Anda di halaman 1dari 2

AKU ANAK INDONESIA

Hari ini ada yang berbeda. Hari ini aku mengenakan baju baru dan anak-anak
meresponnya dengan senyum simpul, bisik-bisik bahkan pujian spontan. Mungkin mereka
bosan melihatku dengan baju yang itu-itu saja dan mungkin warnanya telah kabur. Tapi
bukan itu yang membuatku merasa hari ini sangat berbeda. Ada wajah ganteng dengan kulit
kuning langsat bersih dan baju putih masih tampak baru dengan celana pendek biru yang baru
dan sepatu yang walau sekilas sudah bisa dipastikan bermerk dan pasti mahal.
Ada murid baru, Bu, celetuk Imran.
Ya, jawabku sambil menatap wajah gantengnya.
Setelah aku memberi salam dan memastikan kelas dalam manajemenku aku membuka
pelajaran dengan mengulas kembali materi yang sudah dibahas pada pertemuan yang telah
lalu. Tapi celetukan Tino mengagetkanku.
Bu, kenalan dulu dong dengan anak baru.
Baiklah anak-anak, kita jeda sebentar untuk berkenalan. Tolong kamu berdiri di
depan kelas dan perkenalkan dirimu.
Dengan rasa malas (bukan malu), siswa ganteng itu maju ke depan diikuti tepukan
riuh anak-anak khususnya anak putri. Kutunggu beberapa saat tapi belum juga ada suara
keluar dari mulutnya.
Karena suasana berubah gaduh maka aku mencoba membantu dengan mengajukan
pertanyaan.
Siapa namamu?
Galih.
Kamu pindahan dari mana?
Dari Indonesia.
Geeeeerrrrrrr ..seluruh siswa tertawa lepas mendengar jawaban yang tak disangka
itu. Aku sendiri ingin tertawa seperti anak-anak tapi kutahan karena hanya akan membuat
suasana kelas semakin tak terkendali.
Iya Galih Ibu percaya kamu anak Indonesia tapi kamu pindahan dari mana?
Dari Jakarta.
Karena kulihat Galih tidak menikmati perkenalan itu maka acara singkat segera
kusudahi dan anak-anak tampak memberi suara huuu.sebagai tanda kecewa.

Aku berpikir anak dari metropolitan pindah ke daerah pasti tampak berbeda dari segala sisi.
Penampilannya beda: pakaiannya bersih dan sepatunya mahal. Rasa percaya dirinya pasti
lebih besar di banding anak-anak desa. Dari kemampuan berbicaranya juga pasti beda. Tapi
tebakanku tidak berlaku untuk Galih. Hanya penampilannya saja yang sama seperti yang aku
pikirkan, sisanya salah semua. Galih tidak banyak bicara kalau tidak boleh dibilang tidak
pandai berbicara. Yang membuat aku lebih kaget adalah, dia tidak hanya lemah
mengorganisasikan ide-idenya dalam bahasa lisan tapi dia juga lemah dalam bahasa tulis.
Ketika aku selesai menjelaskan sebuah pokok bahasan dan saatnya anak-anak
mengerjakan soal latihan, aku menyempatkan berkeliling melihat pekerjaan mereka satu
persatu. Begitu samapai di meja Galih, bukunya yang ada di hadapannya masih bersih alias
dia belum mengerjakan latihan sama sekali.
Galih, kenapa kamu belum mengerjakan sama sekali? tanyaku penasaran tapi di
luar dugaanku, Galih hanya membalasnya dengan memberi senyum. Aneh. Biasanya anak
yang tidak bisa mengerjakan soal sementara yang lain tidak mengalami kesulitan pasti
tampak gugup. Dan anak gugup tidak akan tersenyum seperti senyuman Galih: tanpa beban.
Saat jam kosong aku menemui guru BP untuk mencari informasi tentang Galih anak
Indonesia yang menarik perhatianku. Dia murid pindahan dari Jakarta. Sengaja dipindah oleh
mamanya dan dititipkan pada neneknya. Kedua orang tuanya baru beberapa bulan bercerai
dan Galih adalah anak tunggal. Sejak perceraian kedua orang tuanya Galih berubah menjadi
anak yang nakal sulit dikendalikan dan selalu membuat kasus sampai akhirnya mamanya
tidak mampu lagi mengatasinya sehingga mengambil keputusan dibuang di rumah
neneknya. Ada semacam rasa iba tiba-tiba menyeruak dalam hatiku.
Sejak peristiwa berkenalan dengan Galih, aku membuat program khusus untuknya.
Setiap aku mengakhiri pelajaranku, kuberikan buku tulis yang telah kutulis dengan beberapa
pertanyaan yang harus dia kerjakan di bawahnya dan harus diserahkan esok paginya meski
tidak ada jamku di kelasnya. Ketika dia menyerahkan pekerjaannya aku langsung membaca
dan mengoreksinya lalu memberi catatan. Setelah itu buku aku kembalikan lagi dengan soal
yang baru dan esok paginya dia juga harus menyerahkan jawabannya kepadaku. Hal itu
kulakukan setiap hari selama dua minggu. Pada pekerjaan yang pertama sungguh sangat
memprihatinkan untuk anak setingkat dia, kalimatnya kacau dan tidak jelas ide pokoknya.
Apa yang dia maksud benar-benar aku tak dapat menangkapnya. Hari berikutnya struktur
kalimatnya belum menunjukkan keteraturan dia dalam mengorganisasikan ide-idenya hingga
berangsur secara pelahan semakin hari semakin menunjukkan perubahan.
Galih memang ganteng, Galih dan memang anak metropolis yang mengenal banyak
peradaban dan teknologi dibanding teman-temannya yang asli desa. Akan tetapi siapa yang
menyangka bahwa masalah yang menimpa kedua orang tuanya mampu mengubahnya
menjadi anak yang labil dan sulit mengungkapkan pikirannya. Dia jauh tertinggal dari temantemannya tapi aku percaya dia bisa bertumbuh menjadi lebih baik. Galih juga anak Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai