Anda di halaman 1dari 21

PENDAHULUAN

Hati merupakan salah satu organ yang sangat penting peranannya dalam mengatur
metabolisme tubuh, yaitu dalam proses anabolisme atau sintesis bahan-bahan yang penting untuk
kehidupan manusia seperti sintesis protein dan pembentukan glukosa ; sedangkan dalam proses
katabolisme dengan melakukan detoksikasi bahan-bahan seperti amonia, berbagai jenis hormon
dan obat-obatan. Di samping itu hati juga berperan sebagai gudang tempat penyimpanan bahanbahan seperti glikogen dan beberapa vitamin dan memelihara aliran normal darah splanknikus.
Oleh karena itu terjadi kerusakan sel-sel parenkhim hati akut maupun kronik yang berat, fungsifungsi tersebut akan mengalami gangguan atau kekacauan, sehingga dapat timbul kelainan
seperti ensefalopati hepatikum (Akil., 1998).
A. DEFINISI KOMA HEPATIKUM (ENSEFALOPATI HEPATIC)
Koma hepatic menggambarkan stadium ensefalopati hepatic yang lebih lanjut.
Berikut merupakan beberapa definisi menurut beberapa tokoh, diantaranya:
Ensefalopati Hepatik adalah suatu sindrom neuropsikiatri, mempunyai spektrum klinik yang luas,
dapat timbul akibat penyakit hati yang berat, baik akut maupun yang menahun ditandai adanya
gangguan tingkah laku, gejala neurologik, astriksis, berbagai derajat gangguan kesadaran sampai
koma, dan kelainan elektro ensefalografi (Blei., 1999).
Enselafalopati Hepatik (EH) merupakan sindrom neuropsikiatrik yang terjadi pada penyakit hati.
Definisi tersebut menyiratkn bahwa spektrum klinis (EH) sangat luas, karena di dalamnya juga
termauk pasien hepatitis fulminan serta pasien sirosis dalam stadium Ensefalopati Hepatik
Subklinis (EHS) (Budihusodo., 2001).
Ensefalopati hepatik adalah suatu kompleks suatu gangguan susunan saraf pusat yang dijumpai
yang mengidap gagal hati. Kelainan ini ditandai oleh gangguan memori dan perubahan
kepribadian (Corwin., 2001).

Ensefalopati hepatik (ensefalopati sistem portal, koma hepatikum) adalah suatu kelainan dimana
fungsi otak mengalami kemunduran akibat zat-zat racun di dalam darah, yang dalam keadaan
normal dibuang oleh hati (Stein 2001).
Ensefalopati hepatik merupakan sindrom neuropsikiatrik pada penderita penyakit hati berat.
Sindrom ini ditandai oleh kekacauan mental, tremor otot dan flapping tremor yang dinamakan
asteriksis (Price et al., 1995).
B. KLASIFIKASI
Klasifikasi EH yang banyak dianut adalah :
1) Menurut cara terjadinya
a. EH tipe akut :
Timbul tiba-tiba dengan perjalanan penyakit yang pendek, sangat cepat memburuk jatuh
dalam koma, sering kurang dari 24 jam. Tipe ini antara lain hepatitis virus fulminan,
hepatitis karena obat dan racun, sindroma reye atau dapat pula pada sirosis hati.
b. EH tipe kronik :
Terjadi dalam periode yang lama, berbulan-bulan sampai dengan bertahun-tahun. Suatu
contoh klasik adalah EH yang terjadi pada sirosis hepar dengan kolateral sistem porta
yang ekstensif, dengan tanda-tanda gangguan mental, emosional atau kelainan
nueurologik yang berangsur-angsur makin berat.
2) Menurut faktor etiologinya
a. EH primer / Endogen
Terjadi tanpa adanya faktor pencetus, merupakan tahap akhir dari kerusakan sel-sel hati
yang difus nekrosis sel hati yang meluas. Pada hepatitis fulminan terjadi kerusakan sel
hati yang difus dan cepat, sehingga kesadaran terganggu, gelisah, timbul disorientasi,
berteriak-teriak, kemudian dengan cepat jatuh dalam keadaan koma, sedangkan pada

siridis hepar disebabkan fibrosi sel hati yang meluas dan biasanya sudah ada sistem
kolateral, ascites. Disini gangguan disebabkan adanya zat racun yang tidak dapat
dimetabolisir oleh hati. Melalui sistem portal / kolateral mempengaruhi susunan saraf
pusat.
b. EH Sekunder / Eksogen
Terjadi karena adanya faktor-faktor pencetus pada pederita yang telah mempunyai
kelainan hati. Faktor-faktor antara lain adalah:
1. Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan PH darah :
o Dehidrasi / hipovolemia
o Parasintesis abdomen
o Diuresis berlebihan
2. Pendarahan gastrointestinal
3. Operasi besar
4. Infeksi berat
5. Intake protein berlebihan
6. Konstipasi lama yang berlarut-larut
7. Obat obat narkotik/ hipnotik
8. Pintas porta sistemik, baik secara alamiah maupun pembedahan
9. Azotemia
C. ETIOLOGI

