Anda di halaman 1dari 25

LOMBA KARYA TULIS ILMIAH NASIONAL

DISASTER-GEOGRAPHY EDUCATION UNTAD 2021

Penerapan SPAB (Satuan Pendidikan Aman Bencana) Pada Siswa SDLB-A


Yaketunis Yogyakarta Dalam Membangun Masyarakat Tanggap Bencana

Diusulkan oleh:
Dina Nakita (19102010047) (2019)
Salsabela Nur Fauzia (19102010015) (2019)
Bastian Eldi (19108030052) (2019)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA


YOGYAKARTA
2021jjjjjjjj
Kata Pengantar
Daftar Isi
Abstrak

Dewasa ini, kondisi alam dan iklim yang ada di Indonesia semakin sulit
diprediksi. Aktivitas manusia yang banyak melakukan eksploitasi alam sehingga
terjadi pemanasan global dan adanya efek rumah kaca akibat revolusi industri
berpengaruh terhadap atmosfer bumi. Permasalahan ini menjadi tantangan
tersendiri bagi lembaga pendidikan terkait kesiapan masyarakat, terutamanya
generasi muda dalam memberikan pengajaran kepada siswa sehingga dapat
menyebarkan pengetahuan terhadap kesiapan masyarakat dalam menghadapi
bencana. Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) merupakan program
pendidikan yang dimaksudkan untuk mengurangi tingkat resiko bencana di
lingkungan sekolah. Program SPAB direalisasikan oleh Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan pada tahun 2010 dengan menerbitkan surat edaran No.
70a/SE/MPN/2010 tentang pengurangan resiko bencana (PRB) di lingkungan
sekolah. Disisi lain, Program SPAB ini juga perlu diterapkan pada masyarakat
berkebutuhan khusus yang disesuaikan dengan jenis dan tingkat kebutuhannya.
Hal ini ditujukan untuk merancang life skill mereka. SPAB mampu memberikan
pembelajaran dengan membangun kebiasaan anak sesuai dengan tingkat
pendidikannya. Termasuk juga yang terdapat di lembaga pendidikan luar biasa,
yang mana dalam segi penginderaan, respon, maupun ketangkasannya berbeda
dengan anak-anak di sekolah formal umum seperti yang terdapat di SDLB-A
Yaketunis Yogyakarta. Penelitian ini dirancang dengan metode kualitatif
menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan
teknik observasi dan wawancara mendalam. Prosedur analisis data dilakukan
dengan tahapan reduksi data, display, verifikasi, dan conclusion drawing.
Sedangkan keabsahan data diperoleh dari triangulasi metode dan triangulasi
sumber. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kesiapan terhadap
siswa SDLB-A Yaketunis Yogyakarta dalam menerapkan SPAB dalam rangka
membangun masyarakat tanggap bencana.
Kata Kunci: SDLB-A, SPAB (Satuan Pendidikan Aman Bencana), Tanggap
Bencana
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Selama tahun 2020 terakhir tercatat total 102 bencana telah terjadi di D.I
Yogyakarta. Nurhidayat sebagai kepala pelaksana Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Yogyakarta, menyebutkan bahwa total 102 bencana
yang telah terjadi dalam tenggat waktu tahun 2020 tersebut meliputi 3 bencana
banjir, 70 cuaca ekstrim, 22 bencana tanah longsor dan 7 peristiwa tower roboh
akibat cuaca ekstrim. Peristiwa-peristiwa tersebut menimbulkan 277 penduduk
harus mengungsi sementara, 78 aset rumah rusak, 43 kerusakan material serta
terputusnya jaringan listrik, internet lainnya.
Terlebih lagi dampak bencana ini membawa efek yang cukup signifikan bagi
kehidupan di lingkungan pendidikan atau sekolah. Merespon segala bentuk
peristiwa bencana yang telah terjadi, sudah semestinya jika harus terdapat
tindakan yang erat kaitannya dengan mitigasi bencana. Dalam Pasal 1 ayat 6
Undang-Undang RI No. 24/2007 tentang penanggulangan bencana, menyebutkan
jika pencegahan bencana merupakan rangkaian tindakan yang termasuk dalam
upaya mengurangi, mengatasi suatu ancaman bencana. Maka dari itu telah
ditetapkannya program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) sebagai
program pendidikan aman bencana oleh pemerintah yang dimaksudkan untuk
mengurangi tingkat resiko bencana di lingkungan sekolah dengan dimasukkannya
SPAB ini dalam kurikulum pendidikan yang tersedia.
Program SPAB direalisasikan oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan pada tahun 2010 dengan menerbitkan surat edaran No.
70a/SE/MPN/2010 tentang pengurangan resiko bencana (PRB) di lingkungan
sekolah. Dalam Permendikbud No. 33 Tahun 2019 menyebutkan jika program
satuan pendidikan aman bencana merupakan usaha preventif serta
penanggulangan dampak dari terjadinya bencana di lingkungan pendidikan.
Disisi lain definisi Satuan Pendidikan dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 10 tertulis jika satuan pendidikan merupakan unit
layanan pendidikan mengarusutamakan pendidikan pada jalur formal, non formal
serta informal dalam tingkatan dan jenis pendidikan. Sebagaimana definisi
sebelumnya, maka definisi Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) yakni suatu
layanan pendidikan aman bencana alam yang direalisasikan melalui jalur formal,
non formal, dan informal dalam setiap tingkatan dan jenis pendidikan.
Usaha yang dilakukan untuk merealisasikan Pendidikan Tangguh Bencana yakni
meliputi 3 elemen pokok, antara lain:
1. Fasilitas sekolah aman
Fasilitas sekolah yang tergolong dalam kategori aman termasuk dalam syarat
