Anda di halaman 1dari 27

BAGIAN PULMONOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

TB Paru Klinis Suspek Kasus Kambuh

Oleh:
Andika Aji Saputra
Muh. Ramdani
Aiman Syazwan Bin Zulkifli
Aldha Bin Norzaini
Nur Suhailah Bt Othman
Annisa Riska Yanti
Virna Septiana

SUPERVISOR:
Dr. dr. Irawaty Djaharuddin, Sp.P(K)
BAGIAN PULMONOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016
A. IDENTITAS PASIEN
Nama

: MT

LAPORAN KASUS
PERIODE APRIL-JUNI 2016

No Rekam medik

: 775142

Tanggal lahir

: 30 Desember 1951

Umur

: 64 tahun

Jenis kelamin

: Laki laki

Alamat

: Barru

Agama

: Islam

Pendidikan terakhir : SMP


Pekerjaan

: Tukang kayu

Tanggal MRS

: 12 Oktober 2016

B. SUBJEKTIF
Keluhan utama :
Sesak nafas
Anamensis terpimpin :
Seorang pasien laki laki berumur 64 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan sesak nafas
yang sudah dialami sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan sesak memburuk sejak 2 minggu
yang lalu. Pasien merasa lebih sesak saat berbaring terlentang sehingga membutuhkan lebih
bantal untuk lebih nyaman. Gejala sesak tidak dipengaruhi aktivitas. Batuk ada kurang lebih
satu bulan terakhir. Batuk berlendir, bewarna putih dan kental, darah tidak ada. Nyeri dada
sebelah kanan dan dan sekitar tempat yang dipunksi ada. Demam tidak ada, Riwayat demam
ada hilang timbul sejak 1 bulan terakhir. Riwayat penurunan berat badan ada, nafsu makan
menurun ada, keringat malam ada, sakit kepala tidak ada, mual muntah tidak ada. BAB dan
BAK biasa, lancar.
Riwayat penyakit sebelumnya :

Pasien sudah pernah didiagnosa dengan Tb paru pada tahun 2014, berobat OAT teratur

selama 6 bulan, tuntas


Riwayat pasien dirawat di RS Barru 2 minggu yang lalu dengn keluhan sesak yang disertai

efusi pleura dan dipunksi 2.5 liter


Riwayat pasien sempat minum OAT selama 4 hari sejak 2 minggu yang lalu, namun berhenti

minum obat karena timbul gatal gatal


Riwayat asthma disangkal
Riwayat terpapar bahan kimia carcinogenic disangkal
Riwayat hipertensi ada
Riwayat DM disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal

Riwayat lain :

Riwayat kontak dengan penderita batuk lama / Tb paru disangkal


Riwayat merokok > 20 tahun, 20 batang perhari, berhenti sejak 5 tahun yang lalu, Index
brigtman : 20 x 20 = 400

Riwayat keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat penyakit yang sama.

OBJEKTIF
Pemeriksaan fisis :

Keadaan umum : Sakit sedang/Gizi kurang/Kompos Mentis


BMI : 16.32 (TB : 175 cm, BB : 50 kg)
TD : 120/80 mmHg, N : 88 x/mnt, P : 20 x/mnt, S : 36.5 C
Kepala : Normocephal
Mata : Kongjuntiva anemis (-), sclera tidak ikterus
Telinga : Otore (-)
Hidung : Rhinore (-)
Lidah : Kotor (-), jamur (-)
Mulut / bibir : Stomatitis (-), pucat tidak ada
Tonsil : Hiperemis (-), pembesaran (-)
Leher : JVP R + 1 cm, pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thorax :
I : Simetris kiri sama kanan Hemithoraks dekstra sedikit tertinggal dibanding sinistra saat
inspirasi, retraksi intercostalis

P :, vocal femitus hemithoraks dextra menurun, sinistra normal


P : Pekak setinggi ICS V dekstra, sonor pada hemithoraks sinistra
A: Bunyi nafas bronkovesikuler, bunyi tambahan ronkhi (+) pada seluruh lapangan paru

dextra dan sinistra, wheezing (-)


Cor
: Bunyi jantung I/ II murni regular, bising tidak ada
Abdomen : Hati / Lien : Tidak ada pembesaran, distensi abdomen (-)
Extremitas : Extremitas atas : Clubbing finger (-) / cyanosis peripher (-)
Extremitas Bawah : tidak ada kelainan

