Anda di halaman 1dari 15

Karya Tulis Ilmiah :

Banjir dan Kekeringan sebagai Icon Bencana di Kabupaten Bojonegoro :


Tinjauan Strategi Adaptasi dan Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Air
secara Terpadu
Oleh:
Imam Fauzi Syamsu, S.Huta
a

Mahasiswa Sekolah Pascasarjana IPB. Alamat : Komp. Taman Pagelaran, Jl. Gurame
Blok DD 6 No. 1 RT01/RW10 Kel. Padasuka, Kec. Ciomas, Kab. Bogor - Jawa Barat
16610. Email : imamfauzi02@gmail.com Telepon/Hp : 081349613369
Pendahuluan
Air merupakan salah satu komponen alam yang sangat penting bagi kehidupan
makhluk hidup termasuk manusia. Sebagai sumberdaya yang melimpah di alam,
seringkali pengelolaan air secara berkelanjutan tidak dipandang menjadi suatu hal yang
penting. Berbagai aktivitas manusia yang cenderung mengedepankan paham
antroposentris dalam memanfaatkan sumberdaya alam ini secara nyata telah
mengakibatkan kerusakan. Berbagai bencana alam seperti kelangkaan air, kekeringan
maupun banjir merupakan buah dari berbagai aktivitas manusia tersebut. Di tingkat
global menurut hasil the 7th World Water Forum di Daegu-Gyeongbuk, Korea Selatan
tahun 2015, diestimasi kerugian akibat kelangkaan air, banjir dan kekurangan suplai air
mencapai US$ 500 miliar per tahun. Kondisi ini cukup menggambarkan betapa besar
dampak negatif yang ditimbulkan akibat tidak dikelolanya air dengan tepat dan benar.
Sumberdaya air memiliki ketergantungan dan dipengaruhi oleh sistem-sistem yang
ada di sekitarnya (ekosistem). Hal tersebut dapat terlihat dari siklus hidrologis, dimana
dalam perjalanan siklus tersebut sangat banyak elemen/komponen yang terkait dan
berperan. Ketika ada salah satu yang komponen terganggu maka akan mengganggu
sistem hidrologis secara keseluruhan. Adapun gangguan ini dapat berasal dari alam
maupun dari manusia, namun manusia lah yang dianggap paling menyebabkan
gangguan ini. Dalam konteks sumberdaya air, deforestasi atau degradasi hutan dirasa
menjadi faktor pemicu utama kerusakan sumberdaya air, khususnya di Indonesia yang
notabene memiliki sumberdaya air yang melimpah. Hal ini sejalan dengan pernyataan
Keraf (2010) dimana kerusakan yang terjadi pada hutan pada gilirannya akan membawa

berbagai dampak ikutan dari krisis lingkungan (krisis ekologi) yang parah karena
berkaitan dengan fungsi hutan tersebut yang salah satunya adalah menjaga daerah
resapan maupun ketersediaan air.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, secara kuantitas ketersediaan air di alam
Indonesia sangatlah melimpah, baik laut, danau maupun di sungai. Menurut Deputi
Bidang Sarana dan Prasarana, Kementerian PU (2012), Indonesia memiliki 5.590 sungai
induk namun sangat disayangkan 600 di antaranya berpotensi menimbulkan bencana
banjir. Adapun fenomena banjir ini juga memiliki korelasi yang sangat erat dengan
kekeringan. Menurut Irianto, fenomena banjir dan kekeringan adalah hal yang terjadi
secara alamiah, dan merupakan persoalan klasik yagn dihadapi Indonesia dengan dua
musimnya : musim hujan dan kemarau. Namun ketika fenomena tersebut meningkat
intensitas, frekuensi dan mengganggu ekosistem terutama kehidupan manusia, maka
fenomena tersebut menjadi bencana yang perlu segera ditanggulangi.
Sungai Bengawan Solo adalah salah satu dari sungai di Indonesia yang berpotensi
besar menyebabkan banjir. Sungai ini mengalir dari selatan yang menjadi batas provinsi
Jawa Tengah hingga ke arah timur dan bermuara di Gresik-Jawa Timur. Sepanjang
aliran sungai tersebut, Kabupaten Bojonegoro (Jawa Timur) merupakan salah satu
daerah yang selalu menjadi langganan banjir akibat luapan sungai. Disamping banjir,
Kabupaten ini juga kerap menghadapi bencana lain yang tidak kalah penting yakni
kekeringan pada saat musim kemarau. Dengan sebagian besar masyarakat yang
berprofesi sebagai petani yang ditunjukkan dengan tingginya penggunaan lahan untuk
sawah yakni sebesar 56% (Pemkab Bojonegoro 2013), terjadinya bencana ini telah
secara nyata menurunkan hasil panen yang berdampak pada pengurangan pendapatan
masyarakat. Namun demikian, karena besarnya intensitas dan seringnya frekuansi
kejadiannya maka tidak heran kalau bencana banjir dan kekeringan disebut sebagai
menjadi icon bencana di Bojonegoro.
Bagaimana mengelola lingkungan Bojonegoro agar tidak lagi terjadi bencana banjir
dan kekeringan? Adalah suatu pertanyaan klasik yang sampai saat ini belum dapat
dijawab dan masih merupakan pekerjaan penting seluruh stakeholder termasuk
pemerintah (Pusat dan Daerah).