pokok untuk mensukseskan pendidikan tangguh bencana. Bangunan sekolah yang
lapuk, rapuh, struktur bangunannya sudah lama akan menjadi faktor penghambat
dalam proses pembelajaran di sekolah. Dengan demikian usaha untuk mengatasi,
mengurangi dampak bencana pada elemen fasilitas sekolah dapat dilakukan
dengan 9 cara, yakni:
a. Penempatan lokasi sekolah bukan di daerah yang rawan akan bencana
b. Desain bangunan sekolah harus sesuai dengan standar keamanan bangunan
yang telah ditetapkan para ahli terkait
c. Adanya kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi bangunan sekolah serta
fasilitas bencana di daerah tersebut
d. Retrofiting atau perkuatan bangunan sekolah agar terhindar dari resiko
bencana yang lebih besar
e. Adanya perawatan sarana prasarana pendidikan agar senantiasa terjaga
kualitasnya
f. Adanya penataan ruangan kelas untuk terhindar dari ancaman bencana
terjadi
g. Terdapat pengadaan fasilitas pendukung meliputi perlengkapan, peralatan
tanggap darurat di setiap ruangan di sekolah
h. Tersedianya alat pemadam kebakaran, P3K serta alarm tanda evakuasi di
semua ruangan
i. Adanya pendidikan tentang bangunan aman dari bencana (Dirjen GTK
Kemendikbud, 2018: 13).
2. Manajemen bencana di sekolah
Manajemen bencana di sekolah merupakan pengelolaan sekolah aman
bencana supaya sekolah tetap aman dari resiko bencana yang dapat dijalankan
secara berkelanjutan dan sistematis. Manajemen sekolah aman bencana ini dapat
direalisasikan melalui perencanaan perlindungan fisik, pengembangan kapasitas
dalam tanggap darurat dan perencanaan kesinambungan pendidikan.
(Kemendikbud, 2015: 6). Disisi lain kegiatan manajemen sekolah aman bencana
dapat juga direalisasikan melalui pembentukan tim Siaga Bencana Sekolah,
Penetapan program SPAB di sekolah, perencanaan kesiapsiagaan dalam
menghadapi bencana, mengembangkan strategi pembelajaran saat darurat
bencana, menyusun rencana aksi, penetapan rencana pertemuan kembali antara
anak dan orang tua jika terjadi bencana serta mengidentifikasi siswa yang
mengalami trauma pasca bencana. (Dirjen GTK Kemendikbud, 2018: 14).
3. Pendidikan pencegahan resiko bencana
Pendidikan pencegahan dan pengurangan risiko bencana atau PRB adalah
tahapan pembelajaran yang memiliki sifat interaktif di lingkungan masyarakat dan
lembaga. Lingkup pembelajaran PRB ini lebih luas dari pada pendidikan formal.
(Dirjen GTK Kemendikbud, 2018: 15). Tujuan dari PRB antara lain:
1. Menumbuhkan nilai kemanusiaan, sikap peduli terhadap risiko bencana
2. Terciptanya pemahaman tentang risiko bencana, kerentanan sosial, kerentanan
fisik, motivasi
3. Meningkatkan pengetahuan, keterampilan dalam pencegahan, pengurangan
resiko bencana, pengelolaan sumber daya alam dan adaptasi terhadap resiko
bencana
4. Mengembangkan strategi mengurangi risiko bencana secara individu maupun
5. Mengembangkan kesiapan untuk mendukung pembangunan kembali komunitas
pasca bencana terjadi (Kemendikbud, 2015: 8)..
Titik utama atas program SPAB berupa aktivitas penerapan prinsip sekolah
aman bencana dalam kurikulum di sekolah, penyusunan dokumen-dokumen
secara sistematis seperti dokumen kajian risiko bencana sekolah, dokumen
rencana penanggulangan bencana serta dokumen rencana kontijensi terkait
simbol dan jalur-jalur evakuasi. Begitu juga dalam mewujudkan bangunan aman
bencana dengan direnovasinya bangunan-bangunan pendukung yang telah
diusulkan oleh ahli terkait.
Lebih lanjut dalam merealisasikan pendidikan aman bencana harus terdapat
program pendidikan dalam satuan pendidikan aman bencana. Satuan pendidikan
aman bencana ini dapat direalisasikan melalui tahapan sebagai berikut :
1. Persiapan dan konsolidasi dengan pihak sekolah
2. Pengkajian dan penilaian mandiri di awal program
3. Pelatihan untuk tenaga kependidikan dan jajaran pimpinan sekolah
4. Pelatihan untuk siswa
5. Pengkajian risiko bencana
6. Penyusunan rencana aksi yang dilanjutkan dengan membentuk tim siaga
7. Penyusun prosedur tetap untuk masa pra bencana, saat bencana terjadi dan
pasca bencana
8. Melakukan simulasi secara teratur selama 2 kali setahun
9. Melakukan penilaian mandiri dan pengawasan secara rutin
10. Melakukan evaluasi pelaksanaan dan memutakhirkan rencana aksi. (Dirjen
GTK Kemendikbud, 2018: 14).
Terdapat 3 langkah yang harus dilaksanakan dalam rangka
penanggulangan bencana melalui program SPAB, meliputi:
1. Diseminasi Program SPAB
Diseminasi adalah usaha pemberian informasi diperuntukkan bagi kelompok
maupun perorangan untuk memberikan edukasi berupa pengetahuan, pengalaman
kepada masyarakat (Bassar, 2015). Dalam konteks program SPAB ini, siswa siswi
serta guru atau tenaga pendidiklah yang menjadi sasaran pokok dalam hal mitigasi
bencana di lingkungan sekolah. Diseminasi dalam program SPAB dapat meliputi
penjelasan materi, sosialisasi, visualisasi serta simulasi atas inti dari program
tersebut (Bevaola Kusumasari, 2014).
Agar program SPAB berjalan dengan baik, maka dalam penerapannya harus
terdapat partisipasi dari pihak-pihak terkait yang dilakukan secara maksimal
disertai dengan kerjasama dan komitmen supaya program tersebut terlaksana
dengan baik dan berkelanjutan.