C. ASSSESSMENT

Tb paru klinis suspek kasus kambuh


Efusi pleura dextra

D. THERAPY

Nacl 0.9 % 16 tpm


O2 3 liter / menit
N ACE 200 mg / 8 jam / oral
Paracetamol 500 mg / 8 jam / oral
Pemeriksaan penunjang

Laboratorium

Radiologi

Darah rutin
Fungsi ginjal (ureum, kreatinin)
Fungsi hati (SGPT, SGOT, albumin)
Gula darah sewaktu (GDS)
Elektrolit
Sputum BTA 3 x (apusan dan pewarnaan gram)
Pemeriksaan sitologi cairan pleura
Kultur Mycobaterium tuberculosis
Sensitivitas OAT
Gene expert
Foto thoraks PA
Usg Guide punksi pleura

TINJAUAN PUSTAKA
TUBERKULOSIS PARU
I.

PENDAHULUAN
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lainnya).1,2 Mycobacterium tuberculosis yang menyerang paru
disebut juga tuberkulosis paru. Bila menyerang organ selain paru (kelenjar limfe, kulit,
otak, tulang, usus, ginjal) disebut tuberkulosis ekstra paru.3

II. EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit yang telah lama dikenal dan
sampai saat ini masih menjadi penyebab utama kematian di dunia. 4 WHO menyatakan
Tuberkulosis paru menyerang sepertiga dari 1,9 miliar penduduk dunia dewasa ini. 3
Setiap tahun terdapat 8 juta kasus baru penderita tuberkulosis paru, dan angka kematian
tuberkulosis paru 3 juta orang setiap tahunnya.3

Prevalensi TB di Indonesia dan negara-negara sedang berkembang lainnya cukup


tinggi4. Indonesia adalah negeri dengan pevalensi TB ke-2 tertinggi di dunia.1 Pada tahun
2006, kasus baru di Indonesia berjumlah >600.000 dan sebagian besar diderita oleh
masyarakat yang berada dalam usia produktif (1555 tahun).3
III. ETIOLOGI
Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium tuberculosis
berbentuk batang, berukuran panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron, mempunyai
sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut sebagai
Basil Tahan Asam (BTA). Kuman tuberkulosis cepat mati dengan sinar matahari
langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.3
IV. PATOGENESIS
Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya
yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat
mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme
imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya
sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil
kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi
dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan
membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru
disebut Fokus Primer GOHN.1,5
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus
primer.Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis)
dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru
bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus,
sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar

paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe
regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis). 1,5
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan
pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak
masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya
berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam
masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah
yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler. 1,5
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik
kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap
tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks
primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh
terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif
terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah
kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada
sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun
seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB
dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru
yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan. 1,5
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna
fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama
bertahun-tahun dalam kelenjar ini. 1,5
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi
dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru
dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis

perkejuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus
sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau
paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena
reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus
akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami
inflamasi dan nekrosis perkejuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus,
sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa keju dapat
menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan
pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolapskonsolidasi. 1,5
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik. 1,5
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman
TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan
gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh.
Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya
otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di
berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman
sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya. 1,5
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya
oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman. Fokus ini umumnya tidak
langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi.
Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian,

bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan
menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain. 1,5
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah
besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat
menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB
diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi.
Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta
frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak
adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.
1,5

Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread


dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan
mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran lesi
diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi
anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi
merupakan granuloma.1
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic
spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkejuan menyebar kesaluran
vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam
darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan
acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang.1

Gambar 1. Skema Perkembangan Sarang Tuberkulosis Post Primer dan Perjalanan


Penyembuhannya

V. KLASIFIKASI DAN TIPE PENDERITA TUBERCULOSIS


a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:2

Tuberkulosis paru.
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru,
tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.2

Tuberkulosis ekstra paru.


Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian,
kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.2

b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB Paru:2

Tuberkulosis paru BTA positif.


Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis.

1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah

pemberian antibiotika non OAT.


Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik
TB paru BTA negatif harus meliputi:2

Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative


Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

c. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.2

TB paru BTA negatif foto toraks positif


dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan.
Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru
yang luas (misalnya proses far advanced), dan atau keadaan umum pasien
buruk.

TB ekstra-paru
dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:2

TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa


unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis,
pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan
alat kelamin.
d. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe
pasien, yaitu:2

Kasus baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

Kasus kambuh (Relaps)


Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis
kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

Kasus setelah putus berobat (Default )


Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan
BTA positif.