Bahan-bahan yang diserap kedalam aliran darah dari usus,akan melewati hati,dimana
racun-racunnya dibuang pada ensefalopati hepatic,yang terjadi adalah:
a. Racun-racun ini tidak dibuang karena funsi hati terganggu.
b. Telah terbentuk hubungan antara system portal dan sirkulasi umum(sebagai
akibat dari penyakit hati),sehingga racun tadak melewati hati.
c. Pembedahan by pass untuk memperbaiki hipertensi portal(shunt system
portal)juga akan menyebabkan beberapa racun tidak melewati hati.apapun
penyebabnya ,akibatnya adalah sampainya racun di otak dan mempengaruhi
fungsi otak.
Bahan apa yang bersifat racun terhadap otak,secara pasti belum diketahui.tetapi tingginya
kadar hasil pemecahan protein dalam darah,misalnya ammonia,tampaknya memegag peranan
yang penting.
Pada penderita penyakit hati menahun,ensefalopati biasanya dipicu oleh:
a. Infeksi akut.
b. Pemakaian alcohol.
c. Terlalu banyak makan protein,yang akan meningkatkan kadar hasil pemecahan
protein dalam darah.
d. Perdarahan pada saluran pencernaan,misalnya pada varises esofageal,juga bias
menyebabkan
e.

bertumpuknya

hasil

pemecahan

langsungbisa mengenai otak.


Obat-obat tertentu,terutama

obat

tidur,obat

protein,yang
pereda

nyeri

secara
dan

diuretic(azotemia,hipovolemia).
f. Obstipasi meningkatkan produksi, absopsi ammonia dan toksin nitrogen
lainnya.
C. PATOGENESIS
Belum ada patagonesis yang diterima untuk menjelaskan proses terjadinya EH. Beberapa
hipotesis yang paling sering dijadikan acuan penatalaksanaan EH adalah (1) Hipotesis ammonia,
(2) Hipotesis neurotoksi sinergis, (3) Hipotesis neurotransmitter palsu, (4) Hipotesis GABA /
benzodiazepine (Budihusodo., 2002).

Sedangkan faktor-faktor yang sangat mungkin terlibat dalam terjadinya EH adalah :


1. Pengaruh neurotoksin endogen yang tidak cukup didetoksifisikasikan oleh hati
sirotik.
2. Fungsi astroglia yang abnormal disertai gangguan sekunder fungsi neuron.
3. Kelainan permeablitas sawar darah-otak.
4. Perubahan neurotransmiter intraserebral beserta reseptornya.
Dalam arti yang sederhana, EH dapat dijelaskan sebagai suatu bentuk intosikiasi otak
yang disebabkan oleh isi usus yang tidak di metabolisme oleh hati. Keadaan ini dapat terjadi bila
terdapat kerusakan sel hati akibat nekrosis, atau adanya pirau (pataologis atau akibat
pembedahan) yang memungkinkan adanya darah porta mencapai sirkulasi sistemik dalam jumlah
besar tanpa melewati hati (Price et al., 1995).
Metabolit yang bertanggung jawab atas timbulnya EH tidak diketahui dengan pasti.
Mekanisme dasar tampaknya adalah karena intosikasi otak oleh hasil pemecahan metabolisme
protein oleh bakteri dalam usus. Hasil-hasil metabolisme ini dapat memintas hati karena adanya
penyakit pada sel hati atau karena pirau (Price et al., 1995).
EH pada penyakit hati kronik biasanya dipercepat oleh keadaan seperti : perdarahan
saluran cerna, asupan protein berlebihan, pemberian diuretik, parasentesis, hipokalemia, infeksi
akut, pembedahan, azotemia dan pemberian morfin, sedatif, atau obat-obatan yang mengandung
ammonia (Abou-assi., 2001).
Hingga kini belum seluruhnya dapat dipahami patogenesis EH, namun pengetahuan yang
diperoleh berdasarkan penelitian terhadap penderita maupun dari binatang percobaan, telah
mengungkapkan beberapa masalah penting tentang patogenesisnya. EH tidak disebabkan oleh
salah satu faktor tunggal, melainkan oleh beberapa faktor yang sekaligus berperan bersama
(Blei., 1999).

Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa E terdapat hubungan sirkulasi porto


sistemik yang langsung tanpa melalui hati, serta adanya kerusakan dan gangguan faal hati yang
berat. Kedua keadaan ini menyebabkan bahan-bahan tosik yang berasal dari usus tidak
mengalami metabolisme di hati, dan selanjutnya tertimbun di otak (blood brain barrier) pada
penderita EH yang memudahkan masuknya bahan-bahan tosik tersebut ke dalam susunan saraf
pusat.
Ketika pasien sirosis hati telah mengalami hipertensi portal, terbuka kemungkinan untuk
terjadinya pintasan portosistemik, yang dapat berakibat masuknya neurotoksin yang berasal dari
saluran cerna (merkaptan, amonia, mangan, dll) ke dalam sirkulasi sistemik. Pintasan
portosistemik dapat juga terjadi akibat tindakan bedah anastomosis portokaval atau TIPS
(transjugular intrahepatic portosystemic stent shunt) yang dilakukan untuk mengatasi hipertensi
portal. Neurotoksin yang dapat menembus sawar darah otak akan berakumulasi di otak dan
menimbulkan gangguan pada metabolisme otak. Permeabilitas sawar darah - otak memang
mengalami perubahan pada pasien sirosis hati dekompensasi, sehingga lebih mudah ditembus
oleh metabolit seperti neurotoksin (Budihusodo., 2001).
Terdapat 5 proses yang terjadi di otak yang dianggap sebagai mekanisme terjadinya
EH/koma hepatik, yaitu :
1. Peningkatan permeabilitas sawar otak (BBB).
2. Gangguan keseimbangan neurotransmitter
3. Perubahan (energi) metabolisme otak.
4. Gangguan fungsi membran neuron.
5. Peningkatan endogenous Benzodiazepin
Diduga toksin serebral berperan melalui satu atau lebih daripada mekanisme ini.
Patogenesis di atas merupakan konsep yang uniform, namun antara koma pada PSE dan
FHF terdapat beberapa perbedaan-perbedaan. Misalnya pada PSE, toksin serebral tertimbun