Bayangkan ketika seorang anak dengan penglihatan yang normal dapat dengan
mudah bergerak di lingkungannya,menemukan mainan dan teman-teman
bermainnya, serta melihat dan meniru orang tuanya dalam aktifitas sehari-hari.
Anak-anak tunanetra kehilangan saat-saat belajar kritis seperti itu, yang mungkin
akan berdampak terhadap perkembangan, belajar, keterampilan sosial, dan
perilakunya.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasar Latar belakang diatas, maka dapat disusun rumusan masalah
bagaimana Penerapan SPAB (Satuan Pendidikan Aman Bencana) Pada Siswa
SDLB-A Yaketunis Yogyakarta Dalam Membangun Masyarakat Tanggap
Bencana?

1.3. Tujuan Penulisan


1. Tujuan Umum
Diketahuinya Penerapan SPAB (Satuan Pendidikan Aman Bencana)
Pada Siswa SDLB-A Yaketunis Yogyakarta Dalam Membangun Masyarakat
Tanggap Bencana.

2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya Penerapan SPAB (Satuan Pendidikan Aman Bencana)
Pada Siswa SDLB-A berdasarkan usia.
b. Diketahuinya Penerapan SPAB (Satuan Pendidikan Aman Bencana)
Pada Siswa SDLB-A berdasarkan latar belakang.
c. Diketahuinya Penerapan SPAB (Satuan Pendidikan Aman Bencana)
Pada Siswa SDLB-A berdasarkan jenis dan tingkatan.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu acuan terkait
Penerapan SPAB (Satuan Pendidikan Aman Bencana) Pada Siswa SDLB-
A.