Perkembangan Kejadian Bencana Banjir dan Kekeringan di Bojonegoro


Menurut Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Bojonegoro Nomor 26 tahun 2011
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2011-2031, wilayah rawan
bencana di Bojonegoro di bagi menjadi 3 kawasan yakni: Kawasan rawan banjir, rawan
tanah longsor dan rawan bencana lainnya (termasuk bencana kekeringan).
Perkembangan kejadian banjir : Banjir terbesar tahun 2007
Kondisi permukaan yang mempengaruhi terjadinya banjir umumnya adalah
kemiringan lereng, topografi dan jenis tanah di daerah aliran sungai (DAS), jenis
tutupan lahan, sedimentasi. Kemiringan lereng di Bojonegoro terutama yang dilalui
sungai Bengawan Solo adalah cenderung landai. Kondisi ini menjadi faktor pendukung
lamanya genangan ketika banjir terjadi. Adapun faktor laing yang sangat berpengaruh
terhadap terjadinya banjir adalah jenis tutupan lahan dan /atau penggunaan lahan.
Menurut Rohmawati et.al (2015), penggunaan lahan di Bojonegoro tidak mengalami
perubahan yang signifikan dalam hal luasannya, bahkan penggunaan untuk hutan negara
semakin bertambah dari segi keluasannya dari tahun 1997 ke tahun 2008. Namun aspek
keluasan tidak mengindikasikan adanya perubahan yang signifikan melainkan kondisi
vegetasi yang ada dalam areal tersebut. akan tetapi jika dilihat secara. Berdasarkan hasil
pengamatan Rohmawati et.al (2015) secara fisik di lapangan, hutanhutan negara yang
ada di daerah tersebut semakin mengkhawatirkan kondisinya. Keberadaan pohon-pohon
yang besar cukup jarang, yang ada adalah pohon yang masih kecil. Jika pohon besar
tidak ada maka hujan yang turun ke tanah akan menjadi aliran permukaan karena tidak
ada (vegetasi) yang menghambat lajunya. Akibatnya banjir yang besar akan terjadi dan
tidak dapat dielakkan lagi.
Berdasarkan data statistik yang dirilis oleh KPH Bojonegoro pada tahun 2008,
pengurangan tegakan hutan disamping dikarenakan adanya pemanenan juga terjadi
banyaknya pencurian kayu yang terjadi (Gambar 1). Secara keseluruhan, illegal logging
yang terjadi di areal KPH Bojonegoro

dari tahun 1993 sampai 2008 cukup

mengkhawatirkan yakni telah ditemukan sebanyak 157.633 tunggak. Adapun illegal


logging ini memuncak intensitasnya sejak tahun 1998, dimana saat tersebut sedang
marak terjadi perambahan hutan secara besar-besaran sebagai dampak dari awal
reformasi. Namun demikian, angka pencurian kayu tersebut berhasil ditekan oleh KPH

Bojonegoro sejak tahun 2001. Dengan memperketat perlindungan hutan, KPH


bojonegoro mampu menekan pencurian kayu hingga 363 tunggak di tahun 2008.
Walaupun berbagai upaya telah dilakukan, kehilangan kayu yang notabene termasuk
kayu yang memiliki diameter besar sudah terakumulasi banyak. Hal ini berimplikasi
terhadap terbukanya areal berhutan sehingga menyebabkan tingginya aliran permukaan
yang kemudian menjadi penyebab terjadinya banjir.
30,000

180000

25,000

150000

20,000

120000

15,000
10,000

90000
Pencurian Kayu (tunggak)

5,000

Kumulatif

60000
30000

Sumber : Statistik KPH Bojonegoro dalam penelitian Ayu Suriati tahun 2008 (diolah)
Gambar 1. Grafik jumlah tunggak hasil pencurian kayu di KPH Bojonegoro
Tahun 1993-2008
Banjir dan dampaknya terhadap pertanian
Bencana banjir secara langsung telah menyebabkan berbagai kerugian bagi
berbagai sektor khususnya di Kabupaten Bojonegoro. Sektor yang terdampak secara
signifikan adalah sektor pertanian, mengingat sebagian besar luasan Bojonegoro (diluar
kawasan hutan negara) adalah areal pertanian masyarakat. Mengingat bencana ini sudah
melanda sejak lama, maka petani khususnya disekitar aliran Sungai Bengawan Solo
harus melakukan tindakan adaptasi. Dari sekian kecamatan di Bojonegoro yang
terdampak banjir salah satunya adalah Kecamatan Kanor. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Dzikroh (2014), kejadian banjir yang melanda kecamtan Kanor memiliki
trend yang meningkat dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2014 sebagaimana
diperlihatkan pada Gambar 2.

