di Indonesia sangat pesat, terdapat lebih dari 10.000
SIT yang tersebar di tiap-tiap daerah pada awal kemunculannya.
Sebagian besar SIT tergabung dalam Jaringan Sekolah Islam Terpadu
Indonesia (JSIT Indonesia). JSIT Indonesia memberikan rambu-rambu
bagi pelaksanaan KIT oleh sekolah-sekolah IT yang tergabung di
dalamnya, yang dikenal dengan Kurikulum JSIT. Selain itu, menurut
Moedjiono (2002) sekolah modern (SMA, SMP, SD, dan TK) dan
tradisional (Madrasah, Pesantren, dan RA)yang juga menyelenggarakan
pendidikan IT diantaranya MIN 1 Malang, Madrasah IAIN Ciputat dan
lain-lain.
Masyarakat mulai percaya dengan satuan pendidikan yang
mengimplementasikan KIT. Hal ini terbuktri dari respon positif terhadap
munculnya sekolah-sekolah yang menyelenggarakan KIT. Tidak sedikit
orang tua siswa yang tertarik menyekolahkan anaknya pada sekolah yang
menyelenggarakan KIT meskipun biayanya lebih mahal dari sekolah
umum (Suyatno, 2015). Oleh karena itu, implementasi KIT harus
diperkuat agar tetap mendapatkan kepercayaan oleh publik.
Berdasarkan beberapa literatur, penulis merangkum penguatan
implementasi KIT dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu: 1) manajemen
pendidikan berbasis islam; 2) pendekatan pembelajaran heart to heart;
dan3) revitalisasi peran masjid sebagai tempat utama pengembangan
karakter siswa. Penulis meyakini bahwa penguatan penggunaan KIT
dapat dilakukan dengan ke tiga cara tersebut. Penguatan ini dilakukan
dalam rangka mempersiapkan generasi emas rabbani yang siap
menghadapi tantangan zaman pada abad 21.
Kolonialisasi yang terjadi pada negara-negara yang berpenduduk
mayoritas muslim memberikan dampak pada penetrasi filsafat-filsafat
pendidikan barat pada negara tersebut. Menurut Weldon dan Beckner
(1972) filsafat yang dianut oleh sekolah tertentu akan mempengaruhi arah
pendidikan yang diselenggarakannya. Hal ini nantinya juga berkaitan
dengan cara pandang sekolah dalam hal manajemen pendidikan.
Saleh (2013) menemukan fakta bahwa dari 20 institusi pendidikan
islam di Malaysia hanya 3 institusi pendidikan yang menggunakan
manajemen pendidikan sesuai syariah. Landasan utama manajemen
pendidikan syariah adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sangat
penting dalam implementasi KIT. Tentunya hal ini dilakukan untuk
memastikan bahwa seluruh kegiatan pendidikan tidak sesui dengan
konsep KIT. Ketidaksesuaian yang dimaksud dalam hal ini diantaranya
pengaturan ruangan kelas masih bercampur antara akhwat dan ikhwan,
pengadaan tempat sholat bagi siswa yang masih kurang, tidak ada
kelonggaranwaktu shalat wajib maupun sunnah siswa, tidak ada pelatihan
guru untuk mengimplementasikan KIT, dan lain sebagainya.
Di dalam agama Islam dikenal dua alat proses belajar mengajar
yang penting yakni akal/pikiran (aql) dan hati (qalb). Akan tetapi,
pembelajaran saat ini lebih didominasi oleh akal/pikiran. Hal ini akan
berdampak pada lemahnya islamisasi ilmu pengetahuan melalui KIT
(Muhammad Syukri Saleh, 2013). Penggunaan akal/pikiran saja kurang
mampu membuat siswa menghayati ilmu pengetahuan yang diajarkan.
Penulis meyakini bahwa metode atau model pembelajaran apapun yang
digunakan, selama hanya dengan pendekatan akal/pikiran maka akan sulit
membentuk karakter siswa. Mungkin secara aspek pengetahuan, siswa
akan memahami materi pembelajaran dengan atau tanpa penggunaan
pendekatan heart to heart, tapi tidak untuk akhlaq dan budi pekerti siswa.
Pendekatan pembelajaran dari hati ke hati akan lebih efektif
digunakan dengan komunikasi tidak langsung (indirect communication).
Komunikasi tidak langsung tersebutdapat dilakukan guru dengan melalui
mimiq wajah, lambaian tangan, cara menegur siswa, empati, kasih
sayang, motivasi, dan bentuk-bentuk perlakuan yang dapat menyentuh
hati. Selain itu perhatian guru juga penting untuk mendekatkan hubungan
emosional guru dengan siswa.
Penggunaan masjid sangat vital dalam pendidikan pada zaman
Rasulullah SAW. Tamuri dkk (2012) menyatakan bahwa masjid sebagai
tempat paling utama yang digunakan Rasulullah dalam mendidik dan
membina para sahabat. Periode tersebut berlangsung ketika nabi berada
di Madinah. Tidak hanya sebagai tempat mengajarkan ilmu keislaman,
masjid juga menjadi tempat Rasul mengembangkan karakter kaum
muslimin.
Sekulerisasi pendidikan membuat peran masjid berkurang dalam
kegiatan pendidikan di sekolah islam. Dewasa ini, pembelajaran hanya
terfokus di dalam ruangan kelas. Hanya sedikit sekali kegiatan belajar
mengajar dilakukan di masjid. Masjid sekolah hanya digunakan sebagai
tempat shalat berjamaah dan kegiatan-kegiatan keagamaan tertentu.
Dalam mengimplementasikan KIT, peran masjid sekolah sangat
penting dalam pelaksanaan muatan lokal yang diselenggarakan. Selain
itu, kegiatan ekstrakurikuler yang menunjang pengembangan sikap
spiritual maupun sosial siswa lebih baik dilakukan di masjid. Disamping
untuk membiasakan siswa datang ke masjid, implementasi KIT akan
lebih bermakna karena dilakukan pada rumah Allah SWT. Dengan cara
ini diharapkan siswa akan dapat merasakan ketenangan ketika berada di
Masjid.
Selain ketiga penguatan diatas, tentu masih banyak lagi yang
harus diupayakan dalam menguatkan implementasi KIT. Hal ini sangat
penting guna mempersiapkan para generasi emas Rabbani abad 21 untuk
menyongsong kejayaan islam kembali. Generasi yang tidak hanya pakar
dalam bidang keilmuan tertentu, tetapi menjadikan Allah sebagai tujuan
dalam hidupnya dan mampu memberikan manfaat untuk ummat dengan
wawasan keilmuannya.

REFERENSI:
Moedjiono, I. (2002). Konsep dan implementasi pendidikan Islam
terpadu. JPI FIAI Jurusan Tarbiyah , 78 - 86.
Hasyim, N. & Langgulung, H. (2008). Islamic religious curriculum in
muslim countries: The Experiences of Indonesia and Malaysia.
Bulletin of Education and Research, 30(Integrated Islamic
Curriculum), 1 - 19.
Saleh, M. S. (2013). Strategizing Islamic education. International
Journal of Education and Research, 1-14.
Sholehah Bt Yacoob, Madame Rahimah Bt Embong. (2008). The concept
of an integrated Islamic curriculum and its implication for
contemporary Islamic school. The International Conference in
Islamic Republic of Iran (pp. 1-16). Iran: Isesco.
Suyatno. (2015). Sekolah Islam terpadu. Al-Qalam, 1-10.
Tamuri, A.H., Ismail, M.F., Jasmi, K.A. (2012). A new aproach in
Islamic education: Mosque based teaching and learning. Jurnal of
Islamic and Arabic Education, 1-10.
Weldon Beckner, Joe D. Cornett. (1972). The secondary school
curriculum content and structure. Texas: Intext Educational
Publishers.
REVOLUSI PENDIDIKAN MELALUI STEM

Agus Arlingga
agus_arlingga@yahoo.com
Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