secara perlahan-lahan, apabila disertai faktor pencetus terjadinya koma. Sebaliknya pada
EH/koma akibat FHF, karena proses begitu akut, maka faktor yang berperan adalah masuknya
bahan toksis ke dalam otak secara tiba-tiba, menghilangnya bahan pelindung, perubahan
permeablitas dan integrasi selular pembuluh darah otak serta edema serebral.
Beberapa bahan toksik yang diduga berperan :
1. Ammonia
Ammonia merupakan bahan yang paling banyak diselidiki. Zat ini berasal dari
penguraian nitrogen oleh bakteri dalam usus, di samping itu dihasilkan oleh ginjal, jaringan otot
perifer, otak dan lambung.
Secara teori ammonia mengganggu faal otak melalui.

Penaruh langsung terhadap membran neuron

Mempengaruhi metabolisme otak melalui siklus peningkatan sintesis glutamin


dan ketoglutarat, kedua bahan ini mempengaruhi siklus kreb sehingga
menyebabkan hilangnya molekul ATP yang diperlukan untuk oksidasi sel.

Peneliti lain mendapatkan bahwa kadar ammonia yang tinggi tidak seiring dengan
beratnya kelainan rekaman EEG. Dilaporkan bahwa peran ammonia pada EH tidak berdiri
sendiri. Tetapi bersama-sama zat lain seperti merkaptan dan asam lemak rantai pendek. Diduga
kenaikan kadar ammonia pada EH hanya merupakan indikator non spesifik dari metabolisme
otak yang terganggu (Blake A., 2003).
2. Asam amino neurotoksik (triptofan, metionin, dan merkaptan)
Triptopan dan metabolitnya serotonin bersifat toksis terhadap SSP. Metionin dalam usus
mengalami metaolisme oleh bakteri menjadi merkaptan yang toksis terhadap SSP. Di samping itu
merkaptan dan asam lemak bebas akan bekerja sinergistik mengganggu detoksifikasi ammonia di
otak, dan bersama-sama ammonia menyebabkan timbulnya koma (Blake A., 2003).

3. Gangguan keseimbangan asam amino


Asam Amino Aromatik ( AAA) meningkat pada EH karena kegagalan deaminasi di hati
dan penurunan Asan Amino Rantai Cabang (AARC) akibat katabolisme protein di otot dan ginjal
yang terjadi hiperinsulinemia pada penyakit hati kronik (Blake A., 2003). AAA ini bersaing
dengan AARC untuk melewati sawar otak, yang permeabilitasnya berubah pada EH. Termasuk
AAA adalah metionin, fenilalanin, tirosin, sedangkan yang termasuk AARC adalah valin, leusin,
dan isoleusin (Blake A., 2003)
4. Asam lemak rantai pendek
Pada EH terdapat kenaikan kadar asam lemak rantai pendek seperti asam butirat, valerat,
oktanoat, dan kaproat, diduga sebagai salah satu toksin serebral penyebab EH. Bahan-bahan ini
bekerja dengan cara menekan sistem retikuler otak, menghemat detoksifikasi ammonia (Gitlin.,
1996).
5. Neurotramsmitter palsu
Neurot rasmitter palsu yang telah diketahui adalah Gamma Aminobutyric Acid (GABA),
oktapamin, histamin, feniletanolamin, dan serotonin. Neurotransmitter palsu merupakan inhibitor
kompepetif dari true neurotrasmitter (dopamine dan norephinephrine) pada sinaps di ujung saraf,
yang kadarnya menurun pada penderita PSE maupun FHF (Gitlin., 1996).
Penelitian menunjukkan bahwa GABA bekerja secara sinergis dengan benzodiasepine
membentuk suatu kompleks, menempati reseptor ionophore chloride di otak, yang disebut
reseptor GABA/BZ. Pengikatan reseptor tersebut akan menimbulkan hiperpolarisasi sel otak, di
samping itu juga menekan fungsi korteks dan subkorteks, rangkaian peristiwa tersebut
menyebabkan kesadaran dan koordinasi motorik terganggu. Hipotesis ini membuka jalan untuk
penelitian lebih lanjut untuk keperluan (Gitlin., 1996).
6. Glukagon
Peningkatan AAA pada EH/ koma hepatik mempunyai hubungan erat dengan tingginya
kadar glukagon. Peninggian glukagon turut berperan atas peningkatan beban nitrogen. Karena