Kasus setelah gagal (Failure)


Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali pada
bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

Kasus Pindahan (Transfer In)


Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk
melanjutkan pengobatannya.

VI.

GEJALA KLINIS
Adapun keluhan yang sering didapat pada pasien tuberkulosis paru yaitu batuk

terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih. Gejala tambahan yang mungkin
menyertai adalah :

Demam. Biasanya subfebris menyerupai demam influenza, tetapi kadang kadang


suhu tubuh dapat mencapai 40-41o C. serangan demam pertama dapat sembuh
sebentar, kemudian dapat timbul kembali. Keadaan demamnya bersifat hilang
timbul, sehingga pasien tidak pernah terlepas dari serangan demam.

Batuk/batuk darah. Batuk dapat terjadi karena iritasi bronkus. Batuk darah oleh

karena pecahnya pembuluh darah.1


Sesak napas. Sesak napas ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang

infiltratnya sudah meliputi setenga bagian paru.1


Nyeri dada muncul jika infiltratnya sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan

pleuritis. 1
Malaise. Gejala malaise yang sering ditemukan berupa anoreksia. Badan makin
kurus,sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam.

VII.PEMERIKSAAN FISIS
Pemeriksaan fisis yang pertama kali ditemukan terhadap keadaan umum pasien
yang ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, badan kurus dan
berat badan menurun.1
Tempat kelainan lesi yang paling dicurigai adalah bagian apeks paru. Bila
dicurigai infiltrat yang agak luas, maka didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi
suara napas bronkial. Akan didapatkan juga suara ronki kasar, basah dan nyaring tetapi
bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara napas menjadi vesikuler melemah.
Bila terdapat cavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau
timpani dan auskultasi memberikan suara amforik.1
Pada tuberkulosis yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi
dan retraksi otot-otot interkostal1. Bila tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk
efusi pleura. Paru yang sakit terlihat agak tertinggal dalam pernapasan. Perkusi
memberikan suara pekak. Auskultasi memberikan suara napas yang lemah sampai tidak
terdengar sama sekali.1
Pemeriksaan Radiologi
Radiografi merupakan alat yang penting untuk diagnosa dan evaluasi
tuberkulosis. Pada saat ini pemeriksaan radiologi dada merupakan cara yang praktis
untuk menemukan lesi tuberkulosis.1,10
Lokasi lesi tuberkulosis umumnya diapeks paru (segment apikal lobus atas atau
segment apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian inferior)
atau di daerah hilus menyerupai tumor paru (misalnya tumor paru pada endobronkial).1

Pada awalnya penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia,


gambaran radiologi berupa bercak bercak seperti berawan dengan batas batas yang tidak
tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat seperti bulatan dengan
batas yang tegas. Lesi ini dikenal sebagai tuberkuloma.1
Pada cavitas bayangannya berupa cincin yang berdinding tipis. Bila terjadi
fibrosis maka bayanganya bergaris garis. Pada calsivikasi bayanganya tampak sebagai
bercak bercak padat dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat sebagai fibrosis yang
luas disertai penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus atau satu bagian
paru. Gambaran tuberkulosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang umumnya
terebar merata pada seluruh lapangan paru.1

Gambar 2. Tuberkulosis Yang Sudah Lanjut Pada Foto Rontgen Dada


VIII. DIAGNOSTIK TUBERKULOSIS
Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan diagnosis klinis, dilanjutkan dengan
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis. Menurut
American Thoracic Society dan WHO 1964 diagnosa pasti tuberkulosis paru adalah
dengan menemukan kuman mikobakterium tuberkulosis dalam sputum atau jaringan paru
secara biakan.1
Diagnosis tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan
ditemukannya BTA Positif pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis.

A. Tuberkulosis Paru BTA (+)


Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan
radiologik menunjukkan gambaran tuberculosis aktif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif2
B. Tuberkulosis Paru BTA (-)
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan
kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak respons dengan pemberian
antibiotic spektrum luas
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.tuberculosis
positif
Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa
Tipe penderita juga dapat ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe penderita yaitu :

Kasus baru
penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian) 2

Kasus kambuh (relaps)


Penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis
dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat
dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif2.
Kasus pindahan (Transfer In)
Penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian
pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat
rujukan/pindah2.

Kasus lalai berobat


Penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 minggu atau
lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan
hasil pemeriksaan dahak BTA positif2.