2500
2,116
2000
1,612
1500
Luas (Ha)

936

1000
647

680

500
0
2007

656

671

2011

2012

169
2008

2009

2010

2013

2014

Sumber : Data Badan Bencana Alam Kecamatan Kanor dari penelitian Dzikroh tahun
2013 (diolah)
Gambar 2. Grafik luas lahan pertanian yang tergenang banjir
Berdasarkan Gambar 2 dapat diketahui bahwa luas lahan pertanian yang
tergenang banjir bersifat fluktuatif yakni luasan terendah yang tergenang banjir terjadi
pada tahun 2010 sedangkan yang tertinggi pada tahun 2013. Namun demikian trend
(garis merah) yang ditunjukkan dari berbagai kejadian dalam kurun waktu tersebut
menunjukkan trend yang meningkat. Kondisi ini cukup menggambarkan bahwa
berbagai penanganan yang telah dilakukan oleh pemerintah Bojonegoro belum mampu
mengatasi atau minimal mengurangi terjadinya banjir di wilayahnya.
Kekeringan Menjadi Momok Musim Kemarau di Kabupaten Bojonegoro
Musim hujan dan musim kemarau yang terjadi di Indonesia telah mendatangkan
konsekuensinya masing-masing terutama dalam kaitannya dengan bencana yang
ditimbulkan. Untuk musim kemarau konsekuensi yang biasa dialami oleh masyarakat di
Indonesia adalah masalah kekeringan. Berbagai akibat yang ditimbulkan dari
kekeringan itu sendiri adalah menurunnya tinggi muka air waduk, kebakaran hutan,
gagal panen dan kekurangan air bersih. Menurut Irianto (2003), masalah kekeringan
menjadi lebih kompleks karena pada musim kemarau laju kehilangan air melalui
evapotranspirasi bisa meningkat hampir 2 kali lipat dari 2,5-3 mm/hari menjadi 5-5,5
mm/hari. Adapun penyebab utama dari tingginya intensitas kekeringan adalah
menurunnya daya dukung lingkungan hidup yang dalam hal ini adalah keberadaan

hutan. Hutan yang merupakan sumber uap air bagi atmosfer melalui proses transpirasi
telah mengalami banyak degradasi.
Kebanyakan masyarakat Bojonegoro yang sangat menggantungkan kehidupannya
pada sektor pertanian merupakan yang paling berpengaruh terhadap terjadinya bencana
kekeringan ini. Kegagalan panen adalah akibat utama yang ditimbulkan dari terjadinya
kekeringan di wilayah ini. Kekeringan dan kegagalan panen di Bojonegoro adalah 2
(dua) hal yang berkaitan dengan kondisi iklim yang lebih tepatnya sering dikenal
dengan fenomena el-nino. Dengan adanya cuaca yang lebih kering (el nino) dari kondisi
normal juga akan menyebabkan penundaan waktu tanam hingga waktu musim
penghujan. Hal ini sangat berpengaruh bagi produksi pangan dan pendapatan petani
khususnya di Bojonegoro. Adapun perkiraan keterlambatan penanaman padi
berdasarkan hasil temuan WFP (2016) pada beberapa lokasi di Indonesia akibat el-nino
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perkiraan keterlambatan penanaman padi pada 5 (lima) lokasi tertinggi di
Indonesia

No

1.
2.
3.
4.
5.

Provinsi

Jateng
Jatim
Jateng
Jatim
Jateng

Kabupaten

Blora
Bojonegoro
Pati
Lamongan
Wonogiri

Total Luas

Luas Tanam

Luas Tanam

Sawah

MT-I 2013

MT-I 2015

(Ha)

(Ha)

(Ha)

70.794
72.272
69.114
84.648
31.273

41.709
42.371
37.628
51.703
33.642

15.239
23.594
22.852
37.673
20.690

Total Luas

Persentase

Keterlambat

Keterlam-

-an Tanam

batan

(Ha)
26.470
18.777
14.776
14.030
12.932

Tanam
63%
44%
39%
27%
38%

Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa Kabupaten Bojonegoro yang notabene


termasuk daerah sentra beras menempati posisi ke-2 tertinggi yang mengalami
keterlambatan tanam di tahun 2015 setelah Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah.
Nilai persentasenya yang cukup memprihatinkan yakni mendekati angka 50% (44%)
mengindikasikan bahwa akan banyak lahan persawahan yang menganggur karena tidak
ditanami padi. Hal ini berdampak secara langsung terhadap menurunnya produktifitas
pangan di daerah tersebut maupun untuk di distribusikan ke daerah lain. Penghidupan
petani pun juga terdampak secara langsung. Dengan tidak ditanamnya padi maka akan
menurunkan pendapatan petani, padahal hampir lebih dari 50% masyarakat Bojonegoro
sangat menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian.

