Anda di halaman 1dari 9

1

MENGELANA RIMBA ESTETISME MANTRA, GURINDAM, DAN SYAIR


Ely Yuliati, Fourdina Ratnasari, dan Lutfi Nur Kholidiya
Universitas Negeri Malang
E-mail: elyyuliati@yahoo.co.id; f_dinaa@yahoo.com
luthfinurkholidiya11@gmail.com
ABSTRAK: Puisi lama seperti mantra, gurindam, dan syair sangat terikat pada aturanaturan konvensional. Aturan-aturan tersebut membentuk unsur-unsur yang saling
berkaitan dalam membangun keindahan. Kegiatan apresiasi puisi lama terutama bertujuan
untuk mengungkap unsur keindahan baik berupa bunyi, bentuk, diksi, maupun maknanya.
Oleh karena itu, berdasarkan unsur yang membangun keindahan puisi maka pendekatan
estetis merupakan pendekatan yang sesuai dalam mengapresiasi puisi lama pada mantra,
gurindam, dan syair.
Kata Kunci: apresiasi, estetis, puisi lama

PENDAHULUAN
Puisi terdiri atas berbagai jenis. Berdasarkan waktu kemunculannya, puisi dapat dibagi
menjadi tiga kelompok salah satunya puisi lama. Puisi lama adalah puisi-puisi yang timbul pada
masa masyarakat lama sebelum masyarakat Indonesia terpengaruh oleh kebudayaan asing
terutama kebudayaan barat (Suroto, 1989:40). Sebagaimana diketahui, bentuk puisi lama terdiri
atas pantun, syair, talibun, gurindam, karmina, dan mantra. Namun, dalam tulisan ini hanya akan
dibahas mengenai mantra, gurindam, dan syair. Suroto (1989:41) menyatakan bahwa mantra
termasuk salah satu puisi lama Indonesia asli yang tertua. Ia terdapat di seluruh khasanah sastra
Indonesia, baik masyarakat Jawa, Sunda, Batak, Bali, dan lain-lain. Oleh karena itu, pada
umumnya mantra menggunakan bahasa daerah masing-masing. Hampir tidak ada mantra yang
tertulis dalam bahasa Indonesia. Umumnya mantra menggunakan kata-kata yang dianggap
memiliki kekuatan gaib dan oleh pengarangnya dianggap mempermudah mengadakan hubungan
dengan zat yang dianggap tinggi.
Sementara itu, menurut Raja Ali Haji dalam Suroto (1989:46) menerangkan arti gurindam
adalah perkataan yang bersajak pada akhir pasangannya, tetapi sempurna perkataannya dengan
satu pasangnnya saja, jadilah seperti sajak yang pertama itu syarat dan sajak yang kedua itu
jawab. Hubungan antara baris pertama dan kedua merupakan hubungan sebab akibat. Sementara
itu Suroto (1989:48) mengemukakan bahwa syair termasuk salah satu bentuk puisi lama yang
berasal dari Arab. Syair cenderung berisi empat baris dalam tiap baitnya dan berima /a-a-a-a/.
Berbeda dengan pantun, bait-bait syair seolah-olah tidak terbagi atas dua bagian sampiran dan
isi, akan tetapi semua baris menyiratkan isi dengan jumlah suku kata tiap barisnya berkisar 8-12
suku kata.
Pendekatan yang digunakan dalam mengapresiasi puisi lama ini adalah pendekatan
estetis. Dalam pendekatan ini pembaca diajak untuk memahami bagaimana cara penyair itu
membangun keindahan. Hampir semua puisi lama dibuat dengan sangat terikat pada aturan-