hormon ini melepas Asam Amino Aromatis dari protein hati untuk mendorong terjadinya
glukoneogenesis. Kadar glukagon meningkat akibat hipersekresi atau hipometabolisme pada
penyakit hati terutama bila terdapat sirkulasi kolateral (Blake A., 2003).
7. Perubahan sawar darah otak
Pembuluh darah otak dalam keadaan normal tidak permiabel terhadap berbagai macam
substansi. Terdapat hubungan kuat antara endotel kapiler otak, ini merupakan sawar yang
mengatur pengeluaran bermacam-macam substansi dan menahan beberapa zat essensial seperti
neurotrasmitter asli. Pada koma hepatikum khususnya FHF ditemukan kerusakan kapiler,
rusaknya hubungan endotel, terjadi edema serebri sehingga bahan yang biasanya dikeluarkan
dari otak akan masuk dengan mudah seperi fenilalanin dalam jumlah besar, sehingga kadar asam
amino lainnnya meningkat di dalam otak (Gitlin., 1996).
D. MANIFESTASI KLINIK
Spektrum klinis EH sangat luas yang sama sekali asimtomatik hingga koma hepatik.
Simpton yang acap kali dijumpai pada EH klinis antara lain perubahan personalitas, iritabilitas,
apati, disfasia, dan rasa mengantuk disertai tanda klinis seperti asteriksis, iritabilitas, gelisah, dan
kehilangan kesadaran (koma). Manifestasi klinis EH biasanya didahului oleh dekompensasi hati
dan adanya faktor pencetus yang berupa keadaan amoniaagenik seperti makan protein berlebih,
perdarahan gastrointestinal atau program obat sedatif.
Manifestasi EH adalah gabungan dari ganguan mental dan neurologik. Gambaran klinik
EH sangat bervariasi, tergantung progresivitas penyakit ini, penyebab, dan ada tidaknya
berdasarkan status mental, adanya asteriksis,serta kelainan EEG, manifestasi neuropsikiatri pada
EH dapat dibagi atas stadium (Tabel.1). Di luar itu terdapat sekelompok pasien yang
asimtomatik, tetapi menunjukkan adanya kelainan pada pemeriksaan EEG dan / atau
psikometrik. Contoh uji piskometrik yang populer ialah NCT (Number Conection Test).
Kelompok inilah yang digolongkan sebagai ensefalopatia hepatik subklinis atau laten (EHS).
Para peneliti mendapatkan bahwa proporsi EHS jauh lebih besar daripada EH klinis (akut
maupun kronik), yaitu mencapai 70-80% dari seluruh kasus sirosis hati dengan hipertensi portal

(Budihusodo., 2001). Adapun stadium stadiumEnsefalopati hepatic menurut gejala klinis antara
lain :

STADIUM

1
(Prodormal)

2
(Koma yang
mengancam)

3
(Stupor)

4
(Koma)

Tanda-tanda Klinis dan


Perubahan EEG

Gejala Klinis

Tingkat kesadaran yang normal dengan Asteriksis;


gangguan
periode letargi dan euphoria; terbaliknya menulis dan kemampuan
pola tidur siang-malam
membuat garis lurus.
EEG normal.
Peningkatan
perasaan
mengantuk; Asteriksis;
felor
disorientasi; perilaku yang tidak sesuai; hepatikus. EEG yang
perubahan emosi; agitasi
abnormal
dengan
pelambatan menyeluruh.
Stupor; kesulitan untuk dibangunkan;
tidur
hamper
sepanjang
waktu;
kebingungan yang nyata; bicara yang
tidak sambung

Komatosa; mungkin tidak


terhadap rangsangan nyeri

Asteriksis; peningkatan
reflex tendon yang dalam;
rigiditas pada ekstremitas.
Abnormalitas
EEG
tampak mencolok

bereaksi Asteriksis tidak terdapat;


reflek tendon yang dalam
tidak terdapat; flasiditas
pada
ekstremitas.
Abnormalitas
EEG
tampak mencolok.

E. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan atas dasar anamnesis riwayat penyakit pemeriksaan fisik dan laboratorium
(Gitlin., 1996).
1. Anamnesis

Riwayat penyakit hati


Riwayat kemungkinan adanya faktor-faktor pencetus.
Adakah kelainan neuropsikiatri : perubahan tingkah laku, kepribadian, kecerdasan,
kemampuan bicara dan sebagainya.
2. Pemeriksaan fisik
Tentukan tingkat kesadaran / tingkat ensefalopati.
Stigmata penyakit hati (tanda-tanda kegagalan faal hati dan hipertensi portal).
Adanya kelainan neuroogik : inkoordinasi tremor, refleks patologi, kekakuan.
Kejang, disatria.
Gejala infeksi berat / septicemia.
Tanda-tanda dehidrasi.
Ada pendarahan gastrointestinal.
3. Pemeriksaan laboratorium
a. Hematologi
Hemoglobin, hematokrit, hitung lekosit-eritrosit-trombosit, hitung jenis lekosit.
Jika diperlukan : faal pembekuan darah.
b. Biokimia darah
Uji faal hati : trasaminase, billirubin, elektroforesis protein, kolestrol, fosfatase
alkali.
Uji faal ginjal : Urea nitrogen (BNU), kreatinin serum.
Kadar amonia darah.
Atas indikasi : HbsAg, anti-HCV,AFP, elektrolit, analisis gas darah.
c. Urin dan tinja rutin

