Anda di halaman 1dari 10

PROSIDING PIT KE-5 RISET KEBENCANAAN IABI

UNIVERSITAS ANDALAS, PADANG 2-4 MEI 2018

MODEL PENDIDIKAN KEBENCANAAN DI KABUPATEN


KLATEN

R. Muh. Amin Sunarhadi1, Suharjo2, M. Musiyam2, Miftahul Arozaq2, Budi


Santoso1 dan Harun Joko Prayitno2
1Lembaga Penanggulangan Bencana (LPB/MDMC), PP Muhammadiyah, Jl. KHA Dahlan No. 103,
Yogyakarta, Indonesia, email: amin.sunarhadi@gmail.com
2Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jl. A. Yani Pabelan,

Kartasura, Sukoharjo 57162, email:suharjo@ums.ac.id

ABSTRACT
This paper aims to describe the models of disaster education that have been
implemented in Klaten District. Models are compared among them to obtain
patterns of implementation of existing activities and find out the advantages and
disadvantages of existing models of disaster education. The data source are from
stakeholder kebencaaan in Klaten District, both from local government in this case
is BPBD Klaten, and disaster volunteer representative in Klaten Regency.
Effectiveness of Disaster Education in Klaten Regency had been used as the
supporting data. There are 5 (five) models of disaster education in Klaten District.
Each model evolves based on the needs and availability of school resources or
community groups focusing on sustainability, the school's extra-curricular model,
as well as a focus model on mass engagement as a government program.
Keywords : disaster education; integration of disaster material

ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan untuk dapat memamparkan mengenai model-model
pendidikan kebencanaan yang telah terselenggara di Kabupaten Klaten. Model
yang ada dibandingkan untuk mendapatkan pola pelaksanaan kegiatan yang ada
dan mengetahui kelebihan dan kekurangan model-model pendidikan
kebencanaan yang sudah berjalan. Data yang digunakan berasal dari stakeholder
kebencaaan di Kabupaten Klaten, baik dari pemerintah daerah dalam hal ini
adalah BPBD Klaten, serta perwakilan relawan kebencanaan di Kabupaten Klaten.
Sebagai pendukung, dipergunakan data kajian efektivitas pembelajaran
pendidikan kebencanaan di Kabupaten Klaten. Terdapat 5 (lima) model
pendidikan kebencanaan di Kabupaten Klaten. Setiap model berkembang
berdasarkan kebutuhan dan ketersediaan sumberdaya sekolah atau kelompok
masyarakat baik yang fokus pada keberlanjutan, yaitu model ekstra kurikuler
sekolah, maupun model fokus pada keterlibatan massal sebagai program
pemerintah.
Kata kunci : pendidikan kebencanaan; integrasi materi bencana

1. PENDAHULUAN
Wilayah Indonesia yang terletak di daerah iklim tropis dengan dua musim yaitu
panas dan hujan memiliki konsekuensi adanya perubahan cuaca, suhu dan arah
angin yang cukup ekstrim. Kondisi iklim seperti ini digabungkan dengan kondisi

