Anda di halaman 1dari 33

PKMRS

DEMAM TIFOID

Oleh :
VIRNA SEPTIANA
C111 12 318

DISUSUN SEBAGAI SALAH SATU SYARAT


MENYELESAIKAN TUGAS KEPANITAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
JULI 2016
HALAMAN PENGESAHAN
1

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:

Nama

: Virna Septiana

NIM

: C111 12 318

Fakultas

: Kedokteran

Universitas : Hasanuddin
Judul PKMRS

: Demam Tifoid

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepanitraan klinik


pada bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin.

Makassar, Juli 2016

Mengetahui,

Residen Pembimbing I

Residen Pembimbing II

dr. Fitriya Idrus

dr. Andriana Susanti

Supervisor Pembimbing

dr. Farida Albugis, Sp. A


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...........................................................................................1
HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................2
DAFTAR ISI........................................................................................................3
A. Definisi Demam Tifoid..............................................................................4
B. Epidemiologi Demam Tifoid.....................................................................4
C. Etiologi Demam Tifoid..............................................................................5
D. Patogenesis Demam Tifoid........................................................................7
E. Gejala Klinis Demam Tifoid......................................................................9
F. Komplikasi Demam Tifoid.......................................................................11
G. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis Demam Tifoid..................................13
H. Pengobatan...............................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................30

DEMAM TIFOID

A. Definisi demam tifoid


Penyakit demam tifoid (typhoid fever) yang biasa disebut tifus
3

merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella, khususnya


turunannya yaitu Salmonella typhi yang menyerang bagian saluran pencernaan.
Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik
mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah (Algerina,
2008; Darmowandowo, 2006).
Demam tifoid termasuk penyakit menular yang tercantum dalam
Undang- undang nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit
menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang
banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah (Sudoyo A.W., 2010).
Penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman/makanan
yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman dan
biasanya keluar bersama-sama dengan tinja. Transmisi juga dapat terjadi secara
transplasenta dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakteremia kepada
bayinya (Soedarno et al, 2008).
B. Epidemiologi demam tifoid
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai di seluruh
dunia, secara luas di daerah tropis dan subtropis terutama di daerah dengan
kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar higienis dan sanitasi
yang rendah yang mana di Indonesia dijumpai dalam keadaan endemis (Putra
A.,2012).
Dari laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2003
terdapat 17 juta kasus demam tifoid per tahun di dunia dengan jumlah kematian
mencapai 600.000 kematian dengan Case Fatality Rate (CFR = 3,5%). Insidens
rate penyakit demam tifoid di daerah endemis berkisar antara 45 per 100.000
penduduk per tahun sampai 1.000 per 100.000 penduduk per tahun. Tahun
2003 insidens rate demam tifoid di Bangladesh 2.000 per 100.000 penduduk
per tahun. Insidens rate demam tifoid di negara Eropa 3 per 100.000 penduduk, di
4

Afrika yaitu 50 per 100.000 penduduk, dan di Asia 274 per 100.000 penduduk
(Crump, 2004).
Indisens rate di Indonesia masih tinggi yaitu 358 per 100.000 penduduk
pedesaan dan 810 per 100.000 penduduk perkotaan per tahun dengan rata-rata
kasus per tahun 600.000 1.500.000 penderita. Angka kematian demam tifoid di
Indonesia masih tinggi dengan CFR sebesar 10%. Tingginya insidens rate
penyakit demam tifoid di negara berkembang sangat erat kaitannya dengan status
ekonomi serta keadaan sanitasi lingkungan di negara yang bersangkutan
(Nainggolan R., 2009).
C. Etiologi demam tifoid
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif,
tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagela (bergerak
dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam
bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan
0
pemanasan (suhu 60 C) selama 15 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan
khlorinisasi (Rahayu E., 2013).
Salmonella
menyebabkan demam

typhi

adalah

tifoid.

bakteri

Salmonella

batang
typhi

gram

merupakan

negatif
salah

yang
satu

penyebab infeksi tersering di daerah tropis, khususnya di tempat-tempat dengan


higiene yang buruk (Brook, 2001).
Manusia terinfeksi Salmonella typhi secara fekal-oral. Tidak selalu
Salmonella typhi yang masuk ke saluran cerna akan menyebabkan infeksi karena
untuk menimbulkan infeksi, Salmonella typhi harus dapat mencapai usus halus.
Salah satu faktor penting yang menghalangi Salmonella typhi mencapai usus
halus adalah keasaman lambung. Bila keasaman lambung berkurang atau
makanan terlalu cepat melewati lambung, maka hal ini akan memudahkan infeksi
5

Salmonella typhi (Salyers dan Whitt, 2002).


Setelah

masuk

ke

saluran

cerna

dan

mencapai

usus

halus,

Salmonella typhi akan ditangkap oleh makrofag di usus halus dan memasuki
peredaran darah, menimbulkan bakteremia primer. Selanjutnya, Salmonella
typhi akan mengikuti aliran darah hingga sampai di kandung empedu. Bersama
dengan sekresi empedu ke dalam saluran cerna, Salmonella typhi kembali
memasuki saluran cerna dan akan menginfeksi Peyers patches, yaitu jaringan
limfoid yang terdapat di ileum, kemudian kembali memasuki peredaran darah,
menimbulkan bakteremia sekunder. Pada saat terjadi bakteremia sekunder,
dapat ditemukan gejala-gejala klinis dari demam tifoid (Salyers dan Whitt,
2002).
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu:
1.

Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar


dari

tubuh kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia

lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan


terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen flagela), yang terletak pada flagela, fimbriae
atau pili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu
protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap
panas dan alkohol yang telah memenuhi kriteria penilaian.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman
yang dapat melindungi kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita
akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim
disebut aglutinin (Sudoyo A.W., 2010).

Gambar 1. Gambar kuman Salmonella typhi secara skematik.


(Sumber: Marleni, 2012; Rustandi, 2010)

D. Patogenesis demam tifoid


Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh
manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan
berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik
maka kuman akan menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina propia. Di
lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama
oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah
bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di
dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia
pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial
tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel
fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakteremia
yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi
sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut (Sudoyo
A.W., 2010).
7

Gambar 2. Patogenesis masuknya kuman Salmonella typhi.


(Sumber: Marleni, 2012; Rustandi, 2010)

Imunitas humoral pada demam tifoid berperan dalam menegakkan


diagnosis berdasarkan kenaikan titer antibodi terhadap antigen kuman S.typhi.
Imunitas seluler berperan dalam penyembuhan penyakit, berdasarkan sifat
kuman

yang hidup intraselluler. Adanya rangsangan antigen kuman akan

memicu

respon

imunitas

humoral

melalui

sel

limfosit

B,

kemudian

berdiderensiasi menjadi sel plasma yang akan mensintesis immunoglobulin (Ig).


Yang terbentuk pertama kali pada infeksi primer adalah antibodi O (IgM) yang
cepat menghilang, kemudian disusul antibodi flagela H (IgG). IgM akan
muncul

48

jam

setelah

terpapar antigen, namun ada pustaka lain yang

menyatakan bahwa IgM akan muncul pada hari ke 3-4 demam (Marleni, 2012;
Rustandi 2010).

Gambar 3. Respons antibodi terhadap infeksi Salmonella typhi.


8

(Sumber: Marleni, 2012; Rustandi, 2010)

E. Gejala klinis demam tifoid


Gejala klinis demam tifoid seringkali tidak khas dan sangat bervariasi
yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid
tidak khas dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas
disertai diare yang mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat
baik berupa gejala sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau
timbul komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal
ini mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja
(Hoffman, 2002).
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika
dibanding dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 20 hari. Setelah
masa inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak
badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Gejala-gejala klinis
yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimptomatik
hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian
(Sudoyo A.W., 2010).
Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang
timbul pada semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tibatiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septikemia
oleh karena Streptococcus

atau Pneumococcus

daripada

S.typhi.

Gejala

menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita yang
hidup di daerah endemis malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh
malaria (Sudoyo A.W., 2010).
Demam tifoid dan malaria dapat timbul secara bersamaan pada satu
penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai
gejala meningitis, di sisi lain S.typhi juga dapat menembus sawar darah otak dan
menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala mental kadang mendominasi
9

gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang
tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Penderita pada tahap lanjut dapat muncul
gambaran peritonitis akibat perforasi usus (Sudoyo A.W., 2010).
Gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
1. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat
febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh
berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan
meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita
terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh berangsurangsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
2. Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecahpecah (ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan
tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan
keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai
nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula
normal bahkan dapat terjadi diare.
3. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam,
yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi

sopor, koma atau gelisah

(Sudoyo, A. W., 2010).

10

19
Tabel 1. Typhoid Morbidity Score

Characteristic

Fever

Degree of Condition Resulting in Score of :


0

37.5C

37.639.0C

>39.0C

Clear

Irritability

Delirium; coma

Not palpable

2.5 cm

>2.5 cm

Mental state
Liver size
Diarrhea

None

Mild

Severe

Vomiting

None

Nausea

Vomiting

Diffuse pain

Right hypochondrial

Abdominal pain

None

tenderness
Result

of

Normal

abdominal
examination

Abdominal

Ileus;

peritonitis;

distension; doughy gastrointestinal


feel

bleeding

F. Komplikasi demam tifoid


Menurut Sudoyo (2010), komplikasi demam tifoid dapat dibagi
atas dua bagian, yaitu:
1. Komplikasi Intestinal
a. Perdarahan Usus
11

Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan


minor yang tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat
dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis
perdarahan

akut

darurat bedah ditegakkan bila terdapat

perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam.


b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya
timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu
pertama. Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh
nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah
yang kemudian meyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi
lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan
sampai syok.
2. Komplikasi Ekstraintestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer (syok,
sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
b. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia,
koaguolasi intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia
hemolitik.
c. Komplikasi paru: pneumoni, empiema, dan pleuritis.
d. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.
e. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, dan
perinefritis.
f.

Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan


artritis.

g. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meningismus,


meningitis, polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.