4. Pemeriksaan lain (tidak rutin) (Stein., 2001).


a. EEG (Elektroensefaloram) dengan potensial picu visual (visual evoked potential)
merupakan suatu metode yang baru untuk menilai perubahan dini yang halus dalam status
kejiwaan pada sirosis.
b. CT Scan pada kepala biasanya dilakukan dalam stadium ensefalopatia yang parah
untuk menilai udema otak dan menyingkirkan lesi structural (terutama hematoma subdura pada
pecandu alkohol).
c. Pungsi lumbal, umumnya mengungkapkan hasil-hasil yang normal, kecuali
peningkatan glutamin. Cairan serebrospinal dapat berwarna zantokromat akibat meningkatnya
kadar bilirubin. Hitung sel darah putih cairan spinal yang meningkat menunjukan adanya infeksi.
Edema otak dapat menyebabkan peningkatan tekanan.
F. PENGELOLAAN
1. EH tipe akut
Pengelolaan baik tipe endogen maupun tipe sekunder/eksogen, pada prinsipnya sama
yaitu terdiri dari tindakan umum dan khusus. Bagi tipe sekunder/eksogen diperlukan pengelolaan
faktor pencetusnya (Gitlin., 1996).\
a. Tindakan umum
1. Penderita stadium III-IV perlu perawatan suportif nyang intensif : perhatikan posisi
berbaring, bebaskan jalan nafas, pemberian oksigen, pasang kateter forley.
2. Pemantauan kesadaran, keadaan neuropsikiatri, system kardiopulmunal dan ginjal
keseimbangan cairan, elektrolit serta asam dan basa.
3. Pemberian kalori 2000 kal/hari atau lebih pada fase akut bebas protein gram/hari
(peroral, melalui pipa nasogastrik atau parental).
b. Tindakan khusus

1. Mengurangi pemasukan protein (Gitlin., 1996)


Diet tanpa protein untuk stadium III-IV
Diet rendah protein (nabati) (20gram/hari) untuk stadium I-II. Segera setelah fase
akut terlewati, intake protein mulai ditingkatkan dari beban protein kemudian
ditambahkan 10 gram secara bertahap sampai kebutuhan maintanance (40-60
gram/ hari).
2. Mengurangi populasi bakteri kolon (urea splitting organism).
Laktulosa peroral untuk stadium I-II atau pipa nasogastrik untuk stadium III-IV,
30-50 cc tiap jam, diberikan secukupnya sampai terjadi diare ringan.
Lacticol (Beta Galactoside Sorbitol), dosis : 0,3-0,5 gram/hari.
Pengosongan usus dengan lavement 1-2x/hari : dapat dipakai katartik osmotic
seperti MgSO4 atau laveman (memakai larutan laktulosa 20% atau larutan
neomisin 1% sehingga didapat pH = 4)
Antibiotika : neomisisn 4x1-2gram/hari, peroral, untuk stadium I-II, atau melalui
pipa nasogastrik untuk stadium III-IV.
Rifaximin (derifat Rimycin), dosis : 1200 mg per hari selama 5 hari dikatakan
cukup efektif.
3. Obat-obatan lain
Penderita koma hepatikum perlu mendapatkan nutrisi parenteral. Sebagai langkah
pertama dapat diberikan cairan dektrose 10% atau maltose 10%, karena kebutuhan
karbohidrat harus terpenuhi lebih dahulu. Langkah selanjutnya dapat diberikan
cairan yang mengandung AARC (Comafusin hepar) atau campuran sedikit AAA
dalam AARC (Aminoleban) : 1000 cc/hari. Tujuan pemberian AARC adalah untuk
mencegah masuknya AAA ke dalam sawar otak, menurunkan katabolisme protein,
dan mengurangi konsentrasi ammonia darah. Cairan ini banyak dibicarakan akhirakhir ini.
L-dopa : 0,5 gram peroral untuk stadium I-II atau melalui pipa nesogastrik untuk
stadium III-IV tiap 4 jam.
Hindari pemakaian sedatva atau hipnotika, kecuali bila penderita sangat gelisah
dapat diberikan diimenhidrimat (Dramamine) 50 mg i.m: bila perlu diulangi tiap

6-8 jam. Pilihan obat lain : fenobarbital, yang ekskresinya sebagian besar melalui
ginjal.
Vit K 10-20 mg/hari i.m atau peroral atau pipa nasogastrik.
Obat-obatan dalam taraf eksperimental :
Bromokriptin (dopamine reseptor antagonis) dalam dosis 15
mg/hari dapat memberi perbaikan klinis, psikometrik dan EEG.
Antagonis benzodiaepin reseptor (Flumazenil), memberi hasil
memuaskan, terutama untuk stadium I-II.
4. Pengobatan radikal
Exchange

tranfusio,

plasmaferesis,

dialysis,

charcoal

hemoperfusion,

transpalantasi hati (Gitlin., 1996).


c. Pengobatan radikal
1. Koreksi gangguan keseimbangan cairan, elekrtrolit, asam basa.
2. Penggulangan perdarahan saluran cerna
3. Atasi infeksi dengan antibiotika yang tepat dalam dosis adekuat.
4. Hentikan obat-obatan pencetus EH; obat-obatan hepatotoksik, diuretika atau yang
menimbulkan konstipasi.
2. EH tipe Kronik
Prinsip-prinsip pengobatan EH tipe kronik (Blei., 1999).
a. Diet rendah protein, maksimal 1 gram / kg BB terutama protein nabati.
b. Hindari konstipasi, dengan memberikan laktulosa dalam dosis secukupnya (2-3 x 10
cc/hari).

c. Bila gejala ensefalopati meningkat, ditambah neomisin 4x1 gram / hari.