638
PROSIDING PIT KE-5 RISET KEBENCANAAN IABI
UNIVERSITAS ANDALAS, PADANG 2-4 MEI 2018

topografi permukaan dan batuan yang relatif beragam, baik secara fisik maupun
kimiawi, menghasilkan kondisi tanah yang subur. Sebaliknya, kondisi itu dapat
menimbulkan beberapa akibat buruk bagi manusia seperti terjadinya bencana
hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan kekeringan.
Masyarakat Indonesia harus memiliki ketangguhan dalam menghadapi ancaman
yang dirasakan semakin meningkat. Seiring dengan berkembangnya waktu dan
meningkatnya aktivitas manusia, kerusakan lingkungan hidup cenderung semakin
parah dan memicu meningkatnya jumlah kejadian dan intensitas bencana
hidrometeorologi (banjir, tanah longsor dan kekeringan) yang terjadi secara silih
berganti di banyak daerah di Indonesia (BNPB, 2016). Jumlah masyarakat dan
luasan wilayah yang terdampak yang semakin besar menuntut adanya upaya
preventif berupa pendidikan kebencanaan sejak dini.
Pendidikan kebencanaan merupakan salah satu upaya langsung dalam
pengurangan risiko bencana. Harapannya, pada saat terjadi bencana, dapat
meminimalkan jumlah korban. Pendidikan kebencanaan diharapkan juga
menyiapkan generasi Bangsa Indonesia untuk memiliki ketangguhan untuk
mengembalikan kehidupan menjadi lebih baik pada saat pasca bencana.
Inisiasi pendidikan kebencanaan sebagai bagian pengurangan risiko bencana (PRB)
dilakukan Lembaga Penanggulangan Bencana (LPB) Muhammadiyah atau yang
dikenal sebagai Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) sejak Tahun
2006. Program saat itu dikenal dengan nama Child Disaster Awareness for School
and Communities (CDASC). Bentuk kegiatannya dengan melakukan pendampingan
sekolah pasca bencana dan pengembangan perangkat pembelajaran bertema
bencana. Program tersebut menjadi pembelajaran baik (good practices) bagi
MDMC untuk membangun program Sekolah Siaga Bencana (SSB). Termasuk
kemudian adanya partisipasi MDMC dalam pengembangan Kerangka Kerja
Sekolah Siaga Bencana pada Tahun 2011 bersama-sama lembaga lain dalam
Konsorsium Pendidikan Bencana (KPB).
Mandat pelaksanaan pendidikan sebagai bagian PRB menguat dalam Forum
Internasional untuk promosi pendidikan ketangguhan bencana yang menjadi
bagian salah satu forum publik pada World Conference on Disaster Risk Reduction
(WCDRR) pada tanggal 14 Maret 2015. Tujuan forum ini adalah untuk
mempertemukan para pemangku kepentingan dan pihak lain yang peduli dengan
pendidikan bencana untuk berbagi pengalaman dan pelajaran mereka yang
beragam dan untuk lebih meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi bencana di
masyarakat melalui pendidikan bencana. Para peneliti dan akademisi dari
berbagai latar belakang mensepakati pada akhir pertemuan untuk menyampaikan
Deklarasi Sendai. Dalam Deklarasi Sendai itulah diperjelas pentingnya kedudukan
pendidikan PRB untuk ketangguhan bencana.
Pemerintah Kabupaten Klaten merupakan salah satu wilayah yang memiliki risiko
bencana yang beragam. Secara wilayah administrasi Kabupaten Klaten

639
PROSIDING PIT KE-5 RISET KEBENCANAAN IABI
UNIVERSITAS ANDALAS, PADANG 2-4 MEI 2018

mempunyai variasi bentuklahan, dan mempunyai berbagai ancaman bencana baik


secara lingkungan berupa degradasi lingkungan, penurunan kualitas air tanah,
gunung meletus, banjir, angin puting beliung dan gempa bumi (Suharjo, 2015).
Pemerintah Kabupaten Klaten bersama masyarakat menyadari bahwa perlu
mengarusutamakan PRB termasuk pada sektor pendidikan. Hal ini ditunjukkan
dengan adanya peraturan bupati tentang implementasi pendidikan kebencanaan
yang ditetapkan dengan Perbub Kabupaten Klaten Nomer 6 Tahun 2014, yaitu
memasukkan kurikulum kebencanaan pada aktivitas sekolah. Pelaksana Perbup ini
adalah Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Klaten. Peran serta
masyarakat melalui organisasi lainnya juga tampak besar dengan adanya berbagai
kegiatan pendidikan kebencanaan di Kabupaten Klaten dengan ragam yang
berbeda.
Tulisan ini bertujuan untuk dapat memamparkan mengenai model-model
pendidikan kebencanaan yang telah terselenggara di Kabupaten Klaten.
Selanjutnya, secara deskriptif dilakukan pembandingan mengenai kelebihan dan
kekurangan model-model pendidikan kebencanaan yang sudah berjalan.