12

G. Pemeriksaan penunjang diagnosis demam tifoid


Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis
yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Penelitian yang
menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik
dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh masih
terus dilakukan hingga saat ini (Sudoyo A.W., 2010).
Diagnosis definitif demam tifoid tergantung pada isolasi S.typhi dari
darah, sumsum tulang atau lesi anatomi tertentu. Adanya gejala klinis
dari karakteristik demam tifoid atau deteksi dari respon antibodi spesifik adalah
sugestif demam tifoid tetapi tidak definitif. Kultur darah adalah gold standard
dari penyakit ini (WHO, 2003).
Dalam

pemeriksaan

laboratorium

diagnostik,

dimana

patogen

lainnya dicurigai, kultur darah dapat digunakan. Lebih dari 80% pasien dengan
demam tifoid terdapat Salmonella typhi di dalam darahnya. Kegagalan untuk
mengisolasi organisme dapat disebabkan oleh beberapa faktor: (i) keterbatasan
media laboratorium, (ii) penggunaan antibiotik, (iii) volume spesimen, atau (iv)
waktu pengumpulan, pasien dengan riwayat demam selama 7 sampai 10 hari
menjadi lebih mungkin dibandingkan dengan pasien yang memiliki kultur
darah positif (WHO, 2003).
Aspirasi sum-sum tulang adalah standar emas untuk diagnosis demam
tifoid dan sangat berguna bagi pasien yang sebelumnya telah diobati, yang
memiliki sejarah panjang penyakit dan pemeriksaan kultur darah yang negatif.
Aspirasi duodenum juga telah terbukti sangat memuaskan sebagai tes diagnostik
namun belum diterima secara luas karena toleransi yang kurang baik pada
aspirasi duodenum, terutama pada anak-anak (WHO, 2003).
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis
13

demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu:


1. Pemeriksaan Darah Tepi
Penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit
normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia
dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin
didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut.
Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah
dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas,
spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan
antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan
limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid (Hoffman, 2002).
Penelitian oleh Darmowandowo (1998) di RSU Dr. Soetomo Surabaya
mendapatkan hasil pemeriksaan darah penderita demam tifoid berupa anemia
(31%), leukositosis (12.5%) dan leukosit normal (65.9%) (Darmowandowo,
2006).
2. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri
Salmonella typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan
duodenum. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih
mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit,
sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urin dan feses (Hardi et al,
2002).
Kultur organisme penyebab merupakan prosedur yang paling efektif
dalam menduga demam enterik, dimana kultur untuk demam tifoid dapat
menjelaskan dua pertiga dari kasus septikemia yang diperoleh dari komunitas
yang dirawat di rumah sakit (Wain dan Hosoglu, 2008).
14

Kultur darah adalah prosedur untuk mendeteksi infeksi sistemik yang


disebabkan oleh bakteri atau jamur. Tujuannya adalah mencari etiologi bakteremi
dan fungemi dengan cara kultur secara aerob dan anerob, identifikasi bakteri dan
tes sensitivitas antibiotik yang diisolasi. Hal ini dimaksudkan untuk membantu
klinisi dalam pemberian terapi antibiotik yang terarah dan rasiona1 (Provan,
2005).
Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media
empedu

(gall)

dari

sapi

dimana

dikatakan

media

Gall

ini

dapat

meningkatkan positivitas hasil karena hanya S.typhi dan S.paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut (Sudoyo A.W., 2010).
Masing-masing koloni terpilih diamati morfologinya, meliputi: warna
koloni, bentuk, diameter 1-2 mm, tepi, elevasi, sifat yaitu berdasarkan
kemampuannya untuk memfermentasikan laktosa, atau kemampuannya untuk
menghemolisa sel darah merah (Bourbeau dan Pohlman, 2001).
Hasil yang menunjukkan ditemukannya bakteri dalam darah dengan cara
kultur disebut bakteremi, dan merupakan penyakit yang mengancam jiwa, maka
pendeteksiannya dengan segera sangat penting. Indikasi kultur darah adalah jika
dicurigai terjadi bakteremi atau septikemi dilihat dari gejala klinik, mungkin akan
timbul gejala seperti : demam, mual, muntah, menggigil, denyut jantung cepat
(tachycardia), pusing, hipotensi, syok, leukositosis, serta perubahan lain dalam
sistem organ dan atau laboratoris (Provan, 2005).
Biakan darah

terhadap Salmonella juga tergantung dari saat

pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan


darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan
positif 10-50% pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada
sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Pada
keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari
duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik, akan tetapi tidak digunakan
secara luas karena adanya resiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan
duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang (Wain et al, 2008).
15

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi


hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada
beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi jumlah
darah yang diambil, perbandingan volume darah dari media empedu dan waktu
pengambilan darah (Sudoyo A. W., 2010).
Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (1015%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif
setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas
karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 8095% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang
pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang
sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan

kultur

darah

negatif

sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam
praktek sehari-hari. Pemeriksaan pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur
pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil
yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko
aspirasi pada anak. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa
sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur
sumsum tulang (Handoyo,2004).
Volume 5-10 ml dianjurkan untuk orang dewasa, sedangkan pada
anak- anak dibutuhkan 2-4 ml, sedangkan volume sumsum tulang yang
dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 ml. Bakteri dalam sumsum tulang
juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah.
Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang
lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya.
Spesifisitasnya walaupun tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai
sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang
16

dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri
sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis
baku dalam pelayanan penderita.
3. Uji Serologis
a.