2. Manfaat Praktis
a. Untuk Masyarakata
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi masyarakat
terutama orang tua terkait Penerapan SPAB (Satuan Pendidikan Aman
Bencana) pada anak Tunanetra agar dapat mencegah terjadinya kecelakaan
yang menimbulkan cacat fisik baru.
b. Untuk Lembaga Pendidikan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi tenaga
pendidik untuk meningkatkan pengetahuan terkait pentingnya penerapan
SPAB (Satuan Pendidikan Aman Bencana) pada siswa SDLB-A.di masing-
masing wilayah dan melakukan pelatihan baik oleh tenaga pendidik ataupun
ahli dalam membangun masyarakat tanggap bencana.
c. Untuk Siswa
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai Penerapan SPAB (Satuan Pendidikan Aman Bencana) pada
siswa SDLB-A, Khususnya untuk mencegah terjadinya kecelakaan yang
menimbulkan cacat fisik baru.
BAB II
Tijauan Pustaka

2.1. Telaah Pustaka


1. Penerapan SPAB

Definisi bencana yakni suatu kejadian, peristiwa yang menghambat,


mengganggu jalannya kehidupan manusia yang akan berdampak pada
aspek ekonomi, psikologi, sosial, lingkungan maupun pemerintahan.
Dalam Undang-undang No 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan
Bencana, Pasal 1 disebutkan jika definisi bencana merupakan suatu
rangkaian peristiwa, kejadian yang membawa ancaman dan mengganggu
kestabilan kehidupan manusia, dimana dapat dipicu oleh faktor alam, non-
alam maupun perbuatan manusia yang mengakibatkan kerusakan secara
material, lingkungan, psikologis dan meningkatnya angka kematian karena
banyaknya korban jiwa yang berjatuhan.
Sedangkan International Strategy for Disaster Reduction
menyebutkan jika definisi bencana merupakan kejadian yang terjadi secara
tiba-tiba maupun bertahap yang dipicu oleh faktor alam atau faktor
perbuatan manusia yang dapat membawa dampak kerusakan lingkungan,
harta benda, traumatik hingga hilangnya nyawa manusia. (Nurjanah
dkk .2011)
Berdasarkan definisi-definisi sebelumnya, dapat diambil kesimpulan
bahwa bencana merupakan suatu peristiwa yang proses terjadinya secara
bertahap maupun tiba-tiba, disebabkan oleh faktor alam atau perbuatan
manusia sehingga dapat memicu kerusakan lingkungan, kerugian materi,
sosial, psikologis serta hilangnya nyawa manusia dan makhluk hidup
sekitar. Faktor yang memicu terjadinya bencana, menurut Nurjanah dkk:
2011 dalam buku Manajemen Bencana yakni memiliki 3 faktor,
diantaranya:
1. Faktor alam (natural disaster), dimana bencana terjadi disebabkan
oleh murni fenomena alam tanpa campur tangan faktor lainnya.
2. Faktor non-alam (non-natural disaster), dimana bencana terjadi
bukan disebabkan oleh fenomena alam maupun ulah manusia.
3. Faktor sosial/ manusia (man made disaster), dimana bencana
terjadi disebabkan oleh ulah manusia.
Besar kecilnya dampak dari peristiwa bencana ini tergantung pada
tingkat ancaman (hazard), kerentanan (vulnerability) serta kemampuan
untuk menanggulangi bencana. Benson and Clay dalam Nurjanah et.all
menyebutkan bahwa terdapat 3 dampak dari terjadinya bencana, yakni:
1. Dampak langsung (direct impact)
Dampak ini dapat dirasakan secara langsung setelah bencana terjadi,
seperti kerugian materi, kerusakan tempat tinggal, tempat usaha maupun
aset-aset lainnya.
2. Dampak tidak langsung (indirect impact)
Dampak ini muncul tidak secara langsung setelah bencana tersebut
terjadi, seperti: terganggunya kestabilan proses produksi, hilangnya
sumber penerimaan atau flow value.