2. METODOLOGI
Data yang digunakan dalam kajian berasala dari stakeholder kebencanaan di
Kabuoaten Klaten. Sleain itu, data juga berasal dari hasil kajian mengenai
efektivitas pelaksanaan kegiatan pendidikan kebencanaan di Kabupaten Klaten.
Pengumpulan data dilakukan melalui forum Focus Group Discussion (FGD) yang
diselenggarakan di SMA Muhammadiyah 1 Klaten yang dihadiri BPBD Klaten
beserta stakeholder kebencanaan di Kabupaten Klaten. Data efektivitas
pembelajaran pendidikan kebencanaan berasal dari penelitian kolaboratif
mahasiswa dan dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta. Pengolahan
data dilakukan secara deskriptif dimana pengambilan kesimpulan dilakukan
dengan melihat pola dari deskripsi dan data kuantitatif.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Perkembangan pendidikan kebencanaan sangat beragam. Misalnya yang
dilakukan MDMC yang dimulai dari program CDASC berlanjut dengan beberapa
kegiatan. Misalnya, program SekolahMu Aman yang dilakukan di Magelang dan
Malang pada Tahun 2014.
Salah satu bentuk lain dalam pendidikan bencana adalah implementasi kerja sama
UMS dan Lund University Swedia di SMA Muhammadiyah 1 Klaten yang dilakukan
dengan model partisipasi siswa (Sunarhadi, dkk. 2014). Model di SMA
MUhammadiyah 1 Klaten mengedepankan partisipasi siswa sebagai bentuk
pelaksanaan hak anak dalam poendidikan pengurangan risiko bencana. MDMC
juga menjalankan program nasional Sekolah/Madrasah Aman Bencana (SMAB)
sebagai pendidikan PRB inklusif bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus
bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Laporan

640
PROSIDING PIT KE-5 RISET KEBENCANAAN IABI
UNIVERSITAS ANDALAS, PADANG 2-4 MEI 2018

Pendampingan SMAB Kemendikbud, 2016), salah satunya di SMP Muhammadiyah


1 Malang.
Pelaksanaan pendidikan PRB di sekolah/madrasah di Indonesia pada awalnya
diselenggarakan dalam bentuk Sekolah Siaga Bencana (SSB). Selanjutnya, kegiatan
sudah diarahkan pada bentuk kegiatan Sekolah/Madrasah Aman Bencana (SMAB).

3.1 Model Pendidikan Kebencanaan di Kabupaten Klaten


Berdasarkan data yang muncul dalam FGD diketahui bahwa terdapat 5 (lima)
model pendidikan kebencanaan yang berlangsung di Kabupaten Klaten. Model
yang dimaksud adalah:
1. Sekolah Siaga Bencana
2. Ekstra Kurikuler Mitigasi Bencana
3. Sekolah Ceria, Damai, dan Siaga Bencana (CERDAS)
4. “Sekolah” Sungai
5. Outbond Pembelajaran Kebencanaan