Uji Widal

Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan
sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi
aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbedabeda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam
jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih
menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Semakin tinggi
titernya, semakin besar kemungkinan infeksi ini.
Uji Widal ini dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman
Salmonella typhi. Pada uji ini terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen
kuman Salmonella typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang
digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan
dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah menentukan adanya
aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid (Sudoyo A.W., 2010).
Tes aglutinasi Widal dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan
(slide test) dan uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan dengan
cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan. Uji hapusan dilakukan
dengan

menggunakan

antigen

S.

typhi

komersial

yang tersedia, setetes

suspensi antigen ditambahkan pada sejumlah serum pasien yang diduga terinfeksi
Salmonella typhi. Hasil penapisan positif membutuhkan determinasi kekuatan
dari antibodi (Olopienia, 2000). Di Indonesia pengambilan titer O aglunitin
1/40 dengan memakai slide test (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 15
menit) menunjukkan nilai

ramal

positif

96%

(Sudarno

et

al,

2008).
17

Campuran suspensi antigen dan antibodi diinkubasi selama 20 jam pada suhu
37

C di dalam air. Tes ini dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji

hapusan (Olopienia, 2000).


Penelitian pada anak oleh Choo et.al (1990) mendapatkan sensitivitas
dan spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan
nilai prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%.
Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan
positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan
spesifisitas sebesar 76-83% (Choo et al,1990).
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor
antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti
status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi;
gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau nonendemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan (Olopienia, 2000).
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta
sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam
penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif
akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda
infeksi). Uji Widal saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh
dunia, namun manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan
karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Upaya
untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline
titer) pada orang sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia
akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada orang-orang sehat
(Hosoglu et al, 2008).
Kelemahan lain adalah banyak terjadi hasil negatif palsu dan positif
palsu pada tes ini. Hasil negatif palsu tes Widal terjadi jika darah diambil terlalu
dini dari fase tifoid. Pemberian antibiotik merupakan salah satu peyebab penting
18

terjadinya negatif palsu. Penyebab hasil negatif lainnya adalah tidak adanya
infeksi S. typhi, status karier, inokulum antigen bakteri pejamu yang tidak
cukup untuk melawan antibodi, kesalahan atau kesulitan dalam melakukan tes
dan variabilitas antigen (Hosoglu et al, 2008).
Hasil positif palsu dapat terjadi apabila sudah pernah melakukan tes
demam tifoid sebelumnya, sudah pernah imunisasi antigen Salmonella sp., ada
reaksi silang sebelumnya dengan antigen selain Salmonella sp., variabilitas dan
kurangnya standar pemeriksaan antigen, infeksi malaria atau

bakteri

enterobacteriaceae lainnya, serta penyakit lain seperti dengue (Hosoglu et al,


2008)

Gambar 4. Widal Test Kit.


(Sumber: Maulana, 2011)
b.

Uji Tubex

Uji Tubex merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat


(beberapa menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi antiS.typhi O9 pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM antiO9 yang terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna
lipopolisakarida

S.typhi

yang

terkonjugasi

dengan

pada partikel magnetik latex.

Hasil positif uji Tubex ini menunjukkan terdapat infeksi Salmonellae serogroup
D walau tidak secara spesifik menunjuk pada S.typhi. Infeksi oleh S.paratyphi
akan memberikan hasil negatif (Sudoyo A.W., 2010).
19

Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan sehingga dapat


merangsang respon imun secara independen terhadap timus dan merangsang
mitosis sel B tanpa bantuan dari sel T. Karena sifat-sifat tersebut, respon terhadap
antigen O9 berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap anti-O9 dapat dilakukan
lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk
infeksi sekunder. Perlu diketahui bahwa uji Tubex hanya dapat mendeteksi
IgM

dan

tidak

dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat dipergunakan

sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi lampau (Sudoyo A.W., 2010).


Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam komponen,
meliputi:

1)

tabung

berbentuk

V,

yang

juga

berfungsi

untuk

meningkatkan sensitivitas, 2) Reagen A, yang mengandung partikel magnetik


yang diselubungi dengan antigen S.typhi O9, 3) Reagen B, yang mengandung
partikel lateks berwarna biru yang diselubungi dengan antibodi monoklonal
spesifik untuk antigen O9. Untuk melakukan prosedur pemeriksaan ini, satu
tetes serum (25 L) dicampurkan ke dalam tabung dengan satu tetes (25 L)
reagen A. Setelah itu dua tetes reagen B (50 L) ditambahkan ke dalam tabung.
Hal tesebut dilakukan pada kelima tabung lainnya. Tabung-tabung tersebut
kemudian diletakkan pada rak tabung yang mengandung magnet dan diputar
selama 2 menit dengan kecepatan 250 rpm. Interpretasi hasil dilakukan
berdasarkan warna larutan campuran yang dapat bervariasi dari kemerahan
hingga kebiruan. Berdasarkan warna inilah ditentukan skor, yang interpretasinya
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Interpretasi skor pemeriksaan Tubex (Sudoyo A.W.,
2010).
Skor
<2
3

Interpretasi
Negatif
Borderline

Tidak menunjuk infeksi tifoid aktif


Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Ulangi
pengujian, apabila masih meragukan lakukan