Menurut Undang-undang Republik Indonesia tentang Sistem


Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar
siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara, serta menjadi warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab (Undang-undang RI, 2003).
Sebagaimana juga dituangkan dalam kebijakan Kurikulum 2013 yang
bertemakan: menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, dan
inovatif melalui penguatan sikap (tahu mengapa), keterampilan (tahu
bagaimana), dan pengetahuan (tahu apa) yang terintegrasi agar dapat
menghadapi dan mengimbangi tantangan globalisasi (Hosnan, 2014).
Apabila dilihat dari kedua tujuan di atas, bahwa kurikulum 2013 sangat
mendukung tujuan dari Undang-undang RI melalui poin keterampilan.
Oleh karena itu, menurut Chiappetta (2010) terdapat berbagai cara
dalam belajar sains agar peserta didik mampu mengaplikasikan pelajaran
yang didapat dalam kehidupan sehari-hari (terampil), berdasarkan
kedalamannya ada empat cara mempelajari sains: (1) sains sebagai cara
berpikir; (2) sains sebagai cara untuk menyelidiki; (3) sains sebagai
pengetahuan; (4) sains dan interaksinya dengan teknologi dan
masyarakat. Sehingga menurut Firman (2015) Dari keempat cara belajar
sains tersebut, saat ini pembelajaran sains memberikan porsi berlimpah
kepada cara belajar sains sebagai pengetahuan, akan tetapi sains dan
interaksinya dengan teknologi dan masyarakat serta budaya, sains sebagai
cara untuk menyelidiki, dan sains sebagai cara berpikir masih kurang
diaplikasikan oleh pendidik.
Seperti paragraf sebelumnya, bahwa untuk menghasilkan insan
Indonesia yang sesuai dengan tujuan Kurikulum 2013, kita tidak bisa
hanya berpedoman dengan teori yang dikemukakan oleh Chiappetta
terkait cara dalam belajar sains, karena didalam teori beliau belum
adanya sains yang menghasilkan produk sedangkan tuntutan dari
kurikulum 2013 adalah menghasilkan insan Indonesia yang terampil
(produktif, kreatif, dan inovatif) (Kemdikbud, 2013). Oleh karena itu
perlu adanya teori tambahan yang berfungsi agar pembelajar dapat
berjiwa produktif, kreatif dan inovatif.
Kurikulum 2013 yang diluncurkan oleh pemerintah tidak akan
dapat mengatasi permasalahan kualitas dan kuantitas sumberdaya
manusia Indonesia yang berdaya saing global, apabila tidak secara
sistematik menyiapkan mereka untuk mengembangkan pengetahuan,
keterampilan dan sikap yang dipersayaratkan dunia kerja Abad ke-21,
sebagaimana diwujudkan dalam Pembelajaran STEM (Firman, 2015;
Cachaper et al., 2008; Cullum et al., 2007; Hynes & Santos, 2007)).
English (2015, 2016) juga mengatakan bahwa ada kekhawatiran yang
berkembang di dunia internasional sekarang ini, agar dapat
mengembangkan pendidikan STEM untuk mempersiapkan siswa yang
berkarakter ilmiah dan berteknologi maju di masyarakat. Dan juga
menurut Becker (2011) bahwa siswa membutuhkan pengetahuan STEM
agar siap untuk kuliah dan pekerjaan. Selain itu juga, bahwa menurut
Bybee & Feinstein (2010 & 2011) sekarang ini, dunia sudah berubah
dengan cepat, sehingga pengembangan kemampuan untuk menerapkan
pengetahuan STEM untuk pribadi dan ligkungan harus dilakukan dengan
segera.
Untuk mengatasi hal tersebut, pendidikan dengan pendekatan
STEM bisa menjadi kunci bagi menciptakan generasi penerus bangsa
yang mampu bersaing di kancah global. Dan juga menurut para ahli
bahwa pendidikan sains, teknologi, engineering, dan matematika (STEM)
adalah hal yang penting dalam tren pendidikan saat ini (Berlin & Lee,
2005; Kuenzi, 2008; Reiss & Holman, 2007; State Educational
Technology Directors Association [SETDA], 2008). Oleh sebab itu,
Pembelajaran STEM perlu menjadi kerangka-rujukan bagi proses
pendidikan di Indonesia ke depan walaupun disiplin dan karir yang
terkait dengan STEM belum menjadi sesuatu yang menarik bagi siswa
yang telah menerapkan STEM seperti di Amerika (Apedoe et al., 2008;
Basalyga,2003; Cachaper et al., 2008; Lam et al., 2008). STEM adalah
akronim dari science, technology, engineering, and mathematics (Firman,
2015). Kata STEM diluncurkan oleh National Science Foundation AS
pada tahun 1990an sebagai tema gerakan reformasi pendidikan dalam
keempat bidang disiplin tersebut untuk menumbuhkan angkatan kerja
bidang-bidang STEM, serta mengembangkan warga negara yang melek
STEM, serta meningkatkan daya saing global AS dalam inovasi iptek
(Hanover Research, 2011) sehingga berimbas banyaknya program
pendidikan guru di Amerika Serikat yang berfokus pada acara-cara
meningkatkan kualitas dalam mengajar dan mengintegrasikan disiplin
STEM (Lederman & Lederman, 2013).
Firman (2015) menjelaskan bahwa sebagai komponen dari
STEM, sains adalah kajian tentang fenomena alam yang melibatkan
observasi dan pengukuran, sebagai wahana untuk menjelaskan secara
obyektif alam yang selalu berubah. Terdapat beberapa domain utama dari
sains pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, yakni fisika, biologi,
kimia, serta ilmu pengetahuan kebumian dan antariksa. Teknologi adalah
tentang inovasi-inovasi manusia yang digunakan untuk memodifikasi
alam agar memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia, sehingga
membuat kehidupan lebih baik dan lebih aman.
Teknologi-teknologi membuat manusia dapat melakukan
perjalanan secara cepat, berkomunikasi langsung dengan orang di tempat
berjauhan, mendapatkan makanan yang sehat, serta alat-alat keselamatan.
Enjiniring (engineering) adalah pengetahuan dan keterampilan untuk
memperoleh dan mengaplikasikan pengetahuan ilmiah, ekonomi, sosial,
serta praktis untuk mendesain dan mengkonstrruksi mesin, peralatan,
system, material, dan proses yang bermanfaat bagi manusia secara
ekonomis dan ramah lingkungan. Matematika adalah ilmu tentang pola-
pola dan hubungan, dan menyediakan bahasa bagi teknologi, sains, dan
teknik.
Setelah melihat pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa
pendidikan yang berbasis STEM akan menghasilkan pendidikan yang
produktif, akan tetapi didalam pendidikan STEM ini, perlulah untuk
dimasukkan pelajaran yang mengangkat fenomena lingkungan dan
masyarakat sekitar. Agar pendidikan Indonesia selain mampu
menghasilkan generasi produktif melalui pendidikan STEM yang telah
terintegrasi tetapi juga mampu menghasilkan generasi yang kreatif.
Seperti yang diutarakan oleh beberapa para ahli, bahwa kreativitas
dianggap elemen penting dari pemecahan masalah (Runco 2004; Aleman,
1992; Darling-Hammond, 1994), berpikir kritis (Abrami et al. 2008;
Aleman, 1992; Darling-Hammond, 1994), ilmu pengetahuan (Kind dan
Jenis 2007), dan desain rekayasa (Christiaans dan Venselaar 2005;
Aleman, 1992; Darling-Hammond, 1994).
Oleh karena itu, apabila Pendidikan Indonesia melalui
kurikulumnya berintegrasi dengan Pendidikan STEM yang peka terhadap
permasalahan masyarakat dan lingkungan sekitar. Maka, pendidikan
Indonesia akan melahirkan generasi-generasi penerus bangsa yang
Produktif serta Kreatif dan akan mampu bersaing pada abad 21.

REFERENSI:
Abrami, P. C., Bernard, R. M., Borokhovski, E., Wade, A., & Michael,
A. (2008). Instructional interventions affecting critical thinking
skills and dispositio.