Sekolah Siaga Bencana (SSB) adalah sekolah yang memiliki kemampuan untuk
mengelola risiko bencana di lingkungannya. Kemampuan tersebut diukur dengan
dimilikinya perencanaan penanggulangan bencana oleh sekolah (pada waktu
sebelum, saat dan sesudah bencana). Hal ini didukung ketersediaan logistik,
keamanan dan kenyamanan di lingkungan pendidikan, infrastruktur, serta sistem
kedaruratan. Untuk mencapai hal tersebut maka perlu adanya pengetahuan dan
kemampuan kesiapsiagaan, prosedur tetap (standard operational procedure), dan
sistem peringatan dini (KPB, 2011).
Sebagai penciri, sekaligus tahap telah tuntasnya kegiatan, pada kegiatan SSB
adalah adanya penyelenggaraan simulasi menghadapai kejadian bencana. Hal ini
dimaksudkan untuk mengukur kemampuan sekolah dan dapat pula bersama
berbagai pihak terkait yang dilembagakan dalam kebijakan lembaga pendidikan
tersebut untuk mentransformasikan pengetahuan dan praktik penanggulangan
bencana dan pengurangan risiko bencana. Materi SSB mengakomodasikan
munculnya program Sekolah Madrasah Aman Bencana (SMAB) dari BNPB dan
Kemendikbud.
Program SSB di Kabupaten Klaten merupakan pembelajaran baik dari pendidikan
bencana yang dilaksanakan di SMA Muhammadiyah 1 Klaten bekerja sama dengan
Lund University. Pada Tahun 2014, SSB dilaksanakan pada 40 sekolah tingkat
SMA/SMK. Dilanjutkan pada tahun-tahun berikutnya hingga saat ini mencapai
sekitar 100-an sekolah yang sudah melaksanakan SSB. Peserta dari setiap sekolah
terdapat variasi dimana ada sekolah melibatkan hampir semua warga sekolah. Di
sekolah lainnya dapat terdiri atas rombongan belajar atau aktivis organisasi siswa.
Ekstra Kurikuler Mitigasi Bencana merupakan bentuk pengembangan dari SSB
yang dijalankan oleh BPBD Klaten. Hal ini ditujukan untuk menjaga keberlanjutan

641
PROSIDING PIT KE-5 RISET KEBENCANAAN IABI
UNIVERSITAS ANDALAS, PADANG 2-4 MEI 2018

SSB. Peserta ekstrakurikuler ini terbuka dan tidak wajib sehingga jumlahnya tidak
mencakup seluruh siswa. Namun, saat puncak kegiatan berupa simulasi dapat
meilbatkan hampir semua warga sekolah.
Pada Tahun 2016 terdapat 8 (delapan) sekolah yang melaksanakan ekstrakurikuler
mitigasi bencana ini, yaitu SMA 1, SMA 2, SMA Karanganom, SMK Kristen 5, SMK
Muhammadiyah 2, SMK Trucuk dan SMK 1 Klaten.
Sekolah Ceria, Damai, dan Siaga Bencana (CERDAS) diinisiasi oleh Peace
Generation dan Lazismu yang dikerjasamakan dengan MDMC PWM Jawa Tengah.
Kegiatan Sekolah CERDAS mengkombinasikan antara Sekolah Welas Asih dengan
materi perdamaian dan SSB di kalangan siswa sekolah.
Pelaksanaan Sekolah CERDAS terdiri atas 12 modul perdamaian dan 6 sesi SSB.
Sama seperti SSB yang lain, puncak pelaksanaannya ditandai dengan adanya
simulasi atau disebut sebagai gladi. Dua sekolah yang menjalankan Sekolah
CERDAS adalah SMP Negeri 2 Karanganom dan SMP Kristen 1 Klaten.
“Sekolah” Sungai adalah gerakan pengelolaan sungai yang diresmikan oleh
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) RI pada 7 Agustus 2016
di bantaran Sungai Woro Purba, Dusun Gunung Ampo, Desa Kemudo, Kecamatan
Prambanan, Kabupaten Klaten. Sekolah sungai melibatkan banyak pihak dan
komunitas relawan.
Visi yang diusung Sekolah Sungai Klaten adalah mewujudkan sungai Klaten
terbersih se-dunia Tahun 2045. Tujuan Sekolah Sungai Klaten adalah membangun
kesadaran dan tanggung jawab bersama dalam pengendalian pencemaran dan
degradasi sungai, meningkatkan kapasitas kelembagaan dalam pengurangan
resiko bencana, membangun perilaku manusia dalam pengelolaan sungai,
menjadikan sungai sebagai sumber pembelajaran inovatif, dan melipatgandakan
kemanfaatan ekososio sungai untuk ekonomi kreatif.
Pembelajaran yang berlangsung di “Sekolah” Sungai berupa pelatihan 3 hari di
dalam ruangan dan disusul adanya praktek bersih sungai. Pada Tahun 2016 diikuti
oleh 300 peserta terdiri dari perangkat desa, camat, relawan, dan para tokoh
masyarakat. Penyaji materi selain dari SAR Provinsi Jawa Tengah juga dari
kalangan akademisi UGM, dengan penyelenggara lintas Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) Klaten, ialah BPBD, PU, BLH, dan Dinas Pariwisata. Pada Tahun
2017 diikuti oleh 100 peserta.
Outbond (outward bound) pembelajaran kebencanaan merupakan kegiatan di
luar ruangan dengan menggunakan permainan perorangan maupun kelompok
untuk menyampaikan materi kebencanaan. Model yang dikembangkan oleh
MDMC Klaten ini memuat materi kesiapsiagaan untuk penyelamatan diri dan
dalam melaksanakan tanggap darurat penyelamatan orang lain. Materi dalam
outbond pembelajaran kebencanaan meliputi PPGD (pertolongan pertama gawat
darurat), pengetahuan gempa, pengetahuan banjir, pengetahuan gunung berapi,
cara menyelamatkan diri serta menolong, teknik survive di hutan, dan rappelling