4-5

Positif

pengulangan beberapa
hari kemudian
Menunjukkan
infeksi tifoid
aktif
20

>6
Positif
Indikasi kuat infeksi tifoid
Jika serum tidak mengandung antibodi terhadap O9, reagen B ini
bereaksi dengan reagen A. Ketika diletakkan pada daerah mengandung medan
magnet (magnet rak), komponen magnet yang dikandung reagen A akan tertarik
pada magnet rak, dengan membawa serta pewarna yang dikandung oleh reagen
B. Sebagai akibatnya, terlihat warna merah pada tabung yang sesungguhnya
merupakan gambaran serum yang lisis. Sebaliknya, bila serum mengandung
antibodi terhadap O9, antibodi pasien akan berikatan dengan reagen A
menyebabkan reagen B tidak tertarik pada magnet rak dan memberikan warna
biru pada larutan (Sudoyo A.W., 2010).
Berbagai penelitian menunjukkan uji ini memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang baik (berturut-turut 75-80% dan 75-90%). Pada tahun 2006,
penelitian Surya H dkk melakukan penelitian pada 52 sampel darah pasien
dengan diagnosis klinis demam tifoid untuk membandingkan spesifisitas,
sensitivitas, positive predictive value (PPV) dan negative predictive value uji
Tubex dengan uji Widal. Pada penelitian tersebut, didapatkan sensitivitas uji
Tubex sebesar 100% (Widal: 53,1%), spesifisitas 90% (Widal: 65%), PPV
94,11% (Widal:70,8%), NPV 100% (Widal: 46,4%) (Sudoyo A.W., 2010).

Gambar 5. Pemeriksaan Tubex.


(Sumber: IDL Biotech AB, 2008)

21

c.Uji Typhidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada
protein membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan
2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM
dan IgG terhadap antigen S.typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada strip
nitroselulosa (Sudoyo A.W., 2010).
Pada penelitian Gopalakhrisnan dkk 2002, didapatkan sensitivitas uji ini
sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76,6% dan efisiensi uji sebesar 84%. Pada
penelitian lain yang dilakukan oleh Olsen dkk, didapatkan sensitifitas
dan spesifisitas uji ini hampir sama dengan uji Tubex yaitu 79% dan 89%
dengan 78% dan 89% (Sudoyo A.W., 2010).
Pada kasus reinfeksi, respon imun sekunder (IgG) teraktivasi secara
berlebihan sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan sampai 2 tahun
sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan antara
infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus uji primer.
Untuk mengatasi masalah tersebut, uji ini kemudian dimodifikasi dengan
menginaktivasi total IgG pada sampel serum. Uji ini, yang dikenal dengan
nama

uji

Typhidot-M, memungkinkan ikatan antara antigen dengan IgM

spesifik yang ada pada serum pasien. Studi evaluasi yang dilakukan oleh
Khoo KE dkk pada tahun 1997 lebih sensitif (sensitivitas mencapai 100%) dan
lebih cepat (3 jam) dilakukan bila dibandingkan dengan kultur (Sudoyo A.W.,
2010).

22

Gambar 6. Pemeriksaan Typhidot.


(Sumber:http://www.reszonics.com)

4. Pemeriksaan kuman secara molekuler


Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah
mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah
dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara
polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik
untuk S. typhi (Wain dan Hosoglu, 2008).
Penelitian oleh Haque et al. (1999) mendapatkan spesifisitas PCR
sebesar 100%

dengan

sensitivitas

yang

10

kali

lebih

baik

daripada

penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/ml darah.


Penelitian lain oleh Massi et al. (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar 63%
pada tes Tubex bila dibandingkan dengan uji Widal (35.6%).
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini
meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi
bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan
dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin
dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses),
biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA
dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga
saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian (Wain dan
Hosoglu, 2008).

23

H. PENGOBATAN
1. Perawatan umum
Pasien

demam

tifoid

perlu

dirawat dirumah sakit untuk isolasi,

observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7
hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah
untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus.
Mobilisasi pesien harus dilakukan secara bertahap,sesuai dengan pulihnya
kekuatan pasien.
Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah
pada waktu- waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik
dan dekubitus.
Defekasi dan buang air kecil harus dperhatikan karena kadang-kadang
terjadi obstipasi dan retensi air kemih. Pengobatan simtomik diberikan untuk
menekan gejala-gejala simtomatik yang dijumpai seperti demam,

diare,

sembelit, mual, muntah, dan meteorismus. Sembelit bila lebih dari 3 hari perlu
dibantu dengan paraffin

atau lavase

dengan

glistering. Obat bentuk laksan

ataupun enema tidak dianjurkan karena dapat memberikan akibat perdarahan


maupun perforasi intestinal.
Pengobatan suportif dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan penderita,
misalnya pemberian cairan, elektrolit, bila terjadi gangguan keseimbangan cairan,
vitamin, dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh dan kortikosteroid untuk
mempercepat penurunan demam.
2. Diet
Di masa lampau, pasien demam tifoid diberi bubur saring, kemudian
bubur kasar dan akhirnya diberi nasi. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa
24

pemberian makanan padat dini,yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa
(pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman pada pasien
demam tifoid.
3. Obat
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan adalah :
-Kloramfenikol : Kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama pada pasien
demam tifoid.Dosis untuk orang dewasa adalah 4 kali 500 mg perhari oral atau
intravena,sampai

hari

bebas

demam.Penyuntikan

kloramfenikol

siuksinat intramuskuler tidak dianurkan karena hidrolisis ester ini tidak dapat
diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri.Dengan kloramfenikol,demam pada
demam tifoid dapat turun rata 5 hari.
-Tiamfenikol
tifoid

sama

penggunaan

Dosis

tiamfenikol

pada demam

dengan kloramfenikol.Komplikasi hematologis

tiamfenikol

Dengan penggunaan

dan efektivitas
lebih

jarang

daripada

pada

klloramfenikol.