Kasus Gagal

penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada
akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau penderita dengan hasil BTA
negative, gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2
pengobatan dan atau gambaran radiologik ulang hasilnya perburukan2.

Kasus kronik
penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif setelah selesai
pengobatan ulangkategori 2 dengan pengawasan yang baik2.
IX. PENGOBATAN
Obat yang digunakan untuk tuberkulosis digolongkan atas 2 kelompok yaitu
kelompok obat lini pertama dan obat lini kedua. Kelompok obat lini pertama yaitu
isoniazid, rimfapisin, etambutol, pirazinamid dan streptomisin, Sedangkan antibiotik lini
kedua yang digunakan yaitu antibiotik dengan golongan florokuinolon sikloerin,
etionamid, amikasin, kanamisin, kapreomisin, dan paraamino salisilat.7

Tabel 1. Jenis, sifat dan dosis OAT 2


Pemilihan Obat TB
Ada dua prinsip pengobatan tuberkulosis yaitu paling sedikit menggunakan 2 obat
dan pengobatan harus berlangsung setidaknya 3-6 bulan setelah sputum negatif untuk
tujuan sterilisasi dan mencegah kekambuhan. Pengobatan tuberkulosis paru-paru hampir
selalu menggunakan tiga obat INH, Rifampisin, dan Pirazinamid pada dua bulan pertama
selama tidak ada resistensi terhadap satu atau lebih anti tuberkulosis ini.7

Paduan OAT Di Indonesia :


Paduan pengobatan OAT-FDC terdiri dari :8
1. Kategori 1 : 2 (HRZE) / 4 (HR)3
1.1. Kategori 1 diberikan kepada:
Penderita baru TBC Paru BTA positif
Penderita baru TBC Paru BTA negatif/Rontgenpositif (ringan atau berat)
Penderita TBC Ekstra Paru (ringan atau berat).
Pemeriksaan dahak harus tetap dilakukan karena penting untuk evaluasi pelaksanaan
program penanggulangan tuberkulosis.
2. Kategori 2 : 2(HRZE)S /1(HRZE) / 5(HR)3E3
2.1. Kategori 2 diberikan kepada:8

penderita TBC BTA positif Kambuh


penderita TBC BTA positif Gagal
penderita TBC berobat setelah lalai (treatment after default) yang kembali
dengan BTA positif.

X. Komplikasi
Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut :3
a. Hemoptisis berat (Perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan
kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnyajalan nafas.
b. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial
c. Bronkiektasis (Pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat
pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
d. Efusi Pleura dan Pneumothoraks (Adanya udara di dalam rongga pleura) spontan,
kolap spontan karena kerusakan jaringan.
e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal, dan
sebagainya.
EFUSI PLEURA
Efusi pleura merupakan suatu keadaan di mana terdapat cairan berlebih dalam rongga
pleura yang disebabkan ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi cairan pleura. Efusi

pleura adalah suatu keadaan dimana terjadi penumpukan cairan melebihi normal di dalam cavum
pleura diantara pleura parietalis dan visceralis yang dapat berupa transudat atau cairan eksudat.
Pada keadaan normal cairan dari kapiler pleura parietal masuk ke rongga pleura kemudian
diserap oleh sistem limfe. Selain itu, cairan juga masuk melalui pleura visceral dari rongga
interstisial dan melalui lubang kecil di diafragma dari rongga peritoneum. Rongga pleura hanya
mengandung cairan sebanyak 10- 20 ml. Penyakit-penyakit yang dapat menimbulkan efusi
pleura adalah tuberkulosis, infeksi paru non tuberkulosis, keganasan, sirosis hati, trauma tembus
atau tumpul pada daerah ada, infark paru, serta gagal jantung kongestif.
Di negara-negara barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal jantung kongestif,
sirosis hati, keganasan, dan pneumonia bakteri, sementara di. Negara-negara yang sedang
berkembang, seperti Indonesia, lazim diakibatkan oleh infeksi tuberkulosis.1
Gejala yang paling sering timbul adalah sesak, dipsneu. Nyeri bisa timbul akibat efusi
yang banyak berupa nyeri dada pleuritik atau nyeri tumpul. Diagnosis efusi pleura dapat
ditegakkan melalui anamnesis serta pemeriksaan fisik yang teliti, diagnosis yang pasti melalui
pungsi percobaan, biopsy dan analisa cairan pleura.2 Penatalaksanaan efusi pleura dapat
dilakukan dengan cara pengobatan kausal, thorakosintesis, Water Sealed Drainage (WSD), dan
pleurodesis.1
Etiologi dan Patofisiologi
Rongga pleura normal berisi cairan dalam jumlah yang relatif sedikit yakni 0,1 0,2
mL/kgbb pada tiap sisinya.1 Fungsinya adalah untuk memfasilitasi pergerakan kembang kempis
paru selama proses pernafasan. Cairan pleura diproduksi dan dieliminasi dalam jumlah yang
seimbang. Jumlah cairan pleura yang diproduksi normalnya adalah 17 mL/hari dengan kapasitas
absorbsi maksimal drainase sistem limfatik sebesar 0,2-0,3 mL/kgbb/jam. Cairan ini memiliki
konsentrasi protein lebih rendah dibanding pembuluh limfe paru dan perifer.1,3
Cairan dalam rongga pleura dipertahankan oleh keseimbangan tekanan hidrostatik,
tekanan onkotik pada pembuluh darah parietal dan viseral serta kemampuan drainase limfatik.
Efusi pleura merupakan suatu indikator adanya suatu penyakit dasar baik itu pulmoner
maupun non pulmoner, akut maupun kronis. Penyebab efusi pleura tersering adalah gagal
jantung kongestif (penyebab dari sepertiga efusi pleura dan merupakan penyebab efusi pleura
tersering), pneumonia, keganasan serta emboli paru. Berikut ini merupakan mekanismemekanisme terjadinya efusi pleura :