d. Bila timbul aksaserbasiakut, sama seperti EH tipe akut.
e. Perlu

pemantauan

jangka

panjang

untuk

penilaian

keadaan

mental

dan

neuromuskulernya.
f. Pembedahan elektif : colony by pasis, transplantasi hati, khususnya untuk EH kronik
stadium III-IV.
G. PROGNOSIS
Perbaikan atau kesembuhan sempurna dapat terjadi bila dilakukan pengeloaan yang cepat
dan tepat. Prognosis penderita EH tergantung dari :
a. Penyakit hati yang mendasarinya.
b. Faktor-faktor pencetus
c. Usia, keadaan gizi.
d. Derajat kerusakan parenkim hati.
e. Kemampuan regenerasi hati.
H. ASUHAN KEPERAWATAN
Proses Keperawatan Penderita Sirosis Hepatik
1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan berfokus pada awitan gejala dan riwayat factor-faktor pencetus,
khususnya penyalahgunaan alkhohol dalam jangka waktu yang lama disamping asupan
makanan dan perubahan dalam status jasmani serta rohani penderita. Pola penggunaan alcohol
yang sekarang pada masa lampau (durasi dan jumlahnya) dikaji serta dicatat. Yang juga harus
dicatat adalah riwayat kontak dengan zat-zat toksik ditempat kerja atau selama melakukan

aktivitas rekreasi. Pajanan dengan obat-obatan potensial bersifat hepatotoksik atau dengan
obat-obat anastesi umum dicatat dan dilaporkan.
Status mental dikaji melalui anamnesis dan interaksi lain dengan pasien; orientasi
terhadap orang, tempat dan waktu harus diperhatikan. Kemampuan pasien untuk
melaksanakan pekerjaan atau kegiatan rumah tangga memberikan informasi tentang status
jasmani dan rohani. Disamping itu, hubungan pasien dengan keluarga, sahabat dan teman
sekerja dapat memberikan petunjuk tentang kehilangan kemampuan yang terjadi sekunder
akibat penggunaan alcohol dan sirosis. Distensi abdomen serta meteorismus (kembung),
perdarahan gastrointestinal, memar dan perubahan berat badan perlu diperhatikan.
Status nutrisi yang merupakan indicator penting pada sirosis dikaji melalui penimbangan
berat yang dilakukan setiap hari, pemeriksaan atropometrik dan pemantauan protein plasma,
transferin, serta kadar kreatinin.
2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan pada semua data hasil pengkajian, diagnose utama mencakup yang berikut:
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan, kemunduran keadaan umum,
pelisutan otot dan gangguan rasa nyaman.
Perubahan status nutrisi berhubungan dengan gastritis kronis, penurunan mortalitas
gastrointestinal dan anoreksia.
Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan status imunologi, edema dan
nutrisi yang buruk.
Resiko untuk cidera berhubungan dengan perubahan mekanisme pembekuan dan
hipertensi portal.
3. Masalah Kolaborasi/Komplikasi Potensial
Berdasarkan data-data hasil pengkajian, komplikasi potensial dapat mencakup:
Perdarahan dan hemoragia
Ensefalopati hepatik
4. Perencanaan dan Implementasi
Tujuan: tujuan yang harus dicapai oleh pasien dapat mencakup ketidaktergantungan pada
orang lain dalam melakukan aktivitas, perbaikan status nutrisi, pengurangan potensi untuk
mengalami cidera, perbaikan status mental dan keadaan tanpa komplikasi.
5. Intervensi Keperawatan
a. Istirahat
Penderita penyakit hati yang aktif memerlukan istirahat dan berbagai tindakan
pendukung lainnya yang memberikan kesempatan kepada hati untuk membangun kembali
kemampuan fungsionalnya. Jika pasien dirawat di rumah sakit, maka berat badan dan
asupan serta haluaran cairan harus diukur dan dicatat setiap hari. Posisi pasien ditempat
tidur harus diatur untuk mencapai status pernafasan yang efisien dan maksimal yang

sangat penting terutama bila gejala asites sangat nyata sehingga mengganggu gerakan
ekskursi toraks yang memadai. Terapi oksigen mungkin diperlukan pada gagal hati untuk
oksigen sel-sel yang rusak dan untuk mencegah destruksi sel lebih lanjut.
Istirahat akan mempengaruhi kebutuhan dalam hati dan meningkatnya suplai
darah hati. Karena pasien rentan terhadap bahaya imobilitas, berbagai upaya perlu
dilakukan untuk mencegah gangguan pernafasan, sirkulasi dan vaskuler. Semua tindakan
ini dapat membantu mencegah masalah seperti pneumonia, tromboflebitis dan dekubitus.
Apabila status nutrisi sudah diperbaiki dan kekuatan tubuh bertambah, kepada pasien
dapat dianjurkan untuk meningkatkan aktivitas secara bertahap. Aktivitas dan olahraga
ringan disamping istirahat harus direncanakan.
b. Perbaikan status nutrisi
Penderita sirosis yang tidak mengalami asites atau edema dan tidak
memperlihatkan tanda-tanda koma yang membakat harus mendapatkan diet yang bergizi
dan tinggi protein dengan penambahan vitamin B kompleks serta vitamin lainnya menurut
kebutuhan (termasuk vitamin A, C, K dan asam folat). Karena gizi yang baik sangat
penting, setiap upaya harus dilakukan untuk mendorong pasien agar mau makan. Tindakan
ini penting seperti halnya pengobatan. Makan sedikit tapi sering akan dapat ditolerir oleh
pasien dai pada makan tiga kali sehari dalam porsi yang besar karena adanya tekanan
abdominal yang ditimbulkan oleh asites.
Makanan kesukaan pasien perlu dipertimbangkan. Pasien dengan anoreksia yang
lama atau berat, atau pasien yang muntah atau tidak dapat makan karena alas an apapun
dapat memperoleh makanan melalui kateter lambung (NGT) atau nutrisi parenteral total
(TPN).
Pasien dengan feses yang berlemak (stestore) harus mendapat vitamin larut-lemak
A, D, dan E yang dapat larut dalam air (aquasel A,D dan I).Asam folat dan besi perlu
diresepkan untuk mencegah anemia.Jika pasien memperlihatkan tanda-tanda koma yang
berlanjut,diet rendah protin dapat diberikan untuk sementara waktu.Jika tidak terdapat
encephalopati hepatic, asupan protein yang modern dapat diberikan dengan makanan
sumber protein yang nilai biologisnya tinggi(misalny , telur,daging dan produk susu).
Asupan kalori yang tinggi harus dipertahankan,dan suplemen vitamin mineral
perlu diberikan(yaitu:preparat kalium oral jika kadar kalium dalam serum normal atau
rendah dan bila fungsi ginjal juga normal).Segera setelah kondisi pasien memungkinkan,

