PT. Bandeng Juwana Erlina terletak di Jl. Padanaran No. 57 dan bergerak di bidang kuliner
dengan menyediakan berbagai macam oleh-oleh khas Kota Semarang. Perusahaan yang juga
memiliki pabrik di kawasan industri Terboyo dan Gatot Subroto ini didirikan oleh dr. Daniel
Subroto. Sekarang, pabrik ini memperkerjakan 800 karyawan. Perusahaan ini menawarkan
aneka olahan ikan Bandeng dan berbagai macam makanan kecil lainnya seperti wingko babat,
bakpia, lunpia, enting-enting gepuk, serta beraneka macam kue basah lainnya.
Sebagai penyedia oleh-oleh khas Semarang, kegiatan di tempat ini mulai beroperasi pukul
05.00 WIB dan bagian toko buka sejak pukul 06.00-23.00 WIB. Para buruh rata-rata bekerja 8
jam sehari dengan sistem tiga kali shift kerja dan memiliki jatah libur satu hari dalam seminggu
serta cuti sekali dalam satu bulan. Selain menerima gaji pokok sesuai dengan UMR kota
Semarang (1,4 juta), perusahaan juga memberikan upah lembur dan bonus di hari besar seperti
Natal dan Idul Fitri. Sayangnya, sebagai toko oleh-oleh, perusahaan ini tidak mengenal libur
bahkan pada hari-hari besar nasional. PT. Bandeng Juwana Elrina memiliki beberapa kebijakan
antara lain: memberikan makan siang dan makan malam bagi karyawan, jaminan pembayaran
bagi karyawan yang berobat di Panti Wiloso, serta pembagian tips secara merata bagi semua
pramuniaga setiap setahun sekali.
Narasi
Pagi-pagi benar saya dan beberapa kawan sudah harus bangun dan menuju tempat kerja.
Maklumlah, bekerja sebagai buruh produksi wingko diharuskan masuk kerja pukul 04.30 WIB.
Sebenarnya saya enggan untuk bekerja hari ini, namun tuntutan kerja memaksa saya untuk tetap
berangkat walaupun badan masih pegal dan lelah. Sesampainya di ruang produksi, tiba-tiba pak
mandor memberitahukan bahwa target produksi wingko hari ini lebih banyak dari kemarin.
Rupanya, Toko Bandeng Juwana sedang dipadati para pengunjung untuk membeli oleh-oleh.
Maklumlah musim liburan membuat para pelanggan yang datang semakin banyak. Beginilah
nasib buruh produksi. Sebanyak apapun wingko yang saya hasilkan, namun keuntungan tetap
dirasakan oleh pemilik perusahaan.
Seperti biasa saya menyiapkan sepuluh oven untuk memanggang wingko. Panasnya oven
yang sudah menyala serentak mengusir rasa kantuk dan rasa malas. Sementara itu deru mixer
pengaduk adonan masih terus bekerja, para buruh perempuan telah duduk mencetak wingko
sesuai dengan ukuran yang dipesan kepala toko. Kemudian, saya dan beberapa teman
mengangkat bahan-bahan yang dibutuhkan ke dekat mixer secara manual. Saya benci
mengangkat berkilo-kilo bahan baku secara manual karena membuat pinggang sakit dan otototot serasa mau meledak.
1
Setelah proses pencetakan selesai, kami para buruh pria siap memanggang wingko.
Kondisi oven yang panas mengharuskan saya memakai sarung tangan sampai empat lapis. Saya
tidak mau mengalami seperti salah satu kawan yang harus ke dokter karena lalai memakai
sarung tangan sehingga tangannya melepuh. Pada bagian ini saya harus bekerja ekstra cepat.
Sebab, bila terlambat sedikit saja, maka wingko yang dipanggang akan menjadi gosong dan tak
dapat dijual.
Setelah kue-kue wingko ini diangkat, saya bergantian dengan kawan lain menghidupkan
mesin pengemas dan mengemasi wingko-wingko tersebut. Akhirnya setelah berdus-dus wingko
yang selesai dikemasi diambil oleh karyawan toko, pekerjaan pertama kami pagi ini sudah
selesai. Namun, jangan dibayangkan bisa istirahat. Sementara baju basah oleh keringat, saya
mengulang kembali pekerjaan dari awal, yaitu mengaduk adonan, mencetak kue, membakar
wingko, dan mengemasinya. Pekerjaan ini terus-menerus diulang sampai produksi memenuhi
target perusahaan. Seperti itulah pekerjaan yang harus saya lakukan sehari-hari, kecuali pada
hari libur yang saya dapat sekali seminggu. Sayangnya saya tidak dapat memilih kapan saya
dapat libur karena perusahaan menerapkan rotasi libur di antara buruh.