Adanya perubahan permeabilitas membran pleura (misalnya : inflamasi, keganasan, emboli paru)
Berkurangnya tekanan onkotik intravaskular (misalnya : hipoalbuminemia, sirosis)
Meningkatnya permeabilitas pembuluh darah atau kerusakan pembuluh darah (misalnya : trauma,

keganasan, inflamasi, infeksi, infark pulmoner, hipersensitivitas obat, uremia, pankreatitis)


Meningkatnya tekanan hidrostatik pembuluh darah pada sirkulasi sistemik dan atau sirkulasi

sirkulasi paru (misalnya : gagal jantung kongestif, sindrom vena kava superior)
Berkurangnya tekanan pada rongga pleura sehingga menyebabkan terhambatnya ekspansi paru

(misalnya : atelektasis ekstensif, mesotelioma)


Berkurangnya sebagaian kemampuan drainase limfatik atau bahkan dapat terjadi blokade total,
dalam hal ini termasuk pula obstruksi ataupun ruptur duktus torasikus (misalnya : keganasan,
trauma)

Efusi pleura secara umum diklasifikasikan sebagai transudat dan eksudat, bergantung dari
mekanisme terbentuknya serta profil kimia cairan efusi tersebut. Cairan transudat dihasilkan dari
ketidakseimbangan antara tekanan hidrostatik dan onkotik, sementara eksudat dihasilkan oleh
proses inflamasi pleura ataupun akibat berkurangnya kemampuan drainase limfatik. Pada kasuskasus tertentu, cairan pleura dapat memiliki karakteristik kombinasi dari transudat dan eksudat.1,4
Diagnosis:
1. Anamnesis :
Napas terasa pendek hingga sesak napas yang nyata dan progresif. Sesak disebabkan otot
pernapasan tidak efisien oleh karena otot napas teregang oleh pembesaran dinding dada dan otot
diafragma yang rendah. Sesak napas akan segera hilang setelah pengambilan cairan meskipun
penambahan volume paru dan oksigenasinya tidak begitu meningkat. Kemudian dapat timbul
nyeri khas yaitu nyeri pleuritik pada area yang terlibat yang menunjukkan adanya peradangan
pada pleura parietalis. Batuk kering berulang juga sering muncul, khususnya jika cairan
terakumulasi dalam jumlah yang banyak secara tiba-tiba. Batuk disebabkan oleh adanya distorsi
paru, misalnya oleh karena adanya collaps paru pada pneumothorax. Batuk yang lebih berat dan
atau disertai sputum atau darah dapat merupakan tanda dari penyakit dasarnya seperti pneumonia
atau lesi endobronkial. Riwayat penyakit pasien juga perlu ditanyakan misalnya apakah pada
pasien terdapat hepatitis kronis, sirosis hepatis, pankreatitis, riwayat pembedahan tulang

belakang, riwayat keganasan, dll. Riwayat pekerjaan seperti paparan yang lama terhadap bahan
kimia atau asap. Selain itu perlu juga ditanyakan obat-obat yang selama ini dikonsumsi pasien.
1. Pemeriksaan Fisik