Aleman, M. P. (1992). Redefining “teacher.” Educational leadership,


50(3), 97.

Apedoe, X. S., Reynolds, B., Ellefson, M. R., & Schunn, C. D. (2008).


Bringing Engineering Design into High School Science Classrooms:
The Heating/Cooling Unit. Journal of Science Education and
Technology, 17(5), 454–465.

Basalyga, S. (2003). Student interest in engineering is on decline. Daily


Journal of Commerce, Retrieved Feb 24, 2017 from
http://findarticles.com/p/articles/mi_
qn4184/is_20030611/ai_n1004581/

Becker, K., & Park, K. (2011). Effects of integrative approaches among


science , technology , engineering , and mathematics ( STEM )
subjects on students â€TM learning : A preliminary meta-analysis.
Journal of STEM Education, 12(5), 23–38.
https://doi.org/10.1037/a0019454

Berlin, D. F., & Lee, H. (2005). Integrating Science and Mathematics


Education : Historical Analysis. School Science and Mathematics,
105(January), 15–24. https://doi.org/10.1111/j.1949-
8594.2005.tb18032.x

Billstein, Libeskind, R., Lott, S., & Johnny, W. (2010). A Problem


solving approach to mathematics to elementary school teacher (10th
ed.). Boston.

Bybee, R. W. (2010). What is STEM education? Science, 329(5995),


996. https://doi.org/10.1126/science.1194998
Bybee, R. W. (2013). The case for STEM education: Challenges and
opportunity. National Science Teachers Association (NSTA) Press.

Cachaper, C., Jacobsen, L., Dahl, B., Dietrich, C. B., Rosenzweig, M.,
Tabor, L., Fortune, J. C., & Edmister, W. (2008). Aalborg
Universitet Universities as Catalysts for Community Building
among Informal STEM educators : The Story of POISED.

Christiaans, H., & Venselaar, K. (2005). Creativity in design engineering


and the role of knowledge: Modelling the expert. International
Journal of Technology and Design Education, 15(3), 217–236.

Cullum, J., Childress, V., Dorward, J., Hailey, C., Householder, D., &
Maurizio, D. (2007). Infusing engineering design into the
technology education curriculum professional development model.
NCETE.

Darling-Hammond, L. (1994). No Title. Education Digest, 60, 4–8.

English, L. D., & King, D. T. (2015). STEM learning through


engineering design: fourth-grade students’ investigations in
aerospace. International Journal of STEM Education, 2(1), 14.
https://doi.org/10.1186/s40594-015-0027-7

English, L. D. (2016). STEM education K-12: perspectives on


integration. International Journal of STEM Education, 3(1), 3.
https://doi.org/10.1186/s40594-016-0036-1

Firman, H. (2015). Pendidikan Sains Berbasis STEM: Konsep,


Pengembangan dan Peranan Riset Pascasarjana. In Pendidikan Sains
Berbasis STEM: Konsep, Pengembangan dan Peranan Riset
Pascasarjana. Bogor: Seminar Nasional Pendidikan IPA dan PKLH
Program Pascasarjana Universitas Pakuan.

Hanover Research (2011). K-12 STEM education overview.Retrieved


from www.hanoverresearch.com

Hosnan, M. (2014). Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam


Pembelajaran Abad 21. Bogor: Ghalia Indonesia.
Hynes, M. M., & dos Santos, A. (2007). Effective Teacher Professional
Development: Middle School Engineering Content. International
Journal of Engineering Education, 23(1), 24–29.

Kemdikbud. Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,


Pub. L. No. 68 (2013).

Koballa, T. R., & Chiappetta, E. L. (2010). Science Instruction in The


Middle and Secondary Schools: Developing Fundamental
Knowledge And Skills. United State of America: Pearson Education
Inc.

Kuenzi, J. J. (2008). Science , Technology , Engineering , and


Mathematics ( STEM ) Education : Background , Federal Policy ,
and Legislative Action. Energy, (RL33434), 1–7.
https://doi.org/10.12973/eurasia.2014.1070a

Lam, P., Doverspike, D., Zhao, J., Zhe, J., & Menzemer, C. (2008). An
Evaluation of a STEM Program for Middle School Students on
Learning Disability Related IEPs. Journal of STEM Education,
9(1&2), 21–29.
Lederman, N. G., & Lederman, J. S. (2013). Is it STEM or “S & M” that
We Truly Love? Journal of Science Teacher Education, 24(8),
1237–1240. https://doi.org/10.1007/s10972-013-9370-z

Reiss, M., & Holman, J. S.-T.-E.-M. working together for schools and.
(2007). S-T-E-M working together for schools and colleges. The
Royal Society., 1, 1–8.

Runco, M. A. (2004). Creativity. Annual Review of Psychology, 55(1),


657–687. https://doi.org/10.1146/annurev.psych.55.090902.141502

Sisdiknas. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun


2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4301, (c), 1–26.
https://doi.org/10.1024/0301-1526.32.1.54

State Educational Technology Directors Association. (2008). Science,


Technology, Engineering, & Math. Glen Burnie.
Undang-undang Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional
No. 20 Tahun 2003