Sekarang sudah pukul sembilan pagi. Tuntutan kerja di unit ini memang membuat kami
tidak pernah sarapan tepat waktu. Biasanya saya harus mencuri waktu untuk sarapan di tengah
kerja yang berat. Hal yang sama juga saya rasakan ketika makan siang. Biasanya saya
menyempatkan makan siang sambil bergantian dengan para buruh perempuan. Disaat mereka
mengolah dan mencetak adonan, kami para buruh pria bisa makan siang. Sebenarnya saat
istirahat siang merupakan waktu yang menyenangkan. Di waktu ini kami dapat bercerita,
bercanda, dan saling mengibur. Banyak kisah mengenai masalah-masalah yang kami alami dapat
dibicarakan disini. Makanan yang kami terima pun juga sangat sederhana, sebagai buruh saya
tak bisa menuntut macam-macam sebab saya menerima makanan ini secara cuma-cuma dari
perusahaan. Lebih baik saya terima makanan ini daripada harus membeli sendiri. Bukankah
menghemat pengeluaran itu lebih baik apabila mengingat gaji saya yang kecil?
Sekarang sudah pukul dua siang, artinya sebentar lagi jam kerja saya selesai. Sialnya pak
mandor datang dan meminta saya untuk lembur karena permintaan konsumen membludak.
Padahal pinggang dan badan saya sudah sakit semua. Inilah penderitaan saya yang bekerja
mengandalkan kekuatan fisik. Saya tidak bisa menolak. Di satu sisi saya membutuhkan
tambahan uang, di satu sisi penolakan dapat memberikan penilaian buruk dari perusahaan.
Apalagi ditambah dengan mandor yang suka melapor semakin membuat situasi pekerjaan ini
seringkali tidak menyenangkan. Berbicara mengenai para mandor dan kepala toko, mereka
sering jadi bahan omongan para buruh. Sebab seluruh kinerja kami dinilai berdasarkan
pengamatan mereka. Belum lagi sikap yang suka memerintah semaunya. Posisi mereka
2
membuat saya sebagai buruh tak bisa berbuat apa-apa. Beginilah nasib buruh yang selalu harus
menerima tindakan semena-mena dari atasannya.
Akhirnya jam kerja saya di unit produksi selesai juga. Saya pulang ke rumah jam 6 sore
dengan kondisi yang sangat lelah. Badan pegal, kulit serasa terbakar karena terlalu lama berdiri
di dekat oven, dan ditambah kaki yang mulai mati rasa karena berdiri sepanjang hari. Kondisi
badan yang remuk-redam ini rasanya tidak sebanding dengan upah lembur yang diterima.
Bagaimanapun juga upah sepuluh ribu per jam masih saja belum cukup memenuhi kebutuhan
hidup yang serba mahal. Saya pulang dengan langkah gontai merenungkan nasib yang tak
kunjung berubah.
Pertanyaan Teologis
Perjumpaan dan kebersamaan dengan buruh PT. Bandeng Juwana menunjukkan kepada
kami realita bagaimana suatu kondisi kerja yang menelanjangi martabat kemanusiaan mereka.
Dari hari ke hari, para buruh menghabiskan sebagaian besar waktu dan tenaga mereka untuk
bekerja di perusahaan ini. Mereka tampak menjadi salah satu faktor produksi yang penting
karena melalui tangan merekalah lahir produk-produk andalan perusahaan. Namun demikian,
mereka tetaplah seorang pribadi yang mempunyai hak untuk mengembangkan diri. Tak hanya
pekerjaan yang membuat tak berdaya, tapi juga waktu untuk dapat bersama keluarga atau
sahabat mereka serta kesempatan untuk mengembangkan diri melalui kursus atau studi lanjut
terserap dalam pekerjaan mereka ini. Oleh karena itu, mereka tampak ditelanjangi dan tak
berdaya berhadapan dengan realita ini. Pertanyaan yang muncul dari situasi tersebut adalah
apakah kondisi kerja di PT. Bandeng Juwana merupakan bentuk penelanjangan terhadap
martabat para buruh?
Thesis:
Sebagaimana Kristus yang ditelanjangi kemanusiaan-Nya, penelanjangan martabat
dan hak-hak para buruh PT. Bandeng Juwana menggerakkan kami untuk berpihak pada
mereka.
Penelanjangan martabat dan hak-hak para buruh PT. Bandeng Juwana
Pada dasarnya suku, ras, agama dan status sosial tidak mempengaruhi martabat seorang
manusia. Namun demikian, setelah berlangsungnya perkembangan teknologi dan peradaban
manusia muncullah suatu pemikiran atau anggapan yang berlawanan dengan kesetaraan martabat
manusia1.
