Anda di halaman 1dari 5

Kesultanan Kadriah Pontianak

Menurut Syarif Ibrahim Alqadrie, Kesultanan Kadriah Pontianak di adalah


kesultanan termuda di nusantara, bahkan di dunia, karena kesultanan ini didirikan
relatif paling terakhir dibandingkan dengan kemunculan kesultanan-kesultanan
lainnya (Syarif Ibrahim Alqadrie, 1979:12). Pada tanggal 23 Oktober 1771 Masehi,
kesultanan yang lahir dari perpaduan kebudayaan Arab, Melayu, Bugis, dan Dayak
ini resmi didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alqadrie
1. Berdirinya Kesultanan Kadriah Pontianak
Syarif Abdurrahman Alqadrie yang menjadi sosok sentral atas berdirinya Kesultanan
Kadriah Pontianak di Kalimantan Barat adalah putra dari Sayid Habib Husein
Alqadrie, seorang penyiar agama Islam asal Timur Tengah. Husein Alqadrie
dilahirkan pada tahun 1706 M di sebuah kota kecil bernama Trim di Hadramaut
(Yaman Selatan). Setelah mendalami ajaran Islam dan ilmu pengetahuan lainnya
selama lebih dari 4 tahun, Husein Alqadrie berkeinginan merantau ke negeri-negeri
timur. Keinginan itu didukung oleh tiga kawan seperguruannya yakni Sayid
Abubakar Alaydrus, Sayid Umar Assegaf, dan Sayid Muhammad Ibnu Ahmad Qudsi
(Mahayudin Haji Yahya, 1999:224).
Dalam perantauannya, keempat pendakwah itu tiba di Terengganu (sekarang
termasuk wilayah negara Malaysia). Dari Terengganu, mereka kemudian menuju ke
Aceh. Di sinilah keempat sahabat itu berpisah. Sayid Abu Bakar Alaydrus tetap
tinggal di Aceh, Sayid Umar Bachsan Assegaf meneruskan perjalanan ke Siak, dan
Sayid Muhammad Ibnu Ahmad Al-Qudsi kembali ke Terengganu (Rahman, 2004:16).
Sedangkan Husein Alqadrie sendiri melanjutkan perjalanannya menyusuri Pantai
Timur Sumatra menuju ke Pulau Jawa untuk mengunjungi negeri-negeri Islam yang
dilaluinya, termasuk Palembang, Banten, Cirebon, Demak, Mataram, Jawa bagian
timur, dan Betawi (Yahya, 1999:224-225). Husein Alqadrie kemudian menetap di
Semarang selama dua tahun. Dari Semarang, ia menyeberangi lautan hingga
sampai di wilayah Kesultanan Matan di Ketapang, Kalimantan Barat. Kehadiran
Husein Alqadrie disambut baik oleh keluarga Kesultanan Matan yang waktu itu
dipimpin oleh Sultan Muhammad Muazzuddin (1724&1738 M). Husein Alqadrie
berhasil menawan hati warga Kesultanan Matan karena tidak lama setelah
kedatangannya, Husein Alqadrie diangkat menjadi hakim (qadhi) kesultanan oleh
Sultan Muhammad Muazzuddin. Bahkan oleh rakyat Matan, Husein Alqadrie sangat
dihormati seperti layaknya seorang wali. Tidak hanya itu, Husein Alqadrie kemudian
dinikahkan dengan anak perempuan Sultan Muhammad Muazzuddin yang bernama
Nyai Tua. Dari perkawinan itu, Husein Alqadrie dikaruniai 4 orang anak, yaitu
Syarifah Khadijah, Syarif Abdurrahman Alqadrie, Syarifah Mariyah, dan Syarif Alwie
Al-Qadrie. Syarif Abdurrahman Alqadrie dilahirkan pada tahun 1739 M. Pada tahun
1738 M, Sultan Matan, Sultan Muhammad Muazzuddin, wafat dan digantikan Sultan
Muhammad Tajuddin (17381749 M). Husein Alqadrie masih bertahan di Kesultanan
Matan hingga Sultan Muhammad Tajuddin digantikan oleh Sultan Ahmad