aturan. Hal itu rupanya menyebabkan puisi lama sangat sarat akan unsur-unsur keindahan, baik
dari segi bentuk, pengulangan bunyi, maupun diksinya. Oleh sebab itu, pendekatan estetis adalah
pendekatan yang sesuai untuk diterapkan dalam melakukan apresiasi terhadap puisi lama.
Prosedur kerja untuk mengapresiasi puisi lama dengan menggunakan pendekatan estetis
adalah sebagai berikut: (1) mengidentifikasi unsur-unsur yang memiliki keindahan literer yang
membentuk satu keutuhan (unity), (2) mengidentifikasi unsur-unsur yang secara merata tergarap
dengan baik (balance), (3) mengidentifikasi unsur-unsur yang membentuk keselarasan
(harmony), dan (4) mengidentifikasi unsur yang mendapat tekanan yang tepat (right emphasis).
HASIL APRESIASI
Matra 1
Mantra Pengusir Hantu
Assalamualaikum anak cucu hantu pemburu
Yang diam di rimba sekampung
Yang duduk di ceruh banir
Yang bersandar di pinang burung
Yang berteduh di bawah tukas
Yang berbulukan daun resam
Yang bertilamkan daun lirik
Yang berbuai di medan jelawai
Tali buaya semambu tunggal
Kurnia Tengku Sultan Berimbangan
Yang diam di Pagaruyung
Rumah bertiang terus jelatang
Rumah berbendul bayang-bayang
Bertaburkan batang purut-purut
Yang berbulu roma sungsang
Yang menaruh jala lalat
Yang bergendang kulit tuma
Janganlah engkau mungkir setia padaku
Matilah engkau didaulat empat penjuru alam
Mati ditimpa malaikat yang empat puluh empat
Mati ditimpa tiang Kabah
Mati disulap besi kawi
Mati dipanah halilintar
Mati disambar kilat senja
Mati ditimpa Quran tiga puluh juz
Mati ditimpa kalimah

Estetisme Mantra (1)


Unsur-unsur yang memiliki keindahan literer yang membentuk satu keutuhan (unity) dan
secara merata tergarap dengan baik (balance) adalah pada unsur perwajahan puisi (tipografi).
Tipografi pada mantra Pengusir Hantu terdiri atas dua puluh enam larik. Secara umum mantra,
memiliki tipografi yang dimulai dari kiri dengan huruf kapital diawal baris dan diakhiri tanda
titik.
Unsur-unsur yang membentuk keselarasan (harmony) ialah pada perulangan bunyi yang
menciptakan rima. Jika dianalisis setiap larik, dipilah menjadi tiga bunyi, diantaranya, bunyi
aliterasi, bunyi asonansi, dan bunyi konsonansi. Bunyi asonansi /u/ terdapat pada larik satu, dan
sembilan belas, bunyi asonansi /i/ terdapat pada larik dua puluh dua, bunyi konsonansi /d/ hanya
terdapat pada larik dua, bunyi konsonansi g/ terdapat pada larik empat, sebelas, lima belas dan
tujuh belas, bunyi konsonansi /h/ terdapat pada larik lima, bunyi konsonansi /n/ terdapat pada
larik enam dan tujuh, konsonansi /t/ hanya terdapat pada larik dua puluh, bunyi aliterasi
/d/terdapat pada larik dua dan sebelas, dan bunyi aliterasi /b/ terdapat pada larik tiga belas dan
empat belas.
Unsur yang mendapat tekanan yang tepat (right emphasis) pada mantra Pengusir Hantu ini
adalah diksi (pemilihan kata). Sebagaimana pada bentuk puisi lainnya, mantra juga memiliki kata
denotatif dan konotatif. Kata khusus dalam mantra ini seperti pada kata hantu. Sedangkan kata
konkret dalam mantra ini ada hampir disetiap larik, seperti pada kata sekampung, tiang Kabah,
Quran tiga puluh juz. Contoh kata konotatif yaitu anak cucu hantu pemburu. Selain diksi,
unsur yang mendapat tekanan yang tepat (right emphasis) yaitu penggunaan gaya bahasa
paralelisme. Paralelisme adalah pengulangan yang menenpatkan kata atau kelompok kata yang
sama secara berulang-ulang di depan setiap baris puisi. (Tjahjono, 2011:74). Gaya bahasa ini
dapat dilihat pada larik tiga hingga delapan dan enam belas serta tujuh belas, yaitu pada kata
Yang. Kata Mati di- terdapat pada larik dua puluh hingga larik terakhir.
Mantra Pengusir Hantu ini bertemakan ancaman atau perintah pada makluk halus agar
menyingkir dan tidak mengganggu. Penyair ingin menyampaikan ancaman agar makluk halus
tersebut menyingkir. Suasana kejiwaan yang dominan pada mantra tersebut adalah semangat
menggertak oleh penyair. Adapun perasaan dalam mantra adalah emosi kuat yaitu ancaman.
Amanat sebagai pesan yang direfleksikan dari tema, nada dan perasaan adalah hendaknya para
makluk halus menyingkir dan tidak mengganggu jalannya penyair agar tidak terkena hukuman
alam. Nilai yang terasa kuat dalam mantra tersebut adalah nilai kepercayaan (magis), bahwa
manusia adalah penguasa alam dan merupakan pemimpin di dunia (khalifah) yang dapat
mengendalikan makluk halus.