Tergantung dari luas dan lokasi dari efusi. Temuan pemeriksaan fisik tidak didapati
apabila cairan pleura masih sedikit. Gangguan pergerakan toraks, vocal fremitus melemah, suara
yang berbeda pada perkusi toraks, egofoni, serta suara nafas yang melemah hingga menghilang
biasanya dapat ditemukan. Friction rub pada pleura juga dapat ditemukan. Cairan efusi yang
masif (> 1000 mL) dapat mendorong mediastinum ke sisi kontralateral.
2. Pemeriksaan Laboratorium
Analisis cairan pleura, yang diambil melalui torakosintesis. Kriteria eksudat berdasarkan Lights
Criteria yaitu:
a) Rasio protein pleura : protein serum > 0.5
b) Rasio LDH pleura : LDH plasma > 0.6
c) Kadar LDH pleura > 2/3 kadar normal tertinggi serum (200IU/L)
3. Pemeriksaan Radiologi

Foto polos thoraks terlihat perselubungan homogen pada hemithoraks, penumpulan


sulkus costofrenikus, meniscus sign. 5

Algoritma evaluasi pasien dengan efusi pleura. Dikutip dari: Light RW. 2002. Pleural effusion. New
england journal medicine, vol 346, no 25.

Penatalaksanaan 1,6

Efusi transudatif biasanya ditangani dengan mengobati penyakit dasarnya. Namun


demikian, efusi pleura yang masif, baik transudat maupun eksudat dapat menyebabkan gejala
respiratori berat. Dalam keadaan ini, meskipun etiologi dan penanganan penyakit dasarnya telah
dipastikan, drainase efusi perlu dilakukan untuk memperbaiki keadaan umum pasien.
Penanganan efusi eksudatif bergantung pada etiologi yang mendasarinya. tiga etiologi utama
yang paling sering dijumpai pada efusi eksudatif adalah pneumonia, keganasan dan tuberkulosis.
Parapneumonia yang mengalami komplikasi dan empiema harus didrainase untuk mencegah
pleuritis fibrotik. Efusi maligna biasanya didrainase untuk meringankan gejala bahkan
pleurodesis diindikasikan untuk mencegah rekurensi. Beberapa obat-obatan diketahui dapat
menyebabkan efusi pleura yang bersifat transudatif. Hal ini perlu diketahui secara dini untuk
menghindari prosedur diagnostik lain yang tidak perlu.
Pada beberapa pasien, drainase cairan efusi pleura dalam jumlah yang banyak dapat
mengurangi gejala yang disebabkan oleh distorsi diafragma dan dinding toraks oleh cairan efusi.
Jenis efusi ini biasanya sering berulang sehingga perlu dilakukan torakosentesis berulang,
pleurodesis atau pemasangan kateter yang menetap sehingga pasien dapat mengeluarkan cairan
efusi sesuai kebutuhan di luar rumah sakit. Pada pasien yang mengalami efusi masif sehingga
jaringan paru mengalami pendesakan, maka pemasangan kateter yang menetap merupakan
pilihan utama. Namun jika tidak ada pendesakan terhadap paru, maka pilihan lain yang dapat
digunakan adalah pleurodesis (pleural sklerosis).
Torakosentesis teraputik betujuan untuk mengeluarkan cairan dalam jumlah yang banyak
pada efusi pleura untuk mengurangi sesak dan menghambat proses inflamasi yang sedang
berlangsung dan juga fibrosis pada efusi parapneumonia. Tiga hal berikut penting untuk
diperhatikan dalam prosedur torasentesis yakni, (1) gunakan kateter berukuran kecil atau kateter
yang didesain khusus untuk drainase cairan dan upayakan jangan menggunakan jarum untuk
menghindari pneumotoraks. (2) monitoring oksigenasi ketat selama dan setelah tindakan perlu
dilakukan untuk memantau oksigenasi arterial yang dapat saja memburuk akibat perubahan
perfusi dan ventilasi selama proses re-ekspansi paru. (3) Usahakan cairan yang diambil tidak
terlalu banyak aqgar tidak terjadi edema paru dan pneumotoraks. Biasanya 400-500 cc cairan