3. Dampak sekunder (secondary impact)
Dampak ini biasa disebut dampak lanjutan, seperti terhambatnya
perekonomian suatu wilayah, terganggunya pembangunan serta angka
kemiskinan semakin meningkat.
Dampak langsung dari suatu bencana alam terhitung lebih mudah
teratasi jika dibandingkan dengan dampak tidak langsung maupun dampak
sekunder. Kesulitan dalam mengatasi dampak tidak langsung dan dampak
sekunder meliputi dalam mengestimasikan jumlah kerugian dengan tepat,
namun untuk menentukan skala bantuan dibutuhkan juga penghitungan
kerugian secara maksimal. Disamping itu terdapat dampak bencana yang
sering terabaikan, yakni dampak psikologis, seperti terganggunya kondisi
psikis manusia, timbulnya rasa traumatik akan suatu kejadian atau bahkan
tingkat traumatik tertinggi ini dapat menimbulkan PTSD (Post Traumatic
Stress Disorder).
Disisi lain definisi Satuan Pendidikan dalam Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 10 tertulis jika satuan pendidikan merupakan
unit layanan pendidikan mengarusutamakan pendidikan pada jalur formal,
non formal serta informal dalam tingkatan dan jenis pendidikan.
Sebagaimana definisi sebelumnya, maka definisi Satuan Pendidikan Aman
Bencana (SPAB) yakni suatu layanan pendidikan aman bencana alam yang
direalisasikan melalui jalur formal, non formal, dan informal dalam setiap
tingkatan dan jenis pendidikan.
Penetapan Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) sebagai
program pendidikan aman bencana oleh pemerintah ini dimaksudkan agar
mengurangi tingkat resiko bencana di lingkungan sekolah dengan
dimasukkannya SPAB ini dalam kurikulum pendidikan yang tersedia.
Program SPAB direalisasikan oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan pada tahun 2010 dengan menerbitkan surat edaran No.
70a/SE/MPN/2010 tentang pengurangan resiko bencana (PRB) di
lingkungan sekolah. Dalam Permendikbud No. 33 Tahun 2019
menyebutkan jika program satuan pendidikan aman bencana merupakan
usaha preventif serta penanggulangan dampak dari terjadinya bencana di
lingkungan pendidikan.
Usaha yang dilakukan untuk merealisasikan Pendidikan Tangguh
Bencana yakni meliputi 3 elemen pokok, antara lain:
1. Fasilitas sekolah aman
Fasilitas sekolah yang tergolong dalam kategori aman termasuk dalam
syarat pokok untuk mensukseskan pendidikan tangguh bencana. Bangunan
sekolah yang lapuk, rapuh, struktur bangunannya sudah lama akan
menjadi faktor penghambat dalam proses pembelajaran di sekolah. Dengan
demikian usaha untuk mengatasi, mengurangi dampak bencana pada
elemen fasilitas sekolah dapat dilakukan dengan 9 cara, yakni:
a. Penempatan lokasi sekolah bukan di daerah yang rawan akan bencana
b. Desain bangunan sekolah harus sesuai dengan standar keamanan
bangunan yang telah ditetapkan para ahli terkait
c. Adanya kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi bangunan sekolah serta
fasilitas bencana di daerah tersebut
d. Retrofiting atau perkuatan bangunan sekolah agar terhindar dari resiko
bencana yang lebih besar
e. Adanya perawatan sarana prasarana pendidikan agar senantiasa terjaga
kualitasnya
f. Adanya penataan ruangan kelas untuk terhindar dari ancaman bencana
terjadi
g. Terdapat pengadaan fasilitas pendukung meliputi perlengkapan,
peralatan tanggap darurat di setiap ruangan di sekolah
h. Tersedianya alat pemadam kebakaran, P3K serta alarm tanda evakuasi
di semua ruangan
i. Adanya pendidikan tentang bangunan aman dari bencana (Dirjen GTK
Kemendikbud, 2018: 13).