asupan protein harus dikembalikan kepada asupan normal.Terapi diet ditentukan secara
individual berdasarkan kebutuhan masing-masing pasien.
c. Perawatan kulit
Perawatan kulit yang teliti perlu dilakukan sehubungan dengan edema subcutan,
imobilitas pasien, ikterus dan peningkatan kerentanan terhadap infeksi serta luka pada
kulit. Perubahan posisi diperlukan untuk mencegah dekubitus. Penggunaan sabun yang
iritatif dan plester harus dihindarkan untuk mencegah trauma kuli. Lotion dapat
mendinginkan kulit yang iritatif; tindakan ini diperlukan agar pasien tidak terus
menggaruk kulitnya.
d. Pengurangan resiko cidera
Penderita sirosis harus dilindungi terhadap kemungkinan terjatuh dan cidera
lainnya. Rel penghalang disamping tempat tidur harus dipasang pada tempatnya dan diberi
bantalan selimut yang lembut untuk mengurangi resiko bila pasien mengalami gelisah atau
berontak (agitasi). Pasien harus diberitahu agar memiliki orientasi terhadap tempat serta
waktu, dan semua prosedur perlu dijelaskan untuk mengurangi kemungkinan agitasi.
Kepada pasien diintruksikan untuk meminta bantuan saat akan turun dari tempat tidur.
Setiap cidera harus dievaluasi dengan cermat karena kemungkinan terjadinya perdarahan
internal.
Akibat resiko perdarahan yang disebabkan oleh pembekuan yang abnormal, kita
harus memberitahu dan membantu pasien untuk menggunakan alat cukur listrik dari pada
alat cukur biasa. Kemungkinan perdarahan gusi dapat diperkecil dengan menggunakan
sikat gigi yang bulunya lunak. Semua lokasi fungsi pada vena harus ditekankan untuk
meminimalkan perdarahan.
6. Pemantauan dan Penatalaksanaan Komplikasi Potensial
a. Pencegahan pendarahan
Perdarahan dan hemoragi dapat terjadi akibat penurunan produksi protrombin dan
penurunan kemampuan hati untuk mensitensis zat-zat yang diperlukan bagi pembekuan
darah.
b. Tindakan penjagaan
Tindakan penjagaan mencakup perlindungan pasien dengan memasang penghalang
samping tempat tidur yang di beri bantalan, menekan setiap lokasi penyuntikan, dan
menghindari cidera dari benda-benda tajam.Perawat harus mengamati kemungkinan

melena dan memeriksakan feses untuk mengetahui jika terdapat darah yang merupakan
tanda perdarahan internal.Tanda-tanda vital juga perlu dipantau secara teratur.Tindakan
penjagaan diperlukan untuk memperkecil kemungkinan rupture esophagus dengan
mengurangi peningkatan lebih lanjut pada tekanan portal.
Modifikasi diet dan penggunaan preparat pelunak feses yang tepat dapat membantu
pasien agar tidak mengejan pada saat BAB.Pasien harus dipantau dengan ketat untuk
mendektesi perdarahan gastroinstetinal;peralatan (Sengstaken-Blakemore tube), cairan
intravena dan obat-obatan yang diperlukan untuk mengatasi perdarahan dari varises
esophagusharus sudah tersedia akan dapat segera digunakan jika diperlukan.
c. Jika terjadi hemoragi
Perawat membantu dokter dalam melakukan tindakan untuk menghentikan
perdarahan, memberikan terapi cairan serta komponen darah dan obat-obatan.Pasien yang
mengalami hemoragi massive akibat perdarahan dari varises esophagus atau lambung
dapat dipindahkan ke un it perawatan intesif dan mungkin memerlukan tindakan bedah
emergency atau bentuk terapi lainnya.Penderita sirosis yang mengalami perdarahan
berserta keluarganya memerlukan penjelasan tentang kejadian yang dialami serta terapi
yang diperlukan.
Enselophati hepatic merupakan komplikasi neurologi yang mungkin terjadi dan
mencakup kemunduran status mental serta demensian dismping adanya tanda-tanda fisik
seperti gerakan volunteer dan involunter yang abnormal.Eselophati hepatic terutama
disebabkan oleh penumpukan amoniak dalam darah dan akibat yang ditimbulkannya pada
metabolisme otak.Banyak factor yang merupakan predisposisi terjadinya eselophati
hepatic