Nilai-nilai
persahabatan,
kerjasama
1 GS 8
3
dan
kerelaan
saling
menolong
dan
dalam posisi yang sulit. Mereka memilih menolak tawaran pekerjaan sehingga akan menganggur
atau bekerja tetapi dalam keadaan yang sungguh menyengsarakan mereka. Selain itu, sewaktuwaktu, para pemilik dan jajaran pimpinan perusahaan dapat mengancam para pekerjanya untuk
memutuskan hubungan kerja dan mengganti tenaga mereka dengan mesin-mesin. Demikian,
kehidupan para pekerja terutama pekerja kasar atau buruh berada dalam dominasi pemilik
perusahaan dan didera kecemasan.
Pada situasi inilah terjadi penelanjangan terhadap martabat kemanusiaan kaum buruh
terjadi. Melihat realita yang ada, tampak bahwa sang pemilik atau jajaran pemimpin perusahaan
tak pernah menempatkan buruh sebagai pihak yang setara dengan mereka apalagi sebagai
pribadi. Buruh diobyekkan dan dipandang sebagai alat 3 sehingga mereka terasing dari kerjanya.
Pandangan inilah yang pertama-tama sungguh menelanjangi martabat para buruh. Mereka yang
seharusnya menjadi tujuan dari usaha pencapaian kesejahteraan bersama seluruh masyarakat
justru menjadi korban bagi kemakmuran sebagian orang. Penelanjangan martabat kemanusiaan
ini yang kemudian juga menjadi penyebab dari ketidakadilan dan kesenjangan sosial. Para
pemilik perusahaan seringkali tidak memikirkan nasib kaum buruh.
Alih-alih memikirkan nasib kaum buruh, para pemilik justru mengusahakan berbagai cara
untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya termasuk jika itu melanggar martabat dan hak kaum
buruh melalui berbagai cara dan kebijakan. Cara dan kebijakan ini dapat saja terungkap dengan
cara-cara yang vulgar atau disampaikan begitu saja. Namun demikian, tidak jarang para pemilik
menggunakan jeratan halus tetapi sungguh mengikat dan mencekik kaum buruh. Dalam praktek
nyata, kebijakan itu dapat berupa kebijakan jam kerja, lembur, bonus dan sebagainya.
Menurut konsep jam kerja yang sesuai, dikatakan bahwa para buruh bekerja selama
delapan jam sehari. Namun, benarkah demikian? Konsep-konsep yang seringkali dibicarakan
pada tataran pemilik, jajaran pimpinan perusahaan dan para perumus kebijakan mestinya
dihadapkan pada realita yang dialami para buruh. Gaji para buruh yang seringkali dikatakan
sesuai atau di atas UMR ternyata mengalami banyak pemotongan, misalnya: iuran serikat
pekerja, tambahan minum atau makan karena keterbatasan fasilitas, arisan antar atau kebutuhan
yang lain. Kalaupun upah para buruh dikatakan lebih tinggi dari UMR, upah tersebut tidak akan
jauh lebih tinggi dari UMR atau dengan kata lain mepet dengan UMR. Para pemilik seringkali
tidak memikirkan hal ini dan selalu membela diri bahwa mereka telah banyak menolong buruh.
Dengan upah yang mepet, buruh mau tak mau harus menambah penghasilan. Dalam hal
ini, lembur menjadi pilihan yang biasa diambil oleh buruh. Lembur inilah akhirnya membuat
3 LE 7
5
jam kerja buruh dapat menjadi sangat panjang. Akhirnya, jam kerja yang sedianya delapan jam
menjadi sepuluh jam bahkan lebih. Para buruh dipacu untuk berproduksi layaknya sebuah mesin
penghasil uang. Jika dilihat, upah lembur yang mereka terima tidaklah sesuai dengan keuntungan
yang mereka berikan kepada pemilik perusahaan. Bonus-bonus yang dijanjikan pun menjadi
sebuah topeng bagi penelajangan martabat kemanusiaan karena hampir-hampir tidak merubah
nasib buruh.
Sebagai manusia yang memiliki martabat yang sama, para buruh telah dilucuti
martabatnya oleh para pemodal. Kebebasan mereka dipasung oleh sebuah sistem kapitalisme
yang tercermin dalam kebijakan perusahaan. Maka, muncullah ketidakadilan karena upah yang
seharusnya menjadi kesepakatan di antara buruh dan pemilik menjadi kesepakatan sepihak
karena tak ada kebebasan4.