Kamaluddin (1749−1762 M). Pada masa ini, Husein Alqadrie berselisih


paham dengan Sultan Ahmad Kamaluddin tentang kebijakan hukuman mati.
Ketidaksepahaman ini membuat Husein Alqadrie beserta keluarganya meninggalkan
Matan pada tahun 1755 M dan beralih ke Kesultanan Mempawah yang kala itu
dipimpin oleh Opu Daeng Menambun (1740-1766 M)
Rombongan Husein Alqadrie disambut suka-cita oleh keluarga Kesultanan
Mempawah. Husein Alqadrie kemudian diangkat sebagai patih dan imam besar
Kesultanan Mempawah. Atas izin Opu Daeng Menambon pula, Husein Alqadrie
menempati daerah Kuala Mempawah atau Galah Herang yang menjadi tempat di
mana ia mengajarkan Islam. Untuk mempererat hubungan antara keluarga Husein
Alqadrie dengan Kesultanan Mempawah, maka Syarif Abdurrahman Alqadrie
dinikahkan dengan putri Opu Daeng Menambon dari Ratu Kesumba, bernama Putri
Candramidi. Perkawinan ini dikaruniai tiga orang putra dan tiga orang putri.
Kesukaan Syarif Abdurrahman Alqadrie adalah berkelana, baik untuk berdagang
atau sekadar berpetualang mengunjungi negeri-negeri lain. Pada tahun 1759 M,
Abdurrahman Alqadrie mengadakan pelayaran ke beberapa tempat seperti ke Pulau
Tambelan, Siantan, dan Siak. Selanjutnya, pada tahun 1765 M, ia berlayar menuju
Palembang. Dua tahun kemudian, Abdurrahman Alqadrie melakukan perjalanan ke
Banjarmasin dan menetap di Kesultanan Banjar. Pada tahun 1768, Abdurrahman
Alqadrie menikah lagi dengan putri Sultan Banjar yang bernama Syarifah Anum dan
mendapat gelar Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Alam. Ketika Abdurrahman
Alqadrie masih berada di Banjarmasin, dua orang yang disayanginya wafat. Pada
tahun 1766 M, Sultan Mempawah Opu Daeng Menambon meninggal dunia,
kemudian disusul oleh sang ayah, Husein Alqadrie, yang menghembuskan nafas
penghabisan pada tahun 1770 M. Mangkatnya dua orang yang sangat dihormati
dan dibanggakan oleh Abdurrahman Alqadrie itu mendorongnya untuk mencari
tempat permukiman baru. Pada tahun 1771 M, rombongan Abdurrahman Alqadrie,
di antaranya terdapat lima putra Opu Daeng Menambon, yaitu Panembahan
Adijaya, Syarif Ahmad, Syarif Abubakar, Syarif Alwie, dan Syarif Muhammad, mulai
berlayar untuk mencari tempat permukiman baru. Setelah 4 hari perjalanan,
mereka tiba di sebuah pulau kecil bernama Batu Layang yang terletak 15 kilometer
dari muara Sungai Kapuas. Dari sini, rombongan meneruskan perjalanan hingga
mendekati simpang tiga pertemuan Sungai Kapuas dan Sungai Landak.
Berdasarkan cerita yang diyakini masyarakat lokal di sana, di tempat inilah
rombongan Abdurrahman Alqadrie berperang melawan makhluk halus yang oleh
warga setempat disebut dengan nama hantu kuntilanak. Menurut pandangan
Jimmy Ibrahim (1971), nama kuntilanak tersebut hanya merupakan kiasan untuk
menjelaskan bahwa pengganggu rombongan Abdurrahman Alqadrie itu adalah
gerombolan perompak/bajak laut yang biasa bersembunyi di persimpangan yang
menjorok ke arah Sungai Landak sebelum melakukan aksinya. Pada akhirnya nanti,
nama kuntilanak lambat-laun menjadi Pontianak yang tidak lain adalah nama
kota di seberang istana Kadriah.