2. Manajemen bencana di sekolah


Manajemen bencana di sekolah merupakan pengelolaan sekolah aman
bencana supaya sekolah tetap aman dari resiko bencana yang dapat
dijalankan secara berkelanjutan dan sistematis. Manajemen sekolah aman
bencana ini dapat direalisasikan melalui perencanaan perlindungan fisik,
pengembangan kapasitas dalam tanggap darurat dan perencanaan
kesinambungan pendidikan. (Kemendikbud, 2015: 6). Disisi lain kegiatan
manajemen sekolah aman bencana dapat juga direalisasikan melalui
pembentukan tim Siaga Bencana Sekolah, Penetapan program SPAB di
sekolah, perencanaan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana,
mengembangkan strategi pembelajaran saat darurat bencana, menyusun
rencana aksi, penetapan rencana pertemuan kembali antara anak dan orang
tua jika terjadi bencana serta mengidentifikasi siswa yang mengalami
trauma pasca bencana. (Dirjen GTK Kemendikbud, 2018: 14).

3. Pendidikan pencegahan resiko bencana


Pendidikan pencegahan dan pengurangan risiko bencana atau PRB
adalah tahapan pembelajaran yang memiliki sifat interaktif di lingkungan
masyarakat dan lembaga. Lingkup pembelajaran PRB ini lebih luas dari
pada pendidikan formal. (Dirjen GTK Kemendikbud, 2018: 15). Tujuan
dari PRB antara lain:
1. Menumbuhkan nilai kemanusiaan, sikap peduli terhadap risiko
bencana
2. Terciptanya pemahaman tentang risiko bencana, kerentanan sosial,
kerentanan fisik, motivasi
3. Meningkatkan pengetahuan, keterampilan dalam pencegahan,
pengurangan resiko bencana, pengelolaan sumber daya alam dan adaptasi
terhadap resiko bencana
4. Mengembangkan strategi mengurangi risiko bencana secara
individu maupun
5. Mengembangkan kesiapan untuk mendukung pembangunan
kembali komunitas pasca bencana terjadi (Kemendikbud, 2015: 8).
Ketiga elemen pokok diatas merupakan usaha untuk mewujudkan
sekolah aman bencana yang harus dilakukan secara maksimal disertai
dengan kerjasama dan komitmen dari semua pihak terkait agar tercapainya
pembelajaran yang aman.
Titik utama atas program SPAB berupa aktivitas penerapan prinsip
sekolah aman bencana dalam kurikulum di sekolah, penyusunan dokumen-
dokumen secara sistematis seperti dokumen kajian risiko bencana sekolah,
dokumen rencana penanggulangan bencana serta dokumen rencana
kontijensi terkait simbol dan jalur-jalur evakuasi. Begitu juga dalam
mewujudkan bangunan aman bencana dengan direnovasinya bangunan-
bangunan pendukung yang telah diusulkan oleh ahli terkait. Lebih lanjut
dalam merealisasikan pendidikan aman bencana harus terdapat program
pendidikan dalam satuan pendidikan aman bencana. Satuan pendidikan
aman bencana ini dapat direalisasikan melalui tahapan sebagai berikut :
1. Persiapan dan konsolidasi dengan pihak sekolah
2. Pengkajian dan penilaian mandiri di awal program
3. Pelatihan untuk tenaga kependidikan dan jajaran pimpinan sekolah
4. Pelatihan untuk siswa
5. Pengkajian risiko bencana
6. Penyusunan rencana aksi yang dilanjutkan dengan membentuk tim
siaga
7. Penyusun prosedur tetap untuk masa pra bencana, saat bencana
terjadi dan pasca bencana
8. Melakukan simulasi secara teratur selama 2 kali setahun
9. Melakukan penilaian mandiri dan pengawasan secara rutin
10. Melakukan evaluasi pelaksanaan dan memutakhirkan rencana aksi.
(Dirjen GTK Kemendikbud, 2018: 14).
Tahap dalam pelaksanaan diseminasi dalam program SPAB terdapat 3
model khusus yakni:
a. Sosialisasi
Dimana terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar kebencanaan untuk
mendorong pemahaman para siswa siswi.
b. Visualisasi
Memberikan media visual penunjang pembelajaran seperti film edukasi
kebencanaan, peta bencana, surat kabar maupun foto setelah terjadi
bencana
c. Simulasi
Ini berupa praktek seperti simulasi gempa bumi, tanah longsor.
Ketiga model khusus dalam pelaksanaan diseminasi program SPAB
tersebut ditargetkan untuk peserta didik dari Taman Kanak-Kanak (TK),
Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) sampai Sekolah
Menengah Atas (SMA). Dari model sosialisasi sampai simulasi dalam
pelaksanaan diseminasi ini merupakan langkah mitigasi bencana di fase
pra bencana. SPAB yang sudah terealisasikan oleh Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPD) secara konsep terdapat perbedaan
dengan pelaksanaan di pemerintahan daerah, di awal konsep SPAB
menerapkan konsep simulasi teratur di lingkungan sekolah, dalam rentang
waktu 2016-2018 konsep yang direalisasikan seperti sekolah gunung,
sekolah sungai serta sekolah laut. Tetapi seiring berkembang zaman
konsep-konsep terdahulu dirubah dan diperbarui pada tahun 2019, BNPB
menerapkan konsep SPAB berbasis Gugus Depan (Rufaidah & Kodri,
2020). Kerjasama dengan pihak pramuka dalam mensuskseskan SPAB
berbasis gugus depan ini termasuk dalam konsep terbilang tepat dan
strategis dalam merealisasikan kegiatan demi kegiatan pendidikan
kebencanaan yang lebih cepat terlaksana. (Anisah & Sumarni, 2019).
Pelaksanaan program SPAB berbasis “Gugus Depan Pramuka” di
lapangan ini dimulai pada tanggal 22 April 2019 yaitu di Lembang.
Namun, konsep SPAB berbasis gugus depan tersebut baru sejauh ini masih
terealisasi di beberapa daerah saja.
2. Monitoring Program SPAB
Monitoring atau pemantauan adalah tindakan mengamati, mengawasi
maupun mengontrol suatu aktivitas agar dapat berjalan sesuai dengan yang
diinginkan. Dalam kontek SPAB, monitoring termasuk dalam proses yang
penting, sebab setelah dilaksanakannya monitoring akan diperoleh bahasan
yang dibutuhkan untuk proses selanjutnya yakni evaluasi, namun jika tidak
dilaksanakan proses monitoring ini, lembaga atau pihak terkait tidak akan
mengetahui keberlanjutan perkembangan program SPAB. (Dewi, 2019).
Target monitoring terdiri dari pelaksanaan dan output dari pelaksanaan
tersebut, dimana kedua target ini dalam prosesnya, tim fasilitator yang
berjumlah 11 orang berasal dari berbagai daerah diseluruh Indonesia
dibentuk oleh BNPB akan memantau serta mendata Rencana Tindak
Lanjut (RTL) program SPAB di lingkungan sekolah.
3. Evaluasi pelaksanaan program SPAB
Evaluasi dalam kontek SPAB, termasuk proses yang sangat penting
dalam alur proses setelah monitoring (Tyas, Pujianto, & Suyanta, 2020).
Pelaksanaan evaluasi yang dapat diterapkan di lapangan, target dari proses
evaluasi ini sama dengan di tahap monitoring yakni dalam proses
pelaksanaan serta output atau tujuan kegiatan pelaksanaan tersebut. Proses
pelaksanaan evaluasi dapat dilakukan secara bersama, dari seluruh siswa
siswi maupun guru. Output pelaksanaan evaluasi dapat didapatkan melalui
pre test, post test kepada siswa siswi untuk mengetahui sejauh mana
tingkat pengetahuan mereka dalam hal mitigasi bencana.

2. Anak Tunanetra
Menurut Persatuan Tunanetra Indonesia/Pertuni (2004), orang tunanetra
adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total)
hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak mampu
menggunakan penglihatannya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12
point dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kaca mata
(kurang awas). Ini berarti bahwa seorang tunanetra mungkin tidak
mempunyai penglihatan sama sekali meskipun hanya untuk membedakan
antara terang dan gelap.
Orang dengan kondisi penglihatan seperti ini kita katakan sebagai ”buta
total”. Di pihak lain, ada orang tunanetra yang masih mempunyai sedikit
sisa penglihatan sehingga mereka masih dapat menggunakan sisa
penglihatannya itu untuk melakukan berbagai kegiatan sehari-hari
termasuk untuk membaca tulisan berukuran besar (lebih besar dari 12
point) setelah dibantu dengan kaca mata. Perlu dijelaskan di sini bahwa
yang dimaksud dengan 12 point adalah ukuran huruf standar pada
komputer di mana pada bidang selebar satu inci memuat 12 buah huruf.
Akan tetapi, ini tidak boleh diartikan bahwa huruf dengan ukuran 18 point,
misalnya, pada bidang selebar 1 inci memuat 18 huruf. Tidak demikian.
Orang tunanetra yang masih memiliki sisa penglihatan yang fungsional
seperti ini kita sebut sebagai orang ”kurang awas” atau lebih dikenal
dengan sebutan ”Low vision”. Anak tuna netra merupakan anak yang
mengalami kehilangan penglihatan sehingga memberikan dampak baik
secara langsung maupun tidak langsung bagi perkembangannya.

3. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus


Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang sistem
Pendidikan Nasional Pasal 5 Ayat (2) menyatakan bahwa seluruh
peserta dunia yang memegang senjang fisik, emosional, mental, intelektual
atau sosial. Undang-undang tersebut menunjukkan bahwa anak-anak
berkebutuhan ini memiliki kesempatan yang sama dengan anak-anak
lain. Berdasarkan Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah anak-
anak berkebutuhan individual (ABK) Indonesia mancapai angka 1,6
juta anak-anak (Hamid Muhammad 2017). Dari 1,6 juta anak-anak
berkebutuhan khusus di Indonesia, baru 18 persen yang sudah
mendapatkan layanan inklusi dengan sekitar 115 ribu anak-anak
berkebutuhan individual bersekolah di SLB.
Pengertian anak berkebutuhan khusus mencakup anak-anak yang
memiliki kelebihan atau keunggulan dari anak-anak normal (jenius, gifted
and telended) dan anak-anak yang memiliki kekurangan dari anak-
anak
normal. (mega Iswari, 2007, hal.44). Depdiknas (Rahayu Ginintasari,
2009) mendefinisikan anak berkebuhan khusus sebagai anak (di bawah 18
tahun) yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses
pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial,
memiliki kecerdasan dan bakat istimewa. Anak berkebutuhan khusus
juga dapat diartikan sebagai anak yang mengalami segala gangguan
fisik, mental, intelegensi, dan emosi sehingga membutuhkan
pembelajaran secara khusus (Kosasi, 2012; Sitrah Salim, 2014). Jadi, anak
berkebutahan khusus adalah anak yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental, sosial, bahkan yang memiliki bakat istimewa yang
berbeda dengan anak lain seusianya, sehingga membutuhkan
penanganan khusus sesuai dengan kebutuhan dan kelainannya.
Zaenal Alimin (2010) membedakan anak berkebutuhan khusus dalam dua
kategori yaitu anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara dan
anak berkebutuhan khusus yang bersifat tetap. Kategori tersebut adalah:

a. Anak berkebutuhan khusus sementara (temporer)


Adalah anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan
perkembangan yang disebabkan oleh faktor-faktor eksternal.
b. Anak berkebutuhan khusus tetap (permanen) Anak yang
mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang
bersifat internal dan akibat langsung dari kondisi kecacatan, yaitu
anak yang kehilangan fungsi penglihatan, gangguan
perkembangan kecerdasan dan kognisi, gangguan gerak
(motorik) dan sebagainya.