INVESTOR SWASTA DAN PEMBERDAYAAN PUTRA DAERAH,


SOLUSI PEMERATAAN PENDIDIKAN
DI INDONESIA

Nelvianti
nelvianti4@gmail.com
Sekolah Dasar Plus Marhaman Padang

Pendidikan sudah tentu penting. Mengatasi masalahnya jauh lebih


penting. Lalu apa masalah pendidikan di Indonesia saat ini? Jika dirunut
satu persatu, tentu masih banyak masalah pendidikan yang kita hadapi.
Tapi inti dari semua itu adalah pemerataan pendidikan.Bagaimana
pendidikan layak dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Dua hal besar yang disorot dalam pemerataan pendidikan adalah
pembangunan sekolah dan guru. Sebab ujung tombak dari
ketidakmerataan pendidikan dan terbatasnya akses pendidikan yang layak
adalah persoalan sarana dan prasarana. Tidak dapat dipungkiri bahwa
pembangunan sekolah di Indonesia tidak merata baik negeri maupun
swasta. Di kota-kota besar di Indonesia, sekolah negeri yang tak layak
huni sangat kontras dengan sekolah swasta yang sebagian besar
terfasilitasi dengan lengkap bahkan terlihat mewah. Lumrahnya
pemandangan kontras ini tidak terlihat sama sekali di daerah terdepan,
terluar, dan tertinggal (3T). Di kota-kota besar, sekolah swasta menjamur
dan menjadi primadona, sementara di daerah terpencil tidak ditemukan
satupun sekolah swasta. Di Bandung Timur misalnya, sejauh pengamatan
penulis hampir setiap tahun terjadi pertumbuhan sekolah swasta, baik
jenjang TK/ PAUD maupun SD.
Di lain sisi, para lulusan kependidikan lebih memilih mengajar di
sekolah swasta daripada menghonor atau mengabdikan diri di sekolah
negeri. Sebab apa? Sekolah swasta menjanjikan finansial yang lebih baik
daripada sekolah negeri. Ini tentu berbeda kasusnya bagi guru PNS, bagi
guru yang belum berstatus PNS, menghonor di sekolah negeri dengan
bayaran ala kadarnya tentulah bukan hal yang menarik, walaupun
mengajar di sekolah negeri ‘sedikit lebih santai’, tidak terlalu banyak
tuntutan seperti di sekolah swasta. Namun agaknya, masalah tuntutan,
urusan ke sekian menurut mereka, masalah kesejahteraan adalah yang
utama.
Kenapa lebih difokuskan kepada sekolah swasta? Keterbatasan
pemerintah adalah hal yang berusaha dimaklumi. Dan harus diakui peran
swasta masih sangat besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Bertolak dari hal ini, kita coba temukan solusi. Solusinya adalah dengan
menarik para investor. Jika membangun sekolah negeri di daerah 3T
tidak memungkinkan, kenapa tidak dicoba dengan sekolah swasta?
Secara kasat mata, perbedaan hanya terletak pada ‘kepemilikkan’, hal
yang dapat diabaikan sebenarnya. Tepatnya yang kita tilik adalah
kebermanfaatannya bukan masalah negeri atau swastanya, karena
masalah sekolah adalah masalah kebutuhan. Selagi keberadaan suatu
sekolah dibutuhkan, maka sekolah tersebut akan terus memberi manfaat
pada lingkungan sekitarnya, yang penting lingkungan mendukung.
Berita baiknya, di kota-kota besar para orangtua kalangan
menengah atas lebih memilih memasukkan anak-anaknya ke sekolah
swasta, lalu kenapa tidak kita ciptakan euforia yang sama di daerah 3T.
Judulnya, ‘sekolah swasta untuk kaum miskin’, sudah barang tentu
masyarakat di daerah 3T berbondong-bondong memasukkan anaknya ke
sekolah swasta yang secara fasilitas berbeda dengan sekolah negeri,
namun secara biaya tetap sama, alias gratis, tidak ada pemungutan biaya
untuk sekolah. Sehingga euforia yang sama tetap dirasakan, tidak di kota,
tidak di desa. Dengan persuasif kita bisa mengajak orang tua untuk tidak
membuat pilihan terhadap pendidikan anaknya. Tidak ada pilihan,
‘Bagaimana kalau tidak usah sekolah? Karena tidak ada biaya’
Sekarang masalahnya bukan pada orang tua (lagi), jika sudah
teratasi kita lihat ke para investor. Bagaimana cara menarik investor
dengan mudah? Kita bidik investor karena pemerintah dan orang tua
bukanlah sasaran utama seperti yang kita kaji sebelumnya. Kita
memaklumi kondisi orang tua di daerah 3T yang masih terbatas pada
sudut pandang. Sudut pandang yang berbeda dengan negara lain. Jika di
daerah pedalaman India, sekolah-sekolah kecil (swasta) didanai secara
mandiri oleh orang tua siswa, tentu di Indonesia kita tidak bisa
mengawalinya dengan hal itu. Kita harus mengawalinya dengan
menumbuhkan kesadaran terlebih dahulu. Untuk itu cara paling efektif
dan efisien adalah dengan menarik investor. Ada beberapa alasan yang
membuat investor mau menginvestasikan dananya untuk membangun
sekolah, mayoritas alasannya adalah ‘bisnis pendidikan’. Di kota besar
para investor berpacu membangun sekolah karena berada di tengah
lingkungan yang mendukung (banyak kalangan menengah ke atas yang
membutuhkan) sehingga income yang didapat lebih besar. Di daerah 3T
tentu alasannya berbeda, tidak bisa seperti itu, para investor harus
mengedepankan sedikit ‘sisi kemanusiannya’. Maka usaha kita adalah
bagaimana mengetuk sisi kemanusian setiap orang untuk peduli kepada
sesama saudaranya. Ini memang bukan diawali dari hal yang kecil, tidak
diawali dari diri sendiri, kita langsung mengawalinya dari hal yang besar,
‘berkerjasama’. Coba kita lihat berapa banyak ‘orang kaya’ di Indonesia,
mana yang lebih banyak jumlahnya dengan kaum miskin? Rasanya tidak
sedikit jumlah penduduk yang berkemampuan finansial lebih, dan jika
pun jumlahnya lebih sedikit, satu orang yang berkemampuan lebih
tersebut masih dapat membantu beberpa puluh orang miskin. Masih
imbang, jika investor dengan investor, investor dengan pemerintah, mau
berkerjasama untuk pendidikan Indonesia yang layak dan merata. Tolak
ukurnya adalah pendidikan yang layak untuk semua kalangan.Untuk hal
ini diperlukan pengawasan yang ketat. Sekolah tidak boleh menyimpang
dari tujuan pendidikan yang sebenarnya.Yang berusaha kita bangun
adalah sekolah yang bersih, sekolah yang tujuannya murni mencerdaskan