Jam kerja yang seringkali lebih dari sepuluh jam membuat para buruh kehabisan energi
dan waktu. Dari hari ke hari tenaga mereka diperas bagi keuntungan sedikit orang. Kerja tidak
lagi menjadi suatu hal yang membahagiakan tetapi dapat menjadi suatu keterpaksaan karena
terdesak oleh pilihan yang pelik untuk menganggur atau bekerja dalam keadaan yang demikian
itu. Oleh karena itu, kerja yang seharusnya menjadi actus personae atau ekspresi dari martabat
manusia dapat menjadi suatu penelanjangan martabat ketika hati nurani dan kebebasan para
buruh dilanggar dan tidak dihargai5 di tempat kerjanya. Mereka kehilangan waktu untuk
mengembangkan diri baik dengan kursus maupun studi lanjut, kehilangan waktu untuk
berekreasi serta kebersamaan dengan keluarga. Lebih mirisnya lagi, banyak buruh yang masih
tergolong muda kehilangan masa muda mereka di pabrik tanpa ada suatu kemajuan ekonomi dan
perkembangan diri yang signifikan.
sampaikan sebenarnya, bukanlah Yesus yang diadili, melainkan Pilatus sendiri dan seluruh
bangsa Israel. Pengadilan Yesus oleh Pilatus dimulai dengan penyesahan Yesus. Penyesahan
yang dilakukan oleh prajurit Romawi merupakan awal dari proses perendahan martabat manusia.
Dalam penyesahan tersebut, Yesus merasakan sakitnya cambuk yang mengenai badannya. Di
sini, badan manusia mulai menjadi bulan-bulanan cambukan dari sesama manusia yang lain.
Badan manusia yang seharunya mendapat perawatan dan pemeliharaan oleh karena kekejaman
manusia tubuh menjadi sangat rendah nilainya. Tubuh manusia menjadi alat atau sarana.
Kisah penelanjangan atas diri Yesus yang berikutnya adalah pemberiaan mahkota duri.
Mahkota diidentikan dengan keagungan dan kekuasaan. Mahkota hanya diberikan pada raja.
Dalam kontek pengadilan Yesus, Yesus menerima mahkota duri bukan sebagai lambang
keagungan dan kekuasaan. Lambang mahkota duri menggambarkan perendahan martabat
manusia lebih-lebih kemanusiaan Yesus. Puncak dari penelanjangan martabat Yesus sebagai
manusia adalah ketika Pilatus membawa keluar Yesus dan mengatakan kepada seluruh bangsa
Israel, Lihatlah manusia itu. Dengan frase tersebut, penginjil mau menampilkan kondisi Yesus
yang hina, rendah dan tidak berdaya. Yesus terlihat tidak seperti manusia pada umumnya yang
memiliki wibawa dan martab sebagai manusia citra dan gambar Allah. Yesus berada pada titik
rendahnya sebagai manusia. Yesus kehilangan hak-hak mendasarnya sebagai manusia. Dengan
kehilangan hak-hak manusiannya, Yesus tidak lebih dari seorang budak. Keelokan dan
wibawaNya sebagai manusia telah terserap dan tergantikan oleh rupa yang penuh kesengsaraan
dan penderitaan. KeilahiaanNya tidak nampak dan yang tinggal pada diriNya hanyalah manusia
yang terluka dan sengsara. Kondisi Yesus yang terluka, bermahkotakan duri dan berjubah ungu
sesungguhnya menggambarkan realitas nyata orang yang dirampas martabatnya.
Menggerakkan kami untuk berpihak pada mereka
Pengalaman perjumpaan dengan kaum buruh di PT. Bandeng Juwana sungguh
mengingatkan kami pada pengalaman Yesus yang ditelanjangi kemanusiaan-Nya. Kerja bertubitubi dan penderitaan yang dialami para buruh, memperlihatkan sisi penderitaan yang harus
dialami pula oleh Yesus sendiri ketika Ia diadili dan disesah di hapadan Pilatus. Keserupaan
antara penderitaan dan ketidakberdayaan para buruh dengan penelanjangan kemanusiaan yang
dialami Yesus itulah yang membuat kami berpihak kepada para buruh. Ketergerakan itu kami
rasakan berasal dari Yesus sendiri sebagaimana Yesus sendiri sering kali bertindak bagi orang
miskin dan menderita karena hatiNya yang tergerak oleh belas kasihan.