yang dikeluarkan telah memberikan dampakk berupa berkurangnya sesak nafas. Sedangkan
batasan yang direkomendasikan dalam sekali prosedur torakosentesis adalah 1-1,5 L. Batuk
sering terjadi pada proses torasentesis. Hal ini sering terjadi dan tidak merupakan indikasi untuk
menghentikan prosedur kecuali pasien merasa sangat tidak nyaman.
Efusi Pleura et cause Tuberkulosis
Definisi
Efusi pleura TB adalah efusi pleura yang disebabkan oleh M. TB yang dikenal juga
dengan nama pleuritis TB. Peradangan rongga pleura pada umumnya secara klasik berhubungan
dengan infeksi TB paru primer. Berbeda dengan bentuk TB di luar paru, infeksi TB pada organ
tersebut telah terdapat kuman M. TB pada fase basilemia primer. Proses di pleura terjadi akibat
penyebaran atau perluasan proses peradangan melalui pleura viseral sebagai proses
hipersensitiviti tipe lambat. Mekanisme ini berlaku pada beberapa kasus tetapi data epidemiologi
terbaru pleuritis TB mengarahkan mekanisme patogenik lain pada sebagian besar proporsi kasus.
Pada pasien dewasa yang lebih tua kelainan pada pleura berhubungan dengan reaktivasi TB paru.
Efusi pleura harus dicurigai akibat penyebaran infeksi sebenarnya ke ruang pleura dibandingkan
prinsip reaksi imunologi terhadap Ag M. TB.
Patogenesis
Efusi pleura TB adalah efusi pleura yang disebabkan oleh M. TB suatu keadaan dimana
terjadinya akumulasi cairan dalam rongga pleura. Mekanisme terjadinya efusi pleura TB bisa
dengan beberapa cara:
1. Efusi pleura TB dapat terjadi dengan tanpa dijumpainya kelainan radiologi toraks.
Ini merupakan sekuele dari infeksi primer dimana efusi pleura TB biasanya terjadi 6-12
minggu setelah infeksi primer, pada anak-anak dan orang dewasa muda. Efusi pleura TB
ini diduga akibat pecahnya fokus perkijuan subpleura paru sehingga bahan perkijuan dan
kuman M. TB masuk ke rongga pleura dan terjadi interaksi dengan Limfosit T yang akan
menghasilkan suatu reaksi hipersensitiviti tipe lambat. Limfosit akan melepaskan
limfokin yang akan menyebabkan peningkatan permeabilitas dari kapiler pleura terhadap

protein yang akan menghasilkan akumulasi cairan pleura. Cairan efusi umumnya diserap
kembali dengan mudah. Namun terkadang bila terdapat banyak kuman di dalamnya,
cairan efusi tersebut dapat menjadi purulen, sehingga membentuk empiema TB.
2. Cairan yang dibentuk akibat penyakit paru pada orang dengan usia lebih lanjut.
keadaan seperti ini bia berlanjut menjadi nanah (empiema). Efusi pleura ini terjadi akibat
proses reaktivasi yang mungkin terjadi jika penderita mengalami imuniti rendah.
3. Efusi yang terjadi akibat pecahnya kavitas TB dan keluarnya udara ke dalam rongga
pleura. Keadaan ini memungkinkan udara masuk ke dalam ruang
Manifestasi Klinis
Kadang-kadang efusi pleura TB asimptomatik jika cairan efusinya masih sedikit dan
sering terdeteksi pada pemeriksaan radiologi yang dilakukan untuk tujuan tertentu.48 Namun
jika cairan efusi dalam jumlah sedang sampai banyak maka akan memberikan gejala dan
kelainan dari pemeriksaan fisik. Efusi pleura TB biasanya memberikan gambaran klinis yang
bervariasi berupa gejala respiratorik, seperti nyeri dada, batuk, sesak nafas. Gejala umum berupa
demam, keringat malam, nafsu makan menurun, penurunan berat badan, rasa lelah dan lemah
juga bisa dijumpai. Gejala yang paling sering dijumpai adalah batuk (~70%) biasanya tidak
berdahak, nyeri dada (~75%) biasanya nyeri dada pleuritik, demam sekitar 14% yang subfebris,
penurunan berat badan dan malaise. Walaupun TB merupakan suatu penyakit yang kronis akan
tetapi efusi pleura TB sering manifestasi klinisnya sebagai suatu penyakit yang akut. Sepertiga
penderita efusi pleura TB sebagai suatu penyakit akut yang gejalanya kurang dari 1 minggu.