642
PROSIDING PIT KE-5 RISET KEBENCANAAN IABI
UNIVERSITAS ANDALAS, PADANG 2-4 MEI 2018

(penggunaan tali sebagai jalur pintasan atau gantungan saat turun dari
ketinggian).
MDMC Klaten melaksanakan outbond pembelajaran kebencanaan dengan siswa-
siswa SMP Islam Nurul Mustofa Klaten. Lokasi kegiatan berada di komplek Rawa
Jombor Purba, Krakitan, Bayat. Instruktur yang mengajar pada kegiatan ini
semuanya berasal dari relawan MDMC yang telah terlatih dan sebagian sudah
bersertifikat. Relawan-relawan tersebut terbagi dalam beberapa kategori keahlian,
yaitu water rescue, SAR, psikososial, dan medis.
Berdasarkan deskripsi 5 (lima) model pendidikan kebencanaan yang dilakukan di
Kabupaten Klaten maka didapatkan 3 (tiga) pola pelaksanaanya.
Pola yang pertama adalah pendidikan kebencanaan di sekolah sebagai program
titipan atau sementara dengan pendampingan saat ada program/penunjukan dan
belum menjadi agenda pengelolaan sekolah. Model yang termasuk pola ini adalah
SSB, Sekolah CERDAS, dan outbond Pembelajaran Kebencanaan. Pola kedua adalah
melalui jalur ekstrakurikuler sebagai pembelajaran pilihan dan ditawarkan terus
meneruspada setiap tahun. Model yang termasuk pada pola ini adalah
Ekstrakurikuler Mitigasi Bencana

Tabel 1. Perbandingan Model Pendidikan Kebencanaan di Kabupaten Klaten

Model Waktu Fasilitator Kelebihan


SSB 13 kali tatap muka dan 6 orang Relawan BPBD Bersifat massal dan
banyak dilakukan di diwadahi adanya
lingkungan sekolah Jambore
Mitigasi Bencana Terjadwal rutin tiap Instruktur dari kakak Terjadwal dan masuk
minggu sekali dan kelas (peer teaching) dalam agenda rutin
banyak dilakukan di sekolah
lingkungan sekolah
Sekolah CERDAS 12 kali tatap muka MDMC dan pendidik Meliputi Materi Bencana
dilakukan di lingkungan yang sudah ToT Sosial selain Bencana
sekolah Alam
“Sekolah” Sungai 3 hari dilakukan di luar Komunitas, Relawan, Fokus satu fenomena
ruangan Pemerintah, Perguruan alam dan peserta dapat
Tinggi, tak terbatas
Outbond 1-2 hari dilakukan di luar Relawan kebencanaan Materi kontekstual dan
ruangan disesuaikan sumberdaya
Sumber: FGD Pendidikan Kebencanaan Kab. Klaten
Pola yang ketiga adalah pendidikan kebencanaan sebagai gerakan sehingga tujuan
utamanya adalah memobiliasasi untuk turun tangan langsung melakukan mitigasi.
Bentuk kegiatan dan waktunya disesuaikan dengan pihak terlibat. Model yang
masuk dengan pola ini adalah Sekolah Sungai Klaten.
Ketiga pola pendidikan kebencanaan, yang sebenarnya merupakan implementasi
pengurangan risiko bencana, mengarah pada kesiapsiagaan saja. Padahal, sesuai