Mantra 2
Mantra Menangkap Buaya
Hai si Jambu Rakai, sambut pekiriman
Putri Runduk di gunung Ledang
Ambacang masak sebiji bulat,
Penyakit tujuh penyikat
Pengarang tujuh pengarang,
Diorak dikumbang jangan
Lulur lau ditelan.
Kalau tidak kau sambut,
Dua hari jangan ke tiga
Mati mampek, mati mawai
Mati tersadai pangkalan tambang.
Kalau ku sambut,
Ke darat kau dapat makan
Ke laut kau dapat minum.
Aku tahu asal kau jadi
Tulang buku tebu asal kau jadi
Darahku gula, dadaku upih
Gigikau tunjang berembang
Ridapkau cucuran atap.
Apresiasi Mantra (2) Menggunakan Pendekatan Estetis
Dalam mantra Menangkap Buaya terdiri atas sembilan belas baris. Secara keseluruhan
tipografi dalam mantra berbeda dengan puisi lama lainnya, mantra tidak terikat akan jumlah
baris atau larik dalam setiap baitnya. Terdapat pula bunyi yang membentuk unsur harmony, yaitu
bunyi asonansi, bunyi konsonansi, aliterasi dan mesodiplosis. Bunyi asonansi /u/ pada larik satu,
larik lima belas dan sembilan belas. Bunyi konsonansi /t/ pada larik empat dan /ng/ pada larik
lima. Bunyi mesodiplosis /pengarang/ pada larik lima; /mati/ pada larik sepuluh; /ke-kau dapat/
pada larik tiga belas dan empat belas dan /kau/ pada larik delapan belas.
Pilihan kata (diksi) dalam mantra ini menggunakan kata konotatif, seperti Si Jambu Rakai
yang dimaksud adalah Buaya. Sementara itu, kata konkret yang terdapat kata runduk, sambut,
darat, makan, laut, dan minum.
Mantra Penangkap Buaya ini bertemakan perintah untuk buaya agar menyingkir dan tidak
mengganggu. Penyair ingin menyampaikan perintahnya agar buaya tersebut menyingkir. Amanat
sebagai pesan yang direfleksikan dari tema, nada dan perasaan adalah hendaknya buaya
menyingkir dan tidak mengganggu manusia. Suasana kejiwaan yang dominan pada mantra
tersebut adalah semangat menggertak oleh penyair. Disisi lain, penyair berbaik hati dengan

buaya tersebut, terbukti pada larik ke dua belas hingga empat belas. Manusia tetap memberikan
buaya tempat untuk hidup.
Kalau ku sambut,
Ke darat kau dapat makan
Ke laut kau dapat minum.