Hidup Bersama Bencana : Strategi Adaptif Masyarakat


Dilematis adalah satu kata yang dapat menggambarkan kondisi petani di
Bojonegoro saat ini. Di satu sisi, pada musim kemarau (el nino) mereka harus menunda
penanaman di sawahnya, di sisi lain menanam di musim penghujan sangat riskan
terkena banjir akibat meluapnya Sungai Bengawan Solo. Namun demikian walaupun
menghadapi kondisi ini, masyarakat yang berada di areal yang rawan bencana tetap
memutuskan untuk tetap berada di tempat tinggalnya saat ini. Menurut Putri (2014)
yang melakukan penelitian di Kelurahan Wedok Wetan, terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan masyarakat tidak mau meninggalkan tempat tinggalnya yang rawan
bencana, yakni karena :
Faktor ekonomi; dengan pendapatan pas-pasan dan dengan beban tanggungan keluarga
yang tinggi menjadikan masyarakat sulit menabung untuk merelokasi tempat tinggalnya
ke wilayah yang aman dari ancaman bencana.
Faktor sosial; yaitu, dengan latar belakang pekerjaan sebagai pedagang dan letak
wilayah yang sangat strategis dekat dengan pusat keramaian, sehingga menjadikan
masyarakat enggan merelokasi tempat tinggalnya dan di tambah lagi dengan adanya
hubungan interaksi sosial dan hubungan kekerabatan yang terjalin sangat kuat antar
warga menjadikan masyarakat semakin merasa nyaman tinggal diwilayah ini. Faktor
budaya; dengan adanya persepsi masyarakat yang merasa banjir bukan merupakan
musuh melainkan sahabat mereka, hal ini semakin menguatkan keinginan mereka untuk
tetap bermukim di wilayah rawan banjir di Kelurahan Ledok Wetan ini.
Melihat kejadian sifat bencana yang tak kunjung berhenti ini, maka sudah
seharusnya masyarakat di Bojonegoro baik petani maupun non petani (khususnya yang
tinggal di daerah rawan bencana banjir dan kekeringan) melakukan strategi adaptif.
Dalam hal ini Dzikroh (2014) dan Putri (2014) telah melakukan penelitian terkait
strategi adaptif yang dilakukan oleh masyarakat tersebut sebagaimana uraian berikut.
Strategi Adaptasi Masyarakat Petani
Dalam penelitiannya di Desa Kedungprimpen, Kecamatan Kanor, Dzikroh (2014)
telah memetakan beberapa tindakan adaptasi yang dilakukan masyarakat petani, baik
secara fisik maupun sosial. Secara fisik petani di lokasi ini melakukan tindakan adaptasi
dengan melakukan (1) Panca usaha tani. melalui penggunaan bibit varietas unggul,

pengusahaan kultur teknik, memproteksi tanaman, menambahkan abu gosok untuk


pemupukan untuk menghindari pupuk tergerus oleh air, dan pengairan; (2) Diversifikasi
pertanian. dalam hal ini petani menanam tanaman pisang pada daerah yang agak tinggi
walaupun hasilnya kurang maksimal; (3) Pola tanam. para petani tetap melakukan
penanaman sesuai musimnya yakni 2 kali masa dalam setahun walaupun tidak
dipungkiri resiko banjir akan selalu ada; (4) Pranoto Mongso. adalah aturan waktu
musim yang masih tetap digunakan oleh petani di daerah ini, namun terkait perubahan
yang tidak menentu mereka melakukan penyesuaian waktu berdasarkan pengalaman;
(5) Pengolahan lahan. pengolahan yang dilakukan meliputi perbaikan tanggul, saluran
pembuangan air pada saat banjir dan kesuburan lahan pertanian.
Disamping adaptasi secara fisik, masyarakat petani di Desa Kedungprimpen juga
melakukan adaptasi sosial seperti : (1) Kelompok Tani. memaksimalkan keberadaan
maupun membentuk kelompok tani dalam hal mendukung kegiatan pertanian
masyarakat; (2) Pengetahuan tentang banjir. masyarakat mendapatkan pengetahuan ini
berdasarkan pengalaman; (3) Pekerjaan sampingan. dalam rangka mengisi kekosongan
akibat keterlambatan waktu tanam (kekeringan) maupun resiko banjir masyarakat
melakukan pekerjaan sampingan untuk menambah pendapatan mereka dengan
memanfaatkan keahlian dan keterampilan lain.
Strategi Adaptasi Masyarakat Non-Petani
Putri (2014) dalam penelitannya telah memetakan strategi masyarakat yang
notabene bukan berprofesi sebagai petani karena tinggal di pusat kota kabupaten
Bojonegoro yakni di kelurahan Wedok Wetan. Adapun dari hasil penelitiannya dapat
diketahui bahwa masyarakat yang tinggal di kelurahan ini memiliki cara khusus untuk
bisa tinggal di daerah rawan bencana (banjir) yakni dengan cara (1) Melakukan
peninggian tempat tinggal kurang lebih 1 meter dari ketinggian awal. Hal ini
dilakukan dengan tujuan supaya air banjir yang masuk ke dalam rumah tingginya dapat
berkurang; 2). Pembuatan rak kayu (anjang-anjang) yang diletakkan di tempat yang
lebih tinggi didalam rumah, fungsi dari rak ini adalah sebagai tempat untuk meletakkan
barang-barang yang mungkin dapat tergenang banjir seperti barang-barang elektronik
dan surat-surat berharga; 3). Menjalin hubungan interaksi sosial yang baik antar warga,
hal ini dilakukan dengan saling bertukar informasi kepada warga tentang ketinggian air