No

Daftar

Subjektif Objektif

Planning therapy

Masalah

TB

paru Subjektif :

klinis
suspek
kasus
kambuh

Planning

sesak nafas sejak 1 bulan yang lalu,


memberat 2 minggu yang lalu. Sesak tidak
dipengaruhi aktivitas. Batuk 1 bulan,
berlendir, bewarna putih dan kental, darah
tidak ada. Nyeri dada sebelah kanan. Demam
tidak ada, riwayat demam ada hilang timbul
sejak 1 bulan terakhir. Riwayat penurunan
berat badan ada, nafsu makan menurun ada,
keringat malam ada. Pasien sudah pernah
didiagnosa dengan Tb paru pada tahun 2014,
berobat OAT teratur selama 6 bulan, tuntas.

Sputum BTA 3x,


kultur

Mycobacterium

tuberculosis
Sensitivitas OAT
Gen XPert
Therapy
Nacl 0.9 % 16 tpm
O2 3 liter / menit

Riwayat pasien dirawat di RS Barru 2


minggu yang lalu dengn keluhan sesak.

N ACE 200 mg / 8 jam / oral

Riwayat pasien sempat minum OAT selama

Paracetamol 500 mg / 8 jam /

4 hari sejak 2 minggu yang lalu, namun

oral

berhenti minum obat karena timbul gatal


gatal. Riwayat merokok > 20 tahun,

20

batang perhari, berhenti sejak 5 tahun yang


lalu, Index brigtman : 20 x 20 = 400.
Objektif
Pemeriksaan fisik
I: Simetris kiri sama kanan Hemithoraks
dekstra sedikit tertinggal dibanding sinistra
saat inspirasi, retraksi intercostalis
A: Bunyi nafas bronkovesikuler, bunyi

tambahan ronkhi (+) pada seluruh lapangan


paru dextra dan sinistra,
Foto Thorax :
TB Paru aktif

Efusi
Pleura

Subjektif :

Planning

Sesak napas ada sejak 1 bulan yang lalu.

Tidak ada planning diagnostic

dextra

yang khusus

Batuk berlendir warna kuning.

Therapy

Objektif :
Foto

thorax:

Sinus kanan tumpul, diafragma dan sinus kiri

Analisis

baik

pleura

Palpasi:

Vocal

fremitus

menurun

pada

hemitoraks dextra
Perkusi:
Paru

kiri

sonor

Paru kanan : Pekak setinggi ICS VII dextra


Auskultasi:
Bunyi pernapasan vesikular, menurun pada
hemitoraks dextra.

DAFTAR PUSTAKA

Pungsi cairan pleura


dan

sitologi

cairan

1. Bahar A, Amin Z. Tuberkulosis Paru. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta:


Balai penerbit FKUI. 2009; p. 2230- 39.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

2007.

Pedoman

Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2 Cetakan pertama. Jakarta


3. Ruswanto B.Analisis spasial sebaran kasus Tuberkulosis paru ditinjau dari faktor
Lingkungan dalam dan luar rumahDi kabupaten pekalongan.2010. Available
forhttp://eprints.undip.ac.id/23875/1/BAMBANG_RUSWANTO.pdf.
26/05/2013).
4. Hudoyo
A.

Jurnal

Tuberkulosis

Indonesia.

2012.

(Cited
Available

forhttp://ppti.info/ArsipPPTI/PPTI-Jurnal-Maret-2012.pdf 7. Cited 26/05/2013.


5. Daniel, M. Thomas. 1999. Harrison : Prinsip-Prinsip Ilmu penyakit dalam Edisi
13 Volume 2. Jakarta : EGC : 799-808
6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

2002.

Pedoman

Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan ke 8. Jakarta.


7. Istiantoro YH, Setiabudy R. Tuberkulostatik dan Leprostatik. Farmakologi dan
Terapi. Edisi V. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2011; p. 613- 32
8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2004.Petunjuk Penggunaan Obat Anti
Tuberkulosis Fixed Dose Combination(OAT-FDC). Edisi 1. Jakarta.
9. Rita Khairani, Elisna Syahruddin, Lia Gardenia Partakusuma. Karakteristik Efusi Pleura
di Rumah Sakit Persahabatan. J Respir Indo Vol. 32, No. 3, Juli 2012.
10. Eddy Surjanto dkk. Penyebab Efusi Pleura Pada Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit. J
Respir Indo Vol. 34 No. 2 April 2014.
11. Chris Tanto dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta: Media Aesculapius;
2014.
12. Price, Sylvia A; Lorraine M. Wilson. 2012. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis ProsesProses Penyakit Edisi 6. EGC.

Anda mungkin juga menyukai