643
PROSIDING PIT KE-5 RISET KEBENCANAAN IABI
UNIVERSITAS ANDALAS, PADANG 2-4 MEI 2018

dengan kedudukan PRB sebagai mainstream penanggulangan bencana saat ini,


tidak hanya dipersiapkan kesiapsiagaan saja namun juga mitigasi, baik secara
struktural maupun non struktural (Twigg, 2015).
Pendidikan kebencanaan merupakan bagian pembangunan
ketangguhan/resiliensi masyarakat (resilient community) terhadap bencana.
Pendidikan kebencanaan merupakan bagian untuk memperkuat ketangguhan
warga komunitas terhadap bencana melalui pendidikan (Modul Sekolah Aman
Kemendikbud, 2015). Dalam keseharian, ketangguhan seringkali disebut dengan
kapasitas dan kapasitas coping (coping capacity) dengan jangkauan makna yang
lebih luas (Twigg, 2009). Perilaku ketangguhan mencerminkan kemampuan
komunitas untuk menghadapi tekanan atau kesulitan untuk dapat bangkit kembali
pada kondisi sebelumnya (Susanti, A., 2016).

3.2 Good Practices Model Pendidikan Kebencanaan di Kabupaten Klaten


Kelima model pendidikan kebencanaan di Kabupaten Klaten memiliki kelebihan
dan kekurangan masing-masing. SSB memiliki kelebihan untuk menjangkau
kegiatan secara massal. BPBD dapat menggerakkan banyak sekolah meskipun
dengan kondisi sekolah yang beragam sumberdayanya. Dalam hal ini, peran
pemerintah sebagai bagian koordinasi sumberdaya memiliki peran penting.
Ektra kurikuler Mitigasi Bencana memiliki kelebihan dalam melakukan regenerasi
dan upaya menjaga keberlanjutan. Ekstra kurikuler Mitigasi Bencana menjaga
regenerasi dengan menggunakan siswa kelas yang lebih tinggi sebagai instruktur
di sekolah. Hal ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendalami leboh
lanjut materi dan ketrampilan kebencanaan. Selain itu, keberlanjutannya lebih
terjaga.
Sekolah CERDAS, sebagai kolaborasi materi SSB dan Sekolah Welas Asih,
dilaksanakan dengan menyajikan materi tidak terpaku pada bencana alam saja.
Materi perdamaian yang disajikan sekaligus mewakili pembahasan mengenai
bencana sosial.
“Sekolah” Sungai Klaten menempatkan kata “sekolah” sebagai gerakan bersama
untuk berubah memperlakukan sungai lebih baik dan lestari. Fokus garapan yang
pada jenis bencana terkait sungai, yaitu banjir, longsor, dan kualitas air. Hal ini
memungkinkan pendalama mengenai mitigasi dan kesiapsiagaan yang lebih
mendalam.
Outbond pembelajaran kebencanaan memiliki keunggulan dalam hal situasi
pelaksanaan pendidikan yang kontekstual karena dikombinasikan dengan
permainan sehingga memudahkan dalam memberikan motivasi. Pengalaman
langsung yang dirasakan siswa akan membuat pengalaman tersebut tersimpan
dalam jangka lama. Selain itu, materi yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan
dan sumberdaya memudahkan pelaksanaan kegiatan ini.

644
PROSIDING PIT KE-5 RISET KEBENCANAAN IABI
UNIVERSITAS ANDALAS, PADANG 2-4 MEI 2018

Diantara model pendidikan kebencanaan tersebut tidak dapat disimpulkan mana


model yang terbaik saat ini. Masing-masing memiliki kelebihan. Sementara
kekurangan yang umum ditemui antara lain adalah berkaitan kompetensi pendidik
dan perangkat pembelajaran. Merujuk pada Suprayoga Hadi (2009) dan Gwee, dkk
(2011) bahwa problematika pendidikan kebencanaan antara lain berkaitan bahan
ajar, pendidik, kurikulum, sarana prasarana, media pendidikan, perencanaan, manajemen
sekolah, dan rehabilitasi psikologi pasca bencana.
Materi pembelajaran dalam pendidikan kebencanaan di Kabupaten Klaten sudah
mendasarkan pada jenis bencana yang ada di Kabupaten Klaten. Namun, memang
belum spesifik terhadap sebarannya di kecamatan. Sehingga perlu perhatian
mengenai pertimbangan ancaman bencana sesuai dengan tingkat risiko bencana
yang ada pada setiap lokasi sekolah atau asal peserta didik. Selain itu, dirasakan
masih minimnya media pembelajaran mengenai bencana di Klaten. Penyusunan
perangkat pembelajaran beserta proses pembelajaran perlu dilakukan inovasi
pengembangan, misalnya bahan ajar dan media pembelajaran yang menarik
(Sunarhadi, M. A., Mauly H., Agus Supriyadi, 2015).
Mitchell, J.T. (2009) menyebutkan bahwa pustaka pendidikan kebencanaan
terpusat pada dua hal utama, yaitu membuat bahan ajar untuk pengajaran dan
kajian mengenai topik-topik apa saja yang harus dimasukkan. Sharpe J dan I.
Kelman (2011) menunjukkan bahwa ada tiga teori pendidikan geografi yang dapat
digunakan dalam konteks pendidikan terkait materi bencana, yaitu pengalaman
belajar (experiental learning), kecerdasan majemuk (multiple intelligences), dan teori
diri (self-theories).
Adapun penelitian terkait dengan efektivitas Perbub no 6 tahun 2014 pernah
dilakukan oleh (Dahroni, Sunarhadi, M. A., Astrid, 2016) yaitu efektivitas
pembelajaran kesiapsiagaan bencana di Kabupaten Klaten. Hasil riset
menunjukkan strategi pembelajaran model active learning yang tepat bisa
meningkatan karakter siswa dalam bekerjasama, mandiri menciptakan siswa yang
aktif memberikan sentuhan dan rangsangan daya ingat dan pikir siswa yang
dilakukan pada proses pembelajaran, namun materi yang ada belum memberikan
pemahaman pada wilayah risiko bencana. Hal senada pernah dilakukan penelitian
tentang pengembangan kurikulum yang berkarakter oleh (Musiyam, 2016).
Kurikulum harus bisa memanusiakan manusia yang selain religius dan memiliki
kemampuan serta ketrampilan intelektual handal, juga harus menjadi warga
negara yang baik dan aktif (good and active citizen), baik sebagai warga bangsa
maupun sebagai warga global (global citizen) dengan mengenal lingkungan spasial
atau lingkungan wilayah.

4. KESIMPULAN
Terdapat 5 (lima) model pendidikan kebencanaan di Kabupaten Klaten. Model
yang dimaksud adalah (i) Sekolah Siaga Bencana, (ii) Ekstra Kurikuler Mitigasi

645
PROSIDING PIT KE-5 RISET KEBENCANAAN IABI
UNIVERSITAS ANDALAS, PADANG 2-4 MEI 2018

Bencana, (iii) Sekolah CERDAS, (iv) “Sekolah” Sungai, dan (v) outbond pembelajaran
kebencanaan.
Masing-masing model berkembang berdasarkan kebutuhan dan ketersediaan
sumberdaya sekolah atau kelompok masyarakat. Model yang memiliki
keberlanjutan adalah sebagai ekstra kurikuler sekolah. Model yang memiliki
keterlibatan jumlah banyak atau massal adalah sekolah siaga bencana sebagai
program pemerintah yang bisa mengkombinasikan antara pelaksanaan melalui
intra kurikuler dan ekstra kurikuler.