2.2. Landasan Teori

Lembaga pendidik sekolah luar biasa (SLB) saat ini masih kurang peduli
terhadap sistem pendidikan aman bencana (SPAB). Ketidaktahuan anak tunanetra
terhadap kebencanaan dan antisipasinya menjadi faktor penyebab kecelakaan dan
cacat fisik baru yang masih dianggap biasa karena adanya keterbatasan. Pendidik
maupun masyarakat berasumsi bahwa anak tunanetra bergantung pada orang
normal untuk bisa beraktivitas.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan metode
kualitatif menggunakan teknik purposive sampling. Dimana peneliti mengambil
sampel sebagai perspektif perwakilan dalam objek penelitian.

3.2. Desain Penelitian

Populasi Siswa Dan Pendidik

Penerapan SPAB

Pengetahuan Teori Pengetahuan Praktik

Pengaplikasian sesuai
kemampuan

3.3. Populasi dan Sampel


1. Populasi
pada peneliitian ini adalah siswa SDLB-Yaketunis Yogyakarta yang
berjumlah 93 siswa
a. kriteria offline:
siswa yang dapat hadir pada saat penelitian dilaksanakan
b. kriteria online
siswa yang tidak bisa hadir pada saat penelitian.

2. Sampel
Teknik Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik sampel berstrata,
dimana dari setiap tingkatan SDLB kelas 1 hingga 6 secara berurutan
diambil dari masing masing tingkatan tersebut.dengan jumlah 12 orang yang
terbagi laki laki dan perempuan.

3.4. Lokasi dan Waktu Penelitian


1. Tempat Penelitian : SDLB-A Yaketunis Yogyakarta
2. Waktu Penelitian : Agustus 2021

3.5. Aspek Yang diteliti


Penerapan SPAB pada siswa SDLB

3.6. Teknik Pengumpulan Data


Teknik Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
Observasi dan wawancara mendalam. Observasi dan wawancara dilakukan
dengan mengamati pengetahuan teori dan praktik serta deskripsi terkait
kemampuan yang siswa miliki.

3.7. Instrumen Penelitian


Pengamatan dan respon dari siswa

3.8. Manajemen Data


1. Reduksi Data
Proses pemilihan dan pemfokusan pada penyederhanaan data berdasar
Catatan yang didapat di lapangan untuk menghasilkan data yang relevan.
2. Display Data
Adalah proses penyusunan data secara sistematis dengan berupa narasi,’
Matriks, jaringanm grafik, dan sebagainya untuk menghasilkan data yang
terpola.

3. Verifikasi
Data yang sudah terpola diverifikasi menyesuaikan maksud dan obyek data
dengan tujuan menyajikan data yang relevan dan terstruktur
4. kesimpulan
Data yang sudah terverifikasi kemudian disimpulkan bersamaan dengan
bukti
yang telah terkumpul sehingga dapat menyajikan data yang kredibel .
BAB IV
HASIL PENELITIAN

4.1. Hasil Penelitian


Penelitian tentang “Penerapan SPAB (Satuan Pendidikan Aman Bencana)
Pada Siswa SDLB-A Yaketunis Yogyakarta Dalam Membangun Masyarakat
Tanggap Bencana dilaksanakan pada Agustus 2021 dengan jumlah responden 12
siswa
Variabel yang diteliti berdasarkan kemampuan teori dan praktik siswa. Data
yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis secara deskriptif.

LKTIN_DISASTER_GEO UNTAD 2021_DINA NAKITA_UIN SUNAN


KALIJAGA_ Penerapan SPAB (Satuan Pendidikan Aman Bencana) Pada
Siswa SDLB-A Yaketunis Yogyakarta Dalam Membangun Masyarakat
Tanggap Bencana.
Daftar Pustaka

Referensi
Nurjanah, dkk. (2011). Manajemen Bencana. Jakarta: Alfabeta.
Rudi Kasman. (2019). Bimbingan Satuan Pendidikan Aman Bencana Bagi Guru
dan Tenaga Kependidikan Pasca Bencana di Kota Palu, Sigi dan Donggala.
Jurnal Obor Penmas: Pendidikan Luar Sekolah. Vol. 2, No. 1. hlm. 67-77
Kementerian Pendidikan Nasional. (2010). Pengarusutamaan pengurangan risiko
bencana di sekolah, Surat Edaran Menteri No. 70a/SE/MPN/2010. Jakarta:
Kemententerian Pendidikan Nasional RI.

Anda mungkin juga menyukai