.
Estetisme Syair Bidasari dan Syair Abdul Muluk
Syair Bidasari
Oleh St. Takdir Alisyahbana
Dengarkan tuan suatu riwayat
Raja di desa negeri Kembayat
Dikarang fakir dijadikan hikayat
Dibuatkan syair serta berniat
Adalah raja sebuah negeri
Sultan Agung bijak bestari
Asalnya baginda raja bahari
Melimpah pada pedagang biaperi
Kabarnya orang empunya termasa
Baginda itulah raja perkasa
Tiadalah ia merasa susah
Entahlah kepada esok dan lusa
Seri paduka sultan bestari
Setelah ia sudah beristri
Beberapa bulan beberapa hari
Hamillah puteri permaisuri
Demi ditentang duli mahkota
makinlah hati bertambah cinta
laksana mendapat bukit permata
menentang istrinya hamil serta
Beberapa lamanyadi dalam kerajaan
Senantiasa ia bersuka-sukaan
Datanglah masa berolah kedukaan
Baginda meninggalkan tahta kerajaan
Datanglah kepada suatu masa

6
Melayanglah unggas dari angkasa
Unggas garuda burung perkasa
Menjadi negeri rusak binasa
Datang menyambar suaranya bahna
Gemparlah sekalian mulia dan hina
Seisi negeri gundah gulana
Membawa dirinya barang kemana
Baginda pun sedang dihadap orang
Mendengarkan gempar seperti perang
Bertitah baginda raja yang garang
Gempar ini apakah kurang

Dalam Syair Bidasari terdapat beberapa unsur yang berperan membangun


keindahan.Pertama,unsur tipografi dan bunyi merupakan unsur yang memiliki keindahan literer
(sastrawi) serta membentuk satu keutuhan (unity) dimana pada syair Bidasari secara merata
tergarap dengan baik (balance). Pada syair Bidasari, perwajahan puisi atau tipografinya disusun
dalam bentuk pembaitan rata kiri, dimana setiap baitnya terdiri dari empat larik. Setiap larik
tersebut berupa isi dari syair yang antar perbaitnya saling memiliki hubungan dan keterkaitan
sehingga terbentuk suatu cerita.
Kedua, perwujudan nilai keindahan dari unsur bentuk dalam syair Bidasari merupakan
bagian dari unsur yang membentuk keselarasan (harmony). Hal itu terletak pada perulangan
bunyi akhir yang membentuk rima konsonan total /t/ pada bait pertama, rima vokal total /i/ pada
bait kedua, rima vokal /a/ pada bait ketiga dimana larik ketiga diakhiri kata susah yang dalam
pelafalanbunyi konsonan /h/ mengalami pelesapan, rima vokal total /i/ pada bait keempat, rima
vokal total /a/ pada baik kelima, rima konsonan total /n/ pada bait keenam, rima vokal total /a/
pada bait ketujuh dan kedelapan, dan rima konsonan // pada bait kesembilan.Bunyi akhir
tersebut seluruhnya membentuk rima /a-a-a-a/ yang menimbulkan adanya keselarasan bunyi
yang menjadikan syair Bidasari menjadi indah.
Ketiga, diksi atau pemilihan kata terutama pada akhir larik dalam syair Bidasari menjadi
bagian dari unsur yang mendapat tekanan yang tepat (right emphasis). Diksi yang diletakkan
diakhir larik membentuk susunan yang indah dalam satu bait, antar kata yang dipilih memiliki
kemiripan yang menjadi penekanan yang tepat dalam menonjolkan sisi keindahan Syair Bidasari.
Selain itu, terdapat pula diksi yang membangun keindahan yang terletak ditengah larik.
Umumnya, diksi tersebut dipilih dengan menyesuaikan kata-kata pembentuknya untuk
menampilkan kesan yang indah. Diksi tersebut berupa kata konkret yang meliputi fakir, bahari,
biaperi dan bukit permata, sedangkan yang meliputi kata khusus dalam syair Bidasari adalah
bijak dan bestari.
Kata fakir dalam larik ketiga di bait pertama dipilih untuk menggambarkan kerendahan
hati pengarang dalam menuliskan syair Bidasari tersebut. Sementara itu, kata bahariyang
memiliki persamaan arti dengan laut, kata tersebut dipilih untuk memenuhi unsur estetika dalam
Syair Bidasari dimana akan terjadi keharmonisan bunyi akhir dengan kata padaakhir larik