sungai. Dengan tujuan ketika air sudah mulai naik masyarakat dengan segera menaikkan
barang-barang mereka ketempat yang lebih tinggi dan aman dari genangan air banjir. 4).
Saling membantu antar warga dan memiliki kesadaran untuk gotong-royong, hal ini
dilakukan untuk menghindari adanya kerugian dan korban jiwa yang diakibatkan oleh
banjir yang datangnya tiba-tiba. 5). Sikap tanggap, siap dan waspada wajib dimiliki
oleh setiap warga. Meskipun masyarakat sudah terbiasa dengan banjir yang terjadi di
wilayah mereka, sikap tanggap, siap dan waspada wajib dimiliki, karena banjir tetaplah
bencana yang tidak disangka-sangaka kedatanganya; dan 6) Bersahabat dengan banjir.
Ini merupakan cara yang dilakukan untuk menghindari rasa tertekan yang berlebihan
terhadap bencana yang mereka hadapi, sehingga tidak lagi ada rasa terisolasi dari
masyarakat luar yang tidak terdampak oleh banjir.
Tinjauan Pengelolaan Sumberdaya Air secara Terpadu untuk Mengatasi Banjir
dan Kekeringan : Saat Ini dan Di Waktu Mendatang
Secara general, sumberdaya air adalah masalah utama yang dihadapi oleh
Kabupaten Bojonegoro. Banjir yang mampu meningkatkan kuantitas suplai air
sedangkan kekeringan yang menurunkan suplai air dalam waktu tertentu dan pada taraf
yang ekstrim telah banyak merugikan masyarakat Bojonegoro. Persoalan ini tidak dapat
dipandang secara parsial dan membutuhkan penyelesaian secara holistik. Bagaimana
kita memandang proses hidrologis air, daya dukung lingkungan dan batasan ekologis
dari suatu DAS adalah hal yang dibutuhkan dalam setiap kebijakan penanganan
permasalahan sumberdaya air yang ada. Dalam hal kasus bencana banjir dan kekeringan
di Bojonegoro perlu rasanya memandang DAS sebagai suatu kesatuan pengelolaan yang
menghilangkan batas kewenangan baik pusat atau daerah dan antar daerah. Keterpaduan
seluruh elemen melalui konvergensi kegiatan pada DAS Bengawan Solo adalah langkah
yang dirasa tepat dalam mengantisipasi maupun mengatasi dampak buruk yang
ditimbulkan dari DAS itu sendiri.
Meleburkan Kewenangan dalam Pengelolaan DAS Bengawan Solo
Di Indonesia, pengelolaan di bidang sumberdaya air secara kewenangan berada di
bawah pengawasan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Adapun
peraturan yang mengatur mengenai pengelolaan air sebenarnya ssudah ada yakni UU

Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, namun saat ini telah dicabut oleh
Mahkamah Agung karena peraturan tersebut sarat akan privatisasi sumber-sumber air.
Walaupun demikian, mengingat pentingnya pengelolaan air yang perlu dilakukan secara
terpadu maka koordinasi di tingkat pemerintahan tetap perlu dilakukan. Namun apakah
jalannya pelaksanaan pengelolaan sudah berjalan sebagaimana mestinya? Pertanyaan ini
sebenarnya dapat dijawab dengan melihat kondisi eksisting yang terjadi saat ini. Belum
dapat teratasinya permasalahan banjir dan kekeringan dirasa menjadi jawaban kalau
pengelolaan belum dapat terlaksana secara benar. Ego sektoral di tingkat pemerintahan
dirasa masih lebih kental dibandingkan komitmen untuk melihat dan menyelesaikan
problem tentang air secara bersama-sama. Kementerian Pertanian hanya mengurusi air
untuk irigasi pertanian, Kementerian Kehutanan hanya mengurusi penanaman pohon,
Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) masih mengurusi pekerjaan yang
termasuk dalam wilayah administrasinya saja dan masih banyak instansi lain yang
mengurusi pekerjaan sesuai sektornya secara parsial.
Apabila melihat pengelolaan yang terdapat di DAS Bengawan Solo, akan terlihat
begitu banyaknya instansi/stakeholder yang terkait. Pada bagian hulu saja menurut
penelitian Lastiantoro dan Cahyono (2015), terdapat 14 stakeholder yang terkait dengan
pengelolaan DAS Bengawan Solo yang terdiri dari 10 instansi pemerintah, 3 perusahaan
BUMN dan lembaga swadaya masyarakat (termasuk beberapa kelompok masyarakat).
Oleh karena itu membangun keterpaduan visi, misi dan kegiata bukanlah perkara
mudah. Selanjutnya menurut Listiantoro dan Cahyono (2015), pemetaan peran dalam
membangun keterpaduan pengelolaan adalah suatu hal yang perlu dilakukan. Dalam
penelitiannya, instansi yang termasuk key player (berdasarkan matriks analisis para
pihak) yang dalam hal ini adalah Bappeda memegang peranan sangat penting yakni
sebagai koordinator dinas/lembaga/kantor di suatu lokasi. Adapun instansi pusat seperti
BBWS Bengawan Solo, Perum Perhutani dan BPDAS Solo dibutuhkan keberadaan dan
kegiatannya untuk dapat meningkatkan pembangunan infrastruktur dan mendorong
peran institusi dalam pengelolaan DAS.
Dalam rangka meleburkan kewenangan yang lintas sektoral dan wilayah di DAS
Bengawan Solo, institusi yang berperan sebagai player perlu didorong agar berperan
penuh dalam pengelolaan DAS baik di tingkat hulu, tengah maupun hilir yang
kesemuanya berada dalam wilayah kewenangan koordinator nasional. Menurut UU

10

Nomor 7 Tahun 2004 pengaturan kewenangan dan penunjukkan koordinator air sudah
secara jelas diatur secara berjenjang. Dimana untuk tingkat pusat berupa Dewan
Sumberdaya Air Nasional, Dewan Sumberdaya Air Provinsi di tingkat Provinsi dan
Dewan Sumber Daya Air Kabupaten di tingkat Kabupaten. Keanggotaan Dewan
Sumber Daya Air Nasional ini pun berasal dari unsur-unsur pemerintah dan nonpemerintah dalam jumlah yang seimbang atas dasar prinsip keterwakilan. Namun
dengan telah dicabutnya peraturan tersebut maka pemerintah tingkat pusat yakni
Kementerian PUPR (Direktorat Sumberdaya Air) sudah sepatutnya secara ekstra
melakukan tugas koordinasi ini. Karena, selama pengawasan dan koordinasi ini tidak
dilakukan dengan benar maka pengelolaan sumberdaya air terutama di tingkat DAS
(dalam hal ini DAS Bengawan Solo) juga tidak akan berjalan maksimal baik dalam hal
menjamin ketersediaan sumberdaya air maupun dalam hal penanggulangan bencana.
Upaya yang telah dilakukan di Kabupaten Bojonegoro
Walaupun perkembangan pengelolaan sumberdaya air yang dilakukan pemerintah
menurut perspektif banyak orang masih kurang maksimal, rasanya tidak adil juga kalau
kita selalu mendeskreditkan upaya pemerintah tersebut. Khusus di Kabupaten
Bojonegoro, pemerintah daerah dirasa telah mampu mengurangi daerah terdampak
banjir. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
Berdasarkan data dari BNPB dalam kurun waktu 2009 dan 2013 sebagaimana
Gambar 3, dapat terlihat bahwa daerah terdampak banjir di Kabupaten Bojonegoro
mengalami penurunan yang cukup signifikan. Dari 12 Kecamatan yang terdampak
banjir di tahun 2009 berkurang menjadi 6 Kecamatan di tahun 2013 atau sebesar
setengahnya dapat di atasi. Hal ini tidak terlepas dari kontribusi pemerintah yang
melakukan pembangunan infrastruktur berupa Bendungan Gerak di Kecamatan
Kalitidu. Pembangunan yang menelan dana Rp. 351 miliar dan merupakan proyek dari
Jepang ini disamping untuk mengatur aliran sungai Bengawan Solo (dalam rangka
penanganan banjir) juga difungsikan untuk menyimpan air hujan yang akan kemudian
dimanfaatkan untuk persediaan air saat musim kemarau tiba.