tiamfenikol demam pada demam tiofoid dapat turun

rata-rata 5-6 hari


-Ko-trimoksazol (Kombinasi Trimetoprim

dan Sulfametoksazol) : Efektivitas

ko- trimoksazol kurang lebih sama dengan kloramfenikol,Dosis untuk orang


dewasa,2 kali 2 tablet sehari,digunakan sampai 7 hari bebas demam (1 tablet
mengandung 80 mg trimetoprim dan 400 mg sulfametoksazol).dengan kotrimoksazol demam rata-rata turun setelah 5-6 hari.
-Ampislin

dan

Amoksisilin

: Dalam hal kemampuan menurunkan

demam,efektivitas ampisilin dan amoksisilin lebih kecil dibandingkan dengan


kloramfenikol.Indikasi mutlak penggunannnya adalah pasien demam tifoid
dengan leukopenia.Dosis yang dianjurkan berkisar antara 75-150 mg/kgBB
sehari,digunakan sampai 7 hari bebas demam.Dengan Amoksisilin dan
25

Ampisilin,demam rata-rata turun 7-9 hari.


-Sefalosporin generasi ketiga : Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa
sefalosporin generasi ketiga antara lain Sefoperazon,seftriakson, dan sefotaksim
efektif untuk demam tifoidtetapi dosis dan lama pemberian yang optimal belum
diketahui dengan pasti.
-Fluorokinolon : Fluorokinolon efektif untuk demam tifoidtetapi dosis dan lama
pemberian belum diketahui dengan pasti.
-Furazolidon.
2.2 Penggunaan Antibiotik pada Demam Tifoid
Penggunaan antibiotik merupakan terapi utama pada demam tifoid,
karena pada dasarnya patogenesis infeksi Salmonella Typhi berhubungan dengan
keadaan bakterimia.Pemberian terapi antibiotik
akan

demam tifoid

pada anak

mengurangi komplikasi dan angka kematian, memperpendek perjalan

penyakit serta memperbaiki gambaran


penurunan

demam.

Namun

klinis

salah

demikian pemberian

satunya

terjadi

antibiotik

dapat

menimbulkan drug induce fever, yaitu demam yang timbul bersamaan


dengan pemberian terapi antibiotik dengan catatan tidak ada penyebab demam
yang lain seperti adanya luka, rangsangan infeksi, trauma dan lain- lain.Demam
akan hilang ketika terapi antibiotik yang digunakan tersebut dihentikan.

20,21

Kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama pada terapi demam tifoid, hal
ini dapat dibenarkan apabila sensitivitas Salmonella Typhi masih tinggi terhadap
obat tersebut.Tetapi penelitian-penelitian yang dilakukan dewasa ini sudah
menemukan strain Salmonella Typhi yang sensitivitasnya berkurang terhadap
kloramfenikol,untuk

itu

antibiotik

lain

seperti

seftriakson,

ampisilin,

kotrimoksasol atau sefotaksim dapat digunakan sebagai pilihan terapi demam


tifoid.

8,10,22
26

1. Kloramfenikol
Kloramfenikol merupakan antibiotik lini pertama terapi demam tifoid
yang bersifat bakteriostatik namun pada konsentrasi tinggi dapat bersifat
bakterisid terhadap kuman- kuman tertentu serta berspektrum luas.Dapat
digunakan untuk terapi bakteri gram positif maupun negatif.Kloramfenikol
terikat pada ribosom subunit 50s serta menghambat sintesa bakteri sehingga
ikatan peptida tidak terbentuk pada proses sintesis protein kuman.Sedangkan
mekanisme resistensi antibiotik ini terjadi melalui inaktivasi obat oleh asetil
transferase yang diperantarai faktor-R.Masa paruh eliminasinya pada bayi
berumur kurang dari 2 minggu sekitar 24 jam.Dosis untuk terapi demam tifoid
pada anak 50-100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis.Lama terapi 8-10
hari setelah suhu tubuh kembali normal atau 5-7 hari setelah suhu
turun.Sedangkan dosis terapi untuk bayi 25-50 mg/kgBB.