kehidupan anak bangsa.
Ada istilah, “As is the state, so is the school” (sebagaimana
negara, seperti itulah di sekolah). Seperti itulah perumpamaannya.
Bagaimana sekolah harus menjadi agen perubahan sosial (school as an
agent of social change). Indikator utama untuk sekolah dengan ciri khas
semacam ini ada dua, pertama, sekolah berkontribusi positif terhadap
pasar kerja dan yang kedua eksistensi sekolah diakui oleh masyarakat
yang tergambar dari dukungan tinggi masyarakat terhadap lingkungan
sekolah anak-anak mereka.
Lalu selanjutnya apa? Pemberdayaan guru melalui pemberdayaan
masyarakat setempat. Tak dipungkiri berbagai upaya telah dilakukan
pemerintah dalam pemerataan penyebaran guru di seluruh Indonesia.
Mulai dari program pengiriman guru ke daerah 3T hingga berbagai
macam jenis beasiswa pendidikan. Program tersebut cukup bagus, hanya
saja ada beberapa kelemahan yang harus dievaluasi.
Program pengiriman guru ke daerah 3T yang dicanangkan
Pemerintah selama ini bersifat periodik. Program ini tidak bersifat
permanen karena lakonnya bukan putra daerah sendiri. Jika program
selesai, mereka peserta program akan balik ke kampung halaman masing-
masing, berganti dengan guru baru yang perlu adaptasi ulang baik bagi
peseta didik maupun guru itu sendiri. Pertanyaannya, sampai berapa lama
kontinuitas itu akan terjaga? Sementara setiap proses penyeleksian guru
yang akan dikirm ke daerah 3T memakan dana yang tidak sedikit. Akan
lebih baik dana yang tidak sedikit tersebut betul-betul dianggarkan untuk
program yang memiliki efek domino jangka panjang, bidikannya adalah
putra dan putri dari daerah 3T itu sendiri.
Akan menjadi kasus yang berbeda jika pelakunya adalah putra
daerah. Tidak ada istilah ‘balik kampung’ karena mereka dilahirkan dan
mengabdi di daerah sendiri. Sekarang bagaimana caranya
memberdayakan mereka untuk membangun kampung halaman sendiri.
Sudah tentu melalui pendidikan tinggi. Hanya saja pendidikan tinggi
tidak terlalu menarik minat mereka. Melalui wawancara dengan beberapa
orang teman yang ditugaskan di daerah 3T, ditemukan fakta bahwa kaum
muda penduduk setempat (daerah 3T) tidak mempunyai tekad yang kuat
untuk berpendidikan tinggi. Tingkat pendidikan mereka rata-rata adalah
SMA. Selepas SMA mereka lebih memilih mengadu nasib ke luar
daerah/provinsi daripada harus melanjutkan pendidikan. Pekerjaan yang
paling banyak mereka lakoni adalah sebagai penjaga toko atau buruh
pabrik. Dalam pikiran mereka lebih enak menghasilkan uang sendiri
daripada harus berpikir keras untuk kuliah yang menyita waktu cukup
lama.
Alhasil, yang tinggal di kampung adalah para ‘tunas bangsa’ yang
siap merekah dengan indah jika ‘pupuknya’ pas. Selama ini ‘pupuknya’
didatangkan dari luar darah tersebut, sekarang bagaimana kalau
pemerintah memberdayakan “pupuk lokal”.
Hal selanjutnya yang harus dilakukan setelah menarik investor
swasta adalah mengedukasi masyarakat setempat. Ini kita balik, seperti
yang dikaji sebelumnya, kita tidak mengawalinya dari menumbuhkan
kesadaran orang tua dulu, karena akan butuh proses yang panjang untuk
sampai pada titik ‘orang tua mau mendanai sekolah (membangun
sekolah) anaknya secara mandiri’ seperti yang dilakukan para orang tua
di Hyderabad, India. Langsung kita awali dengan suatu yang lebih besar,
melalui ‘pemberian’ atau hadiah dari para investor dengan
membangunkan sekolah gratis yang berkualitas.
Perihal menumbuhkan kesadaran akan pentingnya pendidikan
tinggi bagi mereka, terutama bagi kaum mudanya, tentu juga bukan hal
yeng terbilang ‘kecil’ sebenarnya, jika tadi kita menyebut, membangun
sekolah adalah hal yang ‘besar’. Nasehat lisan belaka tentubukan solusi
yang tepat, harus ada aksi real sebagai wujud keseriusan usaha tersebut.
Wujud tersebut sebenarnya sudah lumrah dilakukan, yakni pemberian
beasiswa. Sekarang bagaimana kita poles sedikit sistemnya, bukan hanya
sekedar beasiswa, melainkan beasiswa ikatan dinas, semacam STAN dll.
Tapi ini terfokus ke jurusan pendidikan, selama ini yang baru ada
mengacu pada bidang perpajakan dan pemerintahan. Ikatan dinas untuk
menjadi guru di daerah sendiri bagi putra dan putri daerah 3T akan
terdengar lebih menarik. Mereka putra dan putri daerah yang memenuhi
persyaratan dari segi umur diikutsertakan semua, tidak ada perlu ‘embel-
embel’ dari kalangan miskin dan berprestasi. Embel-embel miskin dan
berprestasi hanya akan mempersempit ruang lingkup penyebaran
beasiswa. Yang penting mereka sudah melalui jenjang pendidikan SD,
SMP, dan SMA. Selanjutkan diarahkan untuk menempuh pendidikan
tinggi pada jurusan kependidikan yang tujuannya setelah lulus untuk
menjadi guru. Teknisnya seperti biasa, hanya sasaran dan fokusnya
berbeda. Mereka terikat surat kontrak bermaterai yang isinya mengenai
tanggung jawab untuk menyelesaikan study dan siap kembali ke daerah
asal untuk mengajar di sekolah-sekolah yang telah dibangun investor
swasta tersebut, tidak berbeda jauh dengan surat pernyataan dari
Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI). Mereka bebas melanjutkan
pendidikan di kampus mana saja di Indonesia, semisal UPI, UNJ, UNY,
atau yang lainnya, tapi yang ditawarkan hanya jurusan
kependidikan.Untuk tahap awal cukup kampus dalam negeri yang
ditawarkan, kedepan tidak menutup kemungkinan merambah ke kampus
luar negeri.Tapi beasiswa ini berdiri sendiri, seperti beasiswa BUDI,
tidak termasuk dalam BPI.
Sebenarnya banyak solusi dalam usaha memberikan pendidikan
yang layak dan pemerataan pendidikan di Indonesia, seperti ‘banyak
jalan menuju Roma’. Sekarang pilihannya ada pada kita, berani
menjalankan solusi tersebut atau tidak.Memang tidak semudah
membalikkan telapak tangan, berbicara pun tidak semudah
menjalankan.Tapi dengan satu keyakinan, bersama kita bisa.

REFERENSI:

Tooley, J. (2013). Sekolah untuk Kaum Miskin. Yogyakarta: Penerbit


Alvabet

PENDIDIKAN ALA PAULO FREIRE SEBAGAI


JAWABAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN INDONESIA

Muhammad Luthfi Hamdani


luthfihamd2@gmail.com
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim

Kondisi pendidikan di Indonesia meskipun sudah melalui banyak


perbaikan lewat kebijakan (policy) pemerintah,berupa penyesuaian
kurikulum dan anggaran pendidikan dalam APBN, masih saja ditemui
banyak kekurangan. Misalnya dari segi sarana-prasarana, akses
pendidikan dan biaya-biaya tambahan yang mahal, rendahnya relevansi
pendidikan dengan kebutuhan kualitas dan kuantitas guru yang rendah
dan rendahnya prestasi siswa. Belum lagi rendahnya kesadaran peserta
didik terhadap lingkungan sosial dan ekologisnya.
Idealnya dengan peningkatan anggaran yang sedemikian besar,
bisa mengatasi banyak problematika yang selama ini jadi keluhan dalam
dunia pendidikan kita. Namun realita di lapangan masih saja ada sekolah
yang tidak layak bahkan bangunannya hampir roboh, demonstrasi guru-
guru sebab merasa di diskriminasi kepastian status dan gaji, pelajar yang
putus sekolah sebab tuntutan penghidupan dan biaya sekolah tidak
terjangkau, belum lagi ditambah tingkat pengangguran kita yang tinggi.
Menurut survey Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2016
ditemukan 50 juta orang atau hampir 40% angkatan kerja Indonesia (di
atas 15 tahun) hanya menamatkan SD. 21 juta orang hanya menamatkan
SMP. Dan hanya 11,1 juta yang menamatkan bangku kuliah. Secara
keseluruhan, berdasar data BPS, 60% dari lulusan SD tidak bisa
melanjutkan ke SMP. Hal ini sebab biaya, kurang ruang kelas dan guru.
Disisi lain, kondisi demografis penduduk Indonesia tengah
berubah. Hal ini disebabkan perkembangan teknologi, kemudahan akses
informasi dan pergaulan yang semakin global, yang bisa di artikan
melampaui batas-batas teritori serta budaya dari satu negara. Maka dalam
teori generasi muncul istilah generasi milenial.
Secara umum, siswa maupun mahasiswa yang saat ini masih
menempuh studi adalah mereka yang termasuk generasi milenial atau
generasi Y. Merujuk artikel Aulia Adam dalam Tirto.id (2017)
diungkapkan bahwa Generasi Milenial, yang juga punya nama lain
Generasi Y, adalah kelompok manusia yang lahir di atas tahun 1980-an
hingga 1999. Mereka disebut milenial karena satu-satunya generasi yang
pernah melewati milenium kedua sejak teori generasi pertama kali
dikenalkan.
Karakteristik dari generasi ini menurut laporan Alvara Research
Center (Februari 2017) disingkat menjadi 3C, yaitu: Creative (biasa
berpikir out of the box, kaya ide dan gagasan), Confidence (percaya diri
dan berani mengungkapkan pendapat tanpa ragu) dan Connected (pandai
bersosialisasi dan pengguna aktif internet).
Sehingga, dari fenomena diatas, dua tantangan utama pendidikan
kita memasuki abad 21 adalah: pertama, belum meratanya akses terhadap
pendidikan sebab kesenjangan sosial-ekonomi. Kedua, Ketidakmampuan
pendidikan melahirkan manusia Indonesia yang punya daya kritis, berani
berinovasi dan tanggap terhadap kondisi zaman dimana mereka berada.
Menurut hemat penulis, salah satu inspirasi atau solusi alternatif yang
bisa digunakan adalah paradigm, teori pendidikan ala Paulo Freire.
Freire lahir pada tanggal 19 September 1921 di Recife, Timur
Laut Brasilia. Masa kecilnya dilalui dalam situasi penindasan karena
orang tuanya yang kelas menengah jatuh miskin pada tahun 1929.
Setamat sekolah menengah, Freire kemudian belajar Hukum, Filsafat,
dan Psikologi. Freire terkenal dengan gagasan pendidikan alternatifnya,
yang memiliki inti pada proses penyadaran, pembebasan dan perbaikan
kondisi mereka yang lemah atau marginal.
Masyarakat feodal-hirarkis merupakan struktur masyarakat yang
umum berpengaruh di Amerika Latin ketika Freire hidup. Kondisi yang
masih jamak ditemui di Indoenesia saat ini. Dalam masyarakat feodal
yang hirarkis ini terjadi perbedaan mencolok antara strata masyarakat
“atas” dengan strata masyarakat “bawah”. Golongan atas atau mereka
yang mampu secara ekonomi dan sosial menjadi penindas masyarakat
bawah dengan kekuasaan politik dan akumulasi kekayaan, sehingga
menyebabkan golongan masyarakat bawah menjadi semakin miskin yang
sekaligus semakin menguatkan ketergantungan kaum tertindas kepada
para penindas itu. Juga menghilangkan daya kritis, inovasi dan kesadaran
atas lingkungan dari mereka yang tertindas.
Secara umum, pola pendidikan kita juga mash mirip dengan
model yang oleh Freire dianggap sebagai pendidikan ‘gaya bank’.
Pendidikan ‘gaya bank’ dilihatnya sebagai salah satu sumber yang
mengokohkan penindasan dan kebisuan itu. Secara sederhana Freire
menyusun daftar antagonisme pendidikan ‘gaya bank’ itu yaitu: Pertama,
Guru mengajar, murid belajar. Kedua, Guru tahu segalanya, murid tidak
tahu apa-apa. Ketiga, Guru berfikir, murid difikirkan. Keempat, Guru
bicara, murid mendengarkan. Kelima, Guru mengatur, murid diatur.
Keenam, Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti.
Ketujuh, Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak
sesuai dengan tindakan gurunya. Kedelapan, Guru memilih apa yang
akan diajarkan, murid menyesuaikan diri. Kesembilan, Guru
mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang
profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan
murid-murid. Kesepuluh, Guru adalah subyek proses belajar, murid
obyeknya.
Suatu kondisi dan model pendidikan yang dikritsi oleh Freire.
Sehingga Freire menawarkan model pendidikan hadap masalah. Anak
didik menjadi subyek yang belajar, subyek yang bertindak dan berpikir,
dan pada saat bersamaan berbicara menyatakan hasil tindakan dan buah
pikirannya. Begitu pula sang guru. Jadi keduanya (murid dan guru) saling
belajar satu sama lain, saling memanusiakan. Dalam proses ini, guru
mengajukan bahan untuk dipertimbangkan oleh murid dan pertimbangan
sang guru sendiri diuji kembali setelah dipertemukan dengan
pertimbangan murid-murid, dan sebaliknya.
Hubungan keduanya-pun menjadi subyek-subyek, bukan subyek-
obyek. Obyek mereka, adalah realita sosial dan lingkungan. Maka
terciptalah suasana dialogis yang bersifat intersubyektif untuk memahami
suatu obyek bersama. Secara sekilas pendidikan ini menawarkan model
dimana guru dan murid sama-sama belajar demi merumuskan dan
memecahkan permasalahan yang mereka hadapi. Tak ada yang merasa
lebih tahu, guru bisa menjadi murid, murid bisa menjadi guru. Dengan
kata lain: semua orang itu guru.
Gagasan dan konsep pendidikan Paulo Freire menjadi solusi yang
relevan guna mengatasi problem pendidikan kita di abad 21 setidaknya
sebab dua alasan: pertama, Akses pendidikan kita yang masih belum bisa
dinikmati semua kalangan masyarakat. Data BPS tahun 2016 bahwa 60%
dari lulusan SD tidak bisa melanjutkan ke SMP menunjukkan bagaimana
masih banyak generasi masa depan bangsa yang terpaksa berhenti
mendapat pendidikan sebab faktor sosial dan ekonomi. Perhatian khusus
Freire secara pemikiran maupun aksi langsung terhadap kelompok
marjinal yaitu mereka yang tinggal di perkampungan kumuh di Chili dan
Brasil, kelompok petani atau buruh tani lebih tepatnya dan kelompok
marginal lain dalam struktur masayarakat, menunjukkan bahwa
merekalah subyek pendidikan yang perlu medapat perhatian dan fasilitas
khusus.
Kesadaran bahwa masih banyak kelompok masyarakat yang
belum sepenuhnya mampu mengakses pendidikan bisa menjadi motivasi
bagi pemerintah guna memberikan perhaian lebih lewat strategi juga
kebijakan mereka, maupun bagi pihak swasta yang secara swadaya terjun
langsung terlibat dalam proses pendidikan bagi ‘kelompok marjinal’
tersebut. Pemerataan pendidikan ini menjadi penting sebab semakin
timpang akses pengetahuan dan pendidikan negara kita maka akan
semakin melanggengkan ‘budaya bisu’, mendorong mereka yang ‘lebih
berpendidikan’ untuk mengeksploitasi yang lemah, serta semakin jauh
dari harapan bangsa kita untuk mewujudkan keadilan sosial.
Kedua, Kondisi persaingan bisnis serta teknologi yang
sedemikian cepat berkembang di abad 21. Hal ini selain memunculkan
kemajuan juga menghadirkan pragmatisme berupa tindakan koruptif,
kerusakan lingkungan hidup sebab eksploitasi yang berlebihan dan gaya
hidup konsumeris dalam masyarakat. Perkembangan abad 21 tersebut
mengharuskan pendidikan kita untuk melahirkan manusia Indonesia yang
kreatif dan mampu memunculkan inovasi dengan nilai tambah tinggi
dalam mengelola kekayaan sumberdaya alam (bukan hanya
mengeksploitasinya), menyikapi perkembangan teknologi secara positif
dan kritis, mampu menangkap fenomena ketidakadilan sosial dan
kerusakan lingkungan serta berani menyampaikan argumentasinya secara
terbuka. Juga mampu menghapus diskriminasi sebab faktor gender, suku,
agama, ras dan antargolongan dalam kehidupan sosial.
Karakteristik ideal manusia Indonesia seperti ini, selain didukung
oleh karakter demografis pelajar kita yang tergolong generasi milenial
dengan segala kelebihannya, bisa muncul jika dalam proses pendidikan
sudah di-biasa-kan, dalam istilah Freire, dengan: melakukan proses
dialogis-dialektis, secara kritis sadar akan peran dirinya sebagai manusia,
terbiasa mengekspresikan diri dan terus berkreasi, dan secara praktik
terbiasa memahami pertentangan-pertentangan sosial dan ekonomi serta
melawan unsur-unsur ketidakadilan dalam situasi tersebut.
Tentu saja banyak aspek lagi yang bisa menjadi contoh konsep
pendidikan ideal dari Paulo Freire. Misalnya secara teknis dalam
penggunaan bahasa, peran pekerja sosial, proses koinsistensi dan
sebagainya. Tapi bagaimanapun, pendidikan kita kedepan menghadapi
abad 21 harus lebih mengutamakan proses humanis atau ‘memanusiakan
manusia’ sebagaimana pembahasan diatas.

REFERENSI:

Alvara Research Center. (2017). The Urban Middle Class Indonesia:


Financial and Online Behaviour. Jakarta

Data survey BPS, 2016

Freire, Paulo. 2007. Politik Pendidikan, Kebudayaan, kekuasaan dan


Pembebasan. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.

http://regional.kompas.com/read/2017/11/20/22300041/digaji-rp-
150.000-ratusan-guru-honorer-demo-tuntut-upah-yang-layak.
(diakses 17 Desember 2017)
Aulia Adam. Tirto.id (2017)
MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR SISWA UNTUK
MELANJUTKAN PENDIDIKAN KE PERGURUAN TINGGI
MELALUI PENYULUHAN DI JAWA BARAT

Muhtar M. Solihin
muhtar_ms@apps.ipb.ac.id
Pascasarjanan Institut Pertanian Bogor

Pembangunan sebagai proses perubahan sosial yang direncanakan


(planned change) bertujuan memperbaiki kualitas kehidupan sosial
masyarakat menjadi lebih sejahtera darisebelumnya. Pembangunan
menjadi sebuah ideologi semua negara termasuk Indonesia dalam
mengejar ketertinggalannya di berbagai aspek untuk menjadi negara yang
lebih baik, maju dan berdikari. Soedarsono (2000) memandang bahwa
pembangunan nasional dilaksanakan merata di seluruh wilayah tanah air
untuk, dari dan oleh seluruh masyarakat di berbagai aspek kehidupan
sosial.Namun demikianpembangunan tersebutmasih dihadapkan pada
kurang tersedianya sumberdaya manusia yang berkualitas karena masih
rendahnya partisipasi masyarakat yang ada khususnya di bidang
pendidikan. Padahal salah satu strategi untuk meningkatkan sumber daya
manusia dapat dilakukan melalui jalan pendidikan, baik informal, formal
maupun nonformal.
Peran penting sumber daya manusia (selanjutnya SDM) yang
berkualitas tersebut membuktikan sebuah fakta empiris bahwa negara
yang memiliki SDM tinggi seperti Jepang, Singapore, Korea Selatan dan
Taiwan dapatmenjadi negara yang lebih maju sehingga semakin
diperhitungkan di kancah dunia internasional. Hal tersebut menjadikan
SDM sebagai salah satu faktor kunci untuk mencapai keberhasilan
pembangunan bangsa secara global. Rangkaian peningkatan SDM
tersebut dapat dilakukan setiap orang secara langsung maupun tidak
langsung yang terlibat di dalam proses kegiatan belajar informal, formal
dan non formal.
Belajar informal diperoleh di dalam lingkungan keluarga, rumah
tangga, sistem kerabat dan di level mikro lainnya. Proses belajar formal
dilakukan melalui bangku sekolah mulai dari kelompok bermain (play
group) sampai dengan pencapaian gelar akademik tertinggi yakni
program sekolah pascasarjana (S3) atau doktor. Sedangkan proses belajar
non formal merupakan serangkaian kegiatan belajar di luar sistem
sekolah yang lebih banyak menawarkan pilihan-pilihan terkait dengan
keterampilan-keterampilan hidup (life skill) karena individu kurang
mendapat peluang mengikuti proses belajar formal (Tjiptoherijanto &
Nagib 2008).
Hanya saja peningkatan kapasitas SDM melalui pendidikan
formal memperlihatkan fakta bahwa angka partisipasi sekolah (APS)
Indonesia saat ini masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara
lain seperti Malaysia dan Singapura. Angka Partisipasi Kasar (APK)
Indonesia saat ini baru mencapai 28 persen atau berada di bawah
Malaysia yang telah mencapai 43 persen bahkan Singapura sudah
mencapai 63 persen. APK Indonesia tingkat SMP/MTs sekitar 89,98
persen, tingkat SMA/MA masih berkisar 80,44 persen. Sementara APK
untuk perguruan tinggi lebih rendah lagi, yaitu baru mencapai 23,44
persen atau berkisar 5,8 juta orang dari jumlah anak usia belajar di
perguruan tinggi yang mencapai 21 juta orang. Dengan demikian,
terdapat sekiar 15 juta pemuda Indonesia yang terpaksa menjadi tenaga
kerja murah atau bahkan pengangguran (Ganet 2014, Kemendikbud
2015, BPS 2016, Kemristekdikti 2016).
Lebih dari itu Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan
Indonesia spesifik lokasi Jawa Barat tahun 2015 tergolong rendah yang
hanya mencapai 19,40 persen atau masih di bawah rata-rata nasional
yang mencapai 22,95 persen. Padahal Jawa Barat khususnya Kota
Bandung, Bogor dan Depok memiliki perguruan tinggi yang termasuk
kelompok terbaik di Indonesia, seperti ITB, UI, IPB dan Unpad sehingga
tidak heran banyak calon mahasiswa dari Jawa Barat, provinsi lain
bahkan dari negara tetangga mendaftar di perguruan tinggi
tersebut.Kondisi APK Jawa Barat tersebut menjadikan tingkat partisipasi
masyarakat Jawa Barat untuk kuliah di perguruan tinggi masuk kategori
rendah.
Selain itu angka pencapaian partisipasi yang hanya 19,40 persen
tersebut masih jauh di bawah provinsi lain seperti Yogyakarta (49,17
persen); Maluku (36,60 persen); Maluku Utara (31,25 persen); Sumatera
Barat (33,13); dan NAD (33,07 persen). Dilihat dari data jumlah
penduduk Jawa Barat pada tahun yang sama mencapai 46,7 juta jiwa
sementara APK hanya 19,40 persen dari usia sekolah sekitar 3,7 juta jiwa
maka artinya bahwa pemuda Jawa Barat yang tidak menempuh jenjang
pendidikan tinggi lebih dari sekitar 2 juta jiwa (Kemendikbud 2015, BPS
2016, Kemristekdikti 2016).
Disisi lain Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki angka
pernikahan anak terbesar ketiga (52,26%) setelah Kalimantan Selatan
(53,71%) dan Jawa Timur (52,89%). Sebuah penelitian lainmenyebutkan
bahwa pernikahan dini menjadi salah satu pilihan untuk ditempuh anak
setelah lulus dari SMA/sederajat (BPS 2015, BPS Jabar 2015,
Pusdalisbang 2015). Lebih lanjut data BPS tahun 2014 mencatat bahwa
jumlah pemuda usia kuliah yang menikah tertinggi berada di wilayah
perdesaan dan berasal dari kalangan perempuan. Data tersebut dapat
dilihat pada tabel 1 di bawah ini:

Tabel 1 Proporsi Pemuda yang Menikah Menurut Kelompok


Umur, Tipe Daerah dan Jenis Kelamin
Perkotaan Perdesaan
Kelompok
Umur Laki- Peremp Laki- Perempu
L+P L+P
laki uan laki an
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
16-20 2,62 12,40 7,49 4,57 28,40 16,03
21-25 21,78 52,13 36,72 35,45 78,02 56,59
26-30 60,57 85,33 73,06 72,39 93,58 83,12
Pemuda 28,49 50,62 39,52 38,19 68,25 53,07
Sumber: BPS 2014

Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa untuk tiap kelompok umur


proporsi pemuda perempuan yang menikah selalu lebih tinggi daripada
proporsi pemuda laki-laki yang menikah baik di perkotaan maupun di
pedesaan.Proporsi pemuda di pedesaan yang menikah, (baik laki-laki
maupun perempuan dan untuk tiap kelompok umur) lebih tinggi daripada
proporsi pemuda di perkotaan. Proporsi pemuda di pedesaan yang
menikah pada kelompok umur 16-20 tahun mencapai dua kali lipat
proporsi pemuda di perkotaan yang menikah pada kelompok umur yang
sama. Sementara itu, pada kelompok umur 21-25 tahun proporsi pemuda
pedesaan yang mencapai 56,59 persen sementara proporsi pemuda di
perkotaan yang menikah di perkotaan hanya sebesar 36,72 persen.
Apabila mengacu hasil penelitian Puryati et al. 2016 dapat dilihat
bahwa faktor yang menyebabkan rendahnya minat remaja untuk
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi karena kurangnya dorongan
motivasi dari orangtua akibat orangtua beranggapan pendidikan tidaklah
penting. Hal yang dianggap penting bagi mereka adalah anak lebih baik
langsung bekerja sehingga bisa segera menghasilkan uang daripada
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi yang justru akan banyak
mengeluarkan uang. Sementara disisi lain untuk mengembalikan modal
dari biaya kuliah akan sangat lama. Dalam hal ini upaya orangtua yang
menginginkan anaknya langsung bekerja setelah lulus SMA/sederajat
dengan mengajarkan anak untuk bekerja diladang. Melalui bekerja di
ladang, orangtua berkeyakinan bahwa anak bisa mendapatkan gaji yang
lebih tinggi daripada gaji dari seorang PNS.
Faktor lainnya masih banyak pandangan atau ketakutan orangtua
yang membayangkan tingginya biaya pendidikan di perguruan tinggi.
Terlebih lagi bagi mereka yang berasal dari pelosok di daerah yang
minim wawasan terkait seluk beluk perguruan tinggi termasuk belum
banyak mengetahui informasi adanya beasiswa yang telah disediakan
pemerintah maupun swasta. Padahal saat ini beasiswa sudah banyak
tersedia sebagai upaya pemerintah maupun swasta untuk membantu
mempercepat pembangunan melalui pendidikan seperti beasiswa
Bidikmisi yang dikeluarkan Kemendikbud, beasiswa Orbit, beasiswa
supersemar, beasiswa yayasan Habibie Ainun dan lain sebagainya.
Alhasil ketika minimnya informasi tersebut maka menikah adalah jalan
lain khususnya bagi perempuan selain memilih bekerja setelah lulus
sekolah.
Berdasarkan hal tersebut penulis telah melakukan sebuah proses
pemahaman kesadaran kepada siswa kelas XII di tiga wilayah Jawa Barat
(Cirebon, Jatinangor, Bogor) tentang seluk beluk perguruan tinggi
dengan tujuan meningkatkan motivasi belajar siswa untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang selanjutnya. Outcomes yang diharapkan tentu
untuk meningkatkan sumberdaya manusia yang berkualitas melalui jalan
pendidikan tinggi. Proses yang dilakukan penulis tersebut menggunakan
konsep pembelajaran dalam pendidikan nonformal seperti yang
diungkapkan Marzuki (2012) dan Suprijanto (2012) bahwa pendidikan
nonformal dapat dilakukan melalui banyak cara, bisa dengan pelatihan,
kunjungan, temu wicara, diskusi terfokus (focus group discusion),
sekolah lapang dan lain-lain.
Oleh karena itu penulis melakukan pemahaman kesadaran untuk
meningkatkan motivasi belajar siswa melanjutkan pendidikan
menggunakan perpaduan metode (seminar, tanya jawab/diskusi, ice
breaking) dan pemanfaatan media (presentasi, audio visual) yang ada.
Pemanfaatan beragam perpaduan metode dan media pembelajaran
bertujuan meningkatkan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik siswa
sehingga tercipta motivasi mereka untuk melanjutkan pendidikan ke
perguruan tinggi. Tujuan tersebut dirancang berdasarkan analisis masalah
dan kebutuhan siswa kelas XII di Jawa Barat sehingga indikator acuan
keberhasilan penyampaian materi dilihat dari hasil evaluasi sederhana
yang dilakukan.
Peningkatan aspek kognitif berhasil ketika hasil evaluasi
menunjukkan bahwa siswa menjadi tahu tentang sistem pembelajaran di
perguruan tinggi termasuk informasi adanya beasiswa yang dapat
dimanfaatkan. Peningkatan aspek afektif dikatakan berhasil ketika siswa
termotivasi untuk mau belajar ke jenjang lebih tinggi sebagai upaya
meningkatkan kemampuan diri. Sementara peningkatan aspek
psikomotor dapat dinilai berhasil apabila siswa dapat memutuskan untuk
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi sebagai jalan meningkatkan
kapasitas diri. Terkait aspek terakhir tersebut hanya dapat dilihat ketika
siswa sudah benar-benar menjadi mahasiswa di salah satu perguruan
tinggi melalui pemanfaatan beasiswa.
Proses penyampaian materi di atas sama halnya dengan kegiatan
penyuluhan yang merupakan kegiatan pendidikan nonformal untuk
mengubah perilaku kahalayak sasaran pada aspek kognitif, afektif dan
psikomotorik dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mau menjadi mau
dan dari yang semula tidak mampu menjadi mampu untuk melakukan
perubahan diri ke arah lebih baik. Perubahan diri tersebut pada akhirnya
sebagai sebuah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan diri mereka
sendiri. Proses penyampaian materi yang disampaikan penulis
menggunakan pendekatan teori belajar sosial yang dikemukakan Albert
Bandura (1977) bahwa perilaku individu dapat terbentuk melalui
prosespembelajaran observasi (observational learning) dengan peniruan
(imitation) dan pemodelan (modeling). Selain itu pembelajaran observasi
akan lebih berhasil ketika menerapkan prosedur penghargaan (reward)
dan hukuman (punishment) dalam pembelajaran yang sedang
berlangsung.
Berdasarkan hal tersebut maka penulis sebagai narasumber
memainkan peran yang penting sebagai seorang model yang
menampilkan perilaku untuk dapat dilakukan peniruan (imitation).
Artinya hasil dari penyampaian materi oleh narasumber, maka siswa
kelas XII termotivasi untuk mengikuti apa yang telah dilakukan sumber
informasi lebih dulu, yaitu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi
setelah lulus SMA melalui pembiayaan negara (beasiswa). Hasil evaluasi
sederhana dengan cara menanyakan langsung kepada peserta sebelum
dan setelah pemaparan materi menunjukkan bahwa penggunaan beragam
metode dan media disertai prosedur reward dan punishment memiliki
tingkat keberhasilan yang lebih baik daripada yang tidak.
Dalam penerapannya di daerah Jatinangor dengan sedikit
permainan baik teka-teki maupun ice breaking berikut hadiah sebagai
reward. Daerah Cirebon tanpa adanya permainan sama sekali namun
tetap diberikan hadiah bagi peserta yang mau bertanya, dan di daerah
Bogor dengan banyak permainan dan hadiah yang jumlahnya tidak jauh
berbeda dengan daerah lain. Hasil evaluasi sederhana menunjukkan
bahwa peningkatan motivasi/minat siswa di daerah Bogor lebih tinggi
dibandingkan dengan daerah Jatinangor maupun Cirebon. Daerah
Jatinangor berada pada urutan terahir atau dengan peningkatan motivasi
paling rendah dan Cirebon pada urutan kedua.
Hasil evaluasi tersebut menunjukkan bahwa siswa kelas XII di
daerah banyak yang menginginkan kuliah namun terkendala pembiayaan
termasuk kurangnya informasi terkait beasiswa. Penyampaian informasi
atas kendala mereka secara tepat dan menarik membuka wawasan, dan
peluang mereka untuk mau melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi
sekalipun terkendala ekonomi. Meskipun demikian pencapaian
keberhasilan penyuluhan yang dilakukan baru dapat dilihat pada aspek
kognitif dan afektif saja. Sementara aspek psikomotorik belum dapat
dilihat karena memerlukan evaluasi lebih lanjut dengan cara pembuktian
kepada mereka yang benar-benar melanjutkan pendidikan tinggi sebagai
dampak dari kegiatan.
REFERENSI:

Badan Pusat Statistik Jawa Barat. (2015). Angka partisipasi sekolah


(APS) penduduk usia 7-24 menurut kabupaten/kota dan
kelompok umur tahun 2011-2015. Bandung (ID): BPS Jabar

Badan Pusat Statistik. (2015). Persentase Penduduk Usia 7-24 Tahun


Menurut Jenis Kelamin, Kelompok Umur Sekolah, dan
Partisipasi Sekolah 2002-2015. Jakarta (ID): BPS

______________. 2016. Angka Partisipasi Sekolah Menurut Propinsi.


Jakarta (ID): BPS

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2015.


Indonesia Educational Statistics in Brief 2014/2015. Jakarta
(ID): MoEC

Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi Republik Indoneisa. 2016.


Puspawarna Pendidikan Tinggi 2011-2015. Jakarta (ID): Sekjen
Kemristekdikti RI
Balai Pusat Data dan Analisis Pembangunan. 2015. Indikator Makro
Pembangunan Kabupaten/Kota: Bandung (ID): Bapedda Jawa
Barat

Bandura A. 1977. Social Learning Theory. New Jersey: Prentice-Hall

Ganet. 2014. Angka Partisipasi Kasar Indonesia Masih Rendah.


[internet]. [diakses pada 2017 Desember 01]. Tersedia
pada:http://www.antarabanten.com/berita/21920/angka-
partisipasi-kasar-indonesia-masih-rendah

Marzuki S. 2012. Pendidikan Nonformal. Bandung: Remaja Rosdakarya

Puryati W, Indrayani NM. 2016. Faktor Penyebab Rendahnya Minat


Remaja Untuk Melanjutkan Pendidikan Ke Perguruan Tinggi
Dan Solusinya “Study Kasus di Desa Harapan Jaya Kecamatan
Semendawai Timur Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur”.
Journal : Lampung. STIAH

Soedarsono, N. 2000. Pembangunan Berbasis Rakyat (Community Based


Development). Jakarta (ID): Yayasan Melati Bhakti Pertiwi

Suprijanto. 2012. Pendidikan Orang Dewasa dari Teori Hingga Aplikasi.


Jakarta: Bumi Aksara

Tjiptoherijanto P, Nagib L. 2008. Pengembangan Sumber Daya


Manusia: di antara Peluang & Tantangan. Jakarta (ID): LIPI
Press

Anda mungkin juga menyukai