11

Gambar 3. Lokasi kejadian atau terdampak banjir pada tahun 2009 dan 2013 di
Kabupaten Bojonegoro
Perbaikan Hutan dalam Mengatasi Banjir dan Kekeringan
Faktor utama penyebab banjir umumnya selalu dikaitkan dengan keberadaan
hutan. Degradasi atau perubahan lahan hutan secara nyata telah menyebabkan banjir
yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Dalam konteks DAS, peran utama hutan
adalah untuk menghindari terjadinya aliran permukaan khususnya di daerah hulu.
Adapun indikator utama dalam menentukan peran penting hutan dalam suatu kesatuan
DAS untuk menghindari terjadinya banjir adalah dengan melihat debit maksimum yang
terdapat dalam suatu aliran sungai. Sebagai pembelajaran mengenai pentingnya hutan,
dapat melihat skenario model perubahan luas penggunaan lahan (hutan) terhadap proses
hidrologi yang disusun oleh Hakim (2008) yang mengambil lokasi di DAS Separi,
Kalimantan Timur (Tabel 2).
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa luas hutan yang tinggi (skenario 1)
secara signifikan mampu menahan debit puncak di nilai 61,81 m3/detik, berbeda dengan
luas semak belukar yang tinggi (skenario 0) yang menghasilkan debit sebesar 92,95
m3/detik. Adapun pada tiga tahun selanjutnya (tahun 2006), debit air pada skenario 1
dapat diturunkan hingga ke nilai 27,30 m3/detik atau dengan pengurangan sebesar 44%.
Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa potensi banjir dapat di minimalisir dengan
melakukan penanaman hutan di DAS bagian hulu. Sangat dimungkinkan kondisi ini
menjadi dasar analogi untuk diterapkan di DAS Bengawan Solo terutama menjaga dan

12

merehabilitasi hutan di bagian hulu yakni di wilayah Wonogiri-Jawa Tengah. Karena


dengan adanya peningkatan luas hutan di wilayah hulu dan tengah secara langsung akan
mengurangi debit air yang berpotensi menyebabkan banjir terutama di bagian hilir yang
dalam hal ini adalah daerah Kabupaten Bojonegoro.
Tabel 2. Skenario perubahan luas penggunaan lahan terhadap proses hidrologi di DAS
Separi, Kutai Kartanegara-Kalimantan Timur
No.
1
2
3
4
5
6
7

Jenis Penggunaan Lahan


Hutan
Kebun / Ladang
Lahan Terbuka
Permukiman
Persawahan
Semak Belukar
Tambang Batubara

Curah Hujan Bruto (mm)


Intersepsi (mm)
Infiltrasi (mm)
Curah Hujan Netto (mm)
Debit Puncak (m3/Detik)
Waktu Puncak (jam)
Curah Hujan Bruto (mm)
Intersepsi (mm)
Infiltrasi (mm)
Curah Hujan Netto (mm)
Debit Puncak (m3/Detik)
Waktu Puncak (jam)

Luas (Ha)
Skenario 0 Skenario 1 Skenario 2
261,49
21.313,95
11.280,01
490,21
443,64
490,21
31,16
28,38
28,38
28,38
116,47
116,47
116,47
21.974,74
1.000,00
10.987,37
463,92
463,92
463,92
Episode Hujan 14 - 17 Oktober 2003
110,00
110,00
110,00
3,96
5,44
4,71
59,73
71,44
66,00
46,31
33,11
39,28
92,95
61,81
76,56
23,80
25,60
24,40
Episode Hujan 25 - 28 Maret 2006
56,48
56,48
56,48
1,98
2,71
2,35
35,18
38,91
37,14
19,32
14,85
16,99
34,45
27,30
31,20
28,30
29,30
28,50

Skenario 3
12.574,77
443,64
13,25
28,38
116,47
9.725,93
463,92

Skenario 4
107,88
943,39
31,16
56,76
116,47
21.646,79
463,92

110,00
4,84
65,28
39,88
74,61
25,50

110,00
3,95
59,57
46,48
96,14
22,00

56,48
2,41
37,41
16,66
29,89
28,70

56,48
1,97
35,13
19,37
36,37
25,30

Keterangan : Hasil Penelitian M. Luthful Hakim (2008)


Disamping mampu mengendalikan terjadinya banjir, penanaman hutan di
Bojonegoro juga mampu mengurangi evapotranspirasi yang sangat tinggi pada saat
musim kemarau yang berkepanjangan akibat el-nino. Strategi penanaman dan proteksi
tegakan yang dilakukan oleh Perum Perhutani (KPH Bojonegoro) yang sudah berjalan
saat ini rasanya akan lebih maksimal dengan adanya penanaman Hutan Rakyat. Karena
dengan adanya Hutan Rakyat maka lahan kritis dan marginal seperti semak atau lahan
terbuka lainnya dapat dihijaukan untuk kepentingan siklus hidrologis yang lebih baik