5. DAFTAR PUSTAKA
 Anonim. 2016. Petunjuk Teknis Penerapan Sekolah Madrasah Aman Bencana
(SMAB). Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Jakarta.
 Suharjo. (2015). Model Pengelolaan Air Tanah Daerah Lereng Gunung Api Merapi di
Kabupaten Klaten, PUPT Tahun kedua. Surakarta: Direktorat Pembinaan Penelitian
Pada Masyarakat, Direktorat Pendidikan Nasional.
 Peraturan Bupati Klaten Nomor 6 Tahun 2014 tentang Panduan Pembelajaran
Kebencanaan di Kabupaten Klaten.
 Sunarhadi, R.M.A., Halwat, Mauly H., Supriyadi, Agus. 2014. Empowering students in
disaster risk reduction (DRR): A CRC project at Muhammadiyah 1 Senior High
School Klaten dalam Andersson, et. al. 2014. Child Rights, Classroom and School
Management. Lund University Commisioned Education, Lund. Sweden.
 Anonim. 2016. Laporan Pendampingan Sekolah Madrasah Aman Bencana (SMAB).
Direktorak Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus (PKLK) Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan. Jakarta.
 Konsorsium Pendidikan bencana (KPB). 2011. Kerangka Kerja Sekolah Siaga
Bencana.
 Twigg, J. 2015. Disaster Risk Reduction: mitigation and preparedness in
development and emergency programming. Good Practice Review No. 9. March
2004. Network , London.
 Anonim. 2016. Modul Sekolah Madrasah Aman Bencana (SMAB). Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB). Jakarta.
 Twigg, J. 2009. Characteristics of a Disaster Resilient Community. Interagency
Group. http://www.abuhrc.org/research/dsm/Pages/project_view.aspx? project=13.
Latitude Graphic Design. London.
 Susanti, A., 2016. Hubungan Bentuk Dukungan Psikososial dengan Resiliensi Pasca
Bencana Banjir Bandang. Jurnal Keperawatan, Kebidanan, dan Kesehatan
Masyarakat. Volume 3 No. 2 Tahun 2016. Pp. 101-103.
 Suprayoga Hadi. 2011. dalam Konsorsium Pendidikan Bencana (KPB) 2011.
 Gwee, Qiru. Takeuchi, Yukiko. Wen, Jet-Chau. Shaw, Rajib. 2011. Disaster Education
System in Yunlin County, Taiwan. Asian Journal of Environment and Disaster
Management, Vol. 3, No. 2 (2011) 189–203

646
PROSIDING PIT KE-5 RISET KEBENCANAAN IABI
UNIVERSITAS ANDALAS, PADANG 2-4 MEI 2018

 Sunarhadi, R.M.A., Halwat, Mauly H, Supriyadi, Agus, Rosmusson, Bodil. 2015.


Pengembangan Model Sekolah PAS (Prepare and Safe) dalam Pendidikan
Pengurangan Risiko Bencana. Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Ahli Bencana
Indonesia Tahun 2015.
 Mitchell, J.T. 2009. Hazards education and academic standards in the Southeast
United States. International Research in Geographical and Environmental
Education. Pages 134-148 | Published online: 02 Jun 2009
 Sharpe, J. & I. Kelman. 2011. Improving the disaster-related component of
secondary school geography education in England. Journal International Research
in Geographical and Environmental Education, Volume 20, 2011 - Issue 4 Pages
327-343, Published online: 30 Nov 2011.
 Dahroni, Sunarhadi, M.A., Astrid. 2016. Efektivitas Pembelajaran Kesiapsia-gaan di
Kabupaten Klaten. Seminar Nasional Active Learning. Kerja sama Universitas Widya
Dharma Klaten dengan Active Learning Facilitator Association (ALFA).
 Musiyam, M., 2016. Pengembangan Buku Ajar Ilmu Geografi Sekolah Menengah
Tingkat Atas Berbasis Kurikulum 2013. Hibah PTUPT.

647

Anda mungkin juga menyukai