2. Sistem Pemerintahan
Kesultanan
Kadriah
Pontianak
hampir
tidak
pernah
dapat
mengatur
pemerintahannya secara mandiri karena Belanda sudah menanamkan pengaruhnya
tidak lama setelah Kesultanan Kadriah Pontianak berdiri pada tahun 1771 M. Pada
tanggal 5 Juli 1779, Belanda menjadikan salah satu daerah Kesultanan Kadriah
Pontianak, yakni Tanah Seribu atau Verkendepaal yang terletak di seberang Istana
Kadriah Pontianak, sebagai pusat kedudukan Kepala Daerah Karesidenan Borneo.
Selaku wakil pemerintah kolonial yang membawahi langsung beberapa daerah,
termasuk Pontianak, Siantan, Sungai Kakap, dan lain-lain, Asisten Residen Pontianak
(semacam Kepala Daerah Tingkat II/Bupati Pontianak) Sistem pemerintahan seperti
ini bertahan hingga pada masa pendudukan Jepang (1942-1945Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, sistem pemerintahan Kesultanan Kadriah Pontianak selalu
tergantung dengan kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada setiap
pergantian kepemimpinan kesultanan, Belanda selalu memaksakan kehendaknya
melalui kontrak politik. Ketika Sultan Syarif Kasim Alqadrie naik tahta menggantikan
Syarif Abdurahman Alqadrie, ia harus menandatangani kontrak politik dengan
pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tanggal 12 Januari 1819. Sultan Kadriah
Pontianak berikutnya, yakni Sultan Syarif Usman Alqadrie (1819 1855), melakukan
perjanjian dengan pemerintah kolonial pada tahun 1819, 1822, dan 1823. Pada
perjanjian tanggal 16 Maret 1822, misalnya, Belanda memaksakan bahwa
penghasilan Kesultanan Kadriah Pontianak harus dibagi dua dengan pemerintah
kolonial. Di sisi lain, kesultanan tidak lagi mendapatkan setengah dari penghasilan
Belanda, namun hanya diberi tunjangan sebesar 42.000 gulden setiap tahun. Selain
itu, dalam perjanjian tanggal 14 Oktober 1823 disebutkan bahwa kekuasaan
pengadilan Belanda diperluas mencakup pengadilan untuk rakyat Kesultanan
Kadriah Pontianak (Rahman, 2000:117-118). Aturan ini berlaku hingga masa
pemerintahan Sultan Hamid Alqadrie (1855 1872). Selanjutnya, pada era Sultan
Syarif Yusuf Alqadrie (1872 1895), Belanda kembali memperbaharui kontrak
politiknya pada tanggal 22 Agustus 1872, yang menyatakan bahwa kekuasaan
kepolisian terhadap penduduk pribumi di luar kuasa Belanda diserahkan lagi kepada
Kesultanan Kadriah Pontianak. Selain itu, kesultanan boleh memungut pajak di
wilayahnya. Pengembalian kekuasaan kepolisian itu disebabkan karena penduduk
pribumi hanya mau tunduk dan mentaati kekuasaan kesultanan. Demikian pula
dengan penyerahan hasil pajak kepada kesultanan yang hanya didasarkan atas
pertimbangan teknis untuk kepentingan Belanda karena bagaimanapun juga hasil
pajak tetap dibagi dua dengan Belanda.
Sejak tahun 1950, status Pontianak berubah menjadi Pemerintah Daerah. Kota
Besar Pontianak yang dipimpin oleh walikota dan bersifat otonom. Selanjutnya,
sesuai dengan perkembangan tata pemerintahan, maka dengan Undang-Undang
Darurat Nomor 3 Tahun 1953, bentuk pemerintahan Kota Besar Pontianak
ditingkatkan menjadi Kotapraja Pontianak. Pemerintahan Kota Praja Pontianak
berubah lagi menjadi Kotamadya Pontianak sejak tahun 1965 dan akhirnya menjadi