sebelumnya.Berbeda dengan kata bukit permata yang dipilih untuk memperkuat majas simile
pada larik /laksana mendapat bukit permata/ yang ditandai dengan kata laksana, dengan itu
muncul makna kecintaan yang dialami oleh raja sangat besar hingga muncul perumpaan
memperoleh bukit permata. Pada tataran kata khusus tak jauh berbeda dengan kata konkret
dalam pemilihannya. Kata bijak dan bestaripada larik /Sultan Agung bijak bestari/ muncul dalam
bentuk sarana retorika pleonasme yang merupakan pengulangan kata dimana kata kedua
merupakan penguatan kata pertama, hal ini dikarenakan bestari memiliki arti bijak.
Makna yang ditampilkan pada syair Bidasari adalah kisah seorang puteri raja yang sangat
cantik. Dia tidak tahu asal usulnya, dan kemudian diangkat anak oleh sepasang pedagang kaya.
Ratu negeri yang cemburu akan kecantikannya kemudian bersekongkol untuk kemudian
membuang bidasari ke hutan. Di sana dia ditemukan oleh raja yang kemudian menikahinya.
Syair Bidasari bertemakan suka cita yang berlebihan yang dialami seorang raja atas kelahiran
putrinya namun berujung kedukaan. Dalam hal ini, pengarang hendak menyampaikan pesan
untuk mensyukuri segala anugrah dengan cara yang sederhana dengan tidak merayakan sesuatu
secara berlebihan.

Syair Abdul Muluk


Oleh Raja Ali Haji
Berhentilah kisah raja Hindustan,
Tersebut pula suatu perkataan,
Abdul Hamid syah paduka sultan,
Duduklah baginda bersuka-sukaan.
Abdul Muluk putera baginda,
Besarlah sudah bangsawan muda,
Cantik menjelis usulnya syahda,
Tiga belas tahun umurnya ada.
Paras elok amat sempurna,
Patah menjelis bijak laksana,
Memberi hati bimbang gulana,
Kasih kepadanya mulia dan hina.
Akan Rahmah puteri bangsawan,
Parasnya elok sukar dilawan,