2,15,18,23

2. Seftriakson
Seftriakson merupakan terapi lini kedua pada kasus demam tifoid
dimana bakteri Salmonella Typhi sudah resisten terhadap berbagai obat.
Antibiotik ini memiliki sifat

bakterisid dan memiliki mekanisme kerja

sama seperti antibiotik betalaktam lainnya, yaitu menghambat sintesis dinding


sel mikroba, yang dihambat ialah reaksi transpeptidase dalam rangkaian
reaksi pembentukan dinding sel.Dosis terapi intravena untuk anak 50-100
mg/kg/jam dalam 2 dosis, sedangkan
mg/kg/jam.

untuk bayi dosis tunggal 50

16,18

3. Ampisilin
Ampisilin memiliki mekanisme kerja menghambat pembentukan
mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba.Pada
27

mikroba yang sensitif, ampisilin akan menghasilkan efek bakterisid.Dosis


ampisilin tergantung dari beratnya penyakit, fungsi ginjal dan umur
pasien.Untuk anak dengan berat badan <20 kg diberikan per oral 50-100
mg/kgBB/hari dalam 4 dosis, IM 100-200 mg/kg/BB/hari dalam 4 dosis.Bayi
yang berumur <7 hari diberi 50 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis, sedangkan yang
berumur >7 hari diberi 75 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis.

16,23

4. Kotrimoksasol
Kotrimoksasol merupakan antibiotik kombinasi antara trimetoprim dan
sulfametoksasol,

dimana

kombinasi

ini

memberikan

efek

sinergis.Trimetoprim dan sulfametoksasol menghambat reaksi enzimatik obligat


pada mikroba.Sulfametoksasol menghambat masuknya molekul P- Amino
Benzoic Acid (PABA) ke dalam molekul asam folat, sedangkan trimetoprim
menghambat enzim dihidrofolat reduktase mikroba secara selektif.Frekuensi
terjadinya resistensi terhadap kotrimoksasol lebih rendah daripada masingmasing obat, karena mikroba yang resisten terhadap salah satu komponen
antibiotik masih peka terhadap komponen lainnya.Dosis yang dianjurkan untuk
anak ialah trimetoprim 8 mg/kgBB/hari dan sulfametoksasol 40 mg/kgBB/hari
diberikan dalam 2 dosis.

15,23

5. Sefotaksim
Sefotaksim merupakan antibiotik yang sangat aktif terhadap berbagai
kuman gram positif maupun gram negatif aerobik.Obat ini termasuk dalam
antibiotik betalaktam, di mana memiliki mekanisme kerja menghambat sintesis
dinding sel

mikroba.Mekanisme

penghambatannya

melalui

reaksi

transpeptidase dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel.Dosis terapi


intravena yang dianjurkan untuk anak ialah 50 200 mg/kg/h dalam 4 6
dosis.Sedangkan untuk neonatus 100 mg/kg/h dalam 2 dosis.

15

28

Pada penelitian penelitian yang telah dilakukan sebelumnya,


menyebutkan bahwa pasien dengan deman tifoid menunjukkan respon klinis
yang baik dengan pemberian seftriakson sehari sekali.Lama demam turun
berkisar 4 hari, hasil biakan menjadi negatif pada hari ke 4 dan tidak
ditemukan kekambuhan.Pada kasus MDRST anak, seftriakson merupakan
antibiotik pilihan karena aman.Sedangkan pada penggunaan antibiotik
kloramfenikol lama demam turun berkisar 4,1 hari, efek sampingnya berupa
mual dan muntah terjadi pada 5 % pasien.Kekambuhan timbul 9 - 12 hari setelah
obat dihentikan pada 6 % dari kasus, hal ini berhubungan dengan lama terapi
yang < 14 hari.

24

Antibiotik

terpilih

untuk

MDRST

adalah

siprofloksasin

dan

seftriakson.Pemberian siprofloksasin pada anak usia < 18 tahun masih


diperdebatkan karena adanya potensi artropati, sehingga seftriakson lebih
direkomendasikan.

22

Penelitian lainnya juga ada yang menyebutkan bahwa terjadi


resistensi

terhadap antibiotik

kloramfenikol,

ampisilin,

amoksisilin

dan

trimetoprim, tetapi penelitian yang dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan


Anak RSHS sejak tahun 2006 2010 menunjukkan Salmonella Typhi masih
sensitif terhadap antibiotik kloramfenikol, ampisilin dan kombinasi trimetoprimsulfametoksasol (kotrimoksasol).Dengan antibiotik kotrimoksasol demam turun
berkisar 5 hari, sedangkan dengan ampisilin berkisar 7hari.

16

29

DAFTAR PUSTAKA
Algerina, A. 2008. Demam Tifoid dan lnfeksi Lain dari Bakteri Salmonella.
http://medicastore.com/penyakit/10/Demam_Tifoid.html.
Anonim. 2008. Confidence in typhoid fever diagnosis. IDL Biotech AB. Anonim.
2010. Indonesia Health Profile. Jakarta: Ministry of Health RI.
Bourbeau, P.P., Pohlman J.K. 2001. Three days of incubation may be sufficient
for routine blood cultures with Bact/Alert FAN blood Culture bottles. Journal
of Clinical Microbiology. 39 (6): 2078-2082.
Crump, J.A. 2004. The Global Burden of typhoid Fever. Buletin WHO Vol. 82 No.
5.
Darmowandowo, W. 2006. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak:
Infeksi dan Penyakit Tropis Edisi I. Jakarta: BP FK UI.
Dong, B. 2007. Optimizing typhoid fever case definitions by combining
serological test in a large population study in Hechi City, China.
Epidemiol Infect 2007.
Handoyo, I. 2004. Diagnosis laboratorium demam tifoid. Jurnal Kimia
Klinik
Indonesia.
Hardi, S. Soeharyo, Karnadi E. 2002. The diagnostic value of the Widal test in
typhoid fever patients. In: Typhoid fever: Profile, diagnostic and treatment
in 2001. 1st ISAC International Symposium. Acta Medica Indonesia.
30