Daerah Tingkat II Pontianak berdasarkan Undang-Undang No.5 Tahun 1974. Sampai


sekarang, Daerah Tingkat II Pontianak termasuk ke dalam wilayah Provinsi
Kalimantan Barat
3. Wilayah Kekuasaan
Sebelum mendirikan Kesultanan Kadriah Pontianak, Syarif Abdurrahman Alqadrie
terlebih dulu mendirikan permukiman sementara di sebuah pulau kecil bernama
Batu Layang yang terletak 15 kilometer dari muara Sungai Kapuas. Batu Layang
inilah yang kemudian dijadikan sebagai tempat permakaman sultan-sultan yang
pernah memimpin Kesultanan Kadriah Pontianak. Pada tanggal 23 Oktober 1771 M,
Abdurrahman Alqadrie berlabuh di tepian Sungai Kapuas dan membangun surau
yang kelak menjadi Masjid Jami Syarif Abdurrahman Alqadrie. Selanjutnya,
Abdurrahman Alqadrie mempersiapkan permukiman yang letaknya menjorok ke
darat sekitar 800 meter dari surau. Permukiman itulah yang kemudian menjadi
wilayah pusat pemerintahan Kesultanan Kadriah Pontianak. Tidak lama setelah
resmi menjadi Sultan Kadriah Pontianak pada tahun 1778 M, Abdurrahman Alqadrie
melakukan sejumlah ekspansi untuk memperluas wilayahnya. Pada tahun 1778 M
itu, Kesultanan Kadriah Pontianak berhasil menduduki wilayah Kerajaan Sanggau
sekaligus menguasai jalur perdagangan ke pedalaman Sungai Kapuas. Sebagai
legitimasi penguasaan atas wilayah Sanggau, Sultan Abdurrahman Alqadrie
mendirikan benteng yang dinamakan Jambu Basrah di Pulau Simpang Labi, yang
merupakan pulau milik Kerajaan Sanggau. Selain itu, dalam kontrak politik antara
Kesultanan Kadriah Pontianak dan Belanda tanggal 5 Juli 1779, pihak Belanda
menyebut bahwa Pontianak dan Sanggau sebagai satu kerajaan di bawah Sultan
Syarif Abdurrahman Alqadrie. Kemudian, karena dipengaruhi oleh tekanan Belanda,
Kesultanan Kadriah Pontianak kembali melancarkan ekspansi ke sejumlah kerajaan
di Kalimantan Barat untuk semakin memperluas wilayah kekuasaannya. Pada tahun
1786 M, Kesultanan Kadriah Pontianak menyerang Kesultanan Tanjungpura di
Sukadana. Kemudian, tahun 1787 M, Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie berhasil
menaklukkan Kesultanan Mempawah (Rahman, 2000:109-110). Dengan demikian,
daerah-daerah yang semula termasuk ke dalam wilayah Kesultanan Tanjungpura
dan Mempawah beralih-tangan menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Kadriah
Pontianak. Sementara itu, pada masa pemerintahan Sultan Syarif Yusuf Alqadrie
(1872 1895), wilayah Kesultanan Kadriah Pontianak banyak didatangi kaum
imigran dari berbagai tempat. Misalnya orang-orang Bugis dari Sulawesi yang
menetap di kawasan Pantai Jungkat dan Peniti untuk bertani atau menjadi nelayan,
sehingga sampai sekarang terdapat daerah yang disebut Kampung Dalam Bugis di
Pontianak bagian timur. Selain para imigran dari Bugis, banyak pula imigran dari
Banjar, Bangka Belitung, Serasan, Tambelan, Sampit, bahkan dari Malaka, Kamboja,
dan Vietnam, yang datang kemudian bermukim di wilayah Kesultanan Kadriah
Pontianak. Maka kemudian di Pontianak terdapat Kampung Banjar, Kampung
Bangka Belitung, Kampung Serasan, Kampung Tambelan, Kampung Sampit, juga
Kampung Saigon. Era pemerintahan Syarif Yusuf Alqadrie juga diwarnai dengan

perjanjian mengenai batas-batas wilayah antara Kesultanan Kadriah Pontianak dan


Kesultanan Landak, yakni kesepakatan yang ditandatangani pada tanggal 3 Agustus
1886. Perbatasan yang ditegaskan dalam sebuah peta tersebut menyatakan bahwa
perbatasan Kesultanan Kadriah Pontianak dan Kesultanan Landak dimulai dari Bukit
Batu, kemudian ke Kubu Sengkubu dan Kuala Keramas, melintasi Kuala Terap hingga
ke Hulu Sungai Menuntung, dan berakhir di Gunung Banua atau Gunung Ambawang

Anda mungkin juga menyukai