pada

pasien

ENCELOPHATIK

HEPATIK

hati;karena

itu

pasien

ENCELOPHATIK HEPATIK hati membutuhkan pemeriksaan diagniostik yang ekstensif


untuk mengenali sumber-sumber amoniak dan perdarahan yang tersembuyi.
d. Terapi
Terapi dapat mencakup penggunaan laktulosa serta antibiotic saluran cerna yang
tidak dapat diserap untuk menurunkan kadar ammonia, modifikasi obat-obat yang
digunakan untuk meniadakan obat yang dapat memicu atau memperburuk ensefalopati
hepatic, dan tirah baring untuk meminimalkan pengeluaran energy.
e. Pemantauan
Pemantauan merupakan pekerjaan keperawatan yang esensial untuk mengenali
kemunduran dini pada status mental penderita dengan ketat dan melaporkan perubahan
yang terjadi sehingga terapi ensefalopati dapat dimulai dengan segera. Karena gangguan

elektrolit dapat turut menimbulkan ensefalopati, kadar elektrolit serum harus dipantau
dengan cermat dan dikoreksi jika kadar tersebut abnormal. Oksigen diberikan jika terjadi
desturasi oksigen.
f. Pendidikan pasien dan pertimbangan perawatan dirumah
Selama dirawat dirumah sakit, pasien harus sudah dipersiapkan untuk perawatan
di rumah oleh perawat dan petugas kesehatan lainnya melalui instruksi diet. Instruksi yang
paling penting adalah menghilangkan alcohol dari diet. Pasien mungkin harus dirujuk
kepada Perhimpunan Pengguna Alkohol (Alcoholic Anonymous), perawatan psikiatri atau
memperoleh dukungan dari penasehat spiritual yang dipercaya.
Pembatasan natrium diperlukan untuk waktu yang cukup lama jika tidak
diterapkan secara permanen. Apabila diet ini ingin dipatuhi dengan benar, pasien akan
memerlukan petunjuk tertulis, pengajaran, bimbingan dan dukungan dari petugas
kesehatan, selain dari anggota keluarganya sendiri.
Keberhasilan terapi tergantung pada upaya untuk meyakinkan pasien tentang
perlunya kepatuhan secara total pada rencana terapinya. Rencana terapi ini mencakup
istirahat; kemungkinan perubahan gaya hidup; diet yang memadai, baik dan seimbang;
dan pantang alcohol. Kepada pasien dan keluarganya juga harus diberitahu tentang gejala
ensefalopati yang membakat, kecenderungan perdarahan dan kerentanan pasien terhadap
infeksi.
Pemulihan tidak berlangsung dengan cepat atau mudah; kemunduran keadaan
umum pasien dan perbaikan yang tidak begitu nyata akan ditemukan. Banyak pasien
merasakan bahwa mereka sulit untuk melakukan pantang alcohol yang mereka konsumsi
untuk mendapatkan kenyamana atau melarikan diri dari kenyataan. Perawat yang
memahami keadaan ini dapat memainkan peranan yang bermakna dalam memberikan
dukungan dan dorongan kepada pasien.
Merujuk pasien kepada perawat kesehatan yang akan mengunjungi pasien
dirumah sesudah pulang dari rumah sakit dapat membantu pasien tersebut untuk
mengatasi proses transisi dari rumah sakit dapat membantu pasien tersebut untuk
mengatasi proses transisi dari rumah sakit kerumah dimana konsumsi alcohol mungkin
menjadi bagian penting dalam kehidupan social dan kehidupan normal pasien dirumahnya.
Perawat kesehatan masyarakat atau perawat kunjungan rumah dapat melakukan
pengkajian terhadap kemajuan pasien di rumah dan cara pasien beserta keluarganya dalam
mengatasi pantang alcohol serta pembatasan diet. Disamping itu, perawat tersebut harus

menguatkan kembali penyuluhan yang sudah diberikan dan menjawab pertanyaan yang
mungkin baru muncul setelah pasien pulang ke rumahnya serta mencoba membangun
kembali pola makan, minum dan gaya hidup yang baru.
7. Evaluasi Hasil yang Diharapkan
1) Memperlihatkan kemampuan untuk turut serta dalam aktivitas
a. Merencanakan aktivitas dan latihan serta periode istirahat secara bergantian.
b. Melaporkan peningkatan kekuatan dan kesehatan pasien.
c. Memperlihatkan peningkatan berat badan tanpa pertambahan edema dan pembentukan
asites.
d. Turut serta dalam asuhan higienik.
2) Meningkatkan asupan nutrisi
a. Memperlihatkan asupan nutrient yang tepat dan pantang alcohol yang dicerminkan oleh
catatan diet.
b. Menaikkan berat badan tanpa pertambahan edema dan pembentukan asites.
c. Melaporkan peredaan gangguan gastrointestinal dan anoreksia.
d. Mengenali makanan dan cairan yang bergizi dan cairan yang bergizi yang
diperbolehkan atau harus dibatasi dalam diitnya.
e. Mengikuti terapi vitamin.
f. Menjelaskan dasar pemikiran mengapa pasien harus makan sedikit-sedikit tapi sering.
3) Memperlihatkan perbaikan integritas kulit
a. Memperlihatkan kulit yang utuh tanpa bukti adanya luka, infeksi atau trauma.
b. Menunjukkan tugor kulit yang normal pada ekstremitas dan batang tubuh tanpa edema.
c. Mengubah posisi dengan sering dan menginspeksi prominensia (tonjolan) tulang setiap
hari.
d. Menggunakan lotion untuk meredakan pruritus.

Anda mungkin juga menyukai