13

dan akan lebih produktif bagi masyarakat. Namun demikian, meskipun pengelolaan
Hutan Rakyat masih sangat tergantung pada kebutuhan masyarakat (karena berada di
tanah milik), upaya ini dirasa cukup relevan dalam meningkatkan kualitas lingkungan
hidup di Bojonegoro khususnya dalam memastikan ketahanan sumberdaya air.
Pemerintah pun diharapkan perlu mensosialisasikan budaya menanam secara intensif
dengan didukung penyediaan bibit pohon kepada masyarakat.
Kesimpulan
Berdasarkan kajian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa bencana banjir dan
kekeringan yang menjadi icon bencana di Kabupaten Bojonegoro merupakan akibat dari
terganggunya proses hidrologis yang terjadi di DAS Bengawan Solo. Berbagai tindakan
yang bersifat adaptif telah dilakukan masyarakat di daerah ini, baik yang dilakukan oleh
masyarakat petani yang terdampak besar akibat bencana ini maupun masyarakat umum
(non petani). Namun demikian strategi ini hanya digunakan dalam rangka hidup
bersama bencana saja, oleh karenanya diperlukan suatu penanganan yang terpadu di
DAS Bengawan Solo. Pengelolaan sumberdaya air secara terpadu adalah suatu exit
strategy yang perlu diterapkan. Dengan memaksimalkan kewenangan sektor
(infrastruktur, kehutanan, pertanian, dan sebagainya) yang diwujudkan dengan
konvergensi kegiatan pada lokus DAS Bengawan Solo dinilai akan mampu
memilimalisir bencana banjir dan kekeringan yang melanda Bojonegoro. Untuk itu,
dibutuhkan suatu payung hukum (peraturan) dan kelembagaan yang berfungsi sebagai
koordinator secara berjenjang untuk memastikan bahwa pengelolaan sumberdaya air
dapat berjalan secara maksimal di tingkat tapak dan menghindari dampak negatif yang
akan ditimbulkan.
Daftar Pustaka
Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, Direktorat Pengairan dan Irigasi. 2008. Kebijakan
Penanggulangan Banjir di Indonesia. [internet]. [diakses pada 2016 Mei 26]
Tersedia
pada
http://www.bappenas.go.id/files/5913/4986/1931/2kebijakanpenanggulangan-banjir-di-indonesia__20081123002641__1.pdf
Dzikroh M. 2014. Kajian tentang Adaptasi Petani Terhadap Peristiwa Banjir Bengawan
Solo Di Desa Kedungprimpen Kecamatan Kanor Kabupaten Bojonegoro [skripsi].
Surabaya (ID): Universitas Negeri Surabaya.

14

GWP dan OECD. 2015. Securing Water, Sustaining Growth : Report of the
GWP/OECD Task Force on Water Security and Sustainable Growth. Oxford
(UK): University of Oxford
Hakim LM. 2008. Model Pendugaan Banjir dan Kekeringan. Studi Kasus di DAS
Separi, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Irianto G. 2003. Drought Management untuk Minimalisasi Resiko Kekeringan.
Kompas, 14 Juli 2003.
Kementerian Lingkungan Hidup. 2010. Status Lingkungan Hidup Indonesia. Jakarta
(ID): Kementerian Lingkungan Hidup.
Keraf S. 2010. Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global. Jakarta (ID): Kanisius
Lastiantoro CY, Cahyono SA. 2015. Analisis Peran Para Pihak dalam Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo. Jurnal Balai Penelitian Teknologi
Kehutanan Pengelolaan DAS Hal 203-211
Pemerintah Kabupaten Bojonegoro. 2011. Peraturan Daerah Kabupaten Bojonegoro
Nomor 26 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kebupaten
Bojonegoro Tahun 2011-2031. Bojonegoro (ID): Sekretaris Daerah Kabupaten
Bojonegoro
Pemerintah Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.
Putri DL. 2014. Kajian tentang Penyebab Masyarakat Lebih Memilih Tetap Bermukim
di Wilayah Rawan Banjir (Studi Kasus di Kelurahan Ledok Wetan Kecamatan
Bojonegoro Kabupaten Bojonegoro) [skripsi]. Surabaya (ID): Universitas Negeri
Surabaya.
Rohmawati FY, Turyanti A, Prasasti I. 2015. Kondisi Atmosfer pada Kejadian Banjir
Desember 2007 sampai Januari 2008 di Kabupaten Bojonegoro. Jurnal
Meteorologi dan Geofisika Vol. 16 No. 2 Tahun 2015 Hal: 77-82.
Suriati A. 2008. Studi Laju Degradasi Hutan Jati (Tectona grandis) KPH Bojonegoro
Perum Perhutani Unit II Jawa Timur [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
World Food Programme [WFP]. 2016. Buletin Pemantauan Ketahanan Pangan. Fokus
Utama : Dampak El-Nino. [internet]. [diunduh pada 2016 Mei 30] Tersedia pada:
http://reliefweb.int/sites/reliefweb.int/files/resources/wfp281159.pdf

15

Anda mungkin juga menyukai