2. Sistem Pemerintahan
Kesultanan
Kadriah
Pontianak
hampir
tidak
pernah
dapat
mengatur
pemerintahannya secara mandiri karena Belanda sudah menanamkan pengaruhnya
tidak lama setelah Kesultanan Kadriah Pontianak berdiri pada tahun 1771 M. Pada
tanggal 5 Juli 1779, Belanda menjadikan salah satu daerah Kesultanan Kadriah
Pontianak, yakni Tanah Seribu atau Verkendepaal yang terletak di seberang Istana
Kadriah Pontianak, sebagai pusat kedudukan Kepala Daerah Karesidenan Borneo.
Selaku wakil pemerintah kolonial yang membawahi langsung beberapa daerah,
termasuk Pontianak, Siantan, Sungai Kakap, dan lain-lain, Asisten Residen Pontianak
(semacam Kepala Daerah Tingkat II/Bupati Pontianak) Sistem pemerintahan seperti
ini bertahan hingga pada masa pendudukan Jepang (1942-1945Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, sistem pemerintahan Kesultanan Kadriah Pontianak selalu
tergantung dengan kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada setiap
pergantian kepemimpinan kesultanan, Belanda selalu memaksakan kehendaknya
melalui kontrak politik. Ketika Sultan Syarif Kasim Alqadrie naik tahta menggantikan
Syarif Abdurahman Alqadrie, ia harus menandatangani kontrak politik dengan
pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tanggal 12 Januari 1819. Sultan Kadriah
Pontianak berikutnya, yakni Sultan Syarif Usman Alqadrie (1819 1855), melakukan
perjanjian dengan pemerintah kolonial pada tahun 1819, 1822, dan 1823. Pada
perjanjian tanggal 16 Maret 1822, misalnya, Belanda memaksakan bahwa
penghasilan Kesultanan Kadriah Pontianak harus dibagi dua dengan pemerintah
kolonial. Di sisi lain, kesultanan tidak lagi mendapatkan setengah dari penghasilan
Belanda, namun hanya diberi tunjangan sebesar 42.000 gulden setiap tahun. Selain
itu, dalam perjanjian tanggal 14 Oktober 1823 disebutkan bahwa kekuasaan
pengadilan Belanda diperluas mencakup pengadilan untuk rakyat Kesultanan
Kadriah Pontianak (Rahman, 2000:117-118). Aturan ini berlaku hingga masa
pemerintahan Sultan Hamid Alqadrie (1855 1872). Selanjutnya, pada era Sultan
Syarif Yusuf Alqadrie (1872 1895), Belanda kembali memperbaharui kontrak
politiknya pada tanggal 22 Agustus 1872, yang menyatakan bahwa kekuasaan
kepolisian terhadap penduduk pribumi di luar kuasa Belanda diserahkan lagi kepada
Kesultanan Kadriah Pontianak. Selain itu, kesultanan boleh memungut pajak di
wilayahnya. Pengembalian kekuasaan kepolisian itu disebabkan karena penduduk
pribumi hanya mau tunduk dan mentaati kekuasaan kesultanan. Demikian pula
dengan penyerahan hasil pajak kepada kesultanan yang hanya didasarkan atas
pertimbangan teknis untuk kepentingan Belanda karena bagaimanapun juga hasil
pajak tetap dibagi dua dengan Belanda.
Sejak tahun 1950, status Pontianak berubah menjadi Pemerintah Daerah. Kota
Besar Pontianak yang dipimpin oleh walikota dan bersifat otonom. Selanjutnya,
sesuai dengan perkembangan tata pemerintahan, maka dengan Undang-Undang
Darurat Nomor 3 Tahun 1953, bentuk pemerintahan Kota Besar Pontianak
ditingkatkan menjadi Kotapraja Pontianak. Pemerintahan Kota Praja Pontianak
berubah lagi menjadi Kotamadya Pontianak sejak tahun 1965 dan akhirnya menjadi