Keberpihakan yang kelompok maksudkan tentu tidak hanya sekedar berdiri dan secara
pasif ada bersama dengan kaum buruh saja. Di dalam keberpihakan itu ada usaha-usaha yang
dilakukan untuk dapat mengangkat kembali martabat dan juga menegakkan hak-hak kaum buruh
untuk menjadi pribadi yang semakin utuh. Dari segi porsi kerja yang dialami para buruh sendiri
7
memperlihatkan ketidakadilan di mana mereka bekerja dan lembur melebihi peraturan yang ada
yakni bisa lebih dari 15 jam kerja serta lembur. Padahal meenurut pasal 78 UU Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatakan bahwa lembur dapat dilakukan paling banyak 3
jam/hari dan 14 jam/minggu.
Kondisi yang seperti ini membuat kami melihat bahwa para buruh tidak mempunyai
kesempatan untuk mengembangkan diri mereka. Mereka tidak punya kesempatan untuk
menyalurkan hobi, bakat, maupun pendidikan karena mereka mau tidak mau menjalani kerja
yang bertubi-tubi itu untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Konsekuensinya mereka
hanya berhenti dengan apa yang mereka punya dan pahami selama ini. Di tengah kondisi situasi
itu, kami melihat adanya peluang untuk kembali mengangkat hak dan martabat mereka. Melalui
kursus pelatihan dan pengembangan diri kami mencoba membantu mereka untuk bisa semakin
maju. Harapannya tentu membawa para buruh menjadi semakin berkembang dalam hidup dan
kepribadian mereka sebagai manusia.
Pastoral
Perjumpaan kami dengan karyawan Bandeng Juwana membuka wawasan kami akan
adanya realita penelanjangan. Para karyawan seakan-akan dibuat tidak mempunyai
kesempatan untuk mengembangkan dirinya dan menyejahterakan kehidupannya. Oleh karena
itulah kami menawarkan beberapa bentuk langkah pastoral yang setidaknya bisa meringankan
permasalahan mereka, antara lain:
1; Kursus/pelatihan pengembangan diri
2; Gerakan ayo sekolah anak-anak buruh untuk pendidikan dengan memberikan beasiswa SD,
SMP, SMA/SMK
Para karyawan Bandeng Juwana sebagian besar memang masih muda dan belum
berkeluarga. Namun demikian ada pula karyawan yang sudah menikah dan mempunyai
anak. Dengan gaji yang sebatas UMR, sejauh kami lihat memang kurang mendukung
kesejahteraan para karyawan, terkhusus mereka yang sudah berkeluarga, sebab dari
Bandeng Juwana tidak memberikan tunjangan bagi mereka yang sudah berkeluarga.
Padahal, mereka yang berkeluarga mempunyai tanggungan yang lebih besar yaitu terhadap
suami dan juga anaknya. Oleh karena itulah, guna memperhatikan dan membantu kehidupan
para karyawan Bandeng Juwana, secara khusus yang sudah mempunyai anak, kami
menawarkan pula gerakan Ayo Sekolah.
Gerakan Ayo Sekolah ini secara nyata berwujud pemberian bantuan uang pendidikan
terhadap anak-anak karyawan Bandeng Juwana. Dengan bantuan yang ada diharapkan bisa
membantu mengurangi biaya hidup keluarga karyawan Bandeng Juwana. Langkah
konkretnya kami akan mendata dulu siapa yang patut menerima sumbangan dan kemudian
9
bekerjasama dengan orang-orang yang mau menjadi donatur. Akhirnya kami akan langsung
menyumbangkan uang pendidikan tersebut ke sekolah anak.
3; Berdasarkan pengalaman bersama para buruh, kami sering mendengar keluhan bahwa gaji
kadang tidak mencukupi kebutuhan hidup khususnya mereka yang berkeluarga. Ada yang
berusaha untuk ngerem pengeluaran tetapi ada yang mempunyai pekerjaan sambilan.
Terhadap situasi ini, kami melihat peluang guna menghadirkan Credit Union (CU) dalam
lingkungan buruh Bandeng Juwana. Hal ini dimaksudkan guna menopang mereka secara
finansial khususnya dengan memberi modal insentif guna membuka lapangan kerja baru
(berwiraswasta). Di sisi lain, hal ini dapat mengurangi ketergantungan para buruh terhadap
PT Bandeng Juwana. Akan tiba saatnya mereka berhenti bekerja sebagai buruh di sana.
Namun hal itu takkan mempunyai banyak efek bila mereka sudah mempunyai usaha mandiri
yang dapat menopang kebutuhan ekonomi. Pada tahap awal, kami yang akan menjadi
pengurus CU. Hal ini tentu tidak mudah namun untuk itulah kami dipanggil guna
mewujudkan teologi sosial di antara para buruh Bandeng Juwana, Semarang.
10