Sedap manis barang kelakuan,


Sepuluh tahun umurnya tuan.
Dalam Syair Abdul Muluk terdapat beberapa unsur yang berperan membangun
keindahan. Pertama, unsur tipografi dan bunyi merupakan unsur yang memiliki keindahan literer
(sastrawi) serta membentuk satu keutuhan (unity) dimana pada Syair Abdul Muluk secara merata
telah tergarap dengan baik (balance). Pada Syair Abdul Muluk, perwajahan puisi atau
tipografinya disusun dalam bentuk pembaitan rata kiri, dimana setiap baitnya terdiri dari empat
larik. Setiap larik tersebut berupa isi dari syair yang antar perbaitnya saling memiliki hubungan
dan keterkaitan sehingga terbentuk suatu cerita.
Kedua, perwujudan nilai keindahan dari unsur bentuk dalam Syair Abdul Muluk
merupakan bagian dari unsur yang membentuk keselarasan (harmony). Hal itu terletak pada
perulangan bunyi akhir yang membentuk rima konsonan total /n/ pada bait pertama, rima vokal
total /a/ pada bait kedua dan ketiga, dan rima konsonan /n/ pada bait keempat. Bunyi akhir
tersebut seluruhnya membentuk rima /a-a-a-a/ yang menimbulkan adanya keselarasan bunyi
yang menjadikan syair Bidasari menjadi indah.
Ketiga, diksi atau pemilihan kata terutama pada akhir larik dalam syair Abdul Muluk
menjadi bagian dari unsur yang mendapat tekanan yang tepat (right emphasis). Diksi yang
diletakkan diakhir larik membentuk susunan yang indah dalam satu bait, antar kata yang dipilih
memiliki kemiripan yang menjadi penekanan yang tepat dalam menonjolkan sisi keindahan Syair
Abdul Muluk. Selain itu, terdapat pula diksi yang membangun keindahan yang terletak ditengah
larik. Umumnya, diksi tersebut dipilih dengan menyesuaikan kata-kata pembentuknya untuk
menampilkan kesan yang indah. Diksi tersebut berupa kata konkret yang meliputi paduka dan
paras sedangkan yang meliputi kata khusus dalam syair Bidasari adalah menjelis, syahda, dan
petah.
Kata paduka dalam syair tersebut melambangkan penghormataan atas kemuliaan raja,
diksi ini dipilih daripada kata baginda yang tercantum dalam larik selanjutnya yang pemaparan
kata-katanya lebih santai. Hal ini dikarenakan penyesuaian derajat kata yang pada larik ketiga
bait pertama tersebut menuntut kata yang mengandung penghormatan, tidak hanya sekedar gelar.
Sementara kata paras dalam larik pertama di bait ketiga dipilih untuk menambah kesan estetik.
Kata tersebut memilliki arti yang sama dengan kata wajah atau raut muka. Namun dalam Syair
Abdul Muluk, kata paras lebih sesuai dengan kata setelahnya yang menggambarkan keindahan
sebagaimana terlihat pada larik /parasnya elok amat sempurna/. Sedangkan pada tataran kata
khusus, terdapat kata menjelis dan syahda dimana kedua kata tersebut sebenarnya adalah kata
yang sama yang memiliki arti cantik atau elok. Pada larik ketiga di bait kedua yang
berbunyi /cantik menjelis usulnya syahda/ ditampilkan kata cantik, menjelis, dan syahda yang
menjadi penekanan estetika dalam Syair Abdul Muluk dengan menampilkan pesona menawan
sedemikian rupa. Kemudian kata petah pada larik kedua di bait ketiga dipilih agar sejajar dengan
kata yang mengikutinya yakni menjelis bijaksana, dimana kata ini memiliki arti fasih berbicara
atau pandai bercakap-cakap.

Makna yang ditampilkan pada Syair Abdul Muluk tentang seorang wanita yang
menyamar menjadi lelaki dengan maksud menyelamatkan suaminya dari sultan hindustan. Pada
bait yang dianalisis di atas menggambarkan awal mula cerita dimana syair tersebut dibentuk
dengan deskripsi tokoh cerita. Tema yang diangkat pada Syair Abdul Muluk adalah kisah putra
raja yang bijak, dimana pengarang hendak menyampaikan pesan untuk menjadi orang yang bijak
dan baik budi agar dicintai sesama.
PENUTUP
Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis puisi lama (mantra, gurindam, dan syair)
adalah pendekatan estetik. Pendekatan estetik digunakan untuk mengidentifikasi unsur-unsur
keindahan dalam puisi, seperti bunyi, diksi, gaya bahasa, majas dan tipografi. Pada kesimpulan
akhir dari pengapresian puisi lama baik mantra, gurindam, maupun syair, semuanya memiliki
unsur-unsur keindahan dengan right emphasis (tekanan) pada masing-masing puisi yang berbeda.

Daftar Rujukan
Suroto. 1989. Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Tjahjono, Tengsoe. 2011. Mendaki Gunung Puisi Ke Arah Kegiatan Apresiasi. Malang:
Bayumedia Publishing.

Anda mungkin juga menyukai