Hatta, Mochammad, Ratnawati. 2008. Enteric fever in endemic areas of


Indonesia:
an increasing problem of resistance. J Infect Developing Countries 2008;
2(4): 279-282.
Hayat, Dr., Atif, Sitwat. 2011. Evaluation of Typhidot (IgM) in Early and
Rapid Diagnosis of Typhoid Fever. Professional Med J Apr-Jun 2011;
18(2):259-264.
Hoffman, S.L. 2002. Typhoid Fever. In: Strickland GT. Editor. Haunters tropical
th
medicine. 7 ed Philadelphia WB Saunders Co.
Hosoglu, S., Bosnak V., Akalin S., Geyik M.F., Ayaz C. 2008. Evaluation of
false negativity of the Widal test among culture proven typhoid fever cases. J
Infect Dev Ctries.
http://www.reszonics.com/Typhidot Fever Flyers 2. Diakses pada tanggal
2
Oktober 2013.
Intan, M.F. 2010. Uji Diagnostik Pemeriksaan Tubex TF dan Widal terhadap
Baku Emas Kultur Salmonella typhi pada Penderita Tersangka Demam
Tifoid. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha.
KMK.
2006.
Pedoman
No.
364/MENKES/SK/V/2006.

Pengendalian

Demam

Tifoid.

Lim, Pak-Leong. 1998. One-Step 2-Minute Test to Detect Typhoid-Spesific


Antibodies based on Particle Separation in Tubes. Journal of Clinical
Microbiology, Aug, 1998, p. 2271-2278 Vol. 36, No. 8.
Marleni M. 2012. Ketepatan Uji Tubex TF dibandingkan Nested-PCR dalam
Mendiagnosis Demam Tifoid pada Anak pada Demam Hari ke-4. Palembang:
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Maulana, Razi. 2011. http://razimaulana.wordpress.com. Diupload pada tanggal
18 Maret 2011. Diakses pada tanggal 2 Oktober 2013.
Moehario, LH. 2009. The molecular epidemiology of Salmonella typhi
across
Indonesia reveals bacterial migration. J Infect Dev Ctries 2009; 3(8):
579-584.
Nainggolan, R.N.F. 2009. Karakteristik Penderita Demam Tifoid Rawat Inap di
Rumah Sakit Tentara TK-IV 01.07.01 Pematang Siantar Tahun 2008. Medan:
FKM USU.
Olopoenia, L.A. 2000. Widal agglutination test-100 years later : still plagues by
controversy. Postgrad Med.
Olsen, Sonja J. 2004. Evaluation of Rapid Diagnostic Test for Typhoid
31

Fever.
Journal of Clinical Microbiology, May 2004, p. 1885-1889, Vol. 42, No. 5.
Putra, A. 2012. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Demam
Tifoid terhadap Kebiasaan Jajan Anak Sekolah Dasar. Semarang: Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro.
Rachman, A.F. 2011. Uji Diagnostik Tes Serologi Widal Dibandingkan dengan
Kultur Darah sebagai Baku Emas untuk Diagnosis Demam Tifoid Pada Anak
Di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro.
Rahayu, E. 2013. Sensitivitas uji widal dan tubex untuk diagnosis demam tifoid
berdasarkan kultur darah. Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang.
Rahman, M., Siddique, A.K., Tam, F., Sharmin, S. 2007. Rapid detection of

early typhoid fever in endemic community children by the TUBEX O9antibody test. Diagnostic Microbiology and Infectious Disease 58 (2007)
275-281.
Rustandi D. Melda S. 2010. Demam Tifoid. Bandung: Universitas Padjajaran.
Salyers A., Whitt D. 2002. Bacterial Pathogenesis: A Molecular
Approach 2nd Edition. ASM Press.

32

33

Siba, V. 2012. Evaluation of Serological Diagnostic Tests for Typhoid Fever in


Papua New Guinea using a Composite Reference Standard. Journal ASM
Org.
Soedarno SS, Garna H, Hadinegoro SR. 2008. Buku Ajar Infeksi & Pediatri
Tropis. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Sudoyo, A. W. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Jakarta:
Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Surya H, Setiawan B, Shatri H, Sudoyo A, dan Loho T. 2007. Tubex TF test
compared to Widal test in diagnostics of typhoid fever. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Wafaa, M.K, Bakr, 2010. Tubex Test Versus Widal Test in the Diagnosis of
Typhoid
Fever in Kafr El-Shekh, Egypt. J Egypt Public Health Assoc Vol. 85 No.
5&6, 2010.
Wain J, Diept TS, Bay OV, Wals AL, Vinh H, Duong NM. 2008. Specimens and
culture media for the laboratory diagnosis of typhoid fever. J Infect Dev
Ctries.
Wain J, Hosoglu S. 2008. The laboratory diagnosis of enteric fever. J Infect Dev
Ctries.
Willke, A. 2002. Widal Test in Diagnosis of Typhoid Fever in Turkey. Clin
Diagn
Lab Immunol, July; 9(4): 938-941.
World Health Organization (WHO). 2003. Typhoid Fever. http://www.who.int/.

33

Anda mungkin juga menyukai